Anda di halaman 1dari 40

I.

Pendahuluan

Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan global pada beberapa

dekade, dimana jumlah populasi obesitas dan bahkan super obesitas semakin

meningkat(1,2). Seiring dengan pertambahan berat badan, akan terjadi perubahan

fisiologis dari sistem tubuh termasuk sistem respirasi. Sindrom hipoventilasi pada

obesitas ( Obesity Hypoventilation Syndrome ) adalah terjadinya hiperkapnia

pada siang hari ( PaCO2 > 45mmHg) pada pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2)

tanpa ada penyebab hipoventilasi lainnya(1). Gejala lainnya adalah peningkatan

kadar bikarbonat serum (> 27mmol) tanpa adanya penyebab alkalosis metabolik

yang didapatkan, hipoventilasi nokturnal tanpa adanya hiperkapnia, dapat berguna

untuk mengenali perjalanan awal dari sindrom ini(3).

Prevalensi OHS diperkirakan 0,3 % pada populasi. Pada beberapa studi

pasien obesitas yang dirawat di rumah sakit, didapatkan 31% mengalami

hiperkapnia yang tidak dapat dijelaskan dengan kelainan klinis lain yang

didapatkan. Walaupun berat badan sendiri bukan merupakan prediktor

hipoventilasi, hampir setengah dari pasien dengan indeks massa tubuh > 50 Kg/m2

atau lebih mengalami hipoventilasi siang hari(3,4).

Secara klinis pasien dengan OHS menunjukkan gejala seperti tidur selama

siang hari yang berlebihan, fatigue, atau sakit kepala pada pagi hari. Pada

pemeriksaan analisa gas darah, pasien dengan OHS akan menunjukkan

hiperkapnia dan hipoksemia, yang berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan

gagal jantung kongestif kanan (cor pulmonale). Jika tidak ditangani dengan

1
segera, studi terbaru menunjukkan sindrom ini menyebabkan morbiditas dan

bahkan mortalitas(4).

Laporan kasus berikut memaparkan manajemen pasien morbid obesitas

dengan indeks massa tubuh 62 kg/m2 yang dirawat dengan penurunan kesadaran

dengan diagnosis masuk gagal jantung kongestif dan tanda sindrom hipoventilasi

pada obesitas.

II. Laporan Kasus

2. 1 Identitas pasien :

Nama : Ny. SFD

RM : 840735

Tanggal Lahir : 13-03-1979

Tgl MRS : 21-04-2018

BB : 160 kg

BMI : 62,5 kg/m2

Diagnosis : Gagal jantung kongestif + morbid obesitas + Obesity

Hypoventilation syndrome + gagal napas akut

2.2 Anamnesis :

Sesak napas dialami sejak 4 bulan terakhir, memberat sejak 3 hari terakhir

disertai penurunan kesadaran. Jika tidur, pasien mengorok dan susah tidur pada

malam hari. Selama 4 bulan terakhir, pasien lebih banyak tidur di siang hari dan

2
sering mengeluh sakit kepala di pagi hari. Riwayat dirawat di RS Siloam

Makassar pada tgl 19/04/18 dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kaki sebelah

kanan disertai sesak napas. Pasien di rujuk ke RSWS pada tanggal 21/04/2018

dengan penurunan kesadaran dengan gagal jantung kongestif . Riwayat penyakit

komorbid hipertensi dan DM disangkal. Riwayat alergi obat obatan dan makanan

tidak ada,

2.3 Pemeriksaan Fisis

Pasien dikonsulkan untuk tatalaksana airway pada tanggal 21/04/18

dengan keluhan sesak napas disertai penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisis

didapatkan

B1 : O2 via NRM 8 ltr / menit. Pergerakan dinding dada simetris, pola napas

abdominal thorakal, RR 24 kali/mnt, ronkhi ada di basal paru kiri dan kanan,

wheezing tidak ada, Sp.O2 88 %.

B2 : BP 120/80 mmHg, HR: 88 x/mnt reguler kuat angkat, BJ I/II murni reguler,

murmur tidak ada

B3 : GCS 13 E3M6V4 pupil bulat isokor, refleks cahya ada simetris, S; 36,8

B4 : Urine perkateter warna kuning jernih, produksi 60 ml/jam

B5 : perut supel, peristaltik 12 kali/mnt

B6 : udema peritibial ada

3
2.4 Pemeriksaan penunjang

2.4.1 Laboratorium

Darah rutin

Tabel 1. Pemeriksaan darah rutin pasien selama perawatan

Tanggal WBC Hb HCT PLT GDS GOT GPT Ur Cr Na K Cl

21 13.6 13.8 47 329 78 47 36 21 0.65 143 3.1 82

22 11.5 14.1 48 316 117 28 0.55 141 3.1 82

Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis 13.600 /mm3

sementara pemeriksaan darah rutin dan kimia darah lainnya dalam batas normal

Analisa gas darah

Tabel 2. Pemeriksaan analisa gas darah pasien selama perawatan

Tanggal pH PCO2 PO2 SO2 HCO3 BE


21 7.461 83.6 76.6 94.7 60.1 36.1
22 7.457 77.7 87.4 96.1 55.4 31.3
23 7.454 80.4 97.5 97.2 57.0 32.9
24 7.386 94.5 108.6 97.5 57.1 31.9
25 7.457 75.7 110.6 98.9 50.5 25.6
26 7.484 60.0 118.1 98.7 45.5 21.8

Dari pemeriksaan AGD awal, didapatkan asidosis respiratorik

terkompensasi sempurna dengan hipoksemia.

4
2.4.2 Pemeriksaan radiologi

Foto Thoraks

Pada tanggal 18 april 2018 di RS Siloam, didapatkan cardiomegali

disertai tanda udema paru

Gambar 1. Foto thoraks pasien menunjukkan cardiomegali disertai tanda

udema paru (24/04/2018)

2.5 EKG :

Gambar 2. Pemeriksaan rekam EKG didapatkan SR HR 87 kali. LVH Iskemik

anteroseptal

5
2.6 Echocardiografi

Pemeriksaan echocardiografi tanggal 24 april 2018 didapatkan :

1. Fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan baik, EF 55,5 %

2. Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik

3. Disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat sedang

2.7 Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, pasien

didiagnosis masuk dengan gagal jantung kongestif + gagal napas akut + obesity

hypoventilation syndrome.

2.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding pasien ini :

1. Gagal jantung kongestif + gagal napas akut

2.9 Penegakan diagnosis

Diagnosis banding pasien ini adalah gagal jantung kongestif + gagal

napas akut karena didapatkan tanda tanda udema paru, berdasarkan pemeriksaan

fisis adanya ronkhi basah halus di basal paru bilateral disertai pemeriksaan

penunjang foto thoraks dengan tanda tanda udema paru, dan pasien dengan

morbid obesitas merupakan resiko terjadinya CHF. Dari pemeriksaan analisa gas

darah, didapatkan hipoksemia (PO2 : 76 ), dan asidosis respiratorik terkompensasi

sempurna ( pH : 7,46 ; PCO2 : 83,6 ; HCO3:60,1).

