Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) atau yang sekarang disebut sebagai Pneumocystis
Jirovecii Pneumonia (PJP) adalah adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis
jirovecii dan banyak dialami oleh pasien dengan kondisi immunocompromised seperti pasien
HIV / AIDS, atau mereka yang menggunakan terapi dan obat imunosupresif.1

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan patogen yang menyerang sistem imun
manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag
dan limfosit T. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi
immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder,
serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV.2

Pneumocystis pertama kali muncul di Eropa setelah Perang Dunia II sebagai penyebab
pneumonia pada bayi prematur dan malnutrisi di panti asuhan. Tidak banyak yang diketahui
tentang organisme tersebut pada saat itu, dan setelah epidemi HIV selama tahun 1980-an. PCP
sekarang diketahui mempengaruhi pasien di seluruh dunia dan menyebar dari orang ke orang
melalui droplet. Satu studi menunjukkan bahwa pasien dengan PCP pertama kali ditemukan pada
91% orang yang telah menggunakan glukokortikoid dalam satu bulan setelah infeksi. 3 PCP
terjadi pada 70% hingga 80% pasien dengan AIDS. pengobatan PCP dikaitkan dengan 20%
hingga 40% pasien. angka kematian pada individu dengan imunosupresi berat. Sekitar 90%
kasus PCP terjadi pada pasien dengan jumlah sel limfosit T CD4 (CD4) <200 sel / mm3.
menginfeksi sebanyak 95% populasi dunia selama dua tahun pertama kehidupan dengan gejala
asimtomatik pada orang sehat.

Penyebab pneumocystis adalah genus jamur uniseluler yang ditemukan di saluran pernapasan
manusia maupun mamalia. Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas pada tahun 1909
dan beberapa tahun kemudian oleh Delanöes, yang akhirnya menamai organisme tersebut untuk
menghormati Dr. Carini setelah mengisolasi dari tikus yang terinfeksi. Bertahun-tahun

1
kemudian, Dr. Otto Jirovec dan kelompoknya mengisolasi organisme dari manusia, dan juga
merupakan organisme yang bertanggung jawab untuk pergantian nama dari PCP menjadi PJP.4

Pulmo adalah tempat yang sering terkena infeksi oportunistik pada pasien dengan gangguan
sistem kekebalan, dan gangguan paru tidak menular yang terkait dengan HIV. infeksi dan
pengobatan antiretroviral semakin umum. Gangguan paru terkait dengan infeksi HIV berkisar
dari asimtomatik dan kelainan ringan pada fungsi paru hingga memarahi infeksi oportunistik.
Risiko untuk perkembangan masing-masing gangguan ini sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat
imunosupresi, karakteristik demografis pasien, tempat tinggal saat ini atau sebelumnya, dan
apakah mereka menggunakan profilaksis melawan infeksi umum terkait HIV. Faktor genetik
mungkin juga penting tapi telah didefinisikan dengan kurang tepat.5

Kelompok dengan risiko lebih tinggi terkena PCP adalah pasien dengan kanker (terutama
keganasan hematologi), pasien transplantasi yang telah menjalani transplantasi sel hematopoietik
atau organ padat, pasien yang menjalani pengobatan untuk kondisi inflamasi atau rematologi
tertentu, atau pasien dengan kondisi apa pun yang mengakibatkan cacat pada imunitas yang
dimediasi sel.6

2
PCP ditularkan dari orang ke orang melalui udara. Kolonisasi paru asimptomatik dapat terjadi
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, dan mereka mungkin secara tidak sadar
menjadi reservoir (pembawa asimptomatik) untuk penyebaran Pneumocystis ke individu dengan
sistem imun yang lemah.5,7

2
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumocystis carinii pneumonia (PCP)


2.1.1 DEFINISI

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi paru yang disebabkan oleh jamur
Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama Pneumocystis jiroveci. Selain sebagai
infeksi oportunistik terbanyak, Pneumocystis juga merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada
pasien immunocompromised. Pada pasien dengan HIV, PCP merupakan infeksi oportunistik
tersering terutama pada pasien dengan CD4 kurang dari 200 sel/ul.8,1,9

