Anda di halaman 1dari 152

RANCANGAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR HK.01.07/MENKES/243/2021
TENTANG
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
TATA LAKSANA HEMOFILIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus


dilakukan sesuai dengan standar pelayanan
kedokteran yang disusun dalam bentuk Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur
Operasional;
b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas
pelayanan kesehatan dalam menyusun standar
prosedur operasional perlu mengesahkan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran yang disusun oleh
organisasi profesi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata laksana
Hemofilia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);

jdih.kemkes.go.id
-2-

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 464);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052/Menkes/Per/IX/2011 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671);

Memperhatikan : Surat Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Nomor


3587/IDAI/IX/2020, tanggal 10 September 2020, Hal
Penyampaian PNPK Hemofilia.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
HEMOFILIA.

KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hemofilia.
KEDUA : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Hemofilia yang selanjutnya disebut PNPK Hemofilia
merupakan pedoman bagi dokter sebagai pembuat

jdih.kemkes.go.id
-3-

keputusan klinis di fasilitas pelayanan kesehatan, institusi


pendidikan, dan kelompok profesi terkait.
KETIGA : PNPK Hemofilia sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KEDUA tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KEEMPAT : PNPK Hemofilia sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KETIGA harus dijadikan acuan dalam penyusunan standar
prosedur operasional di setiap fasilitas pelayanan kesehatan.
KELIMA : Kepatuhan terhadap PNPK Hemofilia sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KETIGA bertujuan memberikan
pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik.
KEENAM : Penyesuaian terhadap pelaksanaan PNPK Hemofilia dapat
dilakukan oleh dokter hanya berdasarkan keadaan tertentu
yang memaksa untuk kepentingan pasien, dan dicatat
dalam rekam medis.
KETUJUH : Menteri Kesehatan, gubernur, dan bupati/walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan PNPK Hemofilia dengan melibatkan organisasi
profesi.
KEDELAPAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2021

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI G. SADIKIN

jdih.kemkes.go.id
-4-

LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMORHK.01.07/MENKES/243/2021
TENTANG
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN TATA LAKSANA HEMOFILIA

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA


HEMOFILIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hemofilia merupakan gangguan pembekuan darah herediter


terbanyak di dunia saat ini dan diturunkan secara X-linked recessive.
Terdapat 2 jenis hemofilia yaitu hemofilia A dan hemofilia B. Hemofilia A
terjadi akibat mutasi gen faktor VIII dan menyebabkan defisiensi faktor VIII
yang dibutuhkan dalam pembentukan fibrin. Sedangkan hemofilia B
merupakan suatu kondisi kekurangan faktor IX yang juga dibutuhkan
dalam proses pembentukan fibrin. Insiden hemofilia A adalah 1:5.000–
10.000 kelahiran bayi lelaki dan merupakan 85-90% dari seluruh kasus
hemofilia, sedangkan sisanya adalah hemofilia B (defisiensi faktor IX).
Insiden hemofilia B diperkirakan 1:30.000 lelaki. Diperkirakan terdapat
sekitar 400.000 penderita hemofilia di seluruh dunia. Di Indonesia, sampai
dengan akhir 2018 pasien hemofilia tercatat sebanyak 2098 orang
berdasarkan data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), yang
diperkirakan hanya 10% dari total estimasi pasien, yaitu 20.000-25.000
kasus.

jdih.kemkes.go.id
-5-

2500

2083 2092
2000 1848
1706 1708 1737
1585
1500 1388
1270 1280
1210
1084 1103 1136
1000 850
757

530
500
180 230
120 125

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Gambar 1. Jumlah penyandang hemofilia di Indonesia
Sumber: Data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia 2019

Masalah diagnosis hemofilia di Indonesia saat ini tidak terlepas dari


kurangnya pengetahuan atau awareness masyarakat dan petugas
kesehatan apabila menjumpai kondisi kelainan perdarahan. Pemeriksaan
kadar faktor pembekuan (factor assay) baru tersedia di beberapa rumah
sakit rujukan tingkat provinsi saja. Pemerintah memiliki peran
fundamental dalam deteksi dini dan tata laksana komprehensif hemofilia,
khususnya dalam penyediaan sarana dan fasilitas diagnostik. Walaupun
ketersediaan sarana masih merupakan kendala, hingga saat ini sudah
terdapat beberapa rumah sakit rujukan yang mampu menangani hemofilia
secara multidisiplin di Indonesia.

Gambar 2. Sebaran RS rujukan provinsi yang dapat menangani


hemofilia secara multidisiplin
Sumber: Data himpunan masyarakat hemofilia Indonesia 2018

jdih.kemkes.go.id
-6-

Manifestasi perdarahan yang khas pada hemofilia adalah perdarahan


sendi (hemartrosis) dan otot/jaringan lunak (hematoma). Hemartrosis
berulang dan artropati hemofilik merupakan morbiditas utama hemofilia.
Kondisi ini mengakibatkan keterbatasan gerak dan kecacatan, sehingga
akan mengurangi produktivitas dan kualitas hidup serta masalah
psikososial lainnya. Kerusakan sendi progresif biasanya mulai terjadi pada
usia dekade kedua hingga ketiga. Penelitian Chozie dkk. Tahun 2015 di
RSCM menemukan bahwa kerusakan sendi/artropati telah dijumpai pada
seluruh subjek dengan rerata usia 12 tahun (rerata skor Hemophilia Early
Arthropathy Detection with Ultrasonography/HEAD-US 25), baik yang
mendapat terapi profilaksis maupun on demand. Penelitian kedua di RSCM
tahun 2016-2018 pada anak usia 4-18 tahun juga menemukan bahwa
artropati telah terjadi pada semua pasien.
Prinsip umum penanganan hemofilia meliputi pencegahan terjadinya
perdarahan, tata laksana perdarahan akut sedini mungkin (dalam waktu
kurang dari 2 jam), dan tata laksana perdarahan berat di rumah sakit yang
mempunyai fasilitas pelayanan hemofilia yang baik. Pengobatan utama
hemofilia adalah pemberian faktor pembekuan sebagai replacement therapy
(terapi pengganti) secara intravena. Pilihan pertama untuk replacement
therapy pada hemofilia A adalah konsentrat faktor VIII, baik konsentrat
viral–inactivated plasma derived maupun rekombinan. Apabila konsentrat
tidak tersedia, dapat diberikan transfusi kriopresipitat. Replacement
therapy dapat diberikan secara on demand, yaitu pemberian faktor
pembekuan bila terjadi perdarahan; atau profilaksis, yaitu pemberian
faktor pembekuan untuk mencegah perdarahan.
Di Indonesia replacement therapy menggunakan konsentrat faktor VIII
masih menganut pola on demand, mengingat harga konsentrat faktor
pembekuan masih sangat mahal, ketersediaan faktor pembekuan belum
merata di semua daerah dan dukungan pembiayaan dari pemerintah masih
terbatas. Mengingat episode perdarahan sendi pada anak hemofilia A berat
bisa terjadi 3-4 kali perbulan, maka biaya yang harus dikeluarkan
perbulan menjadi sangat besar. Saat ini, biaya konsentrat faktor VIII untuk
pengobatan on demand 1 episode perdarahan sendi pada anak dengan
berat badan 25 kg berkisar antara Rp 4.500.000, hingga Rp 9.000.000,.
Jumlah tersebut belum termasuk biaya lain seperti pemeriksaan
laboratorium, radiologi, obat-obatan lain, dan konsultasi multidisiplin.

jdih.kemkes.go.id
-7-

Dengan pola pengobatan on demand, seringkali anak hemofilia A berat


tidak bisa memperoleh pengobatan yang ideal, yaitu dalam 2 jam setelah
awitan perdarahan, karena jarak tempuh ke rumah sakit dan prosedur di
rumah sakit tidak memungkinkan untuk memperoleh konsentrat faktor
VIII dalam waktu 2 jam. Akibatnya pada usia dewasa artropati akan
menjadi masalah dan membutuhkan tindakan bedah serta jumlah
konsentrat faktor VIII yang jauh lebih banyak dan biaya yang sangat besar.
Artropati menyebabkan kecacatan sehingga penyandang hemofilia sulit
mendapat pekerjaan, tidak dapat hidup mandiri dan mengalami masalah
psikososial hingga akhir hidupnya.
Untuk mencegah perdarahan dan mempertahankan fungsi
muskuloskeletal senormal mungkin, World Federation of Hemophilia (WFH)
merekomendasikan terapi profilaksis sebagai pilihan utama bagi
penyandang hemofilia A berat (level of recommendation 1b). Profilaksis
dapat diberikan setelah perdarahan sendi pertama kali dan belum ada
kerusakan sendi (biasanya pada usia <2 tahun), disebut sebagai profilaksis
primer atau diberikan setelah ≥2 kali perdarahan sendi atau setelah awitan
kerusakan sendi (sinovitis kronik), disebut sebagai profilaksis sekunder.
Banyak penelitian telah dilakukan oleh para ahli yang hasilnya
menunjukkan kelebihan terapi profilaksis dibanding terapi on demand.
Saat ini di dunia terdapat 2 protokol standar profilaksis primer bagi
hemofilia A berat, yaitu Protokol Malmö (faktor VIII 25-40 IU/kgBB tiga kali
seminggu) dan protokol Utrecht (faktor VIII 15-30 IU/kgBB tiga kali
seminggu). Profilaksis sekunder dengan dosis 10-20 IU/kg BB, 2-3 kali
seminggu dilaporkan efektif mengurangi frekuensi perdarahan dan
memperbaiki kualitas hidup dibandingkan terapi on demand. Bagi negara-
negara dengan keterbatasan sumber daya, World Federation of Hemophilia
(WFH) menganjurkan profilaksis dengan dosis lebih rendah yang masih
efektif. Penelitian profilaksis dosis rendah pertama di Indonesia oleh Chozie
dkk. Membuktikan bahwa pemberian profilaksis dosis rendah
menurunkan episode perdarahan secara signifikan dibandingkan dengan
terapi on demand.
Selain masalah muskuloskeletal, komplikasi lain yang dapat
memperberat perdarahan dan kondisi muskuloskeletal adalah timbulnya
inhibitor faktor VIII, yaitu antibodi terhadap faktor VIII yang dapat
menetralisasi terapi faktor VIII yang diberikan. Bila terdapat inhibitor
diperlukan terapi by-passing agent yakni konsentrat faktor VIIa atau

jdih.kemkes.go.id
-8-

kompleks protrombin, agar fibrin tetap dapat terbentuk untuk


menghentikan perdarahan. Inhibitor faktor VIII terjadi pada sekitar 20-30%
penyandang hemofilia A berat. Keterbatasan penyediaan faktor pembekuan
yang masih merupakan masalah juga menambah daftar komplikasi yang
timbul. Pada penyandang hemofilia yang mengalami perdarahan namun
tidak memiliki akses terhadap faktor pembekuan, maka produk darah yang
diberikan adalah cryoprecipitate dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Kedua
produk darah ini belum melewati prosedur inaktivasi virus sehingga
meningkatkan risiko infeksi terkait transfusi secara signifikan pada
transfusi berulang.

B. Ringkasan Masalah
1. Kesadaran, deteksi dini dan diagnosis hemofilia belum optimal

a. Kurangnya pengetahuan dan sosialisasi kepada masyarakat


tentang hemofilia;
b. Kurangnya kemampuan dan pengetahuan dokter, perawat, dan
tenaga medis lain; dan
c. Kurangnya fasilitas laboratorium di layanan primer-sekunder-
tersier untuk menegakkan diagnosis hemofilia dan diagnosis
komplikasinya berupa: pemeriksaan Prothrombin Time (PT),
Activated Partial Thromboplastin Time (APTT), kadar faktor
pembekuan darah VIII (hemofilia A) dan IX (hemofilia B),
ultrasonografi (USG) sendi, Magnetic Resonance Imaging (MRI),
kadar inhibitor faktor VIII/IX dan lain-lain.
2. Tata laksana morbiditas utama hemofilia masih belum optimal
a. Pemberian faktor pembekuan untuk morbiditas utama yaitu
hemartrosis pada hemofilia berat/sedang yang mengalami
perdarahan sendi berulang, masih diberikan secara on demand,
berakibat pada tingginya angka kerusakan sendi dan kecacatan;
b. Tata laksana perdarahan organ selain sendi dan perdarahan
perioperatif masih belum dapat dilakukan secara adekuat di
semua fasilitas kesehatan; dan
c. Tata laksana hemofilia multidisiplin komprehensif juga belum
dapat dilakukan di semua rumah sakit rujukan tingkat provinsi,
karena keterbatasan sumber daya manusia dan faktor
pembekuan.

jdih.kemkes.go.id
-9-

3. Tata laksana komplikasi hemofilia masih belum optimal


a. komplikasi musculoskeletal;
b. komplikasi inhibitor faktor pembekuan; dan
c. komplikasi infeksi terkait transfusi komponen darah.

4. Belum ada sistem registrasi hemofilia nasional

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Meningkatkan diagnosis dan tata laksana hemofilia yang optimal di
Indonesia.
2. Tujuan khusus
a. Meningkatkan mutu pelayanan diagnosis dan tata laksana pasien
hemofilia berdasarkan bukti klinis yang ada;
b. Memberikan faktor pembekuan secara profilaksis dosis rendah
sebagai terapi utama dalam tata laksana hemofilia khususnya
bagi penyandang hemofilia berat/sedang yang mengalami
perdarahan sendi berulang; dan
c. Membuat rekomendasi bagi fasilitas kesehatan primer sampai
dengan tersier serta penentu kebijakan lokal untuk penyusunan
protokol setempat/Panduan Praktek Klinis (PPK), berdasarkan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini.

jdih.kemkes.go.id
- 10 -

BAB II
METODOLOGI

A. Strategi Pencarian Literatur


Penelusuran artikel dilakukan melalui kepustakaan elektronik dengan
mengambil database PUBMED dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan
adalah: hemophilia, diagnosis, factor assay, prophylaxis, prognosis,
musculoskeletal, treatment, clotting factor, complication, inhibitor, registry.

B. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria inklusi:
Pasien hemofilia A dan B berat yang membutuhkan faktor
pembekuan rutin
2. Kriteria eksklusi:
Pasien dengan kelainan pembekuan darah selain hemofilia

C. Pertanyaan Klinis
1. Bagaimana besaran masalah hemofilia di dunia dan di Indonesia ?
2. Bagaimana pola penurunan penyakit hemofilia ?
3. Bagaimana hemofilia di diagnosis ?
a. Diagnosis klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis)
b. Diagnosis laboratorium (apa saja pemeriksaan penunjang
sederhana yang dapat dikerjakan untuk evaluasi pasien dengan
kelainan pembekuan darah, hingga pemeriksaan untuk diagnosis
pasti hemofilia)
4. Apa saja morbiditas penyakit hemofilia ?
a. Morbiditas apa yang paling sering dijumpai pada hemofilia ?
b. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat digunakan untuk
menilai morbiditas dan derajatnya ?
c. Bagaimana morbiditas tersebut di tata laksana ?
d. Bagaimana pengaruh perdarahan terhadap kualitas hidup
penyandang hemofilia ?
e. Apakah terdapat morbiditas lain yang juga dijumpai pada
penyandang hemofilia ? (dari laporan kasus)
5. Bagaimana tata laksana hemofilia ?
a. Apa standar baku pengobatan hemofilia ?
b. Produk darah apa saja yang dapat diberikan untuk

jdih.kemkes.go.id
- 11 -

menghentikan perdarahan pada pasien hemofilia ?


c. Berapa dosis faktor pembekuan yang dibutuhkan untuk berbagai
jenis perdarahan pada hemofilia ?
d. Apakah terdapat perbedaan tata laksana pasien hemofilia sesuai
derajat penyakitnya ?
e. Berapa lama faktor pembekuan harus diberikan apabila terjadi
perdarahan pada pasien hemofilia ?
f. Bagaimana distribusi ketersediaan faktor pembekuan di
pelayanan kesehatan di Indonesia ?
g. Apakah terdapat alternatif tata laksana pada kondisi
keterbatasan sumber daya ?
h. Bagaimana perkembangan terapi pasien hemofilia sampai saat
ini ?
i. Bagaimana bukti ilmiah mengenai profilaksis faktor pembekuan
yang diberikan rutin sebelum terjadi perdarahan pada hemofilia
berat ?
j. Ada berapa jenis pemberian profilaksis faktor pembekuan pada
hemofilia berat? Dan bagaimana hal tersebut digolongkan ?
k. Apakah perlu diberikan tata laksana profilaksis pada pasien
hemofilia derajat ringan atau sedang ?
l. Berapa dosis yang dibutuhkan sebagai profilaksis ?
m. Bagaimana edukasi dalam menangani perdarahan di rumah
sebelum ke pasien ke pelayanan kesehatan ?
n. Bagaimana aktivitas fisis dapat dilakukan pada pasien hemofilia ?
Apakah hal tersebut bergantung pada derajat hemofilia ?
o. Apakah terdapat upaya pencegahan untuk mencegah timbulnya
perdarahan pada pasien hemofilia ?
p. Bagaimana tata laksana hemofilia pada kondisi khusus yang
membutuhkan tindakan operatif ? Hal apa saja yang harus
diperhatikan ?
q. Apakah terdapat protokol khusus tata laksana hemofilia pada
prosedur tindakan yang bersifat invasif ?
r. Apakah terdapat terapi ajuvan selain terapi pengganti faktor
pembekuan untuk pasien hemofilia ?
s. Bagaimana tata laksana morbiditas lain (selain hemarthrosis)
pada penyandang hemofilia ?

jdih.kemkes.go.id
- 12 -

6. Apa saja komplikasi penyakit hemofilia ?


a. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
komplikasi berupa kecacatan sendi pada pasien hemofilia ?
b. Apa yang menjadi faktor risiko timbulnya inhibitor pada
hemofilia ? Dan bagaimana hal tersebut didiagnosis ?
c. Apakah terdapat upaya pencegahan timbulnya inhibitor ?
d. Bagaimana rekomendasi tata laksana pada pasien yang telah
memiliki inhibitor ?
e. Apakah pada pasien hemofilia dengan inhibitor yang sudah
diterapi ada kemungkinan kondisi tersebut berulang ?
f. Mengapa dapat terjadi pseudotumor hemofilik ?
g. Bagaimana pseudotumor hemofilik dapat dicegah ?
h. Seberapa sering terjadi kesalahan diagnosis pada pseudotumor
hemofilik ?
i. Apakah tata laksana yang direkomendasikan jika telah terjadi
pseudotumor hemofilik ?
j. Apakah dapat terjadi infeksi terkait produk darah yang diberikan
terus menerus pada pasien hemofilia ? Dan bagaimana hal
tersebut ditata laksana ?
7. Bagaimana pasien hemofilia dapat ditata laksana secara komprehensif ?
a. Bidang ahli apa saja yang harus dilibatkan dalam tata laksana
seorang penyandang hemofilia baik yang belum mengalami
komplikasi maupun yang sudah ada komplikasi ?
b. Bagaimana prinsip tata laksana fisioterapi pada hemofilia ?
c. Apakah terdapat suatu badan khusus hemofilia di Indonesia ?
d. Bagaimana rekomendasi tata laksana gangguan pembekuan
darah di tingkat primer untuk meningkatkan deteksi dini pasien
hemofilia ?
e. Bagaimana aspek psikososial tata laksana hemofilia, baik yang
belum maupun yang telah mengalami komplikasi ?
8. Apa saja masalah lain yang perlu diperhatikan pada pasien hemofilia ?
a. Bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mulut pada pasien
hemofilia ?
b. Bagaimana pendekatan klinis apabila dijumpai kelahiran bayi
dari keluarga dengan riwayat gangguan pembekuan darah ?
c. Apakah pasien hemofilia boleh divaksinasi ?
d. Bagaimana cara pemberian imunisasi pada anak hemofilia ?

jdih.kemkes.go.id
- 13 -

e. Bagaimana masalah kesehatan pasien hemofilia dewasa ?


Apakah terdapat perbedaan dengan pasien anak ?
f. Apakah banyak dijumpai gangguan kejiwaan pada pasien
hemofilia ?
9. Bagaimana prognosis pasien hemofilia ?
a. Bagaimana angka harapan hidup pasien hemofilia ?
b. Seberapa tinggi angka kecacatan pada pasien hemofilia ?
c. Apa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup penyandang hemofilia yang telah mengalami
komplikasi berupa kecacatan ?

D. Tingkat pembuktian dan rekomendasi


Peringkat bukti dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan
definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research dan
Oxford Centre for Evidence-Based Medicine 2011 Levels of Evidence.

Tabel 1. Oxford Centre untuk kedokteran berbasis bukti 2011 berdasarkan


jenis studi

Diagnosis
Terapi/pencegahan/
Level Prognosis Diagnosis banding/studi
Etiologi/Harm
prevalens gejala
1a Telaah sistematis (dengan Telaah Telaah Telaah sistematis
homogenitas*) RCT sistematis sistematis (dengan
(dengan (dengan homogenitas*) studi
homogenitas* homogenitas* kohort prospektif
) studi ) studi
insepsi diagnostik
kohort; CDR” level 1; CDR”
tervalidasi studi 1b dari
pada beberapa
populasi pusat klinis
berbeda
1b RCT individual (dengan IK Studi insepsi Studi kohort Studi kohort
sempit) kohort tervalidasi** prospektif dengan
individual, dengan angka pemantauan
dengan standar baku yang baik****
pemantauan yang baik”””
> 80%; CDR” atau CDR”
divalidasi diuji pada
pada satu satu pusat
populasi klinis

jdih.kemkes.go.id
- 14 -

1c All or none§ Seri kasus all SpPins dan


or none SnNouts
absolut””
2a Telaah sistematis (dengan Telaah Telaah Telaah sistematis
homogenitas*) studi kohort sistematis sistematis (dengan
(dengan (dengan homogenitas*) level
homogenitas* homogenitas* 2b dan studi yang
) studi kohort ) studi dianggap lebih baik
retrospektif diagnostik
atau level>2
kelompok
kontrol tanpa
terapi pada
RCT
2b Studi kohort individual Studi kohort Studi kohort Studi kohort
(termasuk RCT kualitas retrospektif eksploratif** retrospektif atau
rendah, misal pemantauan < atau dengan studi pemantauan
80%) pemantauan standar baku berkualitas rendah
pasien yang baik”””
kontrol pada
RCT
2c Outcomes research Outcomes Studi ekologis
research
3a Telaah sistematis (dengan Telaah Telaah sistematis
homogenitas*) studi kasus sistematis (dengan
kontrol (dengan homogenitas*)
homogenitas* {Citation}studi level
) studi level 3b dan studi yang
3b dan studi lebih baik
yang lebih
baik
3b Studi kasus-kontrol Studi non Studi kohort non
individual konsekutif konsekutif atau
atau studi populasi sangat
tanpa sedikit
aplikasi
standar baku
konsisten
4 Seri kasus (studi kohort dan Seri Studi kasus Seri kasus atau
kasus kontrol berkualitas kasus(dan kontrol, standar baku lampau
rendah) §§ studi kohort standar baku
prognostik non-
berkualitas independen
rendah)*** atau buruk
5 Pendapat ahli tanpa telaah Pendapat ahli Pendapat ahli Pendapat ahli tanpa
kritis eksplisit, atau tanpa telaah tanpa telaah telaah kritis eksplisit,
berdasarkan fisiologi, kritis kritis atau berdasarkan
eksplisit, eksplisit, fisiologi, penelitian

jdih.kemkes.go.id
- 15 -

penelitian laboratorium, atau atau laboratorium, prinsip


prinsip dasar berdasarkan berdasarkan dasar
fisiologi, fisiologi,
penelitian penelitian
laboratorium laboratorium
, prinsip , prinsip
dasar dasar

Keterangan:
RCT: randomized controlled trials
CDR: Clinical Decision Rule
IK: Interval kepercayaan
*: Homogenitas berarti studi-studi individual yang ditelaah tidak memiliki
variasi yang “mencemaskan” (heterogenitas). Tidak semua telaah sistematis
heterogen yang bermakna secara statistik perlu dicemaskan, dan tidak
semua heterogenitas yang “mencemaskan” bermakna secara statistik.
“: Clinical Decision Rule adalah algoritme atau sistem skoring yang
mengestimasi prognostik atau kategori diagnostik
§: terpenuhi ketika semua pasien meninggal sebelum reaksi muncul,
namun beberapa pasien bertahan saat ini; atau ketika beberapa pasien
meninggal sebelum reaksi muncul, namun tidak ada yang meninggal saat
ini
§§: kohort berkualitas rendah berarti studi yang tidak dapat memisahkan
kelompok yang dibandingkan dan/atau tidak dapat mengukur pajanan
dan luaran secara objektif (blind lebih disarankan) pada kelompok terpajan
dan tidak terpajan, dan/atau tidak dapat mengidentifikasi atau mengontrol
faktor perancu dan/atau tidak dapat melakukan follow-up yang cukup
lama dan lengkap pada pasien. Studi kasus kontrol berkualitas rendah
berarti studi yang tidak dapat mengukur pajanan dan luaran secara
objektif (blind lebih disarankan) pada kelompok kasus dan kontrol,
dan/atau tidak dapat mengidentifikasi atau mengontrol faktor perancu
“” : Absolute SpPIN adalah temuan diagnostik yang memiliki spesifisitas
sangat tinggi sehingga hasil positif akan menginklusi diagnosis. Absolute
SnNout adalah temuan diagnostik yang memiliki sensitivitas tinggi
sehingga hasil negative dapat mengeksklusi diagnosis.
“”” : Standar baku yang baik adalah standar yang tidak bergantung pada
uji yang digunakan (independen), dan diterapkan secara blind atau objektif
pada semua pasien. Standar baku yang buruk adalah standar yang
diterapkan secara tidak konsisten namun tetap bersifat independen.

jdih.kemkes.go.id
- 16 -

Penggunaan standar baku non independen (yang berarti uji termasuk


dalam “standar” atau kondisi “uji” mempengaruhi “standar”) adalah studi
level 4.
**: studi tervalidasi menguji kualitas uji diagnostik spesifik berdasarkan
bukti sebelumnya. Uji eksploratori mengumpulkan informasi dan
menyaring data tersebut untuk menentukan faktor yang signifikan
***: studi kohort prognostik berkualitas rendah berarti studi yang
pengumpulan datanya bersifat bias tergantung pilihan pasien yang telah
memiliki luaran target, atau pengukuran luaran hanya didapatkan pada <
80% pasien studi, atau luaran diterapkan tanpa blind, tidak objektif, atau
tidak dilakukan koreksi faktor perancu.
****: Studi diagnosis banding dengan pemantauan baik adalah > 80%
waktu yang cukup untuk diagnosis alternatif muncul (contoh 1-6 bulan
untuk penyakit yang bersifat akut, 1-5 tahun pada penyakit kronik)
Sumber: Oxford Centre for Evidence-Based Medicine 2011 Levels of
Evidence.

Peringkat bukti (Level of Evidence) untuk studi terapeutik


Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.
IIIa. Studi cross-sectional.
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.
IV. Konsensus dan pendapat ahli.

Derajat rekomendasi
1. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
2. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
3. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV

jdih.kemkes.go.id
- 17 -

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Definisi
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah yang bersifat herediter.
Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII (FVIII), sedangkan hemofilia
B disebabkan kekurangan faktor IX (FIX).

B. Epidemiologi
Insiden hemofilia A adalah 1 : 5.000-10.000 kelahiran bayi laki-laki,
sedangkan hemofilia B adalah 1 : 30.000–50.000 kelahiran bayi lelaki.
Diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita hemofilia di seluruh dunia
dan di Indonesia diperkirakan terdapat kurang lebih 25.000 dari jumlah
penduduk sekitar 250 juta jiwa. Namun, menurut data Himpunan
Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), hingga Desember tahun 2018
tercatat 2.098 pasien hemofilia, sehingga besar kemungkinan masih
banyak pasien hemofilia yang belum terdiagnosis dan tercatat.

C. Genetik dan Penurunan Penyakit.


Hemofilia A dan B diturunkan secara X–linked resesif. Gen yang
mengatur pembentukan faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan
panjang (q) kromosom X. Oleh karena itu perempuan biasanya sebagai
pembawa sifat sedangkan laki-laki sebagai penderita (lihat gambar 3). Pada
kurang lebih sepertiga kasus hemofilia terjadi karena mutasi
spontan/sporadis, sehingga tidak ada riwayat keluarga.

Gambar 3. Pola penurunan hemofilia


Gambar dikutip dari: www.hemophiliafed.org

Untuk memastikan diagnosis ibu sebagai pembawa sifat, diperlukan


pemeriksaan kadar FVIII dan bila memungkinkan pemeriksaan genetik.
Terdapat dua tipe pembawa sifat yaitu obligate carrier (hampir pasti

jdih.kemkes.go.id
- 18 -

pembawa sifat) dan possible carrier (mungkin pembawa sifat) yang di


jelaskan dalam tabel 2.

Tabel 2. Definisi obligate carrier dan possible carrier


Obligate carrier Possible carrier
Semua anak perempuan dari ayah Semua anak perempuan dari
hemofilia. seorang ibu pembawa sifat

Seorang ibu dari seorang anak laki– Seorang ibu dari dari anak laki–laki
laki hemofilia dan mempunyai dengan hemofilia tetapi tidak
anggota keluarga dengan hemofilia mempunyai anggota keluaga lain
setidaknya satu orang. dengan hemofilia

Seorang ibu dengan anak laki–laki Saudara perempuan, ibu, nenek


hemofilia dan mempunyai anggota dari ibu, tante, keponakan
keluarga yang telah diketahui perempuan dan sepupu
sebagai pembawa sifat. perempuan dari pembawa sifat.

Seorang ibu dengan dua anak laki–


laki hemofilia.

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Hemofilia harus dicurigai bila pada anamnesis terdapat sebagai
berikut:
a. Laki-laki;
b. Mudah memar kebiruan tanpa penyebab yang jelas terutama
pada masa bayi dan balita;
c. Bengkak dan nyeri pada sendi;
d. Riwayat perdarahan yang sulit berhenti pasca trauma atau
tindakan medis tertentu seperti cabut gigi, sirkumsisi atau
operasi; dan
e. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama pada saudara laki-
laki pasien atau saudara laki-laki dari ibu pasien.

2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis tanda perdarahan khas berupa hemartrosis
dan/atau hematoma. Hemartrosis merupakan keluhan utama sekitar
70-80% kasus hemofilia datang dengan perdarahan akut. Sendi yang
mengalami perdarahan akan terlihat bengkak dan nyeri bila

jdih.kemkes.go.id
- 19 -

digerakkan. Hemartrosis yang tidak mendapat tata laksana optimal


akan menyebabkan perdarahan berulang pada sendi yang terkena,
dan menimbulkan kerusakan sendi (artropati), ditandai dengan
perubahan/deformitas sendi, atrofi otot, dan kontraktur. Alur
diagnosis dan tata laksana hemofilia dapat dilihat pada gambar 4.
Pasien hemofilia dapat mengalami perdarahan berisiko tinggi
mengancam jiwa, yaitu perdarahan di susunan saraf pusat, mata,
saluran cerna, leher/tenggorok, perdarahan akibat trauma berat dan
sindrom kompartemen akut. Pada perdarahan berat dapat terjadi
pucat, syok hemoragik, dan penurunan kesadaran. Pada perdarahan
intrakranial akan ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial seperti muntah, penurunan kesadaran, kelemahan
anggota tubuh, atau kejang. Seorang bayi harus dicurigai menderita
hemofilia jika ditemukan bengkak pada sendi atau hematoma
otot/jaringan lunak pada saat mulai merangkak atau belajar berjalan.
Hemartrosis umumnya terjadi di sendi lutut, siku, atau pergelangan
tangan, namun dapat terjadi pada semua sendi.

Gambar 4. Alur diagnosis dan tata laksana kasus baru hemofilia

jdih.kemkes.go.id
- 20 -

Keterangan: Jika tidak tersedia pemeriksaan aktivitas F VIII/F IX


(factor assay) dan diagnosis dibutuhkan segera maka dapat dilakukan
mixing study. Prosedur mixing study dapat dilihat pada lampiran.
Kondisi emergensi: pasien perdarahan berat curiga hemofilia yang
tidak dapat diperiksakan faktor assay terapi sebagai hemofilia A 
pantau 24-48 jam jika tidak ada perbaikan pikirkan kemungkinan
hemofilia B
*Hemoglobin dapat rendah sesuai jumlah perdarahan
**Pemeriksaan FVIII dilakukan lebih dahulu, jika normal maka
dilakukan pemeriksan FIX, kecuali jika terdapat riwayat keluarga
hemofilia B
***Sesuai data epidemiologi bahwa 80-85% kasus hemofilia adalah
hemofilia A
^ Lihat tabel 10.
a. Kriteria diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan aktivitas faktor
VIII atau IX (lihat tabel 3).
Tabel 3. Klasifikasi derajat keparahan hemofilia

Klasifikasi Aktivitas FVIII/FIX Perdarahan

Berat <1% (<1 U/dL) Hemartrosis


spontan, terjadi 1-2
kali seminggu
Sedang 1-5% (1-5 U/dL) Hemartrosis atau
perdarahan akibat
trauma
ringan/spontan
lebih jarang terjadi,
yaitu sekitar 1 kali
sebulan
Ringan >5-40% (5-40 U/dL) Akibat trauma yang
lebih berat/pasca
tindakan medik,
sangat jarang
hemartrosis spontan

jdih.kemkes.go.id
- 21 -

b. Diagnosis banding
Gangguan pembekuan darah dengan manifestasi klinis
hematoma dan hematrosis lainnya seperti defisiensi faktor XI,
penyakit von Willebrand, kelainan fibrinogen, dan kelainan fungsi
trombosit.
Selain perdarahan sendi, terdapat morbiditas lain yang dapat
terjadi pada hemofilia, yang dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perdarahan pada hemofilia (Dikutip dari guidelines for
the management of hemophilia, dengan modifikasi)

Serius Sendi (hemartrosis)  70-80% kasus


Otot, termasuk kompartemen dalam (iliopsoas,
betis, dan lengan)  10-20% kasus
Membran mukosa di mulut, gusi, hidung, dan
saluran kemih
Mengancam Intrakranial (< 5% kasus)
nyawa Leher/tenggorok
Gastrointestinal

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan untuk memastikan
diagnosis hemofilia dan mendeteksi komplikasi akibat terapi.
1) Pada pasien baru (belum tegak diagnosis hemofilia) dengan
klinis perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan skrining
hemostasis untuk mencari kemungkinan penyebabnya,
yaitu hitung trombosit, masa perdarahan (Bleeding Time =
BT), masa protrombin (Prothrombin Time = PT) dan masa
tromboplastin parsial teraktivasi (Activated Partial
Thromboplastin Time = aPTT). Pemeriksaan PT pada populasi
pasien tanpa riwayat gangguan perdarahan menunjukkan
pemanjangan pada 6,6% sampel, dan APTT pada 7,1%
sampel (LoE 1b). Pemeriksaan Clotting Time (CT) dapat
digunakan apabila aPTT tidak tersedia (LoE 4), namun
mengingat pemeriksaan clotting time kurang sensitif, maka
pemeriksaan ini hanya dianjurkan pada keadaan fasilitas
yang sangat terbatas/tidak memungkinkan dilakukan

jdih.kemkes.go.id
- 22 -

pemeriksaan APTT dalam waktu dekat. Pemeriksaan CT


hendaknya dilakukan dengan teknik yang benar dan tidak
ada riwayat transfusi darah sebelum pemeriksaan
dikerjakan. Evaluasi skrining hemostasis dan
interpretasinya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil pemeriksaan skrining hemostasis dan


kemungkinan penyebabnya

Kemungkinan PT APTT BT Jumlah


penyebab trombosit
Normal Normal Normal Normal Normal
Hemofilia A Normal Memanjang Normal Normal
atau B
Penyakit von Normal Normal atau Normal Normal
Willebrand memanjang atau atau
memanjang rendah

2) Jika dijumpai pemanjangan APTT maka evaluasi ulang


menggunakan assay yang berbeda perlu dilakukan sebelum
mixing studies (LoE 4). Mixing studies merupakan prosedur
sederhana, yang dapat dikerjakan untuk menginvestigasi
hasil penapisan abnormal, terutama jika dijumpai
pemanjangan APTT dan/atau PT. Pada mixing study plasma
pasien dicampurkan 1:1 dengan plasma normal. Jika
dijumpai perbaikan waktu koagulasi maka penyebabnya
adalah defisiensi faktor pembekuan, akan tetapi jika tidak
dijumpai perbaikan waktu koagulasi maka inhibitor faktor
koagulasi, atau gangguan pada jalur koagulasi (contoh lupus
antikoagulan, penggunaan heparin) perlu dipikirkan (LoE 4).
3) Untuk memastikan diagnosis hemofilia dan membedakan
hemofilia A dengan hemofilia B perlu dilakukan assay faktor
VIII dan IX, dengan catatan individu yang diperiksa tidak
sedang dalam terapi faktor pembekuan. Apabila tidak
tersedia reagen untuk assay faktor VIII dan IX, untuk
kepentingan tata laksana awal dapat dilakukan mixing
studies untuk membedakan hemofilia A dengan hemofilia B,
namun pemeriksaan factor assay tetap harus dilakukan
untuk mengetahui derajat berat-ringannya hemofilia sesuai

jdih.kemkes.go.id
- 23 -

kadar faktor VIII/IX. (lihat gambar 4). Pemeriksaan factor


assay untuk faktor VIII dan IX diambil secara bersamaan,
namun untuk prioritas pemeriksaan mempertimbangkan
riwayat keluarga. Jika terdapat riwayat keluarga dengan
hemofilia B, maka pemeriksaan kadar FIX akan lebih
didahulukan.
4) Pengambilan darah dilakukan oleh flebotomis terlatih pada
vena di fossa cubiti dengan jarum ukuran 19 – 21 gauge
untuk orang dewasa dan untuk anak dan bayi ukuran 22 –
23 gauge. Pengambilan darah dapat menggunakan semprit
plastik atau tabung vakum. Jika menggunakan semprit
jangan mengisap darah terlalu cepat. Pembendungan
dengan tourniquet tidak boleh lebih lama dari 1 menit karena
dapat mengakibatkan hemokonsentrasi. Antikoagulan yang
digunakan adalah natrium sitrat 0,109M (3,2% trisodium
citrate dihydrat) dengan perbandingan natrium sitrat : darah
= 1: 9.
5) Pemeriksaan koagulasi sebaiknya segera dikerjakan karena
beberapa faktor koagulasi bersifat labil. APTT harus
dikerjakan dalam 4 jam setelah pengambilan darah, assay F
VIII harus dikerjakan dalam 2 jam setelah pengambilan
darah karena F VIII bersifat labil. Jika tes koagulasi tidak
dapat dikerjakan dalam waktu yang diperbolehkan plasma
dapat disimpan beku pada suhu -20oC yang bisa tahan
sampai 2 minggu atau -70oC tahan sampai 6 bulan. Pada
saat akan dilakukan pemeriksaan, sampel beku harus
diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 menit.
Rekomendasi pemeriksaan laboratorium untuk kasus
perdarahan dengan kecurigaan hemofilia
Pemeriksaan untuk uji penapisan pasien yang dicurigai
mengalami kelainan perdarahan adalah: hitung trombosit,
BT, PT dan APTT. (Level of evidence 1b, REKOMENDASI A)

6) Pemeriksaan kadar faktor pembekuan untuk diagnosis pasti


hemofilia dikerjakan menggunakan teknik one stage assay
dan chromogenic assay (LoE 4). Saat ini yang tersedia di
Indonesia adalah one stage assay. Perbedaan antara

jdih.kemkes.go.id
- 24 -

keduanya dapat dilihat pada tabel 6.


