PENDAHULUAN
1
usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus sendiri, 10-15% akan tetap
aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18 bulan dari
evaluasi pertama. Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk
penyembuhan luka yang lengkap. Gold standard untuk terapi ulkus kaki diabetik
meliputi debridement luka, tatalaksana infeksi, prosedur revaskularisasi atas
indikasi, dan off-loading ulkus. Debridement harus dilakukan pada semua luka
kronis untuk membuang jaringan nekrotik dan debris.3
Surgical debridement adalah metode yang paling efisien dan langsung untuk
membersihkan luka, yang dipertimbangkan sebagai gold standard. Tindakan ini
dilakukan menggunakan blade scalpel, selanjutnya semua jaringan nekrotik
dibuang hingga jaringan dasar ulkus yang sehat. Bau adalah indikator yang baik
untuk menilai keberhasilan debridement, jika luka tidak berbau, bisa menjadi tanda
bahwa tindakan debridement berhasil. Jika dicurigai terdapat iskemia berat,
debridement yang agresif harus ditunda hingga pemeriksaan vaskular dilakukan,
dan jika diperlukan, prosedur revaskularisasi dapat dilakukan. Metode anestesi
yang digunakan pada beberapa kasus adalah teknik regional anestesi yaitu block
spinal anesthesia/BSA.3
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian regional anestesi pada
pasien kaki diabetik yang dilakukan tindakan debridement.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. REGIONAL ANESTESI
a. Definisi
Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk
anggota/daerah tubuh tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen
bagian bawah/tungkai. Regional anestesi menggangu transmisi impuls
pada saraf perifer dan medulla spinalis tanpa menyebabkan hilangnya
kesadaran pada pasien.1,4
Manfaat dari regional anestesi diantaranya adalah:4
1. Sebagai anestesi untuk prosedur pembedahan.
2. Menurunkan respon stress.
3. Meningkatkan aliran darah regional.
4. Untuk diagnosis atau terapi pasien dengan sindrom nyeri kronik.
b. Macam-Macam Regional Anestesi
Ada beberapa macam regional anestesi, antara lain:1,4
1. Topikal/surface anestesi: kulit; 3embrane mukosa
2. Field block/infiltrasi
3. Nerve block, ganglion blok
4. Regional anestesi pada lengan:
a) Brachial plexus block
b) Interscalenus
c) Supraclavicular
d) Axillary
5. Intra Venous Regional (IVR)
6. Regional anestesi pada tungkai/abdomen bawah:
a) Subarachnoid Blok (SAB)
b) Epidural single/continuous
c) Caudal
7. Dan lain-lain.
3
Adapula yang membagi tipe regional anestesi menjadi:4
1. Blokade neuroaxial sentral: epidural; spinal
2. Blok saraf perifer: minor (single nerve); mayor (multiple nerve
atau pleksus)
3. Infiltrasi
4. Topikal
4
Tulang vertebra terdiri atas 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Kolumna
vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala
dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan
otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.5,7
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban
yang harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis
melalui articulatio sacroilliaca. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan
oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis,
ligamen dan otot-otot.5-7
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis.
Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga
menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah
menjadi kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis
bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.8
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa
landmark yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada
vertebra, diantaranya adalah:5,7,8
1. Vertebra C7: merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papilla mammae: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4.
3. Epigastrium: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6.
4. Umbilikus: lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10.
5
5. Krista Iliaka: lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis
4-5.
6
Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis9
Medulla spinalis dilapisi oleh meninges yang terdiri atas pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater. CSF terletak diantara pia mater dan
arachnoid mater di dalam subarachnoid space.4
7
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan
anestesi spinal:7,9
1. Kutis
2. Subkutis: ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum: ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
4. Ligamentum interspinosum.
5. Ligamentum flavum: ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk ke ruang epidural.
6. Epidural: ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural
telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Duramater: sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat
menembus duramater seperti saat menembus epidural.
8. Subarachnoid: merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS)
pada penusukan.
