Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang yang telah menyerang
manusia dari dulu hingga kini dan merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
didunia. Tuberkulosis pericardial atau perikarditis tuberkulosis (TBP) adalah salah satu
komplikasi ekstrapulmonar TB yang jarang terjadi tetapi cukup parah dengan mortalitas 80-
90% bila tidak ditangani secara tepat dan 12-17% apabila dengan perawatan yang tepat.1
Tuberkulosis bertanggung jawab untuk sekitar 4% kasus perikarditis akut, 7% kasus
temponade jantung dan sekitar 6% kasus perikarditis konstriktif.2,3,4 Di beberapa Negara yang
kurang berkembang, TB adalah penyebab utama perikarditis, namun insiden TBP di Negara
maju hanya 4% dari semua kasus TB tetapi dibeberapa daerah Afrika Selatan, tuberkulosis
pericarditis menujukan 69,5% pericarditis yang membutuhkan puncture pericardial sebagai
diagnose.5,6 Di Sub Saharann Africa, angka kejadian TBP meningkat akibat endemic HIV
pada daerah tersebut, dan kecendrungan ini juga terjadi pada daerah lain yang memiliki angka
endemic HIV. Diagnosa perikarditis tuberkulosis cukup sulit ditetapkan apabila tidak adanya
riwayat personal atau keluarga yang mengarahkan ke ciri-ciri infeksi TB.
Laporan kasus
Seorang pria berusia 53 tahun, suku minahasa, berprofesi sebagai supir dirujuk dari
RSUD Bitung datang ke UGD RSUP Prof. DR. R.D Kandou Manado dengan keluhaan utama
sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, terutama sesak nafas timbul
berhubungan dengan aktivitas dan posisi pasien namun berkurang dengan isthirahat. Riwayat
nyeri dada tidak ada. Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 4 hari SMRS dan riwayat
batuk darah tidak dijumpai, riwayat demam, pilek, keringat malam, muntah tidak ada, pasien
juga mengeluhkan nyeri ulu hati. Riwayat hipertensi, diabetes dan penyakit jantung tidak
dijumpai. Riwayat alkohol dan merokok tidak ada. Riwayat keluarga yang menderita sakit
yang sama tidak dijumpai.
Pada saat masuk, dijumpai kesan sakit sedang. Kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 103x/menit, pernapasan 23x/menit, suhu 36,8oC. status gizi
normoweight (IMT 24,28 kg/m2). Pada pemeriksaan fisik dijumpai konjungtiva tidak anemis,
sclera tidak ikterik, tekanan vena jugularis 5+1 H20, suara pernapasan terdapat rhonki kering
pada paru sebelah kanan atas, suara jantung kesan normal tidak ditemukan murmur dan
gallop, tidak ditemukan edema pada kedua ekstremitas inferior.
Diagnosa kerja saat pasien masuk rumah sakit yaitu Efusi pericardium masif, susp.
Pneumonia komunitas dd/ Tuberkulosis paru, dyspepsia, CHF fc II ec HHD. Penderita
diterapi dengan furosemide 40 mg 1-1-0, amlodipine 5 mg 1-0-0, ramipril 5 mg 0-0-1,
ceftriaxone 2gr/24 jam dan dilakukan pungsi cairan pericardium sebanyal ± 630 cc kemudian
dilakukan pemeriksaan sitologi dengan hasil gambaran makroskopis cairan kemerahaan
keruh dan mikroskopis pada hapusan ditemukan sel-sel leukosit PMN, beberapa limfosit,
latar belakang sel darah merah dan tidak didapati sel epitel yang menggambarkan radang sub
akut.
Pada follow up hari ke 10, pasien mengatakan makin sesak terutama saat terlentang
meskipun sudah dilakukan pungsi pericardium beberapa kali, batuk (+) mengeluarkan dahak
putih. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 112x/menit,
respirasi rate 24x/meni, suhu badan 36,5oC dan saturasi oksigen 93%. Pada pemeriksaan
thorakx pada auskultasi kedua paru didapatkan suara vesicular tanpa adanya rhonki dan
wheezing dan auskultasi suara jantung ditemukan suara jantung lemah tanpa adanya suara
bising dan gallop. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 13.500, Hb 15,5,
trombosit 451.000 SGOT 59 SGPT 60 Ureum 36 Creatinin 0,7 Natrium 131 Clorida 86,9
Kalium 4,7 dan dilakukan pemeriksaan ADA serum (adenosine deaminase) didapatkan hasil
19.
Pada follow up hari ke 19, keluhaan sesak napas pasien makin memberat. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital 90/60 mmHg, Nadi 102x/menit, Respirasi rate
27x/menit dengan tekanan JVP 5+2 cmH2O kemudian dilakukan echocardiogradi cito
dengan hasil didapatkan tampak severe pericardial effusion 2,3 cm di apex, 1,8 cm di
posterior, 3,0 cm di lateral dengan fibrin (+) yang sudah mengarahkan kecurigaan diagnosa
perikarditis konstruktif. Kemudian pasien di konsulkan untuk rencana perikardiektomi cito
untuk mencegah komplikasi yang makin berat. Setelah operasi perikardiektomi, pasien
ditransfer dan dirawat dalam ruangan perawatan intensif namun dalam beberapa jam
kemudian pasien dinyatakan meninggal akibat syok kardiogenik.
