PENDAHULUAN
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah penyakit paru yang sering timbul
pada pasien dengan infeksi HIV.1 Pada awal epidemi AIDS, Pneumocystis carinii
pneumonia dianggap sebagai infeksi pernapasan yang paling sering dan berat pada
pasien HIV.2 Penyakit ini dapat mengancam jiwa bila tidak diberikan terapi segera.1
Insiden PCP telah berkurang secara signifikan dengan adanya terapi antiretrovirus.
Namun, meningkatnya populasi yang mengalami imunocompromissed tanpa HIV dan
meningkatnya kasus HIV di negara berkembang membuat Pneumocystis menjadi
sebuah patogen yang terus menarik perhatian dan menjadi ancaman kesehatan global.3
Pada tahun 1990 dan 1997, walaupun terdapat perkembangan dalam terapi
antiretrovirus dan profilaksis PCP yang efektif, PCP tetap menjadi penanda HIV pada
lebih dari 15% kasus. Sebagian besar pasien HIV yang mengalami PCP tidak
menyadari hal ini atau tidak melakukan follow-up.2 Tingkat mortalitas pasien PCP
mencapai 90% dilaporkan pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik. Tetapi,
faktor risiko mortalitas PCP terkait HIV belum dievaluasi ulang semenjak adanya
steroid ajuvan.2
1
Mekanisme yang mungkin terlibat adalah pengisian alveolus, kerusakan sel tipe
I dan II pada rongga alveolus sebagai efek langsung dari organisme atau efek aktivasi
makrofag, limfosit, atau fibroblas sebagai bagian dari respons inflamasi terhadap suatu
organisme.1
Pada beberapa percobaan acak, PCP memiliki tingkat mortalitas 90 hari sebesar
13-20% walaupun diberi terapi trimethoprime-sulfamethoxazole, dan pada pasien
dengan PaO2 < 70 mm Hg pada udara ruangan, diberikan tambahan terapi steroid.2
Percobaan ini menunjukkan adanya manfaat pemberian kortikosteroid terhadap
kelangsungan hidup pasien PCP. Karena hal ini, kortikosteroid perlu diberikan dalam
waktu 72 jam setelah terapi antimikroba dimulai pada pasien HIV dengan PCP bila
tekanan parsial oksigen arteri PaO2 ≤70 mmHg atau perbedaan oksigen alveolus-arteri
(AaDO2) ≥35.3
2
BAB II
ISI
3
PCP bukan merupakan reaktivasi infeksi yang bersifat dorman, melainkan reinfeksi
yang belum diketahui dari sumber manusia atau lingkungan.4
SEJARAH
Bentuk kista dari Pneumocystis pertama kali dideskripsikan pada tahun 1909
oleh parasitolog terkenal, Chagas. Tahun 1910 oleh rekannya Carinii digambarkan
sebagai parasit dan bagian dari siklus hidup Trypanosoma cruzi. Organisme ini pertama
kali dikaitkan dengan infeksi paru pada tikus oleh Delanoe tetapi tidak dikenali pada
manusia sampai tahun 1942. Tahun 1952 ditemukan hubungan dengan "pneumonitis
interstitial sel plasma" pada anak-anak yang kekurangan gizi dan neonatus.
Epidemiologi kecil pneumonitis interstitial sel plasma telah ditemukan pada anak-anak
di panti asuhan Eropa pada 1930-an dan setelah Perang Dunia II dan Perang Vietnam.
