Pendahuluan
dekade, dimana jumlah populasi obesitas dan bahkan super obesitas semakin
fisiologis dari sistem tubuh termasuk sistem respirasi. Sindrom hipoventilasi pada
pada siang hari ( PaCO2 > 45mmHg) pada pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2)
kadar bikarbonat serum (> 27mmol) tanpa adanya penyebab alkalosis metabolik
hiperkapnia yang tidak dapat dijelaskan dengan kelainan klinis lain yang
hipoventilasi, hampir setengah dari pasien dengan indeks massa tubuh > 50 Kg/m2
Secara klinis pasien dengan OHS menunjukkan gejala seperti tidur selama
siang hari yang berlebihan, fatigue, atau sakit kepala pada pagi hari. Pada
gagal jantung kongestif kanan (cor pulmonale). Jika tidak ditangani dengan
1
segera, studi terbaru menunjukkan sindrom ini menyebabkan morbiditas dan
bahkan mortalitas(4).
dengan indeks massa tubuh 62 kg/m2 yang dirawat dengan penurunan kesadaran
dengan diagnosis masuk gagal jantung kongestif dan tanda sindrom hipoventilasi
pada obesitas.
2. 1 Identitas pasien :
RM : 840735
BB : 160 kg
2.2 Anamnesis :
Sesak napas dialami sejak 4 bulan terakhir, memberat sejak 3 hari terakhir
disertai penurunan kesadaran. Jika tidur, pasien mengorok dan susah tidur pada
malam hari. Selama 4 bulan terakhir, pasien lebih banyak tidur di siang hari dan
2
sering mengeluh sakit kepala di pagi hari. Riwayat dirawat di RS Siloam
Makassar pada tgl 19/04/18 dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kaki sebelah
kanan disertai sesak napas. Pasien di rujuk ke RSWS pada tanggal 21/04/2018
komorbid hipertensi dan DM disangkal. Riwayat alergi obat obatan dan makanan
tidak ada,
dengan keluhan sesak napas disertai penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisis
didapatkan
B1 : O2 via NRM 8 ltr / menit. Pergerakan dinding dada simetris, pola napas
abdominal thorakal, RR 24 kali/mnt, ronkhi ada di basal paru kiri dan kanan,
B2 : BP 120/80 mmHg, HR: 88 x/mnt reguler kuat angkat, BJ I/II murni reguler,
B3 : GCS 13 E3M6V4 pupil bulat isokor, refleks cahya ada simetris, S; 36,8
3
2.4 Pemeriksaan penunjang
2.4.1 Laboratorium
Darah rutin
sementara pemeriksaan darah rutin dan kimia darah lainnya dalam batas normal
4
2.4.2 Pemeriksaan radiologi
Foto Thoraks
2.5 EKG :
anteroseptal
5
2.6 Echocardiografi
2.7 Diagnosis
didiagnosis masuk dengan gagal jantung kongestif + gagal napas akut + obesity
hypoventilation syndrome.
napas akut karena didapatkan tanda tanda udema paru, berdasarkan pemeriksaan
fisis adanya ronkhi basah halus di basal paru bilateral disertai pemeriksaan
penunjang foto thoraks dengan tanda tanda udema paru, dan pasien dengan
morbid obesitas merupakan resiko terjadinya CHF. Dari pemeriksaan analisa gas
6
CHF dapat menyebabkan gagal napas akut hipoksemia akibat terjadinya
udema paru yang menyebabkan difusi oksigen dari alveolus ke kepiler menjadi
terganggu. Gangguan difusi oksigen ini terjadi akibat adanya akumulasi cairan di
intertisiel paru akibat penigkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang
penurunan tekanan oksigen dalam kapiler paru yang nantinya akan kembali
melalui vena pulmonalis dan dipompakan ke dalam sirkulasi13. Udema paru tidak
CO2 jauh lebih larut 20 kali dalam cairan tubuh dibandingkan dengan O2.