Pembahasan
Etiologi & Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab perikarditis, yang gejala awalnya hanya
demam. Tetapi dalam perjalanan penyakitnya, perlahan-lahan menjadi progresif karena
timbulnya efusi perikardium yang dapat mengakibatkan tamponade jantung dan perikarditis
konstruktif.7-9 Karena proses ini berlangsung perlahan, acap kali diagnosisnya terlambat.
Terapi dengan anti tuberkulosis memberikan prognosis yang baik. Insidensi efusi perikardium
tuberkulosis sekitar 1% dari jumlah kasus tuberkulosis, dengan angka kematian berkisar 3–
40%.10-11 Efusi perikardium yang berlanjut menjadi tamponade jantung dan perikarditis
konstriktif merupakan 2 penyebab kematian tersering. Pada penelitiam Hughes dan Lipton
melaporkan kebanyakan kasus mereka tentang perikarditis konstruktif merupakan akibat dari
tuberkulosis dan semua kasusnya membutuhkan prosedur bedah perikardiektomi.10 Oleh
karenanya, semua pasien perikarditis tuberculosis dianjurkan dirawat di rumah sakit, untuk
observasi kemungkinan terjadi efusi perikardium atau tamponade jantung yang mengancam
kehidupan.11
Patogenesis
1. Stadium Fibrinosa Terjadi deposit fibrin luas bersamaan dengan reaksi granuloma.
Stadium ini sering tidak menimbulkan gejala klinis sehingga tidak terdiagnosis.
2. Stadium Efusi Terbentuk efusi dalam kantong perikardium. Reaksi hipersensitif
terhadap tuberkuloprotein, gangguan resorbsi dan cedera vaskuler dipercaya dapat
membentuk efusi perikardium. Permukaan perikardium menjadi tebal dan berwarna
abu-abu tampak seperti bulu-bulu kusut yang menunjukkan eksudasi fibrin. Efusi
dapat berkembang melalui beberapa fase, yaitu serosa, serosanguinosa, keruh, atau
darah. Reaksi seluler awal cairan tersebut mengandung sel polimorfonuklear (PMN).
Jumlah total sel berkisar 10.000/mm3. Terjadi perubahan kimiawi yang ditandai
dengan penurunan glukosa dan peningkatan protein. Pada stadium ini, dapat terjadi
efusi masif.
3. Absorpsi Efusi
Pada stadium ini terbentuk fibrin dan kolagen yang menimbulkan fibrosis
perikardium; terbentuk granuloma perkejuan dan penebalan pericardium
4. Penebalan perikardium parietal, konstriksi miokardium akan membatasi ruang gerak
jantung dan ada deposit kalsium di perikardium. Pada kasus ini sudah terjadi
penebalan perkardium parietal dan konstriksi miokardium.
Manifestasi klinis
Pemeriksaan Penunjang
Salah satu alasan sulitnya mendiagnosa perikarditis konstruktif yaitu penyakit ini
hampir memiliki kemiripan dengan penyebab gagal jantung lain atau bahkan penyakit pulmo
dan hepar. Diagnose dapat dilihat dari pasien yang menujukan tanda dan gejala klinis gagal
jantung, efusi pleura, peningkatan vena jugular, edema atau penyakit hepar yang tidak dapat
diejelaskan penyebabnya. Hal tersebut makin diperkuat apabila pasien memiliki riwayat
operasi jantung, penyinaran radiasi dada atau perikarditis. Pemeriksaan penunjang utama
pada kasus perikarditis konstruktif yaitu EKG, foto radiologi thorakx, pemeriksaan
laboratorim dan echocardiogram
Elektrokardiogram
Foto Thorakx
Rontgen dada juga tidak memberikan gambaran spesifik, tetapi dapat memberikan
gambara efusi pleura, congesti vascular pulmonary atau kardiomegali akibat efusi pericardial.
Kalsifikasi pericardial pada gambaran rontgen dada dapat ditemukan hanya 27% kasus
perikarditis konstruktif di daerah yang kasus tuberkulosisnya tidak terlalu sering.18
Ekokardiografi
Laboratorium
Penatalaksanaan
DAFTAR PUSTAKA
16. Lilly LS. Disease of the pericardium. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of heart
disease. 2nd ed. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins; 1993. p. 289-301.
17. Yang CC, Lee MH, Liu JW, Leu HS. Diagnosis of tuberculous pericarditis and
treatment without corticosteroids at a tertiary teaching hospital in Taiwan: a 14-year
experience. J Microbiol Immunol Infect 2005;38:47-52.
18. Ling LH, Oh JK, Breen JF, et al. Calcific constrictive pericarditis: is it still with us?
Ann Intern Med 2000;132:444–50.
19. Wich DT. Constructive pericarditis: diagnosis, management and clinical outcomes.
Heart 2017:0;1-7.