jdih.kemkes.go.id
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
HEMOFILIA.
jdih.kemkes.go.id
-3-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2021
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
jdih.kemkes.go.id
-4-
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMORHK.01.07/MENKES/243/2021
TENTANG
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN TATA LAKSANA HEMOFILIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
jdih.kemkes.go.id
-5-
2500
2083 2092
2000 1848
1706 1708 1737
1585
1500 1388
1270 1280
1210
1084 1103 1136
1000 850
757
530
500
180 230
120 125
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Gambar 1. Jumlah penyandang hemofilia di Indonesia
Sumber: Data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia 2019
jdih.kemkes.go.id
-6-
jdih.kemkes.go.id
-7-
jdih.kemkes.go.id
-8-
B. Ringkasan Masalah
1. Kesadaran, deteksi dini dan diagnosis hemofilia belum optimal
jdih.kemkes.go.id
-9-
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Meningkatkan diagnosis dan tata laksana hemofilia yang optimal di
Indonesia.
2. Tujuan khusus
a. Meningkatkan mutu pelayanan diagnosis dan tata laksana pasien
hemofilia berdasarkan bukti klinis yang ada;
b. Memberikan faktor pembekuan secara profilaksis dosis rendah
sebagai terapi utama dalam tata laksana hemofilia khususnya
bagi penyandang hemofilia berat/sedang yang mengalami
perdarahan sendi berulang; dan
c. Membuat rekomendasi bagi fasilitas kesehatan primer sampai
dengan tersier serta penentu kebijakan lokal untuk penyusunan
protokol setempat/Panduan Praktek Klinis (PPK), berdasarkan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini.
jdih.kemkes.go.id
- 10 -
BAB II
METODOLOGI
C. Pertanyaan Klinis
1. Bagaimana besaran masalah hemofilia di dunia dan di Indonesia ?
2. Bagaimana pola penurunan penyakit hemofilia ?
3. Bagaimana hemofilia di diagnosis ?
a. Diagnosis klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis)
b. Diagnosis laboratorium (apa saja pemeriksaan penunjang
sederhana yang dapat dikerjakan untuk evaluasi pasien dengan
kelainan pembekuan darah, hingga pemeriksaan untuk diagnosis
pasti hemofilia)
4. Apa saja morbiditas penyakit hemofilia ?
a. Morbiditas apa yang paling sering dijumpai pada hemofilia ?
b. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat digunakan untuk
menilai morbiditas dan derajatnya ?
c. Bagaimana morbiditas tersebut di tata laksana ?
d. Bagaimana pengaruh perdarahan terhadap kualitas hidup
penyandang hemofilia ?
e. Apakah terdapat morbiditas lain yang juga dijumpai pada
penyandang hemofilia ? (dari laporan kasus)
5. Bagaimana tata laksana hemofilia ?
a. Apa standar baku pengobatan hemofilia ?
b. Produk darah apa saja yang dapat diberikan untuk
jdih.kemkes.go.id
- 11 -
jdih.kemkes.go.id
- 12 -
jdih.kemkes.go.id
- 13 -
Diagnosis
Terapi/pencegahan/
Level Prognosis Diagnosis banding/studi
Etiologi/Harm
prevalens gejala
1a Telaah sistematis (dengan Telaah Telaah Telaah sistematis
homogenitas*) RCT sistematis sistematis (dengan
(dengan (dengan homogenitas*) studi
homogenitas* homogenitas* kohort prospektif
) studi ) studi
insepsi diagnostik
kohort; CDR” level 1; CDR”
tervalidasi studi 1b dari
pada beberapa
populasi pusat klinis
berbeda
1b RCT individual (dengan IK Studi insepsi Studi kohort Studi kohort
sempit) kohort tervalidasi** prospektif dengan
individual, dengan angka pemantauan
dengan standar baku yang baik****
pemantauan yang baik”””
> 80%; CDR” atau CDR”
divalidasi diuji pada
pada satu satu pusat
populasi klinis
jdih.kemkes.go.id
- 14 -
jdih.kemkes.go.id
- 15 -
Keterangan:
RCT: randomized controlled trials
CDR: Clinical Decision Rule
IK: Interval kepercayaan
*: Homogenitas berarti studi-studi individual yang ditelaah tidak memiliki
variasi yang “mencemaskan” (heterogenitas). Tidak semua telaah sistematis
heterogen yang bermakna secara statistik perlu dicemaskan, dan tidak
semua heterogenitas yang “mencemaskan” bermakna secara statistik.
“: Clinical Decision Rule adalah algoritme atau sistem skoring yang
mengestimasi prognostik atau kategori diagnostik
§: terpenuhi ketika semua pasien meninggal sebelum reaksi muncul,
namun beberapa pasien bertahan saat ini; atau ketika beberapa pasien
meninggal sebelum reaksi muncul, namun tidak ada yang meninggal saat
ini
§§: kohort berkualitas rendah berarti studi yang tidak dapat memisahkan
kelompok yang dibandingkan dan/atau tidak dapat mengukur pajanan
dan luaran secara objektif (blind lebih disarankan) pada kelompok terpajan
dan tidak terpajan, dan/atau tidak dapat mengidentifikasi atau mengontrol
faktor perancu dan/atau tidak dapat melakukan follow-up yang cukup
lama dan lengkap pada pasien. Studi kasus kontrol berkualitas rendah
berarti studi yang tidak dapat mengukur pajanan dan luaran secara
objektif (blind lebih disarankan) pada kelompok kasus dan kontrol,
dan/atau tidak dapat mengidentifikasi atau mengontrol faktor perancu
“” : Absolute SpPIN adalah temuan diagnostik yang memiliki spesifisitas
sangat tinggi sehingga hasil positif akan menginklusi diagnosis. Absolute
SnNout adalah temuan diagnostik yang memiliki sensitivitas tinggi
sehingga hasil negative dapat mengeksklusi diagnosis.
“”” : Standar baku yang baik adalah standar yang tidak bergantung pada
uji yang digunakan (independen), dan diterapkan secara blind atau objektif
pada semua pasien. Standar baku yang buruk adalah standar yang
diterapkan secara tidak konsisten namun tetap bersifat independen.
jdih.kemkes.go.id
- 16 -
Derajat rekomendasi
1. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
2. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
3. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV
jdih.kemkes.go.id
- 17 -
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Definisi
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah yang bersifat herediter.
Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII (FVIII), sedangkan hemofilia
B disebabkan kekurangan faktor IX (FIX).
B. Epidemiologi
Insiden hemofilia A adalah 1 : 5.000-10.000 kelahiran bayi laki-laki,
sedangkan hemofilia B adalah 1 : 30.000–50.000 kelahiran bayi lelaki.
Diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita hemofilia di seluruh dunia
dan di Indonesia diperkirakan terdapat kurang lebih 25.000 dari jumlah
penduduk sekitar 250 juta jiwa. Namun, menurut data Himpunan
Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), hingga Desember tahun 2018
tercatat 2.098 pasien hemofilia, sehingga besar kemungkinan masih
banyak pasien hemofilia yang belum terdiagnosis dan tercatat.
jdih.kemkes.go.id
- 18 -
Seorang ibu dari seorang anak laki– Seorang ibu dari dari anak laki–laki
laki hemofilia dan mempunyai dengan hemofilia tetapi tidak
anggota keluarga dengan hemofilia mempunyai anggota keluaga lain
setidaknya satu orang. dengan hemofilia
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Hemofilia harus dicurigai bila pada anamnesis terdapat sebagai
berikut:
a. Laki-laki;
b. Mudah memar kebiruan tanpa penyebab yang jelas terutama
pada masa bayi dan balita;
c. Bengkak dan nyeri pada sendi;
d. Riwayat perdarahan yang sulit berhenti pasca trauma atau
tindakan medis tertentu seperti cabut gigi, sirkumsisi atau
operasi; dan
e. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama pada saudara laki-
laki pasien atau saudara laki-laki dari ibu pasien.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis tanda perdarahan khas berupa hemartrosis
dan/atau hematoma. Hemartrosis merupakan keluhan utama sekitar
70-80% kasus hemofilia datang dengan perdarahan akut. Sendi yang
mengalami perdarahan akan terlihat bengkak dan nyeri bila
jdih.kemkes.go.id
- 19 -
jdih.kemkes.go.id
- 20 -
jdih.kemkes.go.id
- 21 -
b. Diagnosis banding
Gangguan pembekuan darah dengan manifestasi klinis
hematoma dan hematrosis lainnya seperti defisiensi faktor XI,
penyakit von Willebrand, kelainan fibrinogen, dan kelainan fungsi
trombosit.
Selain perdarahan sendi, terdapat morbiditas lain yang dapat
terjadi pada hemofilia, yang dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perdarahan pada hemofilia (Dikutip dari guidelines for
the management of hemophilia, dengan modifikasi)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan untuk memastikan
diagnosis hemofilia dan mendeteksi komplikasi akibat terapi.
1) Pada pasien baru (belum tegak diagnosis hemofilia) dengan
klinis perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan skrining
hemostasis untuk mencari kemungkinan penyebabnya,
yaitu hitung trombosit, masa perdarahan (Bleeding Time =
BT), masa protrombin (Prothrombin Time = PT) dan masa
tromboplastin parsial teraktivasi (Activated Partial
Thromboplastin Time = aPTT). Pemeriksaan PT pada populasi
pasien tanpa riwayat gangguan perdarahan menunjukkan
pemanjangan pada 6,6% sampel, dan APTT pada 7,1%
sampel (LoE 1b). Pemeriksaan Clotting Time (CT) dapat
digunakan apabila aPTT tidak tersedia (LoE 4), namun
mengingat pemeriksaan clotting time kurang sensitif, maka
pemeriksaan ini hanya dianjurkan pada keadaan fasilitas
yang sangat terbatas/tidak memungkinkan dilakukan
jdih.kemkes.go.id
- 22 -
jdih.kemkes.go.id
- 23 -
jdih.kemkes.go.id
- 24 -
jdih.kemkes.go.id
- 25 -
jdih.kemkes.go.id
- 26 -
jdih.kemkes.go.id
- 27 -
jdih.kemkes.go.id
- 28 -
c. Luaran muskuloskeletal
Pemeriksaan dan pemantauan muskuloskeletal terutama sendi
besar (lutut, pergelangan kaki, siku, bahu) dan otot sangat
penting dalam tata laksana hemofilia. Pemantauan
muskuloskeletal mencakup pemeriksaan klinis dan radiologis,
untuk itu diperlukan koordinasi tim medis dan paramedis dalam
tim hemofilia terpadu. Pemantauan muskuloskeletal secara klinis
dapat berupa penilaian terhadap struktur dan fungsi
jdih.kemkes.go.id
- 29 -
jdih.kemkes.go.id
- 30 -
E. Tata Laksana
1. Prinsip tata laksana
Saat ini pemberian faktor pembekuan darah merupakan gold standard
tata laksana hemofilia, baik diberikan secara on demand (saat
perdarahan) maupun profilaksis. Apabila terjadi perdarahan, dosis
faktor pembekuan darah yang diberikan sesuai dengan manifestasi
klinis dan derajat hemofilia yang dialami pasien (lihat tabel 10, dosis
dibulatkan ke atas sesuai sediaan yang ada). Untuk perdarahan yang
mengancam jiwa (intrakranial, intra abdomen atau saluran napas),
faktor pembekuan darah harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih
lanjut.