Pada 1950-an, defisiensi imun bawaan dan pengembangan terapi imunosupresif
mengidentifikasi host baru untuk PCP. Pada saat itu, PCP diakui pada pasien yang
menerima kortikosteroid dan obat kemoterapi serta pada tikus yang diberi
imunosupresi kortikosteroid.5
4
STRUKTUR DAN SIKLUS SEL
Pada manusia dan hewan, tiga bentuk organisme telah diidentifikasi yaitu
trofozoit, kista, dan sporozoit. Trofozoit, berdiameter 2 sampai 5 μ, berbentuk bulat
atau sabit mengandung nukleus, mitokondria, dan vakuola. Ini juga termasuk
pseudopodia dan filopodia, digunakan dalam motilitas terbatas. Kista biasanya
berukuran antara 3 dan 6 μ. Dinding selnya terdiri dari tiga lapisan, dan sitoplasmanya
mengandung delapan benda kecil oval intrakistik pleomorfik yang disebut sporozoit.5
Pneumocystis memiliki tropisme unik untuk paru yang hidup pertama kali
sebagai suatu patogen alveolar tanpa menginvasi inangnya. Secara mikroskopis dapat
teridentifikasi bentuk tropik (diameter 1-4 um) dan bentuk kista (diameter 8 um),
sedangkan tiga tahapan bentuk prekista teridentifikasi dengan mikroskop elektron.6
5
Gambar 1. Siklus Hidup Pneumocystis Carinii 5
Tropozoit berasal dari kista. Setiap kista matur mengandung hingga 8 badan
intrakistik, yang akan menghasilkan 8 tropozoit. Awalnya tropozoit bersifat haploid
dan membelah biner. Dua tropozoit berkonjugasi menjadi sel diploid kemudian
membelah menjadi tropozoit haploid atau memulai proses meiosis dengan dua siklus
meiosis dimana pembelahan tiga nukleus terjadi, membentuk sel sferis dengan delapan
anak inti. Selanjutnya terjadi proses delimitasi sel, membentuk delapan badan.7
A B
Gambar 2. Gambaran Tropozoit Pneumocystis jiroveci. (A) Potongan tipis menunjukkan beberapa
tropozoit (T) pada bagian apikal pneumosit (P). (B) Gambaran skematik tropozoit 7
6
A B
Gambar 3. Gambaran Kista Pneumocystis jiroveci. (A) Potongan tipis menunjukkan beberapa bentuk
kista Pneumocystis. (B) Gambaran skematik kista Pneumocystis7
Dinding kista Pneumocystis sebagian besar terbentuk oleh β-glucan, suatu kompleks
polisakarida. Fungsi utama dinding ini adalah memberi kekuatan dan perlindungan
organisme terhadap kondisi lingkungan di luar inang. Pemeliharaan dinding kista
merupakan suatu proses dinamis formasi dan degradasi. Proses dinamik ini difasilitasi
oleh β-glucan sintetase yang membentuk β-1,3-glucan homopolimer yang menyokong
dinding kista, dan β-glucanase yang bersama protein lain berperan dalam degradasi dan
restrukturisasi dinding.8
7
khas, dan penyebaran infeksi melalui udara semuanya mendukung posisi taksonomi
ini. Fraksi lipid netral Pneumocystis jiroveci mencakup berbagai fitosterol yang
digunakan bersama oleh tanaman dan jamur, termasuk spesies Physarum.5
IMUNOPATOGENESIS PCP
PCP berkaitan dengan imunosupresi, terutama HIV, atau pada pasien hematologi
(terutama pasien ALL dan pasca transplantasi sumsum tulang), onkologi (pasien
kanker dalam kemoterapi), dan transplantasi ginjal.4,9 Insiden PCP pada populasi non-
HIV juga dapat terjadi pada anak yang lahir prematur dan mengalami malnutrisi.
Meningkatnya penggunaan agen imunosupresan dan kemoterapi baik dalam jangka
panjang atau dengan dosis tinggi telah menimbulkan peningkatan kasus PCP. Tingkat
keparahan PCP pada pasien non-HIV lebih berat daripada mereka yang terinfeksi HIV,
dengan onset yang lebih cepat dan ganas. Kondisi lain yang telah dikaitkan dengan
risiko PCP yang lebih tinggi yaitu penyakit kolagen vaskular, seperti granulomatosis
Wegener, dan inflammatory bowel disease. Akhir-akhir ini, PCP juga telah ditemukan
pada pasien dengan artritis reumatoid dan penyakit Crohn yang menerima terapi anti-
TNF α.4
8
mikroorganisme dan pencegahan infeksi. Makrofag alveolus dapat secara langsung
membunuh trofozoit dan kistanya, dan terdapat banyak studi yang menunjukkan
korelasi terbalik antara jumlah makrofag dan tingkat keberatan PCP. Sebagai sel
fagositik, AM menyadari pola molekuler terkait patogen pada permukaan
mikroorganisme melalui pattern-recognition receptors (PRR). Lalu terjadi perlekatan
setelah aktivasi makrofag dan/atau fagositosis dan fusi fagolisosomal yang mengarah
terjadinya degradasi organisme asing. Selain itu, AM yang teraktivasi selanjutnya
