Anda di halaman 1dari 90

KELAINAN SPEKTRUM

PLASENTA AKRETA

SATUAN TUGAS PLASENTA AKRETA INDONESIA


HIMPUNAN KEDOKTERAN FETOMATERNAL
PERKUMPULAN OBSTETRI & GINEKOLOGI INDONESIA
2019
Tim Editor

Dr. Aditiawarman, dr., SpOG(K) Rozi Aditya Aryananda, dr., SpOG


RSUD Dr. Soetomo RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya Surabaya

Yudianto Budi Saroyo, dr., SpOG(K), MPH M. Adya F. Dilmy, dr., SpOG., BMedSc
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta Jakarta

Prof. Dr. Erry Gumilar Dachlan, dr., SpOG(K) H. Nuswil Bernolian, dr., SpOG (K), MARS
RSUD Dr. Soetomo RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Surabaya Palembang

Dr. Agus Sulistyono, dr., SpOG(K) Dr. Noroyono Wibowo, dr., SpOG(K)
RSUD Dr. Soetomo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Surabaya Jakarta

M. Ilham Aldika Akbar, dr., SpOG(K) Dr. Budi Prasetyo, dr., SpOG(K)
RS Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo
RSUD Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Surabaya
Dr. Yuditia Purwosunu, dr., SpOG(K), PhD
R. Soerjo Hadijono, dr., SpOG(K) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
RSUP Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Jakarta
Tim Kontributor

Dr. Aditiawarman, dr., SpOG(K) Nareswari I. Cininta M, dr., Sp.OG


RSUD Dr. Soetomo RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya Surabaya

Yudianto Budi Saroyo, dr., SpOG(K), MPH Dr. Hermanto Tri Joewono, dr., SpOG(K)
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Jakarta Surabaya

Prof. Dr. Erry Gumilar Dachlan, dr., SpOG(K) Rozi Aditya Aryananda, dr., SpOG
RSUD Dr. Soetomo RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya Surabaya

Dr. Agus Sulistyono, dr., SpOG(K) M. Adya F. Dilmy, dr., SpOG., BMedSc
RSUD Dr. Soetomo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Surabaya Jakarta

M. Ilham Aldika Akbar, dr., SpOG(K) H. Nuswil Bernolian, dr., SpOG (K), MARS
RS Universitas Airlangga RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
RSUD Dr. Soetomo Kedokteran Universitas Sriwijaya
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Palembang
Surabaya
Dr. Noroyono Wibowo, dr., SpOG(K)
R. Soerjo Hadijono, dr., SpOG(K)
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
RSUP Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Jakarta
Semarang
Dr. Budi Prasetyo, dr., SpOG(K)
Manggala Pasca Wardhana, dr., SpOG
RSUD Dr. Soetomo
RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Surabaya
Dr. Yuditia Purwosunu, dr., SpOG(K), PhD
Khanisyah Erza gumilar, dr., SpOG
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
RS Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUD Dr. Soetomo
Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya

Dr. Ernawati, dr., SpOG(K) Aria Wibawa, dr., SpOG(K)


RSUD Dr. Soetomo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Surabaya Jakarta

Budi Wicaksono, dr., SpOG(K) Dr. Rima Irwinda, dr., SpOG(K)


RSUD Dr. Soetomo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Surabaya Jakarta
Rizki Pranadyan, dr., SpOG Dr. Ali Sungkar, dr., SpOG(K)
RSUD Dr. Soetomo RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Surabaya Jakarta

Dr. Med. Damar Prasmusinto, SpOG(K) RSUPN Nadir Abdullah, dr., Sp.OG
Dr. Cipto Mangunkusumo RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Jakarta Surabaya
Kata Pengantar Ketua PP POGI

Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Saat ini kita sedang berjuang menurunkan angka
kematian ibu dengan berbagai upaya. Satu penyakit teratasi, kemudian muncul masalah baru dengan
penyakit lainnya yang sebelumnya tidak menjadi masalah. Trias kematian ibu masih tetap disebabkan
oleh preeklamsia, perdarahan dan infeksi.

Plasenta akreta merupakan salah satu kontributor morbiditas bahkan mortalitas dalam masalah
perdarahan selama kehamilan. Penyakit ini digolongkan dalam penyakit iatrogenic karena begitu naik
drastic seiring dengan meningkatnya angka operasi sesar.

Lonjakan insiden plasenta akreta merupakan salah satu pertimbangan Pengurus Pusat
Perkumpulan Obstetri Ginekologi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Plasenta Akreta. Satgas
ini diharapkan segera bergerak, mulai dengan pelatihan pelatihan deteksi dini plasenta akreta dan nantinya
melakukan peningkatan ketrampilan bagi sejawat SpOG dalam menangani kasus plasenta akreta.

Kami berharap dengan adanya buku panduan pelatihan ini, langkah awal dari rencana Satgas
untuk segera melakukan desiminasi deteksi dini plasenta akreta segera terwujud di seluruh Indonesia
dan mulai melangkah dengan perencanaan ke tahapan selanjutnya.

Jakarta, 25 Juni 2019


Ketua Pengurus Pusat
Perkumpulan Obstetri Ginekologi

Dr Arie Kusuma dr. SpOG-K


Kata Pengantar Ketua HKFM

Dengan merebaknya laporan dari sejawat tentang morbiditas bahkan mortalitas plasenta akreta,
himpunan kedokteran feto maternal Indonesia dalam berbagai pertemuan mulai memasukkan kasus
kasus tersebut dalam pembahasan.

Saat ini Plasenta akreta mengedepan sebagai bahasan hangat (hot issue) karena risiko perdarahan
yang bisa menimbulkan kematian. Langkah Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi
membentuk Satuan Tugas Plasenta Akreta merupakan langkah yang amat tepat. Langkah Satgas dengan
melakukan pelatihan untuk desiminasi deteksi dini diharapkan akan membantu menurunkan morbiditas
dari kasus plasenta akreta.

Berbagai telaah ilmiah pada Himpunan Kedokteran Feto Maternal Indonesia mulai digulirkan.
Adanya base-data dalam lingkup organisasi Satgas Plasenta Akreta merupakan modal untuk melakukan
analisis terhadap kasus ini. Telaah akademi kini diharapkan akan menjadi acuan kebijakan penangan
plasenta akreta di masa datang.

Kami amat gembira dengan disusunnya buku panduan pelatihan deteksi dini plasenta akreta ini.
Semoga langkah ini menghasilkan tampilan yang menggembirakan pada penanganan kasus plasenta
akreta di Indonesia.

Surabaya, 25 Juni 2019


Ketua Himpunan Kedokteran Feto Maternal Indonesia
Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia

Prof Dr. Erry Gumilar Dahlan, dr, SpOG-K


Kata Pengantar Ketua Satgas Akreta Indonesia

Plasenta akreta saat ini merupakan salah satu kontributor kematian ibu bersalin yang insidennya
meningkat tajam. Kasus plasenta akreta menjadi perhatian kita karena kegawatannya dan menyita tenaga
, pikiran dan material untuk menanganinya. Perbedaan tajam antara plasenta akreta yang ditangani
dalam kondisi emergensi dan kondisi terencana, menjadi bahasan akademis karena perbedaan prognosis.

Pengurus usat Perkumpulan Obsteri Ginekologi dan Himpunan Kedokteran Feto Maternal
Indonesia kemudian bergerak membentuk Satuan Tugas Plasenta Akreta untuk membuat telaah dan
rencana kerja untuk menghadapai ledakan plasenta akreta di Indonesia. Rencana kerja telah dibuat dan
disepakati dan sebagai langkah pertama dari kegiatan satgas plasenta akreta adalah melakukan

Dengan merebaknya laporan dari sejawat tentang morbiditas bahkan mortalitas plasenta akreta,
himpunan kedokteran feto maternal Indonesia dalam berbagai pertemuan mulai memasukkan kasus
kasus ini dalam pembahasan. Desiminasi pemeriksaan untuk deteksi dini risiko plasenta akreta dan
bagaimana langkah langkah untuk merujuknya.

Rencana lanjutan dari rencana satgas adalah mempersiapkan SDM untuk mempunyai tambahan
pengetahuan dan ketrampilan sehingga mampu menerima rujukan plasenta akreta dari sejawat lainnya
yang berhasil mendeteksinya. Tentu hal ini bukan suatu kerja sederhana, karena didalamnya terbayangkan
bahwa tim akreta di senter rujukan harus terbentuk solid.

Langkah selanjutnya dari satgas adalah membuat tim kajian plasenta akreta dengan cikal bakal
dibentuknya pusat data nasional plasenta akreta. Diharapkan dengan kajian tersebut, ada produk kebijakan
plasenta akreta Indonesia.

Buku panduan ini merupakan langkah awal produk satgas. Harapan dari terbitnya buku ini,
pelatihan deteksi dini plasenta akreta akan lebih banyak dilakukan dan deteksi dini kasus plasenta
akreta lebih cepat tercapai. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua

Surabaya, 25 Juni 2019


Ketua Satuan Tugas Plasenta Akreta Indonesia

Dr Aditiawarman, dr, SpOG-K


Daftar Isi

1. Epidemiologi dan Masalah pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta


2. Patogenesis Kelainan Spektrum Plasenta Akreta
3. Standardisasi Kelainan Spektrum Plasenta Akreta dan Vaskularisasi Pelvis
4. Kehamilan di Luka Operasi (Caesarean Scar Pregnancy)
5. Tatalaksana Kehamilan Luka Operasi
6. Diagnosis Dasar Ultrasonografi pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta
7. Peran Doppler Ultrasonografi Pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta
8. Waktu Pengakhiran Dan Kontroversi Penanganan Plasenta Akreta
9. Kegawatdaruratan pada kasus Spektrum Plasenta Akreta
10. Kesalahan Manajemen Kelainan Spektrum Plasenta Akreta – Potensi Risiko
Medikolegal
11. Sistem Rujukan Spektrum Plasenta Akreta
12. Lampiran
Epidemiologi dan Masalah pada Kelainan Spektrum Plasenta
Akreta

Aditiawarman, Nuswil Bernolian, Soerjo Hadijono

Pendahuluan dan latar belakang

Plasenta Akreta saat ini menjadi perhatian, karena dikelompokkan penyakit pada uterus yang menonjol
di abad 21 dan penyebabnya banyak disebabkan faktor iatrogenik dari tindakan kedokteran sebelumnya1,2
Plasenta akreta di definisikan sebagai perlekatan tidak normal plasenta pada dinding uterus karena
hilangnya lapisan decidua.

Epidemiologi

Kasus plasenta akreta saat ini meningkat drastis. Laporan kasus ini sampai tahun 1935 menyebutkan
bahwa angka kejadiannya berkisar 1 dari 106 kehamilan dengan riwayat persalinan seksio atau tindakan
operatif pada uterus (kuret). Pada tahun 1966, angka kejadian kasus plasenta akreta adalah 1 dibanding
21 kehamilan dengan faktor riwayat kelahiran seksio3. Laporan dari Brasil, angka persalinan dengan
seksi meningkat dari 5-7% di tahun 1977; 24,4 di tahun 1987 dan 22,2% di tahun 1986, bahkan di kota
Sao Paolo tercatat angka sebesar 75%4.

Dugaan sementara, mengapa angka seksio meningkat tajam adalah karena saat ini tehnik operasi seksi
sesaria telah baik dengan komplikasi minimal, angka survival bayi dan ibu yang tinggi serta tehnik ini
aman dan memungkinkan bagi wanita untuk hamil lebih dari satu kali.

Dalam 40 tahun terakhir angka seksio telah naik secara eksponensial dari 10% menjadi 30 % dan angka
ini didominasi kejadian seksio di Negara dengan pendapatan penduduk yang tinggi dengan kenaikan
hamper 10 kali lipat.

Masalah.

Angka kematian ibu masih tinggi terutama bila pasien dating dalam kondisi gawat darurat dan

70% penanganan plasenta akreta membutuhkan transfuse darah. American College in Obstetric and
Gynecology pada tahun 2012 telah mengeluarkan statement dan opini yang menyebutkan bahwa plasenta
akreta adalah kondisi yang mengancam jiwa dan penanganan kasus dilakukan multidisiplin5. Angka
kematian pada plasenta akreta berkisar antara 0,13% sampai 23%.

1
Di RSUD Dr Sutomo terjadi peningkatan rujukan dengan plasenta akreta sehingga sejak 2013 tercatat
sebanyak 200 kasus datang di rumah sakit ini. Bila ditelaah dari kejadian perdarahanpost-partum, faktor
plasenta akreta ternyata berkontribusi 39% dari seluruh kejadian perdarahan post-partum dan 5% dari
seluruh kasus persalinan di RSUD Dr. Soetomo6.

Kasus kematian yang terjadi didominasi oleh karena rujukan terlambat yakni datang dalam kondisi
perdarahan, sedang pasien dengan rujukan saat hamil dan tidak terjadi kondisi emergensi sampai saat
dilakukan operasi tidak dijumpai kematian.

Definisi

Beberapa definisi dari plasenta akreta dikemukakan dalam berbagai laporan. Tetapi pada intinya,
disebutkan bahwa adanya perlekatan trophoblast plasenta pada miometrium dimana lapisan desidua
atau myometrium dalam kondisi tidak normal.

Terdapat tiga jenis plasenta akreta menurut invasinya, yakni plasenta akreta, plasenta perkreta dan
plasenta inkreta7.

Beberapa terminology juga akan dijumpai saat melakukan telaah plasenta akreta yakni retained placenta
atau retensio plasenta, yakni adanya perlekatan plasenta pada dinding uterus tetapi tidak ada invasi ke
myometrium. Morbidly Adherent placenta (MAP) digunakan sebagai gambaran bahwa plasenta sulit
dipisahkan dari rahim sehingga menimbulkan perdarahan dan kasus ini dimasukkan sebagai plasenta
akreta8.

Menjadi permasalahan saat ini antara definisi plasenta akreta terutama dengan adanya invasi trophoblast
yang dapat dideteksi berdasar pemeriksaan histopatologi dengan kondisi klinis penderita yang mungkin
menyebabkan perdarahan masif dan kematian.

Patofisiologi

Adanya ketidak seimbangan antara proses disidualisasi dan invasi trophoblast diduga sebagai penyebab
adanya beberapa penyakit terkait dengan pada trophobast. Bila invasi gagal atau dangkal, akan
menyebabkan preeklamsia atau IUGR9, tetapi bila berlebihan akan menjadi plasenta akreta. Secara
histopatologi akan terlihat bahwa villi chorealis langsung berhadapan dengan lapisan myometrium.
Pada pemeriksaan histopatologi akan tampak bahwa lapisan desidual hilang atau rusak. Proses diatas
menyangkut ketidak-imbangan atau imbalance berbagai proses imunologi, biomolekuler, genetic, growth
hormone, cytokine, matrix protein, faktor angiogenik dan lingkungan10.
2
Beberapa laporan menyebutkan bahwa plasenta akreta lebih disebabkan adanya dehiscence atau defect
pada scar, sehingga sel trofoblast mempunyai kesempatan untuk mencapai pembuluh darah jauh didalam
myometrium.

Klasifikasi 10:

Plasenta akreta: sel trophoblast menempel di permukaan


myometrium dan tidak ada lapisan desidua

Plasenta Inkreta: sel trofoblast menginvasi sampai dalam


myometrium
Plasenta Perkreta: sel trofoblast menginvasi sampai lapisan
serosa dari uterus

Beberapa faktor risiko plasenta akreta11

1. Faktor yang selalu ditemui dan dilaporkan dari penelitian kasus control
a. Bekas operasi seksio sesaria
b. Tindakan reproduksi berbantu (In vitro Fertilisation)
c. Plasenta Previa

2. Faktor yang tidak selalu muncul dan dilaporkan dari penelitian kasus control
a. Ibu usia > 35 tahun
b. Riwayat kuret
c. Riwayat myomektomi
d. Ibu perokok
3. Faktor yang dilaporkan dari laporan kasus
a. Riwayat plasenta akreta
b. Sinechia
c. Riwayat Ablasi endometrium d. Riwayat Embolisasi myoma e. Riwayat radiasi
f. Kelainan bawaan uterus

3
Dilaporkan bahwa bekas operasi seksio menyebankan risiko meningkat dari 2% menjadi 39% untuk
plasenta akreta, sedang plasenta previa menyebabkan risiko akreta 20 kali lipat dibandingkan tidak
plasenta previa.

Manajemen

Dari masalah yang ada dan morbiditas dan mortalitas yang mungkin terjadi, dapat di kelompokkan

1. Diagnosis:
a. Diagnosis yang dilakukan sejak kehamilan dini lebih baik luarannya.
b. Saran:
i. Screening setiap ibu hamil, terutama bekas operasi sesaria, sejak trimester 1 dan atau
bila datang setelahnya dilakukan sesegera mungkin.
ii. Bila screening dinyatakan mempunyai risiko adanya invasi plasenta, maka dilakukan
rujukan ke fasilitas yang lebih baik
iii. Dilakukan USG ulangan dengan lebih detail
2. Bila positip plasenta akreta
a. Bila memang positip plasenta akreta, penderita disiapkan operasi dengan pendekatan
multidisiplin.
b. Tindakan bedah dilakukan di faskes tersier

Daftar Pustaka

1. Jauniaux E, Bhide A. Prenatal ultrasound diagnosis and outcome of placenta previa accreta after
cesarean delivery: a systematic review and meta-analysis. American journal of obstetrics and
gynecology. 2017;217(1):27-36.
2. Jauniaux E, Silver RM, Matsubara S. The new world of placenta accreta spectrum disorders.
International Journal of Gynecology & Obstetrics. 2018;140(3):259-260.
3. Luke RK, Sharpe JW, Greene RR. Placenta accreta: the adherent or invasive placenta.
American journal of obstetrics and gynecology. 1966;95(5):660-668.
4. Morlando M, Sarno L, Napolitano R, et al. Placenta accreta: incidence and risk factors in an area
with a particularly high rate of cesarean section. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica.
2013;92(4):457-460.
5. Committee opinion no. 529: placenta accreta. Obstetrics and gynecology.
2012;120(1):207-211.

4
6. Aryananda RA, Akbar A, Wardhana MP, et al. New three-dimensional/four- dimensional
volume rendering imaging software for detecting the abnormally invasive placenta. Journal of
clinical ultrasound : JCU. 2019;47(1):9-13.
7. Dannheim K, Shainker SA, Hecht JL. Hysterectomy for placenta accreta; methods for gross and
microscopic pathology examination. Archives of gynecology and obstetrics. 2016;293(5):951-
958.

8. Bhide A, Sebire N, Abuhamad A, Acharya G, Silver R. Morbidly adherent placenta: the need for
standardization. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official journal of the International
Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2017;49(5):559-563.

9. Cha J, Sun X, Dey SK. Mechanisms of implantation: strategies for successful pregnancy.
Nature medicine. 2012;18(12):1754-1767.
10. Bartels HC, Postle JD, Downey P, Brennan DJ. Placenta Accreta Spectrum: A Review of Pathology,
Molecular Biology, and Biomarkers %J Disease Markers. 2018;2018:11.
11. Silver R. Placenta Accreta Syndrome. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis. Group;
2017.

5
Patogenesis Kelainan Spektrum Plasenta
Akreta
Erry Gumilar Dachlan, Rozi Aditya Aryananda, Noroyono Wibowo

Pendahuluan
Plasenta akreta adalah salah satu kondisi paling mengerikan yang dihadapi dokter spesialis obstetri &
ginekologi karena memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Insiden ini telah meningkat secara
dramatis dalam 40 tahun terakhir. Beberapa literatur mengatakan peningkatan angka kejadian seksio
sesarea yang meningkat akan diiringi oleh peningkatan plasenta akreta dan bahkan ada literatur yang
mengatakan plasenta akreta adalah penyakit iatrogenik abad ini karena penyebab utamanya seksio sesarea.
Berdasarkan data dari BPJS, Indonesia memiliki angka seksio sesarea setinggi 58% dari seluruh rumah
sakit yang bekerja sama dengan BPJS.

Tahap dan Mekanisme Kelainan Spetrum Plasenta Akreta1

Sampai sekarang banyak sekali literatur yang membahas tentang patogenesis kelainan spektrum plasenta
akreta akibat seksio sesarea. Ada lima tahap bagaimana yang menjelaskan

Gambar 1. Lima tahap patogenesis kelainan spektrum plasenta akreta

6
Tahap 1 (Niche – pra-kehamilan)

Salah satu gejala-gejala gangguan ginekologis setelah CS, seperti bercak pasca menstruasi,
dysmenorrhoea, nyeri panggul kronis dan dyspareunia yang dapat dikaitkan dengan bekas luka eksio
sesarea yang jelek atau juga disebut niche. Adanya suatu niche dapat dikaitkan dengan komplikasi
obstetri pada kehamilan di masa mendatang. Kelainan morfologis pada bekas luka Sesar dapat
divisualisasikan dengan transvaginal sonography (TVS), gel atau saline instillation sonohysterography
(SIS) atau hysteroscopy. Istilah ‘niche’ menggambarkan adanya area hypoechoic di dalam myometrium
pada bagian bawah segmen uterus, mencerminkan penghentian myometrium di lokasi seksio sesarea
sebelumnya2. Niche didefinisikan sebagai lekukan myometrium sebesar minimal 2 mm.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya pembentukan niche:

Faktor terkait pembedahan


1. Lokasi sayatan uterus yang rendah (dekat serviks) selama seksio sesarea
2. Penutupan dinding rahim yang tidak lengkap, karena teknik penutupan yang mengamankan
endometrium dengan lapisan tunggal atau penggunaan jahitan pengunci.
3. Kegiatan bedah yang dapat menyebabkan pembentukan adhesi (misal Peritoneum yang tidak tertutup,
hemostasis yang kurang memadai, penggunaan barier adhesi).

