Anda di halaman 1dari 41

PNEUMONIA

Oleh :

Habifa Mulya Cita (1810312673)

Akbar Muzakki Alvarino (1510312100)

Preseptor :

dr. Oea Khairsaf, SpP (K) FISR

dr. Afriani, Sp.P


BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang serius


dan merupakan salah satu penyebab utama dari kesakitan dan kematian di dunia.
Meskipun terapi antimikroba, modalitas uji diagnostik mikrobiologis dan strategi
pencegahan telah berkembang luas, pneumonia masih menjadi penyebab utama
kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi di dunia.1

Setiap tahun lebih dari 95% kasus baru pneumonia terjadi di negara
berkembang, lebih dari 50% kasus Pneumonia berada di Asia Tenggara dan Sub
Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa ¾ kasus Pneumonia pada balita di seluruh
dunia berada di 15 negara. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2008 terdapat 8,8
juta kematian anak di dunia, dari jumlah kematian anak tersebut 1,6 juta kematian
anak disebabkan oleh pneumonia. Kasus pneumonia di Indonesia mencapai 6 juta
jiwa sehingga Indonesia berada di peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia.2

Salah satu alasan utama dari peningkatan angka mortalitas di dunia adalah
pengaruh yang disebabkan oleh pneumonia pada penyakit kronis, disertai dengan
meningkatnya usia populasi dunia dan faktor virulensi dari mikroorganisme
penyebab. Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) merupakan patogen yang
paling sering menyebabkan pneumonia komunitas di seluruh dunia.1

Pneumokokus dianggap sebagai satu dari sembilan bakteri yang menjadi


masalah internasional dalam laporan resistensi antibiotik global yang dikeluarkan
oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2014. Sebaliknya, terdapat
beragam jenis patogen penyebab pneumonia nosokomial yang dapat ditularkan
dari pasien maupun dari lingkungan rumah sakit. Meskipiun demikian, bakteri
Gram negatif lebih sering menjadi penyebab pneumonia nosokomial
dibandingkan bakteri Gram positif.1
Salah satu kunci utama dalam pengaturan dan pemanduan dalam memilih
terapi antibiotik yang efektif adalah dengan memahami mekanisme kerja dari
berbagai macam mikrooganisme dalam etiologi pneumonia, karena berbagai bukti
telah menunjukkan bahwa terapai antimikroba awal yang adekuat merupakan
faktor penentu utama bagi prognosis pneumonia. Selain itu, terapi antibiotika
spektrum luas terkadang diberikan hingga hasil kultur mikrobiologis telah tersedia
dan de-eskalasi tidak dapat dilakukan dengan segera.1

Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas tentang pneumonia


terutama pada layanan primer.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan CSS ini bertujuan untuk memahami serta menambah


pengetahuan tentang pneumonia.

1.3 Batasan Masalah

Dalam CSS ini akan dibahas mengenai definisi, tata laksana, sampai
komplikasi pneumonia.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan CSS ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu


pada beberapa referensi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran nafas bawah akut pada


parenkim paru dimana asinus terisi cairan radang, dengan atau tanpa disertai
infiltrat dari sel radang ke dalam interstisium.4

Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim paru


yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Peradangan
paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi
bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.3

Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di


rumah sakit dengan proporsi kasus 53.95% laki-laki dan 46.05% perempuan,
dengan crude fatality rate (CFR) 7.6%, paling tinggi bila dibandingkan penyakit
lainnya.3 Data dari Riskesdas tahun 2013 menyebutkan periode prevalesi dan
prevalensi pada tahun 2013 adalah 1,8% dan 4,5%. Sedangkan sebaran provinsi,
terdapat lima provinsi yang memiliki insidensi dan prevalensi pneumonia tertinggi
yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan.5

Untuk Kota Padang pada tahun 2008 ditemukan kasus pneumonia yang
membutuhkan pengobatan sebanyak 5878 kasus, sedangkan pada tahun 2013
ditemukan sebanyak 8970 kasus.6 Kasus pneumonia komunitas di RSUP Dr. M.
Djamil pada tahun 2012 yang membutuhkan rawat inap sebesar 16,6% atau
sebanyak 94 pasien dari 565 pasien yang dirawat. Sedangkan yang tidak
membutuhkan rawat inap sebesar 1,3% atau 108 pasien dari total 8325. Untuk
angka kematian pada kasus pneumonia komunitas di M. Djamil adalah sebesar
6,2%.3

2.2 Etiologi Pneumonia

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,


seperti bakteri, virus, dan jamur.7 Streptococcus pneumoniae (pneumokokus)
merupakan patogen yang paling sering menyebabkan pneumonia komunitas di
seluruh dunia.1

Tabel 1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Etiologi.7


Berdasarkan kuman penyebab pneumonia bisa dibagi ke beberapa agen
penyebab. Pneumonia bakterial sering juga kita sebut dengan pneumonia tipikal.
Biasanya dapat terjadi pada semua usia. Biasanya kuman menyerang orang-orang
tertentu yang peka terhadap kuman tersebut, seperti Klebsiella pada penderita
alkoholik ataupun Staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza. Selain
bentuk tipikal kita juga bisa menemukan pneumonia dalam bentuk atipikal.
Pneumonia tipe ini disebabkan oleh agen seperti Mycoplasma pneumoniae,
Legionella spp, Chlamydia pneumonia, Chlamydia psittasi, Coxiella burnetti.8

Selain itu pneumonia yang disebabkan oleh virus seperti virus influenza
tipe A dan B, Adenovirus, dan Respiratory Syncytial Virus juga termasuk ke
dalam pneumonia atipik. Pneumonia juga bisa disebabkan oleh agen virus dan
juga jamur. Untuk infeksi oleh karena jamur umumnya merupakan infeksi
sekunder terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang lemah
(immunocompromised).3,8

2.3 Klasifikasi Pneumonia


Berdasarkan letak anatomi atau predileksi infeksinya:8

1. Pneumonia lobaris : radang paru yang terjadi pada seluruh alveolus pada
satu lobus atau lebih.
2. Bronkopneumonia : disebut juga pneumonia lobularis yaitu radang yang
terjadi pada bronkiolus dan alveolus.
3. Penumonia interstitial : radang paru yang mengenai jaringan intersisial
paru.