6
CHF dapat menyebabkan gagal napas akut hipoksemia akibat terjadinya

udema paru yang menyebabkan difusi oksigen dari alveolus ke kepiler menjadi

terganggu. Gangguan difusi oksigen ini terjadi akibat adanya akumulasi cairan di

intertisiel paru akibat penigkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang

disebabkan oleh gagal jantung kanan13. Secara patofisiologis, akan terjadi

penurunan tekanan oksigen dalam kapiler paru yang nantinya akan kembali

melalui vena pulmonalis dan dipompakan ke dalam sirkulasi13. Udema paru tidak

menyebabkan gangguan dalam difusi CO2 dari kapiler ke alveolus disebabkan

CO2 jauh lebih larut 20 kali dalam cairan tubuh dibandingkan dengan O2.

Sehingga pada udema paru, akan didapatkan penurunan PaO2 dengan PaCO2

normal atau menurun14,11. Pada pemeriksaan analisa gas darah pasien ini,

didapatkan adanya hipoksemia, yang bisa saja terjadi akibat udema paru ataupun

pada pasien OHS, dan asidosis respiratorik terkompensasi sempurna. Pada pasien

dengan udema paru kardiogenik, tidak terjadi peningkatan PaCO2 karena udema
11,12
paru sedikit berpengaruh pada difusi CO2 . pH darah yang normal karena

kompensasi metabolik dengan peningkatan ion bikarbonat merupakan kompensasi

kronik dari asidosis respiratorik. Tanda tanda dari analisa gas darah ini lebih

sesuai pada pasien dengan OHS dengan gagal napas akut.

Perubahan pada pH, PCO2, PO2 dalam darah akan direspon oleh pusat

ventilasi untuk mempertahankan keadaan homeostasis. Terdapat dua kelompok

reseptor pada sistem respirasi, yaitu reseptor sentral, dan reseptor perifer.

Reseptor sentral terletak di pons dan medula oblongata, sementara reseptor perifer

terletak di carotid body dan aortic body. Kedua reseptor ini akan menyesuaikan

7
ventilasi berdasarkan informasi yang terutama berupa perubahan pH, PCO2 dan

PO2 dalam darah. Kemoreseptor sentral pusat respirasi sensitif terhadap

perubahan pH dan tidak terhadap perubahan PCO2 ataupun PO2. Jika terjadi

keadaan asidosis, baik karena metabolik ataupun respiratorik, kelebihan ion H+ ini

akan menyebabkan hiperventilasi yang bertujuan untuk mengeluarkan CO2 dan

menyediakan sistem buffer HCO3 untuk kembali menormalkan pH. Hipoksemia

tidak menyebabkan hiperventilasi langsung dari pusat pernapasan. Reseptor

perifer, carotid body dan aortic body, sensitif terhadap perubahan PO2 dan PCO2.

Jika terjadi hipoksemia, maka sinyal akan dikirimkan dari reseptor perifer ke

pusat pernapasan untuk meningkatkan ventilasi14.

Pada pasien udema paru kardiogenik, terjadi penurunan PO2 akibat

akumulasi cairan di intertisiel alveolus mengganggu difusi oksigen. Penurunan

PO2 ini ( <60 mmHg) menyebabkan rangsangan dari aortic dan carotid body

untuk meningkatkan ventilasi dengan tujuan meningkatkan ventilasi alveolar

sehingga PO2 kembali normal14. Peningkatan ventilasi ini menyebabkan CO2

banyak terbuang melalui ekspirasi sehingga gambaran yang paling banyak

ditemukan menyertai udema paru kardiogenik adalah alkalosis respiratorik dengan

penurunan PCO2 dalam darah. Asidosis juga bisa ditemukan pada pasien dengan

udema paru kardiogenik tetapi lebih banyak dengan asidosis metabolik yang

terjadi akibat metabolisme anaerob sel akibat kekurangan oksigen11. Pada pasien

ini hasil analisa gas darah menunjukkan hipoksemia yang disertai dengan asidosis

metabolik yang terkompensasi sempurna. Keadaan ini tidak sesuai dengan

8
gangguan asam basa yang banyak terjadi pada udema paru kardiogenik akibat

gagal jantung kongestif.

Pada OHS, terjadi hiperkapnia kronik yang disebabkan oleh gabungan

beberapa faktor yaitu gangguan mekanik paru , peningkatan usaha bernapas,

penumpulan respon pusat ventilasi, resistensi leptin. Obesitas akan menyebabkan

berkurangnya volume paru mulai dari kapasitas vital, volume tidal, volume residu

fungsional, dan closing capacity, serta menurunnya komplians paru. Hal ini

menyababkan peningkatan usaha bernapas untuk mempertahankan rasio ventilasi

perfusi. Pada obesitas eukapnik, gangguan mekanik paru ini dapat diimbangi

dengan peningkatan usaha bernapas yang di kendalikan oleh pusat ventilasi. Pada

obesitas hiperkapnia, pusat ventilasi menjadi tumpul disebabkan oleh hiperkapnia

yang kronik telah di adaptasikan dengan peningkatan bikarbonat serum sehingga

pH darah tetap normal. Pusat pernapasan sentral hanya sensitif terhadap

perubahan pH dibanding PCO2, sehingga dengan pH normal, walaupun terjadi

peningkatan PCO2 darah, tidak terjadi peningkatan ventilasi. Leptin merupakan

hormon yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi menekan pusat

makan dan merangsang ventilasi. Pada obesitas hiperkapnia, diperkirakan terjadi

resistensi terhadap leptin.

Gangguan mekanik paru dan tumpulnya pusat ventilasi menyebabkan

hipoventilasi kronik pada pasien OHS. Pada awalnya akan terjadi kenaikan PCO2

yang dikompensasi dengan peningkatan HCO3. Hipoventilasi pada akhirnya dapat

menyebabkan gangguan rasio ventilasi perfusi, dan jika berat dapat menyebabkan

hipoksemia sampai gagal napas akut. Sebagian besar OHS didiagnosis saat masuk

9
rumah sakit dengan gagal napas akut. Pada pasien ini, dengan keadaan morbid

obese dengan IMT 62 kg/m2, hiperkapnia telah terjadi kronik dan terkompensasi

dengan peningkatan bikarbonat, namun terjadi hipoksemia yang bisa disebabkan

oleh kumpulan penyebab hipoventilasi pada pasien dengan obesitas. Hal ini

diperberat dengan posisi berbaring dimana sebelumnya pasien sadar dan dirawat

dengan keluhan nyeri pada kaki, yang menyebabkan sebagian besar waktunya

berbaring, menyebabkan gangguan mekanik dan usaha bernapas menjadi lebih

berat.

Berdasarkan beberapa hal diatas, OHS merupakan penyebab hipoksemia

dan gagal napas akut pada pasien ini, namun gagal jantung tidak dapat

disingkirkan.