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden global PCP diperkirakan lebih banyak dari 400.000 kasus per tahun. Dengan
antiretroviral terapi (ART) dan penggunaan anti-pneumocystis profilaksis, kejadian AIDS-PJP
secara signifikan menurun dari 95 menjadi 8,4 per 1000 orang-tahun dari 1993 sampai 2008.
PCP pertama kali dilaporkan selama Perang Dunia II di panti asuhan yang ramai di Eropa
Tengah dan Timur bayi prematur dan anak-anak gizi buruk.9,10

Pada tahun 1981 dua laporan kasus PCP pada lima laki-laki homoseksual yang sebelumnya
sehat. Penderita merupakan pengguna narkoba suntikan mengumumkan awal dari HIV / AIDS.
Pneumocystis pneumonia adalah infeksi oportunistik AIDS yang paling umum pada orang yang
terinfeksi HIV di A.S. Pada awalnya kejadian PCP dianggap langka di negara berpenghasilan
rendah dan menengah (LMIC), seperti negara Afrika. Namun, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa salah satu alasan tingkat PCP rendah ialah kemiskinan yang meluas dikombinasikan
dengan rendahnya kualitas perawatan kesehatan yang mungkin mengakibatkan sebagian besar
pasien yang terinfeksi HIV meninggal karena infeksi sebelum mereka dapat mengembangkan
PCP. Selain itu, kurangnya fasilitas diagnostik dan personel terlatih untuk mengidentifikasi
sebagian besar Pneumocystis.5

Saat ini frekuensi PCP pada pasien HIV sudah menurun sejak adanya profilaksis PCP dan
penggunaan HAART. Namun, PCP masih merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada pasien
dengan HIV. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), proporsi infeksi oportunistik

3
berbagai negara berbeda-beda. Di Meksiko infeksi oportunistik PCP sebanyak 24%, di Brazil
sebanyak 22% dan di Thailand sebanyak 26%. Sedangkan di Indonesia, data Departemen
Kesehatan RI menunjukkan bahwa proporsi PCP pada pasien HIV adalah sebanyak 13,4%.
Menurut WHO, pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak yang menyebabkan
kematian pada pasien HIV.8

4
2.1.3 ETIOLOGI

Pneumocystis awalnya dianggap sebagai anggota kelas protozoa tetapi direklasifikasi sebagai
jamur ascomycetous pada tahun 1988. Siklus hidupnya telah dikatakan menyerupai protozoa dan
jamur. Pneumocystis jirovecii (sebelumnya carinii) adalah organisme di mana-mana dan
diperkirakan untuk menginfeksi sebanyak 95% populasi dunia selama dua tahun pertama
kehidupan dengan mekanisme klinis asimtomatik pada orang sehat.10

Organisme P. carinii mempunyai sifat khas yaitu pneumosistis yang menginfeksi hewan tidak
dapat menginfeksi manusia, namun jika ditularkan pada hewan yang sejenis akan meningkatkan
virulensi.8 Secara morfologi ini terdiri dari dua bentuk yaitu tropozoit dengan dinding tipis dan
bentuk kista yang mempunyai dinding tebal. Bentuk tropozoit (trofik) berukuran 1-4 μm,
sedangkan bentuk kista mempunyai dinding tebal dengan ukuran 5-8 μm, mengandung 4-8
inti.11,12 Siklus hidup P. carinii terdiri dari 2 siklus yaitu siklus aseksual dan seksual. Siklus
aseksual melibatkan bentuk trofik (tropozoit) dan siklus seksual melibatkan bentuk kista, akhir
dari siklus adalah terbentuknya kista-kista yang baru.11

Gambar 1. Siklus Hidup Pneumocystis carinii.