Berdasarkan klinis dan epidemiologisnya:8

1. Pneumonia komuniti (community acquired penumonia) : pneumonia yang


terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit atau di masyarakat.
2. Pneumonia nosokomial (hospitality acquired penumonia) : pneumonia
yang terjadi dalam 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit.

Pneumonia bentuk khusus yang sering dimasukkan dalam klasifikasi klinis


pneumonia adalah pneumonia aspirasi, pneumonia oportunistik, dan pneumonia
rekuren. Pneumonia aspirasi adalah infeksi oleh organisme setelah aspirasi isi
orofaring seperti isi lambung atau benda asing yang ikut terbawa ke saluran napas
saat respirasi dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Pneumonia
oportunistik adalah pneumonia yang terjadi pada pasien dengan gangguan sistem
imun yang bisa disebabkan oleh mikroorganisme nonvirulen. Pneumonia rekuren
sering berhubungan dengan keadaan patologik intra toraks dan ekstra toraks yang
dijumpai 2 atau lebih episode infeksi paru bukan tuberkulosis dengan jarak waktu
lebih dari 1 bulan.9

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan


(imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien, dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain dan dijaga keseimbangannya.10 Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan paru (epitel saluran napas) yaitu inokulasi
langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, dan
kolonisasi dipermukaan mukosa.8
Tabel 2. Mekanisme pertahanan saluran pernapasan (host).11

Lokasi Mekanisme Pertahanan

Nasofaring Bulu hidung dan konka

Aparatus mukosilier

Sekresi IgA

Trakea dan Bronkus Batuk dan bersin

Apparatus mukosilier

Sekresi imunoglobulin (IgG, IgM, dan IgA)

Saluran napas Makrofag alveolus


terminal/alveoli
Jaringan limfatik paru

Cairan pelapis alveolus (surfaktan, fibronektin,


immunoglobulin)

Sitokin (Interleukin-1, dan tumor necrosis factor)

Imunitas seluler dan leukosit polimorponuklear

Mikroorganisme yang masuk ke dalam alveoli menyebabkan timbulnya


reaksi peradangan pada seluruh alveoli. Hal tersebut diikuti dengan infiltrasi sel-
sel polimorfonuklear (PMN) bersama dengan peningkatan aliran darah ke alveolus
yang meradang. Perubahan yang terjadi pada parenkim paru dibagi menjadi tiga
stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi, dan stadium resolusi:8

a. Stadium kongesti/prodromal (Hari ke-1 sampai ke-2)


Pada stadium ini, alveolus-alveoulus mulai terisi oleh sekret yang
ditimbulkan oleh infeksi kuman patogen. Terjadi peningkatan aliran darah ke
alveolus yang meradang. Saat ini masih sedikit sel PMN yang berada di alveolus.8
b. Stadium hepatisasi (Hari ke-3 sampai ke-7)
Sel-sel leukosit terutama PMN semakin banyak bermigrasi ke jaringan
yang terinfeksi sehingga alveolus menjadi penuh dan padat. Sel darah merah dan
fibrin juga ikut mengisi alveolus sehingga keadaan tersebut disebut dengan
stadium hepatisasi merah (hari ke-3 dampai ke-4) karena lobus yang terkena
menyerupai kepadatan hati. Setelah beberapa lama (hari ke-5 samapai ke-7), sel
darah merah mulai lisis namun tetap meninggalkan eksudat fibrinosa sehingga
disebut dengan stadium hepatisasi abu-abu.8

c. Stadium resolusi (Hari ke-8 sampai minggu ke-3)

Isi alveolus akan melunak secara enzimatis kemudian berubah menjadi


dahak dan akan dibatukkan keluar sehingga arsitektur paru tetap utuh.8

Pada kasus pneumonia lobaris, peradangan terjadi serentak pada alveolus


paru di lobus yang sama. Pada zaman setelah ditemukannya antibiotik, jarang
sekali penderita pneumonia yang memperlihatkan gambaran patologi anatomi
klasik di atas. Hal itu disebabkan oleh penatalaksanaan yang cepat dan efektif
pada pasien pneumonia komunitas sehingga kondisi paru-paru pasien tidak
mengalami keseluruhan stadium tersebut.10

2.5 Faktor Risiko Pneumonia

Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan pneumonia.


