Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan


proporsi terbesar kematian balita terjadi pada masa neonatal (43%). Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas 2007), penyebab kematian neonatal adalah asfiksia, prematuritas dan
BBLR, sepsis, hipotermi, kelainan darah/ikterus, postmatur dan kelainan kongenital. Salah
satu bentuk kelainan darah adalah defisiensi vitamin K yang dapat menyebabkan perdarahan
intrakranial sehingga berakibat kematian atau kecacatan pada bayi baru lahir (KEMENKES
RI, 2011).
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) dapat berakibat fatal dengan insiden
diperkirakan 1:100 hingga 1:400 kelahiran. Di Amerika defisiensi vitamin K menyebabkan
perdarahan 0,25% hingga 1,7% minggu pertama setelah lahir pada bayi yang sebelumnya
terlihat sehat (Ervani, 2008). Di beberapa negara Asia angka kematian bayi karena PDVK
berkisar antara 1: 1.200 samapai 1:1.400 kelahiran hidup. Angka kajadian tersebut ditemukan
lebih tinggi mencapai 1:500 kelahiran di daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis
vitamin K secara rutin pada bayi baru lahir. Angka tersebut turun menjadi 1:10.000 dengan
pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir (KEMENKES RI, 2011). Di Indonesia
data mengenai PDVK secara nasional belum tersedia, hingga tahun 2004 didapatkan 21 kasus
di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr. Soetomo
Surabaya (Permono, 2005).
Profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir sangat penting dilakukan karena bayi baru
lahir mengalami defisiensi faktor pembekuan yang tergantung vitamin K secara bermakna
pada saat awal kehidupan. Konsentrasi faktor pembekuan ini rendah dalam plasma beberapa
hari setelah lahir dan mencapai titik terendah pada hari ketiga. Hal ini dikarenakan sedikitnya
vitamin K yang dapat melewati sawar plasenta sehingga menyebabkan rendahnya cadangan
1

vitamin K pada saat lahir, kadar vitamin K yang rendah pada air susu ibu, terlambatnya
kolonisasi bakteri penghasil vitamin K diusus dan beberapa faktor lainnya. Kombinasi
berbagai keadaan ini yang menimbulkan gangguan hemostasis, sehingga bayi baru lahir
rentan mengalami perdarahan akibat kekurangan vitamin K.
Salah satu tindakan pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kematian bayi
adalah dengan terwujudnya kerjasama Departemen Kesehatan RI dengan Tim Ahli dari
berbagai profesi dan Tim Teknis Health Technology Assesment (HTA) Indonesia pada tahun
2002-2003, dimana mereka telah merekomendasikan pemberian profilaksis vitamin K1 pada
semua bayi baru lahir di Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya, disusun pedoman teknis
pemberian injeksi Vitamin K1 profilaksis pada bayi baru lahir di tingkat pelayanan kesehatan
dasar yang bertujuan memberikan petunjuk tentang penatalaksanaan pemberian vitamin K1
pada bayi baru lahir untuk mencegah kejadian PDVK (KEMENKES, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Hemostasis
Hemostasis adalah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan

keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam pembuluh darah dan menutup
kerusakan dinding pembuluh darah sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat
terjadinya kerusakan pembuluh darah. Proses hemostasis memerlukan tiga langkah untuk
dapat berjalan normal, langkah pertama disebut hemostasis primer dengan pembentukan
primary plateket plug, langkah kedua disebut hemostasis sekunder dengan pembentukan
stable hemostatic plug, dan langkah yang ketiga fibrinolisis setelah dinding vaskuler
mengalami reparasi sempurna (Bakta, 2007).
Proses hemostasis memiliki mekanisme yang kompleks yang terdiri dari empat fase
yang terdiri atas (Bakta, 2007):
1. Fase vaskular (terjadi reaksi lokal pembuluh darah)
2. Fase trombosit (timbul aktivitas trombosit)
3. Fase plasma (terjadi interaksi beberapa faktor koagulasi spesifik yang beredar
didalam darah)
4. Fase fibrinolosis (proses lisis bekuan darah)