dapat mengaktivasi sel T, CD4+ dan CD8+, menyebabkan terpicunya respons imun
adaptif.4
Imunitas Bawaan
Reseptor β-glucan adalah kelas PRR nonspesifik yang menjadi bagian signifikan
pada dinding sel Pneumocystis, dan memiliki kemampuan untuk memicu produksi
TNF-α dan homolog IL-8, protein inflamasi makrofag (MIP)-2, dari AM melalui
translokasi NF-кB. Dijelaskan selanjutnya bahwa glikoprotein serum vitronektin dan
fibronektin berikatan dengan β-glucan dan meningkatkan respons AM serta
menghasilkan produksi IL-6 yang signifikan. Reseptor utama β-glucan yang ditemukan
9
oleh Brown dan Gordon yaitu dectin-1 di makrofag, pada jaringan paru, hepar, dan
timus. Dectin-1 juga memediasi fagositosis nonopsonik pada jamur patogen
oportunistik Candida albicans. Steele et al. menemukan bahwa dectin-1 membunuh
jamur tersebut dengan menghasilkan spesies oksigen reaktif, dan pada Pneumocystis,
dectin-1 diperlukan untuk pelepasan MIP-2.4
Kelas PRR pada AM yang berperan penting pada respons inflamasi namun tidak
pada fagositosis jamur patogenik adalah Toll-like receptors (TLR). Sebagai respon
terhadap β-glucan dari Pneumocystis, TLR selain TLR-4 terlibat dalam respons
inflamasi AM terhadap jamur ini. Pada model tikus, jamur ini menimbulkan infeksi
yang lebih berat dibandingkan kontrol, termasuk peningkatan kehilangan berat badan,
peningkatan produksi sitokin inflamasi, dan turunnya penekanan sitokin, sehingga
TLR-4 membantu meregulasi respons inflamasi hospes melalui produksi sitokin oleh
AM. Akhir-akhir ini, TLR-2 ditemukan menjadi TLR utama untuk Pneumocystis. Sel
AM tikus normal memiliki ekspresi TNF-α dan MIP-2 via aktivasi NF-кB melalui
TLR-2, sedangkan transkripsi TLR-2, tidak termasuk TLR-3, mengalami peningkatan
pada AM dalam respons terhadap Pneumocystis. Selain itu, respons terhadap patogen
diblokade dengan antibodi anti-TLR-2. Menariknya, Tachado et al. menemukan bahwa
makrofag manusia yang terpapar Pneumocystis membutuhkan koekspresi TLR-2 dan
MR untuk mengekspresikan IL-8. Pentingnya TLR-2 semakin digarisbawahi oleh studi
hewan dengan model tikus yang diberi TLR-2, yang menunjukkan berkurangnya
respons imun terhadap PCP yang sesuai dengan peningkatan tingkat keparahan PCP
dan beban organimse. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya TLR-2 tidak
mempengaruhi fagositosis Pneumocystis. Serupa dengan TLR, SRA (reseptor
scavenger A) pada makrofag, ditemukan berperan dalam respon imun terhadap patogen
jamur, namun SRA itu sendiri tidak mempengaruhi fagositosis patogen.4
10
tegangan permukaan pada pertemuan udara dengan cairan, mencegah kolaps alveolus
pada volume paru rendah dan memiliki peran dalam imunitas paru bawaan. Terdapat
empat protein yang terbagi dalam dua kelompok: protein hidrofobik, SP-B dan SP-C,
berperan mengatur tegangan permukaan, dan protein hidrofilik SP-A dan SP-D,
berperan dalam imunitas paru bawaan. Bila terjadi penekanan SP-B dan SP-C, terjadi
peningkatan tegangan permukaan, sehingga dapat terjadi kegagalan pernapasan
hipoksemia pada pasien PCP. Sebaliknya, SP-A dan SP-D diketahui berperan dalam
menyingkirkan jamur patogen Aspergillus fumigatus dan Histoplasma capsulatum dari
paru. Kedua protein ini mengikat moietas mannose Pneumocystis dan infeksi
menunjukkan adanya peningkatan produksi dua protein ini. Pada model hewan yang
defisiensi SP-A, timbul kerentanan terhadap Pneumocystis dan produksi sitokin
inflamasi meningkat. Selain itu, ekspresi SP-D berlebihan menyebabkan beban
organisme yang lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol, yang menunjukkan bahwa SP-
D membantu perkembangan infeksi Pneumocystis dan inflamasi paru terkait pada
model tikus dengan imunosupresi.4
Pada manusia, cedera paru akut berkaitan dengan penurunan BAL fosfatidilkolin
dan SP-A. Pada orang dewasa dengan pneumonia bakterialis dan pada anak dengan
pneumonia bakteri atau virus, konsentrasi SP-A mungkin berkurang. Sitokin
proinflamasi tumor necrosis factor (TNF) menghambat produksi SP-A dengan
mengisolasi sel alveolus tipe II.1
11
Gambar 4. Skema Cedera Paru yang Dimediasi Respons Imun pada PCP. 12
12
signifikan lebih sedikit, dan efek ini lebih jelas terjadi pada pasien dengan PCP aktif.