Sehingga pada udema paru, akan didapatkan penurunan PaO2 dengan PaCO2
normal atau menurun14,11. Pada pemeriksaan analisa gas darah pasien ini,
didapatkan adanya hipoksemia, yang bisa saja terjadi akibat udema paru ataupun
pada pasien OHS, dan asidosis respiratorik terkompensasi sempurna. Pada pasien
dengan udema paru kardiogenik, tidak terjadi peningkatan PaCO2 karena udema
11,12
paru sedikit berpengaruh pada difusi CO2 . pH darah yang normal karena
kronik dari asidosis respiratorik. Tanda tanda dari analisa gas darah ini lebih
Perubahan pada pH, PCO2, PO2 dalam darah akan direspon oleh pusat
reseptor pada sistem respirasi, yaitu reseptor sentral, dan reseptor perifer.
Reseptor sentral terletak di pons dan medula oblongata, sementara reseptor perifer
terletak di carotid body dan aortic body. Kedua reseptor ini akan menyesuaikan
7
ventilasi berdasarkan informasi yang terutama berupa perubahan pH, PCO2 dan
perubahan pH dan tidak terhadap perubahan PCO2 ataupun PO2. Jika terjadi
keadaan asidosis, baik karena metabolik ataupun respiratorik, kelebihan ion H+ ini
perifer, carotid body dan aortic body, sensitif terhadap perubahan PO2 dan PCO2.
Jika terjadi hipoksemia, maka sinyal akan dikirimkan dari reseptor perifer ke
PO2 ini ( <60 mmHg) menyebabkan rangsangan dari aortic dan carotid body
penurunan PCO2 dalam darah. Asidosis juga bisa ditemukan pada pasien dengan
udema paru kardiogenik tetapi lebih banyak dengan asidosis metabolik yang
terjadi akibat metabolisme anaerob sel akibat kekurangan oksigen11. Pada pasien
ini hasil analisa gas darah menunjukkan hipoksemia yang disertai dengan asidosis
8
gangguan asam basa yang banyak terjadi pada udema paru kardiogenik akibat
berkurangnya volume paru mulai dari kapasitas vital, volume tidal, volume residu
fungsional, dan closing capacity, serta menurunnya komplians paru. Hal ini
perfusi. Pada obesitas eukapnik, gangguan mekanik paru ini dapat diimbangi
dengan peningkatan usaha bernapas yang di kendalikan oleh pusat ventilasi. Pada
hormon yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi menekan pusat
hipoventilasi kronik pada pasien OHS. Pada awalnya akan terjadi kenaikan PCO2
menyebabkan gangguan rasio ventilasi perfusi, dan jika berat dapat menyebabkan
hipoksemia sampai gagal napas akut. Sebagian besar OHS didiagnosis saat masuk
9
rumah sakit dengan gagal napas akut. Pada pasien ini, dengan keadaan morbid
obese dengan IMT 62 kg/m2, hiperkapnia telah terjadi kronik dan terkompensasi
oleh kumpulan penyebab hipoventilasi pada pasien dengan obesitas. Hal ini
diperberat dengan posisi berbaring dimana sebelumnya pasien sadar dan dirawat
dengan keluhan nyeri pada kaki, yang menyebabkan sebagian besar waktunya
berat.
dan gagal napas akut pada pasien ini, namun gagal jantung tidak dapat
disingkirkan.
2.10 Penatalaksanaan
3. F : puasa
4. A: -
5. S : Dexmedetomidine
6. T : -,
10
8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv
Pemeriksaan lab :
AGD : pH 7.457; pCO2 77.7; pO2 87.4; SO2 96.1; HCO3 55.4; BE 31.3
P:
3. F : puasa
11
4. A: -
5. S : Dexmedetomidine
6. T : -,
8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv
S : sesak napas
Pemeriksaan lab :
AGD : pH 7.454; pCO2 80.4; pO2 97.5; SO2 97.2; HCO3 57.0; BE 32.9
12
P:
3. F : Peptisol 4 x 100 ml
4. A: -
5. S : -
6. T : -,
8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv
S : Sesak berkurang
13
Pemeriksaan lab :
AGD : pH 7.457; pCO2 75.7; pO2 110.6; SO2 98.9; HCO3 50.5; BE 25.6
P:
3. F : diet lunak
4. A: -
5. S : -
6. T : -,
8. U: Omeprazole 40 mg/24jam/iv
S : Sesak berkurang
14
B3 : GCS 15 E4M6V5 pupil bulat isokor, refleks cahaya positif cepat
Pemeriksaan lab :