2.1.1

Proses pembekuan darah


Kaskade pembekuan darah terdiri dari jalur ekstrinsik dan intrinsik. Aktivasi

intrinsik dimulai dengan aktivasi faktor kontak (contact factor), yaitu faktor XII, High
Molecular weight Kininogen (HMWK), dan prekalikren. Selanjutnya terjadi aktivasi
faktor XI, X dan IX. Jalur ini dimulai ketika prekalikren, HMWK, fakator XI dan

faktor XII bersentuhan dengan permukaan sel endotelial, yang disebut dengan fase
kontak. Dengan adanya fase kontak ini terjadi konversi dari prekalikrein menjadi
kalikrein, yang kemudian mengaktifkan faktor XII menjadi XIIa. Faktor XIIa akan
memacu proses pembekuan melalui aktivasi faktor XI, IX, X dan II secara berurutan.
Aktivasi faktor Xa memerlukan bantuan dari tenase complex, terdiri dari ion Ca2+,
faktor VIIIa, IXa dan X yang terdapat pada permukaan sel trombosit. Faktor VIIIa
pada proses koagulasi bersifat seperti reseptor terhadap faktor IXa dan X. Aktifasi
faktor VIII menjadi VIIIa dipicu oleh terbentuknya trombin. Faktor X yang suda
teraktivasi (Xa) akan mengaktifkan protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor
IIa) Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan banttuan
komples prtrombinase yang terdiri dari fosfolipid sel trombosit, ion Ca2+, faktor V dan
Xa. Faktor Va dipicu oleh adanya trombin, faktor V merupakan kofaktor dalam
pembentukan kompleks protrombinase. Setelah fibrin monomer terbentuk, dengan
peran trombin, faktor XIII akan teraktivasi menjadi XIIIa yang akan membantu
pembentukan cross-linked fibrin polymer yang lebih kuat (Permono, 2005).

Gambar 1. Kaskade Pembekuan Darah (Permono, 2005)

Aktivasi jalur ekstrinsik dimulai ketika terjadi kontak antara jaringan


subendotil dengan darah yang akan membawa faktor jaringan (tissue factor) serta
aktivasi faktor VII. Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja dari trombin dan faktor
Xa. Tissue factor (TF) akan berikatan dengan faktro VIIa yang akan mempercepat
aktivasi fakor X menjadi faktor Xa yang akan membentuk fibrin yang sama seperti
jalur intrinsik. Faktor VIIa dan TF ternyata juga mampu mengaktifkan faktor IX,
sehingga membentuk hubungan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik (Permono, 2005).

2.1.2

Perkembangan hemostasis neonatus


Sistem koagulasi pada masa neonatus masih belum matang, dimana kadar

sistem prokoagulasi seperti protein prekalikrein, HMWK, faktor V, XI, XII dan faktor
koagulasi yang tergantung dengan vitamin K seperti II, VII, IX, X dalam tubuh masih
sangat rendah. Pada bayi cukup bulan kadarnya hanya 15-50% dari kadar dewasa,
dan lebih rendah lagi pada bayi prematur. Kadar antikoagulan seperti antitrombin
protein C dan S juga lebih rendah 50% dari normal. Namun kadar faktor VIII, Von
Willebrand dan fibrinogem setara dengan dewasa. Kadar protein proakuagulan
maupun antukoagulan ini secara bertahap akan meningkat dan dapat mencapai kadar
yang sama dengan dewasa pada usia 6 bulan (Permono, 2005).

2.1.3

Peran vitamin K terhadap proses hemostasis


Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, sehingga absorbsinya

sangat tergantung pada garam empedu. Diidentifikasi pertama kali oleh ahli biokimia
Denmark pada tahun 1939, hal ini berawal dari penemuan adanya perdarahan yang
terjadi pada ayam yang diberikan diet tanpa lemak.

Vitamin K merupakan suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan


aktivasi beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah, seperti faktor
II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta beberapa protein lain seperti
protein Z dan M yang belum banyak diketahui peranannya dalam pembekuan darah.
Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu (KEMENKES, 2011):
a. Vitamin K1 (phytomenadione), terdapat pada sayuran hijau.
b. Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus normal seperti
Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli.
c. Vitamin K3 (menadione) merupakan vitamin K sintetik tetapi jarang
diberikan lagi pada neonatus karena dilaporkan dapat menyebabkan
anemia hemolitik.