8
abdominal bawah (inguinal), urogenital (rectal), dan ektremitas inferior;
Pemilihan anestesi ditentukan oleh pasien dengan mendiskusikan tentang
risiko dan manfaatnya, informed consent, kecocokan teknik untuk tipe
operasi, referensi dari operator, pengalaman ahli anestesi dan status mental
serta fisiologis pasien.4
Kontraindikasi. Kontraindikasi blok sentral dapat dilihat pada Tabel
2.4
Tabel 2. Kontraindikasi Blok Sentral4
Absolut Relatif
Infeksi pada area injeksi Sepsis
Pasien menolak Pasien tidak kooperatif
Penyakit koagulopati atau bleeding Riwayat defisit neurologis
diathesis Demyelinating lesions
Hipovolemia berat
Peningkatan ICP (Intracranial Deformitas spinal berat
Pressure)
Stenosis aorta berat
Stenosis mitral berat
9
Tabel 3. Komplikasi Blok Sentral4
Jarum Obat-obatan=LA (Local Anesthesia)
Nyeri punggung Blokade yang kuat
Sakit kepala Toksisitas sistemik
Cedera saraf Toksisitas lokal
Cedera vaskular Infeksi
Infeksi
10
c) Kontraindikasi
Kontraindikasi umum dari SAB terbagi menjadi dua yaitu
kontraindikasi absolut dan relatif.1,5,7
1. Kontraindikasi absolut:1,5,7
a) Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat
suntikan bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam
rongga subdural.
b) Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah
ataupun diare: karena pada anestesi spinal bisa memicu
terjadinya hipovolemia.
c) Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
d) Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah
tinggi tekanan intrakranial, dan bisa menimbulkan
komplikasi neurologis.
e) Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada
anestesi spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total,
reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas
dan obat emergensi lainnya.
f) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi:
Hal ini dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya
cedera pada medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi
sangat penting.
g) Pasien menolak.
2. Kontraindikasi relatif:1,5,7
a) Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu
diperhatikan apakah diperlukan pemberian antibiotik. Perlu
dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
b) Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar
tempat suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau
lebih kaudal.
11
c) Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek
anestesi dan defisit neurologis yang sudah ada pada pasien
sebelumnya.
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang
lebih 90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi
adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
f) Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi
komplikasi ke arah jantung akibat efek obat lokal anestesi.
g) Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi,
memantau terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan
pemberian obat-obatan atau cairan.
h) Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit
saat diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses
penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.
d) Kelebihan
1) Secara teknik lebih mudah (teknik LP (lumbal Puncture).4
2) Tingkat keberhasilan yang tinggi, onset cepat.4
e) Kelemahan
1) high spinal
2) Hipotensi karena blok simpatik
3) Post dural puncture headache
f) Persiapan
1) Pasien: penerangan dan premedikasi.1
2) Alat-alat: alat untuk resusitasi dan alat untuk SAB: jarum suntik,
jarum spinal, alat desinfeksi, kain penutup, kassa (semua harus
steril).1
12
3) Obat-obat: obat resusitasi dan obat lokal anestesi: Lidocain 2%,
Lidocain 5% (Lidoderx 5%); Adrenalin atau Bupivacain 0,5%
(semua harus steril).1
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.5
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal
adalah:7,9
1) Informed consent: pasien sebelumnya diberi informasi tentang
tindakan ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi,
kemungkinan yang akan terjadi selama operasi tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
2) Pemeriksaan fisik: pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan
anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk
sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
3) Pemeriksaan laboratorium anjuran: pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb, masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan
bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah
persiapan alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan
adalah:5,7
1) Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri,
EKG.
2) Peralatan resusitasi/anestesia umum.
3) Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
13
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G
atau 27G.
4) Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5) Kapas/kasa steril dan plester.
6) Obat-obatan anestetik lokal.
7) Spuit 3 ml dan 5 ml.
8) Infus set.
14
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah
duduk.7-9
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis crista
illiaca, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.7-9
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.7-9
15
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar
dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor
keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu dapat dimasukan
kateter.7-9
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit
ligamentum flavum dewasa 6cm.7-9
16
dari teknik anestesia spinal. Pemahaman terhadap etiologi dari efek
fisiologis yang terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien selama
anestesia spinal dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia
spinal.7,9
1. Efek Pada Kardiovaskular
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada
anestesia spinal adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang
terjadi sama dengan pada penggunaan kombinasi obat -1 dan -
adrenergic blockers, dimana nadi dan tekanan darah menjadi
turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini karena
blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal. Level blok
simpatis mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia
spinal, dimana semakin tinggi blok saraf yang terjadi semakin
besar pengaruhnya terhadap parameter kardiovaskular.7,9
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan
cardiac output (CO) dan systemic vascular resistance (SVR).
Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi baik pada arteri maupun
vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar (kurang
lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh
darahnya lebih tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi
yang terjadi lebih dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi
redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang
menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju
jantung berkurang sehingga CO menurun. Pada pasien muda yang
sehat, SVR hanya menurun 15-18%, walaupun terjadi blok
simpatis yang signifikan.7,9
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama
pada blok tinggi disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator
fibers yang terdapat dari T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi
sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium kanan
akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan
17
peregangan pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium
kanan dan vena-vena besar.7,9
2. Efek Pada Respirasi
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama
anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil.
Volume tidal tidak berubah selama anestesia spinal tinggi, dan
kapasitas vital hanya berkurang sedikit dari 4,05 menjadi 3,73
liter. Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh penurunan
expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot
abdomen yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan
dengan penurunan fungsi saraf frenikus atau diafragma. Henti
nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan
dengan disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun
disebabkan oleh hipoperfusi pada pusat pernafasan di medula
oblongata. Hal yang mendukung pernyataan tersebut adalah
kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan
resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan
pemberian cairan untuk meningkatkan cardiac output dan
tekanan darah.7,9
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan
terjadinya paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah
otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi paralisis pada otot-otot
tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus
menjadi terganggu.7,9
3. Efek Pada Gastrointestinal
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah
traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien
yang mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan
dengan terjadinya hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari
aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi dari spinkter yang
terdapat pada traktus gastrointestinal. Atropin efektif mengurangi
18
mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi
(sampai T5). Dilain pihak, kombinasi dari usus yang berkontraksi
dan relaksasi dari otot-otot abdominal memberi keuntungan
karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus untuk
operasi.7,9
4. Efek Pada Fungsi Ginjal
Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral
dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya
dengan tekanan perfusi arteri. Jika tidak terjadi hipotensi yang
parah, aliran darah ginjal dan produksi urin tidak berpengaruh
selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50
mmHg, akan terjadi penurunan aliran darah ginjal dan produksi
urin secara bertahap. Walaupun begitu, jika tekanan darah sudah
kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali normal.7,9
5. Efek pada Termoregulator
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal
memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada
anestesia umum. Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan
terjadinya hipotermia selama anestesia spinal antara lain
redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi
oleh blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan
dengan penurunan ambang vasokontriksi dan menggigil dibawah
level yang terblok, dan peningkatan hilangnya panas dari
vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.7,9
i) Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Komplikasi tindakan anestesi spinal adalah:5,7
1. Hipotensi berat. Akibat blok simpatis terjadi venous pooling.
Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit
1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
19
2. Bradikardia. Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,
terjadi akibat blok sampai T2.
3. Hipoventilasi. Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi
pusat kendali nafas.
4. Trauma saraf.
5. Mual-muntah.
6. Menggigil.
7. Kejang.
Blok Sentral-Epidural
Blok sentral epidural dilakukan pada level cervical, thoracal, lumbal,
dan sacral. Teknik ini secara luas digunakan untuk anestesi pembedahan,
analgesia obstetri, kontrol nyeri postoperative da manajemen nyeri kronik.
Anestesi epidural memiliki onset yang lebih lambat (10-20 menit) dan tidak
sekuat anestesi spinal.4
20
Gambar 3. Teknik blok sentral4
BLOKADE PLEXUS
Blokade plexus dilakukan dengan injeksi anestesi lokal pada area
berbatasan plexus, misalnya cervical, brachial, ataupun plexus lumbalis.
Teknik ini digunakan pada anestesi pembedahan atau analgesia post-
operative pada area distribusi plexus. Prosedur dilakukan pada lengan, bahu,
badan, ataupun tungkai. Adapun kelebihan dari teknik ini adalah anestesia
area luas dengan dosis yang relatif kecil. Sedangkan kelemahan dari blokade
plexus ini termasuk secara teknik lebih kompleks, potensial untuk toksisitas
dan neuropati.4
21
TOPIKAL ANESTESI
Penggunaan lokal anestesi pada membran mukosa-kornea, mukosa
nasal/oral. Topikal anestesi digunakan pada intubasi nasal atau oral pada
sadar, prosedur pembedahan superficial. Kelebihannya termasuk secara
teknik mudah dilakukan dan peralatan yang minimal. Sedangkan
kelemahannya termasuk pada dosis yang besar potensial menyebabkan
toksisitas.4
INFILTRASI-LOCAL/FIELD ANESTHESIA
Penggunaan obat lokal anestesi secara subkutan pada ujung saraf distal.