Perubahan fungsi pada sistem organ seperti sistem respirasi, imun dan pencernaan
serta meningkatnya penyakit penyerta pada usia geriatri menjadi salah satu faktor
risiko pneumonia. Mikroorganisme yang paling sering ditemui pada pasien
geriatri adalah Streptococcus pneumoniae. Infeksi saluran nafas atas akan
mengganggu pertahanan dari aparatus mukosilier yang terdapat dari nasofaring
sampai bronkus dan destruksi epitel saluran nafas yang menyebabkan bakteri
mudah masuk dan berkembangbiak di saluran nafas bawah sehingga terjadilah
pneumonia.10

Tabel 3. Faktor Risiko Pneumonia


Faktor Risiko Pneumonia

Usia >65, <5 tahun

Penyakit komrbid (misalnya PPOK, CHF, PGK, kanker, diabetes, penyakit


serebrovaskuler)

Imunosupresi (misalnya obat-obatan/terapi imunosupresif, HIV)

Ketergantungan Alkohol

Kebiasaan merokok

Riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya

Gizi kurang

Kebiasaan mengonsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko pneumonia


karena memberi dampak negatif pada mekanisme pertahanan sistem respirasi
manusia. Alkohol merusak refleks batuk, mengubah refleks menelan, transportasi
mukosiliar, dan merusak fungsi limfosit, netrofil, monosit, dan makrofag alveoli.
Semua hal di atas berperan dalam penurunan klirens bakteri dari saluran
pernapasan pasien. Infeksi yang sering terjadi pada peminum alkohol adalah
infeksi karena bakteri gram negatif dan Legoinella pneumophila. Peningkatan
risiko pneumonia komunitas berhubungan langsung dengan lamanya merokok dan
jumlah rokok yang dikonsumsi. Merokok akan menyebabkan perubahan
morfologi pada epitel mukosa saluran nafas dimana terjadi kerusakan silia,
hipertropi kalenjer mukus dan peningkatan sel goblet yang akan mempermudah
penyebaran bakteri patogen ke dalam saluran pernafasan.8

Bronchiektasis dan malnutrisi dihubungkan dengan infeksi Pseudomonas


aeruginosa. Malnutrisi atau gizi kurang akan menghambat respon imunitas dan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Respon imunitas yang terhambat
seperti fagositosis, respon proliferasi sel ke mitogen serta produksi limfosit T.
Diabetes melitus berkaitan dengan terganggunya sistem imun tubuh sehingga
menjadi faktor predisposisi dari berbagai penyakit termasuk pneumonia. Selain itu
diabetes melitus juga menyebabkan peningkatan risiko aspirasi, gangguan fungsi
dan mikroangiopati pada paru yang akhirnya akan meningkatkan lama perawatan
dan angka kematian pada pasien. Selain itu kadar gula darah bisa digunakan untuk
menentukan apakah pasien membutuhkan perawatan intensif guna untuk
menurunkan risiko kematian akibat pneumonia komunitas.8,10,11

2.6 Gambaran Klinis Pneumonia

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab,


usia pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis
bisa berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga tidak terlihat jelas seperti pada
neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum
infeksi (non spesifik), gejala pulmonal, pleural, dan ekstrapulmonal. Gejala non
spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien
mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare,
atau sakit perut.10

Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, takipnea, dispnea
dan apnea baru timbul. Peradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia
yang disebabkan oleh Streptococcus Pneumoniae dan Staphylococcus aureus
yang ditandai dengan nyeri dada pada daerah yang terkena. Nyeri dapat berat
sehingga akan membatasi gerakkan dinding dada selama inspirasi dan kadang-
kadang menyebar ke leher dan perut.10

Tabel 3. Perbedaan fambaran klinik pneumonia atipik dan tipik.3


Gejala ekstrapulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses
kulit atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena
Staphylococcus aureus. Otitis media, konjungtivitis, sinusitis, dapat ditemukan
pada kasus infeksi karena Streptococcus pneumoniae atau Hemophilus influenza.
Sedangkan epligotitis dan meningitis khususnya dikaitkan dengan pneumonia
karena Hemophilus influenza.10

2.7 Diagnosis Pneumonia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Untuk diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala dibawah ini:12

1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak/ purulen
3. Suhu tubuh>38˚C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasim suara napas
bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4.500

a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan:12
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40˚C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.12
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
Perkusi : redup di bagian yang sakit
Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stasium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pewarnaan gram
Pewarnaan gram atau metode gram adalah suatu metode empiris untuk
membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, yakni gram
positif dan gram negatif, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel
mereka. Pada uji pewarnaan gram, suatu pewarna penimbal (counterstain)
ditambahkan setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri gram
negatif menjadi berwarna merah atau merah muda. Pengujian ini berguna
untuk mengklasifikasikan kedua tipe bakteri ini berdasarkan perbedaan
struktur dinding sel mereka.13
Bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat
warna metil ungu pada metode pewarnaan gram. Bakteri gram positif akan
mempertahankan warna ungu gelap setelah dicuci dengan alkohol,
sementara bakteri gram negatif tidak. Pada pasien dewasa, penyebab
pneumonia komunitas yang sering ditemukan adalah bakteri golongan
gram positif, yaitu Streptococcus pneumonia, bersama dengan
Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenza merupakan bakteri
patogen golongan tipikal. Legionella, Chlamydophila, M. pneumoniae
merupakan bakteri patogen golongan atipikal.12
Bakteri gram positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna
metil ungu sewaktu proses pewarnaan gram. Bakteri jenis ini akan
berwarna biru atau ungu di bawah mikroskop, sedangkan bakteri gram
negatifakan berwarna merah muda. Perbedaan klasifikasi antara kedua
jenis bakteri ini terutama didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel
bakteri. Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang
pada pasien defisiensi imun (immunocompromised). Contoh bakteri gram
negatif penyebab pneumonia, yaitu ; Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
pneumoniae, Enterobacter sp. dan Haemophilus influenza.13
2. Pemeriksaan leukosit
Peningkatan jumlah leukosit (>15.000/mm3) sering walaupun tidak
selalu ditemukan. Peningkatan yang lebih dari 30.000 dengan predominan
netrofil itu mengarahkan pada pneumokokkus pneumonia, walaupun H.
Influenzae dan S.aureus bisa menunjukkan hal yang sama. Pada
pneumonia komunitas yang tipikal umumnya menunjukan keadaan
leukositosis. Berbeda jika agen penginfeksi berupa virus/mikoplasma
kadar leukosit bisa normal/rendah. Jika agen kuman yang menginfeksi dari
golongan gram negatif atau S.aureus pada pasien dengan keganasan dan
penurunan kekebalan hasil pemeriksaan menunjukan leukopenia.8,10
3. Pemeriksaan foto toraks
Pada pemeriksaan radiologi proyeksi posteroanterior dan lateral
berguna untuk menentukan letak infeksi pada paru seperti infeksi pada
segmen apikal lobus bawah, lobus atas, dan di tempat yang lainnya. Pada
foto toraks dapat ditemukan adanya infiltrat / air bronchogram.3
4. Kultur kuman
Kultur kuman merupakan pemeriksaan yang diperlukan untuk
menentukan kuman penyebab dan bermanfaat untuk evaluasi terapi
selanjutnya. Kultur dapat berasal dari sputum, darah, aspirasi
nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal, torakosentesis,
bronkoskopi atau biopsi. Pemeriksaan invasif hanya dilakukan pada
pneumonia berat dan pneumonia yang tidak respons dengan pemberian
antibiotik. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan rnemerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Di Amerika dengan cara
invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.3
Pada anak, yang sering dilakukan dengan kultur darah dengan alasan
anak sulit untuk batuk sehingga spesimen yang diinginkan sulit
didapatkan. Kultur darah positif pada 20-25% penderita. Kultur darah
sering positif terutama pada pneumonia pneumokokus dan merupakan cara
yang lebih pasti untuk mengidentifikasi organisme penyebab.10