2.2.

Perdarahan akibat Defiisiensi Vitamin K (PDVK)

2.2.1

Definisi
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K didefinisikan sebagai perdarahan

spontan atau akibat trauma pada bayi yang berhubungan dengan defisiensi vitamin K
dan menurunnya aktifitas faktor pembekuan II, VII, IX dan X atau disebut dengan
proteins induced by vitamin K absence or antagonism (PIVKA), dengan nilai
fibrinogen dan trombosit yang normal (NHMRC, 2010).
2.2.2

Klasifikasi
PDVK diklasifikasikan berdasarkan usia timbulnya manifestasi yang terbagi

menjadi onset awal, klasik, lambat dan sekunder.


a. PDVK onset awal, terjadi pada hari pertama kehidupan, jarang terjadi dan
ditemui pada bayi yang ibunya menerima pengobatan yang mempengaruhi
metabolisme vitamin K. Obat-obat tersebut dapat berupa antikonvulsan
fenitoin, barbiturat atau carbamazepin, obat antituberkulosis rifampisin,
6

dan antagonis vitamin K seperti warfarin dan fenindion. Laporan kasus


seperti ini ditemui sekitar 6-12%
b. PDVK klasik, ditemui pada usia satu hari hingga tujuh hari setelah
kelahiran dan lebih sering pada bayi yang keadaan umumnya tidak baik
saat lahir atau yang pemberian makannya tertunda. Perdarahan biasanya
berasal dari umbilikus, saluran gastrointestinal, bekas suntikan pada kulit,
luka operasi dan otak walau jarang.
c. PDVK onset lambat, ditemui pada bayi yang berusia delapan hari hingga 6
bulan setelah kelahiran, namun paling sering pada usia satu hingga tiga
bulan dan pada bayi yang diberi air susu ibu (ASI). Perdarahan intrakranial
yang serius dapat terjadi hingga 30-50%, dapat juga terjadi perdarahan
pada kulit, saluran gastrointestinal dan umbilikus. Sekitar 30% mengalami
memar-memar

kecil

atau

tanda-tanda

koagulopati

lainnya

yang

mendahului terjadinya perdarahan serius.


d. PDVK sekunder, ditemui pada usia 2 minggu hingga satu tahunm keatas.
Penyebabnya dapat dikarenakan oleh malabsorbsi vitamin K di usus,
atresia bilier, dan penyakit hati yang berat seperti obstruksi intrahepatik
bilier, penyakit kolestasis, dan lainnya.

Tabel 1. Klasifikasi PDVK

(Permono, 2005)

2.2.3

Epidemiologi
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K dapat berakibat fatal dengan insidensi

1: 100 kelahiran di dunia (Asrul, 2007). Angka kejadian PDVK di Eropa, ketika
profilaksis belum dilakukan, sebanyak 5-6: 100.000 kelahiran hidup. Di Amerika
defisiensi vitamin K menyebabkan perdarahan 0,25% hingga 1,7% minggu pertama
setelah lahir pada bayi yang tadinya terlihat sehat. Insidensi PDVK lebih tinggi pada
negara yang masih berkembang. Dibeberapa negara Asia angka kesakitan bayi karena
PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai 1 : 1.400 kelahiran hidup (KEMENKES RI,
2011). Di Indonesia data mengenai PDVK secara nasional belum tersedia, hingga
tahun 2004 didapatkan 21 kasus di RSCM

Jakarta, 6 kasus di RS Dr Sardjito

Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr Soetomo Surabaya (Permono, 2005).


Diantara beberapa klasifikasi PDVK, PDVK onset lambat menjadi perhatian
khusus, terutama di negara-negara Asia Tenggara, karena memiliki prevalensi yang

tinggi yaitu 30-80: 100.000 kelahiran, insiden perdarahan intrakranial yang tinggi
(80%), mortalitas yang tinggi (25%), dan menyebabkan

cacat neurologis yang

menetap (50-65%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan dengan rasio sekitar 2:1. Kebanyakan dari mereka menerima air susu
ibu (90-95%) dan tidak menerima vitamin K profilaksis ketika lahir (80-90%)
(Isarangkura, 1999). Di Hanoi insidensi PDVK onset lambat diperkirakan 116 per
100.000 kelahiran pada bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis (Ervani,
2008). Hasil penelitian lain yang dilaporkan dari Eropa dan Asia insiden PDVK onset
lambat terjadi berkisar 4,4-7,2: 100.000 kelahiran dan angka tersebut turun menjadi
1,4-6,4: 100.000 kelahiran setelah dilakukan profilaksis vitamin K (Blackmon, 2003).