Selain itu, pelepasan nitrit oksida dan zat perantara nitrogen reaktif (RNI; reactive
nitrogen intermediates) juga penting dalam fungsi mikrobisidal makrofag.4
Akhir-akhir ini, telah ditemui bahwa hilangnya AM selama infeksi PCP sebagian
dikarenakan terjadinya apoptosis yang dimediasi oleh enzim kaspase-9. Poliamina juga
terlibat dalam regulasi siklus sel, dan pada intraseluler mendorong peningkatan spesies
oksigen reaktif yang mengarah pada apoptosis. Lasbury et al. menemukan bahwa kadar
tinggi poliamina ditemukan dalam AM dan pada alveolus tikus terinfeksi
Pneumocystis, dan cairan lavase bronkial dari tikus terinfeksi menyebabkan makrofag
mengalami apoptosis. Mekanisme terjadinya hal ini dibantu oleh ekspresi berlebihan
AZI (inhibitor antizyme) dalam fagosit yang meningkatkan pengambilan poliamina
pada makrofag. Mekanisme lainnya juga melalui persinyalan melalui PI-3K.
Persinyalan PI-3K aktif dikendalikan sebagian oleh GM-CSF (granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor).4
Selain AM, sel dendritik (DC; dendritic cells) dan sel imun efektor juga penting
yang terletak di epitel jalan nafas, septa alveolus, dan di sekitar pembuluh-pembuluh
pulmoner. Sel ini memiliki respons cepat terhadap antigen yang terhirup. Perannya
dalam infeksi jamur seperi A. fumigatus dan C. albicans telah banyak dilaporkan.
Tetapi studi mengenai peran sel dendritik terhadap imunitas melawan Pneumocystis
13
masih cukup sedikit. Sel dendritik aktif menghasilkan sitokin dan migrasi ke nodus
limfe kemudian mengaktifkan respons sel T terhadap antigen. Neonatus, tanpa melihat
status HIV, cenderung lebih rentan mengalami infeksi dan kolonisasi Pneumocystis.
Hal ini ditunjukkan pada studi yang membuktikan adanya klirens yang lebih lama
berkaitan dengan faktor maturasi DC yang tidak efisien, sehingga berkurangnya
fagositosis dan migrasi DC ke saluran limfatik. Kemampuan DC untuk mengaktifkan
sel T adalah komponen yang penting dalam imunitas melawan patogen dan DC yang
telah dimodifikasi genetik telah digunakan sebagai vaksin independen sel T CD4+
terhadap model infeksi Pneumocystis dalam studi Zheng et al. Studi ini menunjukkan
bahwa DC yang berasal dari sumsum tulang dan dimodifikasi genetik untuk
mengekspresikan ligan CD40 menjadi aktif dan mengekspresikan MHC kelas II dalam
kadar yang tinggi serta IL-12p70. Hal ini menginduksi antibodi IgG anti-Pneumocystis
dan melindungi tikus dari PCP. Ketika sel T CD4 mengalami deplesi, tikus yang diberi
DC terpapar Pneumocystis menunjukkan supresi pertumbuhan patogen.4
Imunitas Adaftif
Respon imun hospes selama PCP melibatkan kompleks interaksi antara sel T
CD4 dan CD8, AM, DC, neutrofil, dan mediator terlarut yang membantu
menyingkirkan infeksi. Sel T CD4+ berperan dalam fungsi sel memori yang
mengkoordinasi respons inflamasi dengan memanggil dan mengaktifkan sel efektor.