Teknik infiltrasi digunakan pada suturing, pembedahan superfisial minor,
line placement, pembedahan yang lebih luas dengan sedasi. Kelebihan dari
teknik ini adalah peralatan yang minimal, secara teknik lebih mudah, dan
onset yang cepat. Adapun, kelemahan dari teknik ini adalah potensial untuk
toksisitas jika pada area yang luas.4
BIER BLOCK
Injeksi lokal anestesi secara intravena untuk anestesi di area
ekstremitas. Penggunaannya pada berbagai prosedur di area ekstremitas.
Kelebihan bier block adalah secara teknik lebih simple, peralatan yang lebih
minimal, dan onsert yang cepat. Kelemahannya termasuk durasi terbatas
dengan toleransi nyeri tourniquet, serta toksisitas.
22
Gambar 6. Bier block pada ekstremitas superior4
B. LOKAL ANESTESI
Lokal anestesi merupakan obat yang menghambat rangsangan saraf
secara reversibel bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
cukup. Mekanisme kerja obat secara reversible menghambat Natrium channel
untuk mencegah terjadinya depolarisasi. Obat anestesi memasuki sisi
axioplasmic dan mengikat reseptor pada bagian tengah channel.4
23
Gambar 8. Mekanisme kerja obat lokal anestesi4
24
yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat
hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang
lebih berat dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air
lebih banyak digunakan sebagai diagnostik dibandingkan dengan
anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang disarankan berkisar antara
50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan
150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.6,7
b. Lidokain
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit
dengan durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain
yang dipakai untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa
7,5%. Dosis yang biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi
perineum dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi
abdomen bagian atas.6,7
c. Tetrakain
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit
dengan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan
lidokain (210-240 menit). Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi
kristal 20 mg dan dalam ampul sebesar 2 ml larutan 1% dalam air.
Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa 10% dalam jumlah yang
sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk
anestesia spinal dimana mempunyai berat yang lebih besar daripada
cairan serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk
operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk
operasi abdomen bagian atas.6,7
d. Bupivakain
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5
sampai 8 menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan
tetrakain. Di Australia dan kebanyakan negara eropa, larutan 0,5%
hipobarik atau hiperbarik telah digunakan sebagai anestesia spinal.
25
Dosis yang direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk operasi
perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen
bagian atas.6,7
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.7
26
a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat
anestesi lokal benarbenar hiperbarik pada semua pasien maka baritas
paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain
0,5%. Contoh: Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose
7.5%: berat jenis 1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml),
Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml). 6,7
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan
serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui
variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit
hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya.
contoh: tetrakain,dibukain.6,7
c. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila
densitasnya sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu
370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan
serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien
jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-
1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5%. Spinal anestesi blok
mempunyai beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan
respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok
sedang pasien masih dalam keadaan sadar. Contoh: Lidokaine
(xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100
27
mg (2-5 ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005,
sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml).6,7
C. KAKI DIABETIK
Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus
yang mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang
berhubungan dengan abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer
dengan derajat bervariasi, dan atau komplikasi metabolik dari diabetes pada
ekstrimitas bawah. Prevalensi ulkus kaki diabetik pada populasi diabetes
adalah 410%, lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Sebagian besar
(60-80%) ulkus akan sembus sendiri, 10-15% akan tetap aktif, dan 5-25%
akan berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18 bulan dari evaluasi
pertama. Faktor risiko pada ulkus kaki diabetik adalah neuropati diabetik,
penyakit arteri perifer, dan trauma pada kaki.3
Pemeriksaan fisik pada kaki diabetik melalui penilaian terhadap kulit,
vaskular, neurologi, dan sistem muskuloskeletal. Klasifikasi Wagner adalah
yang paling popular dan tervalidasi untuk klasifikasi ulkus kaki diabetik
(Tabel 5). Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk
penyembuhan luka yang lengkap. Gold standard untuk terapi ulkus kaki
diabetik meliputi debridement luka, tatalaksana infeksi, prosedur
revaskularisasi atas indikasi, dan off-loading ulkus. Debridement harus
dilakukan pada semua luka kronis untuk membuang jaringan nekrotik dan
debris.3
Tabel 6. Sistem Klasifikasi Wagner3
Derajat Lesi
1 Ulkus diabetik superfisial
2 Ulkus yang meluas ke ligament, tendon, kapsul sendi,
atau fascia dengan tanpa abses atau osteomielitis
3 Ulkus dalam dengan abses atau osteomielitis
4 Gangren pada sebagian kaki
5 Gangren luas pada seluruh kaki
28
atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari
produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau
sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi
katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi
insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan
penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein.
Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida
seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia
epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan
dengan cara blokade aferen dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi
(fentanyl 50 mg/kgBB) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan
anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun
dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan).10
FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai
mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien
normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi
dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes
mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes,
mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita
penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien
diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan
oleh:10
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar
29
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf
autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik:
hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava
maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30
mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).10
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ
jantung, ginjal, dan susunan saraf pusat, tak kalah penting dibandingkan
penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian
laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum,
kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner,
gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus. Pasien
dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %,
sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.
Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra
bedah.10
PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan
stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.10
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan
perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat
kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh
pada pasien diabetes belum terbukti.10
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan
memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
30
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis,
tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.10
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan
metabolik. Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek
insulin untuk transport glukosa melalui membran sel dan secara tak langsung
melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis
di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup
memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormo
ne pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin.
Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam
merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya terhadap level
insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.10
Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien
diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari
sirkulasi. Meskipun hal ini tidak relevan selama anestesia singkat jika
propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi.
Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk
sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa
diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah
kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek
simpatomimetiknya.10
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural
atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Epidural
anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang
disebabkan tindakan operasi.10
31
TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan
sekresi insulin residual. Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif,
konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik
yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh
anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat
kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap
pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara
parsial.10
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi
dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien
diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi
mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada
pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat
terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,
serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular
dapat meningkat dengan penggunaan teknik regional pada pasien diabetes.
Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural
dapat dikacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi
anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar
yaitu terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes
mellitus.10
32
33
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. N
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 53 Tahun
4. Berat Badan : 65 kg
5. Agama : Islam
6. Alamat : Desa Baku-Bakulu
7. Diagnosa Pra Anestesi: Diabetic foot wound cruris sinistra (necrosis
cruris sinistra + muscle expose)
8. Jenis Pembedahan: Debridement + Necrotomy
9. Tanggal Operasi : 27/12/ 2016
10. Tempat Operasi : RSU Anutapura
11. Jenis Anestesi : Regional anestesi
34
B1 (Breath) dan Evaluasi Jalan Napas: Airway: clear,
gurgling/snoring/crowing:-/-/-, potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 7 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher
pendek (-), gerak leher bebas, malampathy: 2, obesitas (+), massa
(-), gigi geligi tidak lengkap (tidak ada gigi palsu), sulit ventilasi
(-). Suara pernapasan: Vesikuler +/+, suara tambahan (-).
Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-), masalah lain pada
sistem pernapasan (-).
B2 (Blood): Akral hangat, bunyi jantung SI dan SII murni regular.
Masalah pada sistem kardiovaskular: Hipertensi grade 1
(terkontrol)
B3 (Brain): Kesadaran composmentis GCS 15 (E4V5M6), Pupil:
isokor 3 mm/3mm, RC +/+, RCL +/+. Defisit neurologis (-).
Masalah pada sistem neuro/muskuloskeletal (-).
B4 (Bladder): BAK (+), volume: 60 cc/jam, warna: kuning
jernih. Masalah pada sistem renal/endokrin: DM tipe 2.
