Anda di halaman 1dari 9

Modul Ilmu Penyakit Dalam HIDROPNEUMOTORAKS

Pulmonologi
Tujuan pembelajaran umum
Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan mampu mengenali penyakit
hidropneumotoraks dan mempunyai keterampilan dalam mengelola pasien dengan
hidropneumotoraks secara holistik.
Tujuan pembelajaran khusus
Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
1. Mendiagnosis hidropneumotoraks.
2. Mengidentifikasi faktor predisposisi yang terdapat pada pasien.
3. Mengidentifikasi komplikasi hidropneumotoraks.
4. Menilai berat ringannya hidropneumotoraks.
5. Memberikan tatalaksana yang sesuai.
6. Mengevaluasi pengobatan pasien hidropneumotoraks.
Pokok bahasan/sub pokok bahasan
1. Diagnosis hidropneumotoraks.
2. Faktor predisposisi hidropneumotoraks.
3. Penatalaksanaan hidropneumototaks.
4. Komplikasi hidropneumotoraks.
Metode A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode:
Supervised direct patient care
Small group discussion
Peer assisted learning
Didactic sessions
Bedside teaching
Task-based Medical Education
B. Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari
(prasyarat):
Bahan acuan referensi
Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
seperti anatomi regio toraks, fisiologi, patologi, dan
farmakologi obat-obat yang terkait.
Ilmu klinik dasar tentang tata cara anamnesis dan
pemeriksaan jasmani umum.
C. Penuntun belajar (lampiran 1).
D. Tempat belajar (training setting):
Poliklinik Penyakit Dalam RSCM
Ruang rawat inap RSCM
IGD, HCU, ICU, ICCU

Media Kuliah
Laporan dan diskusi kasus
Bedside teaching
Penanganan pasien langsung dalam supervisi
E-learning

1
Alat bantu Ruang diskusi
pembelajaran Sarana audio-visual
Internet connection
Evaluasi
1. Pada awal kegiatan dilaksanakan pre-test yang bertujuan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
2. Proses penilaian oleh fasilitator dalam small group discussion yang membahas
hal-hal yang berkaitan dengan penuntun belajar.
3. Role play bersama teman sejawat (peer assisted learning) atau SP (standardized
patient). Pada kegiatan ini peserta didik yang bersangkutan tidak diperkenankan
membawa tuntunan belajar. Tuntunan belajar dipegang oleh rekan-rekan lain yang
bertugas melakukan evaluasi (peer assisted evaluation).
4. Direct observation oleh fasilitator melalui metode bedside teaching di mana
peserta didik yang bersangkutan mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada kegiatan ini, fasilitator memberikan penilaian:
Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya kurang
mempertimbangkan kenyamanan pasien atau waktu pemeriksaan terlalu
lama.
Baik: pelaksanaan baik dan benar.
Pada akhir kegiatan dilakukan diskusi antara peserta didik dengan
fasilitator sebagai sarana untuk memberi masukan dan memperbaiki kekurangan
yang ada.
5. Self assesment dan peer assisted evaluation menggunakan penuntun belajar.
6. Direct observation oleh fasilitator dengan menggunakan evaluation checklist form
(lampiran 2). Peserta didik memberikan penjelasan secara lisan kepada fasilitator.
Kriteria penilaian yang digunakan: cakap/tidak cakap/lalai. Di akhir penilaian
peserta didik diberi masukan dan bula perlu diberikan tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education).
7. Formatif: penilaian melalui ujian tulis (MCQ, essay) dan ujian kasus.

Target
1. PPDS tahap I: pencapaian kompetensi kompeten
2. PPDS tahap II: pencapaian kompetensi profisiens
Staf Pengajar

Staf pengajar adalah staf yang karena keahliannya diberi wewenang untuk membimbing,
mendidik dan menilai peserta didik. Staf pengajar dibagi 3 kelompok,yaitu :
1. Pembimbing, yaitu staf yang mepunyai tugas melaksanakan pengawasan dan
bimbingan dalam peningkatan ketrampilan peserta didik, tetapi tidak diberi
tanggung jawab atas peningkatan bidang ilmiah (kognitif). Kualifikasi
pembimbing adalah Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang ditunjuk oleh Ketua
Departemen dan minimal telah memiliki masa kerja sebagai spesialis penyakit
dalam selama minimal 3 tahun.