2.10 Penatalaksanaan

Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi dengan gagal napas akut . Dari

pemeriksaan laboratorium analisa gas darah, didapatkan asidosis respiratorik

terkompensasi sempurna dan hipoksemia. Maka diinstruksikan

1. Oksigen via NIV mode CPAP PEEP 8, PS 10, FiO2 80%

2. IVFD Ringer Laktat 500 ml/24 jam

3. F : puasa

4. A: -

5. S : Dexmedetomidine

6. T : -,

7. H : posisi setengah duduk, head elevation 30o

10
8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv

9. G : target GDS 120-180 mg/dL

10. Furosemide 40 mg/8jam/iv

11. Ceftriaxon 2 gr/24j/iv

2.9 Perawatan hari 1 (22/04/18)

S : sesak napas berkurang

 B1 : O2 via Ventilator NIV mode CPAP, PEEP 8 PS 10 FiO2 80%  RR

27 x/mnt, TV 470 ml, SpO2 99%, etCO2 61

 B2 : BP : 130/80 mmHg, HR 92 x/mnt reguler kuat angkat

 B3 : GCS 14 E3M6V5 pupil bulat isokor, refleks cahaya positif cepat

 B4 : urine perkateter 80 cc/jam warna kuning jernih

 B5 : perut supel, peristaltik normal

 B6 : udema peritibial ada

Pemeriksaan lab :

AGD : pH 7.457; pCO2 77.7; pO2 87.4; SO2 96.1; HCO3 55.4; BE 31.3

A : CHF + Gagal napas akut + obesity hypoventilation syndrome

P:

1. Oksigen via NIV mode CPAP PEEP 8, PS 10, FiO2 60%

2. IVFD Ringer Laktat 500 ml/24 jam

3. F : puasa

11
4. A: -

5. S : Dexmedetomidine

6. T : -,

7. H : posisi setengah duduk, head elevation 30o

8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv

9. G : target GDS 120-180 mg/dL

10. Furosemide 40 mg/8jam/iv

11. Ceftriaxon 2 gr/24j/iv

Perawatan Hari 2 (23/04/2018)

S : sesak napas

 B1 : O2 via Ventilator NIV mode CPAP, PEEP 8 PS 10 FiO2 60%  RR

28 x/mnt, TV 470 ml, SpO2 99%, etCO2 57

 B2 : BP : 120/70 mmHg, HR 82 x/mnt reguler kuat angkat

 B3 : GCS 15 E4M6V5 pupil bulat isokor, refleks cahaya positif cepat

 B4 : urine perkateter 80 cc/jam warna kuning jernih

 B5 : perut supel, peristaltik normal

 B6 : udema peritibial ada

Pemeriksaan lab :

AGD : pH 7.454; pCO2 80.4; pO2 97.5; SO2 97.2; HCO3 57.0; BE 32.9

A : CHF + Gagal napas akut + obesity hypoventilation syndrome

12
P:

1. Oksigen via NIV mode CPAP PEEP 8, PS 10, FiO2 60%

2. IVFD Ringer Laktat 500 ml/24 jam, D 5% 500 ml/24jam

3. F : Peptisol 4 x 100 ml

4. A: -

5. S : -

6. T : -,

7. H : posisi setengah duduk, head elevation 30o

8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv

9. G : target GDS 120-180 mg/dL

10. Furosemide 40 mg/8jam/iv

11. Ceftriaxon 2 gr/24j/iv

Perawatan Hari 4 (25/04/2018)

S : Sesak berkurang

 B1 : O2 via Ventilator NIV mode CPAP, PEEP 8 PS 10 FiO2 60%  RR

30 x/mnt, TV 470 ml, SpO2 100%, etCO2 36

 B2 : BP : 120/70 mmHg, HR 82 x/mnt reguler kuat angkat

 B3 : GCS 15 E4M6V5 pupil bulat isokor, refleks cahaya positif cepat

 B4 : urine perkateter 80 cc/jam warna kuning jernih

 B5 : perut supel, peristaltik normal

 B6 : udema peritibial ada

13
Pemeriksaan lab :

AGD : pH 7.457; pCO2 75.7; pO2 110.6; SO2 98.9; HCO3 50.5; BE 25.6

A : CHF + Gagal napas akut + obesity hypoventilation syndrome

P:

1. Oksigen via NRM 8 ltr/mnt

2. IVFD Ringer Laktat 500 ml/24 jam, D 5% 500 ml/24jam

3. F : diet lunak

4. A: -

5. S : -

6. T : -,

7. H : posisi setengah duduk, head elevation 30o

8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv

9. G : target GDS 120-180 mg/dL

10. Furosemide 40 mg/8jam/iv

11. Ceftriaxon 2 gr/24j/iv

Perawatan Hari 5 (26/04/2018)

S : Sesak berkurang

 B1 : O2 via NRM 8 ltr/mnt

 B2 : BP : 120/70 mmHg, HR 82 x/mnt reguler kuat angkat

14
 B3 : GCS 15 E4M6V5 pupil bulat isokor, refleks cahaya positif cepat

 B4 : urine perkateter 80 cc/jam warna kuning jernih

 B5 : perut supel, peristaltik normal

 B6 : udema peritibial ada

Pemeriksaan lab :

AGD : pH 7.484; pCO2 60.0; pO2 118.6; SO2 98.7; HCO3 45.5; BE 21.8

A : CHF + obesity hypoventilation syndrome

P:

1. Oksigen via nasal kanul 4 ltr/mnt

2. IVFD Ringer Laktat 500 ml/24 jam

3. F : diet lunak

4. A: -

5. S : -

6. T : -,

7. H : posisi setengah duduk, head elevation 30o

8. U: -

9. G : target GDS 120-180 mg/dL

10. Furosemide 40 mg/12jam/iv

11. Ceftriaxon 2 gr/24j/iv

15
Tabel 3. Pemeriksaan AGD, terapi, dan keadaan klinis
pasien selama perawatan

Tanda dan
Tanggal pH PO2 PCO2 HCO3 EtCO2 Terapi
gejala
Penurunan
kesadaran GCS
13 E3M6V4, NIV mode
21 RR 24x/mnt, 7.461 76.6 83.6 60.1 CPAP PEEP 8
ronkhi basal PS 10 FiO2 80%
paru, SpO2
88%
GCS 14
NIV mode
E3M6V5,
22 7.457 87.4 77.7 55.4 61 CPAP PEEP 8
Ronkhi -/-
PS 10 FiO2 60%
SpO2 99%
GCS 15 NIV mode
23 E4M6V5, SpO2 7.454 97.5 80.4 57.0 57 CPAP PEEP 8
99% PS 10 FiO2 60%
GCS 15 NIV mode
24 E4M6V5, SpO2 7.386 108.6 94.5 57.1 45 CPAP PEEP 8
99% PS 10 FiO2 60%
GCS 15
O2 Via NRM 8
25 E4M6V5, SpO2 7.457 110.6 75.7 50.5 36
ltr/mnt
100%
GCS 15
O2 via nasal
26 E4M6V5, SpO2 7.484 118.1 60.0 45.5
kanul 4 ltr/mnt
100%

III. Diskusi

3.1 Obesitas

Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan obesitas sebagai akumulasi

lemak abnormal atau berlebihan dalam jaringan adiposa yang berakibat pada

gangguan kesehatan lebih lanjut. Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas

digolongkan berdasarkan BMI1. Body Mass Index merupakan alat ukur yang

paling berguna untuk mengukur tingkat overweight dan obesitas yang sama untuk

16
kedua jenis kelamin dan untuk semua usia dewasa. Namun, dapat dianggap

sebagai panduan kasar karena dapat tidak sesuai dengan derajat kegemukan yang

sama pada individu yang berbeda. Nilai BMI diperoleh melalui penghitungan

berat badan dalam kilogram di bagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat atau

dapat dirumuskan sebagai berikut13

BMI = Berat badan (kilogram)


[Tinggi badan (meter)]2

Definisi dari WHO adalah:

BMI 18-25 adalah normal

BMI > 25-30 adalah overweight

BMI> 30 adalah obesitas.