Secara umum, prinsip dasar tata laksana hemofilia adalah:
a. Mencegah perdarahan dan mengobati perdarahan sedini
mungkin dengan memberikan faktor pembekuan yang sesuai.
b. Perdarahan akut (termasuk perdarahan sendi) sebaiknya diatasi
dalam waktu kurang dari 2 jam (LoE 4).
c. Pasien biasanya dapat mengenali gejala awal timbulnya
perdarahan, berupa sensasi “tingling” atau “aura”.
d. Pada kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa, seperti
perdarahan intrakranial, leher dan saluran cerna, berikan faktor
pembekuan sesegera mungkin, sebelum melakukan pemeriksaan
lainnya seperti pemeriksaan pencitraan dan laboratorium.
e. Untuk memudahkan penanganan kasus gawat darurat, setiap
pasien hemofilia harus membawa tanda pengenal khusus, berisi
identitas, diagnosis dan kadar aktivitas faktor pembekuan serta
nomor telepon RS/dokter tempat pasien biasa berobat (LoE 4).
f. Hindari melakukan vena seksi, kecuali pada keadaan yang sangat
mengancam jiwa (life saving). Bila melakukan pungsi vena,
sedapat mungkin gunakan jarum kupu-kupu berukuran kecil
(wing needle ukuran 23 atau 25 gauge). Lakukan penekanan 3-5
menit setelah melakukan pungsi vena.
g. Bila perdarahan tidak membaik setelah pemberian faktor
pembekuan yang adekuat, kadar faktor pembekuan dapat
diperiksa dan perlu dipikirkan kemungkinan adanya inhibitor
jika kadar faktor sangat rendah. (lihat penjelasan tentang
inhibitor).
jdih.kemkes.go.id
- 31 -
jdih.kemkes.go.id
- 32 -
beda. Oleh karena itu prioritas tata laksana hemofilia akan berbeda
dengan negara-negara Eropa. APHWG telah menekankan pentingnya
edukasi petugas kesehatan dan pemberdayaan penyandang hemofilia,
peningkatan kapasitas diagnosis, termasuk evaluasi genetik, dan
penilaian morbiditas muskuloskeletal dan tata laksananya di regio
Asia-Pasifik.
Tabel 10. Rekomendasi target kadar faktor VIII/IX plasma dan lama
pemberian. Dikutip dengan modifikasi (lihat keterangan).
Hemofilia A Hemofilia B
Jenis
Target Lama Target Lama
Perdarahan
Kadar (hari) Kadar (hari)
Plasma (%) Plasma (%)
Sendi 10-20 1-2* 10-20 1-2*
Otot (kecuali 10-20 2-3* 10-20 2-3*
iliopsoas)
Iliopsoas
-Awitan 20-40 1-2 15-30 1-2
-Pemeliharaan 10-20 3-5# 10-20 3-5#
SSP/Kepala
-Awitan 50-80 1-3 50-80 1-3
-Pemeliharaan 20-40 8-14 20-40 8-14
30-50 4-7 30-50 4-7
Tenggorok/leher
-Awitan 30-50 1-3 30-50 1-3
-Pemeliharaan 10-20 4-7 10-20 4-7
Gastrointestinal
-Awitan 30-50 1-3 30-50 1-3
-Pemeliharaan 10-20 4-7 10-20 4-7
Ginjal 20-40 3-5 15-30 3-5
Laserasi dalam 20-40 5-7 15-30 5-7
Operasi mayor
-Pre-operasi 60-80 50-70
-Pasca-operasi 30-40 1-3 30-40 1-3
20-30 4-6 20-30 4-6
10-20 7-14 10-20 7-14
jdih.kemkes.go.id
- 33 -
Operasi minor
-Pre operasi 40-80
-Pasca-operasi 20-50 1-5^ 1-5^
Keterangan: Dosis yang digunakan menyesuaikan dengan
rekomendasi WFH untuk terapi menggunakan dosis yang lebih rendah
*dapat diberikan lebih lama bila respons inadekuat, #dapat diberikan
lebih lama sebagai profilaksis selama fisioterapi, ^sesuai dengan tipe
prosedur
Perhitungan dosis faktor pembekuan merujuk pada kadar faktor
pembekuan saat hemofilia didiagnosis dan tidak perlu diperiksakan
ulang. Waktu paruh faktor VIII adalah 8-12 jam, sehingga perlu
diberikan setiap 12 jam atau 2 kali sehari. Waktu paruh faktor IX
adalah 18-24 jam, sehingga faktor IX dapat diberikan setiap 24 jam.
a. Cara menghitung kebutuhan faktor VIII :
F VIII (Unit) = BB (kg) x % (target kadar plasma – kadar F VIII pasien) x 0,5
diberikan per 12 jam
F IX (Unit) = BB (kg) x % target kadar plasma – kadar F IX pasien) diberikan per 24 jam
Gambar 5. RICE
jdih.kemkes.go.id
- 34 -
lain yang diturunkan (LoE 4). Kondisi ini dapat disesuaikan dengan
ketersediaan faktor pembekuan di pusat kesehatan masing-masing.
Keduanya diberikan melalui suntikan intravena.
a. Viral–inactivated human plasma derived concentrate
Pemilihan konsentrat dari plasma perlu mempertimbangkan
kemurnian produk dan faktor inaktivasi virus. Kemurnian
produk adalah perbandingan faktor yang diinginkan dengan
komposisi bahan lain. Produk konsentrat faktor VIII yang tersedia
memiliki karakteristik berdasarkan tingkat kemurnian yaitu:
1) Kemurnian intermediet (intermediate purify) mengandung 6-
10 unit faktor VIII/mg protein. Contoh: Humate-P
2) Kemurnian tinggi (high purify) mengandung paling sedikit 50
unit faktor VIII/mg protein (rata-rata 50-150 unit/mg
protein), tidak termasuk albumin yang digunakan untuk
stabilisasi. Contoh: Koate
3) Kemurnian sangat tinggi (ultrahigh purify). Produk ini
termasuk monoclonal antibody (mAb) affinity-purified dan
mengandung 3000 unit faktor VIII/mg protein, tidak
termasuk albumin yang digunakan untuk stabilisasi.
Contoh: Hemofil-M dan Monoclate-P
jdih.kemkes.go.id
- 35 -
jdih.kemkes.go.id
- 36 -
jdih.kemkes.go.id
- 37 -
jdih.kemkes.go.id
- 38 -
jdih.kemkes.go.id
- 39 -
5. Terapi profilaksis
a. Latar belakang
World Federation of Hemophilia tahun 2012 merekomendasikan
terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi
sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang
normal (LoE 2). Bahkan bila kadar faktor pembekuan dalam
plasma tidak bisa mencapai >1% setiap waktu, profilaksis tetap
bermanfaat untuk mencegah kerusakan sendi. World Federation
of Hemophilia mendefinisikan terapi profilaksis yang terfokus
pada luaran pasien hemofilia, yaitu untuk mencegah perdarahan
dan mempertahankan agar kualitas hidup pasien hemofilia
sebanding dengan orang tanpa hemofilia. Pada pasien dengan
perdarahan berulang, profilaksis jangka pendek selama 4-8
minggu dapat mengurangi risiko, bersamaan dengan fisioterapi
intensif atau sinoviorthesis (LoE 3). Jenis profilaksis hemofilia
dapat dilihat pada tabel 11.
Protokol Definisi
Profilaksis Pemberian faktor kontinu* setiap minggu tanpa ada bukti
primer penyakit sendi osteokondral, baik secara pemeriksaan fisis
dan/atau pencitraan, dan dimulai sebelum adanya perdarahan
sendi kedua/3 tahun.
Profilaksis Pemberian kontinu dimulai setelah 2 atau lebih perdarahan
sekunder sendi besar** dan sebelum dimulainya penyakit sendi yang
didokumentasikan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis
Profilaksis Pemberian kontinu dimulai setelah timbul penyakit sendi dari
tersier hasil pemeriksaan fisis dan radiografis
Profilaksis Tata laksana diberikan untuk mencegah perdarahan < 45 minggu
intermitten dalam setahun
Keterangan:
*kontinu didefinisikan sebagai pemberian profilaksis yang
direncanakan selama 52 minggu/tahun, dan telah mendapat
setidaknya 45 minggu (85%).
jdih.kemkes.go.id
- 40 -
jdih.kemkes.go.id
- 41 -
jdih.kemkes.go.id
- 42 -
jdih.kemkes.go.id
- 43 -
HB: 30-40
U/kg,
2x/minggu
Manco Prophylaxis 65 pasien, Profilaksis Durasi ± 4 Randomi Proporsi pasien
Johnso versus usia < 30 primer tahun (48- zed trial dengan sendi
n dkk., episodic bulan 58 bulan) (LoE 1b) index normal saat
2007, treatment to Dosis 25 usia 6 tahun
Amerik prevent U/kgBB, adalah 93% pada
a joint 3x/minggu kelompok
Serikat disease in profilaksis vs 55%
boys with pada kelompok on
severe demand (p 0,002)
haemophili
a
jdih.kemkes.go.id
- 44 -
jdih.kemkes.go.id
- 45 -
e, ) <20
noninterven U/kgBB;
tional, 20-30
phase IV U/kgBB;
(ReCARE) 30-50
study U/kgBB;
>50
U/kgBB
2x/minggu
.
jdih.kemkes.go.id
- 46 -
jdih.kemkes.go.id
- 47 -
jdih.kemkes.go.id
- 48 -
jdih.kemkes.go.id
- 49 -
jdih.kemkes.go.id
- 50 -
HA: 20 -30
iu 1x/week
or 10-15
IU/kg
2x/minggu
HB: 25-35
IU/kg
1x/minggu
Chozie Compariso 50 pasien, Tersier Durasi 12 Uji acak Jumlah
dkk., n of the usia 4-18 bulan, (LoE 1b) perdarahan total
2019, efficacy tahun Dosis 10 dan sendi pada
Indones and safety U/kg, kelompok
ia of 12-month 2x/minggu profilaksis 8 dan 3
low-dose vs kelompok on
factor VIII demand 9 dan 3 (p
tertiary <0,001)
prophylaxis
vs on
demand
treatment
in severe
haemophili
a A
children.