2.2.4

Etiologi
Defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir disebabkan oleh berbagai faktor

antara lain karena rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir, prematuritas, kadar
vitamin K yang rendah dalam air susu ibu, terlambatnya kolonisasi bakteri usus yang
disebabkan oleh terlambatnya pemberian makanan, ASI eksklusif, diare berat dan
pemberian antibiotik (Asrul, 2007). Gangguan pembekuan darah pada masa anak juga
dapat disebabkan oleh (Permono, 2005):
a. Kekurangan faktor pembekuan darah yang tergantung vitamin K
b. Penyakit hati
c. Percepatan penghancuran faktor koagulasi: Disseminates Intravascular
Coagulation (DIC), Fibrinolisis (Penyakit hati, agen trombolitik, pasca
pembedahan)
d. Inhibitor terhadapa faktor koagulasi: Inhibitor spesifik, Antibodi
antifosfolipid, Lain-lain: antitrombin, paraproteinemia

e. Lain-lain:

Setelah

tranfusi

masif,

setelah

mendapatkan

sirkulasi

ekstrakorporal, penyakit jantung bawaan, amiloidosis, sindroma nefrotik

2.2.5

Patogenesis
Vitamin K tidak dihasilkan oleh tubuh dan dapat diperoleh melalui konsumsi

sayuran hijau dan sintesis mikroflora usus yaitu Bacteroides Fragilis yang dapat
mensintesis vitamin K dan menjamintidak terjadinya defisiensi pada orang dewasa
(Murray, 2003). Meskipun demikian bayi baru lahir rentan terhadap defisiensi vitamin
K karena saat kehamilan jumlah vitamin K yang melewati sawar plasenta sangat kecil
(<0.05 ng/l) bahkan tidak terdeteksi. Ditambah dengan keadaan kadar vitamin K yang
rendah dalam air susu ibu (1,5-2,1 ng/l), terlambat kolonisasi bakteri usus yang
disebabkan oleh terlambatnya pemberian makanan, ASI eksklusif, diare berat dan
pemberian antibiotik. Kombinasi dari beberapa keadaan ini lah yang menyebabkan
rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir dan beberapa minggu kehidupan
(Ervani, 2008).
Kadar vitamin K yang rendah menyebabkan terhambatnya modifikasi
postranslasional atau reaksi karboksilasi atom C pada gamma-metilen, senyawa asam
glutamat (Glu) tertentu yang terdapat pada prekursor protein pembekuan. Tidak
adanya

reaksi

karboksilasi

ini

menyebabkan

tidak

terbentuknya

senyawa

gamakarboksi glutamat (Gla), sehingga PIVKA tidak dapat mengikat ion Ca2+.
Apabila PIVKA tidak dapat berikatan dengan ion Ca2+ maka tidak terjadi aktivasi
serangkaian kaskade pembekuan darah. Kompleks protrombin

tidak teraktivasi

otomatis fibrin polimer yang berperan dalam penghentian perdarahan tidak terbentuk
sehingga perdarahan tetap berlangsung (Murray, 2003).

10

Gambar 2. Siklus vitamin K dan reaksi karboksilasi (Permono, 2005)

2.2.6

Manifestasi Klinis
Manifestasis klinis yang sering ditemukan adalah perdarahan yang dapat

terjadi spontan atau akibat trauma terutama trauma lahir. Tempat perdarahan yang
utama adalah umbilikus, membran mukosa, saluran cerna, sirkumsisi dan pungsi vena.
Perdarahan kulit sering berupa purpura, ekimosis dan bekas tusukan jarum suntik
(KEMENKES, 2011).
Perdarahan yang sering terjadi pada PDVK adalah perdarahan intrakranial
yang memiliki prevalensi, penyebab kecacatan dan mortalitas yang tinggi. Manifestasi
klinis yang sering ditemui pada kasus perdarahan intrakranial berdasarkan hasil dari
48 penelitian yang dikumpulkan dari tahun 1990-2013 di Turki, didapatkan 534
pasien dengan perdarahan intrakrania;, dimana keluhan yang sering dilaporkan adalah
sebagai berikut (Unal, 2014):
1. Kejang: 212 orang (39,7 %)
2. Muntah ketika pemberian asupan: 164 orang (30,7%)
11

