Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah penyakit paru yang sering timbul
pada pasien dengan infeksi HIV.1 Pada awal epidemi AIDS, Pneumocystis carinii
pneumonia dianggap sebagai infeksi pernapasan yang paling sering dan berat pada
pasien HIV.2 Penyakit ini dapat mengancam jiwa bila tidak diberikan terapi segera.1
Insiden PCP telah berkurang secara signifikan dengan adanya terapi antiretrovirus.
Namun, meningkatnya populasi yang mengalami imunocompromissed tanpa HIV dan
meningkatnya kasus HIV di negara berkembang membuat Pneumocystis menjadi
sebuah patogen yang terus menarik perhatian dan menjadi ancaman kesehatan global.3

Pada tahun 1990 dan 1997, walaupun terdapat perkembangan dalam terapi
antiretrovirus dan profilaksis PCP yang efektif, PCP tetap menjadi penanda HIV pada
lebih dari 15% kasus. Sebagian besar pasien HIV yang mengalami PCP tidak
menyadari hal ini atau tidak melakukan follow-up.2 Tingkat mortalitas pasien PCP
mencapai 90% dilaporkan pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik. Tetapi,
faktor risiko mortalitas PCP terkait HIV belum dievaluasi ulang semenjak adanya
steroid ajuvan.2

Pneumocystis telah teridentifikasi pada semua spesies mamalia yang diteliti


sejauh ini. Kesulitan dalam melakukan kultur organisme ini atau mengisolasinya dari
lingkungan membuat organisme ini sulit diidentifikasi siklus hidupnya.3 Mekanisme
bagaimana Pneumocystis menimbulkan kerusakan paru dan kelainan pertukaran gas
masih belum sepenuhnya dipahami, dan awalnya diduga organisme ini merupakan
parasit obligat. Sebelumnya, PCP diyakini merupakan reaktivasi dari infeksi laten yang
setara dengan Toxoplasma gondii. Tetapi semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa PCP bukan merupakan reaktivasi infeksi yang bersifat dorman, melainkan
reinfeksi yang belum diketahui dari sumber manusia atau lingkungan.4

1
Mekanisme yang mungkin terlibat adalah pengisian alveolus, kerusakan sel tipe
I dan II pada rongga alveolus sebagai efek langsung dari organisme atau efek aktivasi
makrofag, limfosit, atau fibroblas sebagai bagian dari respons inflamasi terhadap suatu
organisme.1

Pada beberapa percobaan acak, PCP memiliki tingkat mortalitas 90 hari sebesar
13-20% walaupun diberi terapi trimethoprime-sulfamethoxazole, dan pada pasien
dengan PaO2 < 70 mm Hg pada udara ruangan, diberikan tambahan terapi steroid.2
Percobaan ini menunjukkan adanya manfaat pemberian kortikosteroid terhadap
kelangsungan hidup pasien PCP. Karena hal ini, kortikosteroid perlu diberikan dalam
waktu 72 jam setelah terapi antimikroba dimulai pada pasien HIV dengan PCP bila
tekanan parsial oksigen arteri PaO2 ≤70 mmHg atau perbedaan oksigen alveolus-arteri
(AaDO2) ≥35.3

Banyak peneliti yang mencemaskan mengenai penggunaan agen imunosupresan


seperti kortikosteroid, pada kelompok pasien yang sudah mengalami imunosupresi
berat. Insiden infeksi oportunistik pada pasien terinfeksi HIV yang diberikan
kortikosteroid tambahan untuk infeksi Pneumonitis carinii masih belum diketahui. Dua
studi sebelumnya telah mengemukakan risiko timbulnya tuberkulosis dalam
penggunaan steroid tambahan untuk PCP. Penelitian Jones et al melaporkan pada 144
pasien terinfeksi HIV dengan PCP di Los Angeles, bahwa tidak terdapat perbedaan
jumlah tuberkulosis antara pasien yang menerima atau tidak menerima kortikosteroid
untuk terapi PCP. Selain itu, Martos et al melaporkan tidak ada efek kortikosteroid
dengan timbulnya tuberkulosis dalam perkembangan tuberkulosis pada 129 sampel.5
Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis ingin membahas lebih lanjut bagaimana
imunopatomekanisme steroid pada PCP.

2
BAB II

ISI

Pneumocystiis carinii Pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunistik yang paling


sering timbul pada pasien dengan infeksi HIV. Infeksi ini disebabkan oleh
Pneumocystiis jirovecii (sebelumnya disebut P. carinii, dan hingga kini masih disebut
sebagai PCP).6 Banyak peneliti mengklasifikasikan organisme ini sebagai protozoa
berdasarkan responnya terhadap obat antiprotozoa (pentamidine dan
trimethoprim/sulfamethoxazole [TMP/SMX]). Namun, beberapa pihak
memperdebatkan bahwa organisme ini termasuk kelompok jamur berdasarkan
karakteristik struktural tertentu dan kemampuan pewarnaannya.7 Organisme ini
dijelaskan lebih lanjut oleh Otto Jirovec, dan membedakannya dengan jenis
Pneumocystis yang lebih sering pada hewan pengerat, yaitu Pneumocystis carinii dan
Pneumocystis murina.4

Meskipun penggunaan profilaksis antimikroba efektif pada pasien


immunocompromised, Pneumocystis jiroveci tetap menjadi patogen oportunistik yang
penting. Kejadian pneumocystis pneumonia (PCP) telah menurun dengan adanya
profilaksis antimikroba yang sesuai pada host yang rentan dan dengan munculnya
terapi antiretroviral (HAART) yang sangat efektif pada orang yang terinfeksi HIV.
Namun PCP tetap merupakan penyakit yang penting pada infeksi HIV di negara
berkembang dengan angka mortalitas yang tinggi.5

Mekanisme bagaimana Pneumocystis menimbulkan kerusakan paru dan kelainan


pertukaran gas masih belum sepenuhnya dipahami, dan sebelumnya diduga infeksi ini
merupakan organisme parasit obligat. Awalnya, PCP diduga merupakan infeksi yang
terjadi saat usia yang sangat dini pada manusia, dan pada individu yang
imunokompeten, infeksi akan terkendali dan organisme berada dalam keadaan yang
dorman. Sebelumnya, PCP diyakini merupakan reaktivasi dari infeksi laten yang setara
dengan Toxoplasma gondii. Tetapi semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa

3
PCP bukan merupakan reaktivasi infeksi yang bersifat dorman, melainkan reinfeksi
yang belum diketahui dari sumber manusia atau lingkungan.4

