Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus

PNEUMOMEDIASTINUM DAN EMFISEMA SUBKUTIS PADA


PENDERITA TUBERKULOSIS PARU HUMAN IMMUNODEFICIENCY
VIRUS
I Gusti Putu Hery Sikesa, Ida Bagus Suta, Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Pneumomediastinum (PM) dikenal juga emfisema mediastinum adalah
adanya udara atau gas lainnya dalam mediastinum. PM pertama kali
dideskripsikan oleh Laennec pada tahun 1819 sebagai adanya udara dalam
mediastinum karena proses trauma. Tahun 1939, Hamman memperkenalkan
istilah pneumomediastinum spontan, yang terjadi karena perubahan tekanan di
rongga toraks yang mendadak (1,2). PM dapat dibedakan menjadi PM spontan
atau sekunder (1,2,3). Angka insiden penyakit ini relatif rendah, yakni 1 : 44.511
pasien di ruangan gawat darurat. Gambaran klinisnya bervariasi dari tidak ada
gejala hingga parah bahkan fatal pada beberapa kasus (4). Namun, kasus ini
jarang terjadi pada penderita tuberkulosis paru. Penulis melaporkan sebuah kasus
PM dan emfisema subkutis pada penderita tuberkulosis paru Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk dapat diketahui gambaran tentang penyakit
ini sehingga dapat diketahui penatalaksanaan penyakit ini.
Laporan Kasus
Pasien pria 53 tahun mengeluh sesak napas disertai dengan pembengkakan
pada dada depan dan leher 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas
berlangsung secara perlahan, semakin lama semakin bertambah sesak, hal ini
tidak diikuti dengan nyeri dada. Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer,
keringat dingin malam hari dan batuk selama 1 bulan terakhir. Batuk produktif,
berwarna putih, namun tidak didapatkan bercak darah. Terjadi penurunan berat
badan yang drastis dalam 3 bulan terakhir kurang lebih 20 kg. Sekitar 5 tahun lalu
pasien sempat mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang dada depan
kanan depan retak namun tidak dilakukan pengobatan. Riwayat mengangkat

benda berat disangkal. Pasien memiliki riwayat perokok, multipartner seksual dan
bertato.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 90 x/menit, frekuensi napas
28x/menit, suhu 37oC. Terdapat papul-papul milier yang merupakan gambaran
khas moluskum kontagiosum pada wajah serta oral plak pada lidah. Teraba
krepitasi pada daerah wajah dan leher. Tidak anemis, ikterus, ataupun sianosis.
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun peningkatan vena jugularis.
Pada regio toraks, inspeksi tampak bengkak pada daerah dada, tidak
tampak adanya vena kolateral, pengembangan paru simetris. Pada palpasi sensasi
khas rice crispies atau krepitasi teraba pada seluruh daerah dada, fremitus raba
kanan dan kiri meningkat serta simetris. Pada perkusi diperoleh hiper-resonansi
pada daerah infraklavikula kanan dan kiri. Pada auskultasi didapatkan wheezing
pada hemitoraks kanan dan kiri bawah serta ronki minimal pada hemitoraks kanan
dan kiri bawah. Pada pemeriksaan jantung, suara jantung (S1 dan S2) tunggal,
tidak didapatkan bising jantung maupun irama gallop, dan apeks kordis teraba di
intercostal space (ICS) IV parasternal kanan. Pada pemeriksaan abdomen tampak
bengkak di abdomen kiri bawah, luka bekas operasi, hepar dan lien tidak teraba,
tidak didapatkan massa intra abdomen atau nyeri tekan, serta bising usus dalam
batas normal. Pada anggota gerak tidak ditemukan edema, jari tabuh, kelemahan
anggota gerak, ataupun pembesaran kelenjar getah bening di ketiak maupun
lipatan paha.