BMI normal berkisar 18.5-24.9, over weight 25.0-29.9, obesitas > 30-34,9,

dan BMI > 40 kg/m2 sebagai extreme obesity.

Tabel 3. : Klasifikasi Obesitas14

BMI (kg/m2) Deskripsi Kelas obesity

< 18,5 Under weight

18,5-24,9 Normal

25,0-29,9 Over weight

30,0-34,9 Obesity I

35,0-39,9 Morbid obesity II

>40 Extreme obesity III

17
Pasien pada laporan kasus ini termasuk dalam extreme obesity pada

klasifikasi obesitas WHO, atau pada beberapa modifikasi definisi obesitas dari

WHO, pasien ini termasuk dalam super obese dengan BMI ≥ 50 kg/m2

Obesitas terbagi atas obesitas android dan obesitas ginekoid13

1. Tipe android (obesitas sentral)

Pada obesitas android, umumnya laki-laki, distribusi lemak terpusat pada

badan (sentral) disebut juga obesitas abdominal. Pada tipe ini jaringan lemak

dominan di tubuh bagian atas (distribusi trunkal) dan berhubungan dengan

peningkatan komsumsi oksigen dan peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler.

2. Tipe ginekoid (obesitas perifer)

Pada tipe ini jaringan lemak dominan terdapat di paha, gluteal dan pinggul

(lemak secara metabolik kurang aktif sehingga kurang berhubungan erat dengan

penyakit kardiovaskuler). Deposit lemak abdominal lebih aktif dalam

metabolisme daripada lemak perifer (pada panggul, bokong, paha) yang terdapat

pada obesitas ginekoid, umumnya perempuan. Karena sifat yang lebih aktif

metabolismenya, obesitas android berhubungan dengan insidens yang lebih tinggi

penyakit komplikasi metabolik seperti disiplidemia, intoleransi glukosa, diabetes

mellitus, penyakit jantung iskemik, penyakit jantung kongestif, stroke dan

peningkatan konsumsi O2 dibandingkan dengan obseitas ginekoid13.

Walaupun pasien ini adalah wanita, namun penyebaran lemak tubuhnya

termasuk dalam tipe obesitas android, yang berhubungan dengan peningkatan

insiden penyakit kardiovaskuler dan peningkatan konsumsi oksigen tubuh. Tipe

18
obesitas sentral juga merupakan predisposisi terjadinya perubahan dan patologi

pada sistem respirasi.

3.2 Patofisiologi pada pasien obesitas

3.2.1 Sistem Respirasi

Obesitas, terutama jika termasuk dalam super obese, berhubungan dengan

perubahan yang signifikan pada mekanik paru dan kerja otot otot pernapasan,

dimana perubahan ini lebih besar terjadi pada pasien dengan sindrom

hipoventilasi jika dibandingkan dengan pasien yang sama dengan eukapnik.

Pernapasan dengan volume paru yang kecil menurunkan kompliance paru dan

dinding dada serta meningkatkan resistensi jalan napas. Ketika volume cadangan

ekspirasi menjadi rendah, penutupan jalan napas kecil dan terjadi air trapping,

menghasilkan aliran ekspirasi yang terbatas dan menyebabkan terjadin intrinsik

PEEP. Perubahan ini lebih nyata terjadi pada posisi supine dan menyebabkan

peningkatan work of breathing. Peningkatan work of breathing ini lebih besar

terjadi pada posisi duduk atau supine pada pasien dengan OHS jika dibandingkan

dengan pasien dengan berat badan yang sama yang eukapnik.3

Ada beberapa mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan mengapa

pengaruh terhadap sistem respirasi terjadi lebih besar pada pasien dengan OHS

dibandingkan dengan pasien dengan BMI yang sama dengan eukapnik. Pertama,

pasien dengan OHS, performa otot pernapasan mungkin terpengaruh oleh

gangguan biokimia yang disebabkan oleh hipoventilasi ( asidosis dan

hipoksemia). Kedua, pasien dengan OHS memiliki distribusi lemak lebih sentral

19
dari pada pasien obese dengan eukapnik, yang dapat dilihat dari ukuran lingkar

leher yang lebih besar dan rasio lingkar pinggang dan hip yang lebih besar, yang

menyebabkan pergeseran diafragma ke atas, yang mengganggu mekanik paru, dan

semakin buruk pada posisi berbaring. Ketiga, distribusi sentral jaringan lemak

menyebabkan penurunan volume paru yang lebih besar dari pada distribusi lemak

perifer. Ketiga faktor diatas bersama sama menyebabkan patologi pada pasien

obese dengan OHS.3

Pada pasien ini, distribusi lemak tubuh lebih banyak pada daerah sentral

serta memiliki riwayat OSA sebelumnya. Pasien mengorok malam hari dan

sering terbangun, serta mengantuk pada siang hari. Temuan klinis ini merupakan

rasiko terjadinya OHS pada pasien ini.

Penderita obesitas memiliki efisiensi otot pernapasan dibawah nilai

normal. Penurunan compliance paru berakibat penurunan FRC, Vital Capacity

(VC) dan Total Lung Capacity (TLC). Penurunan FRC akan berakibat penurunan

Exspiratory Reserve Volume (ERV), yang mana hubungan Antara FRC dan

closing capacity terjadi lebih cepat13.

Penurunan ERV berakibat berkurangnya FRC pada anestesi umum pada

penderita obese, sehingga hubungan perbandingan FRC dan closing capacity

menjadi tidak baik. Penurunan FRC dan ERV adalah hal yang umum terjadi pada

fungsi paru pasien obesitas. Pengurangan FRC (akibat penurunan ERV) dapat

berakibat volume paru di bawah closing capacity dalam keadaan ventilasi dengan

volume tidal normal, berakibat penutupan jalan napas yang kecil, missmatch

ventilasi perfusi, shunting right to left dan hipoksemia arterial. Tindakan anestesi

20
umum mengakibatkan penurunan FRC sebanyak 50% pada pasien obesitas, 30 %

lebih banyak dari pada akibatnya pada orang normal yang hanya 20%. Forced

Expiration Volume (FEV) dalam sedetik dan FVC biasanya dalam batas normal.

Expiration Reserve Volume adalah indikator paling sensitif sebagai efek obesitas

pada fungsi paru13.

Gambar 3. Efek obesitas, posisi dan anestesi pada volume paru14

Dikutip dari Ogunnaike BO, Whitten CW. Evaluation of the obese patient. In :
Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. 2 nd ed.
New York : Mc Graw Hill Medical. 2012. Page 301-15

Banyak manifestasi sindrom obstruksi jalan napas selama tidur pada

pasien obesitas. Hal ini dapat diklasifikasikan atas tiga kategori,

- Obstructive sleep apnea (OSA)

Terhentinya aliran udara lebih dali sepuluh detik yang terjadi lebih dari empat kali

dalam 1 jam tidur, adanya usaha respirasi melawan penutupan glotis, dan disertai

penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%.

- Obstructive sleep hypopnea

Penurunan 50% aliran udara selama >10 detik yang terjadi >14 kali selama satu

jam tidur, berhubungan dengan snoring dan disertai desaturasi 4%.