4
2.1.4 PARASITOLOGI

Pneumocystis awalnya diklasifikasikan sebagai protozoa berdasarkan karakteristik histologis


dari dua siklus hidup yaitu trofozoit kecil dan bentuk kista yang lebih besar. Berdasarkan analisis
DNA, Pneumocystis sekarang diklasifikasikan sebagai jamur. Pada 2012, dilaporkan genom P.
jirovecii yang tersusun lengkap dari satu isolat.12

Genom tidak memiliki faktor virulensi dan sebagian besar amino enzim biosintesis asam,
menunjukkan bahwa P. jirovecii adalah patogen obligat khusus dalam kolonisasi manusia paru-
paru dan menyebabkan penyakit hanya pada individu yang kekurangan imun. Meskipun analisis
seluruh genom Pneumocystis memiliki telah selesai, siklus hidup dan kerentanan obat
Pneumocystis terhalang oleh kesulitan dalam mengisolasi budaya

2.1.5 PATOFISIOLOGI

Pneumocystis jirovecii memiliki kecenderungan untuk menginfeksi paru-paru pada individu


yang berisiko. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa Pneumocystis menempel pada
epitel alveolar tipe I, yang memungkinkan jamur untuk beralih dari bentuk trofik kecil ke bentuk
kistik yang lebih besar. Kepatuhan Pneumocystis ke alveoli bukan penyebab tunggal kerusakan
alveolar difus, melainkan respon inflamasi host sendiri yang menyebabkan cedera paru-paru
yang signifikan dan pertukaran gas yang terganggu, yang menyebabkan hipoksia dan
kemungkinan gagal napas. Pneumocystis terutama merupakan patogen alveolar, tetapi dalam
pengaturan individu yang sangat immunocompromised, bentuk diseminata yang jarang dapat
terlihat. Contoh manifestasi ekstra-paru dapat dilihat pada pasien yang menjalani profilaksis non-
sistemik atau lini kedua dan termasuk hepatosplenomegali dan lesi tiroid, mata, telinga, atau
kulit.3

Jamur P. carinii merupakan organisme yang jarang menyebabkan penyakit pada individu
yang mempunyai limfosit T normal, infeksi terjadi pada individu yang mengalami defek pada

5
sistem imun. Infeksi P. carinii masuk secara inhalasi, menetap di alveoli, kemudian hidup di
lapisan surfaktan di permukaan epitel alveoli tipe I, sehingga dikatakan sebagai patogen
ekstraselular. Pada keadaan tertentu organisme ini menetap di lapisan tersebut dan mengalami
reaktivasi saat terjadi gangguan sistem imun. Pada keadaan ini P. carinii bertambah jumlahnya
dan mengisi alveoli. Dengan mekanisme yang belum diketahui secara jelas, terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler alveoli dan kerusakan sel alveoli tipe I.11

Pneumonia pneumosistis yang berat ditandai dengan infiltrasi neutrofil pada paru yang
menyebabkan kerusakan alveolar difus, gangguan pertukaran gas dan gagal napas. Jadi
sesungguhnya, gangguan napas dan kematian lebih berkorelasi dengan beratnya inflamasi
dibandingkan dengan organisme yang masuk. Respon imun melawan P. carinii melibatkan
interaksi kompleks antara limfosit T CD4+, makrofag alveolar, neutrofil dan mediator terlarut
yang memfasilitasi pembersihan kuman.11

Makrofag alveolar berperan sebagai alat pertahanan paru dengan memakan dan
menghancurkan organisme yang masuk ke dalam paru. Jika tidak ada opsonin pada cairan di
permukaan epitel, maka makrofag berperan memakan P. carinii ini. Setelah dimakan makrofag,
organisme dimasukkan dalam fagolisosom dan akhirnya dihancurkan.11 masa inkubasi ekstrinsik
diperkirakan 20-30 hari dengan durasi serangan selama 1-4 minggu.7

Fungsi makrofag terganggu pada kasus AIDS, keganasan atau keduanya, sehingga
pembersihan P. carinii menjadi berkurang. Pada binatang dengan penurunan makrofag, resolusi
P. carinii menjadi terganggu. Makrofag memproduksi berbagai ragam sitokin proinflamasi,
kemokin dan metabolit eicosanoid sebagai respon untuk memfagositosis P. carinii. Mediator
proinflamasi berperan dalam eradikasi P. carinii, namun juga menyebabkan kerusakan jaringan
paru.9 Pada infeksi P. carinii, peran sel T CD4+ paling penting, baik pada manusia maupun
binatang. Risiko terjadinya infeksi meningkat jika jumlah sel T CD4+ di bawah 200 sel/mm3.11