Haemophili
a. 2019
jdih.kemkes.go.id
- 51 -
jdih.kemkes.go.id
- 52 -
Dibandin Pemberian
gkan 2x/minggu lebih
dengan baik daripada
on 1x/minggu
demand (p<0,01)
Wu R, Low dose 34 Tersier Durasi Uji klinis Perdarahan sendi
dkk, secondary pasien, pemanta Prospektif tahunan
2011, prophylaxis median uan 12 (2b) berkurang dari
Cina reduces joint usia 7,8 minggu total 337 (rentang
bleeding in tahun (on individual 3-14,
severe and dengan demand) rerata 9,9) selama
moderate hemofilia kemudia observasi on
haemophilic sedang- n 12 demand ke 57
children: a berat (+) minggu (rentang 0-6,
pilot study in gangguan profilaksi rerata 1,7)
China sendi s dosis
rendah Penurunan secara
umum 83%
HA: 10
U/kg, Fungsi sendi
perbaikan pada
jdih.kemkes.go.id
- 53 -
Tidak dijumpai
inhibitor selama
studi berlangsung
Rampota A single 13 pasien Sekunder/ Dosis Kohort Median angka
s dkk., centre yang Tersier retrospektif perdarahan per
Alprolix ®
2020, retrospective sebelumn (dosis (LoE 2b) tahun SHL-FIX 3,
Inggris study of low ya rerata IQR 1-5 vs EHL-
dose diberikan FIX 3, IQL 1-5,25.
31.5
prophylaxis standard U/kg)
with half- life setiap 7 Median skor
extended factor IX kualitas hidup
hari
half-life factor (SHL-FIX) SHL FIX 0,76; IQR
IX for severe diganti 0,63-0,84 vs EHL-
Dosis
haemophilia ke FIX 0,79; IQR
Idelvion ®
B 0,58-0,88.
Alprolix® (dosis
rerata
7 pasien 20.2
diganti ke U/kg)
Idelvion® setiap 7
hari
Pengamat
an
jdih.kemkes.go.id
- 54 -
dilakuka Dosis
n selama SHL-IX
12 bulan diberikan
(SHL-IX) setiap 3
dan 12 hari
bulan
setelah
diganti ke
EHL-IX
jdih.kemkes.go.id
- 55 -
jdih.kemkes.go.id
- 56 -
jdih.kemkes.go.id
- 57 -
jdih.kemkes.go.id
- 58 -
jdih.kemkes.go.id
- 59 -
jdih.kemkes.go.id
- 60 -
jdih.kemkes.go.id
- 61 -
jdih.kemkes.go.id
- 62 -
jdih.kemkes.go.id
- 63 -
jdih.kemkes.go.id
- 64 -
jdih.kemkes.go.id
- 65 -
jdih.kemkes.go.id
- 66 -
jdih.kemkes.go.id
- 67 -
Parasetamol/asetaminofen
Jika tidak efektif
jdih.kemkes.go.id
- 68 -
Aspek Psikososial
Dukungan psikis dan sosial perlu diberikan kepada pasien
beserta keluarganya (LoE 2a). Tenaga medis dan relawan dari
organisasi pasien hemofilia berperan memberi dukungan
psikososial berupa:
1) Bersifat terbuka dan jujur dalam semua aspek pelayanan
hemofilia;
jdih.kemkes.go.id
- 69 -
jdih.kemkes.go.id
- 70 -
Tata laksana:
Kombinasi psikoterapi dan obat antidepresan memberikan
hasil yang baik. Pilihan obat antidepresan yang dapat
diberikan yaitu:
2) Gangguan Cemas
Manifestasi klinik:
a) Kecemasan;
b) Ketegangan motorik; dan
c) Overaktivitas otonom (kepala terasa ringan,
berkeringat, jantung berdebar, sesak napas, keluhan
lambung, kepala pusing, mulut kering).
Tata laksana:
Psikofarmaka:
a) Sertralin, rentang dosis anjuran 25-50 mg/ hari; dan
b) Lorazepam, rentang dosis anjuran 0,5-1 mg/ hari.
Non-psikofarmaka:
a) Terapi perilaku kognitif;
b) Psikoedukasi; dan
c) Psikoterapi.
3) Gangguan Penyesuaian
Manifestasi klinik:
a) Keluhan maupun gejala gangguan suasana perasaan
depresi atau cemas atau gangguan perilaku; dan
b) Onset keluhan timbul dalam periode waktu satu bulan
setelah terpapar pada stresor yang dapat teridentifikasi.
Tata laksana:
Tata laksana non-psikofarmaka merupakan pilihan utama
pada gangguan penyesuaian yaitu berupa psikoterapi.
Namun apabila gejala semakin memberat dan tidak
mengalami perbaikan, maka dapat dipertimbangkan untuk
pemberian antidepresan maupun ansiolitik.
jdih.kemkes.go.id
- 71 -
jdih.kemkes.go.id
- 72 -
jdih.kemkes.go.id
- 73 -
jdih.kemkes.go.id
- 74 -
jdih.kemkes.go.id
- 75 -
jdih.kemkes.go.id
- 76 -
jdih.kemkes.go.id
- 77 -
jdih.kemkes.go.id
- 78 -
jdih.kemkes.go.id
- 79 -
jdih.kemkes.go.id
- 80 -
jdih.kemkes.go.id
- 81 -
jdih.kemkes.go.id
- 82 -
Penyakit muskuloskeletal
Artropati merupakan komorbiditas utama pasien hemofilia
dewasa. Sekitar 50% pasien mengalami nyeri kronik harian,
terutama di sendi mata kaki. Keterbatasan aktivitas harian juga
dialami 89% pasien. Artropati hemofilik kronik dapat diatasi
dengan analgesik atau obat anti inflamasi, stimulasi saraf elektrik
transkutan atau pembedahan. Profilaksis sekunder dapat
mengurangi perdarahan dan perbaikan kualitas hidup, namun
belum ada laporan mengenai perbaikan status ortopedik. Terapi
fisik berupa latihan dapat memperbaiki keseimbangan, kekuatan
jdih.kemkes.go.id
- 83 -
Penyakit kardiovaskular
Belum ada studi yang menyebutkan insiden pasti penyakit
kardiovaskular pada hemofilia dewasa. Terdapat beberapa studi
kohort yang membandingkan mortalitas hemofilia dewasa
dibandingkan populasi lelaki umum dan menemukan rasio
kematian < 1,0 (LoE 1b), namun kohort Soucie dkk.(LoE 2b) di
Amerika Serikat menemukan rasio kematian 3,0 (95% IK: 1,5-
5,8). Hipertensi, overweight, obesitas banyak ditemukan pada
pasien hemofilia dewasa (LoE 4). Sampai saat ini belum ada
panduan tata laksana penyakit kardiovaskular pada hemofilia
dewasa, yang umumnya memerlukan obat-obatan anti-
hemostatik sehingga meningkatkan risiko perdarahan dan
memerlukan terapi pengganti intensif. Fibrilasi atrial pada
jdih.kemkes.go.id
- 84 -
Penyakit hati
Komplikasi hati yang sering dijumpai pada pasien hemofilia
adalah infeksi hepatitis C, sirosis hati, karsinoma hepatoselular
dan koinfeksi HIV. Pasien hemofilia memiliki 16,7 kali risiko
kematian dibandingkan populasi normal, dan risiko 5,6 kali lebih
tinggi untuk terjadinya kanker hati. Sebelum purifikasi
konsentrat faktor, hampir 80-90% pasien terinfeksi hepatitis C.