21
- Upper airway resistance

Timbulnya respon meningkatkan resistensi jalan nafas tanpa peningkatan Apnea

hypopnea index (AHI). Apnea hypopnea index adalah jumlah periode apnea dan

hypopnea perjam yang digunakan untuk menilai derajat beratnya OSA. Berat jika

lebih dari 30, ringan jika antara 5-15 dan sedang jika antara 16-3014.

3.2.2 Sistem Kardiovaskuler

Total volume darah meningkat pada penderita obesitas, akan tetapi

perbandingan volume dengan berat badan pada penderita obesitas lebih rendah

dibandingkan individu normal (50 ml/kg : 70 ml/kg). Sebagian besar volume ini

terdistribusi ke jaringan lemak. Aliran darah renal dan lien meningkat. Cardiac

output (COP) meningkat 20-30 ml/kg karena peningkatan berat, akibat dilatasi

ventrikel dan stroke volume yang meningkat. Peningkatan tekanan pada dinding

ventrikel mengakibatkan hipertrofi, berkurangnya compliance dan pemburukan

pengisian ventrikel (terjadi penurunan fungsi diastolik dengan seiring peningkatan

tekanan ventrikel kiri dan diastolik serta udem pulmonal, tetapi ketika dinding

ventrikel kiri gagal mempertahankan dilatasinya, dapat terjadi disfungsi sistolik

[kardiomiopati obesitas] dan kemudian kegagalan biventrikular)13.

22
Gambar 4 Hubungan antara obesitas, fungsi kardiovaskuler, dan pulmonal; OSA,

OHS, LV, RV13

Dikutip dari : Ogunnaike BO, Whitten CW. Anesthesia and Obesity. In: Barash PG, Cullen FB,
Stoelting RK, Calahan MK, Stock MK, editors, Clinical Anestehesia. 6 th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wilkins. 2009. Page 754-68

Obesitas memicu aterosklerosis. Gejala seperti angina dan sesak napas

terjadi hanya saat beraktifitas, sehingga sering tampak asimtomatis pada pasien

obesitas yang jarang beraktifitas13.

3.2.4 Sistem Lain

Obesitas dikaitkan dengan patofisiologi gastrointestinal. Peningkatan

volume asam lambung, PH lambung yang rendah dan peningkatan tekanan intra

abdominal meningkatkan risiko terjadinya aspirasi isi lambung. Pada hepar,

Infiltrasi lemak juga muncul dan dikaitkan dengan macrovesikuler fatty liver yang

23
ireversibel dengan penurunan berat badan, akan tetapi dapat menjadi hepatitis dan

sirosis secara progresif jika tidakditerapi. Infiltrasi lemak ini ini dapat dideteksi

dengan tes fungsi hepar, namun perluasan infiltrasi tidak berhubungan dengan

derajat abnormalitas tes hepar11.

Obesitas meningkatkan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus

sehingga terjadi hiperfiltrasi glomerulus. Kelebihan berat badan meningkatkan

reabsorbsi tubular renal dan penyaringan natrium meningkat akibat aktivasi sistem

simpatis dan renin angiotensin akibat tekanan pada ginjal. Dengan obesitas yang

lama, terjadi penurunan fungsi nefron dan kemudian perburukan ekskresi natrium

dan peningkatan tekanan darah. Hiperfiltrasi glomerulus pada obesitas berkurang

sesuai dengan penurunan berat badan, yang mana akan menurunkan insiden

glomerulopati yang berlebihan13.

Hipotiroid subklinis terjadi pada 25% kasus obesitas. TSH biasanya

meningkat, sehingga meningkatkan kecendeungan resistensi hormon tiroid pada

jaringan perifer. Hipotiroid bisa berhubungan dengan hipoglikemia, hiponatremia,

dan metabolisme obat di hepar menjadi lambat. Pengurangan kebutuhan tiroksin

terlihat pada penurunan BMI13.

Obesitas meningkatkan risiko resistensi insulin dan diabetes. Lebih dari

10% pasien obesitas menegalami abnormalitas pada test toleransi glukosa yang

meningkatkan risiko infeksi luka dan infark miokard selama periode iskemik

miokard. Kontrol kadar gula darah perioperatif menjadi penting dan bisa jadi sulit

dilakukan. Walaupun penurunan berat badan preoperatif dapat menurunkan

24
risikonya, akan tetapi rata-rata pasien yang akan menjalani pembedahan elektif

gagal mencapai penurunan berat badan yang signifikan13.

3.3 Obesity Hypoventilation Syndrome

Sindrom hipoventilasi pada obesitas ( Obesity Hypoventilation Syndrome

) adalah terjadinya hiperkapnia pada keadaan sadar ( PaCO2 > 45mmHg) pada

pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2) tanpa ada penyebab hipoventilasi lainnya(1).

Gejala lainnya adalah peningkatan kadar bikarbonat serum (> 27mmol) tanpa

adanya penyebab alkalosis metabolik yang didapatkan, hipoventilasi nokturnal

tanpa adanya hiperkapnia, dapat berguna untuk mengenali perjalanan awal dari

sindrom ini(3).

Tabel 4. Batasan definisi Obesity Hypoventilation Syndrome12

Kondisi yang dibutuhkan Deskripsi


Obesitas BMI ≥ 30 kg/m2
Hipoventilasi kronik Hiperkapnia di siang hari saat terbangun ( PaCO2 ≥45 mmHg)
Sleep-disorder breathing indeks obstructive sleep apnea-hypoapnea ≥5 kali/jam dengan
atau tanpa hipoventilasi saat tidur) terjadi pada 90% kasus
Non obstructive sleep apnea-hypoapnea < 5kali/jam pada 10%
kasus
penyakit obstruksi saluran napas berat
Eksklusi dari penyebab lain Penyakit paru intertisialberat
hiperkapnia kelainan dinding dada berat
hipotiroidisme berat
penyakit neuromuskular
sindrom hipoventilasi sentral kongenital

Dikutip dari : Mokhlesi Babak. Obesity hypoventilation syndrome : A state of the art review. Resp
Care.2010; 55 (10) : 1347-65

25
3.3.1 Patofisiologi OHS 4

Patofisiologi yang tepat untuk menjelaskan pasien obesitas mengalami

sindrom hipoventilasi belum dapat didefinisikan dengan jelas. Sindrom ini dapat

terjadi akibat interaksi yang kompleks dari pengaruh obesitas pada mekanik

respirasi, kontrol pusat ventilasi yang abnormal, kelainan pernapasan saat tidur,

dan kelainan hormonal3.

Pada perkiraan awal, terlihat jelas bahwa adanya perubahan pada mekanik

paru pada pasien obesitas akan menjelaskan terjadinya hipoventilasi siang hari

melalui perubahan sederhana pada ventilasi. Pasien dengan OHS menunjukkan

penurunan volume paru yang lebih besar, penurunan performa otot-otot

pernapasan, dan pengurangan komplaians paru yang lebih besar jika dibandingkan

dengan pasien obesitas yang eukapnik. Perubahan ini merupakan kontribusi dari

penyebaran lemak tubuh pada bagian sentral tubuh, dan menurunnya fungsi

diafragma dalam membantu pernapasan pada keadaan tertidur datar. Keadaan

tersebut menyebabkan peningkatan usaha bernapas bahkan pada saat istrahat.