SEJARAH

Bentuk kista dari Pneumocystis pertama kali dideskripsikan pada tahun 1909
oleh parasitolog terkenal, Chagas. Tahun 1910 oleh rekannya Carinii digambarkan
sebagai parasit dan bagian dari siklus hidup Trypanosoma cruzi. Organisme ini pertama
kali dikaitkan dengan infeksi paru pada tikus oleh Delanoe tetapi tidak dikenali pada
manusia sampai tahun 1942. Tahun 1952 ditemukan hubungan dengan "pneumonitis
interstitial sel plasma" pada anak-anak yang kekurangan gizi dan neonatus.
Epidemiologi kecil pneumonitis interstitial sel plasma telah ditemukan pada anak-anak
di panti asuhan Eropa pada 1930-an dan setelah Perang Dunia II dan Perang Vietnam.
Pada 1950-an, defisiensi imun bawaan dan pengembangan terapi imunosupresif
mengidentifikasi host baru untuk PCP. Pada saat itu, PCP diakui pada pasien yang
menerima kortikosteroid dan obat kemoterapi serta pada tikus yang diberi
imunosupresi kortikosteroid.5

Meningkatnya insiden PCP menyebabkan studi epidemiologi dan terapi penyakit


oleh Centers for Disease Control (CDC) pada tahun 1970-an, berdasarkan pada
penyediaan agen terapi tunggal yang tersedia saat itu adalah pentamidine. Kelompok
P. carinii dilaporkan di berbagai pusat onkologi klinis dan transplantasi. Namun,
perkembangan pyrimethamine, sulfadoxine, serta trimethoprim (TMP) dan
sulfamethoxazole (SMX) untuk pengobatan dan pencegahan infeksi Pneumocystis
sangat mengurangi kejadian dan morbiditas infeksi. Agen ini sekarang umumnya
digunakan dalam kombinasi tetap (TMP-SMX, atau kotrimoksazol). Pneumocystis
carinii dikenal di seluruh dunia sebagai penyakit pertama yang terkait dengan infeksi
HIV pada 1980-an, menyebabkan lebih dari seperempat pneumonia pada orang yang
terinfeksi HIV dan lebih dari 200.000 kasus PCP sejak 1979.5

4
STRUKTUR DAN SIKLUS SEL

Pada manusia dan hewan, tiga bentuk organisme telah diidentifikasi yaitu
trofozoit, kista, dan sporozoit. Trofozoit, berdiameter 2 sampai 5 μ, berbentuk bulat
atau sabit mengandung nukleus, mitokondria, dan vakuola. Ini juga termasuk
pseudopodia dan filopodia, digunakan dalam motilitas terbatas. Kista biasanya
berukuran antara 3 dan 6 μ. Dinding selnya terdiri dari tiga lapisan, dan sitoplasmanya
mengandung delapan benda kecil oval intrakistik pleomorfik yang disebut sporozoit.5

Dalam alveolus, Pneumocystis ditutupi dengan berbagai glikoprotein yang


berasal dari organisme dan inang. Organisme menghasilkan susunan glikoprotein
permukaan yang relatif terbatas dengan berbagai epitop antigenik. Dinding sel
mengandung kolesterol tetapi tidak ada ergosterol dan tampaknya tidak mensintesis
sterol de novo; ini kemungkinan menjelaskan kurangnya kerentanan terhadap
antibiotik antijamur azol dan poliena. Keberadaan kitin di dinding sel masih
kontroversial. Permukaan P. jiroveci kaya akan karbohidrat dengan glukosa, mannose,
dan β-1,3-glukan, yang terakhir dapat berperan dalam fagositosis organisme oleh
makrofag dan dapat memberikan potensi diagnostik dan target terapi untuk
echinocandin, agen antijamur. Permukaan juga mengandung gugus pengikat
karbohidrat, yang mungkin berperan dalam perlekatan pada lapisan epitel atau
surfaktan.5

Pneumocystis memiliki tropisme unik untuk paru yang hidup pertama kali
sebagai suatu patogen alveolar tanpa menginvasi inangnya. Secara mikroskopis dapat
teridentifikasi bentuk tropik (diameter 1-4 um) dan bentuk kista (diameter 8 um),
sedangkan tiga tahapan bentuk prekista teridentifikasi dengan mikroskop elektron.6

5
Gambar 1. Siklus Hidup Pneumocystis Carinii 5

Tropozoit berasal dari kista. Setiap kista matur mengandung hingga 8 badan
intrakistik, yang akan menghasilkan 8 tropozoit. Awalnya tropozoit bersifat haploid
dan membelah biner. Dua tropozoit berkonjugasi menjadi sel diploid kemudian
membelah menjadi tropozoit haploid atau memulai proses meiosis dengan dua siklus
meiosis dimana pembelahan tiga nukleus terjadi, membentuk sel sferis dengan delapan
anak inti. Selanjutnya terjadi proses delimitasi sel, membentuk delapan badan.7

A B
Gambar 2. Gambaran Tropozoit Pneumocystis jiroveci. (A) Potongan tipis menunjukkan beberapa
tropozoit (T) pada bagian apikal pneumosit (P). (B) Gambaran skematik tropozoit 7

6
A B
Gambar 3. Gambaran Kista Pneumocystis jiroveci. (A) Potongan tipis menunjukkan beberapa bentuk
kista Pneumocystis. (B) Gambaran skematik kista Pneumocystis7

Dinding kista Pneumocystis sebagian besar terbentuk oleh β-glucan, suatu kompleks
polisakarida. Fungsi utama dinding ini adalah memberi kekuatan dan perlindungan
organisme terhadap kondisi lingkungan di luar inang. Pemeliharaan dinding kista
merupakan suatu proses dinamis formasi dan degradasi. Proses dinamik ini difasilitasi
oleh β-glucan sintetase yang membentuk β-1,3-glucan homopolimer yang menyokong
dinding kista, dan β-glucanase yang bersama protein lain berperan dalam degradasi dan
restrukturisasi dinding.8

TAKSONOMI DAN BIOLOGI MOLEKULER

Data filogenetik mendukung identifikasi Pneumocystis jiroveci dengan kerajaan


taksonomi jamur (Rhizopoda, Myxomycetes, Zygomycota, Schizosaccharomyces,
Neurospora, Candida, dan ragi merah dalam berbagai penelitian), daripada kerajaan
parasit protozoa. Ini didasarkan pada sekuens mRNA yang dikonservasi dan temuan
lainnya. Kehadiran gen terpisah yang mengkode thymidylate synthase dan
dihydrofolate reductase dari Pneumocystis jiroveci, adanya dinding kista yang kaya
akan β-glukan yang diwarnai dengan asam periodik - Schiff dan pewarnaan perak ,
mitokondria yang berkembang buruk, tidak adanya organel intraseluler protozoa yang

7
khas, dan penyebaran infeksi melalui udara semuanya mendukung posisi taksonomi
ini. Fraksi lipid netral Pneumocystis jiroveci mencakup berbagai fitosterol yang
digunakan bersama oleh tanaman dan jamur, termasuk spesies Physarum.5