Tabel 6. Perbandingan antara one-stage assay dan two-stage
assay untuk pemeriksaan aktivitas faktor pembekuan
One-stage assay Chromogenic assay
Plasma standar dapat menurunkan FVIII berfungsi sebagai
APTT pada plasma hemofilik kofaktor FIX untuk
mengaktivasi FX
Faktor pembekuan lain selain FVIII Konsentrasi faktor pembekuan
berada dalam konsentrasi fisiologis sangat terdilusi
Sederhana, cepat, tidak mahal Tidak dibutuhkan plasma yang
defisiensi FVIII
Variasi antar laboratorium tinggi Variasi antar laboratorium
(perbedaan contact activator) rendah
Banyak digunakan di Amerika Banyak digunakan di negara
Serikat Eropa
Hasil kurang akurat Hasil lebih akurat
(underestimation atau
overestimation)
Diskrepansi dengan chromogenic Diskrepansi dengan one-stage
assay terutama pada hemofilia assay terutama pada hemofilia
ringan-sedang ringan-sedang

7) Salah satu komplikasi terapi hemofilia adalah timbulnya


inhibitor faktor pembekuan. Inhibitor F VIII dan F IX adalah
antibodi penetral faktor VIII & IX, yang paling banyak
berasal dari kelas imunoglobulin G. Inhibitor berikatan
dengan faktor VIII/IX di plasma pasien hemofilia A dan
mengakibatkan gangguan fungsi. Inhibitor diukur
menggunakan metode ELISA atau dengan evaluasi
fungsional metode berbasis koagulasi (Nijmegen atau
Bethesda). Hasilnya dinyatakan dalam Bethesda Unit (BU).
Satu unit setara dengan jumlah inhibitor FVIII/IX yang
dapat menetralisir 50% aktivitas faktor pembekuan di
plasma setelah inkubasi selama 2 jam pada suhu 370C.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis seperti radiografi, ultrasonografi (USG),
tomografi komputer (CT), dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) dilakukan sesuai indikasi klinis dan komplikasi yang
terjadi.
1) Radiografi dilakukan dengan tujuan untuk:

jdih.kemkes.go.id
- 25 -

a) Penegakan diagnosis awal;


b) Menyingkirkan diagnosis banding;
c) Evaluasi beratnya kerusakan sendi/tulang (lihat skor
Pettersson di tabel 7, atau atau klasifikasi Arnold-
Hilgartner di tabel 8); dan
d) Evaluasi jangka Panjang.
2) USG dilakukan dengan tujuan untuk (LoE 2-3):
a) Deteksi dan evaluasi beratnya sinovitis;
b) Deteksi dan evaluasi beratnya kerusakan tulang rawan
sendi;
c) Deteksi dan evaluasi perdarahan sendi/otot; dan
d) Deteksi perdarahan intraabdomen.
3) CT otak dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi
perdarahan intrakranial.
4) MRI dilakukan dengan tujuan untuk:
a) Diagnosis perdarahan di dalam otot/tulang
(pseudotumor);
b) Evaluasi beratnya kerusakan sendi/tulang secara
menyeluruh. (LoE 1b);
c) Alternatif dalam evaluasi beratnya kerusakan sendi,
yang tidak memungkinkan untuk pemeriksaan USG
(misalkan kontraktur sendi, nyeri hebat); dan
d) Evaluasi menyeluruh bila akan dilakukan tindakan
bedah. (LoE 4).

Tabel 7. Skor Petterson


Gambaran Radiologis Skor
Tidak ada 0
Osteoporosis
Ada 1
Tidak ada 0
Pembesaran epifisis
Ada 1
Permukaan subkondral Tidak ada 0
Sebagian 1
Ireguler
Total 2
Tidak ada 0
Penyempitan sendi Ruang sendi > 1 1
mm

jdih.kemkes.go.id
- 26 -

Ruang sendi < 1 2


mm
Tidak ada 0
Kista subkondral 1 buah 1
>1 buah 2
Tidak ada 0
Erosi batas sendi
Ada 1
Tidak ada 1
Gross incongruence of articulating
Minimal 1
bone ends
Sangat jelas 2
Deformitas sendi (terdapat Tidak ada 0
angulasi/dislokasi atau Minimal 1
keduanya) Sangat jelas 2

Tabel 8. Klasifikasi Arnold-Hilgartner untuk artopati hemofilik


Gambaran Radiologis Stage
Sendi normal 0
Tanpa abnormalitas skeletal, terdapat 1
pembengkakan jaringan lunak
Osteoporosis dan overgrowth epifisis, tidak 2
dijumpai kista, tidak dijumpai penyempitan
celah sendi
Terdapat penulangan subkonral awal, 3
squaring patela, pelebaran bagian distal
femur atau humerus, masih terdapat celah
tulang rawan
Temuan pada stage III, namun lebih berat, 4
dan terdapat penyempitan celah tulang
rawan
Kontraktur sendi, hilangnya celah tulang 5
rawan, perluasan ekstensif epifisis dengan
disorganisasi sendi substansial

Magnetic Resonance Imaging (MRI) saat ini merupakan modalitas


pilihan utama untuk mengevaluasi derajat artropati hemofilik
karena dapat mendeteksi perdarahan, hipertrofi sinovium,
kerusakan tulang rawan, dan abnormalitas osteokondral secara
akurat. Namun demikian pemeriksaan ini mahal, memakan
waktu dan sulit dilakukan pada anak-anak karena

jdih.kemkes.go.id
- 27 -

membutuhkan sedasi. Alternatif apabila pemeriksaan MRI sulit


dilakukan adalah ultrasonografi, atau yang sering disebut
sebagai MSKUS (Musculoskeletal Ultrasonography) (LoE 1b).
Ultrasonografi dapat mengidentifikasi beberapa perubahan yang
terjadi di fase awal seperti efusi (hidrartrosis atau hemartrosis),
hipertrofi sinovium dan hiperemis, kerusakan tulang rawan, dan
perubahan minor permukaan tulang. Radiologi konvensional
sebenarnya dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan
awal tulang, namun sulit digunakan untuk evaluasi jaringan
lunak lainnya.
Tabel 9. Metode skoring HEAD-US (dikutip dengan modifikasi)

Aktivitas penyakit (sinovitis) Skala


Hipertrofi sinovium
Tidak ada/ minimal 0
Ringan/sedang 1
Berat 2
Derajat kerusakan penyakit (permukaan sendi)
Kartilago/Tulang rawan
Normal 0
Abnormalitas tekstur, hilangnya tulang rawan sendi fokal
parsial/ketebalan penuh meliputi < 25% permukaan 1
target
Hilangnya tulang rawan sendi parsial/ketebalan penuh
2
meliputi ≤ 50% permukaan target
Hilangnya tulang rawan sendi parsial/ketebalan penuh
3
meliputi > 50% permukaan target
Kerusakan tulang rawan komplit atau tidak adanya
4
tulang rawan sendi pada permukaan tulang target
Tulang
Normal 0
Iregularitas ringan pada tulang subkondral
1
dengan/tanpa osteofit sekitar sendi
Kerusakan tulang subkondral dengan/tanpa erosi dan
2
terdapatnya osteofit sekitar sendi
Catatan: Siku: aspek anterior pada epifisis humerus
distal, lutut: troklea femoral, pergelangan kaki: aspek
anterior talar dome

jdih.kemkes.go.id
- 28 -

Saat ini telah dikembangkan satu sistem skoring pemeriksaan


ultrasonografi Haemophilia Early Arthropathy Detection with
UltraSound [HEAD-US] yang dapat diterapkan dalam praktek
rutin di pusat hemofilia, dengan pertimbangan bahwa
pemeriksaan USG lebih fleksibel, hemat waktu dan biaya jika
dibandingkan dengan MRI (LoE 2). Sistem skoring HEAD-US
dapat dilihat pada tabel 9. Skor total menandakan jumlah skor
tiap abnormalitas yang dideteksi dengan nilai minimum adalah
0, dan nilai maksimum adalah 8. Pemeriksaan dengan metode
HEAD-US secara umum memiliki kesesuaian inter-observer (к =
0.71-0.81) dan intra-observer (к = 0.69-0.78) yang sangat baik.
Reliabilitas metode ini juga baik yang ditandai dengan nilai
Cronbach’s alfa 0,98 (LoE 3). Prosedur USG memiliki kemampuan
setara dengan MRI dalam mendeteksi perdarahan sendi,
hiperplasia synovial, dan erosi sendi. Namun MRI dapat
menunjukkan kista tulang dan penipisan tulang rawan lebih
baik.
Rekomendasi Pemeriksaan Pencitraan pada Hemofilia

Pemeriksaan radiografi sendi dapat digunakan untuk penegakan


diagnosis awal dan menentu derajat beratnya kerusakan
sendi/tulang, serta evaluasi jangka panjang. (Level of evidence 4,
REKOMENDASI C)
Pemeriksaan MRI merupakan standar baku dalam diagnosis
kerusakan sendi/tulang secara menyeluruh dan pemantauan (Level
of evidence 1b, REKOMENDASI A). Pemeriksaan ultrasonografi dapat
digunakan sebagai alternatif pemeriksaan pencitraan untuk menilai
kerusakan sendi apabila tidak ada fasilitas/ kesulitan melakukan
MRI. (Level of evidence 2, REKOMENDASI B)

c. Luaran muskuloskeletal
Pemeriksaan dan pemantauan muskuloskeletal terutama sendi
besar (lutut, pergelangan kaki, siku, bahu) dan otot sangat
penting dalam tata laksana hemofilia. Pemantauan
muskuloskeletal mencakup pemeriksaan klinis dan radiologis,
untuk itu diperlukan koordinasi tim medis dan paramedis dalam
tim hemofilia terpadu. Pemantauan muskuloskeletal secara klinis
dapat berupa penilaian terhadap struktur dan fungsi

jdih.kemkes.go.id
- 29 -

muskuloskeletal (physical examination score), penilaian aktivitas


dan kemandirian, serta penilaian partisipasi dalam kehidupan
sehari-hari. Penilaian fungsi dan struktur sendi pada pasien
hemofilia perlu mempertimbangkan komponen gerak dan
stabilitas sendi.
Penilaian struktur dan fungsi muskuloskeletal yang klasik
dilakukan dengan pengukuran Range Of Motion (ROM) sendi.
Namun pengukuran ROM saja kurang menggambarkan kondisi
fisik lain yang terjadi akibat kerusakan sendi, sehingga
diperlukan instrumen yang dapat mengukur struktur dan fungsi
muskuloskeletal lebih menyeluruh.
Evaluasi klinis dapat dilakukan menggunakan skoring
pemeriksan fisis dari WFH (Skor Gilbert), dan Hemophillia Joint
Health Score (HJHS) untuk penilaian dan evaluasi gangguan
sendi yang terjadi pada pasien hemofilia terkait fungsi dan
struktur sendi, yang menggambarkan keberhasilan terapi.
Contoh lembar skoring dapat dilihat di kompendium pemeriksaan
WFH. Hemophilia Joint Health Score terbukti sensitif, valid dan
praktis dapat diterapkan sesuai perkembangan anak. Evaluasi
minimal dilakukan setiap 1 tahun sekali.
Penilaian aktivitas dan kemandirian merupakan bagian dari
penilaian status muskuloskeletal secara global. Untuk menilai
aktivitas dan kemandirian telah dikembangkan Haemophilia
Activities List (HAL), berupa kuesioner yang harus diisi oleh
penyandang hemofilia berkaitan dengan 42 aktivitas pribadi
sehari-hari yang dibagi dalam 7 domain, yaitu
“berbaring/duduk/berlutut/berdiri”, fungsi tungkai dan kaki,
fungsi lengan, penggunaan alat bantu transportasi, kemampuan
mengurus diri sendiri, kemampuan melakukan tugas rumah
tangga, serta olahraga dan leisure activitties. Haemophilia
Activities List telah diuji untuk penyandang hemofilia dewasa
dengan validitas yang baik. Instrumen lainnya yaitu Functional
Independence Score in Haemophilia (FISH), menilai kemampuan
fungsional penyandang hemofilia dibanding dengan orang
normal. FISH dilaporkan memiliki korelasi yang baik dengan
klinis (r = -0,61) dan radiologis (r = -0,38).

jdih.kemkes.go.id
- 30 -

E. Tata Laksana
1. Prinsip tata laksana
Saat ini pemberian faktor pembekuan darah merupakan gold standard
tata laksana hemofilia, baik diberikan secara on demand (saat
perdarahan) maupun profilaksis. Apabila terjadi perdarahan, dosis
faktor pembekuan darah yang diberikan sesuai dengan manifestasi
klinis dan derajat hemofilia yang dialami pasien (lihat tabel 10, dosis
dibulatkan ke atas sesuai sediaan yang ada). Untuk perdarahan yang
mengancam jiwa (intrakranial, intra abdomen atau saluran napas),
faktor pembekuan darah harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih
lanjut.
Secara umum, prinsip dasar tata laksana hemofilia adalah:
a. Mencegah perdarahan dan mengobati perdarahan sedini
mungkin dengan memberikan faktor pembekuan yang sesuai.
b. Perdarahan akut (termasuk perdarahan sendi) sebaiknya diatasi
dalam waktu kurang dari 2 jam (LoE 4).
c. Pasien biasanya dapat mengenali gejala awal timbulnya
perdarahan, berupa sensasi “tingling” atau “aura”.
d. Pada kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa, seperti
perdarahan intrakranial, leher dan saluran cerna, berikan faktor
pembekuan sesegera mungkin, sebelum melakukan pemeriksaan
lainnya seperti pemeriksaan pencitraan dan laboratorium.
e. Untuk memudahkan penanganan kasus gawat darurat, setiap
pasien hemofilia harus membawa tanda pengenal khusus, berisi
identitas, diagnosis dan kadar aktivitas faktor pembekuan serta
nomor telepon RS/dokter tempat pasien biasa berobat (LoE 4).
f. Hindari melakukan vena seksi, kecuali pada keadaan yang sangat
mengancam jiwa (life saving). Bila melakukan pungsi vena,
sedapat mungkin gunakan jarum kupu-kupu berukuran kecil
(wing needle ukuran 23 atau 25 gauge). Lakukan penekanan 3-5
menit setelah melakukan pungsi vena.
g. Bila perdarahan tidak membaik setelah pemberian faktor
pembekuan yang adekuat, kadar faktor pembekuan dapat
diperiksa dan perlu dipikirkan kemungkinan adanya inhibitor
jika kadar faktor sangat rendah. (lihat penjelasan tentang
inhibitor).

jdih.kemkes.go.id
- 31 -

h. Terapi ajuvan dapat digunakan membantu menghentikan


perdarahan terutama pada hemofilia ringan atau sedang, dan
dapat mengurangi kebutuhan faktor pembekuan. (lihat
penjelasan tentang terapi ajuvan).
i. Pencegahan perdarahan dapat dilakukan dengan pemberian
faktor profilaksis sebelum kegiatan berisiko tinggi menimbulkan
jejas.
j. Home therapy dapat dikerjakan untuk perdarahan ringan/sedang.
k. Penanganan hemofilia sebaiknya dilakukan secara terpadu
(comprehensive care) dan melibatkan multidisiplin dengan
mengacu pada pedoman nasional. (LoE 4). Untuk itu sebaiknya
dibuat petunjuk teknis sesuai sistem rujukan yang berlaku
untuk melengkapi PNPK ini, agar penanganan hemofilia di semua
lini pelayanan kesehatan dapat dilakukan sesuai PNPK dan
kemampuan lokal.
l. Untuk perdarahan sendi dan otot, pertolongan pertama yang
dapat dilakukan sebelum pemberikan faktor pembekuan adalah
RICE. (lihat gambar 5)
m. Latihan fisik rutin yang sesuai sangat dianjurkan bagi pasien
hemofilia, untuk menjaga kebugaran dan kekuatan otot,
sehinggga membantu mengurangi perdarahan sendi dan
meningkatkan kualitas hidup.
n. Hindari aktivitas yang mungkin menyebabkan trauma.
o. Hindari penggunaan obat-obatan yang dapat mengganggu fungsi
trombosit seperti asam asetil salisilat dan Non-Steroid Anti
Inflammation Drugs (NSAID).
p. Sebelum tindakan/prosedur medis invasif, perlu diberikan faktor
pembekuan yang adekuat sesuai kebutuhan.
q. Hindari injeksi intramuskular karena dapat menyebabkan
perdarahan otot.
r. Kesehatan gigi dan mulut sangat penting untuk mencegah
perdarahan gusi.
Pedoman tata laksana hemofilia berdasarkan perspektif Asia Pasifik
telah digagas oleh The Asia-Pacific Haemophilia Working Group
(APHWG). Pasalnya, regio Asia-Pasifik merupakan area luas, dengan
perspektif budaya serta sosioekonomi yang bervariasi dan berbeda-

jdih.kemkes.go.id
- 32 -

beda. Oleh karena itu prioritas tata laksana hemofilia akan berbeda
dengan negara-negara Eropa. APHWG telah menekankan pentingnya
edukasi petugas kesehatan dan pemberdayaan penyandang hemofilia,
peningkatan kapasitas diagnosis, termasuk evaluasi genetik, dan
penilaian morbiditas muskuloskeletal dan tata laksananya di regio
Asia-Pasifik.

Tabel 10. Rekomendasi target kadar faktor VIII/IX plasma dan lama
pemberian. Dikutip dengan modifikasi (lihat keterangan).

Hemofilia A Hemofilia B
Jenis
Target Lama Target Lama
Perdarahan
Kadar (hari) Kadar (hari)
Plasma (%) Plasma (%)
Sendi 10-20 1-2* 10-20 1-2*
Otot (kecuali 10-20 2-3* 10-20 2-3*
iliopsoas)
Iliopsoas
-Awitan 20-40 1-2 15-30 1-2
-Pemeliharaan 10-20 3-5# 10-20 3-5#
SSP/Kepala
-Awitan 50-80 1-3 50-80 1-3
-Pemeliharaan 20-40 8-14 20-40 8-14
30-50 4-7 30-50 4-7
Tenggorok/leher
-Awitan 30-50 1-3 30-50 1-3
-Pemeliharaan 10-20 4-7 10-20 4-7
Gastrointestinal
-Awitan 30-50 1-3 30-50 1-3
-Pemeliharaan 10-20 4-7 10-20 4-7
Ginjal 20-40 3-5 15-30 3-5
Laserasi dalam 20-40 5-7 15-30 5-7
Operasi mayor
-Pre-operasi 60-80 50-70
-Pasca-operasi 30-40 1-3 30-40 1-3
20-30 4-6 20-30 4-6
10-20 7-14 10-20 7-14

jdih.kemkes.go.id
- 33 -

Operasi minor
-Pre operasi 40-80
-Pasca-operasi 20-50 1-5^ 1-5^
Keterangan: Dosis yang digunakan menyesuaikan dengan
rekomendasi WFH untuk terapi menggunakan dosis yang lebih rendah
*dapat diberikan lebih lama bila respons inadekuat, #dapat diberikan
lebih lama sebagai profilaksis selama fisioterapi, ^sesuai dengan tipe
prosedur
Perhitungan dosis faktor pembekuan merujuk pada kadar faktor
pembekuan saat hemofilia didiagnosis dan tidak perlu diperiksakan
ulang. Waktu paruh faktor VIII adalah 8-12 jam, sehingga perlu
diberikan setiap 12 jam atau 2 kali sehari. Waktu paruh faktor IX
adalah 18-24 jam, sehingga faktor IX dapat diberikan setiap 24 jam.
a. Cara menghitung kebutuhan faktor VIII :

F VIII (Unit) = BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar F VIII pasien) x 0,5
diberikan per 12 jam

b. Cara menghitung kebutuhan faktor IX :

F IX (Unit) = BB (kg) x % target kadar plasma – kadar F IX pasien) diberikan per 24 jam

Gambar 5. RICE

2. Konsentrat faktor pembekuan darah


World Federation of Hemophilia merekomendasikan pemberian viral
inactivated plasma-derived atau konsentrat rekombinan dibandingkan
kriopresipitat untuk tata laksana hemofilia dan gangguan perdarahan

jdih.kemkes.go.id
- 34 -

lain yang diturunkan (LoE 4). Kondisi ini dapat disesuaikan dengan
ketersediaan faktor pembekuan di pusat kesehatan masing-masing.
Keduanya diberikan melalui suntikan intravena.
a. Viral–inactivated human plasma derived concentrate
Pemilihan konsentrat dari plasma perlu mempertimbangkan
kemurnian produk dan faktor inaktivasi virus. Kemurnian
produk adalah perbandingan faktor yang diinginkan dengan
komposisi bahan lain. Produk konsentrat faktor VIII yang tersedia
memiliki karakteristik berdasarkan tingkat kemurnian yaitu:
1) Kemurnian intermediet (intermediate purify) mengandung 6-
10 unit faktor VIII/mg protein. Contoh: Humate-P
2) Kemurnian tinggi (high purify) mengandung paling sedikit 50
unit faktor VIII/mg protein (rata-rata 50-150 unit/mg
protein), tidak termasuk albumin yang digunakan untuk
stabilisasi. Contoh: Koate
3) Kemurnian sangat tinggi (ultrahigh purify). Produk ini
termasuk monoclonal antibody (mAb) affinity-purified dan
mengandung 3000 unit faktor VIII/mg protein, tidak
termasuk albumin yang digunakan untuk stabilisasi.
Contoh: Hemofil-M dan Monoclate-P

Konsentrat yang berasal dari plasma telah dianggap aman dari


virus yang memiliki selubung lipid seperti Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan virus hepatitis C (HCV) karena
telah mengalami proses pemanasan dan pemberian solvent.
Namun demikian virus jenis prion belum dapat diinaktivasi,
seperti parvovirus dan virus Creutzfield Jacob disease. Laporan
kasus penyakit Creutzfield-Jacob sporadik telah dilaporkan pada
2 pasien yang menerima produk darah kronik, yaitu 1 pasien
dengan hemofilia B dan 1 pasien dengan penyakit von-
Willebrand. Beberapa contoh lain faktor pembekuan yang berasal
dari plasma diantaranya: Alphanate®, Wilate®, dan BiostateTM.

Vial FVIII mengandung 250-3000 IU FVIII per botolnya. Pada


kondisi tidak terdapat inhibitor faktor VIII, maka setiap unit FVIII
per kilogram berat badan akan menaikkan kadar FVIII 2 IU/dL.
Waktu paruh FVIII adalah 8-12 jam (LoE 4). Dosis FVIII yang
dibutuhkan adalah = kadar plasma yang diinginkan x BB pasien

jdih.kemkes.go.id
- 35 -

x 0,5. Pemberian FVIII harus dilakukan dengan bolus pelan


dengan kecepatan tidak melebihi 3 ml/menit pada dewasa, atau
100 unit per menit pada anak-anak, atau sesuai dengan
keterangan di leaflet (LoE 4). Pemberian dosis selanjutnya
bergantung pada waktu paruh produk dan perbaikan gejala
klinis.
Terdapat 2 jenis konsentrat FIX yang tersedia yaitu konsentrat
FIX murni (plasma derived maupun rekombinan), dan dalam
bentuk Prothrombin Complex Concentrates (PCC) yang juga
mengandung FII, VII, IX, X. Konsentrat FIX murni yang berasal
dari plasma (contohnya, AlphaNine, Mononine®, Monofix®)
merupakan pilihan terapi pada hemofilia B karena dapat
menurunkan risiko timbulnya kejadian tromboemboli pada
penggunaan kompleks konsentrat prothrombin dosis tinggi (LoE
2), terutama pada kasus pembedahan, gangguan hati, terapi
jangka panjang dengan dosis tinggi, riwayat penyakit trombosis,
dan penggunaan obat-obatan anti-fibrinolitik. Satu vial FIX
mengandung 250-2000 IU FIX. Tanpa adanya inhibitor FIX maka
setiap 1 IU/kg FIX akan menaikkan kadar plasma sebesar 1
IU/dL, dengan waktu paruh 18-24 jam (LoE 4). Dosis FIX yang
dibutuhkan adalah = kadar plasma yang diinginkan x BB pasien.
Rekomendasi pemberian faktor pembekuan sesuai dengan lokasi
terjadinya perdarahan dapat dilihat pada tabel 10.
b. Rekombinan
Jenis faktor rekombinan mengandung protein yang berasal dari
jalur sel manusia atau hewan dan dikhususkan secara genetik
dengan menggunakan jenis gen faktor VIII manusia yang telah
dimodifikasi. Jenis produk ini dibagi menjadi 4 generasi:
1) Generasi pertama (sebagai contoh Recombinate®) yang
diproduksi dari kultur sel supernatan jalur sel binatang
transfected. Produk ini menggunakan albumin manusia
sebagai stabilisator.
2) Generasi kedua (sebagai contoh Kogenate-FS, ReFacto®,
Helixate®) yang diproduksi dari kultur sel supernatan.
Produk ini tidak mengandung albumin dan distabilisasi
menggunakan sukrosa.

jdih.kemkes.go.id
- 36 -

3) Generasi ketiga (sebagai contoh Advate, Kovaltry, Novoeight,


Xyntha, Adynovate, Afstyla®) yang diproduksi pada jalur sel
hewan. Produk ini tidak memiliki tambahan protein manusia
atau hewan.
4) Generasi keempat (sebagai contoh Eloctate, Nuwiq®) yang
diproduksi pada jalur sel hewan. Produk ini juga tidak
memiliki tambahan protein manusia atau hewan. Secara
prinsip, produksi dalam jalur sel manusia dapat membuat
protein lebih mirip dengan faktor VIII endogen.
Faktor IX rekombinan (contohnya BeneFIX, Ixinity, Rixubis®)
dibuat secara genetik dengan memasukkan gen faktor IX
manusia ke dalam jalur sel ovarium sel hamster. Produk ini aman
dan efektif untuk pengobatan pasien hemofilia B. Waktu paruh
produk ini adalah 16-17 jam.
Perkembangan saat ini adalah adanya produk FVIII rekombinan
yang telah ditambahkan molekul lain agar waktu paruh faktor
VIII lebih lama (extended half-life factor), meningkatkan potensi,
stabilitas, dan parameter farmakokinetik, seperti factor VIII-Fc
fusion, factor VIII-PEGylated, dan single chain factor VIII.
Sedangkan FIX rekombinan terbaru, yang memiliki waktu paruh
yang lebih lama seperti, recombinant factor IX-fc fusion,
recombinant factor IX-albumin fusion, glycol-PEGylated
recombinant factor IX. Dari ketiga jenis rekombinan ini,
recombinant factor IX-albumin fusion, yaitu yang mengandung
fusi gen faktor IX dan albumin melalui cleavable linker sequence
(Idelvion; rFIX-FP) telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat tahun 2016 sebagai terapi
profilaksis atau pengobatan pada pasien dengan hemofilia B.
Jenis produk ini memiliki waktu paruh 102 jam, efikasi dalam
terapi dan pencegahan perdarahan yang sangat baik.
Modifikasi tambahan gen faktor VIII dapat dibuat untuk
meningkatkan produksi dan atau meningkatkan farmakokinetik
produk, seperti delesi domain-B, yaitu modifikasi genetik dengan
menghilangkan bagian gen faktor VIII. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi, namun tidak mengganggu fungsi protein.
Dengan delesi ini diharapkan meningkatkan stabilitas faktor VIII

jdih.kemkes.go.id
- 37 -

dan menghasilkan faktor VIII dengan molekul yang lebih kecil.


Contohnya adalah Xyntha, Novoeight, Nuwiq, dan Eloctate®.

3. Produk plasma lain


World Federation of Hemophilia dan APHWG tidak menganjurkan
penggunaan produk komponen darah kriopresipitat maupun plasma
beku segar / Fresh Frozen Plasma (FFP) dalam tata laksana hemofilia,
namun membolehkan penggunaan jika terdapat
keterbatasan/kesulitan mendapatkan konsentrat faktor pembekuan
(LoE 4). Kedua produk darah ini belum melewati prosedur inaktivasi
virus sehingga meningkatkan risiko infeksi terkait transfusi secara
signifikan pada transfusi berulang. Kriopresipitat lebih
direkomendasikan dibandingkan FFP untuk tata laksana hemofilia A
(LoE 4). Kerugian lain apabila menggunakan produk darah non
konsentrat adalah tidak dapat dilakukan di rumah sehingga pasien
harus dirawat dan berakibat turunnya kualitas hidup dan
keterbatasan aktivitas pasien.
FFP tidak direkomendasikan terkait segi keamanan dan kualitas,
namun demikian FFP mengandung FIX shingga dapat digunakan
untuk tata laksana hemofilia B di daerah yang tidak memiliki akses
terhadap konsentrat FIX (LoE 4). Risiko ini dapat dikurangi dengan
melakukan pengecekan donor terhadap virus HIV, hepatitis C dan
HBsAg serta melakukan Nucleic Acid Testing (NAT). Satu mL FFP
mengandung 1 unit aktivitas faktor, sehingga sulit untuk mencapai
kadar FIX di atas 25 IU/dL. Dosis pemberian awal yang
direkomendasikan adalah 15-20 ml/kg (LoE 4).
Kriopresipitat adalah produk darah yang dihasilkan dari proses
pencairan lambat FFP di suhu 40C selama 10-24 jam. Hasilnya akan
terbentuk presipitat dan dipisahkan dengan sentrifugasi.
Kriopresipitat mengandung FVIII dalam jumlah yang signifikan
(sekitar 3-5 IU/mL), VWF, fibrinogen dan FXIII, namun tidak
mengandung FIX atau FXI. Supernatan yang dihasilkan dari proses
sentrifugasi disebut sebagai cryo-poor plasma dan mengandung faktor
pembekuan lain seperti FVII, IX, X, dan XI. Selain risiko infeksi, reaksi
alergi juga lebih sering dijumpai pada pemberian kriopresipitat. Satu
kantong kriopresipitat dibuat dari 1 unit FFP (200-250 mL) dan
mengandung 70-80 unit FVIII dalam volume sejumlah 30-40 mL.

jdih.kemkes.go.id
- 38 -

Rekomendasi Penggunaan Konsentrat Faktor Pembekuan untuk


Mengatasi Perdarahan
Pemberian faktor pembekuan mengacu pada dosis yang sesuai
dengan lokasi perdarahan (tabel 10). (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B) Jika perdarahan berlanjut, dosis dapat diulang
kedua kalinya dalam 12 jam (hemofilia A) atau 24 jam (hemofilia B)
(Level of evidence 3, REKOMENDASI C)

4. Terapi farmakologis lain


Selain faktor pembekuan, terdapat beberapa terapi farmakologis lain
untuk hemofilia yang dapat berguna untuk kasus tertentu yaitu
desmopressin, asam traneksamat dan asam amikokaproat epsilon
(EACA). Desmopressin (DDAVP) untuk terapi hemofilia saat ini tidak
tersedia di Indonesia.
Asam traneksamat adalah anti-fibrinolitik yang menghambat aktivasi
plasminogen menjadi plasmin secara kompetitif, sehingga dapat
menstabilkan bekuan dan berguna sebagai terapi tambahan pada
hemofilia dan beberapa kelainan perdarahan lain. Tidak ada bukti
bahwa pemberian asam traneksamat secara teratur bermanfaat
untuk pencegahan hemarthrosis (LoE 4), namun obat ini dapat
bermanfaat untuk mengontrol perdarahan dari kulit dan mukosa
(mulut, mimisan, menoragia) (LoE 2). Asam traneksamat diberikan
oral 3-4 kali sehari, dengan dosis 10 mg/kg/kali pemberian, ataupun
intravena 2-3 kali per hari dengan bolus perlahan karena pemberian
cepat dapat menimbulkan keluhan pusing dan hipotensi. (LoE 4)
Ekskresinya lewat ginjal sehingga dosis harus disesuaikan apabila
terdapat penurunan laju filtrasi glomerulus untuk menghindari
akumulasi toksik. Asam traneksamat dikontraindikasikan pada
kasus hematuria karena dapat menimbulkan uropati obstruktif, dan
pemberiannya juga tidak direkomendasikan pada pasien hemofilia B
yang mendapat PCC karena akan meningkatkan risiko terjadinya
tromboemboli, namun apabila dibutukan pemberiannya harus diberi
jarak minimal 12 jam (LoE 4). Kejadian tromboemboli lebih jarang
terjadi pada pemberian asam traneksamat bersama dengan
rekombinan FVIIa (rFVIIa) (LoE 4).

jdih.kemkes.go.id
- 39 -

Rekomendasi Terapi Ajuvan


Asam traneksamat bermanfaat untuk mengontrol perdarahan dari
kulit dan mukosa (Level of Evidence 2, REKOMENDASI B)

5. Terapi profilaksis
a. Latar belakang
World Federation of Hemophilia tahun 2012 merekomendasikan
terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi
sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang
normal (LoE 2). Bahkan bila kadar faktor pembekuan dalam
plasma tidak bisa mencapai >1% setiap waktu, profilaksis tetap
bermanfaat untuk mencegah kerusakan sendi. World Federation
of Hemophilia mendefinisikan terapi profilaksis yang terfokus
pada luaran pasien hemofilia, yaitu untuk mencegah perdarahan
dan mempertahankan agar kualitas hidup pasien hemofilia
sebanding dengan orang tanpa hemofilia. Pada pasien dengan
perdarahan berulang, profilaksis jangka pendek selama 4-8
minggu dapat mengurangi risiko, bersamaan dengan fisioterapi
intensif atau sinoviorthesis (LoE 3). Jenis profilaksis hemofilia
dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Jenis protokol profilaksis penggantian faktor


pembekuan dan definisi (dikutip dari panduan WFH)

Protokol Definisi
Profilaksis Pemberian faktor kontinu* setiap minggu tanpa ada bukti
primer penyakit sendi osteokondral, baik secara pemeriksaan fisis
dan/atau pencitraan, dan dimulai sebelum adanya perdarahan
sendi kedua/3 tahun.
Profilaksis Pemberian kontinu dimulai setelah 2 atau lebih perdarahan
sekunder sendi besar** dan sebelum dimulainya penyakit sendi yang
didokumentasikan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis
Profilaksis Pemberian kontinu dimulai setelah timbul penyakit sendi dari
tersier hasil pemeriksaan fisis dan radiografis
Profilaksis Tata laksana diberikan untuk mencegah perdarahan < 45 minggu
intermitten dalam setahun

Keterangan:
*kontinu didefinisikan sebagai pemberian profilaksis yang
direncanakan selama 52 minggu/tahun, dan telah mendapat
setidaknya 45 minggu (85%).

jdih.kemkes.go.id
- 40 -

** sendi besar: pergelangan kaki, lutut, pinggul, siku dan bahu.

Studi Musculoskeletal Function In Hemophilia (MUSFIH) menilai


efek jangka panjang terapi on demand terhadap luaran
muskuloskeletal 255 penyandang hemofilia pada 10 pusat
hemofilia di 9 negara berkembang selama 5 tahun (LoE 2b).
Luaran yang dinilai adalah Annual Joint Bleeding Rate (AJBR),
skor klinis WFH dan skor radiologis Pettersson serta skor FISH
untuk aktivitas. Median usia pada penelitian ini adalah 10 tahun
(rentang interkuartil 7-12). Hasilnya, total penggunaan
konsentrat faktor pembekuan adalah 662 IU/kg/tahun, dengan
median AJBR 10 (5-17). Semakin tinggi usia, median AJBR
semakin meningkat yang ditandai dengan median AJBR 5 untuk
usia 5 tahun, 9 untuk usia 10 tahun dan 11 untuk pasien yang
berusia di atas 15 tahun. Pasien dengan nilai AJBR yang lebih
tinggi membutuhkan faktor pembekuan yang lebih banyak (p <
0,001). Median perubahan skor WFH dan Pettersson dalam 5
tahun adalah meningkat 0,4/tahunnya, sedangkan skor FISH
menurun 0,2/tahun yang memiliki korelasi buruk dengan dosis
konsentrat faktor pembekuan. Skor WFH dan FISH lebih buruk
secara signifikan pada pasien dengan AJBR > 3/tahun (p=0,001).
Perubahan skor Pettersson lebih tinggi secara signifikan pada
pasien dengan AJBR >5/ tahun (p=0,02). Perubahan signifikan
pada skor FISH baru dijumpai setelah berusia 10 tahun.
Penelitian MUSFIH ini menunjukkan bahwa pemberian terapi on
demand tidak dapat mengubah perjalanan penyakit perdarahan
pada hemofilia, maupun deteriorasi muskuloskeletal, dan tidak
direkomendasikan menjadi terapi jangka panjang. Profilaksis
adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan fungsi
muskuloskeletal sejak dini pada pasien hemofilia (LoE 2b).
b. Profilaksis primer dan sekunder
Profilaksis primer telah terbukti mencegah kejadian artropati
(LoE 1b), dan saat ini telah direkomendasikan oleh World
Federation of Hemophilia, APHWG dan National Hemophilia
Foundation. Profilaksis sekunder dapat diberikan pada rentang
usia yang cukup besar, dengan luaran bervariasi bergantung
pada jumlah kumulatif perdarahan sendi sebelumnya dan tahap

jdih.kemkes.go.id
- 41 -

kerusakan sendi yang telah terjadi pada saat dimulainya terapi.


Terdapat 3 jenis terapi profilaksis sekunder yaitu: early
secondary prophylaxis, delayed secondary prophylaxis, dan
secondary prophylaxis in adults. Jika dibandingkan dengan
profilaksis primer, profilaksis sekunder memiliki angka
keberhasilan yang lebih rendah dalam hal mencegah kerusakan
sendi. Selain itu juga dikenal profilaksis intermiten/periodik yang
juga termasuk dalam profilaksis sekunder. Pada profilaksis
intermiten durasi pemberian faktor pembekuan <45 minggu
dalam setahun, dan diberikan pada pasien dengan tujuan
menghentikan siklus perdarahan. Suatu penelitian pada pasien
dewasa membagi profilaksis intermiten ini menjadi jangka
pendek (4-11 minggu/tahun), atau intermediate (12-44
minggu/tahun). Profilaksis intermitten terindikasi pada pasien
yang memiliki target joint, pasca operasi, pasca perdarahan
intrakranial, dan sinovitis kronis berat. Studi mengenai
profilaksis primer, sekunder dan tersier menggunakan dosis
standar dapat dilihat pada tabel 12.

Rekomendasi Terapi Profilaksis


World Federation of Hemophilia tahun 2012 merekomendasikan
terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi
sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang
normal. (Level of evidence 1b, REKOMENDASI A)

Tabel 12. Ringkasan penelitian profilaksis faktor pembekuan dosis


standar pada pasien hemofilia

Peneliti Jumlah Jenis Durasi Jenis Hasil Penelitian


/tahun Judul pasien dan profilaksis profilaksis penelitian
/asal usia & dosis (LoE)
Aledort 471 pasien, Tersier Durasi 6 LoE 2 Pada 66 pasien
A
dkk, rerata usia tahun yang mendapat
longitudinal
1994, 13.5 ± 6.6 Dosis profilaksis >45
study of
multise tahun profilaksis minggu/tahun,
orthopaedic
nter 2772 rerata perdarahan
outcomes
IU/kg/pasi sendi/tahun 5,65
for severe
en/tahun vs 16,5 pada
factor-VIII-
pasien on demand.
deficient
Rerata jumlah hari
haemophili
absen sekolah
acs. The
pada grup
Orthopaedi
profilaksis yaitu

jdih.kemkes.go.id
- 42 -

c Outcome 1,43 vs 6,89 hari


Study pada grup on
Group demand.