Faktor pasien

Faktor-faktor yang mungkin menghambat penyembuhan luka normal dan terkait angiogenesis.
1. riwayat diabetes gestasional
2. indeks massa tubuh ibu yang tinggi
3. durasi lebih lama dari persalinan aktif
4. Nutrisi ,dll

Hipotesis Niche2

• Hypothesis 1 : Lokasi insisi uterus pada serviks menginduksi gangguan penyembuhan luka
• Hypotesis 2 : Penutupan dindin rahim yang tidak lengkap
• Hipotesis 3 : Aktivitas pembedahan yang menginduksi pembentukan adhesi dan akibatnya sehingga
terjadi gangguan penyembuhan luka karena kekuatan berlawanan pada bekas luka
seksio sesarea
• Hipotesis 4 : Faktor terkait pasien atau penyakit yang mengganggu penyembuhan luka seperti
nutrisi, infeksi, kondisi kelainan medis

7
Tahap 2 (Konsepsi dan Implantasi)

Sel desidua terdiri dari desidua vera, kapsularis dan basalis. Pada daerah desidua basalis terjadi suatu
degenerasi fibrinoid. Deposit fibrinoid membentuk lapisan Langlo sub-korionik. Deposit fibrinoid juga
terjadi pada tingkat lapisan basal di bawah villi dan lapisan sitotrofoblas, membentuk lapisan Rohr.
Lebih dalam di desidua basalis, terjadi suatu degerasi fibrinoid di lapisan yang terletak diantara desidua
dan trofoblas (bagian luar sinsitiotrofoblas), tepatnya antara zona spongiosa dan zona kompakta. Lapisan
dengan degenerasi fibrinoid ini disebut lapisan Nitabuch yang terletak di antara desidua dan trofoblas
untuk menghalangi invasi trofoblas lebih dalam lagi. Stroma kompakta, stroma spongiosa, dan lapisan
nitabuch membentuk plasenta sisi maternal. Pada perkembangan selanjutnya, saat terjadi persalinan,
plasenta akan terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch tersebut. Pembentukan desidua yang
sempurna akan menjadi desidua basalis dan lapisan nitabuch. Keduanya berfungsi sebagai tempat sirkulasi
dan pemberi makan janin3.

Seperti pada luka bekas operasi, kuretase, infeksi dan multiparitas akan membuat lapisan nitabuch
menjadi tipis atau menghilang. Pada pemeriksaan histopatologi plasenta akreta tampak miometrium
berkontak langsung dengan villi korionik disertai tidak adanya atau sedikitnya lapisan desidua basalis
dan lapisan fibrinoid (lapisan Nitabuch). Patogenesis tersebut dikaitkan dengan rusaknya lapisan desidua
basalis dan lapisan Nitabuch yang membatasi villi korionik dengan miometrium. Selain itu, sebuah
hipotesis mengenai gangguan perkembangan lapisan desidua, invasi trofoblas yang berlebihan, atau
kombinasi keduanya mengemukakan bahwa adanya faktor pertumbuhan, angiogenesis, serta faktor-
faktor invasi yang terkait dengan trofoblas merupakan faktor utama terjadinya plasenta akreta. Akibatnya
satu atau lebih kotiledon invasi ke desidua basalis bahkan ke miometrium. Plasenta yang invasi terlalu
dalam ini disebut plasenta akreta. Jika vilus menginvasi miometrium disebut plasenta inkreta. Bila
invasi sampai dengan serosa disebut plasenta perkreta. Pada plasenta akreta, trofoblas atau jaringan-
jaringan plasenta yang berfungsi mengangkut makanan dan oksigen untuk janin tidak pada posisi
seharusnya yaitu menempel dan berada di lapisan Nitabuch, melainkan menembus lapisan Nitabuch
lebih dari sepertiga miometrium bahkan ke lapisan serosa4.
Keberhasilan implantasi adalah hasil akhir dari interaksi molekular yang kompleks antara endometrium
yang reseptif dengan blastosit. Berbagai faktor dibutuhkan untuk mensinkronisasi matangnya blastosit
dengan kereseptifan endometrium. Norwitz membagi faktor-fator tersebut menjadi faktor ibu dan faktor
janin. Faktor ibu meliputi sitokin, faktor pertumbuhan endotel vaskuler, hormon steroid, faktor imun,
faktor transkripsi dan fakor lainnya. Sedangkan faktor janin meliputi trofoblast, hormon, faktor imun,
prostaglandin, dan faktor lainnya5.
Pada luka bekas sesar, kuretase, manual plasenta atau miomektomi yang tidak beregenerasi secara
optimal akan menyebabkan terjadinya ketidak beraturan myofiber, edema jaringan, inflamasi dan
elastosis. Sehingga serabut myometrium membentuk substansi lain yaitu kolagen. Jaringan parut

8
yang banyak kolagennya ini lebih lemah, kurang elastis, dan lebih rentan terjadi luka sehingga lebih
mudah membentuk dehiscence. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan beregenerasi
baik secara histological, proliferatif, dan fungsional. Dimana kemampuan beregenerasi ini pada
masing-masing individu bervariasi4. Pada jaringan bekas sesar dengan penyembuhan yang kurang
baik, terjadi hipoksia relatif. Hipoksia ini memicu blastosit untuk berimplantasi di daerah tersebut
melalui sinyal Hypoxia Inducible Factor – 1(HIF-1)6,7.

Tahap 3 (Peningkatan faktor angiogenik)

Peningkatan faktor angiogenik terjadi sejak trimester pertama dan tampak pada pemeriksaan
ultrasonografi kasus kehamilan di bekas seksio sesarea. Peningkatan HIF-1 akan merangsang faktor
pertumbuhan seperti kolagen, uterine NK cell, Matrix Metalloprotein (MMP), dll sehingga memicu
angiogenesis dari tempat implantasi tanpa disertai faktor penghambat akibat hilangnya lapisan nitabuch
di endometrium4,5

Gambar 2. Ketidak-seimbangan antara faktor pertumbuhan dan penghambat

9
Pertumbuhan plasenta dimulai sejak trimester kedua secara normal, dan sangat dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). VEGF merupakan faktor angiogenik
dominan yang mempunyai kemampuan memacu permeabilitas vaskuler sekaligus sebagai glikoprotein
pengikat heparin. Protein VEGF meningkatkan permeabilitas kapiler dan proliferasi sel endotel melalui
ikatannya dengan reseptor spesifik tyrosine kinase family. Pembentukan kompleks Heparin-VEGF
menyebabkan VEGF menjadi lebih stabil, resisten terhadap inaktivasi, dan memiliki waktu paruh yang
panjang dan menyebabkan terjadinya peningkatan afinitas reseptor VEGF yang terdapat pada permukaan
sel endotel8.

PlGF adalah bagian dari VEGF yang terdiri


dari 42% asam amino dan memiliki
struktur yang sama dengan VEGF. PlGF
terdiri dari 4 bentuk yaitu PlGF-1, PlGF-
2, PlGF-3, dan PlGF-4. PlGF adalah
protein yang sangat kecil berukuran ~30
kDa dan ditemukan di dalam urine bahkan
tanpa adanya kerusakan ginjal. Interaksi
PlGF dengan reseptornya dapat dihambat
oleh sFlt-1 yang dapat menyebakan
disfungsi endotel. Pada kehamilan normal,
kadar PlGF meningkat pada kehamilan 8-
Gambar 3. Diagram menunjukkan kotiledon plasenta 12 minggu, mencapai puncak pada
normal dan akreta. kehamilan 29-32 minggu dan turun pada

33-40 minggu9-11. Pada kelainan spektrum plasenta akreta, pertumbuhan plasenta dan vaskular akan
tetap terjadi dikarenakan berkurangnya faktor penghambat12. Kemungkinan karena tidak adanya desidua,
pelepasan normal protease dan sitokin dari sel-sel imun ibu teraktivasi hilang, mengganggu remodeling
arteri. Invasi pembuluh yang lebih besar di miometrium luar dan dekat serosa pada Kelainan
Spektrum Plasenta Akreta (PASD) mungkin lebih ditentukan oleh akses daripada cacat yang sudah
ada sebelumnya dalam pertumbuhan trofoblas yang akan menghasilkan invasi Extra Villous Trophoblast
(EVT) yang tidak terkendali melalui keseluruhan kedalaman miometrium, mengubah pembuluh darah
arteri di luar tingkat Zona Junctional (JZ). Dilatasi berlebihan pada arteri arkuata adalah fitur yang
paling menonjol dari PA prenatal pada USG dan secara makroskopis pada permukaan uterus saat
melahirkan4. Patogenesis kelainan spektrum plasenta akreta sangat penting karena banyak sekali spesialis
obstetri & Ginekologi di Indonesia meremehkan kasus ini karena kurangnya informasi bahwa plasenta
akreta tidak selalu menjadi kasus yang berbahaya.
Bahkan di banyak negara sudah melarang untuk melakukan penanganan kelainan spektrum plasenta
akreta di rumah sakit yang bukan pusat rujukan plasenta akreta13,14.
10
Ringkasan

• Seksio sesarea merupakan faktor risiko utama penyebab kelainan spektrum plasenta akreta
• Ada lima tahap pathogenesis kelainan spektrum plasenta akreta yang dapat
dihubungkan dengan klinis
• Scar healing yang jelek dapat menyebabkan pembentukan niche yang besar dan
meningkatkan risiko kehamilan
• Semakin parah derajat invasi plasenta menggambarkan gangguan antara faktor
pertumbuhan dan faktor penghambat
• Semakin parah derajat invasi plasenta menggambarkan kualitas bekas seksio sesarea yang jelek
• Semakin parah derajat invasi plasenta, semakin tinggi risiko mortalitas dan morbiditas ibu hamil
yang mengalami kelainan spektrum plasenta akreta

Daftar Pustaka

1. Aryananda RA. Staging of Placenta Accreta Spectrum Disorder Pathogenesis. Jakarta


Update on Gynecology and Obstetrics 2; 2019; Jakarta.
2. Vervoort AJMW, Uittenbogaard LB, Hehenkamp WJK, Brölmann HAM, Mol BWJ,
Huirne JAF. Why do niches develop in Caesarean uterine scars? Hypotheses on the aetiology
of niche development. Human Reproduction. 2015;30(12):2695-2702.
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Williams Obstetrics. Vol 25: McGraw- Hill;
2018.
4. Silver R. Placenta Accreta Syndrome. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis
Group; 2017.
5. Norwitz ER, Schust DJ, Fisher SJ. Implantation and the survival of early pregnancy.
The New England journal of medicine. 2001;345(19):1400-1408.
6. Rosario GX, Konno T, Soares MJ. Maternal hypoxia activates endovascular trophoblast cell
invasion. Developmental biology. 2008;314(2):362-375.
7. Huppertz B, Gauster M, Orendi K, Konig J, Moser G. Oxygen as modulator of trophoblast
invasion. Journal of anatomy. 2009;215(1):14-20.
8. Berman HM, Westbrook J, Feng Z, et al. The Protein Data Bank. Nucleic acids research.
2000;28(1):235-242.
9. Chen Y. Novel Angiogenic Factors for Predicting Preeclampsia: sFlt-1, PlGF, and
Soluble Endoglin. Vol 22009.
10. Saffer C, Olson G, Boggess KA, Beyerlein R, Eubank C, Sibai BM. Determination of placental
growth factor (PlGF) levels in healthy pregnant women without signs or symptoms of
preeclampsia. Pregnancy hypertension. 2013;3(2):124-132.

11
11. De Falco S. The discovery of placenta growth factor and its biological activity.
Experimental & molecular medicine. 2012;44(1):1-9.
12. Bartels HC, Postle JD, Downey P, Brennan DJ. Placenta Accreta Spectrum: A Review
of Pathology, Molecular Biology, and Biomarkers %J Disease Markers. 2018;2018:11.
13. Silver RM, Fox KA, Barton JR, et al. Center of excellence for placenta accreta.
American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2015;212(5):561-568.
14. Hasegawa J, Tanaka H, Katsuragi S, Sekizawa A, Ishiwata I, Ikeda T. Maternal deaths
in Japan due to abnormally invasive placenta. International journal of gynaecology and obstetrics:
the official organ of the International Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2018;140(3):375-
376.

12
Standardisasi Kelainan Spektrum Plasenta Akreta dan Vaskularisasi Pelvis

Rozi Aditya Aryananda, M. Adya F. Dilmy, Muhammad Ilham Aldika Akbar

Pendahuluan

Kelainan Spektrum Plasenta Akreta merupakan istilah untuk menggambarkan kelainan invasi plasenta
yang berlebihan ke dalam uterus. Gangguan ini merupakan salah satu kondisi paling mengerikan yang
dihadapi dokter spesialis obstetri dan ginekologi karena sering sekali menyebabkan kematian ibu hamil
baik di negara maju maupun negara berkembang.

Ledakan kasus ini di seluruh dunia merangsang banyak ahli untuk saling berlomba untuk melakukan
penelitian dan memiliki hasil yang cukup baik.

Masalah yang timbul adalah muncul banyak istilah yang tidak seragam dari banyak peneliti di dunia
sehingga menimbulkan kebingungan. Interpretasi terminology, pemeriksaan ultrasonografi, diagnosis
klinis dan patologi berbeda – beda dikarenakan tidak ada patokan standar yang digunakan di dunia1.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa terminologi plasenta akreta tidak menggambarkan derajat
keparahan invasi plasenta (plasenta akreta – inkreta – perkreta) sehingga terminologi plasenta akreta
lebih baik diganti dengan Morbidly Adherent Plasenta atau Abnormally Invasive Placenta. Sedangkan
peneliti lain berpendapat bahwa derajat invasi belum tentu menggambarkan derajat keparahan
dikarenakan tingkat kesulitan manajemen sangat bergantung pada kolateral vaskularisasi yang terlibat
di plasenta akreta2,3.

Diagnosis kelainan spektrum plasenta akreta sangat sulit diinterpretasikan karena banyak sekali istilah
yang digunakan dalam diagnosisnya. Diagnosis preoperatif menggunakan ultrasonografi ataupun MRI
diharapkan dapat membantu memprediksi tingkat kesulitan saat operasi pun ternyata kurang menjanjikan
karena dengan banyaknya parameter yang digunakan untuk pemeriksaan dan tidak ada satupun parameter
yang dihubungkan dengan diagnosis klinis saat operasi4.

13
Terminologi Kelainan Spektrum Plasenta Akreta

Terminologi kelainan spektrum plasenta akreta beberapa kali mengalami perubahan istilah. Pertama
kali disebutkan adalah adherent placenta dari pemeriksaan histopatologi oleh Langhans dan Hart pada
tahun 1875. Tahun 1903, Neumann dan Hense menyebutkan istilahAbnormal Adherent Placenta pada
dua otopsi kasus kematian ibu akibat perdarahan pasca melahirkan disertai plasenta yang tidak dapat
dilepas dari uterus5 . Basich pada tahun 1907 mengeluarkan terminologi plasenta akreta sang
menggambarkan invasi plasenta melewati lapisan endometrium. Setelah itu banyak peneltian yang
menggambarkan derajat invasi berdasarkan histopatologi dan dibagi menjadi plasenta akreta – inkreta –
perkreta. Terminologi baru muncul pada tahun 2007 yang dipublikasikan oleh Timmerman menggunakan
Abnormally Invasive Placenta untuk mencakup ketiga jenis invasi. International Federation of
Gynecology & Obstetrics (FIGO) tahun 2018 mengeluarkan terminologi baru yaitu Kelainan Spektrum
Plasenta Akreta. Terminologi ini disepakati dunia dikarenakan kata kunci paling banyak digunakan
dari semua penelitian adalah “plasenta akreta” yang sebenarnya mengacu pada definisi Morbidly Adherent
Placenta dan Abnormally Invasive Placenta, dan jarang sekali ada literatur yang memberi data kedalaman
invasi (accreta – increta – percreta). Sehingga kesepakatan FIGO untuk menjembatani semua literatur
di dunia dengan menggunakan terminologi Kelainan Spektrum Plasenta Akreta sebagai istilah yang
baru6.

Definisi Kelainan spektrum plasenta akreta adalah penyakit iatrogenik abad ke-20 pada plasenta, yang
ditandai dengan kelainan atau invasi abnormal jaringan plasenta ke otot rahim yang mendasarinya7.

Terminologi ini hanya ditujukan pada kelainan invasi plasenta pada trimester kedua dan ketiga dikarenakan
pertumbuhan plasenta dan perkembangan invasi plasenta dimulai saat trimester kedua. Untuk trimester
pertama menggunakan istilah kehamilan di bekas seksio sesarea (Cesarean Scar Pregnancy)
dikarenakan jenis kehamilan ini akan berkembang menjadi plasenta akreta pada trimester berikutnya8.

Anatomi dan Klasifikasi Vaskularisasi Pelvis

Selama ini anatomi yang sering dipahami oleh sebagian obstetri dan ginekologi adalah uterus
mendapatkan vaskularisasi dari arteri uterina dan arteri ovarika. Tetapi ternyata secara klinis,
vaskularisasi uterus tidak sesederhana itu. Cabang – cabang vaskularisasi (Gambar 1) sangat jarang
dibahas dari banyak literatur dan memiliki dampak yang sangat besar dalam penanganan kelainan
spektrum plasenta akreta2.

14
Gambar 1. Anastomose vascular uterus dari posterior ke anterior uterus yang berasal dari arteri uterine
dan saling koneksi dengan arteri lain seperi (A) dan (B) arteri arteri vesikalis (Palacios Jaraquemada,
with permission).

Vaskular pada pelvis sangat kompleks sehingga Palacios Jaraquemada membagi vaskular uterus menjadi
2 (Gambar 2) yaitu segmen 1 (S1) yang meliputi meliputi aliran darah pada corpus – fundus uteri dan
segmen 2 (S2) uterus yang Segmen bawah uterus – cervix – vagina

Gambar 2. Pembagian segmen uterus


berdasarkan vaskularisasi uterus (Palacios
Jaraquemada, with permission).

15
Pembagian ini sangat penting dikarenakan sumber vaskular pada segmen 2 uterus sangat berbeda
dengan segmen 1 uterus (Tabel 1).
Tabel 1. Pembagian segmen vaskular uterus dan sumber vaskularnya3

Upper pedicle Uterine Artery 100% from Iliac Internal Artery


Middle pedicle Cervical Artery 67% from Uterine Artery
23% from Vaginal artery
10% lower Vesical artery
Lower pedicle Upper vaginal artery 18% from Uterine Artery
Middle vaginal artery 11% from Iliac Internal Artery
Lower vaginal artery 71% from Pudendal Internal
75% as as descending branch
25% as ascending branch
Diameter:
• Uterine artery : 1,81 mm diameter
• Main vaginal artery: 1,88 mm

Klasifikasi Ultrasonografi

Ultrasonografi merupakan modalitas utama dalam diagnosis kelainan spektrum plasenta akreta dan
memiliki ketepatan diagnosis yang tinggi. Selain ketepatan dalam diagnosis, dengan diagnosis preoperatif
yang baik dapat mebantu menurunkan morbiditas dan mortalitas manajemen kelainan spektrum plasenta
akreta9. Penelitian ultrasonografi pada kelainan spektrum plasenta akreta ada banyak dengan terminologi
parameter dan hasil yang berbeda – beda. Permasalahan dalam diagnosis adalah tidak ada parameter
tunggal yang dapat menegakkan diagnosis kelainan spektrum plasenta akreta dengan baik dan sangat
bergantung terhadap pengalaman sonografer sehingga bias sangat tinggi1.

Oleh karena itu, bias dalam mendeteksi kelainan spektrum plasenta akreta harus dikurangi dengan cara
sistematis dengan metode skrining dan metode diagnosis yang baik. Skrining adalah sebuah cara untuk
mengetahui atau mengidentikfikasi apakah seseorang yang masih asimtomatik menderita suatu penyakit
atau tidak. Metode skrining harus menggunakan metode yang sangat mudah dan dapat diterapkan di
mana saja. Diagnosis adalah sebuah cara (alat) untuk menentukan apakah seseorang menderita penyakit
atau tidak, berdasar adanya tanda dan gejala pada orang tersebut. Tes diagnostik dilakukan setelah
seseorang dinyatakan positif pada test skrining untuk menegakkan diagnsosis secara lebih pasti (definitif).

16
Tes diagnosis preoperatif diharapkan dapat membedakan luas invasi (fokal atau difus) sehingga sangat
berpengaruh pada manajemen operasi10,11.Klasifikasi Klinis

Klasifikasi klinis sangat banyak sehingga sangat membingungkan bagi banyak obstetri dan ginekologi
di dunia.