Sel CD4+ berfungsi sebagai sel memori untuk menumbuhkan respon inflamasi pada pejamu
dengan cara menarik dan mengaktivasi sel-sel imun efektor, seperti monosit dan
makrofag.9,12,14 Bagaimana mekanisme sel T CD4+ sebagai respon terhadap infeksi P. carinii
baru dipelajari dalam beberapa tahun terakhir. Mediator proinflamasi TNFα dan IL-1 yang
dilepaskan makrofag diduga memegang peran penting mengenali respon imun yang dimediasi

6
oleh sel T CD4+. Sel ini berproliferasi sebagai respon terhadap antigen P. carinii kemudian
melepaskan mediator sitokin, seperti limfotaktin dan interferon gamma (INFγ). Limfotaktin
adalah suatu kemokin yang berfungsi sebagai penarik sel-sel limfosit pada PNP. Diikuti oleh
INFγ merangsang makrofag melepaskan TNFα, superoksida dan spesies nitrogen reaktif yang
semuanya berperan untuk menghancurkan organisme.11

2.1.6 TANDA GEJALA

Gambaran klinis PCP berbeda pada pasien yang terinfeksi HIV dan tidak terinfeksi HIV.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh tanggapan inflamasi yang parah. pada pasien tidak
terinfeksi HIV, yang tidak mungkin terjadi di populasi yang terinfeksi HIV. Tingkat keparahan
PCP disebabkan oleh respon inflamasi tubuh inang pada organisme.10

Tingkat keparahan PCP dapat dikelompokkan menjadi penyakit ringan, sedang atau berat,
tergantung pada penampakannya gejala, saturasi oksigen, dan radiologi dada. Klasifikasi tingkat
keparahan penyakit dapat diterapkan terlepas dari predisposisi pasien yang mendasari kondisi.
Gejala umumnya tidak spesifik, biasanya pneumonia, gejala lain, termasuk demam, batuk tidak
produktif, nyeri dada yang memburuk, sesak napas (terutama saat beraktivitas). Ketegangan
oksigen arteri yang rendah dapat menyebabkan gagal napas, membutuhkan ventilasi mekanis dan
vasopressor, yang merupakan gambaran prognostik yang buruk.13

Table 2. Klasifikasi Pneumocystis pneumonia.13

Klasifikasi penyakit
Faktor klinis
Mild Moderete Severe
Dyspnea Saat beraktivitas Aktifitas ringan Saat istirahat
atau saat istirahat
Ketegangan arteri saat PaO2 of > 11.0 PaO2 8.1–11.0 kPa PaO2 < 8.0 kPa
istirahat kPa
Saturasi oksigen SaO2 > 96% SaO2 91–96% SaO2 < 91%
Radiologi Normal/perubahan Diffuse interstisial Perubahan interstisial yang
minimal pada CXR dan perubahan luas dengan
pada CXR potensial alveolar difus
membayangi CXR
Lain-lain Demam Takipnea saat istirahat,
demam, batuk.
PaO2: Tekanan parsial oksigen dalam darah; SaO2: Saturasi oksigen; CXR: Radiografi dada.