Manco- Results of 13 pasien, Sekunder Durasi: 21 Uji Rerata jumlah


Johnso secondary rerata usia (6-51) prospekti perdarahan sendi
n dkk, prophylaxis 6.9 bulan f (LoE 2b) pada grup on
1994, in children (2–12.5) Dosis 20 – demand 24 (5 -46)
Amerik with severe tahun 30 IU/kg, vs 1,8 (1 - 4) pada
a hemophilia 3x grup profilaksis.
Serikat seminggu.
Liesner The impact 27 pasien, Sekunder Durasi : 30 Uji Penurunan
dkk, of median & tersier (7-76) prospekti bermakna median
1996, prophyactic usia 6.2 bulan f (LoE 2b) perdarahan sendi
Inggris treatment (1.3–15.9) Rerata dari 14,7 (3,7 -
on children tahun. dosis 31.8 35,4) pada saat
with severe IU/kg terapi on demand
haemophili (12.5– menjadi 1,5 (0 -
a. 52.6U/kg), 12,5) saat
3x profilaksis, juga
seminggu. hari absen
sekolah, luaran
muskuloskeletal
dan kualitas
hidup.
Van Long-term 70 pasien, Grup 1: Durasi Prospekti Perdarahan sendi
den outcome of rerata usia pasien pemantaua f tahunan pada
Berg individualiz 4,1 tahun telah n 15,6 kelompok on
dkk, ed mengalami tahun (8- demand vs Grup 1
2001, prophylacti 5-10 24,5 vs 2 vs 3 adalah 9
Beland c treatment perdarahan tahun) vs 5.3 vs 3.2 vs
a of children sendi (SP 2.6.
with severe 6,1) Grup 1
haemophili HA: Dosis Profilaksis yang
a Grup 2: 5-10 U/kg, dimulai dini,
dimulai 2- jangka panjang,
setelah 2-5 3x/minggu dan disesuaikan
perdarahan HB: 15-20 dengan
sendi (SP U/kg 1- kebutuhan pasien
2,3) 2x/minggu dapat mencegah
timbulnya
Grup 3: Grup 2 atropati.
pasien HA: 10-20
telah U/kg, 2-
mengalami 3x/minggu
½ HB: 20-30
perdarahan U/kg,
sendi (SP 2x/minggu
1,1)
Grup 3
HA: 20-40
U/kg, 2-
3x/minggu

jdih.kemkes.go.id
- 43 -

HB: 30-40
U/kg,
2x/minggu
Manco Prophylaxis 65 pasien, Profilaksis Durasi ± 4 Randomi Proporsi pasien
Johnso versus usia < 30 primer tahun (48- zed trial dengan sendi
n dkk., episodic bulan 58 bulan) (LoE 1b) index normal saat
2007, treatment to Dosis 25 usia 6 tahun
Amerik prevent U/kgBB, adalah 93% pada
a joint 3x/minggu kelompok
Serikat disease in profilaksis vs 55%
boys with pada kelompok on
severe demand (p 0,002)
haemophili
a

Liou Secondary 50 pasien Sekunder Durasi : 50 Non RCT Jumlah


WS prophylaxis (13 (25–53) trial (LoE perdarahan sendi
dkk, treatment profilaksis bulan pada 2b) pertahun lebih
2011, versus on sekunder grup rendah secara
Taiwan demand vs 37 on profilaksis bermakna pada
treatment demand). dan 45 grup profilaksis
for patients Median (21–59) dibandingkan on
with severe usia 17 bulan pada demand, yaitu
haemophili tahun (5.7– grup on 5,18 (0,94–17,33)
a A: 50.0) pada demand. vs 27,12 (3,47–
comparison grup 73,24) <0.001.
s of cost profilaksis Dosis Jumlah total
and dan 38.3 profilaksis episode
outcomes in tahun 25-40 perdarahan
Taiwan. (18.4–63.7) U/kgBB/h pertahun juga
pada grup ari, lebih rendah
on demand. 3x/minggu secara bermakna
. pada grup
profilaksis
dibandingkan on
demand (7,76 vs
31,91; p<0.001).
Gringer A 45 pasien, Primer Durasi 10 Randomi Pasien pada
i dkk., randomized usia 1-7 tahun zed trial kelompok
2011, clinical trial tahun, Dosis: 25 (LoE 1b) profilaksis
Amerik of median 4 U/kgBB, memiliki kejadian
a prophylaxis tahun 3x/minggu hematrosis lebih
Serikat in children sedikit (0,2)
with dibandingkan on
hemophilia demand (0,52); p
A (the 0,02.
ESPRIT
Study)

jdih.kemkes.go.id
- 44 -

Ingersle Long- 40 pasien 2 primer, Durasi Studi Kelompok


v dkk, standing (27 Rusia, 11 profilaksis kroseksio profilaksis
2014, prophylacti 13 sekunder 16 tahun nal (LoE memiliki angka
Danish c therapy Denmark), (Danish), 4) perdarahan sendi
& Rusia vs. episodic median dosis 24 8,1 ± 8,7,
treatment usia 5 U/kgBB, sedangkan
in young tahun, 3x/minggu kelompok on
people with dilakukan demand 199,5 ±
severe matching 135.
haemophili Rusia:
a: a kelompok
comparison on demand
of DanishL
age- kelompok
matched profilaksis
Danish and
Russian
patients
Tagliafe Benefits of 58 pasien long-term Durasi 6 Pasien kelompok
rri dkk., prophylaxis usia 12-55 late bulan, profilaksis
2015, versus on tahun secondary Dosis Prospecti mengalami jumlah
Italia demand prophylaxis rFVIII 20- ve clinical perdarahan yang
multise treatment 30 U/kg, trial lebih sedikit per
nter in 3x/minggu tahun 1,97
adolescents dibandingkan 16,8
and adults pada kelompok on
with severe demand
haemophili (p=0,0043)
a A: the
POTTER
study
Manco- Effect of Jumlah Sekunder Durasi RCT (LoE Terdapat
Johnso late pasien 84, & tersier profilaksis 1b) penurunan 94%
n dkk, prophylaxis median 3 tahun kejadian
2017, in usia 29 perdarahan pada
Amerik hemophilia tahun (15- Dosis 25 kelompok
a on joint 50 tahun) U/kgBB/h profilaksis.
Serikat status: ari,
a 3x/minggu
randomized
trial
Li dkk, Long-term 183 pasien, Tidak Durasi Retrospe Pasien dengan
2017, efficacy rerata usia disebutkan profilaksis ktif profilaksis
Cina and safety 7,1 ± 4,23 (rerata usia 5,5 tahun obeservas memiliki angka
multise of tahun 5,7 tahun ional (LoE perdarahan sendi
nter prophylaxis sebelum Dosis 2b) per tahun yang
with rFVIII dimulai bervariasi lebih rendah
in Chinese profilaksis (dinyataka secara signifikan
pediatric  n dalam (p < 0,001)
patients kemungkin total dosis dibandingkan
with an per baseline.
hemophilia profilaksis minggu,
A: a multi- sekunder) minimal
center, pemberian
retrospectiv 2x/minggu

jdih.kemkes.go.id
- 45 -

e, ) <20
noninterven U/kgBB;
tional, 20-30
phase IV U/kgBB;
(ReCARE) 30-50
study U/kgBB;
>50
U/kgBB
2x/minggu
.

Wu A 23 pasien, Sekunder Durasi 3 Prospecti Jumlah


dkk, prospective rentang bulan ve CT perdarahan pada
2017, study of usia 4 – Dosis 25 (LoE 2b) kelompok on
Cina health- 15,9 tahun U/kg, demand 352 per
related 3x/minggu tahun,
quality of dibandingkan
life of boys kelompok
with severe profilaksis 22/
haemophili tahun. (menurun
a A in 94% pada
China: kelompok
comparing profilaksis ;p
on demand 0,0001).
to
prophylaxis
treatment

c. Profilaksis dosis rendah (low dose prophylaxis)


Seperti telah disebutkan di atas bahwa profilaksis dosis rendah
menggunakan dosis 10-30 IU/kg/minggu merupakan
rekomendasi tata laksana hemofilia di negara berkembang. Bukti
tentang efektivitas profilaksis dosis rendah telah banyak
ditampilkan dari studi single center maupun multicenter di
berbagai negara termasuk Cina, India, Thailand, dan Indonesia.
Di Cina terdapat total 11 penelitian mengenai profilaksis dosis
rendah. Sembilan diantaranya dilakukan pada hemofilia A dan B
sedang sampai berat, dengan hasil penurunan angka perdarahan
sendi sebanyak 75-80%, perbaikan pada kehadiran di sekolah
dan perbaikan kemampuan aktivitas harian. Profilaksis dosis
rendah ini juga dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk
faktor pembekuan per tahunnya yaitu 1000IU/kg/tahun
dibandingkan dosis standar 5000-6000 IU/kg/tahun. Meskipun
profilaksis dapat menurunkan angka perdarahan sebesar 80%,
sekelompok anak dengan hemofilia berat masih mengalami

jdih.kemkes.go.id
- 46 -

perdarahan, dan pada kelompok tersebut dilakukan pemantauan


jangka panjang dengan eskalasi dosis yang disesuaikan dengan
masing-masing individu dengan hasil perbaikan pada dosis
eskalasi.
Pada studi acak terkontrol oleh Verma dkk. di India, dilakukan
randomisasi terhadap total 21 pasien hemofilia A berat usia 1-10
tahun. 11 pasien menerima profilaksis dosis rendah yaitu 10
IU/kg/2 kali seminggu, dan 10 pasien menerima tata laksana on
demand. Rerata perdarahan sendi adalah 0,08 pada kelompok
profilaksis dan 0,48 pada kelompok on demand (LoE 1b), dengan
penurunan sebesar 80%. Chuansumrit dkk. di Thailand pada
tahun 1995 menggunakan dosis 8-10 IU/kg/2 kali seminggu
pada 6 pasien hemofilia A dengan kadar faktor 1-3,5%, usia 11-
16 tahun. Hasilnya terdapat penurunan angka perdarahan serta
jumlah hari perawatan yang lebih rendah dibandingkan tata
laksana on demand.
Di Indonesia, Chozie dkk. (LoE 1b) telah melakukan uji acak
terkontrol pada 50 pasien hemofilia berat. Dua puluh lima pasien
mendapat profilaksis tersier dengan dosis rendah 10 IU/kg 2 kali
seminggu dibandingkan dengan 25 pasien dengan terapi on
demand. Pemberian profilaksis dilakukan selama 12 bulan.
Luaran primer yang dinilai adalah jumlah perdarahan,
sedangkan luaran sekunder yang dinilai diantaranya adalah skor
HJHS dan HEAD-US di akhir penelitian. Terdapat penurunan
episode perdarahan sendi pada kelompok dengan profilaksis
dosis rendah dibandingkan kelompok on demand (3 vs. 9,
p<0,001) dan total perdarahan (8 vs. 25, p<0,001), serta
perbaikan fungsi sendi di akhir pengamatan yang dinilai dengan
HJHS; sebaliknya kelompok on demand menunjukkan
perburukan fungsi sendi (-1 pada kelompok profilaksis, namun
penambahan 2 skor pada on demand; p < 0,001). Pemeriksaan
HEAD-US tidak menunjukkan penurunan skor yang signifikan
pada kelompok profilaksis dibandingkan on demand di bulan ke-
6 (-1,08 vs 0,9; p 0,063) maupun bulan ke-12 (1,84 vs 0,2; p
0,257).
Sebuah penelitian kuasi eksperimental di Tunisia melakukan
protokol pemberian profilaksis dosis rendah pada pasien

jdih.kemkes.go.id
- 47 -

hemofilia A dan B. Pasien hemofilia A diberikan FVIII sebanyak


20 IU/kg/minggu atau 10-15 IU/kg/kali dua kali seminggu,
pasien hemofilia B diberikan 25-35 IU/kg/minggu. Hasilnya
terdapat penurunan kejadian perdarahan sebanyak 92,8% pada
pasien setelah mendapatkan profilaksis dosis rendah. Selain itu
juga dijumpai perbaikan HJHS, HaemoQoL, dan FISH (LoE 2b).
Hal yang serupa juga dijumpai pada penelitian fase IV di Cina
yang menilai angka perdarahan, angka perdarahan sendi, HJHS,
dan kualitas hidup pasien hemofilia A sedang-berat yang
menunjukkan perbaikan skor pasca pemberian profilaksis dosis
rendah (LoE 2b). Ringkasan studi yang telah dikerjakan untuk
profilaksis dosis rendah dapat dilihat pada tabel 13. Algoritme
terapi profilaksis dosis rendah pada hemofilia A sedang-berat dan
evaluasinya dapat dilihat pada gambar 6.

Tabel 13. Ringkasan studi profilaksis dosis rendah pada hemofilia A

Peneliti Jumlah Durasi Jenis


Jenis
/tahun Judul pasien dan profilaksis penelitian Hasil Penelitian
profilaksis
/asal usia & dosis (LoE)
Chuans Prophylacti 6 pasien Sekunder/ Durasi 1 Seri kasus Kejadian
umrit c treatment hemofilia A Tersier tahun, (4) perdarahan
dkk. for dengan Dosis 8-10 berkurang selama
1995, hemophilia FVIII 1- U/kg, pemberian
Thailan A patients: 3,5%, usia 2x/minggu profilaksis, tidak
d a pilot 11-16 ada perawatan di
study tahun, rumah sakit,
median angka absensi
usia 12 sekolah berkurang
tahun
Van Long-term 70 pasien, Grup 1: Durasi Prospektif Perdarahan sendi
den outcome of rerata usia pasien pemantaua tahunan pada
Berg individualiz 4,1 tahun telah n 15,6 kelompok on
dkk, ed mengalami tahun (8- demand vs Grup 1
2001, prophylacti 5-10 24,5 tahun) vs 2 vs 3 adalah 9
Beland c treatment perdarahan vs 5.3 vs 3.2 vs
a of children sendi (SP Grup 1 2.6.
with severe 6,1) HA: Dosis
haemophili 5-10 U/kg, Profilaksis yang
a Grup 2: 2- dimulai dini,
dimulai 3x/minggu jangka panjang,
setelah 2-5 HB: 15-20 dan disesuaikan
perdarahan U/kg 1- dengan kebutuhan
sendi (SP 2x/minggu pasien dapat
2,3) mencegah
Grup 2 timbulnya
atropati.

jdih.kemkes.go.id
- 48 -

Grup 3: HA: 10-20


pasien U/kg, 2-
telah 3x/minggu
mengalami HBL 20-30
½ U/kg,
perdarahan 2x/minggu
sendi (SP
1,1) Grup 3
HA: 20-40
U/kg, 2-
3x/minggu
HB: 30-40
U/kg,
2x/minggu
Wu Low dose Jumlah Sekunder Durasi Kuasi Rerata perdarahan
dkk, secondary pasien 34 profilaksis eksperimen sendi pada terapi
2011, prophylaxis anak, 12 minggu. tal (LoE 2b) on demand yaitu
Cina, reduces rerata usia 9,9 vs 1,7 pada
(pilot joint 7,5 tahun Dosis 10 profilaksis
study bleeding in (2,5-17,5). U/kgBB, sekunder,
severe and 2x/minggu menunjukkan
moderate Hemofilia . (hemofilia penurunan
haemophili sedang - A) atau 20 sebesar 83%.
c children: a berat U/kgBB/h
pilot study ari,
in China. 1x/minggu
(hemofilia
B)
Tang L Short-term 191 pasien Sekunder Durasi Quasi Jumlah pasien
dkk, low-dose dari 15 profilaksis Eksperime yang dapat
2013, secondary pusat 8,3 ntal (before dianalisis yaitu 66
Cina prophylaxis hemofilia. minggu. vs after) (34.6%) anak,
for LoE 2b rerata usia 8,6 (2,5
severe/mo Dosis 10 - 17,5) tahun.
derate U/kgBB/h Rerata jumlah
haemophili ari perdarahan sendi
a A children 2x/minggu berkurang 78,8%
is beneficial . dan perdarahan
to reduce berat berkurang
bleed and recombina 68,9%.
improve nt FVIII
daily (rFVIII-FS,
activity, but Kogenate
there are FS®)
obstacle
inits
execution: a
multi-centre
pilot study
in China
Verma A 21 pasien, Primer Durasi Uji acak Kejadian
dkk., randomized usia 1-10 11,5 bulan (LoE 1b) perdarahan sendi
2016, study of tahun Dosis 10 adalah 11 pada
India very low- u/kgBB, kelompok
dose factor 2x/minggu profilaksis vs 57

jdih.kemkes.go.id
- 49 -

VIII pada on demand.


prophylaxis Rerata kejadian
in severe hemarthrosis 0,08
haemophili vs 0,48 (p<0,05)
a - A
success
story from a
resource
limited
country
Yao The 57 pasien, Dosis Durasi > 12 Kohort Profilaksis dosis
dkk., Efficacy of median rendah, minggu, observasio rendah
2017, Recombina usia 8,2 primer Dosis nal (2b) mengurangi
multise nt FVIII (0,4-17,3 (n=3), rendah (10- jumlah
nter Low-Dose tahun) sekunder 30 perdarahan
Prophylaxis (n=21), IU/kg/min signifikan pada 3
in Chinese tersier ggu) kelompok
Pediatric (n=33) rFVIII dibandingkan
Patients dibagi dengan baseline (P
With menjadi < .001).
Severe grup Penurunan
Hemophilia primer, median nilai ABR
A: A sekunder, adalah -4 (-8
Retrospecti dan tersier sampai -3,1); -4 (-
ve Analysis 24 sampai 8); -
From the 13,9 (-110,6
ReCARE sampai 20,6)
Study untuk 3 kelompok.
Penurunan
median AJBR pada
kelompok
sekunder dan
tersier adalah -2,3
(-6,3 sampai 8,4)
dan -14,9 (-61,5
sampai 19,1)
namun hasilnya
tidak berbeda
bermakna (P
0,061). Semakin
lama durasi
profilaksis
semakin baik
dalam mencegah
perdarahan sendi
(p 0,024)
Gouider Low dose 45 pasien, Primer & Durasi 5 Quasi Perdarahan per
dkk, prophylaxis usia sekunder tahun, eksperimen tahun sebelum
2017, in Tunisian inisiasi 5,3 Dosis tal (LoE 2b) profilaksis 7 vs
Tunisia children tahun (0,64 median per setelah profilaksis
with – 11,44 minggu 30 0,5
haemophili tahun) U/kg, 1-
a Median 3x/minggu
usia pasien
9 tahun

jdih.kemkes.go.id
- 50 -

HA: 20 -30
iu 1x/week
or 10-15
IU/kg
2x/minggu

HB: 25-35
IU/kg
1x/minggu
Chozie Compariso 50 pasien, Tersier Durasi 12 Uji acak Jumlah
dkk., n of the usia 4-18 bulan, (LoE 1b) perdarahan total
2019, efficacy tahun Dosis 10 dan sendi pada
Indones and safety U/kg, kelompok
ia of 12-month 2x/minggu profilaksis 8 dan 3
low-dose vs kelompok on
factor VIII demand 9 dan 3 (p
tertiary <0,001)
prophylaxis
vs on
demand
treatment
in severe
haemophili
a A
children.
Haemophili
a. 2019

Keterangan HA: Hemofilia A; HB: Hemofilia B

jdih.kemkes.go.id
- 51 -

Gambar 6. Algoritma terapi profilaksis dosis rendah pada hemofilia A


sedang-berat dan evaluasinya

Profilaksis pada hemofilia B


Penelitian mengenai profilaksis pada pasien hemofilia B lebih
jarang dijumpai daripada hemofilia A. Tiga uji klinis prospektif
(LoE 2b) menggunakan total dosis bervariasi antara 15-40 IU/kg
FIX/minggu, dengan interval pemberian antara 1-2 kali per
minggu. Luaran yang dinilai adalah angka perdarahan per tahun
(Annual Bleeding Rate/ABR), skor HJHS, FISH, angka
hospitalisasi dan absensi sekolah. Keempat penelitian tersebut
menunjukkan perbaikan pada variabel-variabel yang disebutkan
di atas dibandingkan pemberian FIX secara on demand.
Ringkasan studi dan hasil penelitian profilaksis dosis rendah
pada hemofilia B dapat dilihat pada tabel 14. Perbandingan
penggunaan faktor pembekuan dengan waktu paruh standar
(Standard Half Life-FIX/ SHL-FIX) dibandingkan dengan waktu

jdih.kemkes.go.id
- 52 -

paruh panjang (Extended Half Life-FIX/ EHL-FIX) menunjukkan


efektivitas yang setara dan berkurangnya frekuensi pemberian
sebanyak 52% pada EHL-FIX.

Rekomendasi Terapi Profilaksis Dosis Rendah


Pemberian profilaksis FVIII dosis rendah 10 IU/kg, 2 kali per
minggu merupakan rekomendasi tata laksana hemofilia A di
negara berkembang (Level of evidence 1b, REKOMENDASI A).
Pemberian profilaksis FIX dosis rendah 10-15 IU/kg, 2 kali per
minggu merupakan rekomendasi tata laksana hemofilia B di
negara berkembang (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)

Tabel 14. Penelitian profilaksis dosis rendah pada hemofilia B

Peneliti/t Judul Jumlah Jenis Durasi Jenis Hasil Penelitian


ahun/ pasien profilaksis profilaksi penelitian
asal dan usia s & dosis (LoE)
Morfini Evaluation of 10 subjek Sekunder/ Durasi 1 Uji klinis Kedua grup
dkk. prophylactic hemofilia Tersier tahun, prospektif profilaksis
1976, replacement B; usia 5- Dosis 7,5 (2b) menurunkan
Italia therapy in 45 tahun U/kg, kejadian
haemophilia 2x/mingg perdarahan secara
B. Luaran: u; 15 signifikan jika
perdarah U/kg dibandingkan
an 1x/mingg dengan on demand
spontan u (p< 0,005)

Dibandin Pemberian
gkan 2x/minggu lebih
dengan baik daripada
on 1x/minggu
demand (p<0,01)
Wu R, Low dose 34 Tersier Durasi Uji klinis Perdarahan sendi
dkk, secondary pasien, pemanta Prospektif tahunan
2011, prophylaxis median uan 12 (2b) berkurang dari
Cina reduces joint usia 7,8 minggu total 337 (rentang
bleeding in tahun (on individual 3-14,
severe and dengan demand) rerata 9,9) selama
moderate hemofilia kemudia observasi on
haemophilic sedang- n 12 demand ke 57
children: a berat (+) minggu (rentang 0-6,
pilot study in gangguan profilaksi rerata 1,7)
China sendi s dosis
rendah Penurunan secara
umum 83%
HA: 10
U/kg, Fungsi sendi
perbaikan pada

jdih.kemkes.go.id
- 53 -

2x/mingg 66,7% sendi yang


u terkena, dan
HB: 20 23,2% kondisinya
IU/kg, baik – sedang
1x/mingg
u Partisipasi saat
olahraga,
kehadiran di
sekolah, dan
aktivitas fisik
harian mengalami
perbaikan.
Sidharta Low Dose 11 pasien Sekunder/t Dosis Quasi Penurunan angka
n dkk, Secondary/T ersier FVIII: 20- Eksperiment perdarahan on
2016, ertiary Pengamat 40 U/kg, al (before vs demand vs
India Prophylaxis an 12 dibagi after) profilaksis (14,9
Is Feasible bulan (6 2x/mingg LoE 2b vs. 0,91; p 0,005)
and Effective bulan u
in Resource retrospek Penurunan angka
Limited tif untuk Dosis hospitalisasi
Setting in terapi on FIX: 25- (12,45 vs 2,36
South India demand 40 U/kg, hari; p 0,005)
for Children dan 6 1x/mingg
with bulan u Absensi sekolah
Hemophilia prospekti (78,55 vs 1,27
f untuk hari); p 0,01)
profilaksi
s) FISH dan HJHS
mengalami
perbaikan selama
profilaksis

Tidak dijumpai
inhibitor selama
studi berlangsung
Rampota A single 13 pasien Sekunder/ Dosis Kohort Median angka
s dkk., centre yang Tersier retrospektif perdarahan per
Alprolix ®
2020, retrospective sebelumn (dosis (LoE 2b) tahun SHL-FIX 3,
Inggris study of low ya rerata IQR 1-5 vs EHL-
dose diberikan FIX 3, IQL 1-5,25.
31.5
prophylaxis standard U/kg)
with half- life setiap 7 Median skor
extended factor IX kualitas hidup
hari
half-life factor (SHL-FIX) SHL FIX 0,76; IQR
IX for severe  diganti 0,63-0,84 vs EHL-
Dosis
haemophilia ke FIX 0,79; IQR
Idelvion ®
B 0,58-0,88.
Alprolix® (dosis
rerata
7 pasien 20.2
diganti ke U/kg)

Idelvion® setiap 7
hari

Pengamat
an

jdih.kemkes.go.id
- 54 -

dilakuka Dosis
n selama SHL-IX
12 bulan diberikan
(SHL-IX) setiap 3
dan 12 hari
bulan
setelah
diganti ke
EHL-IX

Kapan mulai pemberian profilaksis ?

Masih menjadi perdebatan apakah semua penyandang hemofilia


sebaiknya tetap mendapat profilaksis sampai usia dewasa muda.
Data menunjukkan bahwa sebagian penyandang hemofilia
berusia dewasa muda dapat beraktivitas dengan baik tanpa
profilaksis, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
sebelum rekomendasi dapat dibuat. Penelitian Li dkk. di Cina
yang bersifat multisenter terhadap pasien hemofilia A berat,
membandingkan efektivitas profilaksis primer, sekunder, dan
tersier menggunakan rekombinan FVIII dosis rendah (LoE 2b).
Median Annual Bleeding Rate (ABR) menurun pada semua grup,
dengan penurunan signifikan antara grup profilaksis sekunder
dan tersier (primer -4, sekunder -4, tersier -13,9). Hal yang sama
juga terjadi pada luaran Annual Joint Bleeding Rate (AJBR) yang
menunjukkan penurunan pada grup profilaksis sekunder (-2,3)
dan tersier (-14,9).
Profilaksis sebaiknya dimulai sedini mungkin dan apabila
diberikan dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan
pencegahan perdarahan sendi yang lebih baik. Suatu penelitian
kohort prospektif besar menemukan bahwa efektivitas profilaksis
dalam menurunkan jumlah perdarahan secara konsisten berada
di atas 90% selama tahun pertama sampai ketiga pengamatan
(LoE 2b). Pada pasien anak dengan hemofilia A atau B derajat
berat, World Federation of Hemophilia merekomendasikan inisiasi
profilaksis secara dini sebelum adanya penyakit sendi, atau
idealnya sebelum usia 3 tahun, untuk mencegah perdarahan
spontan dan breakthrough bleeding termasuk hemarthrosis yang
dapat menyebabkan kerusakan sendi. Selain ketersediaan faktor

jdih.kemkes.go.id
- 55 -

pembekuan, juga penting pemahaman keluarga mengapa


profilaksis diperlukan, disamping sulitnya memberikan suntikan
intravena pada bayi/anak kecil secara rutin serta risiko infeksi
dan trombosis akibat penggunaan kateter implan vena sentral.
Cost-effectiveness analysis mengenai perbandingan late
prophylaxis dibandingkan on demand untuk tata laksana
hemofilia A berat di Italia menunjukkan bahwa pemberian
profilaksis merupakan pendekatan tata laksana yang cost-
effective karena dapat menurunkan angka Incremental Cost-
Effectiveness Ratios (ICERs) di bawah nilai yang dianggap dapat
diterima di negara tersebut (LoE 1c). Penelitian serupa di Inggris
dan Swedia juga menunjukkan bahwa biaya terapi profilaksis
masih sesuai dengan nilai yang dapat ditanggung oleh layanan
kesehatan nasional. Data dari Meksiko menunjukkan tata
laksana profilaksis dapat menurunkan jumlah perdarahan 50/
tahun dibandingkan on demand, dan biaya yang dikeluarkan
adalah sebesar 68 ribu Peso setiap pengurangan 1 kejadian
perdarahan (LoE 1c).
d. Profilaksis pada pasien dewasa
Meskipun profilaksis primer dan sekunder telah terbukti
memberikan luaran baik pada pasien dengan hemofilia berat,
namun bukti profilaksis pada pasien hemofilia dewasa masih
terbatas. Perlu diperhatikan bahwa terdapat 2 kelompok pasien
dewasa yang memiliki kondisi berbeda dan memerlukan
pendekatan berbeda. Kelompok pertama adalah pasien yang telah
memulai profilaksis primer atau sekunder sejak awal kehidupan
dan memiliki kondisi sendi yang baik saat dewasa. Beberapa
studi skala kecil menunjukkan bahwa kelompok pasien tersebut
memiliki manfaat apabila diberikan profilaksis jangka panjang.
Studi-studi tersebut melaporkan hasil pemantauan selama 12-30
tahun, dan hasilnya terdapat kondisi sendi yang baik atau
artropati ringan pada usia 3-40 tahun. Kelompok kedua adalah
pasien hemofilia dewasa yang telah mengalami artropati lanjut
dan menerima profilaksis tersier. Studi uji prospektif acak yang
bertujuan untuk mengevaluasi efek profilaksis sekunder
menggunakan rFVIII pada pasien hemofilia A berat dewasa
dan/atau remaja dibandingkan episodic/on demand (SPINART

jdih.kemkes.go.id
- 56 -

study) menemukan bahwa terdapat median perdarahan


sebanyak 54,5 per tahun pada kelompok on demand
dibandingkan 0 pada kelompok profilaksis (LoE 1b). Suatu survey
di negara Eropa memeriksa kegunaan profilaksis pada pasien
usia 20-35 tahun dengan hemofilia berat dan menemukan bahwa
jangka waktu profilaksis dan munculnya perdarahan mayor
berbanding terbalik. Pasien dari Swedia yang paling lama berada
dalam terapi profilaksis memiliki kondisi sendi terbaik dan
kualitas hidup yang paling baik.

6. Home treatment pada hemofilia


Home treatment penting dalam tata laksana hemofilia karena
meningkatkan akses langsung ke faktor pembekuan sehingga tata
laksana awal optimal. Hasilnya adalah berkurangnya nyeri, disfungsi
dan disabilitas jangka panjang, serta menurunnya angka perawatan
karena komplikasi (LoE 3). Selain itu home treatment dapat
memberikan kebebasan pasien untuk bepergian, berpartisipasi dalam
aktivitas fisik, dan meningkatkan jumlah kehadiran.
Home treatment harus dilakukan di bawah supervisi tim pelayanan
hemofilia terpadu, dan dikerjakan setelah dilakukan pelatihan dan
edukasi yang adekuat (LoE 3). Edukasi yang dikerjakan meliputi
pengetahuan umum tentang hemofilia; deteksi awal perdarahan dan
komplikasi umum; first aid; perhitungan dosis; penyiapan,
penyimpanan dan pemberian konsentrat faktor pembekuan; teknik
asepsis; prosedur pungsi vena; pencatatan; penyimpanan dan
pembuangan jarum/benda tajam; dan pembersihan cipratan darah.
Rekam data harus dikerjakan oleh orangtua dan pasien mengenai
tanggal, lokasi perdarahan, dosis dan nomor produk yang digunakan
serta efek simpang. Teknik infus dan rekam data perdarahan harus
dievaluasi setiap kunjungan. Home treatment dapat dimulai pada
anak-anak usia muda yang memiliki akses vena adekuat dan anggota
keluarga yang telah mendapatkan pelatihan adekuat. Pada anak yang
lebih besar atau remaja, dapat diajarkan self-infusion dengan bantuan
keluarga. Akses vena yang tertanam (Port-A-Cath) dapat
mempermudah pelaksanaan injeksi dan bermanfaat pada pasien
berusia muda yang memerlukan profilaksis. (LoE 2) Namun demikian,
risiko pembedahan, infeksi lokal dan thrombosis perlu

jdih.kemkes.go.id
- 57 -

dipertimbangkan dalam memutuskan inisiasi profilaksis lebih awal.


(LoE 2)
Rekomendasi Home Treatment
Tata laksana episode perdarahan ringan – sedang dapat dilakukan
di rumah. Untuk perdarahan sendi dan otot, pertolongan pertama
yang dapat dilakukan sebelum pemberikan faktor pembekuan
adalah RICE (Level of evidence 3, REKOMENDASI C)
Home treatment memberikan akses langsung terhadap faktor
pembekuan sehingga tata laksana awal lebih optimal dan dapat
menurunkan nyeri, disfungsi dan disabilitas jangka panjang serta
menurunkan angka admisi rumah sakit untuk komplikasi. (Level of
evidence 3, REKOMENDASI C)

7. Tata laksana perdarahan spesifik


a. Perdarahan yang mengancam nyawa
Perdarahan pada hemofilia yang dianggap mengancam nyawa
adalah perdarahan susunan saraf pusat, perdarahan di area
tenggorok dan leher, perdarahan oftalmik, dan perdarahan pada
saluran cerna.
1) Perdarahan susunan saraf pusat
a) Nyeri kepala pada kasus cedera kepala pasca trauma
harus ditata laksana sebagai perdarahan intrakranial.
Dapat dijumpai juga tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial lain seperti muntah, penurunan kesadaran
dan kejang. Nyeri mendadak di punggung juga
dihubungkan dengan perdarahan di sekitar medulla
spinalis. Jangan tunda sampai timbul gejala lain untuk
melakukan pemeriksaan laboratorium maupun
radiologis;
b) Berikan faktor pembekuan segera tanpa menunggu
hasil pemeriksaan radiologi/laboratorium (LoE 4). (lihat
tabel 10);
c) Setelah pasien membaik, perlu pemberian profilaksis
sekunder intermitten (3-6 bulan), terutama jika
kemungkinan terjadi rebleeding (misal koinfeksi HIV).
(LoE 3); dan
d) Pasien harus segera dievaluasi dan dirawat.

jdih.kemkes.go.id
- 58 -

Pemeriksaan CT scan atau MRI harus dikerjakan, serta


konsultasi neurologis segera (LoE 4).
2) Perdarahan area tenggorok dan leher
a) Perdarahan ini bersifat mengancam nyawa karena
dapat menimbulkan obstruksi jalan napas;
b) Segera naikkan kadar faktor saat ada trauma signifikan
atau gejala muncul. Pertahankan kadar faktor sampai
gejala menghilang (LoE 4). (lihat tabel 10);
c) Lakukan evaluasi oleh dokter spesialis dan rawat inap;
dan
d) Pada tonsillitis berat dapat dipertimbangkan
pencegahan perdarahan dengan pemberian faktor
pembekuan, di luar tata laksana kultur bakteriologis
dan pemberian antibiotik yang sesuai.
3) Perdarahan gastrointesinal akut
a) Perdarahan abdominal akut dapat bermanifestasi
berupa hematemesis, hematoskezia, atau melena.
Penyebab harus segera ditata laksana;
b) Kadar faktor pembekuan harus segera dinaikkan
sampai perdarahan berhenti dan etiologi ditemukan
(LoE 4); dan
c) EACA atau asam traneksamat dapat digunakan sebagai
terapi ajuvan pada pasien dengan defisiensi FVIII dan
FIX yang tidak menerima konsentrat kompleks
protrombin.
4) Perdarahan oftalmik
a) Perdarahan ini jarang terjadi kecuali terjadi trauma
atau infeksi; dan
b) Berikan dosis faktor pembekuan yang sesuai (lihat
tabel 10) dan dipertahankan sesuai indikasi (LoE 4).
b. Perdarahan sendi (hemartrosis)
1) Perdarahan sendi didefinisikan sebagai episode perdarahan
yang memiliki karakteristik hilangnya/berkurangnya ROM
dibandingkan baseline yang berhubungan dengan
kombinasi gejala di antaranya: nyeri, sensasi tidak biasa di
sendi, bengkak, dan teraba hangat pada kulit di sekitar
sendi;

jdih.kemkes.go.id
- 59 -

2) Onset perdarahan biasanya dideskripsikan pasien sebagai


sensasi tingling dan kencang pada sendi, yang mendahului
gejala klinis lainnya (“aura”);
3) Gejala awal perdarahan sendi adalah peningkatan suhu di
sekitar area dan rasa tidak nyaman saat digerakkan,
terutama pada akhir batas gerak. Gejala nyeri saat istirahat,
pembengkakan sendi, tenderness dan hilangnya ROM akan
muncul kemudian;
4) Rebleeding adalah perdarahan atau perburukan kondisi
baik dalam terapi maupun dalam 72 jam pasca
menghentikan terapi;
5) Sendi target adalah sendi yang telah mengalami perdarahan
spontan setidaknya 3 kali dalam 6 bulan berturut-turut;
6) Posisi fleksi biasanya adalah posisi yang paling nyaman
setelah timbul perdarahan, dan dapat timbul spasme otot
sekunder akibat pasien menghindari gerak sendi;
7) Tujuan tata laksana hemartrosis akut adalah menghentikan
perdarahan sesegera mungkin, sehingga terapi diberikan
segera setelah “aura” muncul tanpa menunggu gejala nyeri
dan bengkak yang jelas;
8) Berikan dosis faktor pembekuan yang sesuai (lihat tabel 10)
(LoE 2);
9) Instruksikan pasien untuk menghindari “weight bearing”,
lakukan kompresi dan elevasi sendi yang terkena (LoE 3).
Dapat dilakukan imobilisasi menggunakan bidai hingga
nyeri menghilang. Kompres dingin dapat diaplikasikan
selama 15-20 menit setiap 4-6 jam untuk mengurangi nyeri.
Hindari kontak langsung es dengan kulit (prinsip RICE);
10) Jika perdarahan belum berhenti, diperlukan infus faktor
pembekuan kedua. Pada hemofilia A dapat diberikan ½ dosis
loading/dosis awal dalam 12 jam, dan pada hemofilia B
dalam 24 jam (LoE 3);
11) Rehabilitasi merupakan bagian aktif dari tata kelola episode
perdarahan sendi akut (LoE 2). Segera setelah nyeri dan
bengkak berkurang maka pasien harus mulai mengubah
posisi nyaman sendi (fleksi) ke posisi fungsional hingga
mencapai ekstensi penuh secara kontraksi aktif. Gerakan

jdih.kemkes.go.id
- 60 -

pasif dapat membantu jika dirasakan terdapat tahanan otot.