1. Klasifikasi berdasarkan International Society of Abnormally Invasive Placenta


(https://www.is-aip.org)

Klasifikasi Kelainan spektrum plasenta akreta :


1. Plasenta akreta sederhana
2. Plasenta inkreta/ perkreta dengan invasi hanya terbatas pada serosa
3. Invasi plasenta abnormal dengan invasi organ di luar uterus

Klasifikasi tersebut dibuat oleh para ahli kelainan spektrum plasenta akreta di Eropa. Klasifikasi tersebut
dibuat karena banyak sekali pelaporan dari beberapa negara di Eropa yang kurang sesuai dengan definisi
Abnormally Invasive Placenta dikarenakan morbiditas yang sangat rendah terutama terminologi plasenta
akreta sederhana dan sering sekali “salah persepsi” dengan retensio plasenta.
Klasifikasi ini mengundang banyak kontroversi karena beberapa pelaporan kasus invasi plasenta akreta
memiliki perdarahan yang banyak pada beberapa negara dan jenis invasi (akreta – inkreta – perkreta)
merupakan diagnosis histopatologi dan tidak dapat disamakan dengan klinis.

2. Klasifikasi klinis berdasarkan durante operasi oleh Palacios Jaraquemada

Palacios sebelumnya telah mengeluarkan klasifikasi luas invasi berdasarkan fokal (invasi plasenta kurang
dari 50% dari satu sisi anterior uterus) atau difus (invasi plasenta lebih dari 50% dari satu sisi anterior
uterus) yang menunjukkan keberhasilan operasi konservasi uterus pada kasus invasi fokal11. Kontroversi
klasifikasi ini adalah kurangnya informasi tentang derajat keparahan saat operasi sehingga Palacios
Jaraquemada mengeluarkan klasifikasi lain12 berdasarkan derajat keparahan saat operasi yaitu :
1. Tipe 0 (Positif Palsu):
Plasenta mencapai serosa uterus melalui defek pada dinding uterus tanpa disertai
vaskular dari uterus, plasenta, dan vesica urinaria
2. Tipe 1 (Invasi Klasik):
Plasenta mencapai serosa uterus atau melewati serosa uterus disertai neovaskularisasi dari uterus,
plasenta, dan vesica urinaria3.

17
3. Tipe 2 (Invasi Parametrium):
Plasenta mencapai serosa uterus atau melewati serosa uterus pada bagian sisi lateral
uterus
4. Tipe 3 (Invasi Trigonum vesica – cervix):
Plasenta menginvasi posteroinferior area vesica urinaria
5. Tipe 4 (invasi disertai jaringan fibrosis yang luas):

Plasenta mencapai serosa uterus atau melewati serosa uterus dan menginvasi vesica urinaria
disertai neovaskularisasi beserta jaringan fibrosis di antaranya

3. Klasifikasi berdasarkan International Federation of Gynecology & Obstetrics


(FIGO)

Klasifikasi ini dibuat setelah beberapa ahli di dunia berusaha membuat konsensus untuk standardisasi
secara klinis operasi dan menjembatani kontroversi yang telah ada13,14 .
1. FIGO stadium 1
Pada persalinan pervaginam atau seksio sesarea : plasenta dapat terlepas seluruhnya pada kala 3
atau disebut penempelan plasenta normal
2. FIGO stadium 2
(A)Seksio sesarea : tak tampak jaringan plasenta yang tampak menginvasi permukaan uterus.
Plasenta separasi tidak seluruhnya pada pemberian uterotonik dan tarikan pada plasenta sehingga
membutuhkan pengangkatan plasenta secara manual untuk plasenta yang tersisa atau disebut
penempelan plasenta yang tidak normal (abnormally adherent).
(B)Persalinan pervaginam : membutuhkan pengangkatan plasenta secara manual atau disebut
penempelan plasenta yang tidak normal (abnormally adherent)
3. FIGO stadium 3
(A)Seksio sesarea : tak tampak jaringan plasenta yang tampak menginvasi permukaan uterus.
Tidak ada separasi plasenta pada pemberian uterotonik dan tarikan pada plasenta sehingga
membutuhkan tindakan manual plasenta dan seluruh jaringan plasental bed mengalami
implantasi tidak normal (abnormally adherent) (B)Persalinan pervaginam : membutuhkan
tindakan manual plasenta dan seluruh jaringan plasental bed mengalami implantasi tidak normal
(abnormally adherent)
4. FIGO stadium 4
Seksio sesarea : jaringan plasenta terlihat menginvasi serosa uterus tetapi batas antara uterus dan
vesica urinaria masih dapat diidentifikasi. refleksi nontraumatik dari vesica urinaria saat operasi
masih memungkinkan.5.

18
5. FIGO stadium 5
Seksio sesarea : jaringan plasenta terlihat menginvasi serosa uterus tetapi batas antara uterus
dan vesica urinaria tidak dapat diidentifikasi sehingga refleksi nontraumatik dari vesica
urinaria tidak tampak saat operasi.
6. FIGO stadium 6

Seksio sesarea : jaringan plasenta terlihat menginvasi serosa uterus dan menginfiltrasi
parametrium atau organ lainnya selain vesica urinaria.

4. Klasifikasi Histopatologi

Klasifikasi histopatologi merupakan klasifikasi tradiosional yang telah digunakan sejak lama. Klasifikasi
tersebut adalah:
1. Plasenta akreta : vili korionik hanya melekat dengan miometrium
2. Plasenta inkreta : villi korionik menginvasi sampai kedalam miometrium
3. Plasenta perkreta : villi korionik menembus serosa uterus dan kadang menginvasi hingga organ
pelvis lainnya seperti vesika urinaria

Kontroversi klasifikasi ini sangat banyak dikarenakan histopatologi merupakan diagnosis post operatif,
tidak dapat digunakan sebagai prognosis pasien. Banyak ahli kelainan spektrum plasenta akreta
mengatakan bahwa histopatologi bukan diagnosis “golden standard” karena sangat bergantung pada
kemampuan dokter patologi anatomi, tekhnik pemotongan jaringan, tekhnik operasi, dan bahkan satu
plasenta dapat memiliki lebih dari 1 jenis invasi1.

Untuk menjembatani bias tersebut, para ahli melakukan konsensus dalam pemeriksaan histopatologi
dengan prosedur

Hasil Makroskopis:
1. Foto durante operasi dari beberapa sisi
2. Durante operasi dihadiri oleh patologi anatomi
3. Kesimpulan kedalaman invasi bukan diputuskan oleh satu dokter yang berpengalaman (lebih dari
satu dokter yang berpengalaman) untuk mengurangi subyektifitas

19
Hasil mikroskopis :

Kesepakatan bersama setelah analisis secara mendalam dan membandingkan dengan laporan / keterangan
operator, hasil mikroskopis, hasil ultrasonografi, hasil MRI, bersama dengan ahli patologi
anatomi.Seluruh dokumentasi selanjutnya didiskusikan bersama antara sonografer atau radiologi
MRI, operator operasi, dan patologi anatomi15.

5. Korelasi histopatologi dengan stadium FIGO

Konsensus ini dibuat dengan kesepakatan untuk menunjukkan hubungan derajat keparahan invasi
saat operasi dengan histopatologi (tabel 2)

Tabel 2. Hubungan stadium klinis FIGO dengan histopatologi13

Stadium klinis FIGO Histopatologi


Stadium 1 Implantasi normal
Stadium 2 Retensio plasenta (bukan SPA)
Stadium 3 Plasenta akreta / inkreta
Stadium 4&5 Plasenta perkreta fokal / difus
Stadium 6 Plasenta perkreta menginfiltrasi 1/3 inferior segmen bawah
uterus, atau lateral dindingpelvis / parametrium

Ringkasan (Standarisasi Nasional Kelainan Spektrum Plasenta Akreta)

Standarisasi ini dilakukan setelah melewati tahap skrining ultrasonografi oleh dokter spesialis obstetri
dan ginekologi di Indonesia dan diterapkan di pusat diagnosis dan manajemen kelainan spektrum plasenta
akreta di Indonesia yang telah ditunjuk oleh Satuan Tugas Plasenta Akreta Indonesia (SATGAS AKRETA
INDONESIA).

20
Daftar Pustaka

1. Bhide A, Sebire N, Abuhamad A, Acharya G, Silver R. Morbidly adherent placenta:


the need for standardization. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official journal
of the International Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2017;49(5):559-563.
2. Palacios Jaraquemada JM, Garcia Monaco R, Barbosa NE, Ferle L, Iriarte H, Conesa
HA. Lower uterine blood supply: extrauterine anastomotic system and its application in surgical
devascularization techniques. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 2007;86(2):228-
234.
3. Palacios-Jaraquemada JM, Karoshi M, Keith LG. Uterovaginal Blood Supply: the S1
and S2 Segmental Concepts and their Clinical Relevance. 2nd ed. London: Sapiens
Publishing; 2012.
4. D’Antonio F, Palacios-Jaraquemada J, Timor-Trisch I, Cali G. Placenta accreta spectrum
disorders: Prenatal diagnosis still lacks clinical correlation. Acta obstetricia et gynecologica
Scandinavica. 2018;97(7):773-775.
5. Williams JW. In: Williams JW, ed. Obstetrics - A Textbook of The Use of Students and
Practitioner. Vol 1. Stamford, Connecticut: Appleton & Lange; 1903:508.
6. Jauniaux E, Silver RM, Matsubara S. The new world of placenta accreta spectrum
disorders. International Journal of Gynecology & Obstetrics. 2018;140(3):259-260.
7. Jauniaux E, Jurkovic D. Placenta accreta: pathogenesis of a 20th century iatrogenic
uterine disease. Placenta. 2012;33(4):244-251.
8. Zosmer N, Fuller J, Shaikh H, Johns J, Ross JA. Natural history of early first-trimester
pregnancies implanted in Cesarean scars. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official
journal of the International Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2015;46(3):367-375.
9. Esakoff TF, Sparks TN, Kaimal AJ, et al. Diagnosis and morbidity of placenta accreta.
2011;37(3):324-327.
10. Alfirevic Z, Tang A-W, Collins SL, Robson SC, Palacios-Jaraquemada J, Group
obotA-hIAE. Pro forma for ultrasound reporting in suspected abnormally invasive
placenta (AIP): an international consensus. 2016;47(3):276-278.
11. Palacios Jaraquemada JM, Pesaresi M, Nassif JC, Hermosid S. Anterior placenta percreta:
surgical approach, hemostasis and uterine repair. Acta obstetricia et
gynecologica Scandinavica. 2004;83(8):738-744.
12. Palacios-Jaraquemada JM. One-Step Conservative Surgery for Abnormal Invasive
Placenta (Placenta Accreta–Increta–Percreta). 2nd ed. London: Sapiens Publishing;
2012.
13. Cali G, Forlani F, Lees C, et al. Prenatal ultrasound staging system for placenta accreta spectrum
disorders. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official journal of the International
Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2019;53(6):752-
760.
14. Collins SL, Stevenson GN, Al-Khan A, et al. Three-Dimensional Power Doppler
Ultrasonography for Diagnosing Abnormally Invasive Placenta and Quantifying the Risk.
Obstetrics and gynecology. 2015;126(3):645-653.
15. Dannheim K, Shainker SA, Hecht JL. Hysterectomy for placenta accreta; methods for
gross and microscopic pathology examination. Archives of gynecology and obstetrics.
2016;293(5):951-958.

21
Kehamilan di Luka Operasi (Caesarean Scar Pregnancy)
Nuswil Bernolian, Agus Sulistyono, M. Adya F. Dilmy

Pendahuluan
Kehamilan pada skar SC (Caesarean Scar Pregnancy / CSP) merupakan suatu bentuk kehamilan yang
sangat langka dan situasi yang mengancam jiwa. CSP ditandai dengan kantong kehamilan yang terletak
pada skar SC sebelumnya. Meskipun pertama kali disebutkan dalam literatur pada tahun 1978, kasus
ini telah menjadi masalah penting dan serius selama 10 tahun terakhir, sebagai akibat dari peningkatan
persalinan SC di seluruh dunia.1
CSP berbeda dengan kehamilan ektopik tuba, serviks, dan bentuk lainnya. Kejadiannya berkisar antara
1 per 8.000 dan 1 per 2.500 SC. Penegakkan diagnosis umumnya sulit, dan diagnosis negatif palsu
dapat menyebabkan komplikasi besar, termasuk histerektomi. Diagnosis biasanya ditegakkan ketika
kavum uteri kosong dan serviks terlihat dan dengan menemukan kantung kehamilan pada miometrium
yang menipis dari jalur persalinan SC sebelumnya di sebelah vesika urinaria. Jika pasien datang dengan
perdarahan hebat atau ruptur uteri, intervensi bedah biasanya tidak dapat dihindari.1

Klasifikasi
CSP dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan pada temuan pencitraan dan perkembangan
kehamilan. Tipe 1, atau endogenik, CSP dimana tempat implantasi terjadi pada skar dan kantung
kehamilan tumbuh menuju serviko-isthmik atau kavum uteri. Tipe 2, atau eksogenik, CSP terjadi ketika
kantung kehamilan tertanam dalam pada skar dan miometrium di sekitarnya dan tumbuh menuju vesika
urinaria. Pada tipe eksogenik, lapisan miometrium dapat terlihat di antara kantung kehamilan dan vesika
urinaria pada tahap sebelumnya; ini menjadi tipis dan akhirnya menghilang, dengan tonjolan kantung
kehamilan melalui celah saat kehamilan berlangsung, sehingga membawa risiko lebih besar dari ruptur
sebelumnya. Pada dua pertiga kasus, ketebalan skar mungkin kurang dari 5 mm.2 Hwang dkk. juga
mengelompokkan CSP menjadi dua jenis, yaitu intramural dan non-intramural. Namun, sulit untuk
menarik kesimpulan berdasarkan 22 kasus yang dianalisis. Zhang dkk. mengklasifikasikan CSP menjadi
tipe berisiko dan stabil, di mana tipe berisiko dikategorikan lebih lanjut menjadi tipe I (Ia, Ib, Ic), tipe
II, dan tipe III berdasarkan lokasi kantong kehamilan dan ketebalan miometrium yang tersisa. Klasifikasi
ini terbukti memberikan pilihan perawatan yang lebih baik untuk berbagai jenis CSP.3

Hubungan antara kantung kehamilan CSP, skar SC dan dinding uterus anterior dianalisis untuk
menentukan apakah ia dapat memprediksi evolusi CSP. Untuk melakukan ini, Cali G. dkk. menggunakan
tanda sonografi baru, COS. Pada pandangan sagital rahim, garis lurus ditarik menghubungkan orifisium
uteri internal dan fundus uteri melalui endometrium (garis endometrium) (Gambar 1). Kantung kehamilan
diidentifikasi dan diameter superior-inferior (S-I), tegak lurus terhadap garis endometrium, dilacak.
Pasien dikategorikan menurut hubungan antara garis endometrium dan diameter S-I dari kantung
kehamilan menjadi dua kelompok: (1) COS-1, di mana kantung kehamilan ditanamkan pada skar SC,
22
dan setidaknya dua pertiga dari diameter S-I dari kantung kehamilan berada di atas garis endometrium,
menuju dinding rahim anterior (Gambar 1 dan 2); dan (2) COS-2, di mana kantung kehamilan
terimplantasi dalam skar SC, dan kurang dari dua pertiga dari diameter S–I kantung kehamilan berada
di atas garis endometrium. Kasus-kasus ini kemudian dibagi menjadi dua kategori yang berbeda sesuai
dengan ada (COS-2 +) atau tidak adanya (COS-2-) dari persimpangan antara diameter S-I dari
kantung kehamilan dan garis endometrium (Gambar 1 dan 2).4

Gambar 1. Diagram hubungan antara kantong


kehamilan ektopik, bekas luka sesar dan
dinding rahim anterior, didefinisikan sebagai
crossover sign (COS), dalam plasenta yang
lengket.4

Gambar 2. USG crossover sign (COS) pada kehamilan


dengan plasenta yang tidak lengket: (a) COS-1, (b)
COS-2 + dan (c) COS-2–. B, kandung kemih; C,
serviks, CS, bekas luka sesar; EL, garis endometrium;
GS, kantung kehamilan; SID, diameter superior-infe-
rior.4

23
Faktor Risiko

Tidak terdapat hubungan antara risiko CSP dan riwayat SC sebelumnya Risiko rekurensi 3,2-5,0%
pada wanita dengan riwayat SC 1 kali yang ditatalaksana dengan dilatasi dan kuretase dengan atau
tanpa embolisasi arteri uterina. Mereka yang berisiko CSP adalah tebal Segmen Bawah Rahim (SBR) <
5 mm, kantong kehamilan menonjol ke plika vesikouterina, SC di Rumah Sakit Umum Daerah, dan
riwayat perdarahan melalui vagina ireguler dan nyeri abdomen selama CSP sebelumnya. Populasi yang
paling berisiko adalah wanita yang di-SC akibat presentasi bokong karena insisi uterus yang lebih
tinggi akibat SBR yang belum sempurna terbentuk.2

Efek Skar Uterus


Pada dinding uterus anterior dari serat-serat otot dari korpus uteri, serat otot dari masing masing sisi
saling silang secara diagonal dengan yang dari sisi yang berlawanan tetapi berjalan dalam arah yang
sebagian besar melintang. Pada sisi lateral, serat tidak sepenuhnya paralel dan tumpang tindih, sedangkan
serat otot berjalan dalam arah anterior dan posterior di atas fundus uteri. Dinding serviks terdiri atas
jaringan ikat padat dengan hanya sekitar 10% serat otot polos.5
Dampak anatomis utama dari prosedur bedah uterus seperti SC atau miomektomi akan berada pada
tingkat lapisan otot polos miometrium. Persalinan SC “modern” pertama dilakukan menggunakan
insisi vertikal untuk pintu masuk abdomen dan uterus. SC transversal pada segmen bawah sekarang
merupakan prosedur yang paling umum dilakukan pada persalinan SC di seluruh dunia. Insisi uterus
vertikal yang disebut “klasik” lebih merusak miometrium dan berisiko lebih tinggi terjadinya ruptur
uterus spontan pada kehamilan berikutnya daripada insisi transversal segmen bawah. Oleh karena itu,
hanya digunakan pada kasus langka persalinan prematur sangat dini (23-25 minggu), persalinan janin
pada kasus plasenta previa akreta, dan untuk persalinan kembar siam.5

Gambar 3. Diagram korpus uteri menunjukkan serat otot


dari setiap sisi yang bersilangan secara diagonal dengan
sisi yang berlawanan.5

24
Penyembuhan Skar Pasca Operasi

Banyak ahli bedah dari paruh pertama abad ke-20 berspekulasi bahwa pendekatan yang benar dari
margin yang dipotong, yaitu desidua ke desidua, miometrium ke miometrium, serosa ke serosa, tidak
akan menghasilkan penipisan segmen bawah setelah SC sehingga uterus akan mampu menahan tekanan
persalinan di masa depan. Schwarz, misalnya, menyimpulkan bahwa jika permukaan yang dipotong
sangat dekat, proliferasi jaringan ikat minimal, dan hubungan normal otot polos dengan jaringan ikat
secara bertahap dibangun kembali. Williams menemukan bahwa pada saat pengulangan SC bagian luar
uterus menunjukkan tidak ada jejak insisi sebelumnya dan percaya bahwa uterus sembuh dengan
regenerasi serat otot dan bukan oleh skar.5
Otot pada umumnya, dan miometrium khususnya, sebenarnya tidak sembuh dengan regenerasi serat
otot, tetapi dengan membentuk zat “asing” termasuk kolagen. Skar yang dihasilkan lebih lemah, kurang
elastis, dan lebih rentan terhadap cedera dan dehisens (pemisahan) daripada otot utuh. Gangguan miofiber,
edema jaringan, peradangan, dan elastosis semuanya telah diamati dalam penyembuhan luka uterus
setelah operasi. Eksperimen pada tikus juga menunjukkan bahwa perbedaan dalam kemampuan
regeneratif diterjemahkan menjadi perbedaan histologis, proliferatif, dan fungsional dalam sifat
biomekanik dari miometrium yang terluka setelah SC.