IMUNOPATOGENESIS PCP

PCP berkaitan dengan imunosupresi, terutama HIV, atau pada pasien hematologi
(terutama pasien ALL dan pasca transplantasi sumsum tulang), onkologi (pasien
kanker dalam kemoterapi), dan transplantasi ginjal.4,9 Insiden PCP pada populasi non-
HIV juga dapat terjadi pada anak yang lahir prematur dan mengalami malnutrisi.
Meningkatnya penggunaan agen imunosupresan dan kemoterapi baik dalam jangka
panjang atau dengan dosis tinggi telah menimbulkan peningkatan kasus PCP. Tingkat
keparahan PCP pada pasien non-HIV lebih berat daripada mereka yang terinfeksi HIV,
dengan onset yang lebih cepat dan ganas. Kondisi lain yang telah dikaitkan dengan
risiko PCP yang lebih tinggi yaitu penyakit kolagen vaskular, seperti granulomatosis
Wegener, dan inflammatory bowel disease. Akhir-akhir ini, PCP juga telah ditemukan
pada pasien dengan artritis reumatoid dan penyakit Crohn yang menerima terapi anti-
TNF α.4

Mekanisme spesifik bagaimana PCP dapat menimbulkan hipoksemia masih


belum sepenuhnya dipahami. Inflamasi interstisial, eksudat alveolus dan kemungkinan
deplesi surfaktan dapat memainkan peran yang penting.1 Temuan histologis
menunjukkan pada PCP yang bersifat fatal, terjadi cedera paru berat yang ditunjukan
dalam kerusakan alveolus, inflamasi interstisial, edema jaringan, fibrosis, bahkan
atelektasis mikroskopik dan pengisian alveolus. Ditemukan pula membran hialin serta
hiperplasia sel pneumosit tipe II. Adapun faktor prognostik utama adalah penanda
cedera paru yaitu oksigenasi, kadar dehidrogenase laktat (LDH), tingkat keparahan
abnormalitas yang ditemukan pada radiografi toraks, dan adanya edema interstisial atau
fibrosis pada biopsi.11 Pneumocystis memiliki tropisme pada rongga alveolus paru dan
makrofag alveolus (AM) sebagai lini pertama pertahanan hospes untuk mengendalikan

8
mikroorganisme dan pencegahan infeksi. Makrofag alveolus dapat secara langsung
membunuh trofozoit dan kistanya, dan terdapat banyak studi yang menunjukkan
korelasi terbalik antara jumlah makrofag dan tingkat keberatan PCP. Sebagai sel
fagositik, AM menyadari pola molekuler terkait patogen pada permukaan
mikroorganisme melalui pattern-recognition receptors (PRR). Lalu terjadi perlekatan
setelah aktivasi makrofag dan/atau fagositosis dan fusi fagolisosomal yang mengarah
terjadinya degradasi organisme asing. Selain itu, AM yang teraktivasi selanjutnya
dapat mengaktivasi sel T, CD4+ dan CD8+, menyebabkan terpicunya respons imun
adaptif.4

Imunitas Bawaan

Telah teridentifikasi beberapa reseptor pada AM dan permukaan molekul terkait


pada Pneumocystis yang berhubungan dengan perlekatan dan ingesti/fagositosis,
seperti gpA (disebut juga MSG/major surface glycoprotein) yang memungkinkan
Pneumocystis untuk berikatan pada reseptor mannose (MR) pada AM. Fagositosis AM
pada Pneumocystis individu HIV berkurang hingga 74% bila ekspresi MR permukaan
berkurang sebesar 80%. Sel pada pasien dengan HIV menunjukkan tingkat fagositosis
Pneumocystis terendah dan endositosis MR paling sedikit. Pada infeksi Pneumocystis,
terjadi pembuangan MR dalam bentuk larut ke cairan alveolus ekstraseluler pasien
terinfeksi HIV. Ikatan antara Pneumocystis dengan MR juga menimbulkan aktivasi
NF-кB, sehingga meningkatkan produksi kemokin, IL-8 dan matriks
metalloproteinase-9, dan respons ini berlebihan pada pasien HIV.4

Reseptor β-glucan adalah kelas PRR nonspesifik yang menjadi bagian signifikan
pada dinding sel Pneumocystis, dan memiliki kemampuan untuk memicu produksi
TNF-α dan homolog IL-8, protein inflamasi makrofag (MIP)-2, dari AM melalui
translokasi NF-кB. Dijelaskan selanjutnya bahwa glikoprotein serum vitronektin dan
fibronektin berikatan dengan β-glucan dan meningkatkan respons AM serta
menghasilkan produksi IL-6 yang signifikan. Reseptor utama β-glucan yang ditemukan

9
oleh Brown dan Gordon yaitu dectin-1 di makrofag, pada jaringan paru, hepar, dan
timus. Dectin-1 juga memediasi fagositosis nonopsonik pada jamur patogen
oportunistik Candida albicans. Steele et al. menemukan bahwa dectin-1 membunuh
jamur tersebut dengan menghasilkan spesies oksigen reaktif, dan pada Pneumocystis,
dectin-1 diperlukan untuk pelepasan MIP-2.4

Kelas PRR pada AM yang berperan penting pada respons inflamasi namun tidak
pada fagositosis jamur patogenik adalah Toll-like receptors (TLR). Sebagai respon
terhadap β-glucan dari Pneumocystis, TLR selain TLR-4 terlibat dalam respons
inflamasi AM terhadap jamur ini. Pada model tikus, jamur ini menimbulkan infeksi
yang lebih berat dibandingkan kontrol, termasuk peningkatan kehilangan berat badan,
peningkatan produksi sitokin inflamasi, dan turunnya penekanan sitokin, sehingga
TLR-4 membantu meregulasi respons inflamasi hospes melalui produksi sitokin oleh
AM. Akhir-akhir ini, TLR-2 ditemukan menjadi TLR utama untuk Pneumocystis. Sel
AM tikus normal memiliki ekspresi TNF-α dan MIP-2 via aktivasi NF-кB melalui
TLR-2, sedangkan transkripsi TLR-2, tidak termasuk TLR-3, mengalami peningkatan
pada AM dalam respons terhadap Pneumocystis. Selain itu, respons terhadap patogen
diblokade dengan antibodi anti-TLR-2. Menariknya, Tachado et al. menemukan bahwa
makrofag manusia yang terpapar Pneumocystis membutuhkan koekspresi TLR-2 dan
MR untuk mengekspresikan IL-8. Pentingnya TLR-2 semakin digarisbawahi oleh studi
hewan dengan model tikus yang diberi TLR-2, yang menunjukkan berkurangnya
respons imun terhadap PCP yang sesuai dengan peningkatan tingkat keparahan PCP
dan beban organimse. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya TLR-2 tidak
mempengaruhi fagositosis Pneumocystis. Serupa dengan TLR, SRA (reseptor
scavenger A) pada makrofag, ditemukan berperan dalam respon imun terhadap patogen
jamur, namun SRA itu sendiri tidak mempengaruhi fagositosis patogen.4