2.8 Diagnosis Banding Pneumonia


- Tuberkulosis
- Bronkitis
- Bronkiektasis

2.9 Penilaian Derajat Keparahan Penyakit

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat


dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity Index
(PSI)/Patient Outcome Research Team (PORT) atau CURB-65. Sistem skor ini
dapat. mengidentifikasi apakah pasien dapat berobat jalan atau rawat inap, dirawat
di ruangan biasa atau intensif.3

Gambar 1. Algoritma penilaian berat pneumonia dengan menggunakan sistem


skor CURB-65.3

Confusion pada CURB-65 yaitu tingkat kesadaran ditentukan berdasarkan


uji mental (Abbreviation Mental Test).3

Tabel 4. Tingkat kesadaran berdasarkan Uji Mental.3


Tabel 5. Pneumonia Severity Index (PSI)/Patient Outcome Research Team
(PORT).3
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan jika
menggunakan PSI kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komunitas adalah:3

1. Skor PSI > 70


2. Bila skor PSI < 70, pasien tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu
dari kriteria dibawah ini:
- Frekuensi napas > 30 kali/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Foto toraks menudukkan infiltrat multilobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Total poin yang didapatkan dari Psi dapat digunakan untuk menentukan
risiko, kelas risiko, angka kematian dan jenis rawatan, seperti pada Tabel 6.3

Tabel 6. Derajat skor risiko PSI.3

Menurut Infectious Diseases Society of America/American Thoracic


Society (IDSA/ATS) 2007 kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu
atau lebih kriteria di bawah ini. Perawatan ICU diperlukan jika ditemukan 1
diantara 2 kriteria mayor atau 3 kriteria minor.3

Kriteria mayor:3

 Membutuhkan ventilasi mekanis


 Syok septik yang membutuhkan obat vasopresor

Kriteria minor:3

 PaO2/FiO2 ≤ 250 mmHg


 Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus
 Kesadaran menurun/disorientasi
 Uremia (BUN > 20 mg/dl)
 Leukopenia (leukosit < 4000 se1/mm3)
 Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm3)
 Hipotermia (suhu < 36˚C)
 Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif

Gambar 2. Alur diagnosis dan tatalaksana pneumonia komunitas.3

2.10 Tatalaksana Pneumonia


Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik.12

1. Pengobatan suportif/simptomatik12
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
e. Pasien rawat inap di ruang rawat biasa dan intensif : Pemberian terapi
oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit, pemebrian obat simptomatik antara lain antipiretik,
mukolitik.3
f. Pasien rawat inap di ruang rawat intensif : bila ada indikasi pasien
dipasang ventilasi mekanis3
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan kurang
dari 8 jam dan dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama. Jika
didapatkan perbaikan klinis terapi dilanjutkan, jika tidak antibiotik harus
diganti sesuai hasil biakan atau pedoman empiris.3,12
Pasien rawat jalan:12
a. Pasien yang sebelumya sehat dan tidak ada risiko resistensi obat;
 Makrolid: azitromisin, klaritromisisn atau eritromisisn
(rekomendasi kuat)
 Doksisiklin (rekomendasi lemah)
b. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati, atau
penyakit ginjal, diabetes melitus, alkoholisme, kondisi imunosupresif,
antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor risiko lain infeksi pneumonia;12
 Flurokuionolon respirasi : moksifloksasin, atau levofloksasin
(750mg) (rekomendasi kuat)
 Beta-lactam + makrolid : amoksisilin dosis tinggi (1 gram,
3x1/hari) atau amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari)
(rekomendasi kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan
cefuroxime (500mg, 2x1/hari), doksisiklin.12

Pasien perawatan, tanpa rawat ICU:12

a. Florokuinolom respirasi (rekomendasi kuat), sebaiknya digunakan


untuk pasien alergi penisilin
b. Beta-laktam + makrolid (rekomendasi kuat). Agen beta-laktam
termasuk sefotaksim, seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk
pasien tertentu;dengan doksisiklin sebagai alternatif untuk makrolid.
Pasien perawatan, dengan rawat intensif:3
a. Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
Beta-laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin sulbaktam) +
makrolid baru atau florokuinolon respirasi intravena (IV)
Pertimbangan khusus:3
a. Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
 Antopneumokokal, antipseudomons beta-laktam (piperacilin-
tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) ditambah
levofloksasin 750 mg ATAU
 beta-laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan
antipneumokokal flurokuinolon (untuk pasien yang alergi
penisilin, beta-laktam siganti dengan aztreonam)
b. Bila curiga disertai infeksi MRSA
 Tambahkan vamkomisin atau linezolid.