Hasil ini dapat menjelaskan variasi individu yang luas yang diamati dalam penyembuhan uterus
setelah SC.5

Skar Uterus dan Defek

Skar SC sederhana dan multipel dapat diidentifikasi secara akurat dengan transvaginal sonografi (TVS),
bertahun-tahun setelah prosedur bedah terakhir. Defek SC (Caesarean Delivery Defect/CDD) atau
“niche” adalah defek miometrium yang lebih besar dan lebih dalam. CDD dapat berkisar dari defek
kecil miometrium superfisial hingga defek yang luas dan dalam dengan hilangnya substansi yang jelas
dari kavum endometrium ke serosa uterus. Pada wanita dengan riwayat SC sebelumnya, CDD ditemukan
berkisar antara 20% dan 65% dari ketebalan dinding pada USG transvaginal. Risiko pemisahan parut,
dimana defeknya melibatkan lapisan miometrium yang dalam, meningkat pada wanita dengan rahim
retrofleksi, pada mereka yang telah menjalani beberapa SC, dan setelah SC persalinan lanjut. CDD
besar bisa menjelaskan laporan langka plasenta perkreta yang menyebabkan ruptur uteri pada paruh
pertamakehamilan. Walaupun ini merupakan komplikasi plasentasi yang sangat jarang, mekanisme
ruptur uteri akibat plasenta perkreta cenderung mirip dengan ruptur tuba pada plasentasi ektopik. Terdapat
potensi untuk pembentukan komunikasi vaskular yang abnormal antara arteri dan vena selama proses
penyembuhan bekas luka rahim, dan baru-baru ini telah dikaitkan dengan perkembangan PA. Temuan

25
ini menekankan peran penting dari miometrium superfisial dalam memodulasi plasentasi normal.
Implantasi jaringan plasenta ke dalam CDD mungkin dapat lebih sering menyebabkan plasenta perkreta
dan ruptur uteri.5

Patofisiologi

Sedikit yang diketahui tentang mekanisme dan etiopatologi kehamilan pada skar SC. Gangguan atau
skar endometrium dan miometrium dapat menjadi faktor predisposisi implantasi kehamilan abnormal.
Mekanisme yang paling mungkin menjelaskan implantasi skar adalah invasi oleh blastokista implan
melalui saluran mikroskopis yang berkembang dari trauma akibat SC sebelumnya. Kehadiran skar SC
pada uterus juga dapat menghambat implantasi kantung kehamilan sekunder untuk efek yang lebih
global dari operasi sebelumnya pada endometrium, daripada hanya kehadiran fisik skar. Risiko implantasi
skar mungkin sebanding dengan ukuran defek dinding rahim anterior, mungkin disebabkan oleh area
permukaan yang lebih besar yang disebabkan oleh skar. Namun, karena sebagian besar CSP terjadi
setelah hanya satu SC sebelumnya, tidak ada korelasi yang jelas antara risiko CSP dan jumlah SC
sebelumnya. Wanita yang memilih untuk SC karena presentasi bokong pada kehamilan sebelumnya
tampaknya paling sering berisiko CSP di masa depan. Hal ini mungkin terkait dengan kebutuhan untuk
insisi uterus yang lebih tinggi karena segmen bawah yang terbentuk dengan buruk.2

Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding CSP, yaitu abortus insipien, kantong kehamilan letak rendah, kehamilan
servikal, abortus pada fase awal, dan abortus iminens.2

Kriteria Diagnostik Kehamilan Ektopik


Beberapa kriteria diagnostik kehamilan ektopik, di antaranya kantong kehamilan ekstrauterine dengan
yolk sac atau embrio (dengan atau tanpa DJJ), cincin adneksa, massa adneksa kompleks terpisah dari
ovarium, cairan apapun, cairan bebas dalam jumlah moderat hingga banyak, cairan eksogenik, kista
desidual.6

26
Gambar 3. (A) Gambaran USG pseudosac
dari kehamilan ektopik. (B) Gambaran USG
kehamilan ektopik.

Kriteria Diagnostik Kehamilan Skar SC

Beberapa kriteria diagnostik kehamilan skar SC, yaitu kavum uteri kosong dan tertutup serta kanalis
servikalis kosong, plasenta dan kantong kehamilan tertanam pada skar bekas SC dan dikelilingi oleh
miometrium, dan kantong kehamilan berbentuk segitiga atau bulat atau oval yang mengisi niche skar.
Adapun kriteria lainnya, yaitu lapisan miometrium tipis atau tidak ada miometrium di antara kantong
kehamilan dan vesika urinaria; yolk sac, embrio dan aktivitas kardiak dapat ada ataupun tidak; terdapat
bukti adanya trofoblastik atau sirkulasi plasenta pada pemeriksaan Doppler warna, dengan ciri kecepatan
tinggi dan aliran darah impendans rendah; tanda sliding organs negatif; dan aliran Doppler warna
peritrofoblastik yang ditandai di sekitar kantung dengan impedans rendah (pulsatilitas < 1), aliran

27
embolisasi arteri uterina (UEA), kemoembolisasi arteri uterina, atau, baru-baru ini, penempatan kateter
balon ganda. Para peneliti telah mengusulkan berbagai rencana manajemen berdasarkan usia kehamilan,
viabilitas
embrio, bukti defisiensi miometrium, dan gejala klinis saat presentasi3. Secara umum,
manajemen kehamilan pada skar SC terdiri atas manajemen ekspektatif, manajemen medis,
injeksi lokal dan embolisasi, manajemen operatif, dan manajemen sekuensial atau kombinasi
(Tabel 3)2.

Penggunaan MTX menyediakan pilihan pengobatan pada pasien stabil yang ingin mempertahankan
kemampuan reproduksinya. Deb dkk. menyarankan bahwa perawatan medis MTX dapat
dipertimbangkan untuk CSP dengan usia kehamilan sebelum 7 minggu, tingkat HCG < 5.000 IU / L,
diameter massa < 25 mm, tidak ada gerakan jantung embrio, dan adanya miometrium antara kantong
kehamilan dan dinding vesika urinaria. Namun, dalam seri ini, tingkat keberhasilan hanya 61%. Penelitian
Lin SY dkk. (2018) hanya mengungkapkan ukuran kantong kehamilan yang berbeda antara kelompok
yang berhasil dan gagal (p = 0,040) dalam penelitian ini (Tabel 4). Tidak ada perbedaan signifikan yang
dicatat antara kelompok berhasil 40
dan gagal mengenai usia kehamilan, ²-HCG awal, aktivitas jantung positif, jarak ke miometrium dan
penggunaan MTX sistemik dalam penelitian ini (Tabel 4 dan 5). Komplikasi pendarahan terjadi pada
sekitar setengah dari pasien (48%) mungkin karena definisi komplikasi yang berbeda. Hasil menunjukkan
tidak ada perbedaan antara penilaian awal dan lanjutan dalam hal pengobatan yang sukses, komplikasi,
prosedur hemostatik tambahan dan transfusi darah. Secara bersamaan, meskipun MTX dapat dianggap
sebagai pengobatan utama CSP sehubungan dengan mempertahankan fertilitas, risiko dan komplikasi
yang terkait dengan MTX harus dikonselingkan dengan tepat kepada pasien.3

30
Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Terapi pada CSP

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan terapi pada CSP, yaitu faktor pasien (gejala,
fertilitas, akseptabilitas terhadap follow up prolong, lesi yang berhubungan, faktor risiko operatif, dan
respon terhadap terapi awal), faktor kehamilan CSP (usia kehamilan, kadar hCG, ukuran massa CSP,
tipe CSP, tebal miometrium, dan viabilitas), dan fasilitas (intervensi radiologi, fasilitas atau ekspertise
operatif, dan fasilitas monitoring)2. Pdraszewski P, dkk. (2018) menemukan dua kasus CSP yang
didiagnosis pada minggu ke-6 dan 16 kehamilan di Departemen Ginekologi Rumah Sakit Poliklinik
Regional di PBock, Polandia. Tabel 6 menunjukkan pengobatan dan prognosis dalam dua kasus ini.
Berbeda dengan deteksi CSP pada minggu ke 16 kehamilan, diagnosis dini patologi ini (sekitar minggu
ke-6 kehamilan) memungkinkan perawatan non-bedah, menghasilkan rawat inap jangka pendek, dan
menjaga fertilitas pasien9.

31
Komplikasi
Beberapa komplikasi CSP dapat terjadi, yaitu ruptur uteri (yang dapat terjadi pada usia kehamilan di
atas 14 minggu), persalinan preterm, perdarahan masif, dan gangguan koagulasi9. Jika tidak diobati,
CSP dapat berkembang menjadi plasenta invasif abnormal, yang dapat menyebabkan ruptur uteri dan
perdarahan yang mengancam jiwa3.

Contoh Kasus 1
Seorang wanita 22 tahun, G2P1 dirawat dengan keluhan amenore selama 6 minggu. Os memiliki riwayat
SC 6 bulan sebelumnya. Os mengaku tidak ada keluhan, sakit perut, atau pendarahan vagina saat masuk.
Sonografi transvaginal awal menunjukkan CSP 6 minggu 1 hari, dan kavum uteri kosong. Tidak ada
aktivitas jantung, dan pengukuran CRL yaitu 4 mm. Kadar serum human chorionic gonadotropin (-
hCG) nya adalah 5978 mIU/mL. Meskipun tidak ada aktivitas jantung, pencitraan Doppler menunjukkan
pengodean warna vaskular yang disebabkan oleh reaksi desidua pada area kantung skar (Gambar 7A).
Oleh karena itu, pasien diobati pertama kali dengan metotreksat sistemik (MTX; 50 mg/m2 secara
intramuskuler). Pada hari berikutnya, ia mulai mengalami pendarahan vagina ringan, dan sonografi
transvaginal menunjukkan kantung kehamilan yang tidak teratur serta hematoma intrauterin (Gambar
7B). Kuretase hisap segera dengan kanula Karman kemudian dilakukan dengan anestesi propofol
intravena. Pasien dipulangkan setelah 1 hari dirawat di rumah sakit tanpa komplikasi. Dia kemudian
menggunakan kontrasepsi oral selama 2 tahun. Empat puluh bulan setelah kehamilan bekas luka sesar
dan 15 bulan setelah menghentikan kontrasepsi oral, os menjadi hamil dengan konsepsi spontan. Pada
38 minggu kehamilan, neonatus sehat dengan berat 3.050 g dilahirkan melalui SC.1

Gambar 7 (A). Gambar Doppler


menunjukkan area hipervaskuler
pada skar SC. (B) Gambar
mode B menunjukkan hematoma
fundus intrauterine dan kehamilan
skar SC, termasuk
embrio berusia 6 minggu 1 hari.1

32
Contoh Kasus 2
Seorang wanita berusia 29 tahun, G3P2 dirawat di departemen Obgin pada amenore 8 minggu. Os
memiliki riwayat SC 2x (4 tahun dan 10 bulan sebelumnya). Tidak ada riwayat aborsi atau perawatan
infertilitas, dan konsepsi ini terjadi spontan. Os mengaku tidak ada keluhan, sakit perut, atau pendarahan
vagina saat masuk. Sonografi transvaginal awal menunjukkan kehamilan heterotopik. Satu kantung
kehamilan terimplantasi di dalam kavum uteri, sedangkan kantung kehamilan kedua berada di daerah
persimpangan servikoismik dan memiliki sedikit miometrium di sekitarnya (Gambar 8). Kedua janin
hidup, dan pengukuran CRL (13 dan 14,5 mm) sesuai dengan usia kehamilan masing-masing 7 minggu
4 hari dan 7 minggu 5 hari. Tingkat hCGnya adalah 43,546 mIU/mL. Pasien dan suaminya dikonsultasikan
mengenai potensi komplikasi kehamilan heterotopik, dan mereka memutuskan untuk mempertahankan
kehamilan intrauterin. Di bawah anestesi propofol intravena dan dengan panduan sonografi transvaginal,
jarum 22-gauge, 20-cm dimasukkan, dan 1 mL 7,5% kalium klorida disuntikkan ke daerah jantung
embrio ektopik. Pada hari berikutnya, janin hidup pada skar SC asistolik terletak intrauterin diperiksa
dengan sonografi. Selain itu, di dinding anterior isthmus, massa semipadat amorf dan heterogen
terungkap, berukuran 28 × 36 mm. Pasien dipulangkan setelah 3 hari dirawat di rumah sakit tanpa
komplikasi atau perdarahan. Selama kehamilan, tidak ada masalah kebidanan terlihat, tetapi massa
amorf terus dipantau di daerah injeksi. Pada usia kehamilan 35 minggu, persalinan SC dilakukan karena
kontraksi reguler. Telah lahir neonatus sehat dengan berat 2.480 g. Eksplorasi perut pada skar
menunjukkan ruptur uterus yang tidak lengkap, dan massa yang tidak berbentuk dikeluarkan dari area
insisi. Pemeriksaan patologis menunjukkan bahwa itu adalah bahan deciduous.1

Gambar 8. Kantong kehamilan intrauterin normal dan kantong kehamilan kedua pada area
skar SC (kehamilan heterotopik).1

33
Contoh Kasus 3
Seorang wanita berusia 25 tahun mengeluh amenore selama 2 bulan dengan perdarahan melalui vagina
hilang timbul sejak 10-12 hari. Pasien mengaku pernah menjalani prosedur dilatasi dan kuretase atas
indikasi abortus inkomplit. Status reproduksi pasien: G3P2A0 (bekas SC 2x atas indikasi gawat janin
dan plasenta previa). Pada pemeriksaan inspekulo, serviks tampak normal, tidak terdapat fluor dan
fluksus. Pada pemeriksaan bimanual, tampak serviks mengarah ke atas, uterus besar, retroversi, dan
forniks bilateral bebas tanpa tenderness. Hasil pemeriksaan darah rutin dan urine rutin dalam batas
normal, kadar ²-hCG: 7118 IU/L dan setelah 48 jam ²-hCG: 8108 IU/L. Selain itu, hasil PA menunjukkan
hiperplasia endometrium dan reaksi desidual serta tidak ada villi yang terlihat. Hasil USG dan temuan
intraoperatif pada Gambar 9.

Gambar 9. (A) Gambaran USG dan (B) Temuan intraoperatif.10

Ringkasan
Diagnosis dan tatalaksana CSP membutuhkan keahlian yang cukup dan pendekatan multidisiplin untuk
mencegah komplikasi. Peningkatan tingkat CS menyiratkan bahwa dokter akan menghadapi CSP dari
waktu ke waktu. Strategi pencegahan utama adalah fokus pada pengurangan jumlah CS primer yang
dilakukan tanpa indikasi medis. Risiko komplikasi jangka panjang seperti CSP dan plasenta akreta
harus secara khusus ditekankan ketika melakukan konseling wanita yang meminta SC untuk alasan
nonmedis. Diagnosis CSP yang cepat dan akurat serta perawatan individual dan tindak lanjut diperlukan
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

34
Daftar Pustaka

1 Uysal F, Uysal A, Adam G. Cesarean scar pregnancy: Diagnosis, management, and follow-up. J
Ultrasound Med. 2013;32(7):1295-1300.
2 Jayaram PM, Okunoye GO, Konje J. Caesarean scar ectopic pregnancy: diagnostic challenges and
management options. Obstet Gynaecol. 2017;19(1):13-20.
3 Lin SY, Hsieh CJ, Tu YA, et al. New ultrasound grading system for cesarean scar pregnancy and its
implications for management strategies: An observational cohort study. PLoS One. 2018;13(8):1-
14.
4 Cali G, Forlani F, Timor-Tritsch IE, Palacios-Jaraquemada J, Minneci G, D’Antonio F. Natural
history of Cesarean scar pregnancy on prenatal ultrasound: the crossover sign. Ultrasound Obstet
Gynecol. 2017;50(1):100-104.
5 Silver Robert M. Placenta Accreta Syndrome. Boca Raton: CRC Press; 2017.
6 Callen PW. Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2016.
7 Timor-Tritsch IE, Monteagudo A, Santos R, Tsymbal T, Pineda G, Arslan AA. The diagnosis,
treatment, and follow-up of cesarean scar pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2012;207(1):44.e1-
44.e13.
8 Wang S, Beejadhursing R, Ma X, Li Y. Management of Caesarean scar pregnancy with or without
methotrexate before curettage: Human chorionic gonadotropin trends and patient outcomes. BMC
Pregnancy Childbirth. 2018;18(1):4-9.
9 P’draszewski P, Wlazlak E, Panek W, Surkont G. Cesarean scar pregnancy – a new challenge for
obstetricians. J Ultrason. 2018;18(72):56-62.
10 A Rare Case Report of Caesarean Scar Ectopic Pregnancy. J Clin Diagnostic Res. 2017;11(8):10-
11.

35
Tatalaksana Kehamilan Luka
Operasi
M. Adya F. Dilmy, Yuditiya Purwosunu, Yudianto Budi Saroyo, Aditiawarman

Definisi

Kehamilan dengan bekas luka caesar (CSP) merupakan jenis kehamilan ektopik yang jarang terjadi,
ketika kehamilan awal (blastokista) terimplantasi pada jaringan miometrium dari bekas luka pada
persalinan caesar sebelumnya1-3.CSP didefinisikan sebagai implantasi kantong gestasional di dalam
bekas luka caesar sebelumnya. Kantong gestasional dikelilingi oleh miometrium dan jaringan fibrosa
dari parut dan terpisah dari rongga endometrium.4.

Etiologi

Penyebab utama kehamilan bekas luka caesar tidak diketahui secara pasti. Meskipun begitu, berbagai
literatur menjelaskan penyebab CSP dikaitkan dengan riwayat trauma uterus, operasi caesar, fertilisasi
invitro, pengangkatan plasenta secara manual, adenomiosis dan miomektomi5.

Patofisiologi

Kehamilan bekas luka sesar adalah suatu rangkaian penyakit, mulai dari implantasi parsial di atas
bekas luka, hingga yang sepenuhnya tertanam dalam dehiscence (“niche”), tertinggal di lokasi sayatan
dari kelahiran sesar sebelumnya, dengan kemungkinan protrusi ke dalam vesico- uterine interphase atau
bahkan ke dalam parametrium disertai
peningkatan sifat invasi trofoblas6. (Gambar
1) Jika implantasi abnormal ini tidak
dikenali dan dibiarkan berkembang, ini dapat
mengakibatkan komplikasi yang
menghancurkan termasuk kelainan plasenta
seperti akreta, perdarahan ibu yang
mengancam jiwa, dan ruptur uterus.
Beberapa seksio sesarea meningkatkan risiko
implantasi parut, mungkin karena area
Gambar 1. Patofisiologi ringkas
permukaan parut bertambah7.
Spektrum Plasenta Akreta termasuk
kehamilan luka operasi

36
Berdasarkan literatur, terdapat empat jenis CSP. Pada tipe 1, embrio berkembang menuju rongga rahim,
dan, meskipun berisiko tinggi perdarahan masif dan plasenta bertambah, kelahiran hidup dapat terjadi.
Pada tipe 2, kehamilan harus segera diakhiri karena embrio tertanam jauh di dalam bekas luka sesar dan
tumbuh menuju kandung kemih dan rongga perut, sering menyebabkan ruptur uteri dan perdarahan
intraperitoneal8. Pada tipe 3, embrio yang tertanam menyebabkan penonjolan struktur pada dinding
luar myometrium. Pada tipe 4, penonjolan struktur dinding myometrium didapatkan lebih luas dan
memiliki resiko ruptur lebih tinggi (Gambar 2).

Gambar 2. Jenis-jenis (Variasi) Kehamilan luka Operasi

Tatalaksana

Tujuan tatalaksana adalah penghentian kehamilan, pengurangan perdarahan, pencegahan ruptur uterus,
dan mempertahankan kesuburan. Berbagai modalitas terapi telah dijelaskan dalam literatur yang terdiri
dari observasi, terapi medis yang diberikan secara sistemik atau melalui injeksi lokal6, embolisasi
arteri uteri dengan kemoterapi atau dilatasi dan kuretase,2 reseksi melalui pendekatan transvaginal7,9,
reseksi lokal menggunakan histeroskopi/laparoskopi,2 atau histerektomi total. Dalam banyak kasus,
kombinasi dari pendekatan ini telah digunakan untuk memastikan penghentian kehamilan secara
lengkap4.

Berdasarkan literatur mengenai pengobatan kehamilan dengan bekas luka caesar, rejimen metotreksat
intravena dosis tinggi terbukti dapat ditoleransi dengan baik dan aman dalam manajemen CSP10 . Selain
itu, kombinasi metotreksat sistemik dan lokal terbukti efektif dan aman. Meskipun perjalanan pengobatan
cenderung lebih lama dibandingkan dengan modalitas lain, protokol ini menawarkan tingkat keberhasilan
yang sangat baik, dengan mempertahankan kesuburan dan beberapa komplikasi6. Regimen metroteksat
dapat diberikan pada pasiendengan CSP tipe I ataupun II tanpa adanya DJJ. Dilatasi dan kuretase
dengan panduan USG dapat dipilih untuk menatalaksana CSP tipe I ataupun II. (Gambar 3)

37
Untuk CSP tipe III maupun IV, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah laparoskopi ataupun laparotomi
reseksi. Laparoskopi ataupun laparotomy reseksi dapat dengan aman dan tuntas mengevakuasi kehamilan
ektopik dan memperbaiki cacat jaringan parut, lebih efektif daripada kuretase rahim pada kasus ini
sebagai tindakan tambahan untuk menghilangkan konsepsi dan memperbaiki sayatan sesar2. (Gambar
3)

Pengobatan MTX sebagai pengobatan lini pertama menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah
(41,3%). Laparotomi reseksi (100%) dan histeroskopi (66,7%) relatif aman dan merupakan modalitas
pengobatan paling berhasil dalam banyak studi. Dilatasi dan kuretase sebagai pengobatan lini pertama
dan kedua memiliki risiko histerektomi darurat masing- masing sekitar 20% dan 16,7% apabila terjadi
pendarahan pasca kuretase. Oleh karena itu, modalitas tatalaksana dengan visualisasi jelas (termasuk
dilatasi dan kuretase dengan bantuan USG) tampaknya lebih aman dan sukses daripada perawatan
medis menggunakan MTX saja. Diagnosis dini dan manajemen CSP yang tepat akan sangat penting
untuk meminimalkan perawatan dan dengan demikian meningkatkan hasil klinis pasien3.

Pengalaman penatalaksanaan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dalam 1 tahun terakhir (8 kasus)
ialah tiap modalitas terbukti efektif dalam menatalaksana kehamilan luka operasi tanpa disertai
komplikasi perdarahan, tranfusi, dan histerektomi. Tatalaksana khusus yang lebis efisien, efektif, dan
memenuhi kendali biaya dan kendali mutu memerlukan studi klinis miltisenter yang lebih besar.
Diantaranya yang menjanjikan ialah kuretase Hisap dengan bantuan USG dan pendekatan transvaginal
untuk reseksi dan perbaikan niche.