AGD : pH 7.484; pCO2 60.0; pO2 118.6; SO2 98.7; HCO3 45.5; BE 21.8
P:
3. F : diet lunak
4. A: -
5. S : -
6. T : -,
8. U: -
15
Tabel 3. Pemeriksaan AGD, terapi, dan keadaan klinis
pasien selama perawatan
Tanda dan
Tanggal pH PO2 PCO2 HCO3 EtCO2 Terapi
gejala
Penurunan
kesadaran GCS
13 E3M6V4, NIV mode
21 RR 24x/mnt, 7.461 76.6 83.6 60.1 CPAP PEEP 8
ronkhi basal PS 10 FiO2 80%
paru, SpO2
88%
GCS 14
NIV mode
E3M6V5,
22 7.457 87.4 77.7 55.4 61 CPAP PEEP 8
Ronkhi -/-
PS 10 FiO2 60%
SpO2 99%
GCS 15 NIV mode
23 E4M6V5, SpO2 7.454 97.5 80.4 57.0 57 CPAP PEEP 8
99% PS 10 FiO2 60%
GCS 15 NIV mode
24 E4M6V5, SpO2 7.386 108.6 94.5 57.1 45 CPAP PEEP 8
99% PS 10 FiO2 60%
GCS 15
O2 Via NRM 8
25 E4M6V5, SpO2 7.457 110.6 75.7 50.5 36
ltr/mnt
100%
GCS 15
O2 via nasal
26 E4M6V5, SpO2 7.484 118.1 60.0 45.5
kanul 4 ltr/mnt
100%
III. Diskusi
3.1 Obesitas
lemak abnormal atau berlebihan dalam jaringan adiposa yang berakibat pada
gangguan kesehatan lebih lanjut. Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas
digolongkan berdasarkan BMI1. Body Mass Index merupakan alat ukur yang
paling berguna untuk mengukur tingkat overweight dan obesitas yang sama untuk
16
kedua jenis kelamin dan untuk semua usia dewasa. Namun, dapat dianggap
sebagai panduan kasar karena dapat tidak sesuai dengan derajat kegemukan yang
sama pada individu yang berbeda. Nilai BMI diperoleh melalui penghitungan
berat badan dalam kilogram di bagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat atau
BMI normal berkisar 18.5-24.9, over weight 25.0-29.9, obesitas > 30-34,9,
18,5-24,9 Normal
30,0-34,9 Obesity I
17
Pasien pada laporan kasus ini termasuk dalam extreme obesity pada
klasifikasi obesitas WHO, atau pada beberapa modifikasi definisi obesitas dari
WHO, pasien ini termasuk dalam super obese dengan BMI ≥ 50 kg/m2
badan (sentral) disebut juga obesitas abdominal. Pada tipe ini jaringan lemak
Pada tipe ini jaringan lemak dominan terdapat di paha, gluteal dan pinggul
(lemak secara metabolik kurang aktif sehingga kurang berhubungan erat dengan
metabolisme daripada lemak perifer (pada panggul, bokong, paha) yang terdapat
pada obesitas ginekoid, umumnya perempuan. Karena sifat yang lebih aktif
18
obesitas sentral juga merupakan predisposisi terjadinya perubahan dan patologi
perubahan yang signifikan pada mekanik paru dan kerja otot otot pernapasan,
dimana perubahan ini lebih besar terjadi pada pasien dengan sindrom
Pernapasan dengan volume paru yang kecil menurunkan kompliance paru dan
dinding dada serta meningkatkan resistensi jalan napas. Ketika volume cadangan
ekspirasi menjadi rendah, penutupan jalan napas kecil dan terjadi air trapping,
PEEP. Perubahan ini lebih nyata terjadi pada posisi supine dan menyebabkan
terjadi pada posisi duduk atau supine pada pasien dengan OHS jika dibandingkan
pengaruh terhadap sistem respirasi terjadi lebih besar pada pasien dengan OHS
dibandingkan dengan pasien dengan BMI yang sama dengan eukapnik. Pertama,
hipoksemia). Kedua, pasien dengan OHS memiliki distribusi lemak lebih sentral
19
dari pada pasien obese dengan eukapnik, yang dapat dilihat dari ukuran lingkar
leher yang lebih besar dan rasio lingkar pinggang dan hip yang lebih besar, yang
semakin buruk pada posisi berbaring. Ketiga, distribusi sentral jaringan lemak
menyebabkan penurunan volume paru yang lebih besar dari pada distribusi lemak
perifer. Ketiga faktor diatas bersama sama menyebabkan patologi pada pasien
Pada pasien ini, distribusi lemak tubuh lebih banyak pada daerah sentral
serta memiliki riwayat OSA sebelumnya. Pasien mengorok malam hari dan
sering terbangun, serta mengantuk pada siang hari. Temuan klinis ini merupakan