Untuk mengurangi beban pernapasan dan mengoptimalkan konsumsi oksigen

untuk usaha bernapas, maka pasien OHS akan beradaptasi dengan pernapasan

yang cepat namun dangkal, dimana hal ini menyebabkan retensi CO2 melalui

peningkatan rasio ruang rugi pernapasan dengan volume tidal. Studi terbaru

mendapatkan pada pasien dengan produksi CO2 berlebihan berhubungan dengan

peningkatan aktivasi simpatis atau peningkatan laju metabolisme basal yang

berhubungan dengan luas permukaan tubuh.3

26
Pasien dengan OHS tidak mampu berespon terhadap peningkatan beban

sistem respirasi melalui peningkatan pusat neuromuskular pernapasan untuk

menjaga ventilasi alveolar yang adekuat. Respon ventilasi terhadap hipoksia dan

hiperkapnia juga menjadi tumpul. Hal ini mungkin saja terjadi akibat peningkatan

bikarbonat selama peningkatan CO2 sementara pada saat tidur.3

Walaupun patofisiologi OHS belum sepenuhnya dimengerti, yang tampak

adalah kegagalan mekanisme kompensasi normal yang seharusnya terjadi sebagai

konsekuensi dari kelebihan berat badan pada sistem respirasi.3

3.3.2 Mekanik sistem respirasi

Gangguan mekanik sistem pernapasan yang signifikan dapat ditemukan

pada pasien dengan OHS jika dibandingkan dengan pasien dengan obesitas tanpa

hiperkapnia pada siang hari. Terjadi penurunan volume total paru, kapasitas vital,

kapasitas residual fungsional, dan peningkatan volume residu. Pasien obesitas

dengan penyebaran lemak lebih pada daerah atas tubuh akan mengalami

perubahan volume paru yang lebih berat, yang menunjukkan bahwa distribusi

lemak juga berpengaruh pada patofisiologi OHS.4

Penurunan komplaians sistem respirasi dan peningkatan resistensi jalan

napas menyebabkan pasien dengan sindrom hipoventilasi obesitas harus

mempertahankan peningkatan usaha bernapas dan kebutuhan oksigen untuk itu.

Hal ini dapat menyebabkan kelelahan otot pernapasan.4

27
3.3.3 Kontrol Pusat Ventilasi

Beberapa data menunjukkan abnormalitas dari kontrol respirasi juga

merupakan salah satu penyebab sindrom hipoventilasi ini. Pasien dengan sindrom

hipoventilasi pada obesitas dapat mencapai keadaan eukapnia atau bahkan

hipokapnia selama ventilasi sadar, menyiratkan bahwa perubahan semata-mata

pada mekanik sistem respirasi bukan merupakan penyebab hipoventilasi. Lebih

jauh lagi, para peneliti telah menemukan abnormalitas pada respon pusat ventilasi

hiperkapnik dan hipoksemik, yang merupakan ukuran pada kontrol pusat

ventilasi.4

Rasio perubahan respon elektromiogram diafragma terhadap peningkatan

konsentrasi karbondioksida yang dihirup ( ∆EMG/∆PCO2) dapat dianggap sebagai

pengukuran langsung pada pusat ventilasi. Pasien dengan obesitas sederhana

menunjukkan peningkatan respon ventilasi, sedangkan pasien dengan sindrom

hipoventilasi memiliki respon yang sama pada pasien non obesitas. Penemuan ini

menunjukkan bahwa pasien obesitas eukapnik beradaptasi dengan peningkatan

pusat rangsangan ventilasi yang diperlukan untuk mengkompensasi restriksi

mekanik ventilasi pada obesitas, sedangkn pada pasien dengan sindrom

hipoventilasi, mekanisme kompensasi ini kurang atau tidak ada.4

3.3.4 Sindrom Obstructive sleep apnea-hypoapnea dan penurunan respon

ventilasi

Terdapat hubungan yang bermakna antara obstructive sleep apnea-

hypoapnea syndrome dengan sindrom hipoventilasi pada obesitas. Walapun

28
belum jelas mengapa hanya 10% sampai 15% pasien dengan sleep apnea-

hypoapnea berkembang menjadi hipoventilasi, telah di postulatkan bahwa sleep

apneu-hypoapneu dapat menyebabkan depresi respon ventilasi dan hipoventilasi.4

Paparan kronik terhadap hipoksia dan fragmentasi tidur dapat menurunkan

respon pusat ventilasi. Pasien dengan penyakit jantung sianotik mengalami

penurunan respon ventilasi hipoksik, yang akan kembali normal jika dilakukan

koreksi shunt hipoksemianya. Manusia sehat dengan paparan kronik terhadap

hipoksia pada dataran tinggi mengalami penurunan respon pusat ventilasi

hipoksik dan hiperkapnik.4

Pada sindrom sleep apnea-hypopnea, kejadian apnea menyebabkan

hipoksemia saat tidur, hiperkapnia dan meningkatnya usaha bernapas. Hal ini

menyababkan arousal, yang bertujuan memperbaiki patensi jalan napas atas dan

menormalkan tekanan gas darah. Namun demikan, apnea dan arousal yang sering

terjadi menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom sleep apnea-

hypopnea, paparan kronik terhadap hipoksemia dan fragmentasi tidur, pada

beberapa individu, menyebabkan menurunnya respon pusat ventilasi dan

hipoventilasi.4

Terdapat bukti yang mendukung teori ini. Pasien dengan sindrom sleep

apnea-hypopnea ( dan eukapnia pada siang hari) menunjukkan penambahan

rangsangan ventilasi dengan adanya volume tidal yang besar setelah fase apnea,

sedangkan pasien dengan sidrom hipoventilasi pada obesitas tidak menunjukkan

respon kompensasi ventilasi setelah apnea. Lebih jauh lagi, tingkat beratnya

29
hiperkapnia berhubungan dengan beratnya abnormalitas respirasi yag disebabkan

oleh kelainan saat tidur, pengaruh mekanik pada sistem respirasi dan derajat

hipoksemia pada siang hari.4

3.3.5 Leptin dan respon ventilasi

Bukti bukti terbaru menunjukkan leptin dapat berpengaruh pada

patogenesis sidrom hipoventilasi pada obesitas. Leptin diproduksi oleh jaringan

adiposa dan bekerja pada reseptor di hipotalamus sebagai penghambat nafsu

makan. Mutasi pada gen yang mengkode protein leptin menyebabkan obesitas

pada tikus dan manusia. Leptin juga bekerja pada pusat pernapasan untuk

merangsang ventilasi, dimana defisiensi leptin berhubungan dengan

hipoventilasi.4

Tikus dengan defisiensi leptin mengalami hipoventilasi, dan pemberian

pengganti leptin menyebabkan perbaikan ventilasi. Pada tikus liar dengan obesitas

karena diet, kadar leptin meningkat 10 kali lipat dan berhubungan dengan

meningkatnya ventilasi. Penemuan ini menunjukkan leptin berfungsi

mempertahankan vetilasi yang adekuat sesuai dengan derajat obesitas.4

Obesitas pada manusia juga berhubungan dengan peningkatan kadar serum

leptin, yang menjelaskan dapat dipertahankannya kedaan eukapnia pada individu

yang obesitas. Pasien obesitas dengan resistensi leptin dapat mengakibatkan

sindrom hipoventilasi, namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk

menunjang teori ini.4

30
Gambar 5. Mekanisme obesitas menyebabkan hiperkapnia kronik di siang hari

Dikutip dari Mokhlesi Babak. Obesity hypoventilation syndrome : A state of the art review. Resp
Care.2010; 55 (10) : 1347-65