7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, kolonisasi paru-paru oleh P. jirovecii sangat tinggi, tetapi
respon inflamasi dari tuan rumah tidak efektif Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan
takipnea, takikardia, dan temuan normal pada auskultasi paru. Keterlibatan ekstra paru jarang
dapat terjadi terutama pada pasien yang menggunakan pentamidin aerosol.10

2.1.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS

PCP sering kali merupakan penyakit terdefinisi AIDS pada pasien yang terinfeksi HIV,
biasanya terjadi jika jumlah CD4 turun di bawah 200 sel / μL. Gejala umum termasuk onset
subakut dispnea, batuk nonproduktif, dan demam ringan. Dispnea akut dengan nyeri dada
pleuritik dapat mengindikasikan perkembangan pneumotoraks.3

2.1.7.1 Anamnesis
Pasien dengan PCP biasanya datang dengan keluhan \ dispnea saat beraktivitas, yang
berlangsung selama beberapa minggu, malaise dan batuk kering. Ketidakmampuan untuk
menarik napas dalam-dalam dan demam. Presentasi yang lebih jarang termasuk onset yang lebih
cepat, hemoptisis, dan nyeri dada pleuritik.6

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik untuk PCP juga tidak spesifik. Pasien dapat menunjukan gejala distres
pernapasan seperti takipneu, takikardia, dan sianosis. Pada auskultasi paru mungkin terdapat
krepitasi saat inspirasi hingga tidak ditemukan kelainan berarti pada kasus ringan. Sedangkan,
pada kasus berat dapat terjadi hipoksia. Selain itu, didapatkan pula takikardi dan takipneu yang
sesuai dengan gejala distress pernapasan.1,3,9
Sementara pada pemeriksaan paru, didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru
yang masih mendukung kecurigaan ke arah PCP. Selain itu, terdapat peningkatan LDH yang
mendukung adanya inflamasi paru. Mengi dan tanda-tanda konsolidasi fokal atau efusi pleura
adalah presentasi yang kurang umum.5

2.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang


PCP mungkin sulit didiagnosis dari gejala dan tanda nonspesifik, dan bahwa mungkin
terdapat koinfeksi dengan organisme lain (seperti CMV) pada pejamu yang

8
immunocompromised. Pneumocystis tidak dapat dibiakkan, sehingga diagnosis PCP
memerlukan pemeriksaan mikroskopis pada sputum, cairan bronchoalveolar, atau jaringan paru-
paru.1
Induksi sputum dengan larutan garam hipertonik memiliki hasil diagnostik 50 sampai 90%
dan harus menjadi prosedur awal yang digunakan. Jika gagal menegakkan diagnosis, sebaiknya
dilakukan bronkoskopi dengan lavage bronchoalveolar. Bentuk trofik dapat dideteksi dengan
pewarnaan Wright-Giemsa atau Papanicolaou. Kista bisa diwarnai dengan pewarnaan
methenamine silver. Metode imunofluoresen langsung dan tidak langsung telah terbukti
memiliki kepekaan yang lebih besar daripada metode pewarnaan klasik.8

Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat


pneumocystis telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih besar untuk
diagnosis PCP dari spesimen sputum yang diinduksi dan cairan Lavage Bronchoalveolar
daripada pewarnaan konvensional.6

Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan penegakan diagnosis PCP selain


berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan foto toraks
dapat menunjukan adanya pola interstisial bilateral yang homogen serta diffuse dapat juga
disertai dengan pneumotoraks spontan. Namun, pada 1/3 kasus juga dapat ditemukan kondisi
normal.3

Pada kasus seperti itulah pemeriksaan computed tomography (CT) scan toraks cukup
berperan. Pemeriksaan CT scan lebih sensitif dibandingkan Rontgen toraks dalam mendeteksi
PCP. Computerized tomography (CT) adalah modalitas sensitif untuk diagnosis PCP dan
seharusnya begitu dipertimbangkan pada tahap awal penyakit ketika rontgen dada mungkin
normal. Pada pemeriksaan CT scan thoraks akan ditemukan gambaran ground-glass appearance
(crazy paving) dengan distribusi yang tidak merata. Ground-glass appearance tersebut lebih
dominan di daerah perihiler. Pada keadaan yang lebih lanjut, akan ditemukan septal lines dengan
atau tanpa intralobular lines superimposed pada ground-glass appearance serta. Temuan lainnya
bisa terjadi, termasuk nodul, pneumotoraks dan jarang gigi berlubang.13

9
Gambar 2. Foto rontgen paru pasien yang menunjukkan infeksi pneumocystis carinii,
pneumonia. Contributed by The National Institutes of Health (NIH). 3