Pemantauan pasien dapat dikerjakan menggunakan
jdih.kemkes.go.id
- 85 -
jdih.kemkes.go.id
- 86 -
jdih.kemkes.go.id
- 87 -
2. Emicizumab
Emicizumab-kxwh (Hemlibra®, emicizumab, sebelumnya didesain
ACE910) adalah rekombinan antibodi monoklonal bispesifik
humanized yang berikatan dengan faktor IXa dan X secara simultan,
membawa kedua molekul ini bersama dan secara esensial
mensubstitusi fungsi faktor VIIIa sebagai kofaktor faktor IXa guna
jdih.kemkes.go.id
- 88 -
jdih.kemkes.go.id
- 89 -
mg/kg/4 99%
minggu ABR
HAVEN 3, Uji acak 152 Loading dose: 3 Reduks Tidak ada
2018 fase III, (remaja mg/kg/minggu i ABR reaksi
LoE 1b open dan selama 4 96% mayor
label hemofilia minggu; dosis dan
A dewasa rumatan: 1,5 97%
tanpa mg/kg/minggu pada
inhibitor) ATAU 3 kedua
mg/kg/2 lengan
minggu emicizu
mab,
dibandi
ngkan
dengan
terapi
FVIII
episodi
k
HAVEN 4, Uji non 48 (remaja Loading dose: 3 Sama Tidak ada
2017 acak fase dan mg/kg/minggu dengan reaksi
LoE 2b 3, open hemofilia selama 4 HAVEN mayor
label A dewasa minggu; dosis 1,2,3
dengan rumatan: 6
atau tanpa mg/kg/4
inhibitor) minggu
jdih.kemkes.go.id
- 90 -
jdih.kemkes.go.id
- 91 -
G. Komplikasi Hemofilia
1. Muskuloskeletal
Komplikasi muskuloskeletal terjadi akibat tidak terkontrolnya
perdarahan pada jaringan sekitar sendi dan otot ekstremitas. Pada
90% kasus hemofilia berat terjadi keterlibatan sistem muskuloskeletal
(Lobet et al). Perdarahan otot dan sekitar sendi akan mengakibatkan
kerusakan sendi dan otot yang apabila tidak terkendali akan berujung
pada penurunan fungsi otot, kaku dan nyeri sendi dan penurunan
kualitas hidup yang signifikan.
a) Sinovitis
Bila terjadi perdarahan sendi akut, sinovium sendi akan
mengalami inflamasi, hiperemis dan friable. Perdarahan
sendi berulang akan menyebabkan sinovium mengalami
inflamasi kronik, hipertrofi, reaktif serta mudah rapuh dan
mudah berdarah, sehingga sendi tampak membengkak (swollen)
dan menjadi lebih mudah mengalami perdarahan spontan. Sendi
yang telah mengalami perdarahan lebih dari tiga kali dalam 6
bulan disebut target joint, dan perlu mendapat perhatian khusus
karena kemungkinan besar telah terjadi sinovitis kronis. Tujuan
tata laksana sinovitis adalah deaktivasi sinovium sesegera
mungkin dan mempertahankan fungsi sendi (LoE 5),
menggunakan: faktor pembekuan yang diberikan dalam dosis
dan frekuensi yang cukup untuk mencegah perdarahan berulang
(6-8 minggu pemberian profilaksis sekunder) (LoE 2); fisioterapi
(LoE 2), penggunaan NSAID COX-2 inhibitor untuk mengurangi
inflamasi (LoE 2), penggunaan bracing fungsional yang
memungkinkan sendi untuk bergerak secara terbatas sehingga
jdih.kemkes.go.id
- 92 -
jdih.kemkes.go.id
- 93 -
jdih.kemkes.go.id
- 94 -
c) Pseudotumor
Pseudotumor terjadi akibat perdarahan otot atau jaringan lunak
yang tidak mendapat terapi adekuat, sehingga perdarahan yang
terjadi semakin banyak dan menekan tulang dan struktur lain di
sekitarnya. Pseudotumor sering terjadi pada tulang panjang dan
pelvis. Bila tidak diobati, pseudotumor dapat mencapai ukuran
yang sangat besar, merusak struktur neurovaskular dan
menyebabkan fraktur patologis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan klinis dan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang
dianjurkan adalah radiografi polos dan MRI tanpa kontras.
Apabila MRI tidak tersedia, makan CT dengan kontras boleh
dilakukan (LoE 4). Tata laksana meliputi pemberian faktor
pembekuan, aspirasi atau tindakan bedah sesuai keadaan klinis.
Pseudotumor ditata laksana sesuai dengan lokasi, ukuran,
jdih.kemkes.go.id
- 95 -
jdih.kemkes.go.id
- 96 -
jdih.kemkes.go.id
- 97 -
jdih.kemkes.go.id
- 98 -
jdih.kemkes.go.id
- 99 -
jdih.kemkes.go.id
- 100 -
jdih.kemkes.go.id
- 101 -
jdih.kemkes.go.id
- 102 -
jdih.kemkes.go.id
- 103 -
jdih.kemkes.go.id
- 104 -
3) Desmopressin (DDVP)
DDVP memiliki peranan dalam tata laksana perdarahan
minor pada hemofilia dengan inhibitor dan risiko tinggi
mutasi.
4) Recombinant porcine factor VIII (Obizur®) cukup efektif pada
kondisi perdarahan serius dan kadar titer inhibitor porcine
FVIII rendah.
5) Plasmaferesis
Plasmaferesis merupakan prosedur untuk membuang
inhibitor dari darah penderita. Biasanya dilakukan pada
keadaan yang membutuhkan penurunan cepat titer
inhibitor, contohnya sebelum operasi besar, atau
perdarahan akut yang tidak dapat dikontrol dengan
bypassing agents.
d. Immune Tolerance Induction (ITI)
Immune Tolerance Induction (ITI) didefinisikan sebagai eradikasi
inhibitor dengan pemberian antigen dosis tinggi dan atau terapi
modulasi imun. ITI adalah pemberian berkala faktor koagulasi
untuk merangsang toleransi imun perifer, dapat mengeliminasi
inhibitor pada beberapa pasien dengan kegagalan sekitar 40-
50%, namun prosedur ini membutuhkan biaya sangat mahal.
Beberapa metode ITI yang pernah dilakukan di beberapa negara
maju antara lain adalah protokol Malmo, protokol Bonn, dan
pemberian F VIII dengan dosis 25 IU/kg selang sehari, dengan
keberhasilan yang bervariasi antara 60-87. (lihat tabel 17) Dua
regimen ITI yaitu high-dose dan low-dose telah diperkenalkan.
Protokol high-dose merupakan modifikasi protocol Bonn, dengan
penggunaan FVII 100-150 IU/kg, 2 kali sehari, dengan atau
tanpa aPCC harian. Protokol modifikasi Bonn ini memiliki angka
kesuksesan mencapai 85%. Protokol low-dose merupakan
modifikasi Van Creveld/ Dutch protocol menggunakan FVIII 25
IU/kg setiap 2 hari, dan memiliki estimasi kesuksesan mencapai
85%.
jdih.kemkes.go.id
- 105 -
jdih.kemkes.go.id
- 106 -
jdih.kemkes.go.id
- 107 -
H. Prognosis Hemofilia
1. Mortalitas
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian
terkait perdarahan pada pasien hemofilia. Gagal fungsi hati
dilaporkan sebagai penyebab kematian pada 33% penderita hemofilia
berat dan 26% penderita hemofilia ringan. Berdasarkan laporan
registri hemofilia di Amerika Serikat pada tahun 1998 sampai 2011
didapatkan 7.486 pasien hemofilia, terdiri atas 65,4% dengan
hemofilia berat, 34,6% dengan hemofilia ringan, 81,4% dengan
hemofilia A, 18,6% dengan hemofilia B. Pada hemofilia berat
dilaporkan jumlah kematian sebanyak 551 dengan penyebab
kematian yaitu penyakit hati sebanyak 33% dan perdarahan terkait
hemofilia sebanyak 14,6%. Sedangkan pada hemofilia ringan, 26%
jdih.kemkes.go.id
- 108 -
jdih.kemkes.go.id
- 109 -
BAB IV
RANGKUMAN PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI
Rekomendasi Diagnosis
1. Pemeriksaan untuk uji penapisan pasien yang dicurigai mengalami
kelainan perdarahan adalah: hitung trombosit, BT, PT dan APTT. (Level
of evidence 1b, REKOMENDASI A)
2. Pemeriksaan radiografi sendi dapat digunakan untuk penegakan
diagnosis awal dan menentu derajat beratnya kerusakan sendi/tulang,
serta evaluasi jangka panjang. (Level of evidence 4, REKOMENDASI C)
3. Pemeriksaan MRI merupakan standar baku dalam diagnosis kerusakan
sendi/tulang secara menyeluruh dan pemantauan (Level of evidence 1b,
REKOMENDASI A). Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan pencitraan untuk menilai kerusakan sendi
apabila tidak ada fasilitas/ kesulitan melakukan MRI. (Level of evidence
2, REKOMENDASI B)
jdih.kemkes.go.id
- 110 -
jdih.kemkes.go.id
- 111 -
jdih.kemkes.go.id
- 112 -
jdih.kemkes.go.id
- 113 -
jdih.kemkes.go.id
- 114 -
jdih.kemkes.go.id
- 115 -
jdih.kemkes.go.id
- 116 -
Pergelangan
Pergelangan
Kriteria Siku Kiri Siku Kanan Lutut Kiri Lutut Kanan Kaki
Kaki Kanan
Kiri
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
Bengkak 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang 2 = Sedang
3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat 3 = Berat
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak ada 0 = Tidak
ada Bengkak ada Bengkak ada Bengkak ada Bengkak
Bengkak ada Bengkak
atau atau atau atau
atau Bengkak < atau Bengkak
Durasi Bengkak < 6 Bengkak < 6 Bengkak < 6 Bengkak < 6
6 Bulan < 6 Bulan
Bengkak Bulan Bulan Bulan Bulan
1 = 1 = 1 = 1 =
1 = Bengkak > 6 1 = Bengkak
Bengkak > 6 Bengkak > 6 Bengkak > 6 Bengkak > 6
Bulan > 6 Bulan
Bulan Bulan Bulan Bulan
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
Atrofi Otot
1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat
0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak 0 = Tidak
Krepitasi 0 = Tidak Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
dalam
1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan 1 = Ringan
Pergerakan
2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat 2 = Berat
0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5
1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10
Fungsi Fleksi
2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20
3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20
0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5 0=<5
Fungsi 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10 1 = 5 – 10
Ekstensi 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20 2 = 11 -20
3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20 3 = > 20
0 = Tidak ada nyeri pada saat pergerakan aktif
1 = Tidak ada nyeri pada pergerakan aktif, hanya nyeri pada saat penekanan dalam atau palpasi
2 = Nyeri pada pergerakan aktif
Nyeri Sendi
0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
jdih.kemkes.go.id
- 117 -
0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 4 3 3
4 4 4 4 4 4
0 = Semua kemampuan berada dlam batas normal 0
1 = Satu dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 1
Global Gait Score 2 = Dua dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 2
3 = Tiga dari seluruh kemampuan tidak dalam batas normal 3
4 = Tidak ada satupun dari seluruh kemampuan berada dalam batas normal 4
2. Skor Gilbert
a. Patient Data
1) Age
2) Factor deficiency (VIII, IX, etc.)