Aspek lain pertahanan hospes terhadap Pneumocystis adalah peran protein


surfaktan.4 Perubahan lemak surfaktan paru, konsentrasi protein surfaktan dan aktivitas
surfaktan telah dilaporkan pada berbagai tipe cedera paru.1 Surfaktan paru adalah
kompleks lemak dan protein yang disekresi oleh sel alveolar tipe II untuk mengurangi

10
tegangan permukaan pada pertemuan udara dengan cairan, mencegah kolaps alveolus
pada volume paru rendah dan memiliki peran dalam imunitas paru bawaan. Terdapat
empat protein yang terbagi dalam dua kelompok: protein hidrofobik, SP-B dan SP-C,
berperan mengatur tegangan permukaan, dan protein hidrofilik SP-A dan SP-D,
berperan dalam imunitas paru bawaan. Bila terjadi penekanan SP-B dan SP-C, terjadi
peningkatan tegangan permukaan, sehingga dapat terjadi kegagalan pernapasan
hipoksemia pada pasien PCP. Sebaliknya, SP-A dan SP-D diketahui berperan dalam
menyingkirkan jamur patogen Aspergillus fumigatus dan Histoplasma capsulatum dari
paru. Kedua protein ini mengikat moietas mannose Pneumocystis dan infeksi
menunjukkan adanya peningkatan produksi dua protein ini. Pada model hewan yang
defisiensi SP-A, timbul kerentanan terhadap Pneumocystis dan produksi sitokin
inflamasi meningkat. Selain itu, ekspresi SP-D berlebihan menyebabkan beban
organisme yang lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol, yang menunjukkan bahwa SP-
D membantu perkembangan infeksi Pneumocystis dan inflamasi paru terkait pada
model tikus dengan imunosupresi.4

Pada manusia, cedera paru akut berkaitan dengan penurunan BAL fosfatidilkolin
dan SP-A. Pada orang dewasa dengan pneumonia bakterialis dan pada anak dengan
pneumonia bakteri atau virus, konsentrasi SP-A mungkin berkurang. Sitokin
proinflamasi tumor necrosis factor (TNF) menghambat produksi SP-A dengan
mengisolasi sel alveolus tipe II.1

11
Gambar 4. Skema Cedera Paru yang Dimediasi Respons Imun pada PCP. 12

Mekanisme Pemusnahan Pneumocystis

Setelah Pneumocystis difagositosis, jamur ini dimatikan oleh AM yang sehat.


Komponen oksidatif makrofag akan pecah, dan mengeluarkan hidrogen peroksida dan
digunakan dalam mematikan Pneumocystis. AM dari individu HIV dengan jumlah sel
T CD4 di bawah 200 sel/mm3 memiliki produksi hidrogen peroksida yang secara

12
signifikan lebih sedikit, dan efek ini lebih jelas terjadi pada pasien dengan PCP aktif.
Selain itu, pelepasan nitrit oksida dan zat perantara nitrogen reaktif (RNI; reactive
nitrogen intermediates) juga penting dalam fungsi mikrobisidal makrofag.4

AM memerlukan limfosit seperti interferon gamma untuk memberi efektivitas


maksimal dalam pertahanan hospes. Imunosupresi, baik akibat penyakit HIV itu sendiri
atau terapi imunosupresi, memiliki konsekuensi yang besar dalam infeksi.
Imunosupresi memberi pengaruh langsung pada jumlah makrofag. Pentingnya AM
pada pertahanan hospes melawan Pneumocystis ditekankan pada sebuah studi yang
menginduksi deplesi AM secara kimiawi pada tikus normal, diikuti dengan tantangan
Pneumocystis. Ditemukan bahwa tikus yang mengalami deplesi AM memiliki beban
jamur yang lebih tinggi di jaringan paru dibandingkan tikus yang tidak mengalami
deplesi. Studi oleh Lasbury et al. menunjukkan korelasi langsung antara beban jamur
organisme ini dengan jumlah AM saat infeksi dan pemulihan.4

Akhir-akhir ini, telah ditemui bahwa hilangnya AM selama infeksi PCP sebagian
dikarenakan terjadinya apoptosis yang dimediasi oleh enzim kaspase-9. Poliamina juga
terlibat dalam regulasi siklus sel, dan pada intraseluler mendorong peningkatan spesies
oksigen reaktif yang mengarah pada apoptosis. Lasbury et al. menemukan bahwa kadar
tinggi poliamina ditemukan dalam AM dan pada alveolus tikus terinfeksi
Pneumocystis, dan cairan lavase bronkial dari tikus terinfeksi menyebabkan makrofag
mengalami apoptosis. Mekanisme terjadinya hal ini dibantu oleh ekspresi berlebihan
AZI (inhibitor antizyme) dalam fagosit yang meningkatkan pengambilan poliamina
pada makrofag. Mekanisme lainnya juga melalui persinyalan melalui PI-3K.
Persinyalan PI-3K aktif dikendalikan sebagian oleh GM-CSF (granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor).4

Selain AM, sel dendritik (DC; dendritic cells) dan sel imun efektor juga penting
yang terletak di epitel jalan nafas, septa alveolus, dan di sekitar pembuluh-pembuluh
pulmoner. Sel ini memiliki respons cepat terhadap antigen yang terhirup. Perannya
dalam infeksi jamur seperi A. fumigatus dan C. albicans telah banyak dilaporkan.
Tetapi studi mengenai peran sel dendritik terhadap imunitas melawan Pneumocystis

13
masih cukup sedikit. Sel dendritik aktif menghasilkan sitokin dan migrasi ke nodus
limfe kemudian mengaktifkan respons sel T terhadap antigen. Neonatus, tanpa melihat
status HIV, cenderung lebih rentan mengalami infeksi dan kolonisasi Pneumocystis.
Hal ini ditunjukkan pada studi yang membuktikan adanya klirens yang lebih lama
berkaitan dengan faktor maturasi DC yang tidak efisien, sehingga berkurangnya
fagositosis dan migrasi DC ke saluran limfatik. Kemampuan DC untuk mengaktifkan
sel T adalah komponen yang penting dalam imunitas melawan patogen dan DC yang
telah dimodifikasi genetik telah digunakan sebagai vaksin independen sel T CD4+
terhadap model infeksi Pneumocystis dalam studi Zheng et al. Studi ini menunjukkan
bahwa DC yang berasal dari sumsum tulang dan dimodifikasi genetik untuk
mengekspresikan ligan CD40 menjadi aktif dan mengekspresikan MHC kelas II dalam
kadar yang tinggi serta IL-12p70. Hal ini menginduksi antibodi IgG anti-Pneumocystis
dan melindungi tikus dari PCP. Ketika sel T CD4 mengalami deplesi, tikus yang diberi
DC terpapar Pneumocystis menunjukkan supresi pertumbuhan patogen.4