3. Rewel/ iritabilitas: 158 orang (29,6%)


4. Ekimosis dan perdarahan: 156 orang (29,2%)
5. Bulging pada fontanela : 109 orang (20,4%)
6. Pucat: 83 orang (15,5%)
7. Diare atau melena: 67 orang (12,5%)
8. Jaundis: 20 orang (3,7%)
Hasil pemeriksaan fisik yang juga sering dilaporkan pada pasien dengan
perdarahan intrakranial adalah sebagai berikut (Unal, 2014):
1. Penonjolan / bulging pada fontanela: 103 orang (19,3%)
2. Gangguan kesadaran: 68 orang (12,7%)
3. Penurunan atau hilang reflek neonatal: 67 orang (12,6%)
4. Pallor: 56 orang (10,5%)
5. Kegagalan pada jantung dan paru: 35 orang (6,6%)
6. Peningkatan reflek tendon dalam: 26 oramg (4,9%)
7. Anisokoria: 22 orang (4,1%)
8. Hilang reflek pupil: 17 orang (3,2%)
9. Penurunan reflek tendon dalam: 13 oramg (2,4%)
2.2.7

Diagnosis
Diagnosis PDVK ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, manifestasi

klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


a. Anamnesis difokuskan terhadapa awitan perdarahan, lokasi perdarahan,
pemberian ASI eksklusif atau formula, riwayat ibu minum obat-obatan yang
dapat

mempengaruhi

metabolisme

12

vitamin

seperti

antikoagulan,

antikonvulsan dan antituberkulostatik, serta anamnesis untuk menyingkirkan


kemungkinan lainnya (Permono, 2005).
b. Pemeriksaan laboratorium, untuk mendeteksi defisiensi vitamin K dapat
dilakukan dengan cara (Ervani, 2008):
1. Skrining perdarahan, dijumpai masa prtorombin (PT) dan activated
partial thromboplastin time (aPTT) memanjang dengan kadar trombosit
dan fibrinogen normal. Adanya respon yang baik setelah pemberian
vitamin K serta perbaikan nilai PT dapat dijadikan konfirmasi diagnosis.
2. Pemeriksaan faktor pembekuan yang tergantung vitamin K.
3. Pemeriksaan kadar vitamin K secara direk atau indirek. Pemeriksaan
konsentrasi vitamin K dalam plasma dengan teknin Fluorometric
Detection dimana kadar normal pada orang dewasa 0,55 ng/l. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan vitamin K total dengan pemeriksaan metabolit
Aglycon dalam urin dengan teknik High Performance Liquid
Chromatograph (HPLC).
c. Pemeriksaan penunjang, seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan
untuk melihat lokasi perdarahan, misalnya jika dicurigai terjadi
perdarahan intrakranial.

2.2.8

Pencegahan
Pencegahan perdarahan akibat defisiensi vitamin K dapat dicegah
dengan pemberian vitamin K setelah kelahiran dengan tujuan jangka panjang
hingga tubuh anak mampu mencukupi kebutuhan vitamin K-nya sendiri.
Pemberian satu dosis intramuskular sudah dapat mencegah perdarahan onset
awal, klasik dan lambat. Pemberian satu dosis oral hanya mencegah onset dini

13

dan klasik. Berikut beberapa rekomendasi pencegahan PDVK berdasarkan


onset kejadiannya (NHMRC, 2010):
a. PDVK onset awal, dapat muncul pada saat kelahiran sehingga
direkomendasikan bagi wanita yang menjalani pengobatan yang dapat
mempengaruhi metabolisme vitamin K harus menerima 20 mg vitamin K
harian selam 2 minggu sebelum kelahiran. Selain itu, bagi bayi yang lahir
dari seorang ibu tersebut harus menerima vitamin K intramuskular
sesegera mungkin setelah lahir.
b.