Studi yang berfokus pada aktivasi sel T mendemonstrasikan bahwa kehilangan reseptor
14
kostimulatorik CD28 cukup untuk membuat tikus menjadi rentan terhadap infeksi
organisme ini. Deplesi CD2 dan CD28 lebih lanjut menyebabkan timbulnya PCP yang
mematikan akibat terkumpulnya sel T CD8+, turunnya titer antibodi dan disregulasi
produksi sitokin, terutama IL-10 dan IL-15, sehingga mempengaruhi perkembangan
sel T memori.4
Respons sel T juga dapat menimbulkan gangguan pulmoner dalam PCP, pada
tikus percobaan ditemukan hanya mengalami kerusakan paru minimal sampai penyakit
dalam stadium lanjut. Namun, hewan ini mengalami rekonstitusi dengan splenosit,
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Roths dan Sidman juga
menunjukkan bahwa sel T CD4 yang ditransfer setelah beban organisme cukup berat
dapat menimbulkan reaksi hiperinflamasi yang fatal, disebut penyakit rekonstitusi
imun (IRD/immune reconstitution disease). Pada onset IRD terkait PCP, pasien tidak
lagi memiliki infeksi Pneumocystis yang berat, menunjukkan bahwa keparahan
penyakit sebenarnya berkaitan langsung dengan derajat perbaikan imun.4
Sel T CD8+ bekerja bersama sel T CD4+ pada respons imun terhadap infeksi
Pneumocystis. Namun, peran sel T CD8 masih diperdebatkan bersifat protektif atau
malah merugikan. Gigiliotti et al. menunjukkan bahwa dalam periode 6 minggu model
tikus, sel T CD8 tidak terlibat dalam pemusnahan jamur. Terlebih lagi rekonstitusi yang
sensitisasi sel T CD8+ gagal untuk mengendalikan beban organisme, tetapi malah
mengakselerasi onset cedera paru. Beberapa studi lain menunjukkan bahwa sel T CD8+
dapat bersifat protektif terhadap infeksi Pneumocystis, walaupun hal ini bergantung
pada fenotip T sitotoksik yang didefinisikan sebagai produksi interferon gamma yang
tinggi. Penghantaran IFN-γ melalui aerosol atau melalui ekspresi berlebihan dengan
transfer gen dimediasi oleh adenovirus menggunakan Ad-FIN telah menunjukkan hasil
dalam klirens Pneumocystis dengan hilangnya sel T CD 4+, dan hal ini dikaitkan
dengan peningkatan rekrutmen sel T CD8+ yang menghasilkan IFN-γ.4
Karena PCP sangat berhubungan erat dengan infeksi HIV, sebagian besar
penelitian berfokus pada sel T CD4+. Tetapi terdapat bukti bahwa sel B dan respons
antibodi spesifik untuk organisme ini juga memainkan peran penting dalam imunitas
15
terhadap patogen jamur ini. Secara klinis, infeksi PCP mempersulit kemoterapi
bertarget sel B untuk tatalaksana limfoma non-Hodgkin, menunjukkan pentingnya
limfosit ini sebagai sel efektor terhadap infeksi Pneumocystis. Selain itu, antibodi
terhadap jamur ini dapat dideteksi pada manusia usia yang sangat muda. Banyak studi
terbaru yang menentukan bahwa pasien PCP dengan HIV memiliki kadar IgG spesifik
Pneumocystis yang setara atau lebih tinggi daripada pasien PCP tanpa infeksi HIV.
Beberapa studi juga menemukan bahwa lokasi geografis, episode PCP sebelumnya,
serta usia pasien HIV juga memiliki peran penting dalam responsivitas serum terhadap
antigen permukaan Pneumocystis.4
Studi pada hewan telah menentukan bahwa antibodi yang mendominasi adalah
IgG, namun terdapat juga sebagian IgM. IgM mengenali glikoprotein permukaan gpA
Pneumocystis dan memiliki sifat proteksi parsial terhadap infeksi paru dengan
imunosupresi. Studi ini juga menemukan bahwa pemberian IgM anti-Pneumocystis
melalui rute intranasal memiliki efek proteksi. Serum hiperimun juga ditemukan sangat
efektif dalam mengurangi jumlah organisme pada semua stadium infeksi PCP pada
tikus dan meningkatkan masa hidup hewan tersebut. Serum hiperimun dapat mencegah
IRD terkait transfer limfosit yang disensitisasi dengan Pneumocystis. Wells et al.