Tidak seperti infeksi jamur oportunistik seperti C. albicans, insiden infeksi


Pneumocystis cukup langka dan keadaan imunodefisiensi terkait dengan neutropenia.
Neutrofil berhubungan dengan inflamasi, dan maka dari itu dapat mempengaruhi
keparahan penyakit ini. Inflamasi dan penurunan fungsi paru akibat PCP pada individu
HIV telah ditemukan berkorelasi dengan adanya peningkatan hitung neutrofil. Swain
et al. menemukan bahwa neutrofil dapat dijadikan penanda yang valid untuk kerusakan
paru dan prognosis selama infeksi. Namun, baik neutrofil, oksigen atau nitrogen reaktif
tampaknya menjadi agen kausal kerusakan jaringan ini, dan sel imun bawaan ini
tampaknya tidak memiliki peran besar dalam klirens Pneumocystis.4

Imunitas Adaftif

Respon imun hospes selama PCP melibatkan kompleks interaksi antara sel T
CD4 dan CD8, AM, DC, neutrofil, dan mediator terlarut yang membantu
menyingkirkan infeksi. Sel T CD4+ berperan dalam fungsi sel memori yang
mengkoordinasi respons inflamasi dengan memanggil dan mengaktifkan sel efektor.
Studi yang berfokus pada aktivasi sel T mendemonstrasikan bahwa kehilangan reseptor

14
kostimulatorik CD28 cukup untuk membuat tikus menjadi rentan terhadap infeksi
organisme ini. Deplesi CD2 dan CD28 lebih lanjut menyebabkan timbulnya PCP yang
mematikan akibat terkumpulnya sel T CD8+, turunnya titer antibodi dan disregulasi
produksi sitokin, terutama IL-10 dan IL-15, sehingga mempengaruhi perkembangan
sel T memori.4

Respons sel T juga dapat menimbulkan gangguan pulmoner dalam PCP, pada
tikus percobaan ditemukan hanya mengalami kerusakan paru minimal sampai penyakit
dalam stadium lanjut. Namun, hewan ini mengalami rekonstitusi dengan splenosit,
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Roths dan Sidman juga
menunjukkan bahwa sel T CD4 yang ditransfer setelah beban organisme cukup berat
dapat menimbulkan reaksi hiperinflamasi yang fatal, disebut penyakit rekonstitusi
imun (IRD/immune reconstitution disease). Pada onset IRD terkait PCP, pasien tidak
lagi memiliki infeksi Pneumocystis yang berat, menunjukkan bahwa keparahan
penyakit sebenarnya berkaitan langsung dengan derajat perbaikan imun.4

Sel T CD8+ bekerja bersama sel T CD4+ pada respons imun terhadap infeksi
Pneumocystis. Namun, peran sel T CD8 masih diperdebatkan bersifat protektif atau
malah merugikan. Gigiliotti et al. menunjukkan bahwa dalam periode 6 minggu model
tikus, sel T CD8 tidak terlibat dalam pemusnahan jamur. Terlebih lagi rekonstitusi yang
sensitisasi sel T CD8+ gagal untuk mengendalikan beban organisme, tetapi malah
mengakselerasi onset cedera paru. Beberapa studi lain menunjukkan bahwa sel T CD8+
dapat bersifat protektif terhadap infeksi Pneumocystis, walaupun hal ini bergantung
pada fenotip T sitotoksik yang didefinisikan sebagai produksi interferon gamma yang
tinggi. Penghantaran IFN-γ melalui aerosol atau melalui ekspresi berlebihan dengan
transfer gen dimediasi oleh adenovirus menggunakan Ad-FIN telah menunjukkan hasil
dalam klirens Pneumocystis dengan hilangnya sel T CD 4+, dan hal ini dikaitkan
dengan peningkatan rekrutmen sel T CD8+ yang menghasilkan IFN-γ.4

Karena PCP sangat berhubungan erat dengan infeksi HIV, sebagian besar
penelitian berfokus pada sel T CD4+. Tetapi terdapat bukti bahwa sel B dan respons
antibodi spesifik untuk organisme ini juga memainkan peran penting dalam imunitas

15
terhadap patogen jamur ini. Secara klinis, infeksi PCP mempersulit kemoterapi
bertarget sel B untuk tatalaksana limfoma non-Hodgkin, menunjukkan pentingnya
limfosit ini sebagai sel efektor terhadap infeksi Pneumocystis. Selain itu, antibodi
terhadap jamur ini dapat dideteksi pada manusia usia yang sangat muda. Banyak studi
terbaru yang menentukan bahwa pasien PCP dengan HIV memiliki kadar IgG spesifik
Pneumocystis yang setara atau lebih tinggi daripada pasien PCP tanpa infeksi HIV.
Beberapa studi juga menemukan bahwa lokasi geografis, episode PCP sebelumnya,
serta usia pasien HIV juga memiliki peran penting dalam responsivitas serum terhadap
antigen permukaan Pneumocystis.4

Studi pada hewan telah menentukan bahwa antibodi yang mendominasi adalah
IgG, namun terdapat juga sebagian IgM. IgM mengenali glikoprotein permukaan gpA
Pneumocystis dan memiliki sifat proteksi parsial terhadap infeksi paru dengan
imunosupresi. Studi ini juga menemukan bahwa pemberian IgM anti-Pneumocystis
melalui rute intranasal memiliki efek proteksi. Serum hiperimun juga ditemukan sangat
efektif dalam mengurangi jumlah organisme pada semua stadium infeksi PCP pada
tikus dan meningkatkan masa hidup hewan tersebut. Serum hiperimun dapat mencegah
IRD terkait transfer limfosit yang disensitisasi dengan Pneumocystis. Wells et al.
menemukan bahwa profilaksis pasif dengan IgG1 anti-Pneumocystis terhadap kexin
(sebuah protease serin). Imunisasi aktif juga telah didemonstrasikan terhadap infeksi
Pneumocystis. Pada percobaan hewan, tikus yang menghasilkan antibodi IgG anti-
Pneumocystis dapat melindungi hewan dari infeksi bahkan bila telah mengalami
deplesi sel T CD4+. Imunisasi aktif didemonstrasikan oleh Pascale et al. yang
menggunakan imunisasi intranasal dengan struktur antigen Pneumocystis-toksin kolera
fragmen B, yang menunnjukkan respons limfoproliferatif yang lebih tinggi dan
meningkatkan titer IgM, IgG, dan IgA. Dengan desain eksprimental yang sama, Garvy
et al. memberi imunisasi tikus dengan defisiensi IFN-γ atau IL-4 lalu menekan
imunitas mereka dengan deplesi sel T CD4+. Kedua kelompok tersebut mengalami
kesembuhan infeksi Pneumocystis tanpa adanya sel T CD4+. Imunisasi aktif juga telah
ditunjukkan oleh Wells et al. dengan protein rekombinan dari antigen Pneumocystis,