3) Factor level
4) Inhibitor (Yes or No)
5) Mode of treatment
O = No, or minimal transfusion therapy
E = Episodic transfusion for most of all bleeding episodes
M = Maintenance or prophylactic therapy
(H) = Added after E or M indicates that the patient is on a
homeself-transfusion program
Example: 16: VIII: <1:NO:E(H)
A 16-year-old patient, factor VIII deficient, with a level of
less than 1%. He does not have an inhibitor and treats at
home on an episodic basis.
jdih.kemkes.go.id
- 118 -
c. Pain
0: No pain
No functional deficit
No analgesic use (except with acute hemarthrosis)
1: Mild pain
Does not interfere with occupation nor with activities of daily living
(ADL)
Mar require occasional non-narcotic analgesic
2: Moderate pain
Partial or occasional interference with occupation or ADL
Use of non-narcotic medications
May require occasional narcotics
3: Severe pain
Interferes with occupation or ADL
Requires frequent use of non-narcotic and narcotic medications
d. Bleeding
This is measured by the number of minor and major hemarthroses per
year.
0 = None
1 = No major, 1-3 minor
2 = 1-2 major or 4-6 minor
3 = 3 or more major or 7 or more minor
Guidelines
Minor Major
Mild pain Pain
Minimal swelling Effusion
Minimal restriction of motion Limitation of motion
Reseolves within 24hrs of treatment Failure to respond within 24
hours
jdih.kemkes.go.id
- 119 -
e. Physical Examination
This is based on an additive score of 0-12 with 0 being a normal join
and 12 being most affected. An (S) is
added after the number if a chronic synovitis is clinically diagnosed
Swelling 0 or 2+(S)
Muscle atrophy 0-1
Axial deformity 0-2
Crepitus on motion 0-1
Range of motion 0-2
Flexion contracture 0 or 2
Instability 0-2
Guidelines
Swelling:
0 = None
2 = Present
(S) = Added after score if chronic synovitis is present
Muscle atrophy:
0 = None or minimal (<1cm)
1 = Present
Ankle
0 = No deformity
1 = Up to 10° valgus or up to 5° varus
2 = >10° valgus or >5° varus
Crepitus on motion:
0 = None
1 = Present
Range of motion:
0 = Loss of 10% of total full range of motion (FROM)
1 = Loss of 10-33 1/3% of total FROM
2 = Loss of >33 1/3% of total FROM
jdih.kemkes.go.id
- 120 -
Flexion contracture:
Measured only at hip, knee, or ankle
0 = <15° FFC (fixed flexion contracture)
2 = 15° or greater FFC at hip or knee or equines at ankle
Instability:
0 = None
1 = Noted on examination but neither interferes with function nor
requires bracing
2 = Instability that creates a functional deficit or requires bracing
jdih.kemkes.go.id
- 121 -
jdih.kemkes.go.id
- 122 -
Dalam adsorbed plasma terdapat kekurangan factor II, VII, IX dan X (vitamin K
dependent factors) sehingga hasil pemeriksaan PT (dengan reagen yang sensitif)
harus >60 detik. Waktu adsorbsi jangan terlalu lama karena dapat
menyebabkan hilangnya faktor koagulasi yang lain.
Faktor VIII atau faktor IX deficient plasma
Plasma ini diperoleh dari pasien hemofilia A atau B yang berat (<1 %). Plasma
dari pasien hemofilia tersebut harus mempunyai hasil PT yang normal. Plasma
tersebut dapat dilyophilized untuk penyimpanan lama atau disimpan pada suhu
– 35oC atau lebih rendah selama 3 bulan.
Pada kasus dengan pemanjangan APTT saja, F VIII deficient plasma lebih baik
dari pada aged plasma, dan F IX deficient plasma lebih baik dari adsorbed
plasma
Interpretasi.
Hasil mixing study APTT dinyatakan terkoreksi baik apabila hasil APTT
campuran dapat mengoreksi lebih dari 50% perbedaan antara APTT pasien dan
APTT kontrol, hal ini menunjukkan penyebab pemanjangan APTT adalah
defisiensi faktor.
Contoh :
APTT pasien 60 detik, kontrol 35 detik. Perbedaan 60 – 35= 25 detik. Hasil
Mixing APTT 42 detik. Koreksi 60 - 42 = 18 detik. Karena 18 > 25/2 maka
dikatakan terkoreksi baik berarti penyebab pemanjangan APTT adalah defisiensi
factor.
Jika hasil Mixing APTT 52 detik, koreksi 60 – 52 = 8. Karena 8 < 25/2 maka
dikatakan koreksi tidak baik atau tidak terkoreksi, jadi penyebabnya inhibitor.
jdih.kemkes.go.id
- 123 -
Jika terdapat inhibitor specifik terhadap F VIII, pada mixing study dengan
plasma normal biasanya tidak segera terkoreksi. Kadang-kadang terkoreksi
pada pemeriksaan mixing APTT yang segera (immediate) dikerjakan tetapi
memanjang jika plasma campuran diinkubasi pada 37oC selama 1 jam bersama
pemeriksaan APTT plasma pasien dan kontrol yang diinkubasi terpisah.
Defek APTT Hasil Mixing dengan Hasil Mixing dengan Hasil Mixing
plasma Aged plasma atau F Adsorbed plasma dengan Plasma
pasien VIII deficient atau F IX deficient normal
plasma
F VIII memanjang Tidak terkoreksi Terkoreksi Terkoreksi
F IX memanjang Terkoreksi Tidak terkoreksi Terkoreksi
F XI/XII memanjang Terkoreksi Terkoreksi Terkoreksi
Inhibitor memanjang Tidak terkoreksi Tidak terkoreksi Tidak terkoreksi
Faktor Koagulasi
Faktor koagulasi untuk hemofilia A dan B terdiri dari faktor koagulasi yang
berasal dari plasma (plasma derived) dan rekombinan. Konsentrat Faktor VIII
untuk hemofilia A dan faktor IX untuk hemofilia B. Berdasarkan lama kerja dan
masa paruhnya, konsentrat faktor pembekuan juga dapat dibagi menjadi tipe
standar (masa paruh 8 – 12 jam untuk faktor VIII, dan 12 – 24 jam untuk faktor
IX) dan tipe extended half-life (faktor VIII 12 – 24 jam, faktor IX 24 – 72 jam).
Untuk hemofilia A/B dengan inhibitor faktor VIII/IX, diperlukan bypassing
agent yaitu faktor VII atau kompleks prothrombin. Semua faktor koagulasi ini
harus diberikan secara intravena.
Saat ini yang tersedia di Indonesia:
Kandungan Indikasi Merk dagang Keterangan
Faktor VIII Hemofilia A Koate DVI Plasma derived, standard half life
Hemoctin
Octanate
Beriate
Faktor IX Hemofilia B Octanine Plasma derived, standard half life
21;.l=tg-hyrF Hemofilia A/B Novoseven rekombinan
VIIa dengan inhibitor
Prothrombin Hemofilia A/B Octaplex Plasma derived
complex dengan inhibitor
concentrate
(PCC)
jdih.kemkes.go.id
- 124 -
BAB V
SIMPULAN
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
jdih.kemkes.go.id
- 125 -
DAFTAR PUSTAKA
1. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von Willebrand disease.
In: Nathan and Oski’s hematology of infancy and childhood Dalam: Nathan
DG, SH O, penyunting. 6th ed. Tokyo: WB Saunders Company; 2003. p.
1631–69.
2. Friedman KD, Rodgers GM. Inherited coagulation disorders. In: Wintrobe’s
clinical hematology Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JM, Rodgers GM,
Paraskevas F, Glader B, penyunting. 11th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004. p. 1620–7.
3. Chozie NA, Gatot D, Moeslichan MZ. Gangguan pembekuan darah yang
diturunkan : hemofilia. In: Buku ajar hematologi-onkologi Dalam:
Windiastuti E, Nency YM, Mulatsih S, Sudarmanto B, Ugrasena IDG,
penyunting. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
p. 188–95.
4. Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia. Peluncuran aplikasi
“Hemofilia Indonesia” registrasi nasional berbasis android/ Data Nasional:
langkah awal penanganan hemofilia yang efektif. World Hemophilia Day
2019; 2019 Apr 4; Borobudur Hotel Jakata.
5. Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia. Data Perkembangan Tata
laksana Hemofilia di Indonesia. World Hemophilia Day 2019. Borobudur
Hotel Jakata; 2019.
6. Chozie NA. Terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi
on-demand untuk mencegah progresivitas artropati pada anak penyandang
hemofilia berat: Kajian pada luaran klinis, skor muskuloskeletal,
ultrasonografi sendi, kadar C-terminal telopeptide of collagen type II urin
dan terbentuknya inhibitor faktor VIII. [Dissertation]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2016.
7. Chozie NA, Primacakti F, Gatot D, dkk. Comparison of the efficacy and
safety of 12-month low-dose factor VIII tertiary prophylaxis vs on-demand
treatment in severe haemophilia A children. Haemophilia. 2019;25(4):633-
9
8. Srivastava A, Santagostino E, Dougall A, dkk. WFH Guidelines for the
Management of Hemophilia, 3rd edition. Haemophilia. 2020:00:1-158
9. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) &
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI). Panduan diagnosis
dan tata laksana hemofilia. 1st ed. Jakarta: PHTDI; 2013.
jdih.kemkes.go.id
- 126 -
jdih.kemkes.go.id
- 127 -
19. Evatt BL, Austin H, Leon G, dkk. Haemophilia therapy: assessing the
cumulative risk of HIV exposure by cryoprecipitate. Haemophilia.
1999;5:295–300.
20. Oxford Centre for Evidence-based Medicine - Levels of Evidence (March
2009) [Internet]. CEBM. 2009 [cited 2018 Jan 12]. Available from:
http://www.cebm.net/blog/2009/06/11/oxford-centre-evidence-based-
medicine-levels-evidence-march-2009/
21. Marques MB, Fritsma GA. Hemorrhagic coagulation disorders. Dalam: BF
R, penyunting Hematology: clinical principles and applications. 2nd edition.
Tokyo: WB Saunders Company; 2002. p. 588–604.
22. Scott JP, Montgomery RR. Hereditary clotting factor. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting Nelson textbook of
pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2007. p. 2066–
74.