Tabel 6. Karakteristik fungsi paru antara obesitas dengan hipoventilasi dan tanpa
hipovetilasi13

Dikutip dari: Verbraecken J, Nicholas, Walter T. Respiratory mechanics and ventilatory control in
overlap syndrome and obesity hypoventilation. Resp Res.2013; 14. 132

31
Terapi OHS

Posisi supine dan anti tredelenburg

Ketika pasien obese dibaringkan terlentang, maka abdomen akan menekan

diafragma keatas yang menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal dan

kolapsnya jalan napas pada bagian dependent paru, menyebabkan penurunan

aliran udara ekspirasi, gas trapping, auto PEEP dan hipoksemia berat. Posisi anti

tredelenberg akan menyebabkan diafragma lebih bebas bergerak dan dapat

memperbaiki volume paru dan mekanik respirasi pada pasien obese.14

Pada pasien ini ventilasi positif dengan posisi anti tredelenberg

memperbaiki mekanik paru dan memperlihatkan perbaikan klinis.

NIV pada gagal napas tipe 2

Ventilasi non invasif (NIV) adalah memberikan bantuan ventilasi

menggunakan masker atau alat lain yang sama tanpa menggunakan alat bantu

napas invasif ( ETT atau trakeostomi). Penggunaan NIV semakin meningkat pada

beberapa tahun terakhir dan merupakan terapi esensial pada pasie dengan gagal

napas terutama pada gagal napas hiperkapnik.14

Gagal napas akut hiperkapnik disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi

alveolar, yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar oksigen dan

karbondoiksida dalam darah tetap normal. Secara konvensional, pH < 7.35 dan

tekanan CO2 (PaCO2) > 50 mmHg merupakan asidosis respiratoris dan

menunjukkan gagal napas hiperkapnik. Gagal napas hiperkapnik dapat terjadi

32
pada beberapa penyakit sistem respirasi seperti PPOK, asma, sistik fibrosis,

bronkiektasis, dan penyakit neuromuskular dan dinding dada, termasuk morbid

obesitas dan kiposkoliosis.14

Hiperkapnia pada pasien obesitas berhubungan dengan peningkatan

mortalitas dan morbiditas. Pada umumnya OHS tidak terdiagnosis dan tidak

mendapatkan terapi. Hiperkapnia kronik juga sulit didapatkan pada pasien obese

pada pemeriksaan rutin ataupun pada operasi elektif. Pasien dengan OHS

biasanya terdiagnosis pada saat mengalami gagal napas tipe hiperkapnik.

Beberapa data penelitian menunjukkan, 40% pasien dengan OHS, didapatkan

pertama kali dengan gejala gagal napas akut hiperkapnik. Sttudi terbaru

menunjukkan sekitar 40% pasien OHS datang dengan gagal napas akut. Pasien

OHS dengan gagal napas akut memiliki angka mortalitas yang tinggi (18%).

Sehingga perlu dipertimbangkan OHS sebagai penyebab gagal napas akut pada

pasien dengan morbid obese.14

OHS merupakan indikasi pemakaian NIV kedua terbanyak pada pasien

obesitas dengan gagal napas akut. Direkomendasikan untuk memulai dengan NIV

pada pasien dengan gagal napas akut yang disebabkan oleh OHS dimana

pemakaian NIV dapat mengurangi insiden pemakain ventilasi mekanik invasif14.

Terapi tekanan positif

Penanganan retensi CO2 di siang hari dapat dicapai dengan terapi CPAP

saja jika hiperkapnia kronik terjadi sebagian besar oleh adanya obstruksi jalan

napas atas. Keterbatasan aliran udara yang menyebabkan periode hipoventilasi

33
juga dapat terjadi pada OHS dan juga berespon terhadap terapi CPAP dengan

memberikan tekanan yang tepat. Pada kebanyakan kasus, titrasi CPAP menjadi

pendekatan awal terapi, peningkatan saturasi oksigen dan pencegahan

meningkatnya kadar CO2 malam hari merupakan tujuan terapi. Tekanan yang

diberikan dititrasi keatas untuk mencegah apnea, hypoapnea, dan snoring dan

untuk menstabilkan saturasi oksigen. Jika dengan CPAP tidak mencapai saturasi

oksigen yang diinginkan ( SpO2 90% atau lebih tinggi), terapi diubah ke bilevel

(BIPAP) dimana tekanan pada jalan napas diberikan pada saat inspirasi (IPAP)

dan ekspirasi (EPAP) dan diatur secara terpisah. EPAP membantu menghilangkan

kejadian obstruksi sehingga memperbaiki ventilasi, dan IPAP memberikan

tekanan diatas EPAP dan berfungsi memperbaiki ventilasi alveolar. Perbedaan

tekanan 6 sampai 7 mmHg antara EPAP dan IPAP biasanya dibutuhkan untuk

mencapai target saturasi yang diinginkan. Berdasarkan pendekatan ini, beberapa

laporan menunjukkan 20 sampai 50% pasien dengan OHS gagal dengan terapi

CPAP dan membutuhkan terapi bilevel dalam jangka panjang. Namun demikian

beberapa studi yang lebih kecil, membandingkan terapi CPAP dan bilevel dalam

jangka waktu 3 bulan mendapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara

terapi tersebut dalam kadar CO2 saat terbangun, komplians saat terapi, atau

ngantuk pada siang hari. Pada beberapa studi, inisiasi terapi dengan bilevel,

beberapa individu dapat diterapi dengan efektif dengan CPAP saja. Data yang

lebih banyak dan jangka panjang dibutuhkan untuk menentukan algoritma terapi

yang dapat menjelaskan pasien mana yang dapat diawali dengan terapi CPAP atau

diubah menjadi CPAP setelah mendapatkan terapi bilevel diawalnya.1

34
Manfaat terapi PAP jangka pendek meliputi perbaikan pertukaran gas dan

gangguan pernapasan saat tidur. Penggunaan PAP jangka pendek ( ≤ 3 minggu)

menunjukkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 yang signifikan. Lebih

jauh lagi, pada parameter studi tidur, termasuk apnea-hypoapnea index (AHI) dan

saturasi oksigen selama tidur, dilaporkan membaik secara signifikan.2

Manfaat jangka panjang terapi PAP meliputi perbaikan fungsi paru, dan

pusat respirasi terhadap CO2. Penggunaan terapi PAP selama 24 sampai 48

minggu meningkatkan FEV1 dan FVC. Efek terapi PAP pada pusat respirasi,

diukur dengan perubahan ventilasi semenit pada setiap perubahan end-tidal CO2,

menunjukkan hasil yang menggembirakan.2

Terapi PAP juga menurunkan angka mortalitas pada OHS. Dua studi

retrospektif melaporkan angka kematian 13% sampai 19% pada pasien OHS

dengan terapi PAP, dimana angka ini lebih rendah jika dibandingkan secara tidak

langsung dengan angka kematian 23% yang dilaporkan pada pasien OHS yang

tidak mendapatkan terapi dalam 18 bulan follow up.2

Pada pasien ini, penggunaan CPAP terapi dengan tekanan PEEP 8 mmHg

dan pressure support 10 mmHg menunjukkan perbaikan pada saturasi oksigen dan

penurunan kadar CO2 dalam darah. Penggunaan CPAP di hari pertama dengan

FiO2 80% meningkatkan saturasi oksigen di pulse oxymeter dari 88% menjadi

99% dengan perbaikan pada hasil analisa gas darah di hari pertama terapi CPAP.