16
A12, dan antioksidan thioredoxin, menghasilkan penurunan beban jamur dalam
keadaan deplesi sel T CD4+.4

IMUNOPATOMEKANISME STEROID PADA PCP

Kortikosteroid adalah sekelompok bahan kimia yang dikeluarkan oleh korteks


adrenal dan disebut sebagai hormon korteks adrenal. Kelenjar adrenal atau suprarenal
terdiri dari dua bagian. Zona dalam adalah medula adrenal dan menghasilkan epinefrin.
Zona luar adalah korteks, yang merupakan sumber kortikosteroid. Tiga jenis hormon
kortikosteroid diproduksi oleh korteks adrenal: glukokortikoid (mis., Kortisol),
mineralokortikoid (mis.,aldosteron), dan hormon seks (mis., androgen dan estrogen).
Aldosteron mineralokortikoid mengatur air tubuh dengan meningkatkan jumlah
reabsorpsi natrium dalam tubulus ginjal. 13

Gambar 5. Kelenjar adrenal

17
Efek samping kortikosteroid dan alasan untuk aerosol atau terapi alternatif dapat
dipahami jika produksi dan kontrol kortikosteroid endogen (tubuh sendiri) dipahami.
Jalur untuk melepaskan dan mengendalikan kortikosteroid adalah sumbu hipotalamus
pituitari adrenal (HPA). Stimulasi hipotalamus menyebabkan impuls dikirim ke daerah
yang dikenal sebagai median eminence, di mana faktor corticotropin releasing (CRF)
dilepaskan. CRF bersirkulasi melalui pembuluh portal ke kelenjar pituitari anterior,
yang kemudian melepaskan kortikotropin, atau hormon adrenokortikotropik (ACTH),
ke dalam aliran darah. ACTH pada gilirannya merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan glukokortikoid, seperti kortisol. Kortisol dan glukokortikoid pada
umumnya mengatur metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein untuk meningkatkan
kadar glukosa sebagai energi. Ini adalah alasan kortisol dan analognya disebut
glukokortikoid. Mereka juga dapat menyebabkan lipolisis, redistribusi simpanan
lemak, dan pemecahan simpanan protein jaringan. Hal ini adalah dasar efek samping
akibat obat glukokortikoid. Pemecahan protein menjadi asam amino (glukoneogenesis)
menyebabkan pemborosan otot, dan efeknya pada metabolisme glukosa dapat
meningkatkan kadar glukosa plasma yang disebut sebagai diabetes steroid. 13

Hypothalamic Pituitary Adrenal Suppression dengan Penggunaan Steroid

Salah satu efek samping paling signifikan dari glukokortikoid (kortikosteroid


eksogen) adalah penekanan adrenal atau penekanan hypothalamic pituitary adrenal
(HPA). Ketika tubuh memproduksi glukokortikoid endogen, ada mekanisme umpan
balik normal dalam sumbu HPA untuk membatasi produksi. Ketika kadar
glukokortikoid meningkat, pelepasan CRF dan ACTH dihambat, dan produksi adrenal
dari glukokortikoid dihentikan.13

Tubuh tidak dapat membedakan antara glukokortikoid endogen dan


glukokortikoid eksogen dari obat. Pemberian obat glukokortikoid meningkatkan
hormon dalam tubuh, sehingga menghambat kelenjar hipotalamus dan hipofisis
menyebabkan produksi adrenal berkurang. Penghambatan ini disebut sebagai
penekanan HPA khususnya penekanan adrenal. Hal ini terlihat dengan pemberian

18
kortikosteroid sistemik, dimulai setelah 1 hari perawatan, dan signifikan setelah 1
minggu terapi oral pada dosis biasa.13

Gambar 6. Hipothalamic pituitary adrenal

SIKLUS DIURNAL STEROID

Produksi glukokortikoid tubuh sendiri juga mengikuti siklus ritmis, disebut ritme
diurnal atau sirkadian. Pada jadwal harian kerja siang hari dan tidur malam hari, kadar
kortisol adalah paling tinggi di pagi hari sekitar jam 8 pagi. Kadar plasma yang tinggi
ini menghambat produksi dan pelepasan glukokortikoid dan ACTH oleh HPA karena
mekanisme umpan balik yang dijelaskan sebelumnya. Pada siang hari, kadar ACTH
dalam plasma dan kortisol secara bertahap menurun. Ketika kadar glukokortikoid
menurun, hipofisis anterior diaktifkan kembali untuk mulai melepaskan ACTH, yang
merangsang produksi kortisol oleh korteks adrenal. 13

19
Gambar 7. Siklus Diurnal

RESPON INFLAMASI ALAMI

Efek terapi utama yang terlihat dengan analog dari hormon kortikal adrenal
hidrokortison alami (endogen) adalah antiinflamasi. Analog glukokortikoid
hidrokortison alami (endogen) digunakan untuk mengobati proses peradangan di paru.

Definisi umum dari peradangan adalah respon dari jaringan yang mengalami
vaskularisasi terhadap cedera. Deskripsi peradangan dikemukakan pada abad ke-1 oleh
Celsus yaitu "rubor, tumor, kalor dan dolor" yang diterjemahkan sebagai "kemerahan,
pembengkakan, panas dan nyeri." Ini adalah deskripsi paling umum dari reaksi
peradangan terhadap cedera, seperti luka, infeksi luka, serpihan, luka bakar, gesekan,
atau sengatan lebah.13

Pembaruan deskripsi Celsus terjadi pada 1920-an dengan karakterisasi Lewis


yang dikenal sebagai triple response:

 Redness: Pelebaran lokal pembuluh darah, terjadi dalam detik

20
 Flare: Warna kemerahan beberapa sentimeter dari lokasi cedera, terjadi
15 hingga 30 detik setelah cedera.
 Wheal: Pembengkakan lokal, terjadi dalam hitungan menit

Proses peradangan yang menghasilkan hasil yang terlihat seperti yang dijelaskan
oleh Celsus, Lewis, dan lainnya disebabkan oleh empat kategori utama yaitu:

 Peningkatan permeabilitas pembuluh darah


 Infiltrasi leukosit: Sel darah putih bermigrasi melalui dinding kapiler
(diapedesis) sebagai respons terhadap bahan kimia (kemotaksis).
 Fagositosis: Sel darah putih dan makrofag paru menelan dan memproses bahan
asing seperti bakteri.
 Kaskade mediator: Histamin dan faktor kemoatraktan dilepaskan pada tempat
cedera, dan berbagai mediator inflamasi seperti komplemen dan produk asam
arakidonat dihasilkan.13