23. World Federation of Hemophilia. Carriers and women with hemophilia. In
Canada: World Federation of Hemophilia; 2012. Available from:
http://www1.wfh.org/publications/files/pdf-1471.pdf diakses pada
tanggal 8 September 2019
24. Kershaw G, Orellana D. Mixing tests: diagnostic aides in the investigation
of prolonged prothrombin times and activated partial thromboplastin times.
Semin Thromb Hemost. 2013;39:283–90.
25. Berntorp E, Shapiro AD. Modern haemophilia care. Lancet. 2012;379:1447–
56.
26. Peyvandi F, Garagiola I, Young G. The past and future of haemophilia:
diagnosis, treatments, and its complications. Lancet (London, England).
2016 Jul;388(10040):187–97.
27. Konkle BA, Huston H, Nakaya Fletcher S. Hemophilia A. In: Adam MP,
Ardinger HH, Pagon RA, Wallace SE, Bean LJ, Stephens K, et al., editors.
GeneReviews® [Internet]. Seattle (WA): University of Washington, Seattle;
1993. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1404/
28. Sarnaik A, Kamat D, Kannikeswaran N. Diagnosis and management of
bleeding disorder in a child. Clin Pediatr (Phila). 2010;49:422–31.
29. Capoor MN, Stonemetz JL, Baird JC, dkk. Prothrombin Time and Activated
Partial Thromboplastin Time Testing: A Comparative Effectiveness Study in
a Million-Patient Sample. PLoS One [Internet]. 2015;10. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4532488/
jdih.kemkes.go.id
- 128 -
jdih.kemkes.go.id
- 129 -
jdih.kemkes.go.id
- 130 -
56. Dunkley S, Lam JCM, John MJ, dkk. Principles of haemophilia care: The
Asia-Pacific perspective. Haemophilia. 2018;24:366–75.
57. Hermans C, De Moerloose P, Fischer K, dkk. Management of acute
haemarthrosis in haemophilia A without inhibitors: literature review,
European survey and recommendations. Haemophilia. 2011;17:383–92.
58. Farrugia A. Guide for the assessment of clotting factor concentrates, 2nd
ed. Montreal: World Federation of Hemophilia, 2008.
59. Mannucci PM. The choice of plasma-derived clotting factor concentrates.
Baillieres Clin Haematol. 1996;9:273–90.
60. Lusher JM. Recombinant clotting factor concentrates. Baillieres Clin
Haematol. 1996;9:291–303.
61. Santagostino E, Mannucci PM, Gringeri A, dkk. Transmission of parvovirus
B19 by coagulation factor concentrates exposed to 100 degrees C heat after
lyophilization. Transfusion. 1997;37:517–22.
62. Morfini M, Longo G, Rossi Ferrini P, dkk. Hypoplastic anemia in a
hemophiliac first infused with a solvent/detergent treated factor VIII
concentrate: the role of human B19 parvovirus. Am J Hematol.
1992;39:149–50.
63. Urwin P, Thanigaikumar K, Ironside JW, dkk. Sporadic Creutzfeldt-Jakob
Disease in 2 Plasma Product Recipients, United Kingdom. Emerg Infect Dis.
2017;23:893–7.
64. Burnouf T, Radosevich M. Nanofiltration of plasma-derived
biopharmaceutical products. Haemophilia. 2003;9:24–37.
65. Kasper CK, Hemophilia of Georgia, U.S.A. Protocols for the treatment of
haemophilia and von Willebrand disease. Haemophilia. 2000;6 Suppl 1:84–
93.
66. Kim HC, McMillan CW, White GC, dkk. Purified factor IX using monoclonal
immunoaffinity technique: clinical trials in hemophilia B and comparison
to prothrombin complex concentrates. Blood. 1992;79:568–75.
67. Lippi G, Franchini M. Pathogenesis of venous thromboembolism: when the
cup runneth over. Semin Thromb Hemost. 2008;34:747–61.
68. Björkman S, Berntorp E. Pharmacokinetics of coagulation factors: clinical
relevance for patients with haemophilia. Clin Pharmacokinet. 2001;40:815–
32.
69. Azzi A, De Santis R, Morfini M, dkk. TT virus contaminates first-generation
recombinant factor VIII concentrates. Blood. 2001;98:2571–3.
jdih.kemkes.go.id
- 131 -
jdih.kemkes.go.id
- 132 -
81. Powell JS, Josephson NC, Quon D, dkk. Safety and prolonged activity of
recombinant factor VIII Fc fusion protein in hemophilia A patients. Blood.
2012;119:3031–7.
82. Mahlangu J, Powell JS, Ragni MV, dkk. Phase 3 study of recombinant factor
VIII Fc fusion protein in severe hemophilia A. Blood. 2014;123:317–25.
83. Baru M, Carmel-Goren L, Barenholz Y, dkk. Factor VIII efficient and specific
non-covalent binding to PEGylated liposomes enables prolongation of its
circulation time and haemostatic efficacy. Thromb Haemost. 2005;93:1061–
8.
84. Spira J, Plyushch O, Andreeva T, dkk. Safety and efficacy of a long-acting
liposomal formulation of plasma-derived factor VIII in haemophilia A
patients. Br J Haematol. 2012;158:149–52.
85. Mei B, Pan C, Jiang H, Tjandra H, dkk. Rational design of a fully active,
long-acting PEGylated factor VIII for hemophilia A treatment. Blood.
2010;116:270–9.
86. Dumont JA, Liu T, Low SC, dkk. Prolonged activity of a recombinant factor
VIII-Fc fusion protein in hemophilia A mice and dogs. Blood.
2012;119:3024–30.
87. Saenko E, Pipe S. Strategies towards a longer acting factor VIII.
Haemophilia 12 Suppl 42. 2006;3.
88. Agersø H, Stennicke HR, Pelzer H, dkk. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of turoctocog alfa and N8-GP in haemophilia A dogs.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2012;18:941–7.
89. Schaub RG. Recent advances in the development of coagulation factors and
procoagulants for the treatment of hemophilia. Biochem pharmacol.
2011;82:91–8.
90. Lindhout T, Iqbal U, Willis LM, dkk. Site-specific enzymatic polysialylation
of therapeutic proteins using bacterial enzymes. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America. 2011;108:7397–402.
91. Food and Drugs Administration. Idelvion. [Internet] United States: Food and
Drugs Administration; 2016 [Accessed on 2019 Sep 8]. Available from:
http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProdu
cts/ApprovedProducts/LicensedProductsBLAs/FractionatedPlasmaProduc
ts/UCM489301.pdf
jdih.kemkes.go.id
- 133 -
jdih.kemkes.go.id
- 134 -
105. Giangrande PLF, Wilde JT, Madan B, dkk. Consensus protocol for the use
of recombinant activated factor VII [eptacog alfa (activated); NovoSeven] in
elective orthopaedic surgery in haemophilic patients with inhibitors.
Haemophilia. 2009;15:501–8.
106. Aronstam A, Arblaster PG, Rainsford SG, dkk. Prophylaxis in haemophilia:
a double-blind controlled trial. Br J Haematol. 1976;33:81–90.
107. Astermark J, Petrini P, Tengborn L, dkk. Primary prophylaxis in severe
haemophilia should be started at an early age but can be individualized. Br
J Haematol. 1999;105:1109–13.
108. Feldman BM, Pai M, Rivard GE, dkk. Tailored prophylaxis in severe
hemophilia A: interim results from the first 5 years of the Canadian
Hemophilia Primary Prophylaxis Study. J. Thromb. Haemost. 2006;4:1228–
36.
109. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, dkk. The effects of
postponing prophylactic treatment on long-term outcome in patients with
severe hemophilia. Blood. 2002;99:2337–41.
110. Coppola A, Franchini M, Tagliaferri A. Prophylaxis in people with
haemophilia. Thromb Haemost. 2009;101:674–81.
111. Petrini P. What factors should influence the dosage and interval of
prophylactic treatment in patients with severe haemophilia A and B?
Haemophilia. 2001;7:99–102.
112. Kavakli K, Aydogdu S, Taner M, dkk. Radioisotope synovectomy with
rhenium186 in haemophilic synovitis for elbows, ankles and shoulders.
Haemophilia. 2008;14:518–23.
113. Luchtman-Jones L, Valentino LA, Manno C, Recombinant Therapy
Workshop Participants. Considerations in the evaluation of haemophilia
patients for short-term prophylactic therapy: a paediatric and adult case
study. Haemophilia. 2006;12:82–6.
114. Poonnoose P, Carneiro JDA, Cruickshank AL, dkk. Episodic replacement of
clotting factor concentrates does not prevent bleeding or musculoskeletal
damage - the MUSFIH study. Haemophilia. 2017;23:538–46.
115. MASAC Recommendation Concerning Prophylaxis [Internet]. National
Hemophilia Foundation. 2014 [cited 2019 May 28]. Available from:
https://www.hemophilia.org/Researchers-Healthcare-Providers/Medical-
and-Scientific-Advisory-Council-MASAC/MASAC-
Recommendations/MASAC-Recommendation-Concerning-Prophylaxis
jdih.kemkes.go.id
- 135 -
116. Valentino LA. Secondary prophylaxis therapy: what are the benefits,
limitations and unknowns? Haemophilia. 2004;10:147–57.
117. Jackson SC, Yang M, Minuk L, dkk. Prophylaxis in older Canadian adults
with hemophilia A: lessons and more questions. BMC Hematol [Internet].
2015 [cited 2020 Jan 28];15. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4331146/
118. Manco-Johnson MJ, Nuss R, Geraghty S, dkk. Results of secondary
prophylaxis in children with severe hemophilia. Am J Hematol.
1994;47:113–7.
119. Liesner RJ, Khair K, Hann IM. The impact of prophyactic treatment on
children with severe haemophilia. Br J Haematol. 1996;92:973–8.
120. Van den Berg HM, Fischer K, Mauser-Bunschoten EP, dkk. Long-term
outcome of individualized prophylactic treatment of children with severe
haemophilia. Br J Haematol. 2001;112:561–5.
121. Liou W-S, Tu T-C, Cheng S-N, dkk. Secondary prophylaxis treatment versus
on-demand treatment for patients with severe haemophilia A: comparisons
of cost and outcomes in Taiwan. Haemophilia. 2011;17:45–54.