Tujuan rehabilitasi adalah meminimalkan risiko atrofi otot
dan mencegah hilangnya kemampuan gerak sendi secara
kronik. Aktivitas dan latihan proprioseptif harus terus
dikerjakan sampai ROM sendi dan fungsi kembali seperti
sebelum perdarahan, dan tanda sinovitis telah menghilang;
12) Artrosentesis (aspirasi darah dari sendi) dipertimbangkan
pada kondisi berikut: perdarahan sendi yang menampilkan
klinis tense, nyeri dan tidak perbaikan dalam 24 jam setelah
terapi konservatif, nyeri yang tak kunjung hilang, adanya
gangguan neurovaskular pada anggota gerak yang terkena,
peningkatan suhu lokal dan sistemik atau jika dijumpai
tanda-tanda infeksi (artritis septik). (LoE 3) Jika dibutuhkan
artrosentesis, pasien perlu dikonsulkan ke ahli ortopedi dan
tidak boleh dikerjakan apabila faktor pembekuan tidak
tersedia. Apabila terdapat inhibitor maka agen hemostatik
lain yang sesuai harus tersedia untuk prosedur (LoE 3); dan
13) Penatalaksanaan morbiditas muskuloskeletal merupakan
salah satu prioritas yang ditekankan oleh prinsip tata
laksana hemofilia di regio Asia-Pasifik, karena ketersediaan
faktor yang masih belum memadai meningkatkan
peningkatan insiden kejadian musculoskeletal pada pasien
hemofilia. Luaran minimal yang menjadi target tata laksana
adalah Annual Bleed dan Annual Joint Bleed Rates (AJBR)
dan penilaian tahunan HJHS. Pemeriksaan fungsi dan
radiologi menggunakan FISH, HAL, Pediatric HAL, Rontgen,
dan ultrasonografi musculoskeletal merupakan luaran
opsional.
c. Perdarahan otot
1) Perdarahan otot dapat timbul di mana saja, biasanya akibat
trauma langsung atau regangan mendadak. Perdarahan otot
didefinisikan sebagai episode perdarahan yang ditentukan
secara klinis dan/atau pencitraan, biasanya berhubungan
dengan nyeri dan/atau bengkak serta gangguan fungsi;
2) Identifikasi awal dan tata kelola adekuat akan mencegah
kontraktur permanen, rebleeding dan terbentuknya
pseudotumor;

jdih.kemkes.go.id
- 61 -

3) Beberapa lokasi otot yang berhubungan dengan gangguan


neuromuskular (fleksor dalam anggota gerak) contohnya:
otot iliopsoas (risiko gangguan persarafan femorokutaneus,
krural dan femoral), bagian superior-posterior dan
kompartemen posterior dalam tungkai bawah (risiko
gangguan persarafan posterior tibia dan perneal dalam),
grup fleksor lengan atas (risiko kontraktur iskemik
Volkmann’s), memerlukan tata laksana segera. Perdarahan
juga dapat terjadi di lokasi yang lebih superfisial contohnya
otot biseps brachii, hamstring, gastrocnemius, kuadrisep
dan otot gluteus;
4) Gejala yang dapat timbul adalah nyeri otot, posisi anggota
gerak dalam posisi nyaman, nyeri berat apabila otot
diregangkan, nyeri saat otot berkontraksi, ketegangan dan
pembengkakan otot saat dipalpasi dan bengkak;
5) Berikan dosis faktor pembekuan yang sesuai (lihat tabel 10),
apabila terdapat gangguan neurovascular maka kadar
dipertahankan selama lebih dari 5-7 hari. LoE 3);
6) Lakukan prinsip RICE (lihat gambar 5);
7) Ulangi pemberian infus faktor pembekuan dalam 2-3 hari
atau lebih jika perdarahan timbul pada lokasi kritis yang
menyebabkan sindrom kompartemen (LoE 4). Pemantauan
gejala neuromuskular harus dilakukan dengan seksama dan
dalam kondisi tersebut fasiotomi dapat dipertimbangkan
(LoE 4);
8) Fisioterapi dimulai sesegera mungkin setelah nyeri
berkurang dan ditingkatkan untuk mengembalikan seluruh
fungsi otot, kekuatan, dan panjang otot. (LoE 4) Selama
fisioterapi, perlu disiapkan cadangan faktor pembekuan,
pemasangan gips/cast serial dan pembidaian, serta
penggunaan penyangga suportif (supportive braces) apabila
telah didapatkan kerusakan saraf. Nyeri yang semakin berat
saat fisioterapi dapat merupakan rebleeding dan harus
dilakukan evaluasi; dan
9) Salah satu perdarahan otot yang perlu diwaspadai adalah
perdarahan otot iliopsoas. Gejalanya berupa nyeri di perut
bawah, selangkangan, dan/atau punggung belakang, dan

jdih.kemkes.go.id
- 62 -

nyeri saat melakukan ekstensi. Dapat dijumpai paresthesia


di sisi medial paha atau gejala lain kompresi saraf femoral
seperti hilangnya reflex patella, kelemahan kuadrisep. Gejala
tersebut dapat menyerupai gejala apendisitis akut termasuk
tanda Blumberg positif. Pasien harus dirawat untuk
observasi dan mengontrol nyeri. Hindari berjalan
menggunakan penyangga karena dapat menimbulkan
kontraksi otot. Pasien harus menjalani bed rest ketat (LoE 4).
Pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi diagnosis
dan memonitor pemulihan dapat berupa pencitraan seperti
USG, CT scan atau MRI (LoE 4). Aktivitas dibatasi sampai
nyeri menghilang, dan kemampuan ekstensi pinggul
membaik sampai maksimal. Sebelum pasien kembali
beraktivitas, direkomendasikan fisioterapi dilakukan sampai
ekstensi pinggul maksimal. Jika defisit neuromuskular
menetap maka dibutuhkan penyangga ortotik.
d. Perdarahan abdominal akut
1) Perdarahan abdomen akut (termasuk retroperitoneal) dapat
bermanifestasi nyeri perut dan distensi sehingga dapat
terjadi kesalahan diagnosis akibat kondisi infeksi atau
bedah, atau ileus paralitik. Pemeriksaan pencitraan
mungkin diperlukan; dan
2) Kadar faktor pembekuan harus segera dinaikkan sampai
perdarahan berhenti dan etiologi ditemukan (LoE 4).
e. Perdarahan ginjal
1) Hematuria tanpa nyeri ditata laksana dengan bed rest dan
hidrasi adekuat (3 liter/m2 luas permukaan tubuh) selama
48 jam;
2) Kadar faktor pembekuan dinaikkan sesuai tabel 10, apabila
terdapat nyeri dan hematuria masif persisten perlu evaluasi
adanya pembekuan dan obstruksi saluran kemih (LoE 4).
Evaluasi perlu dilakukan oleh urolog untuk mencari
penyebab lokal hematuria (makroskopis dan mikroskopis)
persisten atau jika terdapat episode berulang; dan
3) Jangan gunakan agen antifibrinolitik (LoE 4).

jdih.kemkes.go.id
- 63 -

f. Perdarahan area mulut


1) Konsultasi awal dengan dokter gigi atau ahli bedah mulut
penting untuk menentukan sumber perdarahan. Yang
tersering adalah perdarahan pasca ekstraksi gigi,
perdarahan gusi akibat kebersihan rongga mulut yang
buruk, trauma;
2) Tata laksana lokal untuk menghentikan perdarahan dapat
dikerjakan dengan melakukan penekanan langsung
menggunakan kassa lembab, selama minimal 15 menit,
penjahitan luka terbuka, pemakaian agen hemostatik lokal,
antibiotik apabila terdapat perdarahan gusi akibat
kebersihan rongga mulut yang buruk, penggunaan EACA
atau asam traneksamat sebagai obat kumur (LoE 4);
3) Non-Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAID) dan aspirin
harus dihindari. Untuk mengatasi nyeri setelah ekstraksi,
dapat menggunakan paracetamol/acetaminophen setiap 6
jam untuk 2-3 hari;
4) Hindari penggunaan antifibrinolitik pada pasien defisiensi
FIX yang sedang menerima dosis besar konsentrat kompleks
prothrombin atau pada pasien dengan inhibitor yang
menerima APCC (LoE 4); dan
5) Edukasi pasien untuk tidak menelan darah, hindari
penggunaan obat kumur sampai sehari pasca perdarhaan
berhenti, mengkonsumsi makanan dengan konsistensi
lunak.
6) Evaluasi anemia apabila terindikasi.
g. Epistaksis
1) Posisikan kepala pasien menunduk dan hindari menelan
darah. Pasien dapat diminta untuk menghembuskan
perlahan apabila terdapat gumpalan darah. Penekanan
menggunakan kassa yang direndam di air es dapat
diaplikasikan ke sisi anterior hidung selama 10-20 menit;
2) Jarang dibutuhkan pemberian faktor pembekuan kecuali
perdarahan massif atau rekuren;
3) Antihistamin dan dekongestan bermanfaat apabila
perdarahan disebabkan oleh alergi, infeksi saluran napas
atas, atau perubahan musim;

jdih.kemkes.go.id
- 64 -

4) EACA atau asam traneksamat lokal (diberikan


menggunakan kassa) dapat bermanfaat;
5) Konsultasi dengan dokter spesialis THT-KL diperlukan
apabila perdarahan persisten atau rekuren. Tampon anterior
atau posterior mungkin diperlukan untuk mengontrol
perdarahan; dan
6) Epistaksis dapat dicegah dengan meningkatkan kelembaban
lingkungan, pemakaian gel (petroleum atau gel salin) pada
mukosa hidung, atau dengan semprot hidung.
h. Perdarahan jaringan lunak (hematoma)
1) Gejala yang timbul bergantung pada lokasi perdarahan.
Pemberian faktor pembekuan tidak selalu diperlukan.
Prinsip RICE dapat diterapkan dan terbukti bermanfaat; dan
2) Evaluasi derajat perdarahan dan kemungkinan adanya
perdarahan yang bersifat mengancam nyawa atau
perdarahan pada organ vital lain. Perdarahan pada
kompartemen terbuka seperti rongga retroperitoneal,
skrotum, bokong atau paha dapat berakibat kehilangan
darah dalam jumlah besar, apabila kondisi ini dijumpai
berikan faktor pembekuan segera.
i. Laserasi dan abrasi
1) Laserasi superfisial di tata laksana dengan membersihkan
luka dan melakukan penekanan dan menutup luka;
2) Untuk laserasi dalam, kadar faktor pembekuan perlu
dinaikkan (lihat tabel 10) dan dilakukan penjahitan (LoE 4);
dan
3) Pencabutan jahitan dapat dilakukan dengan “payung”
konsentrat faktor pembekuan.
8. Tata laksana hemofilia pada kondisi khusus
a. Sirkumsisi
1) Sebelum dilakukan sirkumsisi dilakukan pemeriksaan
inhibitor faktor VIII dan pemeriksaan darah tepi lengkap;
2) Anestesi umum (khusus untuk pasien anak) atau local;
3) Pemberian faktor pembekuan sebelum dan sesudah
tindakan sampai luka mengering (rata-rata 7 hari); dan
4) Dilakukan di RS dengan fasilitas lengkap dan dokter
spesialis hematologi.

jdih.kemkes.go.id
- 65 -

b. Kelahiran Bayi yang Dicurigai Hemofilia


1) Pada wanita pembawa sifat hemofilia (obligate atau possible
carrier), kadar F VIII harus diperiksa sebelum persalinan
untuk berjaga-jaga bila dibutuhkan operasi caesar. Bila
kadar F VIII <50 UI/dl, perlu diberikan F VIII sebelum
tindakan invasif atau operasi;
2) Proses persalinan bayi yang dicurigai hemofilia harus
diupayakan atraumatik baik pervaginam maupun operasi
caesar; dan
3) Persalinan dengan forsep atau ekstraksi vakum sedapat
mungkin harus dihindari.
c. Vaksinasi
Rekomendasi terbaru tentang vaksinasi pada hemofilia berasal
dari konsensus HEVA project (Italian hemophilia and vaccinations)
di Italia. Hasil rekomendasi tersebut diantaranya (LoE 4):
1) Pasien hemofilia anak dan dewasa wajib mendapatkan
vaksinasi yang telah direkomendasikan institusi, tanpa
memperhitungkan aktivitas residual faktor yang defisien.
Pemberian vaksinasi dianjurkan dengan cara penyuntikan
subkutan karena menurunkan risiko perdarahan, tanpa
memandang derajat hemofilia (LoE 4). Jarum yang
digunakan adalah ukuran terkecil (25-27 gauge) untuk
meminimalisasi perdarahan. Aplikasi rutin es pada area
injeksi direkomendasikan baik sebelum dan setelah
pemberian vaksin. Pasien hemofilia yang telah divaksinasi
dilarang menggosok lokasi injeksi, namun dapat dilakukan
penekanan. Pada pasien hemofilia dengan inhibitor, tidak
ada bukti bahwa vaksinasi harus ditunda sampai kadar
inhibitor tidak terdeteksi.
2) Bila penyuntikan intramuskular terpaksa dilakukan,
dianjurkan beberapa hal sebagai berikut:
a) Gunakan jarum berukuran kecil (25-27 gauge);
b) Sebelum penyuntikan letakkan kompres es selama
kurang lebih 5 menit di daerah yang akan disuntik;
c) Setelah penyuntikan lakukan penekanan selama 5
menit; dan

jdih.kemkes.go.id
- 66 -

d) Bila diperlukan, sebelum penyuntikan berikan faktor


pembekuan terlebih dahulu.
d. Prosedur invasif dan operatif
Prinsip tata laksana hemofilia untuk tindakan invasif harus
dilakukan di RS dengan tim multidisiplin hemofilia (LoE 3).

Pemeriksaan laboratorium rutin dan evaluasi skrining inhibitor


perlu dilakukan sebelum tindakan operatif (LoE 4). Secara
umum, tindakan sebaiknya dikerjakan pada awal minggu/ di
awal hari agar pemeriksaan dan penyediaan darah apabila
diperlukan dapat optimal. Faktor pembekuan harus disediakan
selama masa persiapan, tindakan, dan pasca operasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan pasien hemofilia untuk
penyembuhan dan rehabilitasi. Pasien dengan hemofilia A ringan,
atau pada pasien yang mendapatkan terapi faktor pembekuan
intensif untuk pertama kali, berisiko menimbulkan inhibitor dan
harus dilakukan skrining ulang dalam 4-12 minggu pasca operasi
(LoE 4). Target kadar faktor pembekuan dalam plasma untuk
operasi minor dan mayor dapat dilihat pada tabel 10.
Rekomendasi Tata Laksana Pra-operatif

Pasien hemofilia yang memerlukan tindakan operatif sebaiknya


dikonsultasikan dengan pusat tata laksana hemofilia secara
komprehensif. (Level of evidence 3, REKOMENDASI C).
Evaluasi preoperatif harus meliputi penapisan inhibitor dan
pemeriksaan inhibitor. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)

9. Tata laksana suportif pada pasien hemofilia


a. Tata laksana nyeri
Nyeri akut maupun kronik sering dialami pasien hemofilia. Tata
laksana yang adekuat dapat dicapai dengan mencari penyebab
nyeri. Nyeri akibat perdarahan akut diatasi dengan memberikan
faktor pembekuan yang adekuat, dibantu dengan kompres
dingin, imobilisasi dan alat bantu seperti tongkat atau splints.
Bila dibutuhkan dapat diberikan analgetik (lihat gambar 7).

jdih.kemkes.go.id
- 67 -

Parasetamol/asetaminofen
Jika tidak efektif

COX–2 inhibitor (e.g. celecoxib, meloxicam, dlsb)


ATAU
Parasetamol/asetaminofen plus kodein (3–4 kali/hari)
ATAU
Parasetamol/asetaminofen plus tramadol (3–4
kali/hari)

Morfin: gunakan produk slow release dengan escape


of rapid release. Naikkan produk slow release jika
produk rapid release telah digunakan > 4x/hari
ih dari 4 kali/hari

Gambar 7. Strategi manajemen nyeri pada pasien dengan


hemofilia.

Nyeri akibat artropati kronik diatasi dengan pemberian analgetik


sesuai gambar 7 dan rehabilitasi fisik untuk penyesuaian fungsi
motorik dan latihan adaptasi aktivitas sehari-hari. Inhibitor COX-
2 bermanfaat untuk mengurangi nyeri artritik (LoE 2). Bila nyeri
tidak dapat diatasi perlu dipertimbangkan tindakan bedah
ortopedi dan konsultasi ke tim khusus (pain management team).

Rekomendasi Tata Laksana Nyeri

Manajemen nyeri pada pasien hemofilia mengikuti alur tata


laksana nyeri. Beberapa inhibitor COX-2 dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri artritik. (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B)

jdih.kemkes.go.id
- 68 -

b. Masalah Kesehatan Jiwa


Pasien hemofilia dan keluarganya sering kali berhadapan dengan
masalah psikososial karena menghadapi penyakit yang kronis
dan mengancam nyawa. Sekitar 60% pasien hemofilia mengalami
kecemasan, depresi, keluhan somatik, dan masalah perilaku lain
yang mengganggu. Dengan pendampingan yang tepat sejak awal,
maka pasien akan dapat dibantu agar mampu beradaptasi
dengan kondisi yang dialaminya, memiliki mekanisme adaptasi
yang lebih baik, sehingga akan memiliki penerimaan yang lebih
baik pula. Dengan demikian, pasien dapat menjalani berbagai
tata laksana yang diperlukan dengan lebih nyaman dan lebih
kooperatif, tanpa perlu mengalami problem psikologik/psikiatrik
yang cukup mengganggu, sehingga diharapkan kualitas
hidupnya pun akan menjadi lebih baik. Diperlukan
pendampingan dari dokter spesialis kedokteran jiwa dalam tata
laksana aspek psikososial, terutama yang membutuhkan
psikofarmaka. Pada pasien dan keluarga yang memiliki keluhan
masalah psikologis, dapat dilakukan skrining masalah
psikososial sebagai berikut:
1) Untuk anak sampai dengan usia 18 tahun:
a) PSC (Pediatric Symptom Checklist);
b) SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire); dan
c) CDI (Child Depression Inventory).
2) Untuk dewasa (usia lebih dari 18 tahun):
SRQ-20 (Self Reporting Questionnaire)

Selain itu penilaian terhadap kualitas hidup pasien juga dapat


dilakukan untuk menilai perlunya intervensi psikososial yang
diperlukan agar pasien serta keluarga dapat menghadapi
penyakitnya dengan lebih adaptif.

Aspek Psikososial
Dukungan psikis dan sosial perlu diberikan kepada pasien
beserta keluarganya (LoE 2a). Tenaga medis dan relawan dari
organisasi pasien hemofilia berperan memberi dukungan
psikososial berupa:
1) Bersifat terbuka dan jujur dalam semua aspek pelayanan
hemofilia;

jdih.kemkes.go.id
- 69 -

2) Menyediakan pelayanan dan support secara optimal


terutama mendengarkan dan menampung keluh kesah serta
pertanyaan dari pasien;
3) Melibatkan pasien anak–anak untuk berdiskusi mengenai
penyakit mereka supaya hubungan baik dengan tenaga
medis dapat terjalin sejak dini;
4) Mengingatkan orang tua agar tidak lupa memberikan
perhatian kepada saudara kandung pasien yang sehat;
5) Mengenali tanda awal dari depresi dan mampu membantu
pasien untuk hidup dengan hemofilia;
6) Menghimbau pasien untuk tetap produktif dan menyalurkan
hobi mereka di lingkungan kerja maupun rumah;
7) Membantu pasien, keluarganya serta komunitas untuk
mengembangkan strategi dalam mengatasi masalah fisik,
mental, emosional, dan sosial;
8) Bekerja sama dengan organisasi pasien untuk memperoleh
advokasi pelayanan hemofilia serta menyediakan edukasi
untuk keluarga dan komunitas; dan
9) Berperan aktif membantu organisasi hemofilia.

Beberapa gangguan yang mungkin timbul pada pasien hemofilia


diantaranya:
1) Gangguan Depresi
Gejala klinis utama:
a) Suasana perasaan depresi;
b) Kehilangan minat dan kegembiraan; dan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan yang mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

Gejala klinis penyerta:


a) Konsentrasi dan perhatian berkurang;
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau
bunuh diri;
f) Tidur terganggu; dan

jdih.kemkes.go.id
- 70 -

g) Nafsu makan berkurang.

Tata laksana:
Kombinasi psikoterapi dan obat antidepresan memberikan
hasil yang baik. Pilihan obat antidepresan yang dapat
diberikan yaitu:

a) Fluoksetin, rentang dosis anjuran 10-40 mg/ hari;


b) Sertralin, rentang dosis anjuran 50-150 mg/ hari; dan
c) Escitalopram, rentang dosis anjuran 20-60 mg/ hari.

2) Gangguan Cemas
Manifestasi klinik:
a) Kecemasan;
b) Ketegangan motorik; dan
c) Overaktivitas otonom (kepala terasa ringan,
berkeringat, jantung berdebar, sesak napas, keluhan
lambung, kepala pusing, mulut kering).

Tata laksana:
Psikofarmaka:
a) Sertralin, rentang dosis anjuran 25-50 mg/ hari; dan
b) Lorazepam, rentang dosis anjuran 0,5-1 mg/ hari.

Non-psikofarmaka:
a) Terapi perilaku kognitif;
b) Psikoedukasi; dan
c) Psikoterapi.

3) Gangguan Penyesuaian
Manifestasi klinik:
a) Keluhan maupun gejala gangguan suasana perasaan
depresi atau cemas atau gangguan perilaku; dan
b) Onset keluhan timbul dalam periode waktu satu bulan
setelah terpapar pada stresor yang dapat teridentifikasi.

Tata laksana:
Tata laksana non-psikofarmaka merupakan pilihan utama
pada gangguan penyesuaian yaitu berupa psikoterapi.
Namun apabila gejala semakin memberat dan tidak
mengalami perbaikan, maka dapat dipertimbangkan untuk
pemberian antidepresan maupun ansiolitik.

jdih.kemkes.go.id
- 71 -

c. Kesehatan Gigi dan Mulut


Penderita hemofilia harus memiliki kebersihan gigi dan mulut
yang baik untuk mencegah penyakit periodontal dan karies gigi
karena dapat menjadi predisposisi terjadinya perdarahan pada
gusi.

Pemeliharaan gigi secara teratur dimulai sejak gigi susu erupsi


sampai dewasa. Pasien dianjurkan menyikat gigi secara rutin 2x
sehari dengan pasta gigi yang mengandung fluoride. Pemeriksaan
rutin ke dokter gigi minimal setiap 6 bulan, mengutamakan diet
sayuran dan buah-buahan, serta membatasi makanan yang
manis.
Pertimbangan perawatan orthodonti pada pasien yang berumur
10-14 tahun untuk mencegah penyakit periodontal akibat gigi-
gigi yang berjejal. Sebelum tindakan yang menimbulkan
perdarahan seperti ekstraksi, pembersihan karang gigi, dan
anestesi lokal, perlu dikonsultasikan dengan dokter hematologi
untuk persiapan pemberian faktor pembekuan sebelum dan
setelah tindakan (lihat lampiran). Jika terjadi perdarahan
dan/atau kesulitan berbicara, menelan atau bernafas setelah
perawatan gigi, segera ke dokter hematologi/bedah mulut.

d. Rehabilitasi pada Hemofilia


Tim rehabilitasi yang antara lain terdiri dari dokter spesialis
kedokteran fisik dan rehabilitasi, fisioterapis, dan terapis
okupasi, harus menjadi bagian dari tim penanganan hemofilia.
Tujuan rehabilitasi adalah mengurangi nyeri akut,
meminimalisasi risiko perdarahan berulang, pemulihan dan
perbaikan kondisi fungsional, dan pencegahan komplikasi
muskuloskeletal sekunder dan disabilitas.

Tata laksana rehabilitasi pada hendaya akut


Panduan tata laksana hemartrosis merekomendasikan
rehabilitasi dini untuk mengontrol gejala, mencegah rekurensi
perdarahan dan kerusakan sendi dan memulihkan fungsi penuh
dan aktivitas. PRICE (Protection, Rest, Ice, Compression, Elevation,
and Rehabilitation) menjadi rekomendasi, walaupun bukti
mengenai jenis dan waktu intervensi yang tepat masih terbatas.
Tujuan proteksi dan rest setelah kejadian perdarahan akut

jdih.kemkes.go.id
- 72 -

adalah mencegah perdarahan jaringan sendi yang sudah rentan.


Proteksi sendi dilakukan dengan menghindari weight bearing dan
restriksi aktivitas hingga tanda radang membaik. Sendi yang
terkena dapat diberikan sling, splint, dan compressive bandage.
Periode non-weight bearing untuk perdarahan sendi ekstremitas
bawah dan imobilisasi untuk perdarahan sendi ekstremitas atas
direkomendasikan ketika perdarahan menetap selama lebih dari
24 jam. World Federation of Haemophilia (WFH) guidelines
merekomendasikan imobilisasi hingga nyeri mereda.
Terapi dengan es atau cryotherapy dapat dilakukan dengan
kompres es batu yang dihancurkan, gel packs, atau cryocuffs, 15-
20 menit setiap empat hingga enam jam, dengan monitor derajat
nyeri dan ketidaknyamanan. Kompresi dilakukan sesuai bentuk
sendi dan tungkai, dengan penekanan bertahap dan nyaman bagi
pasien. Ekstremitas yang terkena dielevasi saat duduk atau
terlentang. Setelah terjadi hemartrosis akut, sinovium mengalami
peradangan menjadi sinovitis akut. Selama fase ini, sendi
membutuhkan proteksi dengan bidai yang dapat dibuka atau
balutan kompresif. Bidai dipasang pada fleksi 15°. Setelah 2
minggu, gerakan sendi dibebaskan 20° per minggu. Pasien harus
mengubah posisi sendi yang terkena dari posisi nyaman menuju
posisi fungsional sesegera mungkin setelah nyeri dan bengkak
mulai mereda. Latihan kontraksi otot secara isometrik tanpa
gerakan sendi diperlukan untuk mencegah atrofi otot. Latihan
lingkup gerak sendi pasif secara perlahan akan mengurangi
kontraksi sendi.
Pada fase subakut program latihan dapat ditingkatkan untuk
penguatan otot ke latihan isotonik dan latihan lingkup gerak
sendi aktif. Setelah kekuatan otot meningkat, latihan dapat
dilanjutkan dengan latihan penguatan isokinetik. Latihan
kontraksi otot secara aktif harus dilakukan untuk mencegah
atrofi otot dan keterbatasan gerakan sendi. Latihan aktif dan
proprioseptif harus dilanjutkan hingga lingkup gerak pada sendi
yang terkena menjadi fungsional dan tanda sinovitis akut hilang.

jdih.kemkes.go.id
- 73 -

Tata laksana rehabilitasi pada hendaya kronik


Artropati hemofilik kronik dapat terjadi akibat adanya darah di
dalam kartilago sendi selama hemartrosis, diperparah oleh
sinovitis kronik menetap dan hemartrosis berulang. Semakin
rusaknya kartilago, terjadi perburukan kondisi artritis yang
meliputi kontraktur, atrofi otot, atau deformitas angular. Tujuan
tata laksana adalah memperbaiki fungsi sendi, meredakan nyeri,
dan membantu pasien melanjutkan aktivitas kehidupan sehari-
hari.
Keterbatasan gerak sendi dan atrofi otot berat adalah komplikasi
utama pasien dengan artropati kronik. Rehabilitasi harus
dilakukan setiap hari, sesuai toleransi pasien, bersifat individual,
dan meliputi empat program latihan utama yaitu fleksibilitas,
penguatan, proprioseptif, serta aerobik. Latihan lingkup gerak
sendi dilakukan secara aktif. Latihan penguatan dilakukan
secara isotonik. Latihan fleksibilitas dan proprioseptif diberikan
secara bertahap. Pada sinovitis kronik, latihan penguatan otot
kuadriseps dilakukan dengan intensif. Latihan di air atau
hidroterapi dilaporkan menurunkan derajat nyeri lebih besar
secara bermakna dibandingkan kelompok latihan di darat dan
kelompok kontrol. Hidroterapi dan latihan di darat sama
efektifnya dalam meningkatkan fleksibilitas sendi.
Pada fase kronik, dapat diberikan terapi modalitas (terapi panas
superfisial dan dalam). Terapi laser tiga kali seminggu dilaporkan
efektif dalam menurunkan nyeri, meningkatkan kapasitas
fungsional, dan memperbaiki performa berjalan pada anak
dengan artropati hemofilik. Sendi target dapat diproteksi dengan
brace atau splint selama melakukan aktivitas fisik. Terapi
tambahan seperti compressive bandage dan penggunaan alat
bantu jalan dapat diberikan. Pasien dianjurkan untuk
menggunakan alas kaki khusus yang memiliki bantalan yang
baik, arch support dan ruang yang cukup untuk jari kaki sehingga
mengurangi risiko perdarahan. Casting serial dapat membantu
memperbaiki deformitas. Alat bantu jalan membantu
menurunkan tekanan pada sendi penumpu beban. Latihan
fungsional dan adaptasi lingkungan memungkinkan partisipasi
di masyarakat dan menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari.

jdih.kemkes.go.id
- 74 -

Jika tata laksana konservatif tidak berhasil mengurangi nyeri dan


memperbaiki fungsi, intervensi bedah dapat dipertimbangkan.
Sebuah telaah sistematis melaporkan bahwa rehabilitasi dengan
hidroterapi dan latihan penguatan secara bermakna
meningkatkan status kesehatan sendi, lingkup gerak sendi, dan
nyeri dibandingkan pasien tanpa intervensi. Tidak ada efek
samping seperti perdarahan yang dilaporkan akibat latihan.
Latihan fungsional seperti berjalan dengan jentera dan latihan
dengan partial weight-bearing dilaporkan lebih efektif daripada
latihan statis untuk meningkatkan kekuatan otot. Beberapa studi
menggunakan faktor profilaksis sebelum latihan dan beberapa
studi lainnya hanya menggunakan subjek dengan hemofilia
moderat. Keamanan latihan terapetik belum dibuktikan pada
hemofilia berat.
Edukasi terhadap pasien hemofilia sangat penting dalam
aktivitas sehari-hari. Prinsip aktivitas fisis pada hemofilia adalah:
1) Aktivitas fisik diperlukan untuk memajukan kebugaran fisik
dan perkembangan neuromuskular dengan penekanan pada
kekuatan otot, koordinasi, kebugaran umum, fungsional,
dan kepercayaan diri, sehingga aktivitas fisik dapat
membantu mengurangi perdarahan sendi dan
meningkatkan kualitas hidup.
2) Untuk pasien dengan disfungsi muskuloskeletal signifikan,
aktivitas weight-bearing dapat memajukan perkembangan
dan memelihara densitas tulang.
3) Olahraga dapat dirutinkan seperti, renang, berjalan, golf,
badminton, bersepeda, dayung, dan tenis meja. Hindari
aktivitas fisik yang menyebabkan trauma dan olahraga
dengan kontak fisik (kontak badan).
4) Pasien sebaiknya konsultasi dengan dokter sebelum
menjalankan aktivitas fisik untuk mempersiapkan
pelindung, profilaksis, dan persiapan sebelum aktivitas fisik
terutama pada pasien yang memiliki masalah sendi.
5) Sendi yang bermasalah harus dilindungi dengan braces atau
splints selama aktivitas.
6) Pemberian profilaksis dianjurkan sebelum melakukan
aktivitas berisiko tinggi cedera. Karena itu, profilaksis

jdih.kemkes.go.id
- 75 -

penting diberikan sebelum melakukan aktivitas fisik,


tergantung pada level aktivitas faktor koagulasi. Level >5%
adalah nilai standar untuk aktivitas kehidupan sehari-hari,
sedangkan level >15% direkomendasikan sebelum
melakukan aktivitas olahraga. Level 20-40%
direkomendasikan sebelum melakukan terapi Latihan.
7) Menjadi anggota hemophilia camp.
The National Hemophilia Foundation membagi ke dalam 5
kategori (tabel 15) untuk berbagai olahraga dan aktivitas
khusus yang berhubungan dengan manfaat dan risiko bagi
penderita hemofilia, serta keterangan tentang berbagai
aktivitas spesifik yang mencerminkan pedoman medik.

Tabel 15. Kategori olahraga bagi penderita hemofilia


Kategori Risiko Contoh olahraga
1 Aman dan Latihan dalam air
direkomen (akuatik/hidroterapi), panahan,
dasikan memancing, golf, mendaki, tai
chi, berlayar, snorkeling, sepeda
statis, renang, jalan kaki
1,5 Aman Bersepeda, latihan sirkuit,
sampai pilates, alat mendayung,
risiko treadmill, angkat berat
sedang
2 Risiko Aerobics, bowling, cardio
sedang kickboxing, dance, jogging/lari,
(manfaat lompat tali, menyelam
sering rekreasional, panjat tebing,
mengalahk sepatu roda, mendayung, tenis,
an risiko) yoga
2,5 Risiko Baseball/softball, bola basket,
sedang bermain kano/kayak/arung
sampai jeram, pemandu sorak, downhill
berat/baha skiing, gymnastics, berkuda, ice
ya skating, jet skiing, beladiri
(karate/kung fu/tae kwon do),

jdih.kemkes.go.id
- 76 -

(bermanfaa sepeda gunung, racquetball,


t tetapi scuba diving, skateboarding,
beberapa sepak bola, selancar, voli, ski air
aktivitas
berisiko
tinggi yang
harus
dihindari)
3 Berbahaya balap sepeda BMX, tinju,
(tidak menyelam kompetitif, football,
direkomen hockey, balap motor, panjat
dasikan tebing (outdoors), rodeo, rugby,
untuk trampolin, weightlifting/power
mereka training, gulat
dengan
gangguan
perdaraha
n)

Rekomendasi Rehabilitasi Muskuloskeletal


Rehabilitasi merupakan bagian aktif tata laksana
perdarahan sendi akut (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B)

e. Peran orthosis dan modalitas pada hemofilia


Pada pasien hemofilia, alat bantu orthosis dapat berfungsi
sebagai perlindungan dari goncangan, mengurangi nyeri,
mengendalikan gerakan sendi, meningkatkan ambulasi,
memperlambat artropati, membatasi gerak sendi yang sakit, dan
meningkatkan kenyamanan saat berjalan. Selain itu, peralatan
ini juga meningkatkan kualitas hidup pasien hemofilia dengan
gangguan sistem muskuloskeletal dan mencegah trauma dari
aktivitas sehari-hari. Karakteristik alat bantu ini sangat
bervariasi tergantung dari sendi yang terkena dan terbagi menjadi
dua jenis, yaitu statis dan fungsional. Ortosis untuk pasien
hemofila terdiri dari berbagai jenis, antara lain bebat/bidai, insert
dalam sepatu, Ankle Foot Orthosis (AFO), atau sepatu ortopedik.

jdih.kemkes.go.id
- 77 -

Sebagai contoh, pada anggota gerak pada tungkai atas yang


memegang peran sebagai unit fungsional untuk menggenggam
atau merebut benda, sendi yang paling sering mengalami
gangguan pada pasien hemofilia adalah sendi siku dan bahu yang
bila terjadi cedera membutuhkan imobilisasi, stabilisasi,
perlindungan, serta bila telah terjadi disabilitas dibutuhkan
pendampingan untuk mengembalikan fungsinya.
Di sisi lain, tungkai bawah yang memegang peranan untuk
gerakan ambulasi, seperti sendi lutut, pergelangan kaki, dan
panggul juga dapat bermasalah pada pasien hemofilia. Sepatu
khusus memiliki bagian yang menyamankan kaki (shoe insole)
sehingga dapat mengurangi rasa nyeri dan dibutuhkan untuk
menjaga kestabilan sehingga mencegah trauma lebih lanjut.
Crutches dan alat yang membantu untuk jalur berjalan (walking
frame) digunakan untuk mengembalikan gait yang normal.
Penanganan perdarahan akut, sinovitis kronik, dan artropati
kronik menggunakan berbagai macam teknik seperti, hidroterapi,
panas, es, stimulasi saraf secara elektrik, ultrasound diatermi,
dan laser, untuk mengurangi nyeri dan mengembalikan fungsi.

f. Peran hidroterapi pada pasien hemofilia


Karakteristik air yang secara dramatis menurunkan risiko stress-
related injuries. Melakukan aktivitas fisik dalam air dapat
membangun kekuatan, kelincahan, ketahanan tanpa mencederai
sendi, otot, dan tulang. Hidroterapi seperti, renang dengan
intensitas ringan (light swimming) saat ini digunakan untuk salah
satu terapi latihan pada pasien dengan hemofilia karena
manfaatnya dalam menjaga kesehatan otot dan sendi terutama
juga mempertahankan berat badan pasien sehingga risiko
trauma dapat dikurangi. Pasien hemofilia yang memulai
hidroterapi dilakukan anamnesis awal untuk menentukan
masalah pasien, seperti gangguan Range Of Motion (ROM), nyeri
pada sendi, atau keterbatasan pada sendi. Dari berbagai
penelitian, evaluasi efektivitas hidroterapi dengan diikuti
rehabilitasi latihan yang regular dapat membantu menurunkan
nyeri dan meningkatkan ROM.

jdih.kemkes.go.id
- 78 -

g. Tata laksana rehabilitasi pada hemofilia terkait perkembangan


anak
Usia bayi (0-1 tahun)
Selama 12 bulan pertama kehidupan, banyak anak dengan
hemofilia mengalami memar akibat handling sehari-hari. Memar
harus dimonitor saat mandi atau mengganti popok, dan dapat
ditata laksana dengan kompres es dan akan hilang dengan
sendirinya setelah beberapa minggu. Jika memar semakin lebar
dalam beberapa jam, anak harus dibawa ke ahli hematologi dan
membutuhkan penanganan lebih lanjut.
Sekitar usia 6 bulan, mobilitas anak meningkat karena dapat
berguling, duduk atau merangkak. Perdarahan dapat dicegah
dengan menggunakan pelindung lutut dan siku serta beberapa
lapis popok. Sekitar usia 9 bulan atau lebih, anak mulai berdiri
sendiri dan belajar berjalan, sehingga terdapat tekanan pada
persendian. Perdarahan dapat terjadi pada sendi atau otot dan
tidak tampak seperti memar. Perdarahan seperti ini
membutuhkan profilaksis faktor pembekuan.
Bayi belum dapat mengungkapkan nyeri melalui verbal, sehingga
orang tua dapat mencurigai nyeri jika bayi tampak rewel,
menggigit bibir, menangis dengan frekuensi tinggi, tidak banyak
bergerak, menarik anggota tubuh dari sentuhan orang, sulit
tidur, menggosok atau menyentuh bagian tubuh yang nyeri.
Menjaga anak tetap aman adalah hal yang harus diperhatikan
oleh orang tua. Kejadian jatuh dapat dicegah dengan
menggunakan pagar pengaman di tangga, tidak menggunakan
walker, menggunakan jaring pengaman saat anak duduk di kursi
bayi/stroller/kereta belanja, dan tidak meninggalkan bayi
sendirian di meja, kursi atau ranjang tinggi. Kondisi di dalam
rumah sebaiknya dijaga agar lantai bersih dari benda-benda
kecil, outlet listrik tertutup pelindung, tirai atau kabel atau
barang berbahaya jauh dari jangkauan anak, dan tersedia kotak
P3K.

Usia prasekolah (1-5 tahun)


Masa balita adalah masa perubahan perkembangan yang cepat.
Orang tua harus menjaga anak tetap aman di masa anak menjadi

jdih.kemkes.go.id
- 79 -

sangat aktif bergerak mengeksplorasi lingkungan. Anak yang


mengalami nyeri dapat bereaksi dengan memberitahukan orang
tua, menangis keras, menjadi kurang aktif dan malas bermain,
sulit tidur, sulit makan, menolak untuk disentuh, dan
melindungi bagian tubuh yang nyeri.

Anak yang mulai mengerti dapat ditanyakan mengenai derajat


nyeri menggunakan skala nyeri visual Wong Baker Face pain
rating scale. Berikan metode rice, ice, compression, dan elevation
jika terjadi cedera. Ajak anak untuk beristirahat dengan
membaca, menonton, atau bermain sambil duduk. Cedera dapat
dicegah dengan menggunakan pelindung kepala, lutut, tumit,
dan siku saat bermain sepeda atau bergerak aktif.
Pasang pagar pelindung di depan tangga. Jangan biarkan anak
sendiri di kolam renang atau bak mandi. Gunakan tempat duduk
khusus anak saat di kendaraan. Trampolin dihindari karena
berisiko besar terhadap cedera leher dan fraktur. Anak mulai
diajarkan untuk disiplin, yaitu dengan mengontrol emosi dan
perilaku.

Usia sekolah (6-12 tahun)


Anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah tanpa
pengawasan orang tua, sehingga harus diajarkan untuk
mengidentifikasi dan tata laksana awal perdarahan. Anak mulai
dilibatkan secara aktif dalam perawatan hemofilia dengan
mengajarkannya bertanggung jawab dalam menjaga dan
menggunakan peralatan medis di rumah, membangun hubungan
dengan tenaga medis, dan mengisi logbook perawatan. Semua
dilakukan di bawah supervisi orang tua. Anak dianjurkan untuk
merawat otot dan sendinya dengan melakukan latihan rutin,
menggunakan pelindung saat latihan, menggunakan sepatu yang
tepat, mengetahui adanya pembengkakan sendi, dan merespon
terhadap perdarahan dengan metode RICE.
Anak yang mengalami nyeri dapat bereaksi dengan
memberitahukan orang tua, menjadi kurang aktif, sulit tidur atau
tidur lebih banyak, makan lebih sedikit, berjalan pincang atau
tidak menggunakan bagian tubuh yang nyeri, melindungi bagian
tubuh yang nyeri, atau menutupi adanya nyeri dari orang tua.

jdih.kemkes.go.id
- 80 -

Anak ditanyakan mengenai derajat nyeri dari skala 0 hingga 10.


Anak didorong untuk mengungkapkan keluhan yang dirasakan.
Berikan sikap positif saat anak mau mengungkapkan nyeri dan
berpartisipasi dalam perawatan dirinya. Berikan metode rice, ice,
compression, dan elevation jika terjadi cedera.
Keamanan dijaga dengan menggunakan helm dan lapisan
pelindung saat anak berolahraga seperti bersepeda, bersepatu
roda atau mengendarai skuter. Saat di dalam kendaraan, selalu
gunakan sabuk pengaman, dan sebaiknya tidak duduk di bangku
depan kendaraan.

Usia remaja (12-18 tahun)


Anak di usia remaja harus mengetahui segala informasi perihal
hemofilia yang mereka alami, dari jenis hemofilia, derajat
keparahan, jenis faktor pembekuan yang digunakan, dosis
profilaksis, adanya sendi target, dan adanya inhibitor. Anak
dengan hemofilia dapat hidup tetap aktif, termasuk melakukan
olahraga. Partisipasi anak dalam olahraga harus selalu
didiskusikan dengan tenaga medis dan penyakit anak harus
diinformasikan kepada pelatih. Jenis olahraga yang dapat
dilakukan oleh anak dapat dilihat pada pembahasan pada
subbab aktivitas fisik.
Anak remaja dapat menutupi rasa nyerinya dari keluarga. Tanda-
tanda anak yang mengalami nyeri antara lain menjadi kurang
aktif, tidur lebih banyak, makan lebih sedikit, berjalan pincang
atau tidak menggunakan bagian tubuh yang nyeri, melindungi
bagian tubuh yang nyeri, atau sulit tidur. Anak dapat
berpartisipasi aktif dalam menangani nyeri atau perdarahan
dengan melakukan RICE, menggunakan obat nyeri, dan
menghubungi ahli hematologi jika kondisi tidak membaik.
Keamanan dijaga dengan menggunakan helm dan lapisan
pelindung saat anak berolahraga, menggunakan sabuk
pengaman saat di dalam kendaraan termasuk saat anak mulai
belajar menyetir mobil.

h. Pelayanan Terpadu Hemofilia


1) Bertujuan mencegah perdarahan dan kerusakan sendi,
penanganan perdarahan yang optimal, mengatasi

jdih.kemkes.go.id
- 81 -

komplikasi muskuloskeletal, inhibitor, infeksi dan masalah


psikososial, serta mengumpulkan data registri nasional
untuk mendapatkan pemantauan longitudinal pasien-
pasien hemofilia.
2) Tim inti pelayanan terpadu hemofilia terdiri dari tenaga
medis di bidang hematologi (anak dan dewasa),
muskuloskeletal (bedah ortopedi dan rehabilitasi medik),
patologi klinik (laboratorium hemostasis), fisioterapis, terapi
okupasi, ortotis prostetis, perawat (nurse coordinator) serta
relawan atau pekerja sosial.
3) Tenaga ahli lainnya yang perlu terlibat dalam tim hemofilia
terpadu adalah dokter gigi, psikiater/psikolog, ahli genetik,
ahli penyakit infeksi, hepatologi dan imunologi serta unit
transfusi darah.
4) Evaluasi reguler perlu dilakukan setidaknya setiap 12 bulan
untuk memantau dan mengidentifikasi potensi masalah di
fase awal yang bermanfaat untuk modifikasi tata laksana.
(LoE 3) Evaluasi klinis dapat menggunakan: skor
pemeriksaan fisis WFH (skor Gilbert), Hemophilia Joint
Health Score (HJHS); Radiologis menggunakan skor
Pettersson, MRI, dan ultrasonografi; aktivitas menggunakan:
Haemophilia Activities List (HAL), Pediatric Hemophilia
Activities List (PedHAL), Functional Independence Score in
Hemophilia (FISH); Kualitas hidup menggunakan Health-
Related Quality Of Life (HaemoQoL, Canadian Hemophilia
Outcomes: Kids’ Life Assessment Tool (CHO-KLAT) (LoE 4).
5) Tugas utama tim pelayanan terpadu hemofilia adalah:
a) Menjalin koordinasi antar anggota tim dalam pelayanan
pasien hemofilia baik;
b) Melakukan penilaian (assessment) bersama terhadap
status muskuloskeletal, hematologis, dan psikososial;
c) Menerima rujukan konsultasi untuk kasus yang
ditangani oleh tenaga medis di rumah sakit yang lebih
kecil;
d) Berperan dalam edukasi pasien dan keluarga; dan
e) Mengumpulkan data yang digunakan baik untuk
kepentingan ilmiah, penyediaan obat maupun sebagai

jdih.kemkes.go.id
- 82 -

informasi kepada pemerintah.