PaO2 membaik dari 76.6 menjadi 110.6 di akhir terapi dengan NIV mode CPAP,

dan Pa CO2 juga menurun dari 83.6 menjadi 60.0 di akhir terapi. Penggunaan

35
terapi CPAP jangka panjang mungkin diperlukan oleh pasien untuk

penatalaksanaan jangka panjang. Pilihan terapi CPAP jangka panjang dapat

dilakukan dengan NIV ataupun dengan high flow nasal kanul.

Gambar 6. Algoritma titrasi CPAP pada pasien dengan OHS

Dikutip dari : Chau Edmond H, Mokhlesi Babak, Chung Franches. Obesity hypoventilation
syndrome and anesthesia. Sleep Med Clin.2013;8(1): 135-47

Sebagai ringkasan, terapi PAP dapat memberikan perbaikan pertukaran

gas, gangguan pernapasan saat tidur, fungsi paru, dan pusat pernapasan terhadap

CO2. Penggunaan terapi PAP jangka panjang juga menurunkan angka mortalitas

pada pasien dengan OHS. Melihat sifatnya yang tidak invasif dan efektif, terapi

36
PAP merupakan terapi lini pertama pada pasien OHS. CPAP biasanya merupakan

terapi inisiasi terpilih, jika titrasi CPAP gagal, bilevel PAP harus diaplikasikan.2

Monitoring keberhasilan terapi CPAP pada pasien ini adalah dengan

adanya perbaikan klinis berupa peningkatan tingkat kesadaran, serta hasil analisa

gas darah yang menunjukkan perbaikan oksigenasi disertai penurunan PaCO2

yang menunjukkan perbaikan ventilasi. Terdapat data EtCO2 yang disajikan

diatas, dimana pada keadaan paru normal, EtCO2 kurang lebih mencerminkan

PaCO2 dengan perbedaan 2-5 mmHg lebih rendah. Pembacaan EtCO2 sangat

dipengaruhi oleh produksi CO2 jaringan, transpor CO2, ventilasi dan rasio

ventilasi perfusi. Pada pasien ini, EtCO2 nampaknya jauh lebih rendah dari

PaCO2 (peningkatan gradien PaCO2-EtCO2). Hal ini disebabkan adanya

gangguan rasio ventilasi perfusi dimana pada pasien morbid obese terjadi

peningkatan shunt intrapulmonal akibat adanya alveolus yang kolaps. Shunt ini

menyebabkan penurunan rasio ventilasi perfusi yang EtCO2 terbaca lebih rendah

dari PaCO2. Sehingga penggunaan EtCO2 untuk memperkirakan besarnya PaCO2

pada pasien ini tidak dapat dilakukan, namun demikian, penurunan EtCO2 dapat

dijadikan sebagai monitoring perbaikan ventilasi yang praktis.

IV. Ringkasan

Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan global pada beberapa

dekade, dimana jumlah populasi obesitas dan bahkan super obesitas semakin

meningkat.(1,2) Sindrom hipoventilasi pada obesitas ( Obesity Hypoventilation

Syndrome ) adalah terjadinya hiperkapnia pada keadaan sadar ( PaCO2 >

37
45mmHg) pada pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2) tanpa ada penyebab

hipoventilasi lainnya(1). Gejala lainnya adalah peningkatan kadar bikarbonat

serum (> 27mmol) tanpa adanya penyebab alkalosis metabolik yang didapatkan,

hipoventilasi nokturnal tanpa adanya hiperkapnia, dapat berguna untuk mengenali

perjalanan awal dari sindrom ini.(3)

Laporan kasus ini melaporkan pasien morbid obese dengan BMI 62.5

kg/m2 dengan gagal napas akut dan tanda obesity hypoventilation syndrome. Dari

pemeriksaan fisis dan laboratorium didapatkan hiperkapnia dan peningkatan kadar

bikarbonat darah sebagai kompensasi, dan hipoksemia. Setelah mendapatkan

CPAP terapi, keadaan klinis pasien membaik disertai peningkatan PaO2 dan

Penurunan PaCO2.

Terapi PAP dapat memberikan perbaikan pertukaran gas, gangguan

pernapasan saat tidur, fungsi paru, dan pusat pernapasan terhadap CO2.

Penggunaan terapi PAP jangka panjang juga menurunkan angka mortalitas pada

pasien dengan OHS. Terapi PAP jangka panjang mungkin dibutuhkan pada pasien

ini untuk meningkatkan fungsi paru dan memberikan perbaikan pada pertukaran

gas dan adaptasi pusat pernapasan terhadap CO2.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Piper Amanda J, Gustain Ronald R. Obesity hypoventilation syndrome.

Am J Respir Crit Care Med. 2011;183: 292-8

2. Chau Edmond H, Mokhlesi Babak, Chung Franches. Obesity

hypoventilation syndrome and anesthesia. Sleep Med Clin.2013;8(1): 135-

47

3. Piper Amanda. Obesity hypoventilation syndrome, weighing in on therapy

option. Chest. 2016;149(3): 856-68

4. Zwilich Clifford, Olson Amy L. The obesity hypoventilation syndrome.

Am J Med.2005; 118: 948-56

5. Murray JF. Pulmonary edema : patophysiology and diagnosis.Int J Tuberc

Lung Dis. 2011; 15(2): 155-60

6. Power I, Kam P. Respiratory physiology, eds. Principle of physiology for

the anesthesist. 2nd Ed. New York: Oxford University Press.2008. pp 75-

113

7. Park JJ et al. The prognostic value of arterial blood gas analysis in high

risk heart failure patients: an analysis of the Korean Heart Failure registry.

Eur J of Heart Failure.2015;17: 601-11

8. Mojoli F ent al. Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic

pulmonary edema. Eur Heart J Supp. 2004; 6 : 74-80

9. Ogunnaike BO, Whitten CW. Anesthesia and Obesity. In: Barash PG,

Cullen FB, Stoelting RK, Calahan MK, Stock MK, editors, Clinical

39
Anestehesia. 6th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. 2009.

Page 754-68

10. Ogunnaike BO, Whitten CW. Evaluation of the obese patient. In :

Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editors.

Anesthesiology. 2nd ed. New York : Mc Graw Hill Medical. 2012. Page

301-15

11. Lotia S, Bellami MC. Anesthesia and morbid obesity. Continuing

education in anesthesia. Crit Care & Pain.2008; 8(2) : 151-6

12. Mokhlesi Babak. Obesity hypoventilation syndrome : A state of the art

review. Resp Care.2010; 55 (10) : 1347-65

13. Verbraecken J, Nicholas, Walter T. Respiratory mechanics and ventilatory

control in overlap syndrome and obesity hypoventilation. Resp Res.2013;

14. 132

14. Shaden O, Qasrawi, Bahammam AS, NIV in type 2 (Hypercapnic) acute

respiratory failure. In : Esquinas AM, Lemyze M, editors . Mechanical

Ventilation in the critically ill obese patient. Switzerland. Springer

International Publishing. 2018. Page 229-39.

40

Anda mungkin juga menyukai