menemukan bahwa profilaksis pasif dengan IgG1 anti-Pneumocystis terhadap kexin
(sebuah protease serin). Imunisasi aktif juga telah didemonstrasikan terhadap infeksi
Pneumocystis. Pada percobaan hewan, tikus yang menghasilkan antibodi IgG anti-
Pneumocystis dapat melindungi hewan dari infeksi bahkan bila telah mengalami
deplesi sel T CD4+. Imunisasi aktif didemonstrasikan oleh Pascale et al. yang
menggunakan imunisasi intranasal dengan struktur antigen Pneumocystis-toksin kolera
fragmen B, yang menunnjukkan respons limfoproliferatif yang lebih tinggi dan
meningkatkan titer IgM, IgG, dan IgA. Dengan desain eksprimental yang sama, Garvy
et al. memberi imunisasi tikus dengan defisiensi IFN-γ atau IL-4 lalu menekan
imunitas mereka dengan deplesi sel T CD4+. Kedua kelompok tersebut mengalami
kesembuhan infeksi Pneumocystis tanpa adanya sel T CD4+. Imunisasi aktif juga telah
ditunjukkan oleh Wells et al. dengan protein rekombinan dari antigen Pneumocystis,
16
A12, dan antioksidan thioredoxin, menghasilkan penurunan beban jamur dalam
keadaan deplesi sel T CD4+.4
17
Efek samping kortikosteroid dan alasan untuk aerosol atau terapi alternatif dapat
dipahami jika produksi dan kontrol kortikosteroid endogen (tubuh sendiri) dipahami.
Jalur untuk melepaskan dan mengendalikan kortikosteroid adalah sumbu hipotalamus
pituitari adrenal (HPA). Stimulasi hipotalamus menyebabkan impuls dikirim ke daerah
yang dikenal sebagai median eminence, di mana faktor corticotropin releasing (CRF)
dilepaskan. CRF bersirkulasi melalui pembuluh portal ke kelenjar pituitari anterior,
yang kemudian melepaskan kortikotropin, atau hormon adrenokortikotropik (ACTH),
ke dalam aliran darah. ACTH pada gilirannya merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan glukokortikoid, seperti kortisol. Kortisol dan glukokortikoid pada
umumnya mengatur metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein untuk meningkatkan
kadar glukosa sebagai energi. Ini adalah alasan kortisol dan analognya disebut
glukokortikoid. Mereka juga dapat menyebabkan lipolisis, redistribusi simpanan
lemak, dan pemecahan simpanan protein jaringan. Hal ini adalah dasar efek samping
akibat obat glukokortikoid. Pemecahan protein menjadi asam amino (glukoneogenesis)
menyebabkan pemborosan otot, dan efeknya pada metabolisme glukosa dapat
meningkatkan kadar glukosa plasma yang disebut sebagai diabetes steroid. 13
18
kortikosteroid sistemik, dimulai setelah 1 hari perawatan, dan signifikan setelah 1
minggu terapi oral pada dosis biasa.13
Produksi glukokortikoid tubuh sendiri juga mengikuti siklus ritmis, disebut ritme
diurnal atau sirkadian. Pada jadwal harian kerja siang hari dan tidur malam hari, kadar
kortisol adalah paling tinggi di pagi hari sekitar jam 8 pagi. Kadar plasma yang tinggi
ini menghambat produksi dan pelepasan glukokortikoid dan ACTH oleh HPA karena
mekanisme umpan balik yang dijelaskan sebelumnya. Pada siang hari, kadar ACTH
dalam plasma dan kortisol secara bertahap menurun. Ketika kadar glukokortikoid
menurun, hipofisis anterior diaktifkan kembali untuk mulai melepaskan ACTH, yang
merangsang produksi kortisol oleh korteks adrenal. 13
19
Gambar 7. Siklus Diurnal
Efek terapi utama yang terlihat dengan analog dari hormon kortikal adrenal
hidrokortison alami (endogen) adalah antiinflamasi. Analog glukokortikoid
hidrokortison alami (endogen) digunakan untuk mengobati proses peradangan di paru.