**Syarat & Prasyarat untuk pemberian MTX pada kehamilan ektopik terpenuhi & Siap beralih modalitas

Gambar 3. Alur Tatalaksana Kehamilan Luka Operasi (Cesarean Scar pregnancy)

38
Daftar Pustaka

1 E.E. Awad et al. Lower uterine segment pregnancy (Cesarean Scar Pregnancy and early placenta
accreta): A rising complication from cesarean section with possible and similar early ultrasound
diagnoses and management. The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine (2015) 46,
977–980.
2 He et al.: Combined laparoscopy and hysteroscopy vs. uterine curettage in the uterine artery
embolization-based management of cesarean scar pregnancy: a retrospective cohort study. BMC
Women’s Health 2014 14:116.
3 R. M. Riaz et al. Cesarean scar ectopic pregnancy: imaging features, current treatment options, and
clinical outcomes. Abdom Imaging (2015) 40:2589–2599.
4 S.Y. Kim et al. Cesarean scar pregnancy; Diagnosis and management between 2003 and 2015 in a
single center. Taiwanese Journal of Obstetrics & Gynecology 57 (2018).688-691.
5 Ajong et al. Ruptured caesarean scar ectopic pregnancy: a diagnostic dilemma in a resource-limited
setting. BMC Res Notes (2018) 11:292
6 Naeh A, Shrim A, Shalom-Paz E, Amir M, Hallak M, Bruchim I, Cesarean scar pregnancy managed
with local and systemic methotrexate: a single center case series, European Journal of Obstetrics
and amp; Gynecology and Reproductive Biology (2019), https://doi.org/10.1016/
j.ejogrb.2019.05.014.
7 Chen Y. et al. Transvaginal Management of Cesarean Scar Section Diverticulum: A Novel Surgical
Treatment. © Med Sci Monit, 2014; 20: 1395-1399.
8 S. Tamada et al. Successful pregnancy located in a uterine cesarean scar: A case report.
9 Case Reports in Women’s Health 14 (2017) 8–10.
10 A. Le. et al. Transvaginal surgical treatment of cesarean scar ectopic pregnancy. Arch
11 Gynecol Obstet (2013) 287:791–796.
12 K. Tanaka et al. Management of caesarean scar pregnancy with high dose intravenous methotrexate
infusion therapy: 10-year experience at a single tertiary centre. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 237 (2019) 28–32.

39
Diagnosis Dasar Ultrasonografi pada Kelainan
Spektrum Plasenta Akreta

Aditiawarman, Rozi Aditya Aryananda, Agus Sulistyono, M. Adya F. Dilmy,


Yuditiya Purwosunu

Pendahuluan

Plasenta akreta diduga merupakan penyakit yang muncul dan meningkat drastis, diduga faktor
tindakan medis sebelumnya mempunyai peran dominan (Iatrogenik faktor)1,2. Terjadi peningkatan 10
kali lipat dalam kurun 50 tahun terakhir dan angka kejadiannya berkisar 1: 250 kehamilan.
Permasalahan pada plasenta akreta yakni risiko kematian pada ibu karena perdarahan dan
dilaporkan bahwa 70% kasus plasenta akreta membutuhkan transfusi darah saat operasi3.
Seiring dengan peningkatan diatas, di RSUD Dr Soetomo, sebanyak 39% kasus perdarahan pst partum
ternyata berasal dari kasus plasenta akreta dari seluruh kejadian perdarahan post-partum dan 5% dari
seluruh kasus persalinan di RSUD Dr. Soetomo4.

Permasalahan
Dilaporkan bahwa angka morbiditas, mortalitas dan keberhasilan dari penangan plasenta akreta
tergantung dari pengelolaan pasien serta perencanaannya.Pengelolaan kasus ini amat tergantung dari
ditemukannya plasenta akreta sejak dini dan dilanjutkan dengan perencanaan pengelolaan yakni melakukan
tindakan di rumah sakit tertier serta dikerjakan secara multidisiplin5.
Oleh karena itu, tindakan awal dari pengelolaan
adanya melakukan screening masal pada ibu hamil
sejak trimester satu terutama sekali pada ibu hamil
bekas operasi sesar6,7.

Klasifikasi:
Berdasar derajat invasinya, maka plasenta akreta
dibagi menjadi8

1. Plasenta akreta: sel trophoblast menempel di


permukaan myometrium dan tidak ada lapisan
desidua
2. Plasenta Inkreta: sel trofoblast menginvasi
sampai dalam myometrium
3. Plasenta Perkreta: sel trofoblast menginvasi Gambar 1: Derajat Invasi

sampai lapisan serosa dari uterus


Diagnosis

Beberapa peralatan diagnosis dapat digunakan untuk mendiagnosis plasenta akreta, tetapi laporan laporan
menyebutkan Ultrasonografi dan MRI adalah diagnosis yang diandalkan. Ultrasonografi dianggap lebih
unggul dengan akurasi yang tinggi. Pada perbandingan penggunaan USG dibandingkan MRI didapatkan
bahwa USG mendiagnosis dengan tepat 5 dari 7 plasenta akreta sedangkan MRI 2 dari 7 kasus.

Pada pemeriksaan ultrasonografi akan banyak dibahas tentang gambaran lacuna dan jumlahnya, ketebalan
myometrium, integritas myometrium, retroplasental clear zone9. Pada saat penggunaan Doppler
ultrasound akan dijumpai gambaran bridging vessels, subplacental vascularity, gap myometrial blood
flow, turbulaensi lacuna10.

Ultrasonografi sebagai modalitas diagnostik plasenta akreta mempunyai sensitivitas tinggi yakni 91%,
spesifisitas 95%, Positive Predictive Value 80%, Negative Predictive Value 98%4.

Seorang wanita hamil sebaiknya dilakukan screening masal selama kehamilan terhadap risiko plasenta
previa yang dilakukan sejak trimester satu ataupun trimester 2.

Screening Ultrasonografi trimester satu Plasenta akreta

Gambaran normal kehamilan awal adalah adalah kantong gestasi yang berada pada daerah fundus.
Kantong kehamilan itu dikelilingi jaringan myometrium dengan ketebalan yang relatip sama dan posisi
eksentrik karena adanya daerah lebih tebal disebabkan jaringan decidua basalis.

Bila saat dilakukan USG terdapat kantong gestasi berada di daerah segmen bawah uterus dan dominasi
melekat di daerah scar bekas operasi sesar sebelumnya6. Gambaran diatas dilaporkan sebagai kehamilan
dengan risiko plasenta akreta dikemudian hari dengan insiden 6 kehamilan dari 10 kehamilan. Bila
dijumpai daerah scar lebih tipis dibanding myometrium sekitarnya, disebutkan insiden adalah 4
kehamilan berakhir sebagai plasenta akreta dari total 6 kehamilan.
Screening Ultrasonografi Trimester Dua Kelainan Spektrum Plasenta Akreta.

Pada pemeriksaan USG trimester kedua akan dijumpai gambaran9-11

1. Lakuna.

Gambar 2. Perbandingan
lacuna pada kelainan spektrum
plasenta akreta (a,b), dan
plasenta normal (c,d).

Lakuna mempunyai gambaran irregular, jarang berbentuk bulatan dan lebih seperti gambaran moth-
eaten. Didalamnya terkadang tampak turbulansi aliran darah, seperti pusaran tornado, walaupun tidak
100% dijumpai pada setiap kasus. Daerah lacuna tidak mempunya batas tepi seperti daerah vena pada
umumnya. Lokasi lacuna terkadang di tengah plasenta ataupun ditepian. Jumlah dan besar lacuna
merupakan salah satu parameter risiko terjadinya plasenta akreta.

Lakuna dapat dijumai pada 79-93% kasus dengan plasenta akreta, sehingga masih dimungkinkan adalah
plasenta akreta tanpa gambaran lacuna walaupun jumlahnya sedikit.

2. Batas ireguler dinding vesika urinaria

Gambaran perbatasan anatara myometrium dan vesika urinaria pada umumnya halus dan rata dengan
echogenicity yang tinggi. Gambaran perbatasan yang irregular ditambah adanya penonjolan trophoblast
kearah vesika urinaria sering dilihat pada plasenta akreta, walaupun demikian plasenta akreta tidak
disyaratkan harus ada penonjolan trophoblast kearah vesika urinaria.
3. Ketebalan myometrium

Pada kehamilan bekas operasi sesar, sudah


rutin dilakukan pemeriksaan pada segmen
bawah Rahim beserta pengukuran
ketebalannya. Pada plasenta di segmen bawah
rahin anterior atau plasenta previa, dapat
dilakukan pengkuran dengan daerah tepian
antara dinding vesika urinaria kearah zona
retroplacental vessels. Pada beberapa
penelitian disebutkan bahwa pada plasenta
akreta dijumpai ketebalan myometrium < 1
Gambar 2. Gambaran ireguler pada dinding
mm.
vesika urinaria

4. Hilangnya daerah retroplasental clear zone

Pada pemeriksaan USG akan


tampak daerah hipoekhoik
dibelakang plasenta berbatasan
dengan myometrium yang
merupakan cerminan daerah decidua
basalis (Gambar 1).

Gambar 3. Pemeeriksaan retroplasental clear zone


pada ultrasonografi

Abnormalitas daerah desidua basalis merupakan patofisiologi terjadinya plasenta akreta, pada
pemeriksaan USG tampak sebagai hilangnya daerah retroplcental clear zone.

5. Color Doppler (flow)

Pada plasenta akreta tampak gambaran aktifitas vascular yang meningkat. Gambaran vaskularisasi
yang melampaui area plasenta merupakan cerminan dari vaskularisasi plasenta akreta yang tidak ada
pada kehamilan normal. Levine melaporkan bahwa penggunaan power Doppler tidaklah menambah
akurasi diagnosis plasenta akreta.

Gambaran vascular yang berawal dari plasenta dan menyeberang melewati area retroplasental kearah
vesica urinaria ataupun jaringan disekitar uterus merupan ciri khas dari plasenta akreta

Penggunaan Ultrasonografi untuk screening plasenta akreta


Ultrasonografi amat berguna dan efisien untuk melakukan screening masal risiko plasenta akreta.
Beberapa penelitian telah melakukan permodelan matematik untuk membuat scoring system dalam
melakukan prediksi plasenta akreta. Sarjana Martha C Rac (2014) membuat suatu sistem skor prediktor
plasenta akreta dengan beberapa parameter seperti dibawah12(lampiran)
Dalam pengembangan lanjut, dari kasus yang di tangani dan di diagnosis di RSUD dr Sutomo, ditemukan
gambaran ultrasonografi yang dominan pada penderita yang datang yakni (Lampiran).

Pada analisis multivariate, dijumpai:

Pada hasil screening positif, penderita


dikirim ke rumah sakit rujukan untuk
dilakukan diagnosis konfirmatori dan bila
pasti akreta dilakukan perencanaan
persalinan sesuai standar.
Ringkasan

1. Plasenta akreta merupakan penyakit iatrogenik


2. Merupakan kasus dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi
3. Penanganan plasenta akreta dimulai dari screening masal terutama pada kasus plasenta previa
dengan bekas seksio sesarea
4. Penggunaan dan penyebaran pengetahuan tentang screening akreta amat membantu menurunkan
morbiditas dan mortalis.
5. Penanganan di level rumah sakit rujukan dimulai dengan diagnosis konfirmatori dilanjutkan
dengan penanganan harus terpadu (multidisiplin)

Daftar Pustaka
1. Jauniaux E, Jurkovic D. Placenta accreta: pathogenesis of a 20th century iatrogenic
uterine disease. Placenta. 2012;33(4):244-251.
2. Jauniaux E, Silver RM, Matsubara S. The new world of placenta accreta
spectrum disorders. International Journal of Gynecology & Obstetrics.
2018;140(3):259-260.
3. Palacios-Jaraquemada JM. Caesarean section in cases of placenta praevia and accreta. Best
practice & research Clinical obstetrics & gynaecology.
2013;27(2):221-232.
4. Aryananda RA, Akbar A, Wardhana MP, et al. New three-dimensional/four-
dimensional volume rendering imaging software for detecting the abnormally invasive
placenta. Journal of clinical ultrasound : JCU. 2019;47(1):9-13.
5. Silver RM, Fox KA, Barton JR, et al. Center of excellence for placenta accreta.
American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2015;212(5):561-568.
6. Cali G, Francesco F, Timor-Trisch I, Palacios-Jaraquemada J, Minneci G, D’Antonio F. Natural
history of Cesarean scar pregnancy on prenatal ultrasound: The crossover sign. Vol 502016.
7. Timor-Tritsch IE, Khatib N, Monteagudo A, Ramos J, Berg R, Kovacs S.
Cesarean scar pregnancies: experience of 60 cases. Journal of ultrasound in medicine :
official journal of the American Institute of Ultrasound in Medicine.
2015;34(4):601-610.
8. Dannheim K, Shainker SA, Hecht JL. Hysterectomy for placenta accreta;
methods for gross and microscopic pathology examination. Archives of gynecology
and obstetrics. 2016;293(5):951-958.
9. Collins SL, Ashcroft A, Braun T, et al. Proposal for standardized ultrasound descriptors of
abnormally invasive placenta (AIP). Ultrasound in obstetrics &
gynecology : the official journal of the International Society of Ultrasound in
Obstetrics and Gynecology. 2016;47(3):271-275.
10. Alfirevic Z, Tang A-W, Collins SL, Robson SC, Palacios-Jaraquemada J, Group obotA-hIAE.
Pro forma for ultrasound reporting in suspected abnormally invasive placenta (AIP): an
international consensus. 2016;47(3):276-278.
11. Silver R. Placenta Accreta Syndrome. Boca Raton: CRC Press, Taylor &
Francis Group; 2017.
12. Rac MW, Dashe JS, Wells CE, Moschos E, McIntire DD, Twickler DM.
Ultrasound predictors of placental invasion: the Placenta Accreta Index.
American journal of obstetrics and gynecology. 2015;212(3):343.e341-347.
Peran Doppler Ultrasonografi Pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta

Rozi Aditya Aryananda, Aditiawarman, Agus Sulistyono, M. Adya F. Dilmy,


Yuditiya Purwosunu

Pendahuluan

Doppler Ultrasonografi adalah ultrasonografi medis yang menggunakan efek perubahan frekuensi atau
panjang gelombang pada obyek yang bergerak untuk menghasilkan pencitraan pergerakan jaringan dan
cairan tubuh (biasanya darah). Pergeseran frekuensi ini diproses untuk mencerminkan gerakan (aliran)
di dalam pembuluh darah. Pemeriksaan Doppler ultrasonografi plasenta memiliki peran penting untuk
skrining gangguan implantasi plasenta terutama pada preeklampsia, gangguan pertumbuhan janin
terhambat dan kematian perinatal 1.

Sinyal Doppler sangat bergantung pada :

a. Blood velocity: merupakan laju / kecepatan aliran darah dan berbanding terbalik dengan luas
penampang darah. Jika velositas meningkat, maka frekuensi Doppler ultrasonografi
juga meningkat
b. Frekuensi Ultrasonografi: semakin tinggi frekuensi ultrasonografi, semakin tinggi frekuensi
Doppler. Frekuensi rendah memiliki penetrasi yang lebih baik
c. Pilihan frekuensi yang digunakan merupakan kompromi antara sensitivitas aliran darah yang lebih
baik atau penetrasi yang lebih baik 1.

Mode Doppler Ultrasonografi Pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta

Mode Doppler ultrasonografi memiliki peran penting dalam mendeteksi vaskularisasi kelainan spektrum
plasenta akreta 2,3.

1. Color Flow Doppler

Menghasilkan peta kode-warna dari pergeseran Doppler yang ditumpangkan ke gambar USG mode-B
(Color Flow Maps) berdasarkan frekuensi rata – rata. Sangat baik dalam analisis dengan kecepatan
tinggi seperti fetal echocardiografi (Gambar 1).

47
Faktor utama yang mempengaruhi:.
1. Power : transmisi power ke jaringan
2. Gain : sensitivitas dalam mengalirkan sinyal
3. Frequency: mengatur kemampuan penetrasi untuk mendapatkan sensitivity dan resolusi
yang lebih baik
4. Pulse repetition frequency (PRF) atau scale: low PRF untuk melihat
velositas yang rendah, high PRF untuk mngurangi aliasing
5. Area investigasi: area yang lebih luas akan mengurangi frame rate*
6. Focus : gambaran color flow optimal pada at fokus area yang diperiks

Gambar 1. Perbedaan pengaturan gain pada abdomen fetus

2. Pulse Wave

Digunakan untuk mengevaluasi gelombang Doppler pada arteri atau vena dan memberikan
ukuran perubahan kecepatan pada sample volume. Mode ini sangat penting dalam evaluasi
pembuluh darah secara objektif.

3. Power Doppler

Sinyal Power Doppler dihitung dari jumlah sel darah yang bergerak dalam suatu area yang
menggabungkan semua kecepatan. Power Doppler lebih bergantung pada jumlah darah yang
ada daripada velocity (kecepatan) membuatnya relatif bergantung pada masing – masing sudut
antara probe dengan vaskular yang dievaluasi.

Keuntungan:

Lebih sensitif daripada color Doppler

Kerugian:
a. Meningkatkan kerentanan gangguan background atau aliasing b. Kurang informasi
tentang kecepatan aliran atau flow velocity 1.

48
Sirkulasi Uteroplasenta
Aliran darah fetal bergerak dari fetus ke plasenta melalui a. umbilikalis, lalu melewati beberapa
cabang pembuluh darah dan masuk ke vaskular villous core (Gambar 2).

Gambar 2. Skema sirkulasi


uteroplasenta

Aliran darah ibu masuk ke uterus melalui a. uterine lalu menembus beberapa cabang pembuluh darah
melewati a. spiralis dan kemudian ke intervillous space di dalam plasenta. Nutrisi dan oksigen dikirim
dari darah ibu ke darah fetal melalui vaskular villous core 4.

Gambar A. Darah terutama dikirim ke


uterus melalui arteri uterina, yang bercabang
ke arteri arkuata. Arteri arkuata melintasi
uterus dalam “cincin horizontal”

Gambar B. Arteri arkuata kemudian


bercabang melalui dinding uterus ke arteri
radialis, basalis, dan spiralis, yang pada
kehamilan mengirim darah ibu ke lokasi
plasenta di mana ia memasok darah di
Gambar 3. Skema Sirkulasi uterus
struktur plasenta di ruang antar vili.
Ada juga anastomosis arterio-vena (A-V) (jalur pintas) yang menghubungkan arteri radialis miometrium
ke sisi vena pembuluh darah uterus. Ini berpotensi membawa sebagian besar aliran darah uterus pasca
melahirkan 5.

49
Angiogenik Plasenta Normal

Implantasi dan desidualisasi endometrium mengaktifkan berbagai sel imun ibu yang unik yang
menginfiltrasi uterus dan memiliki fungsi penting dalam invasi trofoblas, angiogenesis, remodeling
arteri spiral, dan toleransi ibu terhadap alloantigen janin. Decidual Natural Killer cell (dNK) membentuk
70 persen leukosit desidua pada trimester pertama dan ditemukan dalam kontak langsung dengan
trofoblas. Sel dNK mengekspresikan IL-8 dan protein-10 yang diinduksi interferon, yang berikatan
dengan reseptor pada sel trofoblastik invasif untuk meningkatkan invasi desidua mereka ke arteri spiral.
Sel dNK juga menghasilkan faktor proangiogenik, termasuk VEGF dan faktor pertumbuhan plasenta
(PlGF), yang keduanya mendorong pertumbuhan vaskular di desidua 6.

Angiogenik Pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta

Placenta growth factor (PlGF) merupakan famili VEGF yang ditemukan dan sangat berperan terdahadap
pertumbuhan angiogenik di beberapa organ 7. PlGF juga memiliki peran dalam mengontrol pertumbuhan
dan diferensiasi trofoblas ke dalam desidua.
Kadar PlGF darah meningkat berdasarkan usia
kehamilan dan mulai menurun menginjak usia
kehamilan 31 – 32 minggu (Gambar 4).
Permasalahan yang terjadi pada kelainan
spektrum plasenta akreta adalah peningkatan
faktor angiogenik dan penurunan antiangiogenik
pada plasenta. Hal ini yang menyebabkan plasenta
akan tumbuh lebih invasif disertai pertumbuhan
vaskular yang berlebihan.
Gambar 4. Kadar Placental Growth Factor (PlGF)
Pemeriksaan Doppler ultrasonografi pada
dalam darah berdasarkan usia kehamilan7,8
kelainan spektrum plasenta akreta sering
dilakukan sejak awal trimester ketiga pada

banyak penelitian. Ini menjadi standar pemeriksaan karena pertumbuhan plasenta normal mulai menurun
sejak usia kehamilan 30 minggu dan berbeda dengan kelainan spektrum plasenta akreta yang
pertumbuhan masih terus berjalan dikarenakan faktor penghambat yang menurun8,9. Kelainan spektrum
plasenta akreta adalah kondisi progresif dan sangat mungkin

bahwa penampilan ultrasonografi dari berbagai tanda dapat berubah atau berkembang semakin bertambah
usia kehamilan10,11.
50
Doppler Ultrasonografi

Pemeriksaan Doppler ultrasonografi digunakan pada populasi risiko tinggi dan memiliki karena
memiliki tingkat positif palsu 8% yang biasanya terjadi pada kasus varices segmen bawah Rahim akibat
bekas seksio sesarea. Pemeriksaan Doppler ultrasonografi dapat menggunakan 2D maupun 3D Doppler
ultrasonografi. Sensitivitas dan spesivisitas 2D Doppler ultrasonografi sangat bervariasi dengan
sensitivitas cukup rendah dan spesifisitas cukup tinggi. Derajat invasi juga sangat berpengaruh terhadap
sensitivitas dan spesifisitas 2D Doppler ultrasonografi10,12.