Rekomendasi Evaluasi Muskuloskeletal


Evaluasi berkala perlu dilakukan setidaknya setiap 12 bulan
untuk memantau dan mengidentifikasi dini potensi masalah
khususnya muskuloskeletal (Level of evidence 3,
REKOMENDASI C)

i. Masalah hemofilia pada pasien dewasa


Pasien hemofilia dewasa memiliki berbagai komorbiditas yang
berkaitan dengan penuaan (aging) tidak terbatas hanya pada
hemofilia. Komorbiditas pada hemofilia dapat dibedakan menjadi
terkait hemofilia dan terkait usia. Penyakit kardiovaskular
semakin sering dijumpai pada penelitian kohort pasien hemofilia
dewasa. Artropati hemofilik juga banyak dijumpai terutama pada
pasien di atas usia 40 tahun yang belum pernah mendapatkan
terapi profilaksis. Penyakit infeksi seperti hepatitis C, bersama
dengan koinfeksi HIV mempercepat progresivitas terjadinya
penyakit hati tahap lanjut. Gagal ginjal akut dan kronik lebih
sering dijumpai pada hemofilia dewasa dibandingkan populasi
umum (LoE 4). Pasien hemofilia dewasa menghadapi beberapa
komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan individu seusia
tanpa hemofilia. Siboni dkk. menemukan bahwa pasien hemofilia
dewasa mengalami kejadian hipertensi, masalah muskuloskeletal
dan hepatitis yang lebih tinggi daripada populasi normal seusia
(LoE 4).

Penyakit muskuloskeletal
Artropati merupakan komorbiditas utama pasien hemofilia
dewasa. Sekitar 50% pasien mengalami nyeri kronik harian,
terutama di sendi mata kaki. Keterbatasan aktivitas harian juga
dialami 89% pasien. Artropati hemofilik kronik dapat diatasi
dengan analgesik atau obat anti inflamasi, stimulasi saraf elektrik
transkutan atau pembedahan. Profilaksis sekunder dapat
mengurangi perdarahan dan perbaikan kualitas hidup, namun
belum ada laporan mengenai perbaikan status ortopedik. Terapi
fisik berupa latihan dapat memperbaiki keseimbangan, kekuatan

jdih.kemkes.go.id
- 83 -

otot, dan densitas kepadatan tulang. Pada pasien yang


overweight, diperlukan edukasi untuk menurunkan berat badan.
Pasien juga kadang membutuhkan program rehabilitasi.
Osteopenia/osteoporosis lebih sering dijumpai pada hemofilia
dewasa. Hemofilia A dan B dihubungkan dengan peningkatan
prevalens Bone Mineral Density (BMD) rendah (67-86%). Beberapa
parameter yang dihubungkan diantaranya: derajat hemofilia,
terapi on demand atau profilaksis, derajat artropati, infeksi
hepatitis C dan HIV, derajat aktivitas weight-bearing untuk
menurunkan risiko osteopenia/osteoporosis dan defisiensi
vitamin D (LoE 4). Pasien dianjurkan untuk meningkatkan
aktivitas yang bersifat weight-bearing. Penyebab utama
menurunnya BMD adalah artropati yang menimbulkan nyeri dan
hilangnya fungsi sendi sehingga aktivitas menurun. Profilaksis
dapat meningkatkan/mempertahankan BMD pada pasien
dengan hemofilia berat (LoE 4), melalui mekanisme peningkatan
aktivitas (LoE 4). Penurunan BMD dapat meningkatkan risiko
fraktur, yang juga dapat diturunkan dengan profilaksis jangka
panjang adekuat (LoE 4). diperlukan suplementasi kalsium dan
vitamin D, modifikasi gaya hidup, dan peningkatan latihan yang
bersifat weight-bearing. Medikamentosa berupa raloksifene,
calcitonin, teriparatide, alendronate, resedronat, ibandronate,
zolendronic acid atau denosumab dapat diberikan (LoE 4).

Penyakit kardiovaskular
Belum ada studi yang menyebutkan insiden pasti penyakit
kardiovaskular pada hemofilia dewasa. Terdapat beberapa studi
kohort yang membandingkan mortalitas hemofilia dewasa
dibandingkan populasi lelaki umum dan menemukan rasio
kematian < 1,0 (LoE 1b), namun kohort Soucie dkk.(LoE 2b) di
Amerika Serikat menemukan rasio kematian 3,0 (95% IK: 1,5-
5,8). Hipertensi, overweight, obesitas banyak ditemukan pada
pasien hemofilia dewasa (LoE 4). Sampai saat ini belum ada
panduan tata laksana penyakit kardiovaskular pada hemofilia
dewasa, yang umumnya memerlukan obat-obatan anti-
hemostatik sehingga meningkatkan risiko perdarahan dan
memerlukan terapi pengganti intensif. Fibrilasi atrial pada

jdih.kemkes.go.id
- 84 -

hemofilia dewasa ditata laksana menggunakan terapi


antitrombotik berdasarkan kadar FVIII/IX (LoE 4).

Masalah neurologis dan psikiatrik


Risiko perdarahan intrakranial meningkat di atas usia 40 tahun.
Keterlambatan diagnosis dan tata laksana mengakibatkan
kerusakan neuron, sekuele neurologi dan retardasi psikomotor
dan palsi serebral. Pada hemofilia dewasa > 40 tahun, 5%
memiliki gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson,
epilepsi, dan demesia (LoE 4). Berbagai faktor dapat
meningkatkan risiko depresi pada pasien hemofilia. Iannone dkk.
menemukan bahwa sepertiga pasien hemofilia dewasa memenuhi
kriteria depresi dan menyarankan skrining depresi perlu
ditambahkan dalam tata laksana komprehensif hemofilia untuk
meningkatkan luaran secara umum dan kepatuhan pengobatan
(LoE 3b). Gangguan neuropsikiatrik perlu menjadi perhatian
terkait infeksi HIV pada pasien hemofilia, yaitu HIV-Associated
Neurocognitive Disorders (HANDs).

Masalah gaya hidup


Selain aktivitas fisik yang harus ditingkatkan pada pasien
hemofilia, disfungsi seksual perlu menjadi perhatian. Kondisi ini
dapat dieksaserbasi oleh nyeri sendi, berkurangnya ruang gerak
sendi dan rasa takut terjadi perdarahan (LoE 4). Selain itu dapat
diperberat akibat nyeri kronik, perdarahan berulang, infeksi HIV
dan hepatitis C, dan efek samping seksual dari pengobatan (misal
opioid). Sildenafil, vardenafil dan tadalafil direkomendasikan
untuk pasien hemofilia dewasa dengan disfungsi seksual, dan
hanya tadalafil yang direkomendasikan untuk tata laksana
kronik.

Penyakit hati
Komplikasi hati yang sering dijumpai pada pasien hemofilia
adalah infeksi hepatitis C, sirosis hati, karsinoma hepatoselular
dan koinfeksi HIV. Pasien hemofilia memiliki 16,7 kali risiko
kematian dibandingkan populasi normal, dan risiko 5,6 kali lebih
tinggi untuk terjadinya kanker hati. Sebelum purifikasi
konsentrat faktor, hampir 80-90% pasien terinfeksi hepatitis C.
Pemantauan pasien dapat dikerjakan menggunakan

jdih.kemkes.go.id
- 85 -

pemeriksaan laboratorium, fungsi hati dan hitung trombosit


harus dikerjakan dua kali setahun; PT dan alfa fetoprotein
setahun sekali; elastografi transien setiap 2 tahun dan
ultrasonografi setiap 3 tahun. Baku emas diagnosis adalah
menggunakan biopsi hati. Namun biopsi hati merupakan
pemeriksaan yang invasif dan penyandang hemofilia memiliki
peningkatan risiko perdarahan akibat gangguan koagulasi dan
koagulopati terkait penyakit hati kronik. Namun jika
pemeriksaan non invasif tidak konklusif dan biopsi hati sangat
dibutuhkan, harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu oleh ahli
hematologi sebelum dilakukan biopsi.
UK Haemophilia Centre Doctors’ Organisation (UKHCDO) telah
menerbitkan panduan tata laksana pasien hemofilia dengan
infeksi hepatitis C (LoE 4). Pasien yang menderita koinfeksi HIV
dan HCV berisiko 2 kali lipat terjadi sirosis dan progresivitasnya
lebih cepat untuk terjadinya gagal hati. Karsinoma hepatoselular
dikaitkan dengan infeksi hepatitis C pada 50-57% kasus. Faktor
risikonya adalah sirosis hari, peningkatan kadar alfa fetoprotein,
hepatitis C aktif, usia > 45 tahun saat diagnosis dan usia lebih
tua saat infeksi hepatitis C. Diagnosis dapat ditegakkan
menggunakan CT scan dengan kontras atau MRI. Hepatektomi
parsial direkomendasikan jika diagnosis cukup dini dan jaringan
hati sehat masih dapat diselamatkan. Tumor yang berukuran
sangat kecil dan tidak dapat direseksi dapat diatasi dengan
percutaneous radiofrequency ablation. Transplantasi hati adalah
terapi kuratif untuk pasien hemofilia dan penyakit hati tahap
akhir yang terinfeksi hepatitis C dan/atau HIV. Namun demikian,
transplantasi dibatasi oleh kurangnya donor, usia tua, koinfeksi
HIV dan karsinoma hepatoselular multifokal.

Infeksi HIV dan HCV


Sebelum diperkenalkannya produk viral inactivated plasma
derived factor tahun 1985, infeksi HCV dan HIV banyak dijumpai
pada pasien hemofilia dewasa. Suatu database dari UK
Haemophilia Centre Doctors’ Organisation tahun 1977-1998
menunjukkan bahwa infeksi HCV terjadi pada lebih dari 90%
pasien (total 7250), dan 1246 pasien terinfeksi HIV. Pasien

jdih.kemkes.go.id
- 86 -

hemofilia dengan HIV memiliki mortalitas 0-9% per tahun, dan


meningkat mencapat 10% pada 1993-1996, sebelum akhirnya
turun ke 5% saat ditemukannya terapi pada tahun 1997-1999
(LoE 1b). Pasien hemofilia yang terinfeksi HIV harus diterapi
dengan terapi antiretroviral yang juga memiliki efek samping
kardiovaskular terkait inhibitor protease (LoE 1b-1a).
Suatu studi retrospektif pada 863 pasien yang terinfeksi HCV
dengan gangguan perdarahan yang diturunkan, di Belanda dan
Inggris dengan median follow-up selama 31 tahun, menujukkan
bahwa 19% pasien sembuh spontan, 81% menjadi kronik. Dari
pasien yang terinfeksi kronik, 13% mengalami End-Stage Liver
Disease (ESLD), dan 3% menjadi karsinoma hepatoselular.
Koinfeksi dengan HIV semakin meningkatkan replikasi virus dan
inflamasi hepatik, mempercepat progresivitas terjadinya ESLD
(insiden kumulatif 14% vs. 2-6%) dan kematian akibat gagal hati.
Tata laksana hepatitis C bertujuan untuk membersihkan virus
dan mencegah progresi ke sirosis dan ESLD. Interferon dan
ribavirin memiliki angka remisi sebesar 40% pada pasien
hemofilia. Pasien yang telah menderita sirosis sebelum HCV
teratasi tetap berisiko mengalami karsinoma hepatoselular dan
memerlukan pemantauan ultrasonografi dan alfa-fetoprotein
berkala.
Saat ini belum ada rekomendasi terkait penggunaan obat
antivirus hepatitis C yang lebih baru, yaitu golongan Direct
Antiviral Agent (DAA) seperti sofosbuvir, daclatasvir atau
ledipasvir. Namun sebuah penelitian oleh Walsh dkk pada tahun
2017 menunjukkan bahwa penggunaan sofosbuvir-ledipasvir dan
sofobuvir-ribavirin pada pasien dengan gangguan koagulasi
bawaan (termasuk hemofilia) cukup efektif dan aman. Sustained
Viral Response (SVR) tercapai pada 99% pasien dalam 12 minggu.

F. Perkembangan terapi pada hemofilia


1. Terapi gen
Terapi gen dapat membantu produksi endogen defisiensi faktor-faktor
koagulasi tanpa perlu pemberian faktor-faktor tersebut secara
intravena. Berbagai macam teknologi telah digunakan, seperti pada
terapi gen ex vivo di mana sel dari resipien yang diinginkan ditransfer

jdih.kemkes.go.id
- 87 -

ke medium tertentu dan dimodifikasi untuk mengeluarkan faktor VIII


atau IX; setelah itu ditanam kembali.
Vektor yang mengkode faktor VIII atau IX juga dapat dimasukkan
secara langsung ke dalam resipien. Vektor ini menggabungkan faktor
VIIa (protein yang pada pasien defisiensi faktor VIII dan IX telah
toleransi secara imunologi). Terlepas dari metode yang digunakan,
tujuan terapi gen tidak harus merestorasi faktor mencapai nilai
normal; konversi dari hemofilia berat ke ringan sudah cukup untuk
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Penelitian-penelitian awal
pada pasien hemofilia dengan jumlah subyek terbatas menunjukkan
efektivitas dan feasibility dari terapi gen, seperti:
a. Hemofilia A. Suatu studi menunjukkan dari 6 pasien dengan
hemofilia yang diterapi menggunakan sistem gen non-virus
dimana fibroblas kulit pasien tersebut di-transfected dengan
plasmid untuk mengekspresikan faktor VIII dan dimasukkan ke
dalam omentum. Hasilnya menunjukkan tidak adanya efek
samping atau inhibitor, kadar faktor VIII dalam plasma
meningkat 4x dari kadar awal sehingga mengurangi perdarahan
selama 10 bulan observasi; dan
b. Hemofilia B. Berbagai penelitian telah mengevaluasi transduksi
gen adenovirus untuk membentuk faktor IX. Satu penelitian
menunjukkan 10 pasien hemofilia B yang diberikan terapi
dengan tiga level dosis vector Adeno-Associated Virus Serotype 8
(AAV8) mengekspresikan codon-optimized factor IX dan kadar
faktor IX dalam plasma meningkat 1-6%.

Walaupun demikian, untuk dilakukan terapi gen perlu dipikirkan


berbagai macam faktor seperti vektor, respon neutralisasi antibodi,
respons sel T terhadap vektor virus, keamanan, dan harga. Saat ini
penelitian masih berjalan mengenai hal-hal tersebut.

2. Emicizumab
Emicizumab-kxwh (Hemlibra®, emicizumab, sebelumnya didesain
ACE910) adalah rekombinan antibodi monoklonal bispesifik
humanized yang berikatan dengan faktor IXa dan X secara simultan,
membawa kedua molekul ini bersama dan secara esensial
mensubstitusi fungsi faktor VIIIa sebagai kofaktor faktor IXa guna

jdih.kemkes.go.id
- 88 -

mengaktivasi faktor X. Penulisan kxwh dibuat oleh FDA Amerika


Serikat untuk membantu dalam pengenalan produk biologis dan tidak
memiliki arti khusus.
Emicizumab disetujui oleh FDA pada November 2017 untuk
profilaksis pada pasien dengan defisiensi faktor VIII yang memiliki
inhibitor. Rekomendasi National Hemophilia Foundation untuk
penggunaan emicizumab dapat digunakan pada pasien hemofilia A
baik dengan maupun tanpa inhibitor. Agen ini tidak efektif untuk
pengunaan kondisi akut karena dibutuhkan dosis loading untuk
mencapai keadaan stabil, sehingga pemberian FVIII profilaksis tetap
harus diberikan sampai fase loading inisial selama 4 minggu komplit.
Studi prospektif terbuka tentang emicizumab sebagai profilaksis pada
hemofilia A (HAVEN study 1-4) telah menunjukkan efektivitas terapi
emicizumab sebagai profilaksis (lihat tabel 16).

Tabel 16. Studi HAVEN 1-4 tentang emicizumab pada hemofilia

Penelitian, Desain Populasi Dosis Hasil utama


tahun studi studi Efikasi Keamanan
HAVEN 1, Uji acak 109 Loading dose: 3 Profilak 5 SAE (3
2017 fase III, (remaja mg/kg/minggu sis thrombotic
(LoE 1b) open dan selama 4 emicizu microangio
label hemofilia minggu; dosis mab vs. pathy dan
A dewasa rumatan: 1,5 tanpa 2
dengan mg/kg/minggu profilak trombosis)
inhibitor) sis
mengh
asilkan
reduksi
87%
ABR
HAVEN 2, Uji non 60 Loading dose: 3 Profilak Tidak ada
2017 acak fase (hemofilia mg/kg/minggu sis kejadian
LoE 2b 3, open A anak selama 4 emicizu trombosis
label dengan minggu; dosis mab vs.
inhibitor) rumatan: 1,5 tanpa
mg/kg/minggu profilak
ATAU 3 sis
mg/kg/2 mengh
minggu, ATAU 6 asilkan
reduksi

jdih.kemkes.go.id
- 89 -

mg/kg/4 99%
minggu ABR
HAVEN 3, Uji acak 152 Loading dose: 3 Reduks Tidak ada
2018 fase III, (remaja mg/kg/minggu i ABR reaksi
LoE 1b open dan selama 4 96% mayor
label hemofilia minggu; dosis dan
A dewasa rumatan: 1,5 97%
tanpa mg/kg/minggu pada
inhibitor) ATAU 3 kedua
mg/kg/2 lengan
minggu emicizu
mab,
dibandi
ngkan
dengan
terapi
FVIII
episodi
k
HAVEN 4, Uji non 48 (remaja Loading dose: 3 Sama Tidak ada
2017 acak fase dan mg/kg/minggu dengan reaksi
LoE 2b 3, open hemofilia selama 4 HAVEN mayor
label A dewasa minggu; dosis 1,2,3
dengan rumatan: 6
atau tanpa mg/kg/4
inhibitor) minggu

World Federation of Haemophilia tahun 2020 telah merekomendasikan


profilaksis emicizumab untuk hemofilia A dengan inhibitor. Untuk
pasien hemofilia A tanpa inhibitor emicizumab juga dapat diberikan
sebagai profilaksis, terutama pada kasus-kasus dengan akses vena
sulit sehingga pemberian faktor pembekuan intravena sulit dilakukan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama pemberian emicizumab
adalah risiko terjadinya trombosis dan mikroangiopati trombosis.
Pemantauan pasien yang mendapatkan profilaksis emicizumab
menjadi sulit karena sejumlah kecil emicizumab dalam plasma akan
mengganggu hasil pemeriksaan koagulasi. Pencegahan co-
administration dengan activated prothrombin complex
concentrate (aPCC, FEIBA®) pada dosis di atas 100 unit/kgBB dosis
total dapat mengurangi risiko ini. Bila trombosis terjadi selama co-
administration, aPCC harus dihentikan pemberiannya. Pemeriksaan

jdih.kemkes.go.id
- 90 -

faktor koagulasi juga akan dipengaruhi oleh emicizumab dan tidak


dapat digunakan untuk memantau efikasi. Kejadian thrombosis
dilaporkan dari uji klinis pada 5 pasien dari total 8 pasien yang
mendapatkan sejumlah rerata > 100U/kg/24 jam aPCC selama 24 jam
atau lebih pada pasien yang mendapatkan profilaksis emicizumab.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dipengaruhi oleh emicizumab
diantaranya: aPTT, inhibitor FVIII Bethesda assay, one stage assay
(aktivitas FVIII), Activated Clotting Time (ACT), aPTT-based activated
protein C resistance. Pemeriksaan yang tidak dipengaruhi emicizumab
diantaranya: Bethesda assay menggunakan bovine chromogenic
reagents, Thrombin Time (TT), aktivitas FX, immune-based assay,
genetic tests of coagulation factors. Pemeriksaan koagulasi global yaitu
Tromboelastografi (TEG), Rotational Thromboelastometry (ROTEM) dan
Thrombin Generation Assay (TGA) merupakan pemeriksaan yang
digunakan untuk monitoring terapi (LoE 4). Clot waveform analysis
juga dapat digunakan untuk kuantifikasi emicizumab di plasma (LoE
4).
Apabila terjadi breakthrough bleeding atau perdarahan akut pada
pasien yang telah mendapat profilaksis emicizumab, maka perlu
dilakukan penyesuaian tata laksana karena pemberian profilaksis
emicizumab akan mengubah fenotip perdarahan pasien menjadi lebih
ringan dan mengubah homeostasis. Pada hemofilia A dengan inhibitor,
perdarahan akut memerlukan pemberian rekombinan FVIIa (rFVIIa)
dengan dosis 90-120 mcg/kg sebagai dosis awal. Mayoritas
perdarahan akan teratasi setelah pemberian 1-3 dosis dengan
frekuensi maksimal adalah interval 2 jam (LoE 4). Penggunaan aPCC
untuk perdarahan akut yang telah mendapat profilaksis emicizumab
harus dihindari, dan rFVIIa adalah pilihan. Jika perlu digunakan
maka dosisnya adalah ≤ 50 IU/kg sebagai dosis awal dan tidak boleh
melebihi dosis total 100 IU/kg/hari. Durasi juga harus dibatasi
karena penggunaan ≥ 24 jam, terutama dengan dosis di atas 100
IU/kg/hari berhubungan dengan trombosis dan thrombotic micro
angiopathy (TMA). Jika pasien telah menggunakan ≥ 24 jam maka
harus diawasi semua gejala yang mengarah ke kejadian tromboemboli,
pemantauan laboratorium marker TMA (D-dimer, fragmen
prothrombin, hitung trombosit, kreatinin serum, LDH dan gambaran
darah tepi). Pemantauan dilakukan sampai 48 jam dari dosis aPCC

jdih.kemkes.go.id
- 91 -

terakhir. Untuk pasien profilaksis emicizumab tanpa inhibitor maka


pilihan tata laksana pada breakthrough bleeding adalah FVIII
konsentrat dan dosisnya mengikuti rekomendasi seperti saat pasien
dalam terapi penggantian FVIII (LoE 4).

Rekomendasi pemberian emicizumab


World Federation of Hemophilia tahun 2020 merekomendasikan
pemberian emicizumab sebagai profilaksis pada pasien hemofilia A
dengan inhibitor. (Level of evidence 1, REKOMENDASI A)

G. Komplikasi Hemofilia
1. Muskuloskeletal
Komplikasi muskuloskeletal terjadi akibat tidak terkontrolnya
perdarahan pada jaringan sekitar sendi dan otot ekstremitas. Pada
90% kasus hemofilia berat terjadi keterlibatan sistem muskuloskeletal
(Lobet et al). Perdarahan otot dan sekitar sendi akan mengakibatkan
kerusakan sendi dan otot yang apabila tidak terkendali akan berujung
pada penurunan fungsi otot, kaku dan nyeri sendi dan penurunan
kualitas hidup yang signifikan.
a) Sinovitis
Bila terjadi perdarahan sendi akut, sinovium sendi akan
mengalami inflamasi, hiperemis dan friable. Perdarahan
sendi berulang akan menyebabkan sinovium mengalami
inflamasi kronik, hipertrofi, reaktif serta mudah rapuh dan
mudah berdarah, sehingga sendi tampak membengkak (swollen)
dan menjadi lebih mudah mengalami perdarahan spontan. Sendi
yang telah mengalami perdarahan lebih dari tiga kali dalam 6
bulan disebut target joint, dan perlu mendapat perhatian khusus
karena kemungkinan besar telah terjadi sinovitis kronis. Tujuan
tata laksana sinovitis adalah deaktivasi sinovium sesegera
mungkin dan mempertahankan fungsi sendi (LoE 5),
menggunakan: faktor pembekuan yang diberikan dalam dosis
dan frekuensi yang cukup untuk mencegah perdarahan berulang
(6-8 minggu pemberian profilaksis sekunder) (LoE 2); fisioterapi
(LoE 2), penggunaan NSAID COX-2 inhibitor untuk mengurangi
inflamasi (LoE 2), penggunaan bracing fungsional yang
memungkinkan sendi untuk bergerak secara terbatas sehingga

jdih.kemkes.go.id
- 92 -

mencegah perdarahan sinovium berulang, dan sinovektomi (LoE


4).
Sinovitis kronis dapat dipastikan dengan pemeriksaan
ultrasonografi atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) sendi,
dapat terlihat perubahan sinovium dan osteokondral sendi (LoE
4). Namun pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan dengan
ultrasonografi. Sinovitis kronis dapat dipastikan dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Pada pemeriksaan USG dapat
terlihat perubahan synovium dan osteokondral sendi.
Bila dengan terapi konservatif sinovitis kronik tidak berhasil
diatasi dan tetap terjadi perdarahan berulang, maka perlu
dilakukan tindakan sinovektomi (LoE 4). Pilihan utama adalah
sinovektomi non-bedah, yaitu dengan chemical (rifampicin atau
oxytetracycline chlorhydrate) atau radioisotopic synoviorthesis
(phosphorus-32 or yttrium-90). Chemical synovectomy biayanya
lebih murah dan cukup efektif, namun membutuhkan injeksi
intraartikular berulang dan menyakitkan pasien. Suatu studi di
Korea Selatan menunjukkan prosedur ini dapat menurunkan
insiden hemarthrosis, memperbaiki gejala klinis, dan terutama
pada artropati stadium awal dapat memperlambat perburukan
secara radiologis. Pilihan utama adalah menggunakan
radioisotop yang telah terbukti sangat efektif, efek samping
minimal dan dapat dilakukan dengan rawat jalan. Pelayanan
sinovektomi dengan radioisotop membutuhkan kemampuan
memproses bahan radioaktif. Bila tindakan sinovektomi non
bedah tidak dapat dilakukan, maka pilihan lainnya adalah
sinovektomi bedah (artroskopik atau terbuka). Pada fase ini,
sinovektomi bedah bertujuan untuk mengurangi volume massa
sinovium yang reaktif dan rapuh sehingga dapat menurunkan
kekerapan perdarahan sendi akut juga memudahkan
pengendalian perdarahan akut dengan faktor pembekuan.
Sinovektomi sebaiknya dilakukan oleh tim hemofilia terpadu
yang berpengalaman.
b) Artropati hemofilik kronik
Bila sinovitis kronik terjadi dalam waktu lama disertai
perdarahan berulang tidak dapat diatasi dengan baik, akan
terjadi kerusakan sendi, atrofi otot dan berkurangnya

jdih.kemkes.go.id
- 93 -

kemampuan bergerak (range of motion), yang disebut sebagai


artropati hemofilia kronik (chronic hemophilic arthropathy).
Kondisi ini umumnya terjadi pada usia dekade kedua kehidupan.
Pada artropati kronik juga terjadi kontraktur (flexion
contractures), sehingga gerak sendi sangat terbatas dan sering
kali disertai nyeri. Bila kerusakan sendi berlanjut sinovium akan
mengalami fibrosis, sehingga bengkak dan nyeri akan berkurang
dan sendi akan mengalami proses kekakuan (ankylosing).
Diagnosis ditegakkan secara klinis dan radiologis. Pada
pemeriksaan foto polos X-Ray baru akan terlihat perubahan
osteokondral pada stadium lanjut. Pemeriksaan ultrasonografi
dan MRI tanpa kontras lebih baik dibandingkan foto X-Ray
karena mampu memperlihatkan perubahan jaringan lunak dan
osteokondral lebih dini. Pada pemeriksaan foto polos X-Ray baru
akan terlihat perubahan osteokondral pada stadium lanjut.
Pemeriksaan ultrasonografi dan MRI lebih baik dibandingkan foto
X-Ray karena mampu memperlihatkan perubahan jaringan lunak
dan osteokondral lebih dini. Selain itu dapat ditemukan
penyempitan ruang sendi (cartilage space), erosi tulang, dan
subchondral bone cysts yang akan menyebabkan permukaan
sendi kolaps dan menimbulkan deformitas angularis. Pada
stadium lanjut dapat ditemukan adanya fibrosis atau ankilosis
tulang.
Tujuan utama tata laksana artropati kronik adalah memperbaiki
fungsi gerak sendi, mengurangi nyeri, dan membantu pasien
untuk dapat menjalankan aktifitas sehari-hari sebaik mungkin.
Tata laksana artropati kronik meliputi pemberian analgetik,
terapi fisik, pemberian faktor pembekuan untuk mencegah
perdarahan berulang selama terapi fisik, koreksi deformitas sendi
secara konservatif (bracing, orthotics atau walking aids) dan
adaptasi disabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Fisioterapi
tersupervisi yang bertujuan mempertahankan kekuatan otot dan
fungsi sendi merupakan hal penting, dan profilaksis sekunder
dapat diberikan untuk mengatasi perdarahan berulang akibat
fisioterapi (LoE 2). Tata laksana bedah (sesuai kondisi klinis dan
kemampuan fasilitas medik yang tersedia) terindikasi bila tata
laksana konservatif tidak berhasil mengembalikan sistem

jdih.kemkes.go.id
- 94 -

muskuloskeletal untuk dapat menjalankan fungsi motorik dalam


kehidupan sehari-hari. Pada fase ini, tata laksana bedah
bertujuan untuk memperbaiki fungsi mobilitas pasien, dapat
berupa membebaskan kontraktur sendi (soft tissue surgery),
osteotomi rekontruksi (bone surgery) sampai pada penggantian
sendi (joint replacement).

Rekomendasi Tata laksana Artropati Kronik


MRI dan USG lebih sensitif dibandingkan X-ray untuk menilai
kerusakan sendi karena mampu memperlihatkan perubahan
jaringan lunak dan osteokondral lebih dini. (Level of evidence 4,
REKOMENDASI C)
Fisioterapi tersupervisi yang bertujuan mempertahankan
kekuatan otot dan fungsi sendi merupakan hal penting, dan
profilaksis sekunder dapat diberikan untuk mengatasi
perdarahan berulang akibat fisioterapi (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B).

Apabila tata laksana fisioterapi tersupervisi tidak mapu


mengembalikan fungsi muskuloskeletal untuk dapat
menjalankan kehidupan sehari hari maka diindikasikan tata
laksana bedah (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)

c) Pseudotumor
Pseudotumor terjadi akibat perdarahan otot atau jaringan lunak
yang tidak mendapat terapi adekuat, sehingga perdarahan yang
terjadi semakin banyak dan menekan tulang dan struktur lain di
sekitarnya. Pseudotumor sering terjadi pada tulang panjang dan
pelvis. Bila tidak diobati, pseudotumor dapat mencapai ukuran
yang sangat besar, merusak struktur neurovaskular dan
menyebabkan fraktur patologis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan klinis dan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang
dianjurkan adalah radiografi polos dan MRI tanpa kontras.
Apabila MRI tidak tersedia, makan CT dengan kontras boleh
dilakukan (LoE 4). Tata laksana meliputi pemberian faktor
pembekuan, aspirasi atau tindakan bedah sesuai keadaan klinis.
Pseudotumor ditata laksana sesuai dengan lokasi, ukuran,

jdih.kemkes.go.id
- 95 -

kecepatan pertumbuhan dan efeknya terhadap struktur di


sekitarnya. Pilihan tata laksana dimulai dari penggantian faktor
pembekuan dan pemantauan, aspirasi dan surgical ablation.
Terapi pengganti faktor selama 6 minggu direkomendasikan, dan
diikuti dengan MRI serial. JIka ukuran tumor mengecil, maka
pemberian faktor dapat diteruskan dan MRI diulang setiap 3
siklus (LoE 4). Aspirasi pseudotumor diikuti dengan injeksi fibrin
glue, embolisasi arterial, atau radioterapi dapat bermanfaat
untuk beberapa lesi. Eksisi bedah sampai amputasi diperlukan
untuk pseudotumor besar, terutama yang mengerosi tulang (LoE
4).
d) Fraktur
Meskipun jarang, pasien hemofilia terutama yang telah
mengalami artropati kronik berisiko mengalami fraktur di sekitar
sendi yang memiliki kemampuan gerak terbatas. Fraktur juga
sering terjadi akibat osteoporosis. Pencitraan pilihan bergantung
pada tulang yang terlibat, yaitu radiografi polos apabila fraktur
terjadi pada tulang apendikular dan CT pada tulang aksial. MRI
dilakukan apabila pada radiografi atau CT ada kecurigaan
hematoma intraartikular, subperiosteal, atau jaringan lunak. Bila
terjadi fraktur maka harus dilakukan imobilisasi dan
stabilisasi/fiksasi segera dan pemberian terapi faktor pembekuan
dengan target kadar plasma minimal 50% selama 3-5 hari (LoE
4). Selanjutnya dosis dapat diturunkan hingga lama pemberian
10-14 hari, sampai tulang yang mengalami fraktur lebih stabil
dan tidak terjadi perdarahan jaringan lunak di sekitarnya. Tata
laksana lainnya sesuai keadaan klinis, dengan pilihan tata
laksana secara konservatif atau bedah.

2. Infeksi Terkait Transfusi Faktor Pembekuan (Transfusion-Related


Infection)
Sekitar tahun 1980-1990an, morbiditas dan mortalitas penyakit
infeksi seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV pada pasien hemofilia
di Amerika dan Kanada cukup tinggi karena transmisi virus melalui
konsentrat faktor pembekuan yang dibuat dari plasma donor. Saat ini
proses skrining infeksi dalam pembuatan konsentrat faktor

jdih.kemkes.go.id
- 96 -

pembekuan telah jauh lebih maju dan makin banyaknya produk


rekombinan menyebabkan angka transmisi infeksi jauh lebih rendah.
Namun demikian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
yang masih banyak menggunakan kriopresipitat dan FFP/plasma
sebagai sumber faktor pembekuan, angka kejadian infeksi di atas
masih relatif tinggi. Oleh karena itu dianjurkan pemeriksaan uji tapis
rutin setiap 6-12 bulan terhadap infeksi hepatitis B, hepatitis C dan
HIV, atau bila terdapat kecurigaan secara klinis. Vaksinasi hepatitis A
dan B dasar dan ulangan sangat dianjurkan bagi semua pasien
hemofilia. Prinsip tata laksana infeksi hepatitis C pada hemofilia:
a. Penilaian pasien hemofilia dengan hepatitis C dengan serologi
anti-HCV untuk menentukan pajanan; polymerase chain reaction
(PCR) HCV pada pasien hemofilia yang positif anti-HCV;
genotyping HCV pada pasien dengan PCR HCV positif; tes fungsi
hati dan penilaian fibrosis dan arsitektur hati;
b. Terapi standar untuk pasien hemofilia dengan HCV adalah
Pegylated Interferon (PEG-INF) dan ribavirin, yang memberikan
respons virologi pada 61% pasien dengan hemofilia (LoE 1);
c. Genotip HCV I dan koinfeksi HIV dapat memberikan respons yang
kurang baik terhadap terapi anti-HCV; dan
d. Di mana eradikasi HCV tidak dapat dicapai, direkomendasikan
pemantauan secara regular (setiap 6-12 bulan) untuk mencegah
penyakit hati stadium akhir (LoE 3).