Definisi umum dari peradangan adalah respon dari jaringan yang mengalami
vaskularisasi terhadap cedera. Deskripsi peradangan dikemukakan pada abad ke-1 oleh
Celsus yaitu "rubor, tumor, kalor dan dolor" yang diterjemahkan sebagai "kemerahan,
pembengkakan, panas dan nyeri." Ini adalah deskripsi paling umum dari reaksi
peradangan terhadap cedera, seperti luka, infeksi luka, serpihan, luka bakar, gesekan,
atau sengatan lebah.13
20
Flare: Warna kemerahan beberapa sentimeter dari lokasi cedera, terjadi
15 hingga 30 detik setelah cedera.
Wheal: Pembengkakan lokal, terjadi dalam hitungan menit
Proses peradangan yang menghasilkan hasil yang terlihat seperti yang dijelaskan
oleh Celsus, Lewis, dan lainnya disebabkan oleh empat kategori utama yaitu:
21
Beberapa teori menunjukkan bahwa terapi antiinflamasi tambahan dapat
mengurangi cedera paru dan memberi manfaat klinis pada pneumonia pneumocystis.
Terdapat peningkatan neutrofil yang berlebihan pada cairan lavase bronkoalveolus
orang yang mengalami PCP berat dan derajat neutrofilia berkorelasi dengan risiko
prognosis yang buruk. Selain itu, produk-produk neutrofil seperti elastase aktif dapat
ditemukan pada cairan lavase bronkoalveolus orang penderita PCP berat. Elastase dan
sistem enzim neutrofil lain, seperti NADPH oksidase, merupakan mediator-mediator
cedera paru yang penting dalam sindrom distres pernapasan. Kortikosteroid
mengurangi migrasi neutrofil ke situs inflamasi dan mengurangi kemampuan destruktif
dari neutrofil dan makrofag. Kortikosteroid juga mengganggu pelepasan dan kerja
berbagai mediator inflamasi dan sekuelenya seperti faktor kemotaktik neutrofil, zat-zat
metabolit arakhidonat, faktor pengaktif platelet, dan tumor necrosis factor.15
22
Secara teoritis, terdapat beberapa kerugian dalam memberikan agen
imunosupresi yang poten pada pasien yang sudah mengalami imunocompromissed.
Terdapat potensi terjadi imunosupresi lebih lanjut, yang bermanifestasi sebagai
terjadinya peningkatan keparahan atau rekurensi PCP dan timbulnya infeksi
oportunistik baru atau resisten atau suatu keganasan, dan hal ini menjadi kekhawatiran
pada pasien HIV yang menerima kortikosteroid sistemik. Tetapi, terdapat sedikit bukti
yang menunjukkan adanya imunosupresi lebih lanjut atau peningkatan infeksi pada
pasien terinfeksi HIV. Hal ini bertolak-belakang dengan penggunaan kortikosteroid
sistemik untuk menginduksi PCP pada model hewan percobaan. Perlu diingat kembali
bahwa terapi kortikosteroid sistemik dalam jangka pendek biasanya tidak
menimbulkan imunosupresi dalam tipe atau derajat yang sama seperti pada pemberian
kortikosteroid jangka panjang.14 Hal lain yang mendukung penggunaan kortikosteroid
untuk PCP adalah bahwa obat ini dapat menekan inflamasi pulmoner pada pasien
imunocompromissed non-HIV, namun efeknya terlihat saat kortikosteroid mulai
diturunkan dosisnya. Efek pada pasien HIV juga telah dilaporkan adanya perbaikan
baik dari segi klinis maupun radiologis.15
Sejauh ini, belum ada bukti yang mengemukakan dosis optimal atau durasi
pemberian kortikosteroid secara pasti.9 Berbagai laporan yang mendukung pemberian
23
kortikosteroid pada PCP telah menyarankan pemberian kortikosteroid pada dosis
ekuivalen prednison sebesar 20-300 mg per hari.11 Berdasarkan penelitian,
direkomendasikan diberikan kortikosteroid dalam waktu 72 jam dimulainya terapi
antimikroba pada pasien terinfeksi HIV dengan PCP, jika PaO2 ≤70 mmHg atau
perbedaan oksigen alveolus-arteri (AaDO2) ≥35.3 Untuk pasien terinfeksi HIV, saat