122. Ingerslev J, Lethagen S, Hvitfeldt Poulsen L, dkk. Long-standing
prophylactic therapy vs. episodic treatment in young people with severe
haemophilia: a comparison of age-matched Danish and Russian patients.
Haemophilia. 2014;20:58–64.
123. Tagliaferri A, Feola G, Molinari AC, dkk. Benefits of prophylaxis versus on-
demand treatment in adolescents and adults with severe haemophilia A: the
POTTER study. Thromb Haemost. 2015;114:35–45.
124. Wu R, Luke KH. The benefit of low dose prophylaxis in the treatment of
hemophilia: a focus on China. Expert Rev Hematol. 2017;10:995–1004.
125. Tang L, Wu R, Sun J, dkk. Short-term low-dose secondary prophylaxis for
severe/moderate haemophilia A children is beneficial to reduce bleed and
improve daily activity, but there are obstacle in its execution: a multi-centre
pilot study in China. Haemophilia. 2013;19:27–34.
126. Li G, Wu RH, Wu XY. Efficacy and safety of recombinant coagulation factor
IX in moderate and severe hemophilia B children in China: a signal centre
observation study. Chin J Appl Clin Pediatr. 2013;28:1128–30.
127. Wu R, Wu X, Zhang N, dkk. [Long-term low-dose secondary prophylaxis for
severe and moderate hemophilia children with arthropathy in China: a
single-center observation study]. Zhonghua Xue Ye Xue Za Zhi.
2013;34:632–4.
jdih.kemkes.go.id
- 136 -
128. Wu RH, Wu Xinyi, Zhang NN. Modified long-term Low dose Secondary
Prophylaxis for Severe and Moderate hemophilia A Children with
Arthropathy: A single-centre prospective study in China. Haemophilia.
2012;18:164.
129. Li PJ, Wu RH. In 4 Children with severe hemophilia A individualized
upgrade ladder prevention treatment process and curative effect of review.
Chinese J Thromb Hemost. 2016;22:395–8.
130. Liu GQ, Tang L, Wu XY, dkk. [Analysis of individualized primary
prophylactic treatment of 19 cases of children with severe hemophilia A].
Zhonghua Er Ke Za Zhi. 2016;54:923–6.
131 Yao W, Xiao J, Cheng X, dkk. The Efficacy of Recombinant FVIII Low-Dose
Prophylaxis in Chinese Pediatric Patients With Severe Hemophilia A: A
Retrospective Analysis From the ReCARE Study. Clin Appl Thromb Hemost.
2017;23:851–8.
132. Fu LL, Tang L, Chen ZP, dkk. Intracranial hemorrhage occurred in children
with severe haemophilia under different treatment. J China Pediatr Blood
Cancer. 2017;22:78-81,86.
133. Verma SP, Dutta TK, Mahadevan S, dkk. A randomized study of very low-
dose factor VIII prophylaxis in severe haemophilia - A success story from a
resource limited country. Haemophilia. 2016;22:342–8.
134. Chuansumrit A, Isarangkura P, Hathirat P. Prophylactic treatment for
hemophilia A patients: a pilot study. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 1995;26:243–6.
135. Gouider E, Jouini L, Achour M, dkk. Low dose prophylaxis in Tunisian
children with haemophilia. Haemophilia. 2017;23:77–81.
136. Li C, Zhang X, Zhao Y, dkk. Long-term efficacy and safety of prophylaxis
with recombinant factor VIII in Chinese pediatric patients with hemophilia
A: a multi-center, retrospective, non-interventional, phase IV (ReCARE)
study. Curr Med Res Opin. 2017;33:1223–30.
137. Wu R, Sun J, Xiao J, dkk. A prospective study of health-related quality of
life of boys with severe haemophilia A in China: comparing on-demand to
prophylaxis treatment. Haemophilia. 2017;23:430–6.
138. Sidharthan N, Narayana Pillai V, Mathew S, dkk. Low Dose
Secondary/Tertiary Prophylaxis Is Feasible and Effective in Resource
Limited Setting in South India for Children with Hemophilia. Blood.
2016;128:2336–2336.
jdih.kemkes.go.id
- 137 -
jdih.kemkes.go.id
- 138 -
jdih.kemkes.go.id
- 139 -
jdih.kemkes.go.id
- 140 -
177. Heijnen L, Buzzard BB. The role of physical therapy and rehabilitation in
the management of hemophilia in developing countries. Semin Thromb
Hemost. 2005;31:513–7.
178. Ingram GI, Mathews JA, Bennett AE. Controlled trial of joint aspiration in
acute haemophilic haemarthrosis. Ann Rheum Dis. 1972;31:423.
179. Rodriguez-Merchan EC. Aspects of current management: orthopaedic
surgery in haemophilia. Haemophilia 2012;18(1):8-16. Haemophilia.
2012;18:8–16.
180. Aronstam A, Browne RS, Wassef M, dkk. The clinical features of early
bleeding into the muscles of the lower limb in severe haemophiliacs. J Bone
Joint Surg Br. 1983;65:19–23.
181. Beyer R, Ingerslev J, Sørensen B. Current practice in the management of
muscle haematomas in patients with severe haemophilia. Haemophilia.
2010;16:926–31.
182. Railton GT, Aronstam A. Early bleeding into upper limb muscles in severe
haemophilia. Clinical features and treatment. J Bone Joint Surg Br.
1987;69:100–2.
183. Rodriguez-Merchan EC. Musculoskeletal complications of hemophilia. HSS
journal : the musculoskeletal journal of Hospital for Special Surgery.
2010;6:37–42.
184. Llinás A, Silva M, Pasta G, dkk. Controversial subjects in musculoskeletal
care of haemophilia: cross fire. Haemophilia. 2010;16 Suppl 5:132–5.
185. Rodriguez-Merchan EC. Orthopedic management in hemophilia: a Spanish
outlook. Semin Hematol. 2008;45:S58-63.
186. Blamey G, Forsyth A, Zourikian N, dkk. Comprehensive elements of a
physiotherapy exercise programme in haemophilia--a global perspective.
Haemophilia. 2010;16 Suppl 5:136–45.
187. Ashrani AA, Osip J, Christie B, dkk. Iliopsoas haemorrhage in patients with
bleeding disorders--experience from one centre. Haemophilia. 2003;9:721–
6.
188. Balkan C, Kavakli K, Karapinar D. Iliopsoas haemorrhage in patients with
haemophilia: results from one centre. Haemophilia. 2005;11:463–7.
189. Fernandez-Palazzi F, Hernandez SR, De Bosch NB, dkk. Hematomas within
the iliopsoas muscles in hemophilic patients: the Latin American
experience. Clin Orthop Relat Res. 1996;19–24.
190. Quon DV, Konkle BA. How we treat: haematuria in adults with haemophilia.
Haemophilia. 2010;16:683–5.
jdih.kemkes.go.id
- 141 -
jdih.kemkes.go.id
- 142 -
jdih.kemkes.go.id
- 143 -
jdih.kemkes.go.id
- 144 -
230. Siboni SM, Mannucci PM, Gringeri A, dkk. Health status and quality of life
of elderly persons with severe hemophilia born before the advent of modern
replacement therapy. J Thromb Haemost. 2009;7:780–6.
231. Canaro M, Goranova-Marinova V, Berntorp E. The ageing patient with
haemophilia. Eur J Haematol. 2015;94 Suppl 77:17–22.
232. Anagnostis P, Vakalopoulou S, Slavakis A, dkk. Reduced bone mineral
density in patients with haemophilia A and B in Northern Greece. Thromb
Haemost. 2012;107:545–51.
233. Khawaji M, Akesson K, Berntorp E. Long-term prophylaxis in severe
haemophilia seems to preserve bone mineral density. Haemophilia.
2009;15:261–6.
234. Khawaji M, Astermark J, Akesson K, dkk. Physical activity for prevention of
osteoporosis in patients with severe haemophilia on long-term prophylaxis.
Haemophilia. 2010;16:495–501.
235. Rodriguez-Merchan EC. Bone fractures in the haemophilic patient.
Haemophilia : the official journal of the World Federation of Hemophilia.
2002;8:104–11.
236. Kruse-Jarres R, Quon D, Schramm W, dkk. Management of bleeding
disorders in the elderly. Haemophilia. 2012;18 Suppl 2:37–45.
237. Triemstra M, Rosendaal FR, Smit C, dkk. Mortality in patients with
hemophilia. Changes in a Dutch population from 1986 to 1992 and 1973
to 1986. Ann Intern Med. 1995;123:823–7.
238. Darby SC, Kan SW, Spooner RJ, dkk. Mortality rates, life expectancy, and
causes of death in people with hemophilia A or B in the United Kingdom
who were not infected with HIV. Blood. 2007;110:815–25.
239. Rosendaal FR, Varekamp I, Smit C, dkk. Mortality and causes of death in
Dutch haemophiliacs, 1973-86. Br J Haematol. 1989;71:71–6.
240. Soucie JM, Nuss R, Evatt B, dkk. Mortality among males with hemophilia:
relations with source of medical care. The Hemophilia Surveillance System
Project Investigators. Blood. 2000;96:437–42.
241. Fransen van de Putte DE, Fischer K, dkk. Increased prevalence of
hypertension in haemophilia patients. Thromb Haemost. 2012;108:750–5.
242. Mannucci PM, Schutgens REG, Santagostino E, dkk. How I treat age-related
morbidities in elderly persons with hemophilia. Blood. 2009;114:5256–63.
243. Khleif AA, Rodriguez N, Brown D, dkk. Multiple Comorbid Conditions
among Middle-Aged and Elderly Hemophilia Patients: Prevalence Estimates
and Implications for Future Care. J Aging Res. 2011;2011:985703.
jdih.kemkes.go.id
- 145 -
jdih.kemkes.go.id
- 146 -
258. Roth DA, Tawa NE, O’Brien JM, dkk. Factor VIII Transkaryotic Therapy
Study Group. Nonviral transfer of the gene encoding coagulation factor VIII
in patients with severe hemophilia A. N Engl J Med. 2001;344:1735–42.