B5 (bowel): Abdomen: tampak cembung (dbn), peristaltik (+)
dbn, mual (-), muntah (-). Masalah pada sistem
hepato/gastrointestinal (-)
B6 Back & Bone: Oedem pretibial (-)
Lain-Lain: tampak necrosis pada cruris sinistra
c. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin (26/12/2016)
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 4,5 106/uL 4,7 - 6,1
Hemoglobin (Hb) 10,5 g/dL 14 - 18
Hematokrit (HCT) 32,7 % 42 - 52
PLT 312 103/uL 150- 450
WBC 14,7 103/uL 4,8 -10,8
CT 8 Menit 4 - 12
BT 3 Menit 1 -4
35
GDS (26/12/2016) : 178 mg/dL (80-199)
d. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Sinus ritme, heart rate: 75 bpm, ST elevasi
(-), T inversi (-).
36
Tabel Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien.
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
D. PLANNING
Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : Regional Anestesi, SAB L3-L4, LCS (+)
Obat : Bupivacain HCl 0,5% 15 mg
Lama anestesi : 10.00 10.20 (20 menit)
Lama operasi : 10.10 10.20 (10 menit)
Anestesiologi : dr. Taufik Imran, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Ardi Munir, Sp.OT
Posisi anestesi: LLD
Infus : 1 line di tangan kanan
Obat-obatan yang diberikan :
Obat premedikasi: (-)
Obat induksi : Inj. Bupivacaine HCl 0,5% 15 mg
Maintenance anestesi :
- Inh. O2 2,5 lpm
a. Obat durante operatif :
- Ephedrine 10 mg
37
Pasien dalam posisi berbaring miring ke kiri (Left Lateral
Decubitus/LLD), kepala menunduk, dengan lutut menekuk (fleksi maksimal),
kemudian menentukan lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil
perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan
sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebral
lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan kassa
steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik L3-L4
paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum
spinal no.25G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya,
lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul
(ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi, yaitu Bunascan (Bupivacaine
HCl 0,5%) sebanyak 3 mL (15 mg) disuntikkan dengan terlebih dahulu
melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang
subarachnoid. Setelah Bupivacaine disuntikkan setengah volumenya kembali
dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu
Bupivakain disuntikkan semua. Setelah itu luka bekas suntian ditutup dengan
kassa steril dan selanjutnya pasien dibaringkan di meja operasi pada posisi
supine.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 2,5 liter
permenit. Selama operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor untuk
tanda-tanda vital tiap 5 menit dan mencatatnya di lembaran follow up
anestesi. Medikasi yang diberikan selama pembedahan berlangsung yakni Inj.
Ephedrine 10 mg.
Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
Pre operatif: Kristaloid RL 350 cc
Durante operatif: Kristaloid RL 250 cc
Total input cairan: 600 cc
b. Cairan keluar:
Durante operatif: Urin (-); perdarahan 5 cc
38
E. PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : 2KgBB/jam = 265 = 130 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (PP): lama puasa maintenance =
6130 = 780 ml650 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 130 ml
3. Cairan defisit urin dan darah selama 20 menit = urin+darah =
0 + 5 = 5 ml
Total kebutuhan cairan selama 20 menit operasi =
130+ 130 + 5 = 265 ml
b. Cairan masuk:
Kristaloid : Ringer Lactate 250 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 250 ml
c. Stress Operasi
Ringan 4ccKgBB: 465 = 260 ml
d. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk cairan dibutuhkan = 250 ml 265 ml = - 15 ml
e. Kebutuhan Cairan
Jam I = PP +M + SO = 390+130+260 = 780 ml
Jam II = PP + M + SO = 195+130+260 = 585 ml
Jam III = Jam II = 585 ml
Jam IV = M + SO = 130 + 260 = 390 ml
Lama operasi 20 menit, jadi total kebutuhan cairan adalah 260 ml
f. Perhitungan cairan pengganti darah:
0 + 3= 5 cc
3= 5cc
39
F. POST OPERATIF
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 /menit
RR : 22 /menit
Temperatur : 36C
Skor Nyeri (VAS): 3
Skor pemulihan pasca anestesi
- Aktivitas = mampu menggerakkan 4 ekstremitas (2)
- Respirasi = Mampu bernapas dalam dan batuk bebas (2)
- Sirkulasi = TD 20% dari nilai pre anestesi (2)
- Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
- Warna kulit = pucat kuning (SpO2 >90% dengan suplemen O2) (1)
Skor Aldrette (9)
LAPORAN ANESTESI
1
160
Bupivacaine
0,5% 15 mg 140 2
120
2 100
Ephedrine 80
10 mg
60
1
40
O2 2,5 lpm 20
0
10:00 10:05 10:10 10:15 10:20
Sistolik 140 138 115 87 102
Diastolik 98 92 78 61 70
Nadi 93 98 103 105 108
PEMBAHASAN
Pasien Tn. N berusia 53 tahun dengan diagnosis Diabetic foot wound cruris
sinistra (necrosis cruris sinistra + muscle expose), dilakukan tindakan debridement
dan necrotomy pada tanggal 27 Desember 2016. Dari data anamnesis didapatkan
adanya penyulit berupa penyakit DM tipe 2 dan hipertensi grade 1 (terkontrol).