Gambar 3. Gambar CT -Thorax yang menunjukkan ground glass centrilobular kekeruhan pada pasien
terinfeksi HIV dengan pneumonia Pneumocystis.13

2.1.7 TATALAKSANA

Trimetroprim-sulfametoksazole (TMX-SMX) oral atau intravena selama 21 hari merupakan


obat pilihan untuk menatalaksana PCP dengan atau tanpa HIV. Pada PCP derajat sedang-berat
(PaO2 <70 mmHg) direkomendasikan trimetroprim-sulfametoksazole intravena. Sedangkan,
trimetroprim-sulfametoksazole oral diberikan untuk PCP derajat ringan-sedang (PaO2 ≥70

10
mmHg). Rekomendasi dosis untuk terapi PCP adalah 15-20 mg/kg trimetroprim per hari dan 75-
100 mg/kg sulfametoksazole per hari yang terbagi menjadi tiga atau empat dosis.1

Pada pasien PCP dengan HIV, respon terapi biasanya muncul lebih lama namun harus terjadi
dalam delapan hari pertama. Apabila hal tersebut tidak terjadi, maka perlu dicari diagnosis
alternatif atau regimen alternatif. Seperti pada pasien ini, setelah diagnosis PCP ditegakan,
selanjutnya diberikan kotrimoksazol setara dosis trimetroprim 15 mg/kgBB terbagi dalam 3-4
dosis. Respon pengobatan pada pasien ini tercapai pada hari ketujuh, selanjutnya pasien dapat
berobat jalan.1

Pada PCP derajat berat direkomendasikan untuk memberikan kortikosteroid sistemik dalam
72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik perlu diberikan jika PaO2 < 200
sel/ul menjadi > 200 sel/ul selama 3 bulan dan dilanjutkan kembali bila CD4 kembali < 200 sel/
ul.Terdapat dua pendapat mengenai dosis profilaksis TMXSMX untuk PCP yaitu 1x960mg per
oral dan 1x480mg per oral. Menurut penelitian, kedua dosis tersebut memiliki efektivitas yang
sama namun semakin besar dosis yang digunakan efek samping akan semakin kuat. Selain itu,
terdapat data bahwa profilaksis dengan regimen TMX-SMX 960mg tiga kali per minggu sama
efektifnya jika dibandingkan dengan pentamidine nebulizer atau dapsone dan pirimetamin
profilaksis namun kurang efektif jika dibandingkan dengan TMX-SMX 1x960mg.1,3

Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau gagal
terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana alternatif. Untuk
PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600mg empat kali per hari, intravena
atau oral dan primakuin 15mg satu kali per hari, oral atau pentamidine 3-4mg/kg satu kali per
hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP ringan-sedang dapat diberikan TMX
20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral dan dapsone 100 mg satu kali per hari,
oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan suspensi 750mg dua kali per hari, oral selama 21
hari.1,11

2.1.8 PROGNOSIS

Sekitar 50% pasien yang tidak terkait dengan infeksi HIV dan pasien ini memiliki perjalanan
klinis yang lebih buruk dengan tingkat masuk ICU dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan PCP terkait HIV. Tiga kelompok utama non-HIV-positif yang memiliki prognosis

11
lebih buruk ialah (1) penerima transplantasi organ padat, (2) pasien dengan keganasan dan (3)
pasien dengan penyakit rematik. Secara keseluruhan, sekitar seperempat dari semua pasien yang
menderita PCP tidak selamat dari penyakit tersebut. Pada mereka yang membutuhkan perawatan
intensif (sekitar 40% dari semua pasien), angka kematian di rumah sakit meningkat hingga
58%.14

Angka kematian masih tinggi pada kasus gangguan sistem imun yang terlambat mendapat
terapi, kematian terjadi dalam 3-4 minggu setelah awitan penyakit. Dengan perbaikan
manajemen penanganan, terjadi penurunan angka kematian sampai 15% pada kasus terinfeksi
HIV, namun masih tetap tinggi (40%) pada kasus bukan HIV. Faktor-faktor yang mungkin
berpengaruh adalah jumlah neutrofil dan kadar IL-8 pada cairan bronkoalveolar, abnormalitas
foto toraks, kadar LDH dan albumin serum dan pengalaman rumah sakit dalam merawat kasus
HIV.11