2
2. Pendidik, yaitu staf yang selain mempunyai tugas sebagai pembimbing, juga
bertanggung jawab atas bimbingan peningkatan bidang ilmiah (kognitif).
Kualifikasi pembimbing adalah seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Konsultan (SpPD-K) dengan kekhususan Pulmonologi.
3. Penilai, yaitu staf yang selain mempunyai tugas sebagai pembimbing dan
pendidik, juga diberi wewenang untuk menilai hasil belajar peserta didik.
Kualifikasi penilai adalah seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan
(SpPD-K) dengan kekhususan Pulmonologi yang telah menjadi SpPD-K minimal
3 tahun.

Referensi
1. Millard FJC, Pepper JR. Pleural Diseases. In: Brewis RAL, Corrin B, Geddes
DM, Gibson GJ. Editors. Respiratory Medicine. Second Edition. London: W.B.
Saunders. 1995; p.1560.
2. Colt HG. Pneumothorax. In: Bordow RA, Ries AL, Morris TA. Editors. Manual of
clinical Problems in Pulmonary Medicine. Sixth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins. 2006; p.69-74.
3. Sahn SA. Pleural Diseases. In: American College of Chest Physicians. Illinois:
AACM. 2006.
4. Peter JI, Sako EY. Pneumothorax. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi
MA, Kaise LR, Senior RM. Editors. Fishmans Pulmonary Diseases and
Disorders. Third Edition. New York: McGraw-Hill. 1998; p.2483-502.
5. Fraser RG, Fraser RS, Pare JA, Pare PD, Genereux GP. Diagnosis of Diseases of
The Chest. Third Edition. Philadelphia: W.B.Saunders. 1988.
6. Prakash UBS. Bronchoscopy. New York: Raven Press. 1994.
7. Jablons D, Cameron RB, Turley K. Thoracic Wall, Pleura, Mediastinum, and
Lung. In: Way LW, Doherty GM. Editors. Current Surgical Diagnosis and
Treatment. Eleventh Edition. California: McGraw-Hill. 2003; p.357-69.
8. Jablons D, Cameron RB, Turley K. Thoracic Wall, Pleura, Mediastinum, and
Lung. In: Way LW, Doherty GM. Editors. Current Surgical Diagnosis and
Treatment. Eleventh Edition. California: McGraw-Hill. 2003; p.357-69.
9. Sahn SA, Heffner JE. Management of Pleural Diseases. In: Crapo JD, Glassroth J,
Karlinsky J, King TE. Baums Textbook of Pulmonary Diseases. Seventh Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2004; p.1386-7.

3
LAMPIRAN I PENUNTUN BELAJAR
Penilaian kinerja dilakukan pada setiap langkah dengan menggunakan skala penilaian
berikut:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan dengan benar atau dalam urutan yang
salap.
2. Cukup: langkah dikerjakan dengan benar, dalam urutan yang benar (bila
diperlukan), tetapi belum lancar.
3. Baik: langkah dikerjakan dengan efisien dan dalam urutan yang benar (bila
diperlukan).

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

PENUNTUN BELAJAR
HIDROPNEUMOTORAKS
No Kegiatan/langkah klinik Kesempatan ke

1 2 3 4 5
I ANAMNESIS
1. Menyapa pasien dan keluarganya, memperkenalkan
diri dan menjelaskan maksud anda.
2. Menanyakan keluhan utama dan deskripsinya.
3. Apakah terdapat nyeri dada?
4. Apakah terdapat dispnoe? Bagaimana karakteristik
dispnoe? (memburuk dengan cepat, ortopnoe, PND)
5. Apakah terdapat rasa lemah?
6. Apakah ada pingsan?
7. Apakah terdapat demam? Bagaimana karakteristik
demam? Berapa lama?
8. Apakah terdapat keluhan batuk? Bagaimana
karekteristik batuk? (berdahak atau tidak)
Bagaimana karakteristik dahak? (bening, putih,
mukopurulen) Apakah berdarah?
9. Apakah terdapat gejala sistemik? (anoreksia, berat
badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam)
10. Apakah ada riwayat trauma?
II PEMERIKSAAN FISIK
1. Terangkan akan dilakukan pemeriksaan fisik pada
pasien
2. Tentukan keadaan umum
3. Lakukan pengukuran tanda vital: kesadaran,
tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan, dan suhu
tubup.
4. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap secara
sistematis.