(VC) dan Total Lung Capacity (TLC). Penurunan FRC akan berakibat penurunan
Exspiratory Reserve Volume (ERV), yang mana hubungan Antara FRC dan
menjadi tidak baik. Penurunan FRC dan ERV adalah hal yang umum terjadi pada
fungsi paru pasien obesitas. Pengurangan FRC (akibat penurunan ERV) dapat
berakibat volume paru di bawah closing capacity dalam keadaan ventilasi dengan
volume tidal normal, berakibat penutupan jalan napas yang kecil, missmatch
ventilasi perfusi, shunting right to left dan hipoksemia arterial. Tindakan anestesi
20
umum mengakibatkan penurunan FRC sebanyak 50% pada pasien obesitas, 30 %
lebih banyak dari pada akibatnya pada orang normal yang hanya 20%. Forced
Expiration Volume (FEV) dalam sedetik dan FVC biasanya dalam batas normal.
Expiration Reserve Volume adalah indikator paling sensitif sebagai efek obesitas
Dikutip dari Ogunnaike BO, Whitten CW. Evaluation of the obese patient. In :
Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. 2 nd ed.
New York : Mc Graw Hill Medical. 2012. Page 301-15
Terhentinya aliran udara lebih dali sepuluh detik yang terjadi lebih dari empat kali
dalam 1 jam tidur, adanya usaha respirasi melawan penutupan glotis, dan disertai
Penurunan 50% aliran udara selama >10 detik yang terjadi >14 kali selama satu
21
- Upper airway resistance
hypopnea index (AHI). Apnea hypopnea index adalah jumlah periode apnea dan
hypopnea perjam yang digunakan untuk menilai derajat beratnya OSA. Berat jika
lebih dari 30, ringan jika antara 5-15 dan sedang jika antara 16-3014.
perbandingan volume dengan berat badan pada penderita obesitas lebih rendah
dibandingkan individu normal (50 ml/kg : 70 ml/kg). Sebagian besar volume ini
terdistribusi ke jaringan lemak. Aliran darah renal dan lien meningkat. Cardiac
output (COP) meningkat 20-30 ml/kg karena peningkatan berat, akibat dilatasi
ventrikel dan stroke volume yang meningkat. Peningkatan tekanan pada dinding
tekanan ventrikel kiri dan diastolik serta udem pulmonal, tetapi ketika dinding
22
Gambar 4 Hubungan antara obesitas, fungsi kardiovaskuler, dan pulmonal; OSA,
Dikutip dari : Ogunnaike BO, Whitten CW. Anesthesia and Obesity. In: Barash PG, Cullen FB,
Stoelting RK, Calahan MK, Stock MK, editors, Clinical Anestehesia. 6 th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wilkins. 2009. Page 754-68
terjadi hanya saat beraktifitas, sehingga sering tampak asimtomatis pada pasien
volume asam lambung, PH lambung yang rendah dan peningkatan tekanan intra
Infiltrasi lemak juga muncul dan dikaitkan dengan macrovesikuler fatty liver yang
23
ireversibel dengan penurunan berat badan, akan tetapi dapat menjadi hepatitis dan
sirosis secara progresif jika tidakditerapi. Infiltrasi lemak ini ini dapat dideteksi
dengan tes fungsi hepar, namun perluasan infiltrasi tidak berhubungan dengan
reabsorbsi tubular renal dan penyaringan natrium meningkat akibat aktivasi sistem
simpatis dan renin angiotensin akibat tekanan pada ginjal. Dengan obesitas yang
lama, terjadi penurunan fungsi nefron dan kemudian perburukan ekskresi natrium
sesuai dengan penurunan berat badan, yang mana akan menurunkan insiden
10% pasien obesitas menegalami abnormalitas pada test toleransi glukosa yang
meningkatkan risiko infeksi luka dan infark miokard selama periode iskemik
miokard. Kontrol kadar gula darah perioperatif menjadi penting dan bisa jadi sulit
24
risikonya, akan tetapi rata-rata pasien yang akan menjalani pembedahan elektif
) adalah terjadinya hiperkapnia pada keadaan sadar ( PaCO2 > 45mmHg) pada
pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2) tanpa ada penyebab hipoventilasi lainnya(1).