PDVK klasik dapat dicegah dengan pemberian dosis tunggal vitamin K


yang dapat diberikan secara intramuskular maupun oral saat setelah
kelahiran.

c.

PDVK onset lambat, direkomendasikan dengan pemberian dosis tunggal


vitamin K 1 mg secara intramuskular ketika kelahiran.
Di Indonesia rekomendasi pemberian vitamin K profilaksis diajukan

Health Technology Assesment (HTA) Departemen Kesehatan RI tahun 2003.


Rekomendasi yang diajukan HTA adalah sebagai beikut (HTA, 2003):
1. Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis vitamin K1.
2. Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1.
3. Cara pemberian vitamin K1 adalah secara intramuskular atau oral.
4. Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir adalah:
a. Intramuskular, 1 mg dosis tunggal atau
b. Oral, 3 kali masing-masing 2 mg, diberikan pada waktu bayi baru
lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2 bulan.
5. Untuk bayi yang lahir ditolong oleh dukun maka diwajibkan pemberian
profilaksis vitamin K1 secara oral.

14

6. Kebijakan ini harus dikoordinasikan bersama Direktorat Pelayanan Farmasi


dan Peralatan dalam penyediaan vitamin K1 dosis injeksi 2 mg/ml/ampul,
vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas dalam bentuk strip 3 tablet atau
kelipatannya.
7. Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir dijadikan sebagai program
nasional.

2.2.9

Cara pemberian vitamin K


Cara pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 adalah sebagai berikut

(KEMENKES, 2011):
a. Masukkan vitamin K1 ke dalam semprit sekali pakai steril 1ml, kemudian
disuntikkan secara intramuskular di paha kiri bayi bagian anterolateral
sebanyak 1 mg dosis tunggal, diberikan paling lambat 2 jam setelah lahir.
b. Vitamin K1 injeksi diberikan sebelum pemberian imunisasi hepatitis B
dengan selang waktu 1-2 jam
c. Pemberian Vitamiin K1 (paha kiri anterolateral)
Persiapan Melakukan Suntikan Intra Muskular
1. Letakan bayi dengan posisi punggung di bawah
2. Lakukan desinfeksi pada bagian tubuh bayi yang akan diberikan
suntikan intramuskular (IM). Muskulus Kuadriseps pada bagian
antero lateral paha (lebih dipilih karena resiko kecil terinjeksi secara
IV atau mengenai tulang femur dan jejas pada nervus skiatikus)
Cara Memberikan Suntikan Intra Muskular

15

1. Pilih daerah otot yang akan disuntik. Untuk memudahkan identifikasi


suntikan vitamin K1 di paha kiri dan suntikan imunisasi Hepatitis B
di paha kanan.
2. Bersihkan daerah suntikan dengan kasa atau bulatan kapas yang telah
direndam dalam larutan antiseptik dan biarkan mengering.
3. Yakinkan bahwa jenis dan dosis obat yang diberikan sudah tepat.
4. Isap obat yang akan disuntikkan kedalam semprit dan pasang
jarumnya.
5. Bila memungkinkan pegang bagian otot yang akan disuntik dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.
6. Dengan satu gerakan cepat, masukkan jarum tegak lurus melalui kulit
7. Tarik tuas semprit perlahan untuk meyakinkan bahwa ujung jarum
tidak menusuk dalam vena
a. Bila dijumpai darah:
i. Cabut jarum tanpa menyuntikkan obat
ii. Pasang jarum steril yang baru ke semprit
iii. Pilih tempat penyuntikkan yang lain
iv. Ulangi prosedur diatas
b. Bila tidak dijumpai darah, suntikkan obat dengan tekanan kuat
dalam waktu 3-6 detik.
8. Bila telah selesai, tarik jarum dengan sekali gerakan halus dan tekan
dengan bola kasa steril kering
9. Catat tempat penyuntikan untuk memudahkan identifikasi