Pnemonia virus

Untuk pasien terinfeksi virus influenza (H5Nl, HlNl, H7N9, H3N2)


antiviral dibcrikan secepat mungkin (48 jam pertama):3

 Dewasa atau anak > l3 tahun oseltamivir 2x7 5 mg per hari selarna 5 hari.
 Anak > I tahun dosis oseltamivir 2 mg/kg BB, 2 kali sehari selama 5 hari.
 Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan.

Tabel 7. Dosis oseltamivir3


Lama pengobatan

Lama pemberian antibiotik (iv/oral) minimal 5 hari dan tidak demam 48-
72 jam. Sebelum terapi dihentikan pasien dalam keadaan sebagai berikut:3

 Tidak memerlukan suplemen oksigen (kecuali untuk penyakit dasarnya)


 Tidak lebih dari satu tanda-tanda ketidakstabilan klinis seperti:
o Frekuensi nadi > 100 x/menit
o Frekuensi napas > 24 xlmenit
o Tekanan darah sistolik: 90 mmHg

Lama pengobatan pada umumnya 7-10 hari pada pasien yang


menunjukkan respons dalam 72 jam pertama. Lama pemberian antibiotik dapat
diperpanjang bila:3

 Terapi awal tidak efektif tgrhadap kuman penyebab


 Terdapat infeksi ekstraparu (meningitis atau endokarditis)
 Kuman penyebab adalah P. aeruginosa, S. aureus, Legioneila spp atau
disebabkan kuman yang tidak umum seperti Burkholderia pseudomallei,
jamur
 Necrotizing pneumonia, empiema atau abses

Lama pengobatan pasien seperli ini sebaiknya bersifat individual


berdasarkan respons pengobatan dan komorbid. Pada pneumonia yang disebabkan
oleh MRSA tanpa infeksi di organ lainnya lama pengobatan beryariasi antaru J-21
hari tergantung luasnya infeksi.3

Konseling dan edukasi

1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan
infeksi berulang, pola hidup sehat termasuk tidak merokok dan sanitasi
lingkungan.12
2. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal, terutama bagi golongan risiko
tinggi (orang usia lanjut atau penderita penyakit kronis).12

2.11 Prognosis Pneumonia

Secara umum, angka mortalitas akibat pneumonia komunitas adalah


sebesar 5%. Angka tersebut diperkirakan semakin bertambah pada kelompok usia
lanjut dengan kondisi yang buruk. Angka kematian pasien pneumonia komunitas
yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) adalah sebesar 20%.10

2.12 Komplikasi Pneumonia

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, efusi pleura, empiema, abses
paru, pneumotoraks, gagal napas, sepsis. Terjadi komplikasi pneumonia
ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokkus dengan bakteriemi
dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis, endocarditis, pericarditis,
peritonitis dan empiema. Dijumpai juga komplikasi ekstrapulmoner non infeksius
yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain, gagal ginjal,
gagal jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Terjadi
komplikasi lain berupa acute distress syndrome (ARDS), gagal organ multiple,
dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nasokomial.10
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny.JC

Umur/tanggal lahir : 70 tahun/ 01 Juli 1948

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No RM : 01.04.84.47

Alamat : Luhung Bayung, Pesisir Selatan

Status perkawinan : Menikah

Negeri asal : Indonesia

Agama : Islam

Suku Bangsa : Minangkabau

Tanggal masuk : 7 Mei 2019

2.2 Anamnesis

Seorang pasien perempuan berumur 70 tahun datang ke RSUP Dr M


Djamil Padang pada tanggal 7 Mei 2019 dengan keluhan:

Keluhan Utama

Sesak nafas meningkat sejak 10 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:


Sesak nafas meningkat sejak 10 hari yang lalu, tidak menciut, meningkat dengan
aktifitas.

Diluar serangan pasien tidak bisa beraktivitas normal. Pasien dirawat oleh Sp.P di
RSUD M.Zein Painan, dirawat selama 1 minggu karena sesak menigkat selama 2
hari ini. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP M.Djamil untuk tatalaksana lebih
lanjut. Riwayat sesak sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, kontrol teratur
dengan Sp.P sejak 2 bulan yang lalu, mendapatkan obat formoterol/ Budesonide
inhalasi. Pasien belum pernah di spirometri

Batuk (+) meningkat sejak 10 hari yang lalu, berdahak berwarna kuning
kehijauan. Batuk sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu.

Batuk darah (+) lengket di dahak sejak 2 hari yang lalu.

Nyeri dada (+) jika batuk

Demam (+) sejak 1 minggu yang lalu, tidak tinggi, tidak menggigil.

Keringat malam (-)

Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)

Penurunan nafsu makan (+) sejak 3 bulan yang lalu.

Penurunan berat badan (+) 5 Kg dalam 3 bulan terakhir.