4
5. Pemeriksaan auskultasi paru: Bagaimana suara
napas? Apakah terdapat bunyi napas tambahan
(mengi, ronkhi)?
III PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rontgen toraks
2. Pemeriksaan darah perifer lengkap
3. Pemeriksaan sitologi dan kultur cairan pleura
IV DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis berdasarkan hasil
anamnesis.
Menegakkan diagnosis berdasarkan hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Menegakkan diagnosis berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
V PENATALAKSANAAN
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit dan
tatalaksana penyakit.
2. Menentukan tatalaksana pasien sesuai beratnya
penyakit.
3. Mengevaluasi pengobatan secara berkala.
5. Pemberian obat simtomatik sesuai keluhan pasien.

5
LAMPIRAN II DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia sesuai dengan penilaian terhadap keterampilan
peserta didik dalam melaksanakan langkah/kegiatan. Cantumkan TD bila tidak
dilakukan pengamatan.

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
HIDROPNEUMOTORAKS
No Kegiatan/langkah klinik Hasil penilaian
Lalai Tidak Cakap
cakap
I ANAMNESIS
1. Sikap profesionalime:
Menghormati pasien
Empati
Kasih sayang
Menumbuhkan kepercayaan
Mempertimbangkan kenyamanan pasien
Terampil berkomunikasi secara verbal
Terampil menggunakan komunikasi non-
verbal (kontak mata, bahasa tubuh)
2. Menarik kesimpulan gejala dan tanda yang ada
merupakan manifestasi tuberkulosis paru.
3. Menarik kesimpulan adakah faktor predisposisi.
4. Menarik kesimpulan adakah komplikasi.
II PEMERIKSAAN FISIK
1. Sikap profesionalime:
Menghormati pasien
Empati
Kasih sayang
Menumbuhkan kepercayaan
Mempertimbangkan kenyamanan pasien
Terampil berkomunikasi secara verbal
Terampil menggunakan komunikasi non-verbal
(kontak mata, bahasa tubuh)
2. Menentukan keadaan umum
3. Pengukuran tanda vital: kesadaran, tekanan darah,
laju nadi, laju pernapasan, dan suhu tubuh
4. Pemeriksaan status gizi, menghitung IMT
5. Pemeriksaan kepala
6. Pemeriksaan mata
7. Pemeriksaan THT

6
8. Pemeriksaan leher
9. Pemeriksaan dada
10. Pemeriksaan jantung
11. Pemeriksaan paru
12. Pemeriksaan abdomen
13. Pemeriksaan ekstremitas
III USULAN PEMERIKSAAN
Keterampilan dalam memilih rencana pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis kerja.
IV DIAGNOSIS
Keterampilan dalam memberikan pengkajian dari
diagnosis kerja yang ditegakkan.
V PENATALAKSANAAN
1. Memilih jenis pengobatan atas pertimbangan
keadaan klinis, faktor sosial ekonomi, nilai yang
dianut pasien, pendapat pasien, dan efek samping.
2. Memberi penjelasan mengenai pengobatan yang
akan diberikan, termasuk mengenai keuntungan dan
kerugiannya.
3. Memantau hasil pengobatan.