12
BAB III

KESIMPULAN

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) atau Pneumocystis jirovecii pneumonia


merupakan jenis infeksi oportunistik yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii, terjadi pada
kasus yang mendapat terapi imunosupresi kronik atau yang mengalami gangguan sistem imun.
Pada individu dengan status imun baik, akan menunukan gejala asimtomatik. Gejala yang
dilaporkan tidak spesifik namun, banyak pasien ini yang mengeluhkan adanya demam, sesak
dan/atau batuk yang tidak produktif. Adanya distres pernapasan hingga hipoksia ditambah
dengan peningkatan LDH serta gambaran ground-glass appearance pada pemeriksaan CT scan.
Obat pilihan pasien dengan PCP adalah trimetroprimsulfametoksazole (TMX-SMX) selama 21
hari dan respon terapi umumnya terjadi pada 8 hari pertama. Prognosis pada penyakit ini masih
buruk, yaitu jika terlambat ditangani akan meninggal dalam 3-4 minggu setelah awitan penyakit.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi RA, Christy E, Evy Y, Anna U, Anna R. Pneumocystis Jirovecii Pneumonia in HIV
patient : A Case Report Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia
( PCP )/ Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV : Sebuah Laporan Kasus.
2017;4(4):209–13.

2. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta eka adip. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014. 277 p.

3. Truong J, Ashurst J V. Pneumocystis (Carinii) Jiroveci Pneumonia. StatPearls Publishing;


2020. 2 p.

4. Gilroy SA, Chandrasekar PH. Pneumocystis jiroveci Pneumonia (PJP) Overview of


Pneumocystis jiroveci Pneumonia. Medscape [Internet]. 2019;2. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/225976-overview#a2

5. Yanagisawa K. Infectious Diseases & Therapy HIV and Pneumocystis Pneumonia


( PCP ): An Upto date. 2016;(January 2015).

6. Dockrell DH, Breen R, Lipman M, Miller RF. Pulmonary opportunistic infections.


2011;12:25–42.

7. Hutagalung SV. Pneumocystis Carinii Pneumonia Suatu Infeksi Opurtunistik. 2008;

12
8. Sitanggang FP, Mardewi IGA. PERBANDINGAN DIAGNOSIS KLINIS DAN
RADIOLOGIS PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA PADA PASIEN HIV / AIDS
DI RSUP SANGLAH DENPASAR COMPARISON OF CLINICAL AND
RADIOLOGICAL DIAGNOSIS PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA IN HIV /
AID PATIENTS AT. 2019;3:39–43.

9. Govender I, Maphasha OM, Rangiah S, Steyn C. An overview of Pneumocystis jirovecii


pneumonia for the African generalist practitioner. 2019;19(4):0–7.

10. Oladele R, Otu AA, Richardson M, Denning D, Outcome C. Diagnosis and Management
of Pneumocystis Pneumonia in Resource-poor Settings Diagnosis and Management of
Pneumocystis Pneumonia in Resource-poor Settings. 2018;(March).

11. Wati KDK. Pneumonia Pneumosistis. 2008;9(5).

12. Tasaka S. Pneumocystis Pneumonia in Human Immunodeficiency Virus – infected Adults


and Adolescents : Current Concepts and Future Directions. 2015;9:19–28.

13. White PL, Price JS, Backx M. Therapy and Management of Pneumocystis jirovecii
Infection. 2018;(Table 1):1–29.

14. Jean B, Tessoulin B, Lavergne RA, Morio F, Sagan C, Canet E, et al. Outcome and
prognostic factors of Pneumocystis jirovecii pneumonia in immunocompromised adults : a
prospective observational study. Ann Intensive Care [Internet]. 2019;1–10. Available
from: https://doi.org/10.1186/s13613-019-0604-x

13

Anda mungkin juga menyukai