16

2.2.10 Penatalaksanaan
Bayi yang dicurigai mengalami PDVK harus segera mendapatkan penanganan
sebagai berikut:
a. Vitamin K1 dengan dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari secara subkutan (Permono,
2005). Untuk kasus yang berat dapat diberikan 2 mg dua atau tiga dosis dengan
interval 4-8 jam. Pemberian intramuskular tidak dianjurkan untuk pengobatan
PDVK karena dapat menyebabkan hematom yang besar pada tempat suntikan, dan
lebih cepat absorbsninya apabila diberikan secara subkutan (Ervani, 2008).
b. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi dengan
perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg, meningkatkan kadar faktor
koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1-0,2 unit/ml. Respon pengobatan terjadi
dalam waktu 4-6 jam, ditandai dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan
faal hemostasis yang membaik. Jika tidak ada perbaikan dalam 24 jam pada kasus
bayi aterm kemungkinan terdapat kelainan yang lain misalnya penyakit hati
(Ervani, 2008).
c. Pada perdarahan yang hebat dengan penurunan Hb di bawah 12 mg/dl, dapat
diberikan Packed Red Cells (PRC) (Ervani, 2008).
d. Pada perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, untuk
memperbaiki hemostasis secara cepat dapat diberikan Prothrombin Complex
Concentrates (PCCs) (Ervani, 2008).

2.2.11 Kontroversi pemberian vitamin K profilaksis


Penelitian yang dilakukan Golding dkk. memaparkan bahwa ada hubungan
antara pemberian vitamin K intramuskular pada bayi baru lahir dengan peningkatan
insiden kanker pada anak. Penelitian Golding ini mendapat perhatian khusus para ahli.

17

Untuk mengkaji ulang penelitian Goding dkk. Draper dan Stiller menggunakan data
dari National Registry of Childhood Cancer, mereka memperkirakan jumlah insidensi
leukemia pada anak. Tiga sumber data, termasuk data dari penelitian Golding dkk.
dianalisis dan ternyata penelitian mereka gagal menunjukkan adanya hubungan antara
peningkatan penggunaan vitamin K intramuskular dengan peningkatan insidensi
leukemia pada anak (Blackmon, 2003).
The American Academy of Pediatrics juga mengkaji ulang laporan dari
Golding dkk. dan informasi lain yang berkaitan dengan pengalaman di Amerika
Serikat dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian vitamin K
intramuskular dengan insidensi leukemia ataupun kanker lainnya pada anak.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Ross dan Davies yang mempublikasikan hasil dari
pengkajian ulang pada tahun 2000. Mereka menemukan bukti bahwa tidak adanya
hubungan vitamin K intramuskular dengan kejadian kanker pada anak. Hasil
penelitian mereka adalah dari sepuluh kasus kontrol telah diidentifikasi, tujuh
diantaranya tidak ada hubungan dan tiga lainnya menunjukkan hubungan yang lemah
(Blackmon, 2003).

18

BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) didefinisikan sebagai


perdarahan spontan atau akibat trauma pada bayi yang berhubungan dengan defisiensi
vitamin K dan menurunnya aktifitas faktor pembekuan II, VII, IX dan X. PDVK
memiliki insidensi 1: 100 kelahiran di dunia. Dibeberapa negara Asia angka kesakitan
bayi karena PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai 1 : 1.400 kelahiran hidup. PDVK
diklasifikasikan berdasarkan usia timbulnya manifestasi yang terbagi menjadi onset
awal, klasik, lambat dan sekunder.
Defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain karena rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir, prematuritas, kadar
vitamin K yang rendah dalam air susu ibu, dan terlambatnya kolonisasi bakteri usus.
Kadar vitamin K yang rendah menyebabkan tidak terjadinya aktivasi serangkaian
kaskade pembekuan darah. Manifestasis klinis yang sering ditemukan adalah
perdarahan yang dapat terjadi spontan atau akibat trauma terutama trauma lahir.
Diagnosis PDVK ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa yang difokuskan
terhadapa awitan perdarahan, lokasi perdarahan, pemberian ASI eksklusif atau
formula, dan riwayat ibu minum obat-obatan tertentu. Pemeriksaan laboratorium
seperti skrining perdarahan, dijumpai masa prtorombin (PT) dan activated partial
thromboplastin time (aPTT) memanjang dengan kadar trombosit dan fibrinogen
normal. Adanya respon yang baik setelah pemberian vitamin K serta perbaikan nilai
PT dapat dijadikan konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain, seperti USG,
CT Scan atau MRI juga dapat dilakukan untuk melihat lokasi perdarahan, misalnya
jika dicurigai terjadi perdarahan intrakranial.