Rekomendasi Terkait Komplikasi Hemofilia


Pada pasien yang masih menggunakan kriopresipitat dan
FFP/plasma sebagai sumber faktor pembekuan diperlukan uji tapis
rutin setiap 6-12 bulan terhadap infeksi hepatitis B, hepatitis C dan
HIV, atau bila ada kecurigaan secara klinis. (Level of evidence 4,
REKOMENDASI C)
3. Inhibitor
a. Definisi dan faktor risiko
Inhibitor adalah antibodi IgG yang dibentuk oleh tubuh terhadap
terapi yang diberikan dan bersifat menetralisir FVIII atau FIX.
Pada penderita hemofilia A atau B, inhibitor langsung melawan
FVIII atau FIX sehingga dapat menetralisir atau menghambat
kemampuan untuk menghentikan perdarahan. Inhibitor lebih

jdih.kemkes.go.id
- 97 -

sering ditemukan pada hemofilia A, terutama hemofilia A berat,


dengan insiden sekitar 30%. Pada hemofilia B insidennya lebih
rendah yaitu 1-3%. Inhibitor dapat menghilang sendiri dalam
rerata kurun waktu 9 bulan pada sekitar 60% penderita,
sedangkan sisanya (40%) menetap.
Faktor genetik dan faktor lingkungan berperan terhadap
timbulnya inhibitor. Inhibitor paling sering terjadi pada
keturunan African dan Hispanic, penderita hemofilia A berat,
yang memiliki keluarga dengan antibodi FVIII. Risiko
terbentuknya inhibitor berdasarkan mutasi yang terjadi antara
lain large deletions, nonsense mutations dan inversi intron 22.
Sistem imun berperan penting dalam reaksi tubuh terhadap FVIII
atau FIX. Interaksi antara sel T dan B dan juga beberapa sinyal
protein imun telah diidentifikasi menjadi faktor penting
timbulnya inhibitor. Selain itu, Major histocompatibility complex
class II system dan polimorfism sitokin (interleukin, tumor
necrosis factor α) merupakan faktor terbentuknya inhibitor.
Pemberian terapi itu sendiri mempengaruhi timbulnya inhibitor
FVIII, antara lain pemberian pada profilaksis bedah dan paparan
intensitas tinggi FVIII (durasi dan total dosis). Sebaliknya,
profilaksis rutin dapat menurunkan risiko terbentuknya inhibitor
(LoE 2b). Tipe konsentrat faktor pembekuan darah juga berperan
dalam terjadinya inhibitor.
Penelitian Survey of Inhibitors in Plasma-Product Exposed Toddlers
(SIPPET) tahun 2016 secara acak menilai 264 anak dibawah 6
tahun dengan hemofilia dan tanpa atau minimal terapi faktor
sebelumnya untuk mendapatkan produk FVIII rekombinan atau
dari plasma (LoE 1b). Pasien diikuti selama 50 hari selama terapi
atau 3 tahun setelah randomisasi. Luaran primer yang dinilai
adalah adanya inhibitor dengan titer minimal 0,4 BU; luaran
sekunder adalah adanya inhibitor dengan titer tinggi, yaitu ≥ 5
bethesda units (BU). Dari 126 anak yang menerima FVIII
rekombinan terdapat 47 anak memiliki inhibitor (37%),
sedangkan dari 125 anak yang menerima faktor VIII dari plasma
didapatkan 29 anak memiliki inhibitor (23%, hazard ratio untuk
produk rekombinan 1,87). Inhibitor dengan titer tinggi muncul

jdih.kemkes.go.id
- 98 -

lebih sering pada kelompok anak yang diberikan FVIII


rekombinan (24 vs 16%).
Mekanisme yang dapat menjelaskan peningkatan risiko adanya
inhibitor pada anak yang diberikan produk rekombinan sampai
saat ini tidak diketahui. Produk FVIII yang didapatkan dari
plasma pada studi SIPPET mengandung VWF dan protein plasma
lainnya, juga berbeda pada modifikasi post-translasional dari
produk rekombinan yang digunakan pada penelitian SIPPET yang
dibuat dari jalur sel bukan manusia. Akan tetapi, tidak semua
produk FVIII yang berasal dari plasma mengandung VWF dan
beberapa produk FVIII dibuat dari jalur sel manusia; akibat dari
perbedaan-perbedaan ini terhadap berkembangnya inhibitor
masih belum diketahui.
Studi lain yang membandingkan produk faktor pembekuan yang
digunakan dengan risiko terbentuknya inhibitor menemukan
bahwa penggunaan rekombinan generasi kedua memiliki risiko
1,6 kali lipat terbentuknya inhibitor dibandingkan penggunaan
rekombinan generasi ketiga, akan tetapi risiko terbentuknya
inhibitor antara produk yang berasal dari plasma setara dengan
rikiko yang ditimbulkan produk rekombinan. Terdapatnya VWF
pada produk faktor pembekuan tidak berhubungan dengan risiko
terbentuknya inhibitor (LoE 2).
b. Diagnosis inhibitor pada hemofilia
Adanya inhibitor perlu dicurigai bila tidak ada perbaikan klinis
setelah terapi yang adekuat (lihat tabel 10), atau merupakan
bagian dari skrining rutin pada individu yang memiliki risiko
paling tinggi untuk timbulnya inhibitor. Insiden tertinggi
timbulnya inhibitor adalah pada 20 exposure days (ED) pertama
terhadap faktor pembekuan, kemudian menurun pada 20-50 ED,
dan setelah 50 ED risiko tersebut semakin menurun hingga
mencapai laju konstan 2-5 per 1000 pasien per tahun pada 150
ED (LoE 2b). Hal ini dapat terjadi pada pemberian on demand
maupun profilaksis. Pasien demikian disarankan untuk
menjalani skrining setiap 5 ED sampai mencapai 20 ED,
kemudian setiap 10 ED hingga pasien mencapai 50 ED, dan
setidaknya 2 kali setahun sampai mencapai 150 ED (LoE 4).
Pasien dewasa dengan >150 ED lebih jarang memerlukan

jdih.kemkes.go.id
- 99 -

skrining, namun perlu disarankan pada kondisi tertentu


misalnya: setelah pajanan intensif terhadap faktor pembekuan,
sebelum operasi mayor, atau ketika respon klinis terapi
perdarahan sub-optimal. Studi RODIN yang merupakan studi
terbesar yang melibatkan Previously Untreated Patients (PUP)
dengan hemofilia berat (n>600 pasien) menunjukkan inhibitor
terbentuk setelah median 15 ED (LoE 2b). Previously Untreated
Patients (PUP) adalah pasien hemofilia yang belum mencapai 50
ED dan merupakan pasien yang lebih berisiko untuk timbulnya
inhibitor, sedangkan Previously Treated Patients (PTP) adalah
pasien hemofilia yang telah mencapai 150 ED terhadap faktor.
Diagnosis inhibitor ditegakkan dengan pemeriksaan kadar
inhibitor faktor VIII dalam darah. The Scientific Standardization
Committee of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis telah merekomendasikan Bethesda Assay atau
Nijmegen-modified Bethesda assay untuk pengukuran inhibitor.
Prinsip dasar pemeriksaan inhibitor FVIII adalah pengukuran
akurat penurunan aktivitas FVIII dalam campuran FVIII
eksternal (plasma normal) + plasma yang diuji (konsentrasi 1:1)
yang diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370C vs. FVIII-deficient
plasma yang tidak mengandung inhibitor (LoE 4), kemudian
persentase konsentrasi FVIII residual dihitung. Satu Bethesda
Unit (BU) didefinisikan sebagai jumlah inhibitor yang
mengakibatkan aktivitas residual FVIII sebesar 50%. Skala
BU/mL pada sampel ditentukan dengan cara menginterpolasikan
persentasi aktivitas residual terhadap BU ke grafik. Hanya
persentase residual FVIII yang berada di antara 25 – 75% yang
dapat digunakan untuk menentukan level inhibitor. Nilai
inhibitor > 2 BU/mL memerlukan dilusi plasma dan hasilnya
dikoreksi dengan memperhitungkan faktor dilusi. Pemeriksaan
menggunakan metode Bethesda adalah uji yang digunakan
sebagai standar pemeriksaan inhibitor pada hemofilia A. Pada
Nijmegen-modified Bethesda assay, dilakukan standardisasi pH
dan protein dari campuran plasma, sehingga akan mengurangi
kerentanan konsentrasi FVIII dalam campuran terhadap
deteriorasi dan meningkatan spesifistas uji dengan menurunkan
angka positif palsu dalam pelaporan hasil menggunakan nilai

jdih.kemkes.go.id
- 100 -

potong 0,5 BU/mL. Diskrepansi antar laboratorium untuk kedua


pemeriksaan ini telah dilaporkan diantara 10-15% (Nijmegen-
modified Bethesda) dan 13-33% (Bethesda); (LoE 4). Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah inhibitor FVIII yang telah terikat
dengan FVIII dalam bentuk kompleks imun tidak akan terdeteksi
menggunakan Bethesda-Nijmegen assay. Deteksi inhibitor
setelah pemberian infusan FVIII pada pasien yang diduga atau
yang telah diketahui memiliki inhibitor tidak akan memberikan
hasil akurat.
Berdasarkan titernya, inhibitor F VIII <5 BU dikategorikan
sebagai inhibitor titer rendah, sedangkan >5 BU adalah inhibitor
titer tinggi. Idealnya, pemeriksaan inhibitor F VIII dilakukan
secara rutin, terutama dalam waktu 150 hari pemberian
konsentrat faktor VIII (exposure days) pada pasien anak maupun
dewasa, setelah itu setiap 6-12 bulan sekali. Pemeriksaan
inhibitor juga dianjurkan sebelum tindakan operasi dan pada
pasien yang mendapat terapi konsentrat FVIII pada 20-100
exposure days (ED) (lihat bag pembahasan inhibitor). Satu BU
menunjukkan jumlah inhibitor yang menginaktivasi 50% FVIII
yang bercampur dengan plasma pasien. Setelah inhibitor
terdeteksi, dilakukan pemeriksaan titer inhibitor kemudian
penderita dapat digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu:
1) Low titer inhibitor, low responder, bila titer inhibitor tidak
lebih dari 5 BU setelah diberikan terapi pengganti; dan
2) Low titer inhibitor, high responder, bila titer inhibitor
meningkat lebih dari 5 BU setelah pemberian terapi
pengganti.
High titer inhibitor, high responder, bila titer inhibitor lebih
dari 5 BU dan kemudian meningkat setelah diberikan terapi
pengganti.
Rekomendasi Diagnosis Inhibitor
Inhibitor harus dievaluasi pada pasien hemofilia yang tidak
mengalami perbaikan klinis dengan pemberian faktor
pembekuan standar sesuai protokol (Level of evidence 4,
REKOMENDASI C)

jdih.kemkes.go.id
- 101 -

The Scientific Standardization Committee of the International


Society on Thrombosis and Haemostasis telah
merekomendasikan Bethesda Assay atau Nijmegen-modified
Bethesda assay untuk pengukuran inhibitor. (Level of evidence
1, REKOMENDASI A)
Untuk pasien anak, uji tapis inhibitor perlu dikerjakan sekali
setiap 5 exposure days sampai 20 exposure days (ED), setiap 10
ED antara 21-50 ED, dan setidaknya dua kali dalam setahun
sampai 150 ED. Pada pasien dewasa dengan >150 ED, selain
uji tapis setiap 6-12 bulan, uji tapis dilakukan saat respon
terapi standar tidak adekuat. (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B)
Pemeriksaan inhibitor harus dilakukan sebelum pembedahan
atau jika hasil pemeriksaan saat pemulihan tidak sesuai
harapan dan ketika respon klinis perarahan sub-optimal pasca
operasi. (Level of evidence 2, REKOMENDASI B) Pemeriksaan
inhibitor juga dianjurkan sebelum tindakan operasi dan pada
pasien yang mendapat terapi intensif konsentrat FVIII lebih dari
5 hari dalam waktu 1 bulan setelah pemberian konsentrat FVIII
yang terakhir. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)

c. Tata laksana hemofilia dengan inhibitor


Penanganan penderita hemofilia dengan inhibitor, terdiri dari 3
komponen yaitu penanganan perdarahan akut, immune tolerance
induction, dan profilaksis emicizumab (lihat sub bab emicizumab).
Tata laksana perdarahan akut pada pasien dengan inhibitor,
dibedakan untuk pasien dengan inhibitor titer rendah dan
inhibitor titer tinggi meliputi:
1) Inhibitor titer rendah
High dose factor concentrates atau pemberian konsentrat
faktor pembekuan darah dosis tinggi digunakan pada pasien
dengan inhibitor titer rendah (LoE 4). Dosis yang digunakan
untuk mengontrol perdarahan akut adalah FVIII 2-3x lipat
dari biasanya (LoE 4). Perhitungan dosis dilakukan dengan
menghitung dosis yang dibutuhkan untuk
mensaturasi/menetralisir inhibitor, kemudian dosis yang
diperlukan untuk menaikkan aktivitas faktor ke kadar yang

jdih.kemkes.go.id
- 102 -

diinginkan (lihat tabel 10). Perhitungannya dapat


menggunakan rumus berikut: 2 x BB x (80 x 100 – Ht)/100
x IB. Keterangan: BB adalah berat badan dalam kilogram,
Ht adalah hematocrit, dan IB adalah titer inhibitor dalam
Bethesda Unit.
Namun demikian belum didapatkan bukti yang berkualitas
baik untuk menilai efikasi FVIII dosis tinggi untuk
mengontrol perdarahan akut. Lain halnya penggunaan dosis
tinggi FVIII untuk pembedahan yang memberikan respon
100% pada low titre, low responding inhibitor, dan 80% pada
high titre, high responding inhibitor (LoE 4). Rekomendasi
dosis FVIII adalah 50-100 IU/kg diulang setiap 8-12 jam.
Dosis F IX adalah 100-200 IU/kg setiap 12-24 jam. Respon
terapi sebaiknya dievaluasi dalam 5-7 hari.
Rekomendasi Tata Laksana Perdarahan Akut pada Hemofilia
dengan Inhibitor Titer Rendah
Tata laksana perdarahan akut pada hemofilia dengan
inhibitor titer rendah diberikan konsentrat faktor
pembekuan dosis tinggi (2-3 kali lipat dosis biasa),.
Rekomendasi dosis FVIII adalah 50-100 IU/kg diulang
setiap 8-12 jam. Dosis F IX adalah 100-200 IU/kg setiap
12-24 jam (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)

2) Inhibitor titer tinggi


Activated Prothrombin Complex Concentrates (aPCC) dan
Recombinant Human Factor Viia (rFVIIa) merupakan
bypassing agents yang digunakan pada pasien inhibitor titer
tinggi yang mengalami perdarahan akut. Factor Eight
Inhibitor Bypassing Agent (FEIBA®) sebagai APCC terbuat
dari human plasma dan terdiri dari beberapa faktor
koagulasi yaitu FVII, FIX, dan FX. APCC terbukti efektif
untuk 60–90% perdarahan otot serta pencegahan
perdarahan pada operasi mayor dan minor. Jika digunakan
lebih dari 1-2 dosis maka dapat mencapai hemostasis pada
80-100% episode perdarahan (LoE 2b). Dosis APCC yang
dianjurkan yaitu 50–100 unit/kgBB setiap 6–12 jam per
infus tergantung derajat perdarahan, dan sebaiknya

jdih.kemkes.go.id
- 103 -

pemberian tidak melebihi 5 kali dosis maksimal (maksimal


dosis 200 U/kg/hari); LoE 1b. Pemberian FEIBA Immuno
dengan dosis 5070 IU/kg memiliki efektivitas 93% dalam
mengontrol perdarahan pada 46 pasien hemofilia A dengan
inhibitor FVIII > 4 Bethesda unit, dan 3 pasien hemofilia B
(LoE 2b). Recombinant Human Factor VIIa (rFVIIa,
NovoSeven®) adalah produk sintetis yang juga diberikan
secara berkala (biasanya setiap 2-3 jam). Untuk
hemarthrosis dapat digunakan dosis rFVIIa 90 mcg/kg,
sedangkan untuk perdarahan mengancam jiwa dapat
diberikan 120 mcg/kg diberikan setiap 2-3 jam.
Recombinant human factor VIIa dosis tunggal 270 μg/kgBB
juga dilaporkan efektif mengatasi perdarahan sendi.
Penggunaan obat-obat bypassing agent memerlukan
pengetahuan dan pelatihan khusus serta sebaiknya hanya
dilakukan oleh tim hemofilia terpadu yang terlatih. Studi
FENOC (FEIBA NovoSeven Comparative) adalah studi acak,
terbuka pertama yang dilakukan untuk membandingkan
kedua bypassing agent, dan menemukan bahwa baik FEIBA
maupun rFVIIa memiliki efektivitas yang setara dalam
mengatasi perdarahan sendi (LoE 1b). Selain penggunaan
bypassing agents, terdapat studi lain yang menggunakan
highly purified porcine FVIII (pFVIII) dan menemukan bahwa
efikasi pFVIII 100% pada high responding, high titre inhibitor;
serta 60-90% pada kasus pembedahan (LoE 2b).
Rekomendasi Tata Laksana Perdarahan Akut pada Hemofilia
dengan Inhibitor Titer Tinggi
Tata laksana perdarahan akut pada hemofilia dengan
inhibitor titer tinggi menggunakan bypassing agents yaitu
aPCC 50-100 U/kgBB/6-12 jam dengan dosis maksimal
200 U/kg/hari atau rFVIIa dengan dosis 90 mcg/kg/2-3
jam untuk hemartrosis atau 120 mcg/kg/2-3 jam untuk
perdarahan mengancam jiwa. Keduanya memiliki
efektivitas setara dalam mengatasi perdarahan sendi (Level
of evidence 1b, REKOMENDASI A)

jdih.kemkes.go.id
- 104 -

3) Desmopressin (DDVP)
DDVP memiliki peranan dalam tata laksana perdarahan
minor pada hemofilia dengan inhibitor dan risiko tinggi
mutasi.
4) Recombinant porcine factor VIII (Obizur®) cukup efektif pada
kondisi perdarahan serius dan kadar titer inhibitor porcine
FVIII rendah.
5) Plasmaferesis
Plasmaferesis merupakan prosedur untuk membuang
inhibitor dari darah penderita. Biasanya dilakukan pada
keadaan yang membutuhkan penurunan cepat titer
inhibitor, contohnya sebelum operasi besar, atau
perdarahan akut yang tidak dapat dikontrol dengan
bypassing agents.
d. Immune Tolerance Induction (ITI)
Immune Tolerance Induction (ITI) didefinisikan sebagai eradikasi
inhibitor dengan pemberian antigen dosis tinggi dan atau terapi
modulasi imun. ITI adalah pemberian berkala faktor koagulasi
untuk merangsang toleransi imun perifer, dapat mengeliminasi
inhibitor pada beberapa pasien dengan kegagalan sekitar 40-
50%, namun prosedur ini membutuhkan biaya sangat mahal.
Beberapa metode ITI yang pernah dilakukan di beberapa negara
maju antara lain adalah protokol Malmo, protokol Bonn, dan
pemberian F VIII dengan dosis 25 IU/kg selang sehari, dengan
keberhasilan yang bervariasi antara 60-87. (lihat tabel 17) Dua
regimen ITI yaitu high-dose dan low-dose telah diperkenalkan.
Protokol high-dose merupakan modifikasi protocol Bonn, dengan
penggunaan FVII 100-150 IU/kg, 2 kali sehari, dengan atau
tanpa aPCC harian. Protokol modifikasi Bonn ini memiliki angka
kesuksesan mencapai 85%. Protokol low-dose merupakan
modifikasi Van Creveld/ Dutch protocol menggunakan FVIII 25
IU/kg setiap 2 hari, dan memiliki estimasi kesuksesan mencapai
85%.

jdih.kemkes.go.id
- 105 -

Tabel 17. Protokol immune tolerance induction

Protokol Bonn (LoE Protokol Malmo (LoE Protokol Van Creveld


2b) 2b) (LoE 2b)

Faktor VIII 100 Penggunaan Faktor VIII 25-50


U/Kg BID imunoabsorsi IU/Kg

FEIBA 100 U/ Kg Protein A jika titer


BID inhibitor >10 BU/mL

• Siklofosfamid 12-15
mg/Kg/hari IV X 2
hari selanjutnya 2-3
mg/kg/hari X 8-10
hari
• Faktor VIII diberikan
untuk mencapai kadar
faktor VIII sebanyak
40-100%, kemudian
infus faktor VIII setiap
8-12 jam untuk
mencapai kadar faktor
VIII 30-80%

• IVIG 2,5-5 gram IV
secepatnya setelah
pemberian infus faktor
VIII selanjutnya 0,4
gram/kg/hari selama
4-8 hari

Eradikasi inhibitor yang dapat dilakukan dengan metode lain


adalah:
1) Steroid dan sitotoksik
Pemberian prednisolone 1 mg/kg/hari selama 3 minggu
dapat mencapai respon komplit pada 30% pasien. Kombinasi
prednisolone dan siklofosfamid oral 50-150 mg/hari
berespon sekitar 70-80%. Steroid pun dapat dikombinasikan
dengan azatioprin dan vinkristin.

jdih.kemkes.go.id
- 106 -

2) Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dosis tinggi


Sekitar 30% pasien acquired hemofilia A berespon terhadap
pemberian immunoglobulin 2 gr/kg/hari selama 2-5 hari.
3) Siklosporin A.
Pemberian tunggal siklosporin A 10-15 mg/kg/hari atau
kombinasi dengan imunosupresi lainnya dapat
dipertimbangkan setelah kegagalan lini pertama.
4) Imunosupresi dan imunoadsorpsi (modified Bonn/Malmo
regimen).
Kombinasi siklofosfamid oral 1-2 mg/kg/hari, prednisolone
1 mg/kg/hari, imunoadsorpsi dosis besar selama 1-5 hari
setiap minggu, IVIG 0-3 gr/kg/hari selama 5-7 minggu dan
FVIII 100 U/kg/hari dilaporkan dapat mengontrol
perdarahan dengan cepat dan dalam 3 hari inhibitor tidak
terdeteksi dan mencapai remisi komplit sekitar 88% dengan
rata-rata 14 hari
5) Rituximab
Beberapa pasien dengan kegagalan ITI mendapatkan salvage
treatment dengan anti CD20. Pada beberapa kasus
menunjukan keberhasilan eradikasi inhibitor dengan
rituximab baik pemakaian tunggal maupun kombinasi
dengan imunosupresif lain pada pasien acquired hemofilia A
(AHA) refrakter. Keberhasilan eradikasi inhibitor dengan
rituximab dosis 375 mg/m2 setiap minggu selama 4 minggu
pada pasien AHA sudah terjadi pada tahun 2001. Pemberian
kombinasi dengan siklofosfamid pada pasien dengan titer
inhibitor > 100 BU/mL menurunkan respon parsial.
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mengurangi
keberhasilan ITI, diantaranya usia >8 tahun saat terbentuk
inhibitor, adanya inhibitor >12 bulan, titer antibodi tertinggi
>200 BU/mL, durasi antara adanya inhibitor dan ITI >2
tahun dan titer inhibitor saat memulai ITI >10 BU/mL.
Belum terdapat standar regimen untuk ITI, namun pasien
dengan risiko tersebut dipertimbangkan pemberian dosis
tinggi (F VIII 200 IU/kg/hari), dan penggunaan plasma
derived F VIII. Suatu penelitian multisenter, prospektif, acak
membandingkan penggunaan high-dose (200 IU/kg/hari)

jdih.kemkes.go.id
- 107 -

dengan low-dose (50 IU/kg, 3x seminggu) pada 115 pasien


yang memiliki “good risk profile”, dan high titre inhibitor.
Angka keberhasilan tidak berbeda antara kelompok high-
dose dan low dose, namun titer negatif lebih cepat tercapai
pada kelompok high-dose. Keberhasilan respon ITI
berdasarkan konsensus internasional didefinisikan dengan
tidak terdeteksinya titer inhibitor (0,6 BU/mL), FVII in vivo
perbaikan > 66% dari yang diharapkan, waktu paruh FVIII >
6 jam setelah periode wash out 72 jam dari infusan terakhir.
Kegagalan respon ITI didefinisikan dengan adanya
penurunan titer inhibitor <20% dalam waktu 6 bulan stelah
3 bulan pertama ITI atau respon parsial dalam 33 bulan. dan
pada pasien tersebut dipertimbangkan untuk terapi lini
kedua, yaitu mengganti F VIII dengan yang mengandung
faktor von willebrand (vWF), meningkatkan dosis atau
modulasi imun seperti terapi anti CD 20.
Rekomendasi Terapi ITI untuk Eradikasi Inhibitor
Penatalaksanaan inhibitor menggunakan immune
tolerance induction (ITI) bertujuan eradikasi inhibitor.
Protocol van Creveld (low dose) yaitu pemberian F VIII
dengan dosis 25 IU/kg selang sehari, memiliki angka
keberhasilan sebesar 85%. (Level of evidence 2b,
REKOMENDASI B)

H. Prognosis Hemofilia
1. Mortalitas
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian
terkait perdarahan pada pasien hemofilia. Gagal fungsi hati
dilaporkan sebagai penyebab kematian pada 33% penderita hemofilia
berat dan 26% penderita hemofilia ringan. Berdasarkan laporan
registri hemofilia di Amerika Serikat pada tahun 1998 sampai 2011
didapatkan 7.486 pasien hemofilia, terdiri atas 65,4% dengan
hemofilia berat, 34,6% dengan hemofilia ringan, 81,4% dengan
hemofilia A, 18,6% dengan hemofilia B. Pada hemofilia berat
dilaporkan jumlah kematian sebanyak 551 dengan penyebab
kematian yaitu penyakit hati sebanyak 33% dan perdarahan terkait
hemofilia sebanyak 14,6%. Sedangkan pada hemofilia ringan, 26%

jdih.kemkes.go.id
- 108 -

pasien meninggal karena penyakit hati dan 10,7% akibat perdarahan


terkait hemofilia.
2. Morbiditas
Hemofilia merupakan penyakit gangguan perdarahan yang diderita
seumur hidup dengan berbagai tingkat keparahan. Penyebab utama
kecacatan pada hemofilia adalah penyakit sendi kronis. Perdarahan
sendi dan artropati yang timbul bervariasi bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan adanya inhibitor. Kualitas hidup dan fungsi
fisik pada penderita dewasa hemofilia A berat dengan terapi profilaksis
lebih baik daripada kelompok tanpa profilaksis, dan penderita yang
menerima terapi on demand yang beralih menjadi terapi profilaksis.

jdih.kemkes.go.id
- 109 -

BAB IV
RANGKUMAN PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI

Rekomendasi Diagnosis
1. Pemeriksaan untuk uji penapisan pasien yang dicurigai mengalami
kelainan perdarahan adalah: hitung trombosit, BT, PT dan APTT. (Level
of evidence 1b, REKOMENDASI A)
2. Pemeriksaan radiografi sendi dapat digunakan untuk penegakan
diagnosis awal dan menentu derajat beratnya kerusakan sendi/tulang,
serta evaluasi jangka panjang. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
3. Pemeriksaan MRI merupakan standar baku dalam diagnosis kerusakan
sendi/tulang secara menyeluruh dan pemantauan (Level of evidence 1b,
REKOMENDASI A). Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan pencitraan untuk menilai kerusakan sendi
apabila tidak ada fasilitas/ kesulitan melakukan MRI. (Level of evidence
2, REKOMENDASI B)

Rekomendasi Tata Laksana


1. Pemberian faktor pembekuan mengacu pada dosis yang sesuai dengan
lokasi perdarahan (tabel 10). (Level of evidence 2, REKOMENDASI B) Jika
perdarahan berlanjut, dosis dapat diulang kedua kalinya dalam 12 jam
(hemofilia A) atau 24 jam (hemofilia B) (Level of evidence 3,
REKOMENDASI C)
2. Asam traneksamat bermanfaat untuk mengontrol perdarahan dari kulit
dan mukosa (Level of Evidence 2, REKOMENDASI B)
3. World Federation of Hemophilia tahun 2012 merekomendasikan terapi
profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi sendi, untuk
mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang normal. (Level of evidence
1b, REKOMENDASI A)
4. Pemberian profilaksis FVIII dosis rendah 10 IU/kg, 2 kali per minggu
merupakan rekomendasi tata laksana hemofilia A di negara berkembang
(Level of evidence 1b, REKOMENDASI A).
5. Pemberian profilaksis FIX dosis rendah 10-15 IU/kg, 2 kali per minggu
merupakan rekomendasi tata laksana hemofilia B di negara berkembang
(Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
6. Tata laksana episode perdarahan ringan – sedang dapat dilakukan di

jdih.kemkes.go.id
- 110 -

rumah. Untuk perdarahan sendi dan otot, pertolongan pertama yang


dapat dilakukan sebelum pemberikan faktor pembekuan adalah RICE
(Level of evidence 3, REKOMENDASI C)
7. Home treatment memberikan akses langsung terhadap faktor pembekuan
sehingga tata laksana awal lebih optimal dan dapat menurunkan nyeri,
disfungsi dan disabilitas jangka panjang serta menurunkan angka
admisi rumah sakit untuk komplikasi. (Level of evidence 3,
REKOMENDASI C)
8. Pasien hemofilia yang memerlukan tindakan operatif sebaiknya
dikonsultasikan dengan pusat tata laksana hemofilia secara
komprehensif. (Level of evidence 3, REKOMENDASI C).
9. Evaluasi preoperatif harus meliputi penapisan inhibitor dan pemeriksaan
inhibitor. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
10. Manajemen nyeri pada pasien hemofilia mengikuti alur tata laksana
nyeri. Beberapa inhibitor COX-2 dapat digunakan untuk mengurangi
nyeri artritik. (Level of evidence 2, REKOMENDASI B)
11. Rehabilitasi merupakan bagian aktif tata laksana perdarahan sendi akut
(Level of evidence 2, REKOMENDASI B)
12. Evaluasi berkala perlu dilakukan setidaknya setiap 12 bulan untuk
memantau dan mengidentifikasi dini potensi masalah khususnya
muskuloskeletal (Level of evidence 3, REKOMENDASI C)

Rekomendasi Perkembangan Terapi


World Federation of Hemophilia tahun 2020 merekomendasikan pemberian
emicizumab sebagai profilaksis pada pasien hemofilia A dengan inhibitor.
(Level of evidence 1, REKOMENDASI A)

Rekomendasi Terkait Komplikasi


1. MRI dan USG lebih sensitif dibandingkan X-ray untuk menilai kerusakan
sendi karena mampu memperlihatkan perubahan jaringan lunak dan
osteokondral lebih dini. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
2. Fisioterapi tersupervisi yang bertujuan mempertahankan kekuatan otot
dan fungsi sendi merupakan hal penting, dan profilaksis sekunder dapat
diberikan untuk mengatasi perdarahan berulang akibat fisioterapi (Level
of evidence 2, REKOMENDASI B).
Apabila tatalaksana fisioterapi tersupervisi tidak mampu mengembalikan

jdih.kemkes.go.id
- 111 -

fungsi muskuloskeletal untuk dapat menjalankan kehidupan sehari hari


maka diindikasikan tatalaksana bedah. (Level of evidence 4,
REKOMENDASI C)
3. Pada pasien yang masih menggunakan kriopresipitat dan FFP/plasma
sebagai sumber faktor pembekuan diperlukan uji tapis rutin setiap 6-12
bulan terhadap infeksi hepatitis B, hepatitis C dan HIV, atau bila ada
kecurigaan secara klinis. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
4. Inhibitor harus dievaluasi pada pasien hemofilia yang tidak mengalami
perbaikan klinis dengan pemberian faktor pembekuan standar sesuai
protokol (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
5. The Scientific Standardization Committee of the International Society on
Thrombosis and Haemostasis telah merekomendasikan Bethesda Assay
atau Nijmegen-modified Bethesda assay untuk pengukuran inhibitor.
(Level of evidence 1, REKOMENDASI A)
6. Untuk pasien anak, uji tapis inhibitor perlu dikerjakan sekali setiap 5
exposure days sampai 20 exposure days (ED), setiap 10 ED antara 21-50
ED, dan setidaknya dua kali dalam setahun sampai 150 ED. Pada pasien
dewasa dengan > 150 ED, selain uji tapis setiap 6-12 bulan, uji tapis
dilakukan saat respon terapi standar tidak adekuat. (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B)
7. Pemeriksaan inhibitor harus dilakukan sebelum pembedahan atau jika
hasil pemeriksaan saat pemulihan tidak sesuai harapan dan ketika
respon klinis perdarahan sub-optimal pasca operasi. (Level of evidence 2,
REKOMENDASI B) Pemeriksaan inhibitor juga dianjurkan sebelum
tindakan operasi dan pada pasien yang mendapat terapi intensif
konsentrat FVIII lebih dari 5 hari dalam waktu 1 bulan setelah pemberian
konsentrat FVIII yang terakhir. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
8. Tata laksana perdarahan akut pada hemofilia dengan inhibitor titer
rendah diberikan konsentrat faktor pembekuan dosis tinggi (2-3 kali lipat
dosis biasa). Rekomendasi dosis FVIII adalah 50-100 IU/kg diulang
setiap 8-12 jam. Dosis F IX adalah 100-200 IU/kg setiap 12-24 jam (Level
of evidence 4, REKOMENDASI C)
9. Tata laksana perdarahan akut pada hemofilia dengan inhibitor titer tinggi
menggunakan bypassing agents yaitu aPCC 50-100 U/kgBB/6-12 jam
dengan dosis maksimal 200 U/kg/hari atau rFVIIa dengan dosis 90
mcg/kg/2-3 jam untuk hemartrosis atau 120 mcg/kg/2-3 jam untuk

jdih.kemkes.go.id
- 112 -

perdarahan mengancam jiwa. Keduanya memiliki efektivitas setara


dalam mengatasi perdarahan sendi (Level of evidence 1b, REKOMENDASI
A)
10. Penatalaksanaan inhibitor menggunakan immune tolerance induction (ITI)
bertujuan eradikasi inhibitor. Protocol van Creveld (low dose) yaitu
pemberian F VIII dengan dosis 25 IU/kg selang sehari, memiliki angka
keberhasilan sebesar 85%. (Level of evidence 2b, REKOMENDASI B)

Recommendation for Diagnosis


1. Screening tests to identify patient with suspected bleeding disorders are:
platelet count, bleeding time (BT), prothrombin time (PT), and activated
partial thromboplastin time (aPTT) (Level of evidence 1b, GRADES A)
2. Radiology examination can be used as initial diagnosis, to assess the
severity of musculoskeletal complications, and also for the long term
evaluation (Level of evidence 4, GRADES C)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) is a gold standard examination to
diagnose and monitor the musculoskeletal complications. (Level of evidence
1b, GRADES A). Ultrasound can be used as an alternative imaging
examination to determine joint destruction if there’s no supported facilities
to perform MRI. (Level of evidence 2, GRADES B) The severity level is
assessed with HEAD-US score. (Level of evidence 2, GRADES B)

Recommendation for Treatment


1. The administration dose of clotting factor refers to the site of bleeding. (table
3.9). (Level of evidence 2, GRADES B) If bleeding persists, the second dose
could be repeated within 12 hours (hemophilia A) or 24 hours (hemophilia
B) (Level of evidence 3, GRADES C)
2. Tranexamic acid is beneficial to control skin and mucose bleeding (Level of
evidence 2, GRADES B)
3. In 2012, World Federation of Hemophilia recommends prophylaxis to
prevent bleeding and joint destruction and to preserve normal
musculoskeletal function. (Level of evidence 1b, GRADES A)
4. Prophylaxis with low dose of FVIII 10IU/kg twice a week, is recommended
for hemophilia A treatment in developing country (Level of evidence 1b,
GRADES A)
5. Prophylaxis with low dose of FIX is given 10-15 IU/kg twice week, is

jdih.kemkes.go.id
- 113 -

recommended for hemophilia B in developing country (Level of evidence 4,


GRADES C)
6. Mild to moderate bleeding episode can be treated in a home therapy setting.
Rest, Ice, Compression, and Elevation (RICE) may be used as the first aid
for bleeding in muscles and joints before clotting factor is given. (Level of
evidence 3, GRADES C)
7. Home treatment allows immediate access to clotting factor, hence optimal
early treatment resulting in decreased pain, dysfunction, and longterm
disability and decrease hospital admissions for complications. (Level of
evidence 3, GRADES C)
8. Patient with hemophilia A who needs surgery or invasive procedures is
needed to be treated in the comprehensive hemophilia treament centre.
(Level of evidence 3, GRADES C).
9. Pre-operative assessment should include inhibitor screening and inhibitor
assay. (Level of evidence 4, GRADES C)
10. Pain management in patient with hemophilia refers to the step ladder. COX-
2 inhibitors may be used for arthritic pain. (Level of evidence 2, GRADES B)
11. Rehabilitation is an active part of the management in acute joint bleeding
episodes. (Level of evidence 2, GRADES B)
12. Regular evaluation is needed to be done at least every 12 months to monitor
and identify potential roblems mainly in musculoskeletal (Level of evidence
3, GRADES C)

Recommendation for Therapeutic Development


World Federation of Hemophilia in 2020 recommends that emicizumab should
be used for regular prophylaxis in patients with hemophilia A with inhibitor, and
also can be used in patients with hemophilia A without inhibitor. (Level of
evidence 1, GRADES A)

Recommendation Related to Complication


1. MRI and ultrasound are more sensitive compare to X-ray to examine joint
destruction and will show early change in soft tissue and osteochondral
(Level of evidence 4, GRADES C)
2. Supervised physiotherapy aiming to preserve muscle strength and
functional ability is very important. Secondary prophylaxis may be
necessary if recurrent bleeding occurs as a result of physiotherapy. (Level

jdih.kemkes.go.id
- 114 -

of evidence 2, GRADES B).


Surgical procedure is indicated if physiotherapy failed to preserve
musculoskeletal functions in activity daily living. (Level of evidence 4,
GRADES C)
3. All hemophilia patients treated with cryoprecipitate or Fresh Frozen Plasma
should be screened for hepatitis B, hepatitis C, and HIV infection at least
every 6-12 months or when clinically indicated. (Level of evidence 4,
GRADES C)
4. Inhibitor should be evaluated in hemophilia patient who fails to respond
clinically to clotting factor. (Level of evidence 4, GRADES C)
5. The Scientific Standardization Committee of the International Society on
Thrombosis and Haemostasis recommend Bethesda Assay or Nijmegen-
modified Bethesda assay for inhibitor testing (Level of evidence 1, GRADES
A)
6. For children, inhibitors should be screened once every five exposure days
until 20 exposure days, every 10 exposure days between 21-50 exposure
days, and at least twice a year until 150 exposure days. For adult with
more than 150 exposure days, apart from 6-12 monthly review, screening
has to be done if any failure to respond to adequate factor concentrate
replacement therapy. (Level of evidence 2, GRADES B)
7. Inhibitor test should be assessed prior to surgery or if recovery assays are
not as expected, or when clinical response to treatment of bleeding is sub-
optimal in the post-operative period. (Level of evidence 2, GRADES B)
Inhibitor test also should be done prior to surgery and in patient who has
been intensively treated with FVIII concentrate for 5 days within 1 month
from the last dose of FVIII concentrate. (Level of evidence 4, GRADES C)
8. Management of acute bleeding in hemophilia patient with low titre inhibitor
is high dose concentrate factor (2-3 times higher than the normal dose). The
recommendation dose for FVIII is 50-100 IU/kg, repeated every 8-12 hours,
and 100-200 IU/kg every 12-24 hours for FIX. (Level of evidence 4,
GRADES C)
9. Management of acute bleeding in low titre inhibitor is bypassing agent with
active prothrombin complex concentrate (aPCC) 50-100/U/kg 6-12 hours,
with maximal dose 200 U/kg/days or recombinant factor VIIa (rFVIIa) 90
mcg/kg/2-3 hours for hemartrosis or 120 mcg/kg/2-3 hours for life-
threatening bleeding episode. The efficacy of two doses of rVIIa and one

jdih.kemkes.go.id
- 115 -

dose of aPCC has been shown to be essentially equivalet to joint bleeding.