BAB dan BAK normal, tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat TB paru 3 tahun yang lalu, minum OAT kategori I, didapat dari Sp.P di
RSUD M.Zein Painan, dihentikan oleh dokter tersebut. Pemeriksaan BTA ataupun
rontgen thoraks pasien sudah lupa

Riwayat Diabetes mellitus (-)

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat keganasan (-)


Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Riwayat TB paru 3 tahun yang lalu, minum OAT kategori I, didapat dari Sp.P di
RSUD M.Zein Painan, dihentikan oleh dokter tersebut.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat TB paru pada keluarga (+)

Riwayat Diabetes mellitus (-)

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat keganasan (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan

Pasien tidak merokok

Pasien tidak mengonsumsi alkohol

Pasien tidak memakai NAPZA

Pasien tidak bekerja

2.3 Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : CMC

Nadi : 91 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Suhu : 36.8°C

Tekanan darah : 110/80 mmHg


Tinggi badan : 150 cm

Berat badan : 48 Kg

Status Generalisata

Kepala : normocephal

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Kulit : turgor kulit baik, ikterik tidak ada

Leher : JVP 5 + 0 cmH20, tidak ada kelainan pada trakea, tidak ada
pembesaran KGB

Thoraks

Paru-paru depan :

Inspeksi : asimetris, dinding dada kanan flat dari kiri (statis)

pergerakan dinding dada kanan tertinggal dari kiri


(dinamis)

Palpasi : fremitus kanan lebih lemah dari kiri

Perkusi : kanan redup. Kiri sonor

Auskultasi : Paru kanan : SN bronkovesikuler, ekspirasi memanjang,


wheezing (+),

Rhonki (+)

Paru Kiri : SN bronkovesikuler, ekspirasi memanjang,


wheezing (+),

Rhonki (+)

Par-paru Belakang (Punggung) :

Inspeksi : asimetris, dinding dada kanan flat dari kiri (statis)


pergerakan dinding dada kanan tertinggal dari kiri
(dinamis)

Palpasi : fremitus kanan lebih lemah dari kiri

Perkusi : kanan redup. Kiri sonor

Auskultasi : Paru kanan : SN bronkovesikuler, ekspirasi memanjang,


wheezing (+),

Rhonki (+)

Paru Kiri : SN bronkovesikuler, ekspirasi memanjang,


wheezing (+),

Rhonki (+)

Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :

Inspeksi : distensi (-).


Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : tidak dilakukan pemeriksaan colok dubur
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), clubbing finger (-).

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin :
Hb : 9,8 g/dl
Leukosit : 4930 /mm3

Trombosit : 189.000 /mm3

Ht : 30 %

Na/K/Cl : 125/3,8/96 mmol/L

Hitung Jenis Leukosit : 0/6/2/34/46/9

AGD dan elektrolit


PH : 7,35 ( 7.35-7.45)

PCO2 : 51,2 (35-45)

PO2 : 121,7 (80-100)

HCO3 : 28,8 (21-28)

Saturasi O2 : 98,1% (95-100%)

Kesan : Anemia sedang

2.5 Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Rontgen
Kesan :
Tampak perselubungan homogen di hemitoraks dekstra, tampak efusi pleura (
lateral lebih tinggi dari medial )

2.6 Diagnosis Kerja


CAP Perburukan + SOPT + efusi pleura dextra ec susp TB

2.7 Diagnosis Banding


PPOK Eksaserbasi akut + bebas TB dengan penebalan pleura

2.8 Rencana Pengobatan

IVFD drip aminophylin 15cc + 35cc NaCl via syringe pump kec 2,1 cc/jam

Inj ampicillin sulbactam 3x1 gr

Levofloxacin 1x750mg

Nebu combivent 6x1

Pulmicort nebu 2x1

Vit C tab 3x1

Asam tranexamat 3x500 mg (p.o)

Vit K tab 3x1 (p.o)

Koreksi Na dengan NaCl 3% 1 kolf 12 jam/kolf

FOLLOW UP
Tanggal S/ O/ A/ P/

14/5/201 Sesak nafas (+) KU: sedang CAP Perburukan Inj. Ampicillin
9 sudah berkurang + SOPT + efusi sulbactam 3x3 gr
KS: CMC
pleura dextra ec
Batuk (+) Inf. Levofloxacin
TD: 110/80 susp TB
1x700 mg
Batuk darah (+)
Nd: 91x/menit
berkurang Asam
Nf: 22 x/menit traneksamat
Demam (-)
T: 36,8 °C 3x500 mg
Nyeri dada (-)

Auskultasi:

Kanan : Wh +,
Rh +, melemah

Kiri :
memanjang, Wh
+, Rh +

15/5/201 Sesak nafas (+) KU: sedang CAP + SOPT +


9 sudah berkurang efusi pleura
KS: CMC
dextra ec susp TB
Batuk (+)
TD: 110/80
Batuk darah (+)
Nd: 91x/menit
berkurang
Nf: 22 x/menit
Demam (-)
T: 36,8 °C
Nyeri dada (-)

Auskultasi:

Kanan : Wh +,
Rh +, melemah

Kiri :
memanjang, Wh
+, Rh +

16/5/201 KU: sedang CAP + SOPT +


9 efusi pleura
KS: CMC
dextra ec susp TB
TD: 110/80

Nd: 91x/menit

Nf: 22 x/menit

T: 36,8 °C

Auskultasi:

Kanan : Wh +,
Rh +, melemah

Kiri :
memanjang, Wh
+, Rh +

17/5/201 KU: sedang CAP


9
KS: CMC

TD: 110/80

Nd: 91x/menit

Nf: 22 x/menit
T: 36,8 °C

Auskultasi:

Kanan : Wh +,
Rh +, melemah

Kiri :
memanjang, Wh
+, Rh +

20/5/201 KU: sedang CAP dengan


9 perbaikan
KS: CMC

TD: 110/80

Nd: 91x/menit

Nf: 22 x/menit

T: 36,8 °C

Auskultasi:

Kanan : Wh +,
Rh +, melemah

Kiri :
memanjang, Wh
+, Rh +

21/5/201 Pasien Pulang Dengan Perbaikan


9
BAB III

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 70 tahun datang keluhan utama sesak nafas
yang meningkat sejak 10 hari yang lalu . Sesak nafas pada pasien tidak menciut
dan meningkat dengan aktivitas sehingga pasien tidak bisa beaktivitas secara
normal . Batuk dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu dan meningkat sejak 10
hari yang lalu dan berdahak dengan warna dahak kuning kehijauan . Batuk darah
juga dialami pasien dengan darah yang lengket di dahak sejak 2 hari yang lalu .
Nyeri dada dirasakan pasien ketika sedang batuk . Demam juga diraskan pasien
sejak 1 minggu yang lalu dengan intensitas demam tidak tinggi dan tidak mengigil
. Keringat malam tidak ada . Penurunan nafsu makan ada sejak 3 bulan yang lalu
dan penurunan berat badan terjadi 5 kg dalam waktu 3 bulan terakhir . Pasien
tidak mengeluhkan terjadinya mual dan muntah serta nyeri ulu hati . Sebelumnya,
pasien pernah dirawat selama 1 minggu di RSUD M. Zein Painan dan kemudian
dirujuk ke RSUP M. Djamil Padang untuk tatalaksana lebih lanjut . Pasien ada
riwayat mengalami TB paru 3 tahun yang lalu dan meminum OAT kategori 1
yang didapat dari sepesialis paru di RSUD M. Zein Painan dan dihentikan oleh
dokter tersebut . Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol serta
tidak memakai NAPZA .

Dari keluhan diatas dapat dicurigai bahwa sesak nafas yang dialami oleh pasien
dapat disebabkan karena adanya peradangan pada alveoli akibat inflamasi secara
akut yang disebabkan oleh mikroorganisme selain dari myobacterium tuberculosis
. Dengan adanya inflamasi tersebut, maka terjadi gangguan pada hantaran aliran
udara sehingga menyebabkan pasien tersebut sesak . Karena adanya peradangan
tersebut, maka jaringan-jaringan yang berada di sekitar parenkim paru akan rusak
sehingga hilangnya elastisitas saluran nafas dan kolapsnya kinerja pada alveolus .
Kerusakan pada parenkim paru disebabkan karena masuknya mikroorganisme
pada alveoli sehingga memicunya terjadi infiltrasi sel-sel polimorfonuklear
(PMN) bersama dengan adanya peningkatan aliran darah ke alveolus yang
meradang . Dengan demikian, maka ventilasi pada paru berkurang . Parenkim
paru kolaps pada ekspirasi terjadi akibat ketika ekspirasi normal tidak terjadi
pengempisan paru secara pasif setelah inspirasi sehingga udara terperangkap
diddalam paru dan saluran nafas yang kolaps . Ketika aktivitas, terjadi hiperinflasi
yang dapat mengurangi kapasitas inspirasi ( peningkatan kapasitas residual
fungsional, khususnya selama latihan/hiperinflasi dinamis ) sehingga dapat terjadi
sesak nafas saat beraktivitas .

Gejala lain yang terjadi pada pasien adalah batuk berdahak. Batuk merupakan
mekanisme refleks untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan nafas . Pada
penumonia, dahak terjadi dikarenakan isi alveolus yang melunak secara enzimatis
dan kemudian berubah menjadi dahak . Dalam hal ini, dahak terjadi karena
mikroorganisme sudah memasuki stadium resolusi yang terjadi saat keadaan
sudah memasuki hari ke 8 sampai minggu ke 3 . Apabila dibiarkan dalam waktu
lama, dapat mengakibatkan terjadinya batuk berdarah .

Dalam kasus ini, batuk berdarah pada pasien bisa terjadi karena beberapa keadaan
. Keadaan tersebut adalah karena stadium resolusi pada pasien tersebut dan bisa
karena TB nya dahulu yang kembali kambuh . Dalam anamnesis pasien tersebut,
pasien menyatakan 3 tahun yang lalu dia pernah didiagnosa terkena TB paru dan
minum obat OAT kategori 1. Sehingga, batuk darah pada pasien tersebut bisa
dikarenakan nekrosis arteri pulmonal kecil atau akibat ruptur pembuluh darah
yang berjalan sekitar kavitas akibat infeksi TB pada paru pasien tersebut yang
menyebabkan timbulnya darah yang lengket di dahak pasien tersebut .

Nyeri dada pada pasien saat batuk disebabkan karena nyeri dada pleuritik. Nyeri
berasal dari dinding otot paru, dinding dada, iga, pleura perietalis, saluran nafas
besar, diafragma, mediastinum, dan syaraf intercostalis. Nyeri dada pleuritik
ketika batuk disebabkan karena kontraksi otot secara terus menerus yang
menyebabkan otot-otot pernafasan terutama otot diafragma menjadi tidak rileks .

Demam pada pasien disebabkan karena sitokin inflamasi merangsang pusat


demam di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh . Inflamasi
pada alveoli mengkatifkan sel makrofag, monosit, dan lain-lain nya
menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi tersebut . Dengan
adanya pengaktifan tersebut, maka sitokin terangsang untuk melakukan
kompensasi berupa perangsangan dari endotel hipotalamus untuk meningkatkan
set point termostat sehingga terproduksi panas yang menyebabkan pasien tersebut
mengalami gejala demam.

Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan kesdaran


komposmentis kooperatif, suhu 36,8ºC, tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi
nafas 22x/menit, tekanan nadi 91x/menit, tinggi badan 150 cm, dan berat badan
48 Kg dengan indeks massa tubuh 21,3 kg/m3 menandakan bahwa indeks massa
tubuh pasien tersebut ideal .

Dari inspeksi paru pasien, nampak bahwa dada kanan flat ketimbang dada kiri
sehingga memberikan kesan asimetris pada pemeriksaan statis paru . Pada
pemeriksaan dinamis paru, nampak pergerakan dada kanan tertinggal ketimbang
dada kiri . Penyebab terjadinya kelainan ini disebabkan karena fibrosis jaringan
paru sehingga terjadi penarikan pada dinding dada yang menyebabkan dada kanan
terlihat lebih datar dari pada dada kiri. Dengan adanya fibrosis pada jaringan paru,
terjadi penurunan fermitus pada dada kanan sehingga fremitus pada dada kanan
terdengar melemah. Akibatnya, pada palpasi memberikan kesan fremitus paru
kanan lebih rendah ketimbang paru kiri . Pada perkusi, paru kanan redup dan paru
kiri sonor . Pada auskultasi suara nafas ekspirasi memanjang, karena adanya
obstruksi jalan nafas perifer, akibatnya udara terperangkap dan terjadi ekspirasi
yang memanjang. Ronkhi +/+ karena lewatnya udara melalui penyempitan saluran
nafas, inflamasi, atau spasme saluran nafas pada bronkitis,asma,pneumonia atau
PPOK . Wheezing +/++ karena adanya obstruksi pada jalan nafas. Selain itu
ditemukannya ronki merupakan salah satu temuan pemeriksaan fisik pada
pneumonia .
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9,8 g/dl, leukosit 4930 /mm3 , trombosit
189.000 /mm3, hematokrit 30 % , Na/K/Cl 125/3,8/96 mmol/L , hitung Jenis
leukosit 0/6/2/34/46/9 , pH 7,35 , PCO2 51,2 , PO2 121,7 , HCO3 28,8 ,Saturasi
O2 98,1% , Kesan : Anemia sedang .

Pada hasil pemeriksaan rontgen dinding dada, didapatkan kesan tampak


perselubungan homogen di hemitoraks dekstra, tampak efusi pleura ( lateral lebih
tinggi dari medial )
Berdasarkan anamenesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan
rontgen toraks maka pasien didiagnosis dengan Community-acquired pneumonia
+ SOPT + efusi pleura dextra ec susp TB .
Pada pengobatan, pengobatan pneumonia mengikuti pedoman CAP dimana
pemberian ampicillin sulbactam mengikuti pedoman terapi empiris CAP yaitu
pemberian obat dentgan golongan beta-laktam . Levofloxacin merupankan obat
antibiotik golongan fluorokuinolon yang mempunyai spektrum luas, aktif
terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif . Pemberian obat levofloxacin
merupakan terapi empiris CAP apabila pasen mempunyai riwayat komorbid .
Asam traneksamat diberikan untuk menghentikan atau mengurangi perdarahan
pada pasien tersebut . Asam traneksamat diberikan karena pasien mengeluhkan
pernah mengalami batuk darah sebelumnya .
KESIMPULAN

 Pneumonia menrupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang serius


dan merupakan salah satu penyebab utama dari kesakitan dan kematian di
dunia dalam penyakit infeksi.
 Pengetahuan tehadap etiologi, faktor risiko, dan patogenesis penting untuk
mengetahui gambaran klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis pasien
pneumonia.
 Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (pewarnaan gram, laboratorium yakni leukosit, foto
toraks dan kultur kuman)
 Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan kurang
dari 8 jam dan dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama. Jika
didapatkan perbaikan klinis terapi dilanjutkan, jika tidak antibiotik harus
diganti sesuai hasil biakan atau pedoman empiris.
 Konseling dalam bentuk edukasi dan vaksinasi perlu digalakkan.
 Angka mortalitas akibat pneumonia komunitas adalah sebesar 5%-20%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cilloniz C, Martin-Loeches I, Garcia-Vidal C, San Jose A, Torres A.


Microbial Etiology of Pneumonia: Epidemiology, Diagnosis and Resistance
Patterns. Int J Mol Sci Vol 17: 1-18. 2016.
2. WHO. World Health Statistic Report 2009. Geneva: World Health
Organization; 2009.
3. PDPI. Pneumonia Komunitas Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Edisi II. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2014.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Modul tatalaksana
standard pneumonia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
5. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2013.
6. Dinas Kesehatan Kota Padang. Profil Kesehatan Kota Padang Tahun 2014.
Padang: Dinas Kesehatan Kota Padang; 2014.
7. Alsagaff, H dan.Mukty.H.Abdul.(2005), hal.110-121, Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya.
8. Soedarsono (2010). Pneumonia. Dalam (Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S,
eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.Departemen Ilmu Penyakit Paru FK
Unair-RSUD Dr. Soetomo: Surabaya.
9. Dahlan Z (2009). Pneumonia bentuk khusus. Dalam (Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5
th ed. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2207-2210.
10. Dahlan Z (2009). Pneumonia. Dalam (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2196-2206.
11. Djojodibroto Darmanto (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta:
EGC.
12. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia; 2017.
13. Becerra SC,Roy DC, Sanchez CJ, Christy RJ, Burmeister DM. 2016. An
optimized staining technique for the detection of Gram positive and Gram
negative bacteria within tissue. BMC Research Notes. 9(1):216.

Anda mungkin juga menyukai