19

Pencegahan PDVK dapat dilakukan dengan rekomendasi pemberian vitamin K


profilaksis yang diajukan Health Technology Assesment (HTA) Departemen
Kesehatan RI tahun 2003 yaitu semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis
vitamin K1 yang dapat diberikan dengan cara intramuskular atau oral. Intramuskular,
diberikan sebanyak 1 mg dosis tunggal atau secara oral, dengan tiga kali pemberian
yaitu pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2
bulan.
Bayi yang dicurigai mengalami PDVK harus segera mendapatkan penanganan
dengan pemberian vitamin K1 dengan dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari secara
subkutan. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi
dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg. Pada perdarahan yang hebat
dengan penurunan Hb di bawah 12 mg/dl, dapat diberikan Packed Red Cells (PRC).
Pada perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, untuk
memperbaiki hemostasis secara cepat dapat diberikan Prothrombin Complex
Concentrates (PCCs).
Kontroversi dalam pemberian vitamin K secara intramuskular pernah menjadi
perhatian khusus karena penelitian yang dilakukan oleh Golding dkk. memaparkan
bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin K intramuskular pada bayi baru lahir
dengan peningkatan insidensi kanker pada anak. Namun hasil penelitian ini banyak
ditolak setelah dilakukan pengkajian ulang oleh beberapa peneliti,

yang

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian vitamin K intramuskular


dengan insidensi leukemia ataupun kanker lainnya pada anak.

20

DAFTAR PUSTAKA
Asrul, Ervani, N, Lubis, BM, Azlin, E, Emsyah, L, Lubis, B, Tjipta, GD 2007, Perbandingan
Pemberian Vitamin K Dosis Tunggal Intramuskular pada Bayi Prematur dan Aterm
Terhadap Masa Protrombin, Sari Pediatri, vol. 9, hal. 17-22.
Bakta, IM 2007, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta.
Blackmon, L, Batton, DG, Bell, EF, Engle, WA, Kanto, WP, Martin, GI, Rosenfeld, W,
Stark, AR 2003, Controversies Concerning Vitamin K and the Newborn, American
Academy of Pediatrics, vol.112, hal.191-192.
Ervani, N 2008, Perbandingan Masa Protrombin Setelah Pemberian Vitamin K Dosis
Multipel Oral dengan Dosis Tunggal Intramuskuler pada Bayi Aterm, Tesis,
Universitas Sumatera utara, Medan.
Health Technology Assesment 2003, Pemberian Profilaksis Vitamin K pada Bayi Baru
Lahir, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Isarangkura, P, dan Chuansumrit, A 1999, Vitamin K Deficiency in Infants, Thailand, hal.
154-159.
KEMENKES RI 2011, Pedoman Teknis Pemberian Injeksi Vitamin K1 Profilaksis pada Bayi
Baru Lahir, Direktorat Bina Kesehatan Anak, Jakarta.
Murray, RK, Granner, DK, Mayes PA, Rodwell, VW 2003, Biokimia Harper, EGC, Jakarta.
NHMRC (National Health and Medical Research Council) 2010, Joint statement and
recommendations on Vitamin K administration to newborn infants to prevent vitamin
K deficiency bleeding in infancy October 2010, Australian Government, Australia.
Permono, B 2005, Perdarahan yang Terjadi Akibat Defisiensi Kompleks Protrombin,
Kuliah Pengantar, Divisi Hematologi Onkologo Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU
Dr. Soetomo FK Unair, Surabaya.
Unal, E, Ozsoylu, S, Bayram, A, Ozdemir, MA, Yilmaz, E, Canpolat, M, Tumturk, A, dan
Per, H 2014, Intracranial Hemorrhage in Infants as a Serious, and Preventable
Consequence of Late Form of Vitamin K Deficiency, Childs Nerv Syst, vol. 30, hal,
1375-1382.

21

Anda mungkin juga menyukai