Doppler Ultrasonografi Sebagai Modalitas Diagnosis

Pengaturan Ultrasonografi

Semua pemeriksaan pada awalnya dilakukan dengan menggunakan trans- abdominal probe 4,0-6,0
MHz atau transvaginal 5,0-7,0 MHz. Ketika menggunakan color Doppler ultrasound, pulsed rate
frequency (PRF) atau scale awalnya ditetapkan pada 1,3 KHz, tetapi ini diturunkan untuk
mengidentifikasi keberadaan aliran lacunar plasenta12 . Banyak peneliti yang lebih memilih
menggunakan Power Doppler dikarenakan memiliki
sensitivitas yang lebih baik dibandingkan color Doppler (Gambar 5)

Gambar 5. Perbandingan
Doppler ultrasonografi
pada kasus kelainan
spektrum plasenta akreta.
A: power Doppler
ultrasonografi, B: color
Doppler ultrasonografi.

Standardisasi pemeriksaan Doppler 2D pada diagnosis Kelainan


Spektrum Plasenta Akreta:

• Hipervaskular Uterovesical: Jumlah sinyal Doppler warna yang mencolok


terlihat antara miometrium dan dinding posterior vesika urinaria; tanda
ini mungkin menunjukkan banyak, padat (menunjukkan aliran multi arah dan
artefak aliasing)

51
• Hipervaskular Subplasenta: Jumlah sinyal Doppler warna yang mencolok
terlihat di bed plasenta; tanda ini mungkin menunjukkan banyak, padat
(menunjukkan aliran multi arah dan artefak aliasing)
• Bridging vessel: Pembuluh darah tampak memanjang dari plasenta, melintasi
miometrium, dan di luar serosa ke vesika urinaria atau organ lain; menuju tegak
lurus dengan myometrium
.• Placental lacunae feeder vessels: Pembuluh dengan aliran darah berkecepatan tinggi
yang mengarah dari miometrium ke lacuna plasenta, menyebabkan gambaran
turbulensi saat masuk ke myometrium.

Standardisasi pemeriksaan Doppler 3D pada diagnosis Kelainan


Spektrum Plasenta Akreta:

• Hipervaskular Intra – plasenta: gambaran kompleks dan tidak teratur dari


banyak pembuluh darah plasenta
• Hipervaskular Uterovesical, Hipervaskular Subplasenta, Bridging vessel, Placental
lacunae feeder vessels juga diterapkan pada 3D Doppler ultrasonografi dengan
definisi yang sama dengan 2D Doppler ultrasonografi.
Diagnosis plasenta akreta dan variannya dianggap positif jika setidaknya satu dari
kriteria 3D power Doppler berikut diilustrasikan: dalam tampilan lateral

1. Hipervaskularitas intraplacental

2. Kotiledon yang tidak dapat dipisahkan dan sirkulasi intervillous


3. Vaskularisasi berliku dengan ‘cabang yang tidak beraturan’ Pemeriksaan
3D Doppler ultrasonografi memiliki sensitifitas 90 –
100% dan spesifisitas 91,5 – 100%. Ada beberapa penelitian 3D Doppler yang
melihat pulsasi, jumlah aliran darah intraplacental, dll tetapi tidak memiliki makna
klinis saat operasi.

52
Doppler Ultrasonografi pada pemetaan vaskular

Klasifikasi klinis invasi plasenta ke uterus berdasarkan Palacios – Jaraquemada dan FIGO merupakan
klasifikasi klinis berdasarkan keberhasilan operasi konservasi uterus dan tingkat kesulitan operasi. Kedua
pembagian ini pada dasarnya mementingkan luas invasi, lokasi invasi dan vaskularisasi uteroplasenta
sebagai parameter tingkat kesulitan saat operasi. Tingkat kesulitan operasi yang paling sulit adalah
invasi di posterior bawah dari trigonum vesika urinaria. Salah satu prediksi ultrasonografi yang dapat
dilakukan adalah pengukuran panjang serviks secara transvaginal.

Panjang serviks kurang dari 2,05 cm


dikaitkan dengan perdarahan yang lebih
banyak dan kesulitan lebih tinggi13 .
Serviks yang pendek ini disertai
peningkatan vaskularisasi dari S2
segmen uterus yang sering terjadi pada
tipe invasi plasenta di bawah trigonal
vesika urinaria (Gambar 6).

Gambar 6. 3D Doppler Transvaginal Ultrasonografi

Pandangan aksial melalui forniks vagina, menunjukkan vaskularisasi pericervical yang difus dengan
beberapa anastomosis yang meluas ke kandung kemih dan inferior melalui vagina 3. 3D Doppler
Ultrasonografi juga memiliki potensi dalam memprediksi invasi parametrium dan posterior
(Gambar 7).

Gambar 7. Gambar 3D Doppler Ultrasonografi3

53
Pemeriksaan 3D Doppler dapat menunjukkan invasi vaskular parametrium dalam kasus plasenta percreta
(Gambar 7A). Gambar di atas menunjukkan sistem anastomosis antara vesika urinaria, uterus dan va-
gina (Gambar 7B).

Gambaran Doppler ultrasonografi sering dihubungkan dengan klinis14:


a. Uterovesikal hipervaskular : dihubungkan dengan plasenta perkreta (fokal atau difus)
b. Hipervaskular pada area uterus segmen S2 : dihubungkan dengan invasi plasenta di bawah trigonum
vesika urinaria
c. Hipervaskular pada parametrium : dihubungkan dengan invasi parametrium

Ringkasan:
• Pemeriksaan Doppler ultrasonografi sangat bergantung pada usia kehamilan dan
pengalaman sonographer
• Standar pemeriksaan Doppler Ultrasonografi kelainan spektrum plasenta akreta dilakukan
saat trimester awal dan trimester ketiga
• Pemeriksaan Doppler Ultrasonografi memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi pada
populasi risiko tinggi
• Pemeriksaan Doppler Ultrasonografi dapat membantu memprediksi tingkat kesulitan
operasi (direkomendasikan operator ultrasonografi = operator operasi)

Daftar Pustaka
1. Nicolaides K, Rizzo G, Hecher K, Ximenes R. Doppler in Obstetrics. 2002.
2. Collins SL, Stevenson GN, Al-Khan A, et al. Three-Dimensional Power
Doppler Ultrasonography for Diagnosing Abnormally Invasive Placenta and
Quantifying the Risk. Obstetrics and gynecology. 2015;126(3):645-653.
3. Cali G, Giambanco L, Puccio G, Forlani F. Morbidly adherent placenta: evaluation of
ultrasound diagnostic criteria and differentiation of placenta accreta from percreta. Ultrasound
in obstetrics & gynecology : the official journal of the International Society of Ultrasound in
Obstetrics and Gynecology. 2013;41(4):406-412.
4. Yamasato K, Zalud I. Three dimensional power Doppler of the placenta and its
clinical applications. Journal of perinatal medicine. 2017;45(6):693-700.
5. Clark AR, James JL, Stevenson GN, Collins SL. Understanding abnormal
uterine artery Doppler waveforms: A novel computational model to explore potential
causes within the utero-placental vasculature. Placenta. 2018;66:74-
81.
6. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Williams Obstetrics. Vol 25:
McGraw-Hill; 2018.
7. Saffer C, Olson G, Boggess KA, Beyerlein R, Eubank C, Sibai BM.
Determination of placental growth factor (PlGF) levels in healthy pregnant women
without signs or symptoms of preeclampsia. Pregnancy hypertension.
2013;3(2):124-132.
8. Benton SJ, McCowan LM, Heazell AEP, et al. Placental growth factor as a

54
marker of fetal growth restriction caused by placental dysfunction. Placenta.
2016;42:1-8.
9. Bartels HC, Postle JD, Downey P, Brennan DJ. Placenta Accreta Spectrum: A Review of
Pathology, Molecular Biology, and Biomarkers %J Disease Markers.
2018;2018:11.
10. Pagani G, Cali G, Acharya G, et al. Diagnostic accuracy of ultrasound in
detecting the severity of abnormally invasive placentation: a systematic review and meta-
analysis. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica.
2018;97(1):25-37.
11. Shih JC, Palacios Jaraquemada JM, Su YN, et al. Role of three-dimensional
power Doppler in the antenatal diagnosis of placenta accreta: comparison with gray-scale and
color Doppler techniques. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official journal of the
International Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2009;33(2):193-203.
12. Cali G, Forlani F, Timor-Trisch I, et al. Diagnostic accuracy of ultrasound in detecting the
depth of invasion in women at risk of abnormally invasive placenta: A prospective longitudinal
study. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 2018;97(10):1219-1227.
13. Polat M, Kahramanoglu I, Senol T, Ozkaya E, Karateke A. Shorter the cervix, more difficult
the placenta percreta operations. The Journal of Maternal-Fetal
& Neonatal Medicine. 2016;29(14):2327-2331.
14. Cali G, Forlani F, Lees C, et al. Prenatal ultrasound staging system for placenta
accreta spectrum disorders. Ultrasound in obstetrics & gynecology : the official journal of
the International Society of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2019;53(6):752-
760.

55
Waktu Pengakhiran Dan Kontroversi Penanganan Kelainan Spektrum Plasenta
Akreta
Agus Sulistyono, Rozi Aditya Aryananda, M. Adya F. Dilmy, Yuditiya Purwosunu

Pendahuluan

Insidens plasenta akreta setiap tahun meningkat, dari 1/30.000 persalinan pada tahun 1960 menjadi 7
kali lipatnya pada tahun 1970 sekitar 1/4000, meningkat lagi menjadi 1/2500 pada tahun 1980. Insidens
makin meningkat menjadi sekitar 1/500 dan pada tahun 2016 menjadi 1/216 persalinan. Berdasarkan
derajat penempelannya, dibagi menjadi plasenta akreta bila penempelannya tidak melampaui
myometrium, inkreta bila sampai myometrium dan perkreta bila mencapai lapisan serosa uterus. Insidens
dari masing-masing derajat adalah sbb:
- akreta : 79%
- inkreta : 14%
- perkreta : 7 %

Pada penanganan plasenta akreta yang masih menjadi masalah adalah 1) kapan saat terbaik pengakhiran
kehamilan dan 2) penanganannya (jenis operasi yang direncanakan) histerektomi atau apakah masih
bisa dilakukan konservasi uterus pada ibu yang masih muda atau masih memerlukan fungsi reproduksi.
Data kematian maternal dari kota Surabaya, dari tahun 2012 terdapat kematian maternal sebanyak 60
ibu dengan penyebab perdarahan maternal adalah 14 ibu (23%), kemudian menurun pada tahun-tahun
berikutnya, tetapi pada tahun 2015 meningkat kembali angka kematian karena perdarahan yaitu 13 dari
38 kematian maternal (34%). Berdasarkan telaah kematian dari audit kematian maternal peningkatan
angka kematian tersebut dikarenakan plasenta akreta yaitu sebanyak 4 ibu, dimana tidak pernah
dilaporkan pada tahun-tahun sebelumnya. Pelajaran yang dapat dipetik adalah:
- kematian terjadi pasca-operasi (peri-operasi)
- operasi tidak terencana / darurat
- tidak terdiagnosis sebelumnya
- usia kehamilan : trimester 3
- tempat kejadian di Rumah Sakit sekunder dan primer
- dikerjakan hanya oleh 1 tenaga dokter SpOG (bukan tim)Dari kejadian tersebut, maka sangat
penting menentukan Diagnosis plasenta akreta, setelah itu menentukan saat pengakhiran kehamilan, di
Rumah Sakit yang bagaimana, siapa yang harus terlibat dalam penanganannya (tim operasi), persiapan
sebelum operasinya apa saja, informasi dan edukasi pada pasien dan keluarga.

56
Waktu Pengakhiran Kehamilan Pada Kelainan Spektrum Plasenta Akreta
Apabila diagnosis plasenta akreta sudah ditegakkan, maka manajemen penting dalam penanganannya
adalah mencegah terjadinya penangan yang darurat. Harapan yang diinginkan adalah 1) melahirkan
bayi yang sudah viable, dengan kemungkinan hidup yang baik walau belum aterm, 2) mencegah
komplikasi yang berbahaya pada ibu (perdarahan maternal dengan segala implikasi klinisnya)
Tujuan lainnya adalah mengurangi kemungkinan kematian janin karena adanya perdarahan ante
partum, terutama bila diperlukan operasi darurat yang membahayakan janin/bayi maupun ibu karena
tidak optimalnya persiapan operasi, tenaga operator beserta tim operasi ataupun operasi di RS yang
kurang ideal dalam penanganan penyulit perdarahan.

Gambar 1. Peningkatan usia


kehamilan pada manajemen plasenta
akreta akan meningkatkan risiko pada
ibu dibandingkan dengan risiko
prematuritas. (Spong CY dkk, Obstet
Gynecol, 2011)

Gambar 2. Risiko perdarahan


pervaginam pada kelainan spektrum
plasenta akreta berdasarkan usia
kehamilan

57
Banyak konsensus merekomendasikan saat terminasi kehamilan adalah saat usia kehamilan 34 – 36
minggu dikarenakan makin tingginya risiko perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 36 minggu.

Keadaan yang kemungkinan dapat meningkatkan kejadian darurat (operasi cito) adalah pendeknya canalis
cervicalis, adanya riwayat perdarahan, kesejahteraan janin yang tidak baik dan ketuban pecah prematur.

Tabel 1. Luaran plasenta previa berdasar cervical length (CL) dengan cut off 30 mm

Risiko perdarahan dari letak plasenta yang di bawah akan meningkat dengan meningkatnya usia
kehamilan. Perdarahan yang terjadi dapat memicu diakhirnya kehamilan. Perkiraan terjadinya perdarahan
ante partum pada usia 35 minggu kehamilan sebanyak 4,7% dan makin meningkat dengan usia
kehamilan, yaitu 15% pada usia 36 minggu, 30% pada usia 37 minggu dan 59% pada usia kehamilan
38 minggu. Karena pertimbangan tersebut waktu optimal yang dianjurkan untuk pengakhiran kehamilan
yang bisa dipicu perdarahan antepartum dan menyebabkan operasi darurat maka pengahiran pada usia
34 – 36 minggu merupakan waktu yang dianjurkan baik dari sisi ibu maupun janinnya.

Dari penelitian retrospektif oleh Al-Khan dkk selama 10 tahun pada 67 kehamilan yang didiagnosis
sebagai plasenta akreta, disimpulkan bahwa pengakhiran kehamilan sebelum usia 34 minggu terjadi
pada 21% kasus karena perdarahan antepartum dan 8% karena preterm premature rupture of the membrane
(PPROM).

Pada penelitian yang lain, Bowman dkk, mendapatkan hasil sebanyak 26 ibu yang mencapai usia
kehamilan 36 minggu yang tidak terjadi perdarahan antepartum, kontraksi uterus (inpartu), PPROM.
Sedangkan pada keseluruhan pasien, yaitu sebanyak 77 kehamilan dengan plasenta akreta didapatkan
38 pasien (49%) mengalami operasi darurat yang tidak terjadwal. Dari kasus emergensi ini paling sering
disebabkanperdarahan antepartum (63%), kedua karena timbulnya kontraksi Rahim (32%) dan
PPROM sebanyak 5%.

58
Penanganan Kelainan Spektrum Plasenta Akreta

Penanganan plasenta akreta diawali dengan penegakan diagnosis yang baik, terutama didapatkannya
faktor risiko dan pemeriksaan ultrasonografi yang benar. Perencanaan dan persiapan preoperatif harus
dikerjakan dengan baik pula untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penanganan idealnya
dikerjakan secara team-work yang terdiri paling tidak adalah dari obstetri (sebaiknya konsultan kedokteran
feto-maternal), onkologi ginekologi, urologi, bedah vaskuler (torako kardio vaskuler), pediatri
(neonatologi), anastesi (intensivis), dan tenaga kesehatan lain yang terkait yang terlatih. Pemberian
informasi, edukasi, rencana penanganan dan kemungkinan penyulit yang terjadi kepada pasien dan
keluarga juga penting dilakukan karena mungkin memerlukan perawatan intensif (ICU) pasca operasi
serta kemungkinan dilakukan re- open.

Operasi idealnya dikerjakan secara terencana dan terjadwal dengan baik, menghindari operasi darurat,
karena akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Tabel 2. Perbandingan operasi plasenta akreta terencana dan emergensi

SCHEDULED EMERGENCY
Mean blood loss 2.0 L 3.0 L
ICU admission 23% 31%
Massive transfusion 32% 43%
Ureteral injury 5% 9%
Intra-abdomen infection 6% 9%
Hospital readmission 5% 18%
Vesico-vaginal fistula 0% 6%
Early morbidity 37% 57%

Keterlibatan multidisiplin penting mulai dari perencanaan operasi dan antisipasi kemungkinan
penyulit yang terjadi, saat operasi antara lain dilakukan pemasangan stent ureter (oleh dokter spesialis
urologi) untuk mengurangi lesi ureter, klem Aorta abdominalis (oleh spesialis bedah torako kardio
vaskuler) pada kasus dengan perdarahan yang massif atau yang potensial perdarahan banyak.

Kontroversi Operasi Konservatif dan Histerektomi

Penentuan jenis operasi, tergantung hasil dari pemeriksaan ultrasonografi, usia, paritas, penyulit yang
lain serta apakah pasien masih memerlukan fungsi reproduksinya. Secarasonografi dilakukan placental
mapping, yaitu : 1) seberapa jauh atau luas dari penempelan plasenta dan 2) penjalaran plasenta dan
vaskuler ke serviks maupun adneksa. Berdasar luasnya penempelan plasenta pada dinding uterus,
dibagi menjadi fokal, yaitu bila penempelan akreta tidak mencapai ½ dari uterus. Disebut difus, bila >
½ bagian uterus. Penjalaran plasenta dan vaskuler ke serviks dibagi juga menjadi 2 bagian yaitu di atas
bidang yang sejajar dengan ostium uteri interna dan di bagian bawahnya. Bila hasil USG, fokal dan

59
grade 1, kemungkinan konservasi uterus bisa dilakukan, tetapi bila penempelan plasenta difus, dan
atau penjalaran sampai S2, maka kemungkinan dilakukan konservasi uterus menjadi minimal.

Terdapat beberapa macam operasi konservasi uterus, yaitu : 1) ekstirpasi plasenta, 2) meninggalkan
plasenta in situ, 3) one-step conservative surgery dan modifikasinya (SUMPUC).

Ekstirpasi Plasenta

Tujuan penanganan ini adalah untuk mencegah tertinggalnya jaringan plasenta di cavum uteri,
karena merupakan sumber dari perdarahan pasca salin. Plasenta dikeluarkan secara manual dan berharap
cavum uteri menjadi kosong. Prosedur manual plasenta ini dapat menyebabkan perdarahan yang profus,
terutama pada plasenta inkreta atau perkreta. Komplikasi perdarahan pada ekstirpasi plasenta ini cukup
banyak, sehingga tidak dianjurkan dikerjakan kecuali kemungkinan plasenta akreta dengan penempelan
yang tidak berat.

Left Plasenta In Situ

Prosedur ini dikerjakan dengan meninggalkan plasenta di tempatnya dengan tanpa mengganggu plasenta
tersebut dengan harapan akan diserap secara komplit dikemudian hari. Meninggalkan plasenta in situ
awalnya dikerjakan karena komplikasi cesarean hysterectomy yang cukup tinggi, terutama yang berrisiko
perdarahan banyak misalkan pada plasenta yang menempel pada tempat yang luas atau sampai ke
parametrium.

Extirpative Left Insitu p


Jumlah transfusi darah 3.250 ± 2.170 mL 1.560 ± 1.646 mL <0.01
DIC 5 (38,5%) 1 (5%) 0,02
Histerektomi 11 (84,6%) 3 (15%) <0,001
Morbiditas dini 67% 36% 0,04
pada histerektomi terencana

Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, pernah melakukan tindakan konservatif dengan meninggalkan
pasenta insitu sebanyak 3 pasien. Pembelajaran yang bisa dipetik adalah hanya 1 dari 3 ibu tersebut
yang akhirnya terjadi penyeraban plasenta secara spontan, dengan monitor dan kepatuhan untuk kontrol
pasca operasi selama lebih kurang 16 bulan, sedang pada 2 yang lain terjadi perdarahan sehingga dilakukan
operasi kembali untuk histerektomi.

One Step Conservative Surgery


Diperkenalkan pertama kali oleh Prof Palacios-Jaraquemeda, dengan cara sbb : 1) setelah abdomen
dibuka, tampak dinding depan uterus. Dilakukan pembebasan sumbu bawah Rahim (SBR) dengan

60
jaringan vesika, pembuluh2 darah diikat dan dipotong. 2) dilakukan histerotomi pada segmen atas plasenta
yang tampak dari dinding depan SBR.
3) bayi dilahirkan. 4) pembebasan SBR dari vesika lebih jauh ke bawah dengan cara yang sama, sampai
mencapai dinding depan vagina bagian cranial. 5) penjahitan secara transversal pada jam 3, 6 dan 9 dari
dinding depan SBR caudal sampai batas atas vagina.
6) reseksi dinding depan SBR yang ditempeli plasenta sekaligus. 7) perdarahan dirawat (hemostasis). 8)
rekonstruksi SBR / dinding depan uterus. 9) Repair bladder bila terjadi lesi

One-step conservative surgery ini dilakukan pada 68 kasus plasenta akreta dengan invasi plasenta ke
belakang atas vesika (n=46; kelompok I) dan belakang bawah vesika (n=22; kelompok II). Preservasi
uterus berhasil pada 95,7% (44/46 kelompok I) dan27,3% (6/22 kelompok II). Delapan belas kasus
yang dilakukan histerektomi, indikasinya adalah rupture segmental yang melingkar 59% (13/22 kasus),
koagulopati9% (2/22 kasus), hemodinamik yang tidak stabi 9% (2/22 kasus) dan infeksi 4,5% (1/22
kasus). Komplikasi, terutama pada kelompok ke II, yang terjadi adalah : lesi ureter (n=2), fistula
vesikalis (n=1), hematoma vaginal cuff (n=1) dan infeksi uterus (n=1). Pada 50 kasus yang berhasil,
dapat dilakukan follow up pada 42 pasien, dengan rincian sbb : haid terjadi kembali antara 3-16 bulan,
10 23,8% (10/42 kasus) hamil dan melahirkan dengan tanpa rekurensi plasenta akreta.