Terapi Kortikosteroid pada PCP

Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang bermanfaat untuk berbagai proses


inflamasi dan infeksi, termasuk artritis reumatoid, meningitis bakteri dan tuberkulosa,
dan demam tifoid.14 Telah terdapat banyak kemajuan dalam tatalaksana PCP pada
pasien terinfeksi HIV, salah satu diantaranya adalah penggunaan kortikosteroid untuk
mencegah perburukan PCP dan mengurangi tingkat kegagalan pernapasan dan
mortalitas pasien HIV yang terkena PCP sedang-berat.3 Respons inflamasi terkait
dengan PCP menjadi dasar farmakologis untuk manfaat yang terlihat dari pemberian
obat-obatan antiinflamasi. Kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi yang
diinduksi Pneumocystis dengan menurunkan tingkat agregasi neutrofil, memblokade
peningkatan permeabilitas membran kapiler, atau menghambat infiltrasi makrofag dan
sel mononuklear ke interstisial paru. Terapi tambahan kortikosteroid yaitu berdasarkan
prinsip bahwa respons inflamasi hospes yang berlebihan memainkan peran pada
kerusakan jaringan paru dan dekompensasi pernapasan yang timbul pada PCP.14

21
Beberapa teori menunjukkan bahwa terapi antiinflamasi tambahan dapat
mengurangi cedera paru dan memberi manfaat klinis pada pneumonia pneumocystis.
Terdapat peningkatan neutrofil yang berlebihan pada cairan lavase bronkoalveolus
orang yang mengalami PCP berat dan derajat neutrofilia berkorelasi dengan risiko
prognosis yang buruk. Selain itu, produk-produk neutrofil seperti elastase aktif dapat
ditemukan pada cairan lavase bronkoalveolus orang penderita PCP berat. Elastase dan
sistem enzim neutrofil lain, seperti NADPH oksidase, merupakan mediator-mediator
cedera paru yang penting dalam sindrom distres pernapasan. Kortikosteroid
mengurangi migrasi neutrofil ke situs inflamasi dan mengurangi kemampuan destruktif
dari neutrofil dan makrofag. Kortikosteroid juga mengganggu pelepasan dan kerja
berbagai mediator inflamasi dan sekuelenya seperti faktor kemotaktik neutrofil, zat-zat
metabolit arakhidonat, faktor pengaktif platelet, dan tumor necrosis factor.15

Beberapa penelitian retrospektif gagal untuk menunjukkan adanya perbedaan


yang signifikan pada morbiditas dan mortalitas pasien PCP non-HIV dengan atau tanpa
pemberian kortikosteroid. Pada studi terdahulu mengenai pasien PCP tanpa infeksi
HIV dengan berbagai penyakit yang mendasari, penggunaan kortikosteroid dosis
rendah dibandingkan dengan dosis tinggi juga tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.3 Banyak peneliti yang mencemaskan mengenai penggunaan agen
imunosupresan seperti kortikosteroid, pada kelompok pasien yang sudah mengalami
imunosupresi berat. Insidensi infeksi oportunistik pada pasien terinfeksi HIV yang
diberikan kortikosteroid tambahan untuk infeksi Pneumocystis carinii masih belum
diketahui. Dua studi sebelumnya telah mengemukakan risiko timbulnya tuberkulosis
dalam penggunaan steroid tambahan untuk PCP. Penelitian oleh Jones melaporkan
pada 144 pasien terinfeksi HIV dengan PCP di Los Angeles, bahwa tidak terdapat
perbedaan jumlah tuberkulosis antara pasien yang menerima atau tidak menerima
kortikosteroid untuk terapi PCP. Selain itu, Martos melaporkan tidak ada efek
kortikosteroid tambahan dalam timbulnya tuberkulosis pada perkembangan
tuberkulosis pada 129 sampel.8

22
Secara teoritis, terdapat beberapa kerugian dalam memberikan agen
imunosupresi yang poten pada pasien yang sudah mengalami imunocompromissed.
Terdapat potensi terjadi imunosupresi lebih lanjut, yang bermanifestasi sebagai
terjadinya peningkatan keparahan atau rekurensi PCP dan timbulnya infeksi
oportunistik baru atau resisten atau suatu keganasan, dan hal ini menjadi kekhawatiran
pada pasien HIV yang menerima kortikosteroid sistemik. Tetapi, terdapat sedikit bukti
yang menunjukkan adanya imunosupresi lebih lanjut atau peningkatan infeksi pada
pasien terinfeksi HIV. Hal ini bertolak-belakang dengan penggunaan kortikosteroid
sistemik untuk menginduksi PCP pada model hewan percobaan. Perlu diingat kembali
bahwa terapi kortikosteroid sistemik dalam jangka pendek biasanya tidak
menimbulkan imunosupresi dalam tipe atau derajat yang sama seperti pada pemberian
kortikosteroid jangka panjang.14 Hal lain yang mendukung penggunaan kortikosteroid
untuk PCP adalah bahwa obat ini dapat menekan inflamasi pulmoner pada pasien
imunocompromissed non-HIV, namun efeknya terlihat saat kortikosteroid mulai
diturunkan dosisnya. Efek pada pasien HIV juga telah dilaporkan adanya perbaikan
baik dari segi klinis maupun radiologis.15

Sebuah metaanalisis dilakukan untuk menilai efek steroid tambahan terhadap


tingkat mortalitas secara keseluruhan dan kebutuhan ventilasi mekanik pada pasien
PCP dengan HIV dan hipoksemia substansial (tekanan parsial oksigen arteri < 70
mmHg atau gradien arteri alveolar >35 mmHg pada udara ruangan), yang akhirnya
hanya melibatkan 7 percobaan pada meta-analisis tersebut. Meta-analisis ini
menemukan adanya penurunan risiko kematian relatif sebesar 41% pada waktu 3-4
bulan. Dalam waktu 1 bulan, penggunaan kortikosteroid pada pasien PCP yang
terinfeksi HIV memiliki tingkat kematian 25%, dengan mengasumsikan bahwa pada
saat itu tidak tersedia terapi antiretroviral (pada negara berkembang), sehingga
kortikosteroid dini perlu diberikan untuk mencegah satu kematian pada bulan pertama
setelah diagnosis PCP.12

Sejauh ini, belum ada bukti yang mengemukakan dosis optimal atau durasi
pemberian kortikosteroid secara pasti.9 Berbagai laporan yang mendukung pemberian

23
kortikosteroid pada PCP telah menyarankan pemberian kortikosteroid pada dosis
ekuivalen prednison sebesar 20-300 mg per hari.11 Berdasarkan penelitian,
direkomendasikan diberikan kortikosteroid dalam waktu 72 jam dimulainya terapi
antimikroba pada pasien terinfeksi HIV dengan PCP, jika PaO2 ≤70 mmHg atau
perbedaan oksigen alveolus-arteri (AaDO2) ≥35.3 Untuk pasien terinfeksi HIV, saat
terapi antimikroba mulai membunuh organisme, maka terjadi peningkatan respons
inflamasi pada paru dan penurunan saturasi oksigen. Perburukan keadaan pernapasan
pasien PCP ini terjadi sekitar dua sampai tiga hari setelah memulai terapi anti-PCP,
sehingga kortikosteroid diberikan untuk mendampingi terapi anti-PCP dapat lebih baik
mengendalikan proses inflamasi tersebut.9 Untuk manfaat maksimal, steroid perlu
dimulai pada waktu yang sama dengan terapi PCP dan tidak melebihi dari 72 jam
dengan saran dosis berikut :9