7
HIDROPNEUMOTORAKS

Hidropneumotoraks adalah pneumotoraks disertai pengumpulan cairan di rongga


pleura yang lebih dari normal. Pada pneumotoraks normal, cairan pleura fisiologis akan
berakumulasi di sudut kostofrenikus, sehingga memberi gambaran batas udara cairan.
Cairan yang berlebih pada hidropneumotoraks merupakan cairan serosa, yang sebagian
besar adalah transudat.
Hidropneumotoraks sebagian besar akibat trauma, namun dapat juga disebabkan
oleh keganasan, penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal, pankreatitis, sirosis, serta
tromboembolisme. Terkumpulnya cairan dan udara di dalam rongga pleura dapat
disebabkan oleh kerusakan pada pleura parietal (trauma, perforasi esofagus, operasi)
maupun pleura viseral (bulla, aspirasi jarum halus). Berat ringannya hidropneumotoraks
ditentukan oleh persentase volume rongga dada yang terlibat. Pengukuran hidrotoraks
dan pneumotoraks dibedakan. Karena rontgen thoraks hanya 2 dimensi yang mewakili
ruang 3 dimensi, maka pemisahan permukaan pleura yang hanya sedikit (misalnya 1cm)
pada foto toraks, dapat berarti pneumothorax yang sudah cukup luas (misalnya 25%).
Pneumotoraks diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan yang didapat.
Pneumotoraks spontan disebabkan oleh ruptur lapisan subpleura akibat peningakatan
tekanan tranpulmoner, terutama di bagian apex paru (apex lobus atas dan segmen
superior lobus bawah). Batuk, jatuh dari ketinggian pada tekanan atmosfer lebih dari 10
milibar/24 jam, dekompresi cepat (scuba divers), dan pada ketinggian (pilot jet)
semuanya berkaitan dengan peningkatan tekanan transpulmoner dan pneumotoraks
spontan. Penyebab pneumotoraks lain adalah bulla apex (pada pasien COPD),
pneumocystis pneumonia (pasien AIDS), kanker metastasis, limfangioleiomyomatosis,
granuloma eosinofilik, ruptur esofagus atau abses paru, cystic fbrosis, dan menstruasi.
Semua ini juga dapat menyebabkan akumulasi cairan berlebih, sehingga terjadi
hidropneumotoraks.

DIAGNOSIS
Gejala klinis pasien hidropneumotoraks adalah nyeri dada dan dyspnea. Apabila
disertai penyakit kardiopulmoner atau pneumotoraks tension, maka gejala menjadi
semakin berat dan mencakup diaforesis, sianosis, fatigue, gejala hipotensi dan kolaps
kardiovaskular.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan takipnea, takikardia, deviasi trakea (tension
pneumothorax), penurunan suara napas, hiperresonansi, dan melemahnya fremitus vokal
pada daerah pneumotoraks. Pada perkusi, di daerah efusi tedengar redup, fremitus
melemah, terdengar suara napas tambahan berupa rhonki.
Pemeriksaan penunjang, analisis gas darah menunjukkan hipoxia, dan kadang
hipokapni akibat hiperventilasi. EKG dapat menunjukkan deviasi axis, nonspecific ST
segment changes, dan inversi T.
Gambaran radiologis hidropneumototaks adalah gambaran pneumotoraks yang
memiliki batas udara cairan yang memisahkan cairan opak dengan udara lusen. Posisi
foto dekubitus lateral harus dilakukan. Pada foto lateral, batas bagian paru yang lebih
tinggi akan tampak apabila terdapat pneumotoraks. Pada bagian paru bawah akan tampak

8
cairan yang terakumulasidi rongga pleura pada batas dinding dada hingga ke fisura
minor. Foto dilakukan pada keadaan inspirasi dan ekspirasi maksimal, agar batas paru
dapat terlihat jelas. Untuk mendiagnosis hidropneumotoraks maka perlu dilakukan foto
rontgen PA dan lateral. CT Scan hanya diperlukan pada kasus tertentu untuk
membedakan pneumotoraks dari bula yang besar pada pasien emfisema.

TATALAKSANA
Hidropneumotoraks ditatalaksana secara bersama-sama. Pasien
hidropneumototaks harus dievakuasi karena berisiko mengalami trapped lung akibat
deposisi fibrin pada pleura viseral. Pada beberapa pasien, evakuasi dapat dilakukan
dengan aspirasi sederhana selama foto torakssegera dan 2 jam kemudian, menunjukan
reekspansi. Rekurensi dengan etode ini sebesar 20-50%, sehingga foto rontgen untuk
pemantauan perlu dilakukan setelah 24 jam.
Pada pasien dengan hidropneumotoraks yang cukup signifikan (lebih dari 30%),
perlu dilakukan penempatan closed-chest catheter (8-20F) untuk mendapatkan
reekspansi. Kateter ini dapat dihubungkan dengan underwater suction drainage atau
dengan katup Heimlich (satu arah). Chest tubes diletakkan setinggi sela iga kelima pada
garis midaxila. Chest tube dapat dicabut setelah paru tetap berinflasi penuh.
Pada kasus dimana kebocoran udara terjadi lebih dari 7 hari, pasien yang tidak
mengalami ekspansi penuh, pasien dengan pekerjaan risiko tinggi, pasien dengan bula
besar atau fungsi paru yang buruk, dan pasien dengan hidropneumotoraks bilateral atau
rekuren, maka tindakan yang lebih agresif perlu seperti pleurodesis atau bedah.

Anda mungkin juga menyukai