Surabaya Modified Procedure For Uterine Conservation (SUMPUC)

Modifikasi ini dikerjakan mulai tahun 2016. Langkah-langkah SUMPUC adalah sbb :
1) stelah cavum abdomen dibuka, eksplorasi secara avue gradasi dan luas invasi plasenta. 2)
histerotomi pada corpus anterior superior atau fundus uteri secaratransversal, menjauhi lokasi
plasenta, diperlebar secara tumpul. 3) bayi dilahirkan secara gentle tanpa mengganggu plasenta. 4) tali
pusat diklem, dipotong. 5) Luka tepi incisi diklem dengan ring tang untuk hemostasis. 6) Cavum uteri
diisi kassa lebar (darm gaas) sampai penuh. 7) Dilakukan pembebasan sumbu bawah Rahim (SBR)
dengan jaringan vesika, pembuluh2 darah diikat dan dipotong dan pembebasan dilakukan perlahan-
lahan sampai batas bawah serviks. 8) dilakukan penjahitan secara transversal pada daerah servico-
vaginal jam 3, 6 dan 9. 9) dilakukan eksisi penempelan plasenta beserta dinding SBR depan. 10) dilakukan
repair pada bekas eksisi.
Penentuan dilakukan penangan secara ons-step atau SUMPUC adalah dengan cara pembagian klasifikasi
diagnosis pre-operatif dengan mapping placenta. Berdasar USG ditentukan sbb :
- FOKAL : bila didapatkan penempelan plasenta pada kurang dari 50% uterus
- DIFUS : bila penempelan lebih dari 50%
- SEGMEN I (S1) : bila penempelan tidak melebihi batas bidang OUI
- SEGMEN II (S2) : bila melampaui OUI ke dinding serviks dank e bawah atau menginvasi ke
adneksa.

61
Daftar Pustaka

1 Aryananda R, Cininta N, Wardhana M, et al. Surabaya modified procedure for uterine conservation
(SuMPUC) in morbidly adherent placenta. Paper presented at: Supplement: 25th Asian & Oceanic
Congress of Obstetrics & Gynaecology, 15–18.June 2017; Hong Kong Convention and Exhibition
Centre.
2 Clausen C, Lon L, Langhoff Roos J. Management of placenta percreta: a review of published cases.
Acta Obstet Gynecol Scand 2014;93:138-142
3 Fox KA, Shamshirsaz AA, Carusi D. Conservative management of morbidly adherent placenta:
expert review. Am J Obstet Gynecol 2015:213-755
4 Kayem G, Keita H. Management of placenta previa and accrete. J Gynecol Obstet Biol R e p r o d .
2014;43:1142-1160
5 Miller DA, Chollet JA, Goodwin TM. Clinical risk factors for placenta previa-placenta accreta. Am
J Obstet Gynecol 1997;177:210-213
6 Palacios-Jaraquemeda JM, Pesaresi M, Nassif JC, Hermosid S. Anterior placenta percreta:
Surgical approach, hemostasis and uterine repair. Acta Obstet Gynecol Scand.8 2004;83:738-744.
7 Palacios-Jaraquemeda JM. Diagnosis and management of placenta accrete. Best Pract Res Clin
Obstet Gynecol. 2008;22:1133-1148
8 Sentilhes L, Ambroselli C, Kayem G. Maternal outcome after conservative treatment of placenta
accreta. Obstet Gynecol 2010;115:526-534
9 Sentilhes L, Goffinet F, Kayem G. Management of placenta accreta. Acta Obstet Gyneco Scand.
2013;92:1125-1134
10 Timmermans S, van Hof AC, Duvekot JJ. Conservative management of abnormally invasive
placentation. Obstet Gynecol Survey, 2007;62:529-539
11 Wu S, Kocherginsky M, Hibbard JU. Abnormal placentation: twenty year analysis. Am J Obstet
Gynecol 2005;192:1458

62
Kegawatdaruratan pada kasus Spektrum Plasenta Akreta

Muhammad Ilham Aldika Akbar, Rozi Aditya Aryananda, Yudianto Budi Saroyo

Pendahuluan

Spektrum Plasenta Akreta (SPA) merupakan permasalahan khusus pada kehamilan yang memiliki angka
mortalitas dan morbiditas cukup tinggi. Perdarahan masif pada SPA pasca lepasnya plasenta dari
insersinya merupakan penyebab hal tersebut. Insiden AIP terus meningkat dalam dekade terakhir, dan
saat ini diperkirakan mencapai 1/153 persalinan di Amerika Serikat1. Di RSUD Dr. Soetomo - Surabaya,
yang merupakan pusat rujukan kasus akreta di Indonesia bagian timur, didapatkan peningkatan jumlah
kasus SPA secara signifikan dari tahun ke tahun. Dengan total kasus sebanyak 156 pada periode Januari
2013 – Oktober 2018 (4% dari total persalinan)2. Kasus SPA yang tidak mendapat penanganan yang
adekuat akan menyebabkan berbagai morbiditas berat seperti: perdarahan masif (rata-rata 3-5 liter),
DIC (Disseminated Intravascular Coagulpathy), ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), transfusi
darah masif, gangguan elektrolit, ruptur buli, lesi ureter, dan gagal ginjal3.

Pada kasus SPA dapat muncul situasi kegawat daruratan secara mendadak, baik pada saat kehamilan
maupun persalinan. Keadaan darurat yang paling sering muncul adalah adanya perdarahan aktif dari
plasenta, yang mengharuskan penanganan secara cepat dan adekuat. Yang menjadi masalah adalah
kemunculan situasi kegawat daruratan SPA ini bisa terjadi di mana saja, dan sering kali di fasilitas
kesehatan yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan penanganan secara adekuat.
Ada berbagai skenario kegawat daruratan SPA berdasarkan waktu terjadinya: saat kehamilan dan saat
persalinan. Pada saat kehamilan sering terjadi perdarahan aktif dari plasenta yang mengharuskan
penanganan segera, dan umumnya pada usia kehamilan preterm yang menimbulkan masalah tambahan
(morbiditas dan mortalitas bayi). Pada saat persalinan, seringkali plasenta akreta baru terdiagnosis saat
operasi sesar yang menimbulkan dilema dan permasalahan bagi operator. Pada skenario lain, plasenta
akreta dapat terdiagnosis sebelum/saat operasi namun terdapat kondisi yang mengharuskan bayi
dilahirkan segera (fetal distress dan lain-lain), meskipun denganrisiko perdarahan masif. Pada bab ini
akan dibahas berbagai metode dalam menghadapi situasi-situasi kegawat daruratan SPA.

Situasi Kegawatdaruratan Pada Saat Operasi Sesar

Ada beberapa skenario situasi kegawatdaruratan pada operasi sesar: yang pertama adalah terdiagnosanya
SPA pada saat operasi sesar (temuan kasus baru), kemudian keharusan melakukan operasi sesar pada

63
kehamilan dengan SPA yang sudah terdiagnosa sebelumnya, dan juga perdarahan masif dan tidak
terkontrol saat operasi sesar darurat pada kasus SPA.

Situasi Perdarahan Masif pada Saat Operasi Sesar

Pada situasi perdarahan masif pada saat operasi SPA, perlu dilakukan keputusan dan tindakan yang
cepat untuk mengatasi situasi ini. Pada kondisi ini yang harus dilakukan pertama kali adalah meminta
bantuan tim multidisiplin yang ada di rumah sakit, mulai dari dokter anestesi untuk membantu stabilisasi
hemodinamik, dokter spesialis bedah urologi, bedah digestif, sampai bedah thoraks kardiovaskular
untuk membantu mengatasi komplikasi, dan tidak kalah penting dokter spesialis kandungan yang
berpengalaman menghadapi kasus SPA. Kemudian operator dapat melakukan intervensi untuk
mengurangi perdarahan, dengan beberapa pilihan tindakan: melakukan ligasi tourniqet pada segmen
bawah rahim dengan menggunakan kateter ukuran no 14, atau melakukan kompresi aorta secara langsung
(internal)2. Hal ini dilakukan sebagai langkah cepat untuk menghentikan perdarahan, sambil operator
dengan cepat melakukan tindakan operatif (baik konservasi uterus atau melakukan histerektomi). Jika
memungkinkan, dapat dilakukan temporary aortic clamping oleh sejawat bedah vaskular sebagai tindak
lanjut dari kompresi aorta internal.

Gambar 1. Algoritma penanganan kegawatdaruratan perdarahan masif pada saat operasi sesar
kasus SPA (Satgas Plasenta Akreta).

64
Tourniquet Segmen Bawah Rahim Uterus

Tindakan tourniquet segmen bawah rahim merupakan metode penanganan perdarahan yang cepat
dan mudah dikerjakan pada kasus SPA. Namun metode ini hanya dapat digunakan pada kasus SPA
fokal, lokasi plasenta di atas segmen bawah rahim, dan divaskularisasi oleh segmen S11,2,4. Metode ini
dikerjakan secara rutin dan merupakan bagian dari metode operasi SUMPUC5. Penggunaan tourniquet
kateter pada segmen bawah rahim cukup efektif untuk mengatasi perdarahan, namun memiliki risiko
berupa atonia uteri pasca pelepasan tourniquet. Hal ini disebabkan hipoksia uterus saat dilakukan
intervensi ini, apalagi jika dilakukan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga terkadang pasca
tindakan ini perlu dilakukan jahitan kompresi uterus untuk mengatasi atonia uteri. Selain itu pasca
pelepasan tourniquet uterus, terkadang masih dibutuhkan jahitan tambahan pada segmen bawah rahim
untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari area S2 (data belum dipublikasi).

Gambar 2. Tindakan Tourniquet kateter pada segmen


bawah rahim untuk mengurangi perdarahan masif pada
kasus SPA fokal, terletak di atas segmen bawah rahim
dan divaskularisasi oleh segmen S1.

Kompresi Aorta Langsung (Internal)

Sejak dahulu tekhnik kompresi aorta eksternal sudah digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengatasi
perdarahan pasca persalinan (PPP) secara akut. Namun metode ini pada praktik sehari-hari jarang
digunakan pada PPP karena kesulitan tekhnik, dan tidak selalu dapat dikerjakan (contoh pada kondisi
ibu obesitas). Hal ini akan berbeda pada situasi operasi sesar, dimana akses terhadap aorta abdominalis
akan sangat terbuka. Tindakan ini adalah salah satu metode paling efektif untuk segera menghentikan
perdarahan pada kasus SPA, karena ia akan menghentikan vaskularisasi secara total ke rahim dan vagina.
Patut diingat bahwa pada kasus SPA, vaskularisasi yang berasal dari arteri vaginalis dan arteri servikalis
memiliki jumlah dan kecepatan aliran darah yang sama dengan arteri uterina, ovarika dan cabang arteri
65
hipogastrika1. Sehingga pada kasus SPA,
ligasi arteri hipogastrika saja tidak cukup
kuat untuk menghentikan perdarahan,
karena masih banyak neovaskularisasi yang
berasal dari vagina dan serviks.

Literatur yang membahas mengenai


kompresi aorta abdominalis secara
langsung saat operasi masih sangat sedikit,
hanya ada beberapa laporan kasus 6 .
Tindakan ini bukan merupakan tindakan
Gambar 3. Kompresi Aorta Abdominal secara definitif untuk menghentikan perdarahan,
langsung pada saat operasi sesar7 namun hanya sebagai upaya sementara

menghentikan perdarahan sehingga dapat dilakukan resusitasi dan perbaikan sirkulasi pada ibu sambil
operator melakukan operasi definitif (konservasi uterus atau histerektomi). Tekhnik ini dapat
dilakukandengan tangan tertutup (menggengam) atau telapak tangan untuk menekan aorta terhadap
spina lumbosakralis7. Tekhnik yang kami lakukan hampir sama namun dengan menggunakan kassa
abdomen/abdominal gauze sebagai perantara antara tangan penekan dan aorta. Selain itu pada kasus
SPA penekanan aorta pada area lumbosakral tidak cukup, harus dilakukan pada daerah lebih tinggi.
Penekanan pada area di atas arteri infra renal memiliki efisiensi paling tinggi untuk menghentikan
perdarahan. Jika di rumah sakit tempat dilakukan operasi ada dokter spesialis bedah vaskular, maka
tindakan ini dapat dilanjutkan dengan temporary aortic clamping untuk melakukan penghentian aliran
darah aorta abdominal sementara (dengan jangka waktu agak lama) sehingga operator dapat melakukan
operasi rahim dengan perdarahan yang lebih sedikit.

Situasi Temuan Kasus SPA pada Saat Operasi Sesar

Pada skenario lain, kasus SPA bisa saja ditemukan pada saat operasi sesar (ketika baru membuka
abdomen) yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Pada kondisi ini tatalaksana selanjutnya akan sangat
tergantung pada adanya urgensi melahirkan bayi atau tidak. Pada kondisi bayi tidak harus segera
dilahirkan, maka sebaiknya operator menutup kembali lapangan operasi tanpa melakukan intervensi
apapun pada rahim dan plasenta, kemudian melakukan rujukan ke rumah sakit pusat rujukan akreta(4).
Ini adalah langkah paling aman yang dapat dikerjakan. Pada kondisi dimana bayi harus segera dilahirkan,
maka langkah yang harus dikerjakan adalah: melahirkan bayi secaraaman, meninggalkan plasenta (left
placental insitu)(1), kemudian segera melakukan rujukan ke pusat rujukan akreta.

66
Langkah-langkah tehnik operasi left placental insitu pada kasus SPA adalah1:

1. Insisi abdomen mediana mencapai infra umbilikal, jika diperlukan bisa diperlebar sampai
periumbilikal. Hal ini diperlukan karena tindakan insisi uterus akan dikerjakan di fundus, untuk
menghindari intervensi yang tidak disengaja pada plasenta sehingga menyebabkan perdarahan masif.
2. Rahim kemudian dikeluarkan dari cavum abdomen.
3. Dilakukan insisi anteroposterior pada fundus, karena insisi transversal berisiko menutup/ oklusi
saluran tuba.
4. Melahirkan bayi secara hati-hati tanpa mengenai plasenta. Patut diperhatikan bahwa upaya melepas
plasenta dari insersinya bisa berakibat sangat fatal dan tidak sesuai dengan tujuan tekhnik ini.
5. Tali pusat kemudian diligasi di dekat insersi plasenta.
6. Dilakukan penjahitan pada uterus.

Berikut merupakan algoritma penanganan kasus SPA yang ditemukan pada saat operasi sesar, yang
belum terdiagnosa sebelumnya (Gambar 4).

Gambar 4. Algoritma penanganan kasus SPA


yang ditemukan pada saat operasi sesar
(Satgas Plasenta Akreta)

67
Rangkuman algoritma penanganan kegawatdaruratan kasus SPA dapat dilihat pada gambar 5 dibawah
ini.

Gambar 5. Algoritma penanganan kasus kegawatdaruratan SPA (Satgas Plasenta


Akreta)

Ringkasan

Kegawatdaruratan pada kasus SPA dapat dijumpai setiap saat oleh semua tenaga kesehatan yang
bergerak di bidang obstetri. Langkah-langkah penangangan kegawatdaruratan pada kasus SPA perlu
dipahami oleh semua tenaga kesehatan dan khususnya dokter spesialis kandungan untuk meminimalkan
risiko mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janin.

68
Daftar Pustaka

1. Palacios-Jaraquemada JM. Placental Adhesive Disorders. 1st ed. Palacios- Jaraquemada


JM, editor. Berlin/Boston: Walter de Gruyter GmbH; 2012.
2. Akbar A, Parange A, Aditiawarman A, Aryananda RA, Dachlan EG, Dekker GA, et al. New
three-dimensional/four-dimensional volume rendering imaging software for detecting the
abnormally invasive placenta. J Clin Ultrasound. 2018;47(1):9–13.

3. Cahill AG, Beigi R, Heine RP, Silver RM, Wax JR. Placenta Accreta Spectrum.
Am J Obstet Gynecol. 2018;
4. Silver RM. Placenta Accreta. In: Protocols for High-Risk Pregnancies: An
Evidence-Based Approach: Sixth Edition. 2015.
5. Aryananda RA, Aldika Akbar MI, CIninta N, Wardhana MP, Gumilar KE, Wicaksono B, et al.
Surabaya Modified procedure for uterine conservation (SuMPUC) in morbidly adherent
placenta. In: The Journal of Obstetrics and Gynecology Research. 2017. p. 68–9.
6. Hofmeyr GJ, Qureshi Z. Preventing deaths due to haemorrhage. Best Practice and Research:
Clinical Obstetrics and Gynaecology. 2016.
7. Barbieri RL. Post-Partum Hæemorrhage. OBG Manag. 2018;30(10).

69
Kesalahan Manajemen Kelainan Spektrum Plasenta Akreta – Potensi
Risiko Medikolegal
Budi Prasetyo, Rozi Aditya Aryananda, Soerjo Hadijono

Pendahuluan

Perkembangan iImu kedokteran yang pesat bidang diagnostik dan terapi perlu diketahui oleh para dokter
yang terkait bidang tersebut. Perkembangan tersebut terkadang tidak dapat diikuti seorang dokter yang
terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Padahal ada kewajiban dari dokter untuk selalu mengikuti
perkembangan keilmuan yang ditekuninya. Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia menyatakan
bahwa Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara independent,
dan mempertahankan perilaku professional dalam ukuran yang tertinggi. Sedangkan Pasal 21
menyatakan, Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan. (KODEKI,
2012)

Salah satu masalah kebidanan yang cukup sering ditemukan akhir-akhir ini dan mempunyai risiko
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi adalah kejadian plasenta akreta. Meningkatnya kejadian
operasi sesar dan kehamilan pada usia lanjut diduga menjadi penyebab meningkatnya kejadian plasenta
akreta secara global. Case fatality rate untuk kasus ini sekitar 7/1000, dan perinatal mortality rate 39/
1000 kelahiran. (Farquhar CM et al, 2017)
Kekhawatiran para klinisi akan tuduhan malpraktek saat ini, meningkatkan insiden operasi sesar dan
menurunkan angka persalinan pervaginam setelah operasi sesar (VBAC/ vaginal birth delivery after
caesarean). Hal ini menyebabkan bertambahnya risiko terjadinya plasenta akreta. Sehingga, permasalahan
ini perlu mendapatkan perhatian serius di seluruh stake holder terkait. (Schifrin BS et al, 2013)
Ketidaktahuan akan kejadian akreta (misdiagnosa) dapat menimbulkan permasalahan oleh karena risiko
yang ditimbulkan dari operasi kasus tersebut cukup berat, mulai angkat kandungan (histerektomi) sekitar
66,4%, trauma organ sekitar uterus (usus, kandung kemih) 29% dimana 78 % mengenai kandung kemih
dan 17% terkena ureter, sampai kematian. Selain itu, ketidakmampuan mendeteksi kejadian plasenta
akreta, yang juga dapat menimbulkan ketidakpuasan pasien karena mengakibatkan ketidakmampuan
menginformasikan risiko tindakan pembedahan pada kasus ini. (Allen et al, 2018)

70
Tabel 1: kelainan uterus primer dan sekunder yang
berhubungan dengan kelainan Placenta accreta
spectrum (PAS) (Jauniaux et al, 2018)

Mengingat besarnya risiko


pembedahan pada kasus ini,
dikhawatirkan bila tidak ada
informasi yang diberikan oleh dokter
terkait kondisi diatas sebelum
dilakukan tindakan pembedahan, baik
informasi kemungkinan plasenta
akreta ataupun informasi risiko yang

Tabel 2: insiden komplikasi yang bisa terjadi pada


operasi plasenta akreta (Allen et al, 2018)
bisa terjadi pada pembedahan pada kasus
plasenta akreta, dapat menimbulkan
ketidakpuasan pasien/keluarga. Bila
berlarut-larut, hal ini dapat menimbulkan
dugaan malpraktik dan akhirnya terjadi
sengketa medik

Sengketa Medik

Sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan
atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Dokter pada saat memberikan pelayanan
kesehatan hanya bertanggung jawab atas proses atauupaya yang dilakukan (Inspanning Verbintennis)
dan tidak bisa menjamin hasil akhir yang baik (Resultalte Verbintennis). Sehingga bila ada kegagalan

71
dalam tindakan medis, dalam arti pasien tidak menjadi sembuh, cacat atau meninggal, hal ini merupakan
resiko medis yang harus dimengerti oleh pasien. (Nasser, 2011).