- Prednisolon
o 40 mg bd selama 5 hari pertama (sesuai dengan dosis setara steroid
intravena)
o 40 mg di pagi hari selama 5 hari
o 20 mg di pagi hari selama 5 hari dan kemudian
o Turunkan sampai hitungan nol pada hari ke 21 dan berhenti secara
simultan dengan atau tanpa terapi anti-PCP akut 9

Dosis anak untuk PCP berat diberikan dalam dosis 1mg/kg berat badan dua kali
sehari untuk hari 1-5, kemudian 0.5 mg/kg satu kali sehari untuk hari 6-10, dan 0.5
mg/kg satu kali sehari untuk hari 11-21. Adapun regimen alternatif dengan
metilprednisolon intravena yaitu 1 mg/kg/dosis tiap enam jam untuk hari 1-7, 1
mg/kg/dosis sekali sehari untuk hari 8-9, 0.5 mg/kg/dosis dua kali sehari untuk hari 10-
11, dan 1 mg/kg/dosis satu kali sehari untuk hari ke-12 hingga hari ke-16.12

Sebagaimana telah diketahui, karakteristik dan prognosis PCP pada pasien


terinfeksi HIV berbeda dengan pasien non-HIV. Selain itu, pasien tanpa infeksi HIV
dengan PCP mengalami penyakit dasar yang berbeda, yang mungkin mempengaruhi
prognosis PCP. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa masih sangat sedikit

24
penelitian yang dilakukan mengenai efektivitas penggunaan kortikosteroid tambahan
pada pasien PCP yang tidak terinfeksi HIV. Sebuah studi yang dilakukan oleh Moon
et al. yang meneliti PCP pada pasien HIV dan non-HIV, tidak menunjukkan adanya
perbedaan efek dari penggunaan kortikosteroid tambahan pada pasien yang menerima
transplantasi organ. Studi ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam
tingkat mortalitas 90-hari akibat penyebab apapun antara kelompok yang menerima
kortikosteroid maupun yang tidak menerima steroid (perbedaan 6%, p = 0.59).
Walaupun hasil pada studi ini juga dapat dipengaruhi oleh jumlah sampel yang sedikit
sehingga menyebabkan kekuatan kemaknaan statistik yang lemah.3

25
BAB III

KESIMPULAN

Pneumocystis carinii Pneumonia (PCP) yang disebabkan oleh Pneumocystis


jirovecii, merupakan infeksi oportunistik yang mematikan pada individu yang
mengalami imunocompromissed, terutama individu HIV. Siklus hidupnya terbagi
dalam 2 bentuk, yaitu trofozoit dan kista.

Patogenesisnya melibatkan sistem kekebalan bawaan dan adaptif yang belum


sepenuhnya dipahami. Inflamasi yang ditimbulkan akhirnya akan menyebabkan
kerusakan jaringan paru, ditandai dengan adanya kerusakan interstitial, edema
jaringan, dan fibrosis.

Walaupun PCP sering terjadi pada individu terinfeksi HIV, pemberian anti-PCP
saja tampaknya dapat memperburuk keadaan pasien pada awalnya karena respons
inflamasi berlebihan yang ditimbulkan. Pemberian kortikosteroid, walaupun masih
kontroversial, secara teori dapat menekan respons inflamasi yang timbul dan dapat
membantu mengurangi risiko kematian pasien. Dosis optimal yang tepat masih banyak
diperdebatkan, namun paling banyak direkomendasikan dengan prednison oral selama
21 hari, yang diberikan sebagai tambahan atau pendamping terapi anti-Pneumocystis.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Dichter JR, Lundgren JD, Nielsen TL, Jensen BN, Schattenkerk J, Benfield TL,
et al. Pneumocystis carinii pneumonia in HIV-infected patients: effect of steroid
therapy on surfactant level. Respir Med. 2002;93(6):373–8.

2. Azoulay E, Saidi F, Parrot A, Mayaud C, Cesari D, Flahault A, et al. AIDS-


related Pneumocystis carinii Pneumonia in the Era of Adjunctive Steroids . Am
J Respir Crit Care Med. 2013;160(2):493–9.

3. Moon SM, Kim T, Sung H, Kim MN, Kim SH, Choi SH, et al. Outcomes of
moderate-to-severe Pneumocystis pneumonia treated with adjunctive steroid in
non-HIV-infected patients. Antimicrob Agents Chemother. 2011;55(10):4613–
8.

4. Kelly MN, Shellito JE. Current understanding of pneumocystis immunology.


Future Microbiol. 2010;5(1):43–65.

5. Michael A. Grippi, Jack A. Elias, Jay A. Fishman, Robert M. Kotloff, Allan I.


Pack, Robert M. Senior, Mark D. Siegel. Fishman's Pulmonary Diseases and
Disorders, 5e. 2015;17(18);2093-2110

6. Thomas CF, Limper, AH. Medical Progress Pneumocystis Pneumonia. N Engl


J Med 2004; 350:2487-98

7. Souza W, Benchimol M. Basic biology of Pneumocystis carinii - A Mini


Review. Mem Inst Oswaldo Cruz 2005;100: 903-908
8. Carmona EM, Limper AH. Update on the diagnosis and treatment of
Pneumocystis Pneumonia. Ther Adv Respir Dis 2011; 5: 41-59
9. Pottratz ST. Adjunctive corticosteroid therapy for Pneumocystis carinii
pneumonia. Chest [Internet]. 1998;114(5):1230–1. Available from:
http://dx.doi.org/10.1378/chest.114.5.1230

27
10. Venkatesan P. Guideline for the Treatment of Pneumocystis jirovecii pneumonia
(PCP) in Adults. 2017;(January):10. Available from:
https://www.nuh.nhs.uk/download.cfm?doc=docm93jijm4n647.pdf&ver=4793

11. Sistek CJ, Wordell CJ, Hauptman SP. Adjuvant corticosteroid therapy for
pneumocystis carinii pneumonia in aids patients. Ann Pharmacother.
1992;26(9):1127–33.

12. Gigliotti F, Wright TW. Immunopathogenesis of Pneumocystis carinii


pneumonia. Expert Rev Mol Med 2005; 7:1-16.

13. Gardenhire, DS. RAU'S Respiratory Care Pharmacology Eight Edition.


Elsevier. 2012; 2(11): 181-199.

14. Bozette SA. The Use of Corticosteroids in Leprosy. J Infect Dis.


2015;162(6):1365–9.

15. Ewald H, Raatz H, Boscacci R, Furrer H, Hc B, Briel M. Adjunctive


corticosteroids for Pneumocystis jiroveci pneumonia in patients with HIV
infection ( Review ). 2015;(4).

28

Anda mungkin juga menyukai