(Level of evidence 1b, GRADES A)
10. Management of inhibitor with immune tolerance induction (ITI) is aiming to
eradication of inhibitors. Protocol van Creveld (low dose) with FVIII 25
IU/kg every day, has 85% of successful rate (Level of evidence 2b, GRADES
B)

jdih.kemkes.go.id
- 116 -

1. Skor Hemophilia Joint Health Score (HJHS)

KETERANGAN DATA PASIEN (diisi oleh dokter)

Tanggal data dimasukkan : tanggal bulan tahun


Nama pasien : ______________________________________
Tanggal lahir : tanggal bulan tahun
No rekam medis :
No ID pasien :

Pergelangan
Pergelangan
Kriteria Siku Kiri Siku Kanan Lutut Kiri Lutut Kanan Kaki
Kaki Kanan
Kiri
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
Bengkak 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang
3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak ada 0 = Tidak
ada Bengkak ada Bengkak ada Bengkak ada Bengkak
Bengkak ada Bengkak
atau atau atau atau
atau Bengkak < atau Bengkak
Durasi Bengkak < 6 Bengkak < 6 Bengkak < 6 Bengkak < 6
6 Bulan < 6 Bulan
Bengkak Bulan Bulan Bulan Bulan
1 = 1 = 1 = 1 =
1 = Bengkak > 6 1 = Bengkak
Bengkak > 6 Bengkak > 6 Bengkak > 6 Bengkak > 6
Bulan > 6 Bulan
Bulan Bulan Bulan Bulan
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
Atrofi Otot
1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
Krepitasi 0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
dalam
1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
Pergerakan
2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat
0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5
1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10
Fungsi Fleksi
2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20
3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20
0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5
Fungsi 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10
Ekstensi 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20
3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20
0 = Tidak ada nyeri pada saat pergerakan aktif
1 = Tidak ada nyeri pada pergerakan aktif, hanya nyeri pada saat penekanan dalam atau palpasi
2 = Nyeri pada pergerakan aktif
Nyeri Sendi
0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2

jdih.kemkes.go.id
- 117 -

Daniels and Worthington’s Scale:(Dengan adanya rentang pergerakan)


0 = Mempertahankan posisi melawan gravitasi dengan tahanan maksimum
1 = Mempertahankan posisi melawan gravitasi dengan tahanan sedang, tetapi gagal dengan
tahanan maksimum
Kekuatan
2 = Mempertahankan posisi melawan gravitasi atau dengan tahanan minimal
3 = Mempunyai rentang pergerakan separuh lengkap melawan gravitasi atau rentang
pergerakan lengkap tanpa gravitasi atau rentang pergerakan separuh lengkap tanpa gravitasi
4 = Terdapat atau tidak terdapat kontraksi otot

0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 4 3 3
4 4 4 4 4 4
0 = Semua kemampuan berada dlam batas normal 0
1 = Satu dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 1
Global Gait Score 2 = Dua dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 2
3 = Tiga dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 3
4 = Tidak ada satupun dari seluruh kemampuan berada dalam batas normal 4

2. Skor Gilbert
a. Patient Data
1) Age
2) Factor deficiency (VIII, IX, etc.)
3) Factor level
4) Inhibitor (Yes or No)
5) Mode of treatment
O = No, or minimal transfusion therapy
E = Episodic transfusion for most of all bleeding episodes
M = Maintenance or prophylactic therapy
(H) = Added after E or M indicates that the patient is on a
homeself-transfusion program
Example: 16: VIII: <1:NO:E(H)
A 16-year-old patient, factor VIII deficient, with a level of
less than 1%. He does not have an inhibitor and treats at
home on an episodic basis.

b. Joint Evaluation (of the nonbleeding joint)


1) Pain 0-3
2) Bleeding 0-3
3) Physical examination 0-12
4) Radiologic evaluation 0-13

jdih.kemkes.go.id
- 118 -

If the limb described requires an aid to ambulation, the following letters


should be added at the end of the evaluation:
B = Brace or orthosis
C = Cane
CR = Crutches
WC = Wheelchair

c. Pain
0: No pain
No functional deficit
No analgesic use (except with acute hemarthrosis)
1: Mild pain
Does not interfere with occupation nor with activities of daily living
(ADL)
Mar require occasional non-narcotic analgesic
2: Moderate pain
Partial or occasional interference with occupation or ADL
Use of non-narcotic medications
May require occasional narcotics
3: Severe pain
Interferes with occupation or ADL
Requires frequent use of non-narcotic and narcotic medications

d. Bleeding
This is measured by the number of minor and major hemarthroses per
year.
0 = None
1 = No major, 1-3 minor
2 = 1-2 major or 4-6 minor
3 = 3 or more major or 7 or more minor
Guidelines
Minor Major
Mild pain Pain
Minimal swelling Effusion
Minimal restriction of motion Limitation of motion
Reseolves within 24hrs of treatment Failure to respond within 24
hours

jdih.kemkes.go.id
- 119 -

e. Physical Examination
This is based on an additive score of 0-12 with 0 being a normal join
and 12 being most affected. An (S) is
added after the number if a chronic synovitis is clinically diagnosed
Swelling 0 or 2+(S)
Muscle atrophy 0-1
Axial deformity 0-2
Crepitus on motion 0-1
Range of motion 0-2
Flexion contracture 0 or 2
Instability 0-2

Guidelines
Swelling:
0 = None
2 = Present
(S) = Added after score if chronic synovitis is present

Muscle atrophy:
0 = None or minimal (<1cm)
1 = Present

Axial deformity (measured only at knee or ankle):


Knee
0 = Normal = 0-7° valgus
1 = 8-15° valgus or 0-5° varus
2 = >15° valgus or >5° varus

Ankle
0 = No deformity
1 = Up to 10° valgus or up to 5° varus
2 = >10° valgus or >5° varus

Crepitus on motion:
0 = None
1 = Present

Range of motion:
0 = Loss of 10% of total full range of motion (FROM)
1 = Loss of 10-33 1/3% of total FROM
2 = Loss of >33 1/3% of total FROM

jdih.kemkes.go.id
- 120 -

Flexion contracture:
Measured only at hip, knee, or ankle
0 = <15° FFC (fixed flexion contracture)
2 = 15° or greater FFC at hip or knee or equines at ankle

Instability:
0 = None
1 = Noted on examination but neither interferes with function nor
requires bracing
2 = Instability that creates a functional deficit or requires bracing

3. Fish Scoring Sheet

4. Akses untuk Hemophilia Activities List dapat dilihat di:


https://elearning.wfh.org/resource/hemophilia-activities-list-hal/

Akses untuk Pediatric Hemophilia Activities List dapat dilihat di:


a. Versi orangtua: https://elearning.wfh.org/resource/pediatric-
haemophilia-activities-list-pedhal-child-and-parent-version/
b. Versi anak: https://elearning.wfh.org/resource/pediatric-
haemophilia-activities-list-pedhal-children-and-teenager-version/

jdih.kemkes.go.id
- 121 -

5. Mixing Study Pada Pemanjangan APTT


Prinsip: Pemeriksaan Mixing Study bertujuan untuk mengetahui penyebab
pemanjangan PT dan APTT. Plasma pasien dicampur dengan plasma
normal dengan perbandingan 1:1, lalu dilakukan pemeriksaan PT atau
APTT pada campuran tersebut. Jika terkoreksi berarti penyebabnya adalah
defisiensi, sebaliknya jika tidak terkoreksi berarti terdapat inhibitor dalam
plasma pasien. Jika terkoreksi dengan plasma normal, dilanjutkan
pemeriksaan pada campuran plasma pasien dengan aged plasma dan
adsorbed plasma. Jika terkoreksi dengan aged plasma tetapi tidak
terkoreksi dengan adsorbed plasma, berarti yang defisien adalah faktor
koagulasi yang terdapat dalam aged plasma tetapi tidak ada dalam
adsorbed plasma. Demikian pula sebaliknya. Mixing study juga dapat
menggunakan F VIII deficient plasma dan F IX deficient plasma jika reagen
tersebut tersedia.
a. Reagen
1) Plasma normal;
2) Aged plasma;
3) Adsorbed plasma;
4) F VIII deficient plasma; dan
5) F IX deficient plasma.

b. Pembuatan aged plasma


1) Darah vena dari orang sehat dicampur dengan natrium oksalat
0,1 M dengan perbandingan 9:1;
2) Darah disentrifus dengan kecepatan 1700 g selama 10 menit.
Supernatan (PPP) dipisahkan dalam keadaan steril lalu
diinkubasi pada 37oC selama 2-3 hari;
3) Dilakukan pemeriksaan PT pada PPP tersebut, hasilnya harus >
99 detik; dan
4) Selanjutnya PPP di aliquot dalam tabung eppendorf lalu disimpan
pada suhu – 35oC atau lebih rendah.
Aged plasma kekurangan F V dan F VIII.

c. Pembuatan adsorbed plasma


1) 1 gel Al(OH)3 dicampur dengan 4mL H2O sehingga diperoleh
suspensi yang rata;

jdih.kemkes.go.id
- 122 -

2) Platelet poor plasma sitrat dari 5 orang sehat dicampur untuk


mendapatkan plasma normal kumpulan;
3) Dibuat campuran dari Al (OH)3 dan Plasma kumpulan yang telah
dihangatkan dengan perbandingan 1: 9 lalu diinkubasi pada 37oC
selama 3 menit;
4) Kemudian campuran disentrifus pada kecepatan 1700 g selama
3 menit pada suhu kamar untuk mengendapkan gel; dan
5) Supernatan di aliquot dalam tabung eppendorf dan disimpan
pada suhu -35o C tahan beberapa minggu.

Dalam adsorbed plasma terdapat kekurangan factor II, VII, IX dan X (vitamin K
dependent factors) sehingga hasil pemeriksaan PT (dengan reagen yang sensitif)
harus >60 detik. Waktu adsorbsi jangan terlalu lama karena dapat
menyebabkan hilangnya faktor koagulasi yang lain.
Faktor VIII atau faktor IX deficient plasma
Plasma ini diperoleh dari pasien hemofilia A atau B yang berat (<1 %). Plasma
dari pasien hemofilia tersebut harus mempunyai hasil PT yang normal. Plasma
tersebut dapat dilyophilized untuk penyimpanan lama atau disimpan pada suhu
– 35oC atau lebih rendah selama 3 bulan.
Pada kasus dengan pemanjangan APTT saja, F VIII deficient plasma lebih baik
dari pada aged plasma, dan F IX deficient plasma lebih baik dari adsorbed
plasma

Interpretasi.
Hasil mixing study APTT dinyatakan terkoreksi baik apabila hasil APTT
campuran dapat mengoreksi lebih dari 50% perbedaan antara APTT pasien dan
APTT kontrol, hal ini menunjukkan penyebab pemanjangan APTT adalah
defisiensi faktor.
Contoh :
APTT pasien 60 detik, kontrol 35 detik. Perbedaan 60 – 35= 25 detik. Hasil
Mixing APTT 42 detik. Koreksi 60 - 42 = 18 detik. Karena 18 > 25/2 maka
dikatakan terkoreksi baik berarti penyebab pemanjangan APTT adalah defisiensi
factor.
Jika hasil Mixing APTT 52 detik, koreksi 60 – 52 = 8. Karena 8 < 25/2 maka
dikatakan koreksi tidak baik atau tidak terkoreksi, jadi penyebabnya inhibitor.

Jika terdapat non-specific inhibitor seperti Lupus anticoagulant biasanya tidak


terkoreksi pada mixing, atau bisa terkoreksi sebagian jika titer inhibitor rendah.

jdih.kemkes.go.id
- 123 -

Jika terdapat inhibitor specifik terhadap F VIII, pada mixing study dengan
plasma normal biasanya tidak segera terkoreksi. Kadang-kadang terkoreksi
pada pemeriksaan mixing APTT yang segera (immediate) dikerjakan tetapi
memanjang jika plasma campuran diinkubasi pada 37oC selama 1 jam bersama
pemeriksaan APTT plasma pasien dan kontrol yang diinkubasi terpisah.

Defek APTT Hasil Mixing dengan Hasil Mixing dengan Hasil Mixing
plasma Aged plasma atau F Adsorbed plasma dengan Plasma
pasien VIII deficient atau F IX deficient normal
plasma
F VIII memanjang Tidak terkoreksi Terkoreksi Terkoreksi
F IX memanjang Terkoreksi Tidak terkoreksi Terkoreksi
F XI/XII memanjang Terkoreksi Terkoreksi Terkoreksi
Inhibitor memanjang Tidak terkoreksi Tidak terkoreksi Tidak terkoreksi

Faktor Koagulasi
Faktor koagulasi untuk hemofilia A dan B terdiri dari faktor koagulasi yang
berasal dari plasma (plasma derived) dan rekombinan. Konsentrat Faktor VIII
untuk hemofilia A dan faktor IX untuk hemofilia B. Berdasarkan lama kerja dan
masa paruhnya, konsentrat faktor pembekuan juga dapat dibagi menjadi tipe
standar (masa paruh 8 – 12 jam untuk faktor VIII, dan 12 – 24 jam untuk faktor
IX) dan tipe extended half-life (faktor VIII 12 – 24 jam, faktor IX 24 – 72 jam).
Untuk hemofilia A/B dengan inhibitor faktor VIII/IX, diperlukan bypassing
agent yaitu faktor VII atau kompleks prothrombin. Semua faktor koagulasi ini
harus diberikan secara intravena.
Saat ini yang tersedia di Indonesia:
Kandungan Indikasi Merk dagang Keterangan
Faktor VIII Hemofilia A Koate DVI Plasma derived, standard half life
Hemoctin
Octanate
Beriate
Faktor IX Hemofilia B Octanine Plasma derived, standard half life
21;.l=tg-hyrF Hemofilia A/B Novoseven rekombinan
VIIa dengan inhibitor
Prothrombin Hemofilia A/B Octaplex Plasma derived
complex dengan inhibitor
concentrate
(PCC)

jdih.kemkes.go.id
- 124 -

BAB V
SIMPULAN

A. Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang bersifat


herediter, terdiri dari hemofilia A dan hemofilia B.
B. Semua anak dengan keluhan mudah memar dan perdarahan tanpa sebab
harus dicurigai sebagai hemofilia.
C. Diagnosis pasti hemofilia menggunakan pemeriksaan aktivitas FVIII dan
FIX (factor assay).
D. Pemeriksaan radiologis seperti MRI dan USG bermanfaat sesuai indikasi
untuk diagnosis dan pemantauan kondisi musculoskeletal.
E. Terapi baku emas pada hemofilia saat ini adalah pemberian faktor
koagulan yang berasal dari plasma derived dan rekombinan sebagai
replacement therapy.
F. Profilkasis dosis rendah dengan dosis 10 IU/kg/minggu direkomendasikan
untuk tata laksana hemofilia A di negara berkembang.
G. Perkembangan terapi hemofilia terus berjalan, salah satunya adalah
pemberian emicizumab pada kasus hemofilia A dengan inhibitor.
H. Prinsip tata laksana hemofilia harus bersifat multidisiplin sehingga
membantu pasien mendapat tata laksana yang optimal, mencegah
disabilitas, dan mencapai kualitas hidup yang maksimal.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI G. SADIKIN

jdih.kemkes.go.id
- 125 -

DAFTAR PUSTAKA

1. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von Willebrand disease.
In: Nathan and Oski’s hematology of infancy and childhood Dalam: Nathan
DG, SH O, penyunting. 6th ed. Tokyo: WB Saunders Company; 2003. p.
1631–69.
2. Friedman KD, Rodgers GM. Inherited coagulation disorders. In: Wintrobe’s
clinical hematology Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JM, Rodgers GM,
Paraskevas F, Glader B, penyunting. 11th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004. p. 1620–7.
3. Chozie NA, Gatot D, Moeslichan MZ. Gangguan pembekuan darah yang
diturunkan : hemofilia. In: Buku ajar hematologi-onkologi Dalam:
Windiastuti E, Nency YM, Mulatsih S, Sudarmanto B, Ugrasena IDG,
penyunting. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
p. 188–95.
4. Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia. Peluncuran aplikasi
“Hemofilia Indonesia” registrasi nasional berbasis android/ Data Nasional:
langkah awal penanganan hemofilia yang efektif. World Hemophilia Day
2019; 2019 Apr 4; Borobudur Hotel Jakata.
5. Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia. Data Perkembangan Tata
laksana Hemofilia di Indonesia. World Hemophilia Day 2019. Borobudur
Hotel Jakata; 2019.
6. Chozie NA. Terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi
on-demand untuk mencegah progresivitas artropati pada anak penyandang
hemofilia berat: Kajian pada luaran klinis, skor muskuloskeletal,
ultrasonografi sendi, kadar C-terminal telopeptide of collagen type II urin
dan terbentuknya inhibitor faktor VIII. [Dissertation]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2016.
7. Chozie NA, Primacakti F, Gatot D, dkk. Comparison of the efficacy and
safety of 12-month low-dose factor VIII tertiary prophylaxis vs on-demand
treatment in severe haemophilia A children. Haemophilia. 2019;25(4):633-
9
8. Srivastava A, Santagostino E, Dougall A, dkk. WFH Guidelines for the
Management of Hemophilia, 3rd edition. Haemophilia. 2020:00:1-158
9. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) &
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI). Panduan diagnosis
dan tata laksana hemofilia. 1st ed. Jakarta: PHTDI; 2013.

jdih.kemkes.go.id
- 126 -

10. Gringeri A, Lundin B, von Mackensen S, dkk. A randomized clinical trial of


prophylaxis in children with hemophilia A (the ESPRIT Study). J Thromb
Haemost. 2011;9:700–10.
11. Valentino LA, Mamonov V, Hellmann A, dkk. A randomized comparison of
two prophylaxis regimens and a paired comparison of on-demand and
prophylaxis treatments in hemophilia A management. J Thromb Haemost.
2012;10:359–67. prophylaxis treatments in hemophilia A management. J
Thromb Haemost. 2012;10:359–67.
12. Vdouin VV, Andreeva TA, Chernoua TA, dkk. Prophylaxis with once, twice
or three-times weekly dosing of rFVIII-FS Prevents joint bleeds in a
previously treated pediatric population with moderate/severe hemophilia A
| Request PDF [Internet]. ResearchGate. [cited 2019 Apr 29]. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/286596342_Prophylaxis_with_
once_twice_or_three-times_weekly_dosing_of_rFVIII-
FS_Prevents_joint_bleeds_in_a_previously_treated_pediatric_population_wi
th_moderatesevere_hemophilia_A
13. Steen Carlsson K, Höjgård S, Glomstein A, dkk. On-demand vs.
prophylactic treatment for severe haemophilia in Norway and Sweden:
differences in treatment characteristics and outcome. Haemophilia.
2003;9:555–66.
14. Fischer K, Valentino L, Ljung R, dkk. Prophylaxis for severe haemophilia:
clinical challenges in the absence as well as in the presence of inhibitors.
Haemophilia. 2008;14 Suppl 3:196–201.
15. Aledort LM, Haschmeyer RH, Pettersson H. A longitudinal study of
orthopaedic outcomes for severe factor-VIII-deficient haemophiliacs. The
Orthopaedic Outcome Study Group. J Intern Med. 1994;236:391–9.
16. Manco-Johnson MJ, Abshire TC, Shapiro AD, dkk. Prophylaxis versus
episodic treatment to prevent joint disease in boys with severe hemophilia.
N Engl J Med. 2007;357:535–44.
17. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, dkk. Changes in
treatment strategies for severe haemophilia over the last 3 decades: effects
on clotting factor consumption and arthropathy. Haemophilia. 2001;7:446–
52.
18. Wu R, Luke K-H, Poon M-C, dkk. Low dose secondary prophylaxis reduces
joint bleeding in severe and moderate haemophilic children: a pilot study in
China. Haemophilia. 2011;17:70–4.

jdih.kemkes.go.id
- 127 -

19. Evatt BL, Austin H, Leon G, dkk. Haemophilia therapy: assessing the
cumulative risk of HIV exposure by cryoprecipitate. Haemophilia.
1999;5:295–300.
20. Oxford Centre for Evidence-based Medicine - Levels of Evidence (March
2009) [Internet]. CEBM. 2009 [cited 2018 Jan 12]. Available from:
http://www.cebm.net/blog/2009/06/11/oxford-centre-evidence-based-
medicine-levels-evidence-march-2009/
21. Marques MB, Fritsma GA. Hemorrhagic coagulation disorders. Dalam: BF
R, penyunting Hematology: clinical principles and applications. 2nd edition.
Tokyo: WB Saunders Company; 2002. p. 588–604.
22. Scott JP, Montgomery RR. Hereditary clotting factor. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting Nelson textbook of
pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2007. p. 2066–
74.
23. World Federation of Hemophilia. Carriers and women with hemophilia. In
Canada: World Federation of Hemophilia; 2012. Available from:
http://www1.wfh.org/publications/files/pdf-1471.pdf diakses pada
tanggal 8 September 2019
24. Kershaw G, Orellana D. Mixing tests: diagnostic aides in the investigation
of prolonged prothrombin times and activated partial thromboplastin times.
Semin Thromb Hemost. 2013;39:283–90.
25. Berntorp E, Shapiro AD. Modern haemophilia care. Lancet. 2012;379:1447–
56.
26. Peyvandi F, Garagiola I, Young G. The past and future of haemophilia:
diagnosis, treatments, and its complications. Lancet (London, England).
2016 Jul;388(10040):187–97.
27. Konkle BA, Huston H, Nakaya Fletcher S. Hemophilia A. In: Adam MP,
Ardinger HH, Pagon RA, Wallace SE, Bean LJ, Stephens K, et al., editors.
GeneReviews® [Internet]. Seattle (WA): University of Washington, Seattle;
1993. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1404/
28. Sarnaik A, Kamat D, Kannikeswaran N. Diagnosis and management of
bleeding disorder in a child. Clin Pediatr (Phila). 2010;49:422–31.
29. Capoor MN, Stonemetz JL, Baird JC, dkk. Prothrombin Time and Activated
Partial Thromboplastin Time Testing: A Comparative Effectiveness Study in
a Million-Patient Sample. PLoS One [Internet]. 2015;10. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4532488/

jdih.kemkes.go.id
- 128 -

30. Merskey C. The Laboratory Diagnosis of Haemophilia. J Clin Pathol.


1950;3:301–20.
31. Falay M, Senes M, Yücel D, dkk. What should be the laboratory approach
against isolated prolongation of a activated partial thromboplastin time? J
Clin Lab Anal. 2018;
32. Kitchen S, Angus M, Echenagucia M. Diagnosis of Hemophilia and Other
Bleeding Disorders: A laboratory Manual.[Internet]. Canada:World
Federation of Hemophilia;2010. [cited 2020 Jan 30]. Available from:
http://www1.wfh.org/publications/files/pdf-1283.pdf
33. Potgieter JJ, Damgaard M, Hillarp A. One-stage vs. chromogenic assays in
haemophilia A. Eur J Haematol. 2015;94 Suppl 77:38–44.
34. Mansouritorghabeh H. Clinical and Laboratory Approaches to Hemophilia
A. Iran J Med Sci. 2015;40:194–205.
35. Seuser A, Djambas Khayat C, Negrier C, dkk. Evaluation of early
musculoskeletal disease in patients with haemophilia: results from an
expert consensus. Blood Coagul Fibrinolysis. 2018;29:509–20.
36. Arnold WD, Hilgartner MW. Hemophilic arthropathy. Current concepts of
pathogenesis and management.J Bone Joint Surg Am. 1977;59:287–305.
37. Martinoli C, Della O, Di Minno G, dkk. Development and definition of a
simplified scanning procedure and scoring method for Haemophilia Early
Arthropathy Detection with Ultrasound (HEAD-US). Thromb Haemost.
2013;109:1170–9.
38. Foppen W, van der Schaaf IC, Beek FJA, dkk. Diagnostic accuracy of point-
of-care ultrasound for evaluation of early blood-induced joint changes:
Comparison with MRI. Haemophilia. 2018;24:971–9.
39. Lundin B, Manco-Johnson ML, Ignas DM, dkk. An MRI scale for assessment
of haemophilic arthropathy from the International Prophylaxis Study
Group. Haemophilia. 2012;18:962–70.
40. Cross S, Vaidya S, Fotiadis N. Hemophilic arthropathy: a review of imaging
and staging. Semin Ultrasound CT MR. 2013;34:516–24.
41. Zhang C-M, Zhang J-F, Xu J, dkk. Musculoskeletal ultrasonography for
arthropathy assessment in patients with hemophilia: A single-center cross-
sectional study from Shanxi Province, China. Medicine (Baltimore).
2018;97:e13230.
42. Sierra Aisa C, Lucía Cuesta JF, Rubio Martínez A, dkk. Comparison of
ultrasound and magnetic resonance imaging for diagnosis and follow-up of
joint lesions in patients with haemophilia. Haemophilia. 2014;20:e51-57.

jdih.kemkes.go.id
- 129 -

43. Blanchette VS, O’Mahony B, McJames L, dkk. Assessment of outcomes.


Haemophilia. 2014;20:114–20.
44. Soucie JM, Cianfrini C, Janco RL, dkk. Joint range-of-motion limitations
among young males with hemophilia: prevalence and risk factors. Blood.
2004;103:2467–73.
45. WFH eLearning Platform - Compendium of Assessment Tools [Internet].
[cited 2019 May 17]. Available from:
http://elearning.wfh.org/resource/compendium-of-assessment-tools/
46. Hilliard P, Funk S, Zourikian N, dkk. Hemophilia joint health score
reliability study. Haemophilia. 2006;12:518–25.
47. van Genderen FR, Westers P, Heijnen L, dkk. Measuring patients’
perceptions on their functional abilities: validation of the Haemophilia
Activities List. Haemophilia. 2006;12:36–46.
48. van Genderen FR, van Meeteren NLU, van der Bom JG,dkk. Functional
consequences of haemophilia in adults: the development of the Haemophilia
Activities List. Haemophilia. 2004;10:565–71.
49. Poonnoose PM, Thomas R, Keshava SN, dkk. Psychometric analysis of the
Functional Independence Score in Haemophilia (FISH). Haemophilia.
2007;13:620–6.
50. Poonnoose PM, Manigandan C, Thomas R, dkk. Functional Independence
Score in Haemophilia: a new performance-based instrument to measure
disability. Haemophilia. 2005;11:598–602.
51. Ingram GI, Dykes SR, Creese AL, dkk. Home treatment in haemophilia:
clinical, social and economic advantages. Clin Lab Haematol. 1979;1:13–
27.
52. Singleton T, Kruse-Jarres R, Leissinger C. Emergency department care for
patients with hemophilia and von Willebrand disease. J Emerg Med.
2010;39:158–65.
53. Colvin BT, Astermark J, Fischer K, dkk. European principles of haemophilia
care. Haemophilia : the official journal of the World Federation of
Hemophilia. 2008;14:361–74.
54. Evatt BL. The natural evolution of haemophilia care: developing and
sustaining comprehensive care globally. Haemophilia. 2006;12 Suppl 3:13–
21.
55. Evatt BL, Black C, Batorova A, dkk. Comprehensive care for haemophilia
around the world. Haemophilia. 2004;10 Suppl 4:9–13.

jdih.kemkes.go.id
- 130 -

56. Dunkley S, Lam JCM, John MJ, dkk. Principles of haemophilia care: The
Asia-Pacific perspective. Haemophilia. 2018;24:366–75.
57. Hermans C, De Moerloose P, Fischer K, dkk. Management of acute
haemarthrosis in haemophilia A without inhibitors: literature review,
European survey and recommendations. Haemophilia. 2011;17:383–92.
58. Farrugia A. Guide for the assessment of clotting factor concentrates, 2nd
ed. Montreal: World Federation of Hemophilia, 2008.
59. Mannucci PM. The choice of plasma-derived clotting factor concentrates.
Baillieres Clin Haematol. 1996;9:273–90.
60. Lusher JM. Recombinant clotting factor concentrates. Baillieres Clin
Haematol. 1996;9:291–303.
61. Santagostino E, Mannucci PM, Gringeri A, dkk. Transmission of parvovirus
B19 by coagulation factor concentrates exposed to 100 degrees C heat after
lyophilization. Transfusion. 1997;37:517–22.
62. Morfini M, Longo G, Rossi Ferrini P, dkk. Hypoplastic anemia in a
hemophiliac first infused with a solvent/detergent treated factor VIII
concentrate: the role of human B19 parvovirus. Am J Hematol.
1992;39:149–50.
63. Urwin P, Thanigaikumar K, Ironside JW, dkk. Sporadic Creutzfeldt-Jakob
Disease in 2 Plasma Product Recipients, United Kingdom. Emerg Infect Dis.
2017;23:893–7.
64. Burnouf T, Radosevich M. Nanofiltration of plasma-derived
biopharmaceutical products. Haemophilia. 2003;9:24–37.
65. Kasper CK, Hemophilia of Georgia, U.S.A. Protocols for the treatment of
haemophilia and von Willebrand disease. Haemophilia. 2000;6 Suppl 1:84–
93.
66. Kim HC, McMillan CW, White GC, dkk. Purified factor IX using monoclonal
immunoaffinity technique: clinical trials in hemophilia B and comparison
to prothrombin complex concentrates. Blood. 1992;79:568–75.
67. Lippi G, Franchini M. Pathogenesis of venous thromboembolism: when the
cup runneth over. Semin Thromb Hemost. 2008;34:747–61.
68. Björkman S, Berntorp E. Pharmacokinetics of coagulation factors: clinical
relevance for patients with haemophilia. Clin Pharmacokinet. 2001;40:815–
32.
69. Azzi A, De Santis R, Morfini M, dkk. TT virus contaminates first-generation
recombinant factor VIII concentrates. Blood. 2001;98:2571–3.

jdih.kemkes.go.id
- 131 -

70. Ingerslev J, Christiansen K, Ravn HB, dkk. Antibodies to heterologous


proteins in hemophilia A patients receiving recombinant factor VIII
(Recombinate). Thromb Haemost. 2002;87:626–34.
71. Abshire TC, Brackmann HH, Scharrer I, dkk. Sucrose formulated
recombinant human antihemophilic factor VIII is safe and efficacious for
treatment of hemophilia A in home therapy--International Kogenate-FS
Study Group. Thromb Haemost. 2000;83:811–6.
72. Berntorp E. Second generation, B-domain deleted recombinant factor VIII.
Thromb Haemost. 1997;78:256–60.
73. Sandberg H, Almstedt A, Brandt J, dkk. Structural and functional
characterization of B-domain deleted recombinant factor VIII. Semin
Hematol. 2001;38:4–12.
74. Négrier C, Shapiro A, Berntorp E, dkk. Surgical evaluation of a recombinant
factor VIII prepared using a plasma/albumin-free method: efficacy and
safety of Advate in previously treated patients. Thromb Haemost.
2008;100:217–223.
75. Blanchette VS, Shapiro AD, Liesner RJ, dkk. Plasma and albumin-free
recombinant factor VIII: pharmacokinetics, efficacy and safety in previously
treated pediatric patients. J Thromb Haemost. 2008;6:1319–1326.
76. White G, Shapiro A, Ragni M, dkk. Clinical evaluation of recombinant factor
IX. Semin Hematol. 1998;35:33–8.
77. Roth DA, Kessler CM, Pasi KJ, dkk. Human recombinant factor IX: safety
and efficacy studies in hemophilia B patients previously treated with
plasma-derived factor IX concentrates. Blood. 2001;98:3600–6.
78. Shapiro AD, Di Paola J, Cohen A, dkk. The safety and efficacy of
recombinant human blood coagulation factor IX in previously untreated
patients with severe or moderately severe hemophilia B. Blood.
2005;105:518–25.
79. Windyga J, Lissitchkov T, Stasyshyn O, dkk. Pharmacokinetics, efficacy and
safety of BAX326, a novel recombinant factor IX: a prospective, controlled,
multicentre phase I/III study in previously treated patients with severe (FIX
level <1%) or moderately severe (FIX level ≤2%) haemophilia B. Haemophilia.
2014;20:15–24.
80. Foods and Drugs Administration. Eloctate [Internet]. United States: Food
and Drugs Administration; 2014 [Acessed 8 2019 Sep 8]. Available from:
https://www.fda.gov/media/88746/download

jdih.kemkes.go.id
- 132 -

81. Powell JS, Josephson NC, Quon D, dkk. Safety and prolonged activity of
recombinant factor VIII Fc fusion protein in hemophilia A patients. Blood.
2012;119:3031–7.
82. Mahlangu J, Powell JS, Ragni MV, dkk. Phase 3 study of recombinant factor
VIII Fc fusion protein in severe hemophilia A. Blood. 2014;123:317–25.
83. Baru M, Carmel-Goren L, Barenholz Y, dkk. Factor VIII efficient and specific
non-covalent binding to PEGylated liposomes enables prolongation of its
circulation time and haemostatic efficacy. Thromb Haemost. 2005;93:1061–
8.
84. Spira J, Plyushch O, Andreeva T, dkk. Safety and efficacy of a long-acting
liposomal formulation of plasma-derived factor VIII in haemophilia A
patients. Br J Haematol. 2012;158:149–52.
85. Mei B, Pan C, Jiang H, Tjandra H, dkk. Rational design of a fully active,
long-acting PEGylated factor VIII for hemophilia A treatment. Blood.
2010;116:270–9.
86. Dumont JA, Liu T, Low SC, dkk. Prolonged activity of a recombinant factor
VIII-Fc fusion protein in hemophilia A mice and dogs. Blood.
2012;119:3024–30.
87. Saenko E, Pipe S. Strategies towards a longer acting factor VIII.
Haemophilia 12 Suppl 42. 2006;3.
88. Agersø H, Stennicke HR, Pelzer H, dkk. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of turoctocog alfa and N8-GP in haemophilia A dogs.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2012;18:941–7.
89. Schaub RG. Recent advances in the development of coagulation factors and
procoagulants for the treatment of hemophilia. Biochem pharmacol.
2011;82:91–8.
90. Lindhout T, Iqbal U, Willis LM, dkk. Site-specific enzymatic polysialylation
of therapeutic proteins using bacterial enzymes. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America. 2011;108:7397–402.
91. Food and Drugs Administration. Idelvion. [Internet] United States: Food and
Drugs Administration; 2016 [Accessed on 2019 Sep 8]. Available from:
http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProdu
cts/ApprovedProducts/LicensedProductsBLAs/FractionatedPlasmaProduc
ts/UCM489301.pdf

jdih.kemkes.go.id
- 133 -

92. Santagostino E, Martinowitz U, Lissitchkov T, dkk. Long-acting


recombinant coagulation factor IX albumin fusion protein (rIX-FP) in
hemophilia B: results of a phase 3 trial. Blood. 2016;127:1761–9.
93. Négrier C, Shapiro A, Berntorp E, dkk. Surgical evaluation of a recombinant
factor VIII prepared using a plasma/albumin-free method: efficacy and
safety of Advate in previously treated patients. Thromb Haemost.
2008;100:217–23.
94. Blanchette VS, Shapiro AD, Liesner RJ, dkk. Plasma and albumin-free
recombinant factor VIII: pharmacokinetics, efficacy and safety in previously
treated pediatric patients. J Thromb Haemost. 2008;6:1319–26.
95. Stanworth SJ. The evidence-based use of FFP and cryoprecipitate for
abnormalities of coagulation tests and clinical coagulopathy. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program. 2007;179–86.
96. Kasper CK. Products for clotting factor replacement in developing countries.
Semin Thromb Hemost. 2005;31:507–12.
97. O’Shaughnessy DF, Atterbury C, Bolton Maggs P, dkk. Guidelines for the
use of fresh-frozen plasma, cryoprecipitate and cryosupernatant. Br J
Haematol. 2004;126:11–28.
98. Castaman G. Desmopressin for the treatment of haemophilia. Haemophilia :
the official journal of the World Federation of Hemophilia. 2008;14 Suppl
1:15–20.
99. Mannucci PM. Hemostatic drugs. N Engl J Med. 1998;339:245–53.
100. Frachon X, Pommereuil M, Berthier A-M, dkk. Management options for
dental extraction in hemophiliacs: a study of 55 extractions (2000-2002).
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2005;99:270–5.
101. Coetzee MJ. The use of topical crushed tranexamic acid tablets to control
bleeding after dental surgery and from skin ulcers in haemophilia.
Haemophilia: 2007;13:443–4.
102. Kouides PA, Byams VR, Philipp CS, dkk. Multisite management study of
menorrhagia with abnormal laboratory haemostasis: a prospective
crossover study of intranasal desmopressin and oral tranexamic acid. Br.
J. Haematol. 2009;145:212–20.
103. Hvas A-M, Sørensen HT, Norengaard L, dkk. Tranexamic acid combined
with recombinant factor VIII increases clot resistance to accelerated
fibrinolysis in severe hemophilia A. J Thromb Haemost. 2007;5:2408–14.
104. Luu H, Ewenstein B. FEIBA safety profile in multiple modes of clinical and
home-therapy application. Haemophilia. 2004;10 Suppl 2:10–6.

jdih.kemkes.go.id
- 134 -

105. Giangrande PLF, Wilde JT, Madan B, dkk. Consensus protocol for the use
of recombinant activated factor VII [eptacog alfa (activated); NovoSeven] in
elective orthopaedic surgery in haemophilic patients with inhibitors.
Haemophilia. 2009;15:501–8.
106. Aronstam A, Arblaster PG, Rainsford SG, dkk. Prophylaxis in haemophilia:
a double-blind controlled trial. Br J Haematol. 1976;33:81–90.
107. Astermark J, Petrini P, Tengborn L, dkk. Primary prophylaxis in severe
haemophilia should be started at an early age but can be individualized. Br
J Haematol. 1999;105:1109–13.
108. Feldman BM, Pai M, Rivard GE, dkk. Tailored prophylaxis in severe
hemophilia A: interim results from the first 5 years of the Canadian
Hemophilia Primary Prophylaxis Study. J. Thromb. Haemost. 2006;4:1228–
36.
109. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, dkk. The effects of
postponing prophylactic treatment on long-term outcome in patients with
severe hemophilia. Blood. 2002;99:2337–41.
110. Coppola A, Franchini M, Tagliaferri A. Prophylaxis in people with
haemophilia. Thromb Haemost. 2009;101:674–81.
111. Petrini P. What factors should influence the dosage and interval of
prophylactic treatment in patients with severe haemophilia A and B?
Haemophilia. 2001;7:99–102.
112. Kavakli K, Aydogdu S, Taner M, dkk. Radioisotope synovectomy with
rhenium186 in haemophilic synovitis for elbows, ankles and shoulders.
Haemophilia. 2008;14:518–23.
113. Luchtman-Jones L, Valentino LA, Manno C, Recombinant Therapy
Workshop Participants. Considerations in the evaluation of haemophilia
patients for short-term prophylactic therapy: a paediatric and adult case
study. Haemophilia. 2006;12:82–6.
114. Poonnoose P, Carneiro JDA, Cruickshank AL, dkk. Episodic replacement of
clotting factor concentrates does not prevent bleeding or musculoskeletal
damage - the MUSFIH study. Haemophilia. 2017;23:538–46.
115. MASAC Recommendation Concerning Prophylaxis [Internet]. National
Hemophilia Foundation. 2014 [cited 2019 May 28]. Available from:
https://www.hemophilia.org/Researchers-Healthcare-Providers/Medical-
and-Scientific-Advisory-Council-MASAC/MASAC-
Recommendations/MASAC-Recommendation-Concerning-Prophylaxis

jdih.kemkes.go.id
- 135 -

116. Valentino LA. Secondary prophylaxis therapy: what are the benefits,
limitations and unknowns? Haemophilia. 2004;10:147–57.
117. Jackson SC, Yang M, Minuk L, dkk. Prophylaxis in older Canadian adults
with hemophilia A: lessons and more questions. BMC Hematol [Internet].
2015 [cited 2020 Jan 28];15. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4331146/
118. Manco-Johnson MJ, Nuss R, Geraghty S, dkk. Results of secondary
prophylaxis in children with severe hemophilia. Am J Hematol.
1994;47:113–7.
119. Liesner RJ, Khair K, Hann IM. The impact of prophyactic treatment on
children with severe haemophilia. Br J Haematol. 1996;92:973–8.
120. Van den Berg HM, Fischer K, Mauser-Bunschoten EP, dkk. Long-term
outcome of individualized prophylactic treatment of children with severe
haemophilia. Br J Haematol. 2001;112:561–5.
121. Liou W-S, Tu T-C, Cheng S-N, dkk. Secondary prophylaxis treatment versus
on-demand treatment for patients with severe haemophilia A: comparisons
of cost and outcomes in Taiwan. Haemophilia. 2011;17:45–54.
122. Ingerslev J, Lethagen S, Hvitfeldt Poulsen L, dkk. Long-standing
prophylactic therapy vs. episodic treatment in young people with severe
haemophilia: a comparison of age-matched Danish and Russian patients.
Haemophilia. 2014;20:58–64.
123. Tagliaferri A, Feola G, Molinari AC, dkk. Benefits of prophylaxis versus on-
demand treatment in adolescents and adults with severe haemophilia A: the
POTTER study. Thromb Haemost. 2015;114:35–45.
124. Wu R, Luke KH. The benefit of low dose prophylaxis in the treatment of
hemophilia: a focus on China. Expert Rev Hematol. 2017;10:995–1004.
125. Tang L, Wu R, Sun J, dkk. Short-term low-dose secondary prophylaxis for
severe/moderate haemophilia A children is beneficial to reduce bleed and
improve daily activity, but there are obstacle in its execution: a multi-centre
pilot study in China. Haemophilia. 2013;19:27–34.
126. Li G, Wu RH, Wu XY. Efficacy and safety of recombinant coagulation factor
IX in moderate and severe hemophilia B children in China: a signal centre
observation study. Chin J Appl Clin Pediatr. 2013;28:1128–30.
127. Wu R, Wu X, Zhang N, dkk. [Long-term low-dose secondary prophylaxis for
severe and moderate hemophilia children with arthropathy in China: a
single-center observation study]. Zhonghua Xue Ye Xue Za Zhi.
2013;34:632–4.

jdih.kemkes.go.id
- 136 -

128. Wu RH, Wu Xinyi, Zhang NN. Modified long-term Low dose Secondary
Prophylaxis for Severe and Moderate hemophilia A Children with
Arthropathy: A single-centre prospective study in China. Haemophilia.
2012;18:164.
129. Li PJ, Wu RH. In 4 Children with severe hemophilia A individualized
upgrade ladder prevention treatment process and curative effect of review.
Chinese J Thromb Hemost. 2016;22:395–8.
130. Liu GQ, Tang L, Wu XY, dkk. [Analysis of individualized primary
prophylactic treatment of 19 cases of children with severe hemophilia A].
Zhonghua Er Ke Za Zhi. 2016;54:923–6.
131 Yao W, Xiao J, Cheng X, dkk. The Efficacy of Recombinant FVIII Low-Dose
Prophylaxis in Chinese Pediatric Patients With Severe Hemophilia A: A
Retrospective Analysis From the ReCARE Study. Clin Appl Thromb Hemost.
2017;23:851–8.
132. Fu LL, Tang L, Chen ZP, dkk. Intracranial hemorrhage occurred in children
with severe haemophilia under different treatment. J China Pediatr Blood
Cancer. 2017;22:78-81,86.
133. Verma SP, Dutta TK, Mahadevan S, dkk. A randomized study of very low-
dose factor VIII prophylaxis in severe haemophilia - A success story from a
resource limited country. Haemophilia. 2016;22:342–8.
134. Chuansumrit A, Isarangkura P, Hathirat P. Prophylactic treatment for
hemophilia A patients: a pilot study. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 1995;26:243–6.
135. Gouider E, Jouini L, Achour M, dkk. Low dose prophylaxis in Tunisian
children with haemophilia. Haemophilia. 2017;23:77–81.
136. Li C, Zhang X, Zhao Y, dkk. Long-term efficacy and safety of prophylaxis
with recombinant factor VIII in Chinese pediatric patients with hemophilia
A: a multi-center, retrospective, non-interventional, phase IV (ReCARE)
study. Curr Med Res Opin. 2017;33:1223–30.
137. Wu R, Sun J, Xiao J, dkk. A prospective study of health-related quality of
life of boys with severe haemophilia A in China: comparing on-demand to
prophylaxis treatment. Haemophilia. 2017;23:430–6.
138. Sidharthan N, Narayana Pillai V, Mathew S, dkk. Low Dose
Secondary/Tertiary Prophylaxis Is Feasible and Effective in Resource
Limited Setting in South India for Children with Hemophilia. Blood.
2016;128:2336–2336.