terapi antimikroba mulai membunuh organisme, maka terjadi peningkatan respons
inflamasi pada paru dan penurunan saturasi oksigen. Perburukan keadaan pernapasan
pasien PCP ini terjadi sekitar dua sampai tiga hari setelah memulai terapi anti-PCP,
sehingga kortikosteroid diberikan untuk mendampingi terapi anti-PCP dapat lebih baik
mengendalikan proses inflamasi tersebut.9 Untuk manfaat maksimal, steroid perlu
dimulai pada waktu yang sama dengan terapi PCP dan tidak melebihi dari 72 jam
dengan saran dosis berikut :9
- Prednisolon
o 40 mg bd selama 5 hari pertama (sesuai dengan dosis setara steroid
intravena)
o 40 mg di pagi hari selama 5 hari
o 20 mg di pagi hari selama 5 hari dan kemudian
o Turunkan sampai hitungan nol pada hari ke 21 dan berhenti secara
simultan dengan atau tanpa terapi anti-PCP akut 9
Dosis anak untuk PCP berat diberikan dalam dosis 1mg/kg berat badan dua kali
sehari untuk hari 1-5, kemudian 0.5 mg/kg satu kali sehari untuk hari 6-10, dan 0.5
mg/kg satu kali sehari untuk hari 11-21. Adapun regimen alternatif dengan
metilprednisolon intravena yaitu 1 mg/kg/dosis tiap enam jam untuk hari 1-7, 1
mg/kg/dosis sekali sehari untuk hari 8-9, 0.5 mg/kg/dosis dua kali sehari untuk hari 10-
11, dan 1 mg/kg/dosis satu kali sehari untuk hari ke-12 hingga hari ke-16.12
24
penelitian yang dilakukan mengenai efektivitas penggunaan kortikosteroid tambahan
pada pasien PCP yang tidak terinfeksi HIV. Sebuah studi yang dilakukan oleh Moon
et al. yang meneliti PCP pada pasien HIV dan non-HIV, tidak menunjukkan adanya
perbedaan efek dari penggunaan kortikosteroid tambahan pada pasien yang menerima
transplantasi organ. Studi ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam
tingkat mortalitas 90-hari akibat penyebab apapun antara kelompok yang menerima
kortikosteroid maupun yang tidak menerima steroid (perbedaan 6%, p = 0.59).
Walaupun hasil pada studi ini juga dapat dipengaruhi oleh jumlah sampel yang sedikit
sehingga menyebabkan kekuatan kemaknaan statistik yang lemah.3
25
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun PCP sering terjadi pada individu terinfeksi HIV, pemberian anti-PCP
saja tampaknya dapat memperburuk keadaan pasien pada awalnya karena respons
inflamasi berlebihan yang ditimbulkan. Pemberian kortikosteroid, walaupun masih
kontroversial, secara teori dapat menekan respons inflamasi yang timbul dan dapat
membantu mengurangi risiko kematian pasien. Dosis optimal yang tepat masih banyak
diperdebatkan, namun paling banyak direkomendasikan dengan prednison oral selama
21 hari, yang diberikan sebagai tambahan atau pendamping terapi anti-Pneumocystis.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Dichter JR, Lundgren JD, Nielsen TL, Jensen BN, Schattenkerk J, Benfield TL,
et al. Pneumocystis carinii pneumonia in HIV-infected patients: effect of steroid
therapy on surfactant level. Respir Med. 2002;93(6):373–8.
3. Moon SM, Kim T, Sung H, Kim MN, Kim SH, Choi SH, et al. Outcomes of
moderate-to-severe Pneumocystis pneumonia treated with adjunctive steroid in
non-HIV-infected patients. Antimicrob Agents Chemother. 2011;55(10):4613–
8.
27
10. Venkatesan P. Guideline for the Treatment of Pneumocystis jirovecii pneumonia
(PCP) in Adults. 2017;(January):10. Available from:
https://www.nuh.nhs.uk/download.cfm?doc=docm93jijm4n647.pdf&ver=4793
11. Sistek CJ, Wordell CJ, Hauptman SP. Adjuvant corticosteroid therapy for
pneumocystis carinii pneumonia in aids patients. Ann Pharmacother.
1992;26(9):1127–33.
28