259. Manno CS, Pierce GF, Arruda VR, dkk. Successful transduction of liver in
hemophilia by AAV-Factor IX and limitations imposed by the host immune
response. Nat Med. 2006;12:342–7.
260. Kay MA, Manno CS, Ragni MV, Larson PJ, Couto LB, McClelland A, et al.
Evidence for gene transfer and expression of factor IX in haemophilia B
patients treated with an AAV vector. Nature genetics. 2000;24:257–61.
261. Manno CS, Chew AJ, Hutchison S, dkk. AAV-mediated factor IX gene
transfer to skeletal muscle in patients with severe hemophilia B. Blood.
2003;101:2963–72.
262. Nathwani AC, Tuddenham EGD, Rangarajan S, dkk. Adenovirus-associated
virus vector-mediated gene transfer in hemophilia B. N Engl J Med.
2011;365:2357–65.
263. Nathwani AC, Reiss UM, Tuddenham EGD, dkk. Long-term safety and
efficacy of factor IX gene therapy in hemophilia B. N Engl J Med.
2014;371:1994–2004.
264. Jiang H, Lillicrap D, Patarroyo-White S, dkk. Multiyear therapeutic benefit
of AAV serotypes 2, 6, and 8 delivering factor VIII to hemophilia A mice and
dogs. Blood. 2006;108:107–15.
265. Waddington SN, Nivsarkar MS, Mistry AR, dkk. Permanent phenotypic
correction of hemophilia B in immunocompetent mice by prenatal gene
therapy. Blood. 2004;104:2714–21.
266. Ohlfest JR, Frandsen JL, Fritz S, dkk. Phenotypic correction and long-term
expression of factor VIII in hemophilic mice by immunotolerization and
nonviral gene transfer using the Sleeping Beauty transposon system. Blood.
2005;105:2691–8.
267. Ide LM, Gangadharan B, Chiang K-Y, dkk. Hematopoietic stem-cell gene
therapy of hemophilia A incorporating a porcine factor VIII transgene and
nonmyeloablative conditioning regimens. Blood. 2007;110:2855–63.
268. Brown BD, Cantore A, Annoni A, dkk. A microRNA-regulated lentiviral
vector mediates stable correction of hemophilia B mice. Blood.
2007;110:4144–52.
269. Murphy SL, High KA. Gene therapy for haemophilia. Br J Haematol.
2008;140:479–87.
jdih.kemkes.go.id
- 147 -
270. Scott DW, Lozier JN. Gene therapy for haemophilia: prospects and
challenges to prevent or reverse inhibitor formation. Br J Haematol.
2012;156:295–302.
271. Kitazawa T, Igawa T, Sampei Z,dkk. A bispecific antibody to factors IXa and
X restores factor VIII hemostatic activity in a hemophilia A model. Nat Med.
2012;18:1570–4.
272. Muto A, Yoshihashi K, Takeda M, dkk. Anti-factor IXa/X bispecific antibody
ACE910 prevents joint bleeds in a long-term primate model of acquired
hemophilia A. Blood. 2014;124:3165–71.
273. Food and Drug Administration. Nonproprietary Naming of Biological
Products. [Internet]. 2017. (Accessed on 13 Dec 2017) Available from:
https://www.fda.gov/downloads/drugs/guidances/ucm459987.pdf
274. Food and Drug Administration. Emicizumab. [Internet]. ((Accessed on 13
Dec 2017) Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label//761083s000lbl.
pdf
275. National Hemophilia Foundation. Emicizumab [Internet]. [cited 23 Jan
2020]. Available from:
https://www.hemophilia.org/sites/default/files/document/files/255Emic
izumab.pdf
276. Franchini M, Marano G, Pati I, dkk. Emicizumab for the treatment of
haemophilia A: a narrative review. Blood Transfus. 2019;17:223–8.
277. Oldenburg J, Mahlangu JN, Kim B, dkk. Emicizumab Prophylaxis in
Hemophilia A with Inhibitors. N Engl J Med. 2017;377:809–18.
278. Young G, Liesner R, Sidonio RF, dkk. Emicizumab Prophylaxis Provides
Flexible and Effective Bleed Control in Children with Hemophilia Α with
Inhibitors: Results from the HAVEN 2 Study. Blood. 2018;132:632–632.
279. Mahlangu J, Oldenburg J, Paz-Priel I, dkk. Emicizumab Prophylaxis in
Patients Who Have Hemophilia A without Inhibitors. N Engl J Med.
2018;379:811–22.
280. Pipe SW, Shima M, Lehle M, dkk. Efficacy, safety, and pharmacokinetics of
emicizumab prophylaxis given every 4 weeks in people with haemophilia A
(HAVEN 4): a multicentre, open-label, non-randomised phase 3 study.
Lancet Haematol. 2019;6:e295–305.
281. Knight T, Callaghan MU. The role of emicizumab, a bispecific factor IXa-
and factor X-directed antibody, for the prevention of bleeding episodes in
patients with hemophilia A. Ther Adv Hematol. 2018;9:319–34.
jdih.kemkes.go.id
- 148 -
282. Brophy DF, Martin EJ, Kuhn J. Use of global assays to monitor emicizumab
prophylactic therapy in patients with haemophilia A with inhibitors.
Haemophilia. 2019;25:e121–3.
283. Recommendation on the Use and Management of Emicizumab-kxwh
(Hemlibra®) for Hemophilia A with and without Inhibitors [Internet].
National Hemophilia Foundation. 2018 [cited 2019 Jul 25]. Available from:
https://www.hemophilia.org/Researchers-Healthcare-Providers/Medical-
and-Scientific-Advisory-Council-MASAC/MASAC-
Recommendations/Recommendation-on-the-Use-and-Management-of-
Emicizumab-kxwh-Hemlibra-for-Hemophilia-A-with-and-without-
Inhibitors
284. Collins PW, Liesner R, Makris M, dkk. Treatment of bleeding episodes in
haemophilia A complicated by a factor VIII inhibitor in patients receiving
Emicizumab. Interim guidance from UKHCDO Inhibitor Working Party and
Executive Committee. Haemophilia. 2018;24:344–7.
285. Rodriguez-Merchan EC. Aspects of current management: orthopaedic
surgery in haemophilia. Haemophilia. 2012;18:8–16.
286. Seuser A, Berdel P, Oldenburg J. Rehabilitation of synovitis in patients with
haemophilia. Haemophilia. 2007;13 Suppl 3:26–31.
287. Yoon KH, Bae DK, Kim HS, dkk. Arthroscopic synovectomy in haemophilic
arthropathy of the knee. Int Orthop; 2005;29(5):296-300.
288. Thomas S, Gabriel MB, Assi PE, dkk. Radioactive synovectomy with
Yttrium90 citrate in haemophilic synovitis: Brazilian experience.
Haemophilia. 2011;17:e211-6.
289. Suh HC, Kim D-K, Kang SH, dkk. Clinical and Radiological Evaluation After
Chemical Synovectomy With Rifampicin in Hemophilic Arthropathy: Korean
Experience With a 2-Week Interval Protocol. Ann Rehabil Med.
2018;42:449–56.
290. Van Kasteren ME, Nováková IR, Boerbooms AM, dkk. Long term follow up
of radiosynovectomy with yttrium-90 silicate in haemophilic haemarthrosis.
Annals of the rheumatic diseases. 1993;52:548–50.
291. Arnold WD, Hilgartner MW. Hemophilic arthropathy. Current concepts of
pathogenesis and management; 1977.;59;3;287-305
292. Doria AS, Lundin B, Miller S, dkk. Reliability and construct validity of the
compatible MRI scoring system for evaluation of elbows in haemophilic
children. Haemophilia. 2008;14:303–14.
jdih.kemkes.go.id
- 149 -
jdih.kemkes.go.id
- 150 -
jdih.kemkes.go.id
- 151 -
jdih.kemkes.go.id
- 152 -
331. Hay CRM, Brown S, Collins PW, dkk. The diagnosis and management of
factor VIII and IX inhibitors: a guideline from the United Kingdom
Haemophilia Centre Doctors Organisation. Br J Haematol. 2006;133:591–
605.
332. Nakar C, Shapiro A. Hemophilia A with inhibitor: Immune tolerance
induction (ITI) in the mirror of time. Transfusion and Apheresis Science
[Internet]. 2019; Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1473050219301533
333. Nilsson IM, Berntorp E, Zettervall O. Induction of immune tolerance in
patients with hemophilia and antibodies to factor VIII by combined
treatment with intravenous IgG, cyclophosphamide, and factor VIII. New
Engl J Med. 1988;318:947–50.
334. Brackmann HH, Gormsen J. Massive factor-VIII infusion in Haemophiliac
with factor-VIII inhibitor, high responder. 1977. Haemophilia. 2010;16:2–3.
335. Mauser-Bunschoten EP, Nieuwenhuis HK, Roosendaal G, dkk. Low-dose
immune tolerance induction in hemophilia A patients with inhibitors.
Blood. 1995;86:983–8.
336. Kempton CL, White GC. How we treat a hemophilia A patient with a factor
VIII inhibitor. Blood. 2009;113:11–7.
337. Oldenburg J, Schwaab R, Brackmann HH. Induction of immune tolerance
in haemophilia A inhibitor patients by the “Bonn Protocol”: predictive
parameter for therapy duration and outcome. Vox Sang. 1999;77 Suppl
1:49–54.
338. Freiburghaus C, Berntorp E, Ekman M, dkk. Tolerance induction using the
Malmö treatment model 1982-1995. Haemophilia. 1999;5:32–9.
339. Hay CRM, DiMichele DM, International Immune Tolerance Study. The
principal results of the International Immune Tolerance Study: a
randomized dose comparison. Blood. 2012;119:1335–44.
340. Mazepa MA, Monahan PE, Baker JR, dkk. Men with severe hemophilia in
the United States: birth cohort analysis of a large national database. Blood.
2016;127:3073–81.
341. Young G. New challenges in hemophilia: long-term outcomes and
complications.Hematol Am Soc Hemat. 2012;2012:362–8.
342. Duncan N, Shapiro A, Ye X, dkk. Treatment patterns, health-related quality
of life and adherence to prophylaxis among haemophilia A patients in the
United States. Haemophilia. 2012;18:760–5.
jdih.kemkes.go.id