Gejala lainnya adalah peningkatan kadar bikarbonat serum (> 27mmol) tanpa
tanpa adanya hiperkapnia, dapat berguna untuk mengenali perjalanan awal dari
sindrom ini(3).
Dikutip dari : Mokhlesi Babak. Obesity hypoventilation syndrome : A state of the art review. Resp
Care.2010; 55 (10) : 1347-65
25
3.3.1 Patofisiologi OHS 4
sindrom hipoventilasi belum dapat didefinisikan dengan jelas. Sindrom ini dapat
terjadi akibat interaksi yang kompleks dari pengaruh obesitas pada mekanik
respirasi, kontrol pusat ventilasi yang abnormal, kelainan pernapasan saat tidur,
Pada perkiraan awal, terlihat jelas bahwa adanya perubahan pada mekanik
paru pada pasien obesitas akan menjelaskan terjadinya hipoventilasi siang hari
pernapasan, dan pengurangan komplaians paru yang lebih besar jika dibandingkan
dengan pasien obesitas yang eukapnik. Perubahan ini merupakan kontribusi dari
penyebaran lemak tubuh pada bagian sentral tubuh, dan menurunnya fungsi
untuk usaha bernapas, maka pasien OHS akan beradaptasi dengan pernapasan
yang cepat namun dangkal, dimana hal ini menyebabkan retensi CO2 melalui
peningkatan rasio ruang rugi pernapasan dengan volume tidal. Studi terbaru
26
Pasien dengan OHS tidak mampu berespon terhadap peningkatan beban
menjaga ventilasi alveolar yang adekuat. Respon ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia juga menjadi tumpul. Hal ini mungkin saja terjadi akibat peningkatan
pada pasien dengan OHS jika dibandingkan dengan pasien dengan obesitas tanpa
hiperkapnia pada siang hari. Terjadi penurunan volume total paru, kapasitas vital,
dengan penyebaran lemak lebih pada daerah atas tubuh akan mengalami
perubahan volume paru yang lebih berat, yang menunjukkan bahwa distribusi
27
3.3.3 Kontrol Pusat Ventilasi
merupakan salah satu penyebab sindrom hipoventilasi ini. Pasien dengan sindrom
jauh lagi, para peneliti telah menemukan abnormalitas pada respon pusat ventilasi
ventilasi.4
hipoventilasi memiliki respon yang sama pada pasien non obesitas. Penemuan ini
ventilasi
28
belum jelas mengapa hanya 10% sampai 15% pasien dengan sleep apnea-
penurunan respon ventilasi hipoksik, yang akan kembali normal jika dilakukan
hipoksemia saat tidur, hiperkapnia dan meningkatnya usaha bernapas. Hal ini
menyababkan arousal, yang bertujuan memperbaiki patensi jalan napas atas dan
menormalkan tekanan gas darah. Namun demikan, apnea dan arousal yang sering
hipoventilasi.4
Terdapat bukti yang mendukung teori ini. Pasien dengan sindrom sleep
rangsangan ventilasi dengan adanya volume tidal yang besar setelah fase apnea,
respon kompensasi ventilasi setelah apnea. Lebih jauh lagi, tingkat beratnya
29
hiperkapnia berhubungan dengan beratnya abnormalitas respirasi yag disebabkan
oleh kelainan saat tidur, pengaruh mekanik pada sistem respirasi dan derajat
makan. Mutasi pada gen yang mengkode protein leptin menyebabkan obesitas
pada tikus dan manusia. Leptin juga bekerja pada pusat pernapasan untuk
hipoventilasi.4
pengganti leptin menyebabkan perbaikan ventilasi. Pada tikus liar dengan obesitas
karena diet, kadar leptin meningkat 10 kali lipat dan berhubungan dengan
30
Gambar 5. Mekanisme obesitas menyebabkan hiperkapnia kronik di siang hari
Dikutip dari Mokhlesi Babak. Obesity hypoventilation syndrome : A state of the art review. Resp
Care.2010; 55 (10) : 1347-65
Tabel 6. Karakteristik fungsi paru antara obesitas dengan hipoventilasi dan tanpa
hipovetilasi13
Dikutip dari: Verbraecken J, Nicholas, Walter T. Respiratory mechanics and ventilatory control in
overlap syndrome and obesity hypoventilation. Resp Res.2013; 14. 132
31
Terapi OHS
aliran udara ekspirasi, gas trapping, auto PEEP dan hipoksemia berat. Posisi anti