jdih.kemkes.go.id
- 137 -

139. Morfini M, Mannucci PM, Mariani G, dkk. Evaluation of prophylactic


replacement therapy in haemophilia B. Scand J Haematol. 1976;16:41–7.
140. Rampotas A, Desborough MJR, Raza‐Burton S, dkk. A single centre
retrospective study of low dose prophylaxis with extended half-life factor IX
for severe haemophilia B. Haemophilia. 2020;26:278–81.
141. Hay CRM. Prophylaxis in adults with haemophilia. Haemophilia. 2007;13
Suppl 2:10–5.
142. Fischer K, Van Der Bom JG, Prejs R, dkk. Discontinuation of prophylactic
therapy in severe haemophilia: incidence and effects on outcome.
Haemophilia. 2001;7:544–50.
143. Khair K, Mazzucconi MG, Parra R, dkk. Pattern of bleeding in a large
prospective cohort of haemophilia A patients: A three-year follow-up of the
AHEAD (Advate in HaEmophilia A outcome Database) study. Haemophilia.
2018;24:85–96.
144. Nilsson IM, Berntorp E, Löfqvist T, dkk. Twenty-five years’ experience of
prophylactic treatment in severe haemophilia A and B. J Intern Med.
1992;232:25–32.
145. Coppola A, D’Ausilio A, Aiello A, dkk. Cost-effectiveness analysis of late
prophylaxis vs. on-demand treatment for severe haemophilia A in Italy.
Haemophilia. 2017;23:422–9.
146. Farrugia A, Cassar J, Kimber MC, dkk. Treatment for life for severe
haemophilia A- A cost-utility model for prophylaxis vs. on-demand
treatment. Haemophilia. 2013;19:e228-238.
147. Salinas-Escudero G, Galindo-Suárez RM, dkk. Cost-effectiveness analysis
of prophylaxis vs. “on demand” approach in the management in children
with hemophilia A in Mexico. Bol Med Hosp Infant Mex. 2013;70:290–8.
148. Brackmann HH, Eickhoff HJ, Oldenburg J, dkk. Long-term therapy and on-
demand treatment of children and adolescents with severe haemophilia A:
12 years of experience. Haemostasis. 1992;22:251–8.
149. Khawaji M, Astermark J, Berntorp E. Lifelong prophylaxis in a large cohort
of adult patients with severe haemophilia: a beneficial effect on orthopaedic
outcome and quality of life. Eur J Haematol. 2012;88:329–35.
150. Fischer K, Steen Carlsson K, Petrini P, dkk. Intermediate-dose versus high-
dose prophylaxis for severe hemophilia: comparing outcome and costs since
the 1970s. Blood. 2013;122:1129–36.

jdih.kemkes.go.id
- 138 -

151. ULB Bonn ::: Dissertation - Lemonia Krämer: Retrospektive Studie zu den


Auswirkungen der Langzeitprophylaxe mit Faktor VIII-Konzentrat bei
Patienten mit schwerer Hämophilie A auf den Gelenkstatus von Kniegelenk,
oberen Sprunggelenk und Ellenbogengelenk, 2013 [Internet]. [cited 2019
Aug 17]. Available from: http://hss.ulb.uni-
bonn.de/2013/3204/3204.htm
152. Manco-Johnson MJ, Kempton CL, Reding MT, dkk. Randomized, controlled,
parallel-group trial of routine prophylaxis vs. on-demand treatment with
sucrose-formulated recombinant factor VIII in adults with severe
hemophilia A (SPINART). J Thromb Haemost. 2013;11:1119–27.
153. Noone D, O’Mahony B, Prihodova L. A survey of the outcome of prophylaxis,
on-demand or combined treatment in 20-35 year old men with severe
haemophilia in four European countries. Haemophilia. 2011;17:e842-843.
154. Soucie JM, Symons J, Evatt B, dkk. Home-based factor infusion therapy
and hospitalization for bleeding complications among males with
haemophilia. Haemophilia. 2001;7:198–206.
155. Teitel JM, Barnard D, Israels S, dkk. Home management of haemophilia.
Haemophilia. 2004;10:118–33.
156. Neunert CE, Miller KL, Journeycake JM, Buchanan GR. Implantable central
venous access device procedures in haemophilia patients without an
inhibitor: systematic review of the literature and institutional experience.
Haemophilia. 2008;14:260–70.
157. Valentino LA, Ewenstein B, Navickis RJ, dkk. Central venous access devices
in haemophilia. Haemophilia. 2004;10:134–46.
158. Ljung R. The risk associated with indwelling catheters in children with
haemophilia. Br J Haematol. 2007;138:580–6.
159. Ragni MV, Journeycake JM, Brambilla DJ. Tissue plasminogen activator to
prevent central venous access device infections: a systematic review of
central venous access catheter thrombosis, infection and
thromboprophylaxis. Haemophilia. 2008;14:30–8.
160. Ljung RCR. Intracranial haemorrhage in haemophilia A and B. Br J
Haematol. 2008;140:378–84.
161. Nakar C, Cooper DL, DiMichele D. Recombinant activated factor VII safety
and efficacy in the treatment of cranial haemorrhage in patients with
congenital haemophilia with inhibitors: an analysis of the Hemophilia and
Thrombosis Research Society Registry (2004-2008). Haemophilia.
2010;16:625–31.

jdih.kemkes.go.id
- 139 -

162. Patiroglu T, Ozdemir MA, Unal E, dkk. Intracranial hemorrhage in children


with congenital factor deficiencies. Childs Nerv Syst. 2011;27:1963–6.
163. Zanon E, Iorio A, Rocino A, dkk. Intracranial haemorrhage in the Italian
population of haemophilia patients with and without inhibitors.
Haemophilia. 2012;18:39–45.
164. Traivaree C, Blanchette V, Armstrong D, dkk. Intracranial bleeding in
haemophilia beyond the neonatal period--the role of CT imaging in
suspected intracranial bleeding. Haemophilia. 2007;13:552–9.
165. Beeton K, Merchan E, Alltree J, dkk. Rehabilitation of muscle dysfunction
in hemophilia. World Federation of Hemophilia. 2012;24:1–7.
166. Guthrie TH, Sacra JC. Emergency care of the hemophiliac patient. Ann
Emerg Med. 1980;9:476–9.
167. Kouides PA, Fogarty PF. How do we treat: upper gastrointestinal bleeding
in adults with haemophilia. Haemophilia. 2010;16:360–2.
168. Mittal R, Spero JA, Lewis JH, dkk. Patterns of gastrointestinal hemorrhage
in hemophilia. Gastroenterology. 1985;88:515–22.
169. Bush MT, Roy N. Hemophilia emergencies. J Emerg Nurs. 1995;21:531–8;
quiz 538–40.
170. White GC, Rosendaal F, Aledort LM, dkk. Definitions in hemophilia.
Recommendation of the scientific subcommittee on factor VIII and factor IX
of the scientific and standardization committee of the International Society
on Thrombosis and Haemostasis. Thromb Haemost. 2001;85:560.
171. Aronstam A, Wasssef M, Choudhury DP, dkk. Double-blind controlled trial
of three dosage regimens in treatment of haemarthroses in haemophilia A.
Lancet. 1980;1:169–71.
172. Aronstam A, Wassef M, Hamad Z, dkk. A double-blind controlled trial of two
dose levels of factor VIII in the treatment of high risk haemarthroses in
haemophilia A. Clin Lab Haematol. 1983;5:157–63.
173. Mathews V, Viswabandya A, Baidya S, dkk. Surgery for hemophilia in
developing countries. Semin Thromb Hemost. 2005;31:538–43.
174. d’Young AI. Domiciliary application of CryoCuff in severe haemophilia:
qualitative questionnaire and clinical audit. Haemophilia. 2008;14:823–7.
175. Gomis M, Querol F, Gallach JE, dkk. Exercise and sport in the treatment of
haemophilic patients: a systematic review. Haemophilia. 2009;15:43–54.
176. Mulder K. Exercise for people with hemophilia. World Federation of
Hemophilia; 2006.

jdih.kemkes.go.id
- 140 -

177. Heijnen L, Buzzard BB. The role of physical therapy and rehabilitation in
the management of hemophilia in developing countries. Semin Thromb
Hemost. 2005;31:513–7.
178. Ingram GI, Mathews JA, Bennett AE. Controlled trial of joint aspiration in
acute haemophilic haemarthrosis. Ann Rheum Dis. 1972;31:423.
179. Rodriguez-Merchan EC. Aspects of current management: orthopaedic
surgery in haemophilia. Haemophilia 2012;18(1):8-16. Haemophilia.
2012;18:8–16.
180. Aronstam A, Browne RS, Wassef M, dkk. The clinical features of early
bleeding into the muscles of the lower limb in severe haemophiliacs. J Bone
Joint Surg Br. 1983;65:19–23.
181. Beyer R, Ingerslev J, Sørensen B. Current practice in the management of
muscle haematomas in patients with severe haemophilia. Haemophilia.
2010;16:926–31.
182. Railton GT, Aronstam A. Early bleeding into upper limb muscles in severe
haemophilia. Clinical features and treatment. J Bone Joint Surg Br.
1987;69:100–2.
183. Rodriguez-Merchan EC. Musculoskeletal complications of hemophilia. HSS
journal : the musculoskeletal journal of Hospital for Special Surgery.
2010;6:37–42.
184. Llinás A, Silva M, Pasta G, dkk. Controversial subjects in musculoskeletal
care of haemophilia: cross fire. Haemophilia. 2010;16 Suppl 5:132–5.
185. Rodriguez-Merchan EC. Orthopedic management in hemophilia: a Spanish
outlook. Semin Hematol. 2008;45:S58-63.
186. Blamey G, Forsyth A, Zourikian N, dkk. Comprehensive elements of a
physiotherapy exercise programme in haemophilia--a global perspective.
Haemophilia. 2010;16 Suppl 5:136–45.
187. Ashrani AA, Osip J, Christie B, dkk. Iliopsoas haemorrhage in patients with
bleeding disorders--experience from one centre. Haemophilia. 2003;9:721–
6.
188. Balkan C, Kavakli K, Karapinar D. Iliopsoas haemorrhage in patients with
haemophilia: results from one centre. Haemophilia. 2005;11:463–7.
189. Fernandez-Palazzi F, Hernandez SR, De Bosch NB, dkk. Hematomas within
the iliopsoas muscles in hemophilic patients: the Latin American
experience. Clin Orthop Relat Res. 1996;19–24.
190. Quon DV, Konkle BA. How we treat: haematuria in adults with haemophilia.
Haemophilia. 2010;16:683–5.

jdih.kemkes.go.id
- 141 -

191. Ghosh K, Jijina F, Mohanty D. Haematuria and urolithiasis in patients with


haemophilia. Eur J Haematol. 2003;70:410–2.
192. Franchini M, Rossetti G, Tagliaferri A, dkk. Dental procedures in adult
patients with hereditary bleeding disorders: 10 years experience in three
Italian Hemophilia Centers. Haemophilia : the official journal of the World
Federation of Hemophilia. 2005;11:504–9.
193. Vinall C, Stassen LFA. The dental patient with a congenital bleeding
disorder. J Ir Dent Assoc. 2008;54:24–8.
194. Kane MJ, Silverman LR, Rand JH, dkk. Myonecrosis as a complication of
the use of epsilon amino-caproic acid: a case report and review of the
literature. Am J Med. 1988;85:861–3.
195. Chi C, Lee CA, Shiltagh N, dkk. Pregnancy in carriers of haemophilia.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2008;14:56–64.
196. Kletzel M, Miller CH, Becton DL, dkk. Postdelivery head bleeding in
hemophilic neonates. Causes and management. American journal of
diseases of children (1960). 1989;143:1107–10.
197. Santagostino E, Riva A, Cesaro S, dkk. Consensus statements on
vaccination in patients with haemophilia—Results from the Italian
haemophilia and vaccinations (HEVA) project. Haemophilia. 2019;25:656–
67.
198. Kulkarni R, Lusher J. Perinatal management of newborns with
haemophilia. British journal of haematology. 2001;112:264–74.
199. Evans DI, Shaw A. Safety of intramuscular injection of hepatitis B vaccine
in haemophiliacs. BMJ (Clinical research ed). 1990;300:1694–5.
200. Batorova A, Martinowitz U. Intermittent injections vs. continuous infusion
of factor VIII in haemophilia patients undergoing major surgery. Br J
Haematol. 2000;110:715–20.
201. Hermans C, Altisent C, Batorova A, dkk. Replacement therapy for invasive
procedures in patients with haemophilia: literature review, European
survey and recommendations. Haemophilia. 2009;15:639–58.
202. Teitel JM, Carcao M, Lillicrap D, dkk. Orthopaedic surgery in haemophilia
patients with inhibitors: a practical guide to haemostatic, surgical and
rehabilitative care. Haemophilia. 2009;15:227–39.
203. Kempton CL, Soucie JM, Miller CH, dkk. In non-severe hemophilia A the
risk of inhibitor after intensive factor treatment is greater in older patients:
a case-control study. J Thromb Haemost. 2010;8:2224–31.

jdih.kemkes.go.id
- 142 -

204. Franchini M, Favaloro EJ, Lippi G. Mild hemophilia A. J Thromb Haemost.


2010;8:421–32.
205. Tsoukas C, Eyster ME, Shingo S, dkk. Evaluation of the efficacy and safety
of etoricoxib in the treatment of hemophilic arthropathy. Blood.
2006;107:1785–90.
206. Rattray B, Nugent DJ, Young G. Celecoxib in the treatment of haemophilic
synovitis, target joints, and pain in adults and children with haemophilia.
Haemophilia. 2006;12:514–7.
207. Cassis FRMY, Querol F, Forsyth A, dkk. HERO International Advisory
Board. Psychosocial aspects of haemophilia: a systematic review of
methodologies and findings. Haemophilia. 2012;18:e101-14.
208. Miller R. Counselling about diagnosis and inheritance of genetic bleeding
disorders: haemophilia A and B. Haemophilia. 1999;5:77–83.
209. Freedman M, Dougall A, White B. An audit of a protocol for the management
of patients with hereditary bleeding disorders undergoing dental treatment.
Journal of Disability and Oral Health. 2009;10:151.
210. Hanley J, McKernan A, Creagh MD, dkk. Guidelines for the management of
acute joint bleeds and chronic synovitis in haemophilia: A United Kingdom
Haemophilia Centre Doctors’ Organisation (UKHCDO) guideline.
Haemophilia. 2017;23:511–20.
211. Hoffman M. Animal models of bleeding and tissue repair. Haemophilia.
2008;14 Suppl 3:62–7.
212. Wahyuni LK, Tulaar ABM. Hemartrosis pada hemofilia. In: Kedokteran fisik
& rehabilitasi pada tumbuh kembang anak. PERDOSRI; 2014. p. 622–35.
213. Atilla B, Güney-Deniz H. Musculoskeletal treatment in haemophilia. EFORT
Open Rev. 2019;4:230–9.
214. Almassmoum S, Balahmar E, Almutairi S, dkk. Current clinical status of
hydrotherapy; an evidence based retrospective six-years (2012-2017)
systemic review. Bali Medical Journal. 2018;7.
215. El-Shamy SM, Abdelaal AAM. Efficacy of pulsed high-intensity laser therapy
on pain, functional capacity, and gait in children with haemophilic
arthropathy. Disabil Rehabil. 2018;40:462–8.
216. Heijnen L, Heim M, der Maur HI, dkk. Manufacture Shoes And Orthopedic
Shoes. 3rd edition. Montreal: World Federation Of Hemophilia; 2008.
217. Strike K, Mulder K, Michael R. Exercise for haemophilia. Cochrane
Database Syst Rev. 2016;12:CD011180.

jdih.kemkes.go.id
- 143 -

218. Goto M, Takedani H, Yokota K, dkk. Strategies to encourage physical


activity in patients with hemophilia to improve quality of life. J Blood Med.
2016;7:85–98.
219. National Hemophilia Foudation. Playing it safe-Bleeding Disorders, Sports,
and Exercise.[Internet]. NHF; 2017 [cited 2019 Dec 6]. Available from:
https://stepsforliving.hemophilia.org/sites/default/files/playing-it-
safe.pdf
220. Querol F, Aznar JA, Haya S, dkk. Orthoses in haemophilia. Haemophilia;
8:407–12.
221. Slattery M, Tinley P. The efficacy of functional foot orthoses in the control
of pain in ankle joint disintegration in hemophilia. J Am Podiat Med Assn.
2001;91:240–4.
222. Mazloum V, Rahnama N, Khayambashi K. Effects of therapeutic exercise
and hydrotherapy on pain severity and knee range of motion in patients
with hemophilia: a randomized controlled trial. Int J Prev Med. 2014;5:83–
8.
223. Johnson MJ, Rn JBG. Child Development with a Bleeding Disorder and
Transition. 2013;16.
224. A Child in Pain: How to Help, What to Do [Internet]. [cited 2019 Dec 6].
Available from: https://www.drleorakuttner.com/a-child-in-pain-how-to-
help%2C-what-to-do.html
225. Canadian Association of Nurses in Hemophilia Care. Dental Care for People
with Bleeding Disorders. [Internet]. 2012 [cited 2019 Dec 6]. Available from:
https://www.hemophilia.ca/wp-content/uploads/2018/05/Dental-Care-
2012-EN-FINAL.pdf
226. American Academy of Pediatrics. AAP Advises Against Recreational
Trampoline Use [Internet]. AAP.org. [cited 2019 Dec 6]. Available from:
http://www.aap.org/en-us/about-the-aap/aap-press-room/Pages/AAP-
Advises-Against-Recreational-Trampoline-Use.aspx
227. De Moerloose P, Fischer K, Lambert T, dkk. Recommendations for
assessment, monitoring and follow-up of patients with haemophilia.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2012;18:319–25.
228. Su Y, Wong W-Y, Lail A, dkk. Long-term major joint outcomes in young
adults with haemophilia: interim data from the HGDS. Haemophilia.
2007;13:387–90.
229. Disorders First. Canadian Hemophilia Standards Group. 2017.

jdih.kemkes.go.id
- 144 -

230. Siboni SM, Mannucci PM, Gringeri A, dkk. Health status and quality of life
of elderly persons with severe hemophilia born before the advent of modern
replacement therapy. J Thromb Haemost. 2009;7:780–6.
231. Canaro M, Goranova-Marinova V, Berntorp E. The ageing patient with
haemophilia. Eur J Haematol. 2015;94 Suppl 77:17–22.
232. Anagnostis P, Vakalopoulou S, Slavakis A, dkk. Reduced bone mineral
density in patients with haemophilia A and B in Northern Greece. Thromb
Haemost. 2012;107:545–51.
233. Khawaji M, Akesson K, Berntorp E. Long-term prophylaxis in severe
haemophilia seems to preserve bone mineral density. Haemophilia.
2009;15:261–6.
234. Khawaji M, Astermark J, Akesson K, dkk. Physical activity for prevention of
osteoporosis in patients with severe haemophilia on long-term prophylaxis.
Haemophilia. 2010;16:495–501.
235. Rodriguez-Merchan EC. Bone fractures in the haemophilic patient.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2002;8:104–11.
236. Kruse-Jarres R, Quon D, Schramm W, dkk. Management of bleeding
disorders in the elderly. Haemophilia. 2012;18 Suppl 2:37–45.
237. Triemstra M, Rosendaal FR, Smit C, dkk. Mortality in patients with
hemophilia. Changes in a Dutch population from 1986 to 1992 and 1973
to 1986. Ann Intern Med. 1995;123:823–7.
238. Darby SC, Kan SW, Spooner RJ, dkk. Mortality rates, life expectancy, and
causes of death in people with hemophilia A or B in the United Kingdom
who were not infected with HIV. Blood. 2007;110:815–25.
239. Rosendaal FR, Varekamp I, Smit C, dkk. Mortality and causes of death in
Dutch haemophiliacs, 1973-86. Br J Haematol. 1989;71:71–6.
240. Soucie JM, Nuss R, Evatt B, dkk. Mortality among males with hemophilia:
relations with source of medical care. The Hemophilia Surveillance System
Project Investigators. Blood. 2000;96:437–42.
241. Fransen van de Putte DE, Fischer K, dkk. Increased prevalence of
hypertension in haemophilia patients. Thromb Haemost. 2012;108:750–5.
242. Mannucci PM, Schutgens REG, Santagostino E, dkk. How I treat age-related
morbidities in elderly persons with hemophilia. Blood. 2009;114:5256–63.
243. Khleif AA, Rodriguez N, Brown D, dkk. Multiple Comorbid Conditions
among Middle-Aged and Elderly Hemophilia Patients: Prevalence Estimates
and Implications for Future Care. J Aging Res. 2011;2011:985703.

jdih.kemkes.go.id
- 145 -

244. Iannone M, Pennick L, Tom A, dkk. Prevalence of depression in adults with


haemophilia. Haemophilia. 2012;18:868–74.
245. Bar-Chama N, Snyder S, Aledort L. Sexual evaluation and treatment of
ageing males with haemophilia. Haemophilia. 2011;17:875–83.
246. Gianotten WL, Heijnen L. Haemophilia, aging and sexuality. Haemophilia.
2009;15:55–62.
247. Darby SC, Ewart DW, Giangrande PL, dkk. Mortality from liver cancer and
liver disease in haemophilic men and boys in UK given blood products
contaminated with hepatitis C. UK Haemophilia Centre Directors’
Organisation. Lancet. 1997;350:1425–31.
248. Wilde JT, Mutimer D, Dolan G, Millar C, dkk. UKHCDO guidelines on the
management of HCV in patients with hereditary bleeding disorders 2011.
Haemophilia. 2011;17:e877-883.
249. Darby SC, Kan SW, Spooner RJD, dkk. The impact of HIV on mortality rates
in the complete UK haemophilia population. AIDS. 2004;18:525–33.
250. Shah ASV, Stelzle D, Lee KK, dkk. Global Burden of Atherosclerotic
Cardiovascular Disease in People Living With HIV. Circulation.
2018;138:1100–12.
251. DAD Study Group, Friis-Møller N, Reiss P, dkk. Class of antiretroviral drugs
and the risk of myocardial infarction. N Engl J Med. 2007;356:1723–35.
252. Walsh CE, Workowski K, Terrault NA, dkk. Ledipasvir-sofosbuvir and
sofosbuvir plus ribavirin in patients with chronic hepatitis C and bleeding
disorders. Haemophilia. 2017;23:198–206.
253. Pierce GF, Lillicrap D, Pipe SW, dkk. Gene therapy, bioengineered clotting
factors and novel technologies for hemophilia treatment. J Thromb
Haemost. 2007;5:901–6.
254. Nienhuis AW. Development of gene therapy for blood disorders. Blood.
2008;111:4431–44.
255. Kasuda S, Kubo A, Sakurai Y, dkk. Establishment of embryonic stem cells
secreting human factor VIII for cell-based treatment of hemophilia A. J
Thromb Haemost. 2008;6:1352–9.
256. Kren BT, Unger GM, Sjeklocha L, dkk. Nanocapsule-delivered Sleeping
Beauty mediates therapeutic Factor VIII expression in liver sinusoidal
endothelial cells of hemophilia A mice. J Clin Invest. 2009;119:2086–99.
257. Margaritis P, Roy E, Aljamali MN, dkk. Successful treatment of canine
hemophilia by continuous expression of canine FVIIa. Blood.
2009;113:3682–9.

jdih.kemkes.go.id
- 146 -

258. Roth DA, Tawa NE, O’Brien JM, dkk. Factor VIII Transkaryotic Therapy
Study Group. Nonviral transfer of the gene encoding coagulation factor VIII
in patients with severe hemophilia A. N Engl J Med. 2001;344:1735–42.
259. Manno CS, Pierce GF, Arruda VR, dkk. Successful transduction of liver in
hemophilia by AAV-Factor IX and limitations imposed by the host immune
response. Nat Med. 2006;12:342–7.
260. Kay MA, Manno CS, Ragni MV, Larson PJ, Couto LB, McClelland A, et al.
Evidence for gene transfer and expression of factor IX in haemophilia B
patients treated with an AAV vector. Nature genetics. 2000;24:257–61.
261. Manno CS, Chew AJ, Hutchison S, dkk. AAV-mediated factor IX gene
transfer to skeletal muscle in patients with severe hemophilia B. Blood.
2003;101:2963–72.
262. Nathwani AC, Tuddenham EGD, Rangarajan S, dkk. Adenovirus-associated
virus vector-mediated gene transfer in hemophilia B. N Engl J Med.
2011;365:2357–65.
263. Nathwani AC, Reiss UM, Tuddenham EGD, dkk. Long-term safety and
efficacy of factor IX gene therapy in hemophilia B. N Engl J Med.
2014;371:1994–2004.
264. Jiang H, Lillicrap D, Patarroyo-White S, dkk. Multiyear therapeutic benefit
of AAV serotypes 2, 6, and 8 delivering factor VIII to hemophilia A mice and
dogs. Blood. 2006;108:107–15.
265. Waddington SN, Nivsarkar MS, Mistry AR, dkk. Permanent phenotypic
correction of hemophilia B in immunocompetent mice by prenatal gene
therapy. Blood. 2004;104:2714–21.
266. Ohlfest JR, Frandsen JL, Fritz S, dkk. Phenotypic correction and long-term
expression of factor VIII in hemophilic mice by immunotolerization and
nonviral gene transfer using the Sleeping Beauty transposon system. Blood.
2005;105:2691–8.
267. Ide LM, Gangadharan B, Chiang K-Y, dkk. Hematopoietic stem-cell gene
therapy of hemophilia A incorporating a porcine factor VIII transgene and
nonmyeloablative conditioning regimens. Blood. 2007;110:2855–63.
268. Brown BD, Cantore A, Annoni A, dkk. A microRNA-regulated lentiviral
vector mediates stable correction of hemophilia B mice. Blood.
2007;110:4144–52.
269. Murphy SL, High KA. Gene therapy for haemophilia. Br J Haematol.
2008;140:479–87.

jdih.kemkes.go.id
- 147 -

270. Scott DW, Lozier JN. Gene therapy for haemophilia: prospects and
challenges to prevent or reverse inhibitor formation. Br J Haematol.
2012;156:295–302.
271. Kitazawa T, Igawa T, Sampei Z,dkk. A bispecific antibody to factors IXa and
X restores factor VIII hemostatic activity in a hemophilia A model. Nat Med.
2012;18:1570–4.
272. Muto A, Yoshihashi K, Takeda M, dkk. Anti-factor IXa/X bispecific antibody
ACE910 prevents joint bleeds in a long-term primate model of acquired
hemophilia A. Blood. 2014;124:3165–71.
273. Food and Drug Administration. Nonproprietary Naming of Biological
Products. [Internet]. 2017. (Accessed on 13 Dec 2017) Available from:
https://www.fda.gov/downloads/drugs/guidances/ucm459987.pdf
274. Food and Drug Administration. Emicizumab. [Internet]. ((Accessed on 13
Dec 2017) Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label//761083s000lbl.
pdf
275. National Hemophilia Foundation. Emicizumab [Internet]. [cited 23 Jan
2020]. Available from:
https://www.hemophilia.org/sites/default/files/document/files/255Emic
izumab.pdf
276. Franchini M, Marano G, Pati I, dkk. Emicizumab for the treatment of
haemophilia A: a narrative review. Blood Transfus. 2019;17:223–8.
277. Oldenburg J, Mahlangu JN, Kim B, dkk. Emicizumab Prophylaxis in
Hemophilia A with Inhibitors. N Engl J Med. 2017;377:809–18.
278. Young G, Liesner R, Sidonio RF, dkk. Emicizumab Prophylaxis Provides
Flexible and Effective Bleed Control in Children with Hemophilia Α with
Inhibitors: Results from the HAVEN 2 Study. Blood. 2018;132:632–632.
279. Mahlangu J, Oldenburg J, Paz-Priel I, dkk. Emicizumab Prophylaxis in
Patients Who Have Hemophilia A without Inhibitors. N Engl J Med.
2018;379:811–22.
280. Pipe SW, Shima M, Lehle M, dkk. Efficacy, safety, and pharmacokinetics of
emicizumab prophylaxis given every 4 weeks in people with haemophilia A
(HAVEN 4): a multicentre, open-label, non-randomised phase 3 study.
Lancet Haematol. 2019;6:e295–305.
281. Knight T, Callaghan MU. The role of emicizumab, a bispecific factor IXa-
and factor X-directed antibody, for the prevention of bleeding episodes in
patients with hemophilia A. Ther Adv Hematol. 2018;9:319–34.

jdih.kemkes.go.id
- 148 -

282. Brophy DF, Martin EJ, Kuhn J. Use of global assays to monitor emicizumab
prophylactic therapy in patients with haemophilia A with inhibitors.
Haemophilia. 2019;25:e121–3.
283. Recommendation on the Use and Management of Emicizumab-kxwh
(Hemlibra®) for Hemophilia A with and without Inhibitors [Internet].
National Hemophilia Foundation. 2018 [cited 2019 Jul 25]. Available from:
https://www.hemophilia.org/Researchers-Healthcare-Providers/Medical-
and-Scientific-Advisory-Council-MASAC/MASAC-
Recommendations/Recommendation-on-the-Use-and-Management-of-
Emicizumab-kxwh-Hemlibra-for-Hemophilia-A-with-and-without-
Inhibitors
284. Collins PW, Liesner R, Makris M, dkk. Treatment of bleeding episodes in
haemophilia A complicated by a factor VIII inhibitor in patients receiving
Emicizumab. Interim guidance from UKHCDO Inhibitor Working Party and
Executive Committee. Haemophilia. 2018;24:344–7.
285. Rodriguez-Merchan EC. Aspects of current management: orthopaedic
surgery in haemophilia. Haemophilia. 2012;18:8–16.
286. Seuser A, Berdel P, Oldenburg J. Rehabilitation of synovitis in patients with
haemophilia. Haemophilia. 2007;13 Suppl 3:26–31.
287. Yoon KH, Bae DK, Kim HS, dkk. Arthroscopic synovectomy in haemophilic
arthropathy of the knee. Int Orthop; 2005;29(5):296-300.
288. Thomas S, Gabriel MB, Assi PE, dkk. Radioactive synovectomy with
Yttrium90 citrate in haemophilic synovitis: Brazilian experience.
Haemophilia. 2011;17:e211-6.
289. Suh HC, Kim D-K, Kang SH, dkk. Clinical and Radiological Evaluation After
Chemical Synovectomy With Rifampicin in Hemophilic Arthropathy: Korean
Experience With a 2-Week Interval Protocol. Ann Rehabil Med.
2018;42:449–56.
290. Van Kasteren ME, Nováková IR, Boerbooms AM, dkk. Long term follow up
of radiosynovectomy with yttrium-90 silicate in haemophilic haemarthrosis.
Annals of the rheumatic diseases. 1993;52:548–50.
291. Arnold WD, Hilgartner MW. Hemophilic arthropathy. Current concepts of
pathogenesis and management; 1977.;59;3;287-305
292. Doria AS, Lundin B, Miller S, dkk. Reliability and construct validity of the
compatible MRI scoring system for evaluation of elbows in haemophilic
children. Haemophilia. 2008;14:303–14.

jdih.kemkes.go.id
- 149 -

293. Pettersson H, Ahlberg A, Nilsson IM. A radiologic classification of hemophilic


arthropathy. Clin Orthop Relat Res. 1980;153–9.
294. Keshava S, Gibikote S, Mohanta A, dkk. Refinement of a sonographic
protocol for assessment of haemophilic arthropathy. Haemophilia.
2009;15:1168–71.
295. Zukotynski K, Jarrin J, Babyn PS, dkk. Sonography for assessment of
haemophilic arthropathy in children: a systematic protocol. Haemophilia.
2007;13:293–304.
296. Solimeno L, Goddard N, Pasta G, dkk. Management of arthrofibrosis in
haemophilic arthropathy. Haemophilia. 2010;16 Suppl 5:115–20.
297. Rodriguez Merchan EC. The haemophilic pseudotumour. Int Orthop.
1995;19:255–60.
298. D’Young AI. Conservative physiotherapeutic management of chronic
haematomata and haemophilic pseudotumours: case study and
comparison to historical management. Haemophilia. 2009;15:253–60.
299. Alcalay M, Deplas A. Rheumatological management of patients with
hemophilia. Part II: Muscle hematomas and pseudotumors. Joint Bone
Spine. 2002;69:556–9.
300. Espandar R, Heidari P, Rodriguez-Merchan EC. Management of
haemophilic pseudotumours with special emphasis on radiotherapy and
arterial embolization. Haemophilia. 2009;15:448–57.
301. Lee VN, Srivastava A, Nithyananth M, dkk. Fracture neck of femur in
haemophilia A - experience from a cohort of 11 patients from a tertiary
centre in India. Haemophilia; 2007;13(4):391-4.
302. Mortazavi SMJ, Heidari P. Retrograde intramedullary nailing of
supracondylar femoral fractures in haemophilic patients. Haemophilia : the
official journal of the World Federation of Hemophilia. 2008;14:661–4.
303. Arnold DM, Julian JA, Walker IR, dkk. Mortality rates and causes of death
among all HIV-positive individuals with hemophilia in Canada over 21 years
of follow-up. Blood. 2006;108:460–4.
304. Lee CA, Sabin CA, Phillips AN, dkk Morbidity and mortality from
transfusion-transmitted disease in haemophilia. Lancet (London, England).
1995;345:1309.
305. Farrugia A, Evers T, Falcou P-F, dkk. Plasma fractionation issues.
Biologicals : journal of the International Association of Biological
Standardization. 2009;37:88–93.

jdih.kemkes.go.id
- 150 -

306. Mauser-Bunschoten EP, Posthouwer D, Fischer K, dkk. Safety and efficacy


of a plasma-derived monoclonal purified factor VIII concentrate during 10
years of follow-up. Haemophilia. 2007;13:697–700.
307. Denholm JT, Wright EJ, Street A, dkk. HCV treatment with pegylated
interferon and ribavirin in patients with haemophilia and HIV/HCV co-
infection. Haemophilia. 2009;15:538–43.
308. Hartwell D, Jones J, Baxter L, dkk Peginterferon alfa and ribavirin for
chronic hepatitis C in patients eligible for shortened treatment, re-
treatment or in HCV/HIV co-infection: a systematic review and economic
evaluation. Health technology assessment (Winchester, England).
2011;15:i–xii, 1–210.
309. Operskalski EA, Kovacs A. HIV/HCV co-infection: pathogenesis, clinical
complications, treatment, and new therapeutic technologies. Current
HIV/AIDS reports. 2011;8:12–22.
310. Posthouwer D, Mauser-Bunschoten EP, Fischer K, dkk. Treatment of
chronic hepatitis C in patients with haemophilia: a review of the literature.
Haemophilia. 2006;12:473–8.
311. Wiesch J, Pieper D. Schulze Zur Sustained virological response a er early
antiviral treatment of acute hepatitis C virus and HIV coinfection. Clin Infect
Dis. 2009;49:466–72.
312. Lok AS, Gardiner DF, Lawitz E, dkk. Preliminary study of two antiviral
agents for hepatitis C genotype 1. New Engl J Med. 2012;366:216–24.
313. Gouw SC, van den Berg HM, Fischer K, dkk. Intensity of factor VIII
treatment and inhibitor development in children with severe hemophilia A:
the RODIN study. Blood. 2013;121:4046–55.
314. Peyvandi F, Mannucci PM, Garagiola I, dkk. A Randomized Trial of Factor
VIII and Neutralizing Antibodies in Hemophilia A. New Engl J Med.
2016;374:2054–64.
315. Gouw SC, van der Bom JG, Ljung R, dkk. Factor VIII Products and Inhibitor
Development in Severe Hemophilia A. New Engl J Med. 2013;368:231–9.
316. Fischer K, Lassila R, Peyvandi F, dkk. Inhibitor development in haemophilia
according to concentrate. Four-year results from the European
HAemophilia Safety Surveillance (EUHASS) project. Thromb Haemost.
2015;113:968–75.
317. Mahony OB. Guide to National Tenders for the purchase of clotting factor
concentrates. [Internet]. 2015 [cited 2020 May 14]. Available from:
http://www1.wfh.org/publications/files/pdf-1294.pdf

jdih.kemkes.go.id
- 151 -

318. Carcao M, Goudemand J. Inhibitors in Hemophilia: A Primer.[Internet]


World Federation of Hemophilia, 2018. [cited on 8 Aug 2019]. Avaliable
from: http://www1.wfh.org/publication/files/pdf-1122.pdf
319. Duncan E, Collecutt M, Street A. Nijmegen-Bethesda assay to measure
factor VIII inhibitors. Methods Mol Biol. 2013;992:321–33.
320. Reber G, Aurousseau MH, Dreyfus M, dkk. Inter-laboratory variability of
the measurement of low titer factor VIII:C inhibitor in haemophiliacs:
improvement by the Nijmegen modification of the Bethesda assay and the
use of common lyophilized plasmas. Haemophilia. 1999;5:292–3.
321. White GC. Factor VIII inhibitor assay: quantitative and qualitative assay
limitations and development needs. Semin Hematol. 1994;31:6–10.
322. Lloyd Jones M, Wight J, Paisley S, dkk. Control of bleeding in patients with
haemophilia A with inhibitors: a systematic review. Haemophilia.
2003;9:464–520.
323. Astermark J. Treatment of the bleeding inhibitor patient. Semin Thromb
Hemost. 2003;29:77–86.
324. Rizza CR. The management of haemophiliacs who have antibodies to factor
VIII. Scand J Haematol Suppl. 1984;40:187–93.
325. DiMichele D. Inhibitors in haemophilia: a primer. Haemophilia 6 Suppl.
2000;1:38–40.
326. Kantrowitz JL, Lee ML, McClure DA, dkk. Early experience with the use of
anti-inhibitor coagulant complex to treat bleeding in hemophiliacs with
inhibitors to factor VIII. Clin Ther. 1987;9:405–19.
327. Hilgartner M, Aledort L, Andes A, dkk. Efficacy and safety of vapor-heated
anti-inhibitor coagulant complex in hemophilia patients. FEIBA Study
Group. Transfusion. 1990;30:626–30.
328. Hilgartner MW, Knatterud GL. The use of factor eight inhibitor by-passing
activity (FEIBA immuno) product for treatment of bleeding episodes in
hemophiliacs with inhibitors. Blood. 1983;61:36–40.
329. Negrier C, Goudemand J, Sultan Y, dkk. Multicenter retrospective study on
the utilization of FEIBA in France in patients with factor VIII and factor IX
inhibitors. French FEIBA Study Group. Factor Eight Bypassing Activity.
Thromb Haemost. 1997;77:1113–9.
330. Astermark J, Donfield SM, DiMichele DM, dkk. A randomized comparison
of bypassing agents in hemophilia complicated by an inhibitor: the FEIBA
NovoSeven Comparative (FENOC) Study. Blood. 2007;109:546–51.

jdih.kemkes.go.id
- 152 -

331. Hay CRM, Brown S, Collins PW, dkk. The diagnosis and management of
factor VIII and IX inhibitors: a guideline from the United Kingdom
Haemophilia Centre Doctors Organisation. Br J Haematol. 2006;133:591–
605.
332. Nakar C, Shapiro A. Hemophilia A with inhibitor: Immune tolerance
induction (ITI) in the mirror of time. Transfusion and Apheresis Science
[Internet]. 2019; Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1473050219301533
333. Nilsson IM, Berntorp E, Zettervall O. Induction of immune tolerance in
patients with hemophilia and antibodies to factor VIII by combined
treatment with intravenous IgG, cyclophosphamide, and factor VIII. New
Engl J Med. 1988;318:947–50.
334. Brackmann HH, Gormsen J. Massive factor-VIII infusion in Haemophiliac
with factor-VIII inhibitor, high responder. 1977. Haemophilia. 2010;16:2–3.
335. Mauser-Bunschoten EP, Nieuwenhuis HK, Roosendaal G, dkk. Low-dose
immune tolerance induction in hemophilia A patients with inhibitors.
Blood. 1995;86:983–8.
336. Kempton CL, White GC. How we treat a hemophilia A patient with a factor
VIII inhibitor. Blood. 2009;113:11–7.
337. Oldenburg J, Schwaab R, Brackmann HH. Induction of immune tolerance
in haemophilia A inhibitor patients by the “Bonn Protocol”: predictive
parameter for therapy duration and outcome. Vox Sang. 1999;77 Suppl
1:49–54.
338. Freiburghaus C, Berntorp E, Ekman M, dkk. Tolerance induction using the
Malmö treatment model 1982-1995. Haemophilia. 1999;5:32–9.
339. Hay CRM, DiMichele DM, International Immune Tolerance Study. The
principal results of the International Immune Tolerance Study: a
randomized dose comparison. Blood. 2012;119:1335–44.
340. Mazepa MA, Monahan PE, Baker JR, dkk. Men with severe hemophilia in
the United States: birth cohort analysis of a large national database. Blood.
2016;127:3073–81.
341. Young G. New challenges in hemophilia: long-term outcomes and
complications.Hematol Am Soc Hemat. 2012;2012:362–8.
342. Duncan N, Shapiro A, Ye X, dkk. Treatment patterns, health-related quality
of life and adherence to prophylaxis among haemophilia A patients in the
United States. Haemophilia. 2012;18:760–5.

jdih.kemkes.go.id

Anda mungkin juga menyukai