Dalam hal kejadian plasenta akreta, kemungkinan risiko angkat rahim, cedera kandung kemih ataupun
kematian harus dijelaskan sebelum dilakukan tindakan operasi. Jadi sebagai dokter tidak menjanjikan
hasil yang diluar kuasanya, hanya menjanjikan akan melakukan upaya semaksimal mungkin. Dan bila
perlu, dilakukan tindakan rujukan. Sejak dimulainya kegiatan anamnesa antara dokter dengan pasien,
saat itu dimulai hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan, yaitu hubungan
karena terjadinya kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan- perundangan. Kedua
hubungan tersebut melahirkan tanggung jawab hukum, tanggung jawab profesi dan tanggung jawab
etika dari seorang dokter. Seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan pelanggaran dapat saja
dituntut dalam beberapa pengadilan, misalnya dalam bidang hukum ada pengadilan perdata,
pengadilan pidana dan pengadilan administratif. Selain itu dokter atau dokter gigi juga dapat
diperhadapkan pada Pengadilan Etik pada organisasi profesi (MKEK dan MKEKG), dan Pengadilan
Disiplin Profesi oleh (MKDKI). (Mangkey, 2014)

Hal yang dapat menimbulkan sengketa antara dokter dengan pasien adalah masalah ketidakpahaman
pasien mengenai tindakan ataupun risiko tindakan yang dilakukan oleh, dokter. Dalam pemahaman
pasien, apabila bila terjadi kegagalan tindakan menurut pengertian pasien, dalam arti pasien tidak menjadi
sembuh, cacat atau bahkan meninggal, maka pasien menganggap bahwa dokter tidak memenuhi , padahal
menurut hukum, hubungan dokter dengan pasien merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa
pelayanan medik atau upaya penyembuhan.

Pengertian malpraktek dalam arti umum adalah suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk,
yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. malpraktek dapat terjadi tidak saja
selama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai
sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. (Rompis, 2017)

Untuk membedakan antara malpraktek medik dengan resiko medik yaitu adanya unsur kelalaian. Adanya
kelalaian ini harus dapat dibuktikan sehingga kelalaian ada hubungannya dengan akibat meninggalnya
atau cacatnya pasien. Bila unsur kelalaian ini tidak ada, berarti kematian atau cacatnya pasien bukan
sebagai akibat dari adanyamalpraktek, tetapi merupakan resiko medik yang mungkin dapat terjadi atau
karena perjalanan penyakitnya memang demikian. (Nasser, 2011)
Untuk menyelesaikan sengketa medik di Indonesia, dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan atau jalur non litigasi ( di luar peradilan ), tetapi biasanya perkara-perkara tuntutan
malpraktek medik melalui jalur litigasi selalu kandas ditengah jalan karena kendalanya adalah
pembuktiannya yang sukar diberikan oleh pihak pasien / pengacaranya. Oleh karena itu sebagian besar

72
kasus malpraktek medik diselesaikan secara damai melalui mediasi yang dilakukan di luar jalur litigasi.
Mediasi bisa dilakukan dengan bantuan seorang mediator yang ditunjuk untuk kedua belah pihak.
Mediasi merupakan kegiatan negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Saat ini, POGI
telah mempunyai beberapa mediator bersertifikat yang telah terlatih. (Sohn DH et al, 2012)
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya menghindarkan diri dari tuntutan hukum antara lain:

1. Informed concent dan information for concent


Adanya penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan, disertai penjelasan risiko dan manfaat
akan mengurangi risiko miskomunikasi antara dokter dan pasien. Informed concent merupakan
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan tindakan
medis yang akan dilakukan serta risiko dan manfaat.

2. Rekam medik
Membuat rekam medik secara lengkap dan jelas merupakan kewajiban tenaga kesehatan. Manfaat
rekam medik antara lain untuk peningkatan kualitas pelayanan, Pendidikan dan penelitian,
pembiayaan, pembuktian hukum dan pengobatan pasien. (Mangkey, 2014)

Daftar pustaka

1 Allen L, jauniaux E, Hobson S, Papillon-Smith J, Belfort MA. 2018. FIGO concencus guidelines
on plasenta accrete spectrum disorders: Nonconservative surgical management. Int J Gynecol Obstet
2018; 140: 281–290.
2 Farquhar CM, Li Z, Lensen S, et al. Incidence, risk factors and perinatal outcomes for placenta
accreta in Australia and New Zealand: a case–control study. BMJ Open 2017;7:e017713. doi:10.1136/
bmjopen-2017-017713.
3 PB IDI. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
4 Rompis MGM. Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan medical malpraktek.
2017. Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017.
5 Mangkey MD. 2014. Perlindungan hokum terhadap dokter dalam memberikan pelayanan
medias. 2014. Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014.
6 Nasser M. 2011. Sengketa medis dalam pelayanan kesehatan. Annual Scientific. Meeting
UGM-Yogyakarta , Lustrum FK UGM.
7 Schifrin BS, Cohen WR. 2013. The effect of malpractice claims on the use of caesarean section. st
Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 27 ; 269–283.
8 Sohn DH, Bal S. 2012. Medical malpractice reform: the role of alternative dispute. Clin. Orthop
Relat Res (2012) 470:1370–1378

73
Sistem Rujukan Spektrum Plasenta Akreta

Yudianto Budi Saroyo, Aditiawarman, M. Adya F. Dilmy, Yuditiya Purwosunu, Soerjo Hadijono

Pendahuluan

Spektum Plasenta Akreta (Placenta Accreta Spectr um Disorders/ PASD) merupakan salah satu penyebab
perdarahan pada kehamilan, baik antepartum, intrapartum , dan post partum yang seringkali sulit
terdeteksi secara dini dan membutuhkan penanganan yang tidak selalu mudah.1 Peningkatan angka
seksio sesaria dalam 2 dekade terakhir yang tidak dapat dipungkiri di dalam negeri dan sebagian besar
dunia merupakan faktor predesposisi utama PASD, walaupun bukan faktor satu-satunya1,2. Seiring
dengan meningkatnya berbagai faktor risiko PASD (eg. Pembedahan pada Rahim, Teknologi reproduksi
berbantu, penyembuhan luka operasi yang kurang baik, malnutrisi, Infeksi, Diabetes Melitus, penyakit-
penyakit otoimun), kita dapatkan peningkatan yang sangat tajam dari angka kejadian PASD di 2 senter
pendidikan (Jakarta dan Surabaya) dalam tahun terakhir1-3. Dimana secara akumulatif didaptkan
pengalaman mendiagnosis dan menagani lebih dari 400 kasus PASD antara tahun 2016 sampai dengan
Juni 20193-4.

Didapatkannya peningkatan tajam temuan kasus-kasus PASD memaksa kedua senter pendidikan untuk
mencari jalan keluar dalam usaha menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari PASD. Pengalaman
inilah yang kita ekstraksi dan pada pertemuan awal- awal SATGAS Perdarahan pada Kehamilan &
Spektrum Plasenta Akreta yang dihadiri Ketua PP POGI (Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri &
Ginekologi Indonesia), Ketua HKFM (Himpunan kedokteran Fetomaternal) dan anggota SATGAS
dalam perumusan alur rujukan untuk kasus-kasus PASD.

Sistem Rujukan PASD


Kami sadari bahwa untuk saat ini (mungkin akan berubah di massa yang akan datang) pada umumnya
belum semua tenaga kesehatan, termasuk Spesialis Obstetri & Ginekologi pada lapisan kesehatan primer
dan sekunder memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian diagnosis dini (sebelum terjadi kejadian
yang tidak diinginkan)PASD dan belum banyak pusat rujukan sekunder dan tersier yang sudah
membentuk tim komprehensif khusus penatalaksanaan PASD. Belum terbentuknya tim komprehensif
tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya infrastruktur (Unit perawatan Intensif, Bank Darah) ataupun
akibat belum tersedianya dokter-dokter mitra yang bekerja di rujukan sekunder tersebuut (Spesialis
Urologi, Spesialis Bedah Vaskuler, Spesialis Bedah Digestif, Konsultan Perawatan Intensif, Ahli

74
Radiologi Intervensi). Faktor lain yang dapat menjadi hambatan ialah tenaga diagnostik dan Operator
SpOG yang terbatas dan pembiayaan penatalaksanaan PASD yang cenderung tinggi.

Maka atas pertimbangan di atas merasa perlu dibentuknya 2 sistem rujukan dalam usaha tatalaksana
PASD saat ini. Satu, sistem rujukan yang berawal dari penapisan kasus- kasus berisiko PASD untuk
keperluan diagnostic dini dan dilanjutkan dengan penaganan terpadu. Kedua, sistem rujukan dalam
tatalaksana PASD dalam sekala Propinsi dan Regional.

Sistem Rujukan Penapisan dan Diagnosis dini PASD

Alur penapisan dan diagnosis dini PASD kami bagi menjadi 2 bagian. Dikarenakan pada saat ini belum
ada kebijakan di Indonesia untuk memeriksakan kehamilan pada trimester 1 dan banyak ibu hamil
yang baru ke fasilitas kesehatan pada trimester 2 dan
3 maka kami rumuskan 1 algoritme untuk penapisan dan deteksi dini pada awal kehamilan atau trimester
1 (Bagan 1.) dan 1 lagi alur untuk pasien yang dating pada trimester 2-3 (Bagan 2).

Bagan 1. Algoritme penapisan dan diagnosis dini kehamilan Trimester 1

Untuk penapisan kasus-kasus PASD pada trimester 1 ataupun trimester 2-3, kami menyimpulkan
berdasarkan data kami bahwa faktor risiko terbesar ialah adanya riwayatpembedahan uterus sebelumnya
pada ibu (Seksio sesaria, Miomektomi, Kuretase). Penapisan melalui anamnesa sederhana dapat menjadi
penyaring awal di fasilitas kesehatan primer. Bila didaptkan riwayat pembedahan Rahim maka pasien
akan dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder dimana dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi oleh
spesialis. Bila didapatkan implantasi yang normal maka pasien akan control seperti biasa di primer dan

75
sekunder selayaknya pasien hamil dengan riwayat pembedahan rahim. Pada trimester 1, bila kantong
gestasi didapatkan mendekati ostium uteri internum (OUI) atau pasa bekas luka operasi (niche) maka
dari fasilitas sekunder kami anjurkan untuk merujuk ke Fasilitas Tersier (Rumah Sakit Tipe B atau A)
yang tersedia tenaga spesialis dan subspesialis Fetomaternal dengan kemampuan ultrasonografi lanjutan
dan tersedianya alat ultrasonografi dengan kemampuan dan resolusi tinggi (High End) untuk melakukan
diagnosis dini dan risiko PASD. Temuannya pada trimester 1 dapat berupa Crossover sign atau
terdiagnosa dengan kehamila pada luka operasi yang selanjutnya direncanan tatalaksana terpadu susuai
dengan kasusnya. (Bagan 3)

Bagan 2. Algoritme penapisan dan diagnosis dini kehamilan Trimester 2-3

Pada kehamilan trimester 2-3, setelah dilakukan penapisan di fasilitas kesehatan primer seperti di trimester
1, maka selanjutnya bila didaptkan factor risiko akan dirujuk untuk diagnostic ke fasilitas kesehatan
sekunder. Apabila didapatkan bahwa implantasi plasenta adalah previa dan disertai parameter gambaran
ultrasonografi PASD yang lain (minimal 1) maka selanjutnya dapat dirujuk untuk diagnostic lanjutan
di fasilitas kesehatan tersier. Pada trimester 2-3 hasil diagnostik lanjutan dapat berupa invasiplasenta
normal atau Plasenta akreta, Inkreta, Perkreta, dengan pemetaan luas dan invasi PASD agar selanjutnya
dapat direncanakan tatalaksana terpadu. (Bagan 3)

76
Sistem Rujukan Penatalaksanaan Terpadu PASD

Alur rujukan untuk penatalaksanaan PASD kami bagu juga menjadi 2; yang pertama merupakan alur
rujukan non-emergensi dimana PASD dapat terdeteksi sejak dini atau sebelum inpartu atau terjadinya
perdarahan yang membutukan tatalaksana tingkat lanjut yang telah juga dijelaskan diatas, dan
merupakan lanjutan dari alur penapisan dan diagnosis dini PASD. (Bagan 3)

Bagan 3. Algoritme rujukan tatalaksana (Non- Emergensi) terpadu PASD

Algoritme atau alur rujukan untuk kasus-kasus emergensi atau yang baru diketahui atau dicurigai saat
harus dilakukan tindakan segera atau saat melakukan tindakan dan baru diketahui atau dicurigai saat
pembedahan sedikit lebih rumit dan ini merupakan kasus- kasus dimana sering terjadi morbiditas dan
mortalitas pada PASD karena ketidaksiapan operator, operator mitra, fasilitas, dan sarana-sarana
pendukung. (Bagan 4)

77
Bagan 4. Algoritme rujukan tatalaksana (Emergensi) terpadu PASD

Kami diskusikan dan menyadari bahwa keadaan emergensi ini dapat berawal dari fasilitas kesehatan
primer, sekunder, maupun tersier yang belum optimal menjalankan penapisan dan deteksi dini PASD.
Pada kasus seperti ini untuk penemuan kasus di fasilitas kesehatan primer apabila plasenta sulit dilahirkan
utuh sebaiknya dibiarkan dan dirujuk ke fasilitas sekunder atau tersier. Pada fasilitas kesehatan sekunder
atau tersier yang pada saat pembedahan didaptkan kecurigaan atau jelas tampak PASD (Penonjolan
segmen bawah uterus disertai gambaran kebiruan dengan atau tanpa hipervaskularisasi yang tampak
jelas maupun tidak jelas) maka pertama kami sarankan untuk tidak melakukan intervensi apapun untuk
mrnghindari morbiditas dan menutup kembali lapangan operasi dan selanjutnya dirujuk ke fasilitas
tersier dengan tim terpadu penanganan PASD. Pilihan kedua ialah bila sudah dapat di petakan sampai
dimana batas-batas kecurigaan PASD, dapat melahirkan bayi melalui insisi yang menjauhi atau sejauh
mingkin dengan implantasi plasenta (biasanya di daerah corporal depan aras atau fundus uteri, namun
dapat berbeda-beda), klem tali pusat dan mengikat tadi pusat dengan tidak memanipulasi plasenta (tidak
mencoba melepaskan plasenta) dan menutup insisi uterus dan meninggalkan plasenta in situ lalu merujuk
ke fasilitas kesehatan tersier denga tim terpadu PASD.

Namun pada keadaan ketiga dimana diagnosis dan kecurigaan PASD baru didapatkan saat usaha
melepaskan plasenta dan/atau perdarahan aktif maka dianjurkan untukmelakukan Informed Consent
kepada pasien dan keluarga bahwa tindakan kemungkinan besar akan dilanjutkan dengan histerektomi,
keperluan perawatan intensif, transfus0 darah yang massif beserta risikonya dan bila memungkinkan
memanggik rekan yang lebih berpengalaman atau telah berpengalaman lebih dalam penatalaksanaa
kasus-kasus pembedahan obstetri sulit.

78
Ringkasan

Sistem rujukan dan alur rujukan PASD kami rumuskan dengan tujuan utama mengurangi morbiditas
dan mortalitas akibat perdarahan pada kehamilan, terutama yang disebabkan oleh PASD yang telah
didapatkan meningkat secara tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Penapisan PASD dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan siapa sajam dari mulai fasilitas kesehat primer
sampai dengan lanjutan dengan cara pengambilan riwayat pasien yang terarah mengenai riwayat
pembedahan rahim yang menjadi faktor risiko utama PASD. Diagnosis dini PASD dapat dilaukan di
fasilitas sekunder oleh spesialis Obstetri & Ginekologi yang sudah terlatih menggunakan ultrasonografi
untuk diagnosis dini PASD pada trimester 1,2, dan 3. Kecurigaan PASD dengan diagnosis dini akan
dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier dan akan dilakukan diagnosis lanjutan oleh subspesialis fetomaternal
dengan menggunakan alat ultrasonografi High End. Kasus-kasus yang tidak terdiagnosis PASD akan
dikembalikan ke fasilitas kesehatan sekunder.

Alur rujukan penatalaksanaan PASD terbagi 2: kasus Non-emergensi dan kasus emergensi.
Pada kasus non emergensi merupakan suatu kelanjutan dari alur rujukan diagnosis dini ke diagnosis
lanjutan yang terkonfirmasi PASD. Untuk kasus emergensi terdapat 3 opsi sesuai keadaan yang ditemukan
saat curiga atau mendiagnosis PASD intra pembedahan: 1. Tutup kembali dan rujuk ke senter PASD; 2.
Lahirkan bayi melalui insisi uterus menjauhi implantasi plasenta, klem dan ikat tali pusat, tinngalkan
plasenta insitu dan menutup insisi lalu merujuk ke senter PASD; 3. Informed consent, Unit perawatan
intensif, transfuse darah massif, kolaborasi multidisiplin, panggil ahli bila memungkinkan, dan
Histerektomi.

Daftar Pustaka
1. Jauniaux E, Ayres-de-Campos D, Diagnosis FPA, Management Expert Consensus P. FIGO consensus
guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Introduction. Int J Gynaecol Obstet.
2018;140(3):261-4.
2. Jauniaux E, Chantraine F, Silver RM, Langhoff-Roos J, Diagnosis FPA, Management Expert
Consensus P. FIGO consensus guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Epidemiology.
Int J Gynaecol Obstet. 2018;140(3):265-73.
3. Rivai AT, Dilmy MAF, Irwinda R, Purwosunu Y, Saroyo YB, Wibowo N. Rising incidence of
abnormally invasive placenta in an Indonesian tertiary hospital and the maternal outcome of its
management. Submited to the Asia Pacific Conference of Maternal-Fetal Medicine, Hong Kong.
2018
4. Putri RA, Dilmy MAF, Purwosunu Y, Saroyo YB, Wibowo N. Surgical management of abnormally
invasive placenta: factor affecting management outcome in an indonesian tertiary hospital. Submited:

79
Lampiran

80
Penuntun belajar melakukan penanganan kondisi emergensi di faskes
sekunder

No Langkah-langkah Penilaian
Tidak Perlu Baik
dikerjakan perbaikan
Persiapan
1 Pasien telah dilakukan screening
akreta dan positip mempunyai risiko
atau terdiagnosis saat operasi
2 Menjelaskan kepada pasien terlebih
dahulu di ruang operasi apabila
kondisi pasien sadar penuh
3 Meminta keluarga pasien duduk dalam
ruang konsultasi bersama

Penjelasan
1 Menjelaskan prediksi dari hasil
screening (nilai kebenaran dan ketidak
benaran screening dan perlunya
konfirmatori)
2 Menjelaskan perlunya suatu diagnosis
konformatori di faskes yang lebih
lengkap
3 Menjelaskan risiko bila plasenta
akreta, morbiditas, mortalis,
perdarahan, fasilitas yang diperlukan
4 Menjelaskan tindakan sementara yang
telah dilakukan dan tujuan tindakan
tersebut
5 Meminta pasien atau keluarga
menanggapi
6 Menjelaskan perlunya datang ke
faskes rujukan segera dan tidak
menunggu kehamilan lanjut
7 Menuliskan rujukan dengan disertai
data klinis yang ditemukan
Penuntun belajar melakukan penjelasan rujukan terencana

No Langkah-langkah Penilaian
Tidak Perlu Baik
dikerjakan perbaikan
Persiapan
1 Pasien telah dilakukan screening
akreta dan positip mempunyai risiko
2 Meminta pasien duduk dalam ruang
konsultasi bersama pasangannya atau
keluarga dekat.

Penjelasan
1 Menjelaskan prediksi dari hasil
screening (nilai kebenaran dan ketidak
benaran screening dan perlunya
konfirmatori)
2 Menjelaskan perlunya suatu diagnosis
konformatori di faskes yang lebih
lengkap
3 Menjelaskan risiko bila plasenta
akreta, morbiditas, mortalis,
perdarahan, fasilitas yang diperlukan
4 Meminta pasien atau keluarga
menanggapi
5 Menjelaskan perlunya datang ke
faskes rujukan segera dan tidak
menunggu kehamilan lanjut
6 Menuliskan rujukan dengan disertai
data klinis yang ditemukan
Placenta Accreta Index (Rac, 2015)

Placenta Acreta Index (PAI) Value Score Probability**


≥ 2 caesarean delivery 3
Lacunae
Grade 3 3,5
Grade 2 1
Sagital smallest myometrial thickness
≤ 1 mm 1
< 1 but ≥ 3 mm 0,5
> 3 but ≤ 5 mm 0,25
Anterior Placenta Previa 1
Bridging vessel 0,5
Total Score*
*Placenta
Acreta Index **Probability
>0 5%
>1 10 %
>2 19 %
>3 33 %
>4 51 %
>5 69 %
>6 83 %
>7 91 %
>8 96 %
Trias Surabaya

Analisis Multivariat
CI 95%
Parameter p value Odd ratio Lower Upper
Placenta previa 0.001 0,128 0,036 0,453
Bladder wall interruption 0.000 0.089 0.030 0.349
Loss of Retroplacental clear-zone 0.000 0.030 0.009 0,099

Pasien dengan bekas seksio yang


disertai parameter ultrasonografi 2D Ya Tidak Keterangan
(vesical urinaria terisi penuh)
Placenta Previa Skrining
Bladder wall interruption SPA (+)
Loss of Retroplacental clear-zone atau (-)*
*Skrining SPA (+) apabila minimal 2 parameter ultrasonografi 2D positif

Anda mungkin juga menyukai