Pada dasarnya urutan dalam anestesi terdiri atas:
1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring
Pada tahap persiapan, dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan
diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik lokalis tempat
penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi seperti skoliosis,
kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Selanjutnya
dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American Society of
Anesthesia. Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA
II. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental yang memerlukan operasi
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau
tanpa operasi
41
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA
diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE)
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien
ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-
perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan
pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan
anestesia umum ringan. Adapun, pada pemeriksaan fisik ataupun laboraturium juga
tidak menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat. Tujuan
dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek samping dari
anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara menambah
volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik menggunakan
kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih lama dengan berat
molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan pemberian cairan
menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Adapun, pramedikasi pada pasien yang mana dapat diartikan sebagai
pemberian obat sebelum dilakukannya induksi bertujuan:
1. Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa cemas,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi.
3. Mengurangi dosis obat anestesi.
4. Menekan reflex yang tidak diharapkan.
5. Mengurangi sekresi: saluran nafas, saliva
6. Mengurangi resiko aspirasi.
7. Merupakan salah satu teknik anestesi
42
Namun, pada kasus ini tidak dilakukan pemberikan pramedikasi.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medulla spinalis. Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi. Pada
pasien ini, posisi yang digunakan adalah Left Lateral Decubitus.
Setelah penentuan tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat
dilakukan. Adapun beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung
seperti bambu runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacre
dan Sprotte). Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan
pertimbangan lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture headache
(PDPH) atau nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada anestesi kali
ini, jarum yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun dengan ukuran
kecil 25G yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik area
tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum spinal
dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30 terhadap bidang horizontal ke
arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan
subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum memasuki ruang intratekhal
ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal. Suntikkan obat anestetik lokal yang
telah dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk
memperpanjang durasi kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.
Obatobatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara
umum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain,
dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan
lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan
oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena
lebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma. Adapun obat-obatan
43
anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain, lidokain, dan
bupivakain.
Agen anestetik lokal yang digunakan dalam kasus adalah bupivakain 0,5%
sebanyak 3 cc yang disuntikkan intratekhal. Bupivakain secara kimia dan
farmakologisnya mirip dengan lidokain. Toksisitasnya setara dengan tetrakain.
Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal
tanpa vasokontriktor adalah 2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3
mg/kgBB. Durasi kerja obat mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat
mencapai 4-8 jam dengan vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam
45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan
berat badan 65 kg, dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor
adalah 162,5 mg. Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 15 mg sehingga
tidak melebihi dosis maksimum.
Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang paling
sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan ini dapat
ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine atau ephedrine.
Pada kasus ini, selama anestesi dan pembedahan berlangsung, terdapat penurunan
tekanan darah sehingga dibutuhkan pemberian vasokontriktor untuk mencapai
tekanan darah awal pasien berupa pemberian ephedrine 10 mg secara bolus IV.
Total kebutuhan cairan selama 20 menit operasi = 130+ 130 + 5 = 265 ml.
Dengan demikian keseimbangan kebutuhan: Cairan masuk cairan dibutuhkan =
250 ml 265 ml = - 15 ml. Dengan kebutuhan cairan tersebut dan cairan yang telah
diterima pasien selama intraoperatif, dapat disimpulkan bahwa cairan yang diterima
pasien masih belum cukup. Sehingga program penggantian cairan dapat dilanjutkan
di ruang pemulihan dengan tetap memantau input dan outpun cairan.
Pada akhir proses pembedahan, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
dengan melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital
setiap 15 menit hingga stabil, memposisikan head up hingga 24 jam pasca operasi,
dan penanganan hemodinamik pasien.
44
BAB V
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46