menggunakan masker atau alat lain yang sama tanpa menggunakan alat bantu
napas invasif ( ETT atau trakeostomi). Penggunaan NIV semakin meningkat pada
beberapa tahun terakhir dan merupakan terapi esensial pada pasie dengan gagal
karbondoiksida dalam darah tetap normal. Secara konvensional, pH < 7.35 dan
32
pada beberapa penyakit sistem respirasi seperti PPOK, asma, sistik fibrosis,
mortalitas dan morbiditas. Pada umumnya OHS tidak terdiagnosis dan tidak
mendapatkan terapi. Hiperkapnia kronik juga sulit didapatkan pada pasien obese
pada pemeriksaan rutin ataupun pada operasi elektif. Pasien dengan OHS
pertama kali dengan gejala gagal napas akut hiperkapnik. Sttudi terbaru
menunjukkan sekitar 40% pasien OHS datang dengan gagal napas akut. Pasien
OHS dengan gagal napas akut memiliki angka mortalitas yang tinggi (18%).
Sehingga perlu dipertimbangkan OHS sebagai penyebab gagal napas akut pada
obesitas dengan gagal napas akut. Direkomendasikan untuk memulai dengan NIV
pada pasien dengan gagal napas akut yang disebabkan oleh OHS dimana
Penanganan retensi CO2 di siang hari dapat dicapai dengan terapi CPAP
saja jika hiperkapnia kronik terjadi sebagian besar oleh adanya obstruksi jalan
33
juga dapat terjadi pada OHS dan juga berespon terhadap terapi CPAP dengan
memberikan tekanan yang tepat. Pada kebanyakan kasus, titrasi CPAP menjadi
meningkatnya kadar CO2 malam hari merupakan tujuan terapi. Tekanan yang
diberikan dititrasi keatas untuk mencegah apnea, hypoapnea, dan snoring dan
untuk menstabilkan saturasi oksigen. Jika dengan CPAP tidak mencapai saturasi
oksigen yang diinginkan ( SpO2 90% atau lebih tinggi), terapi diubah ke bilevel
(BIPAP) dimana tekanan pada jalan napas diberikan pada saat inspirasi (IPAP)
dan ekspirasi (EPAP) dan diatur secara terpisah. EPAP membantu menghilangkan
tekanan 6 sampai 7 mmHg antara EPAP dan IPAP biasanya dibutuhkan untuk
laporan menunjukkan 20 sampai 50% pasien dengan OHS gagal dengan terapi
CPAP dan membutuhkan terapi bilevel dalam jangka panjang. Namun demikian
beberapa studi yang lebih kecil, membandingkan terapi CPAP dan bilevel dalam
jangka waktu 3 bulan mendapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara
terapi tersebut dalam kadar CO2 saat terbangun, komplians saat terapi, atau
ngantuk pada siang hari. Pada beberapa studi, inisiasi terapi dengan bilevel,
beberapa individu dapat diterapi dengan efektif dengan CPAP saja. Data yang
lebih banyak dan jangka panjang dibutuhkan untuk menentukan algoritma terapi
yang dapat menjelaskan pasien mana yang dapat diawali dengan terapi CPAP atau
34
Manfaat terapi PAP jangka pendek meliputi perbaikan pertukaran gas dan
jauh lagi, pada parameter studi tidur, termasuk apnea-hypoapnea index (AHI) dan
Manfaat jangka panjang terapi PAP meliputi perbaikan fungsi paru, dan
minggu meningkatkan FEV1 dan FVC. Efek terapi PAP pada pusat respirasi,
diukur dengan perubahan ventilasi semenit pada setiap perubahan end-tidal CO2,
Terapi PAP juga menurunkan angka mortalitas pada OHS. Dua studi
retrospektif melaporkan angka kematian 13% sampai 19% pada pasien OHS
dengan terapi PAP, dimana angka ini lebih rendah jika dibandingkan secara tidak
langsung dengan angka kematian 23% yang dilaporkan pada pasien OHS yang
Pada pasien ini, penggunaan CPAP terapi dengan tekanan PEEP 8 mmHg
dan pressure support 10 mmHg menunjukkan perbaikan pada saturasi oksigen dan
penurunan kadar CO2 dalam darah. Penggunaan CPAP di hari pertama dengan
FiO2 80% meningkatkan saturasi oksigen di pulse oxymeter dari 88% menjadi
99% dengan perbaikan pada hasil analisa gas darah di hari pertama terapi CPAP.
PaO2 membaik dari 76.6 menjadi 110.6 di akhir terapi dengan NIV mode CPAP,
dan Pa CO2 juga menurun dari 83.6 menjadi 60.0 di akhir terapi. Penggunaan
35
terapi CPAP jangka panjang mungkin diperlukan oleh pasien untuk
Dikutip dari : Chau Edmond H, Mokhlesi Babak, Chung Franches. Obesity hypoventilation
syndrome and anesthesia. Sleep Med Clin.2013;8(1): 135-47
gas, gangguan pernapasan saat tidur, fungsi paru, dan pusat pernapasan terhadap
CO2. Penggunaan terapi PAP jangka panjang juga menurunkan angka mortalitas
pada pasien dengan OHS. Melihat sifatnya yang tidak invasif dan efektif, terapi
36
PAP merupakan terapi lini pertama pada pasien OHS. CPAP biasanya merupakan
terapi inisiasi terpilih, jika titrasi CPAP gagal, bilevel PAP harus diaplikasikan.2
adanya perbaikan klinis berupa peningkatan tingkat kesadaran, serta hasil analisa
diatas, dimana pada keadaan paru normal, EtCO2 kurang lebih mencerminkan
PaCO2 dengan perbedaan 2-5 mmHg lebih rendah. Pembacaan EtCO2 sangat
dipengaruhi oleh produksi CO2 jaringan, transpor CO2, ventilasi dan rasio
ventilasi perfusi. Pada pasien ini, EtCO2 nampaknya jauh lebih rendah dari
gangguan rasio ventilasi perfusi dimana pada pasien morbid obese terjadi
peningkatan shunt intrapulmonal akibat adanya alveolus yang kolaps. Shunt ini
menyebabkan penurunan rasio ventilasi perfusi yang EtCO2 terbaca lebih rendah
pada pasien ini tidak dapat dilakukan, namun demikian, penurunan EtCO2 dapat
IV. Ringkasan
dekade, dimana jumlah populasi obesitas dan bahkan super obesitas semakin
37
45mmHg) pada pasien obesitas ( IMT > 30 Kg/m2) tanpa ada penyebab
serum (> 27mmol) tanpa adanya penyebab alkalosis metabolik yang didapatkan,
Laporan kasus ini melaporkan pasien morbid obese dengan BMI 62.5
kg/m2 dengan gagal napas akut dan tanda obesity hypoventilation syndrome. Dari
CPAP terapi, keadaan klinis pasien membaik disertai peningkatan PaO2 dan
Penurunan PaCO2.
pernapasan saat tidur, fungsi paru, dan pusat pernapasan terhadap CO2.
Penggunaan terapi PAP jangka panjang juga menurunkan angka mortalitas pada
pasien dengan OHS. Terapi PAP jangka panjang mungkin dibutuhkan pada pasien
ini untuk meningkatkan fungsi paru dan memberikan perbaikan pada pertukaran
38
DAFTAR PUSTAKA
47
the anesthesist. 2nd Ed. New York: Oxford University Press.2008. pp 75-
113
7. Park JJ et al. The prognostic value of arterial blood gas analysis in high
risk heart failure patients: an analysis of the Korean Heart Failure registry.
9. Ogunnaike BO, Whitten CW. Anesthesia and Obesity. In: Barash PG,
Cullen FB, Stoelting RK, Calahan MK, Stock MK, editors, Clinical
39
Anestehesia. 6th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. 2009.
Page 754-68
Anesthesiology. 2nd ed. New York : Mc Graw Hill Medical. 2012. Page
301-15
14. 132
40