Gambar 1. Emfisema subkutis

Pada pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal. Dari hasil


pemeriksaan foto toraks tanggal 11 Februari 2016 tampak gambaran emfisema
subkutis di infraklavikula kanan kiri, infiltrat di kedua lapangan paru, fraktur lama
kosta 4,5,6,7 kanan posterior, besar dan bentuk jantung kesan normal, kedua sinus
pleura tajam dan diafragma kanan kiri normal. Kesan: pneumonia + emfisema
subkutis di infraklavikula kanan kiri + fraktur lama kosta 4,5,6,7 kanan posterior.
Tanggal 15 Februari 2016, jawaban hasil konsul ke Provider Initiated HIV Testing
and Counseling (PITC) adalah pasien menderita HIV dengan hasil tes cepat HIV
reaktif. Pasien dinyatakan positif menderita TB Paru berdasarkan gambaran
radiologis meskipun diperoleh hasil negatif diperoleh dari pemeriksaan Bakteri
Tahan Asam (BTA) tanggal 16 Februari 2016 dan Gene Expert tanggal 19
Februari 2016. Pada foto toraks tanggal 22 Februari 2016 didapatkan kesan
emfisema subkutis pada dinding thoraks kanan kiri, pada koli kanan kiri
(dibandingkan foto thoraks tanggal 11 Februari 2016 tampak bertambah) + curiga
proses spesifik paru + fraktur lama kosta 4,5,6,7 kanan posterior. Pada
pemeriksaan CT scan toraks dengan kontras pada tanggal 3 Maret 2016 tampak
kesan sesuai gambaran TB paru, emfisema subkutis luas di hemithoraks anterior,
posterior dan lateral kanan kiri, pneumomediastinum, efusi pleura minimal
dengan penebalan pleura kanan kiri, dan saat ini tidak tampak jelas gambaran
fistula di trakea maupun bronkus.

(11 Februari 2016)

C
C

(22 Februari 2016)

Gambar 2. A. Emfisema subkutis, B. Proses spesifik pada paru, C.


Pneumomediastinum (garis radiolusen tipis).

Konsultasi kepada bedah thorak kardiovaskuler (BTKV) untuk kemungkinan


dilakukan manual reduksi emfisema dengan insisi subkutan namun hal tersebut
tidak dilakukan karena pertimbangan resiko infeksi. Pasien mendapatkan terapi
anti tuberkulosis dikombinasikan dengan antibiotik spektrum luas, bronkodilator
dan oksigen. Keluhan membaik setelah mendapatkan pengobatan tersebut.

Gambar 3. CT scan thorak dengan kontras. Tanda panah (


gambaran pneumomediastinum.

) menunjukkan

Pembahasan
Ko-infeksi TB-HIV
Permasalahan TB semakin bertambah karena terjadinya pandemi
HIV/AIDS di dunia. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian
TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian
pada Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi
ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan
besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB (5). Pasien TB dengan
HIV positif disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan
WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14
juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di SubSahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
terdapat di Asia Tenggara (5).

Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko


berkembangnya

TB

meningkat

secara

tajam

seiring

dengan

semakin

memburuknya sistem kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak


terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk
mendapatkan TB. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70% (5). Ketika
infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun. Selsel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan
demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah
perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Pada kasus ini, pasien memiliki
TB dengan HIV positif sehingga disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV.
Berkembangnya TB pada pasien ini terjadi pada saat semakin memburuknya
sistem kekebalan tubuh.
Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering
ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung
tingkat kekebalan tubuh. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana gambaran
klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali berbeda antara
stadium awal dan lanjutan infeksi HIV. Pada pasien terdapat gambaran klinis
menyerupai TB paru primer diantaranya batuk lama, demam sumer-sumer,
penurunan berat badan, kemudian dari hasil pemeriksaan dahak negatif dan
terdapat infiltrat tanpa kavitas pada gambaran radiologi, hal tersebut sesuai
dengan gambaran TB paru dengan tahap lanjutan infeksi HIV.
Tabel 1. Perbedaan TB Paru pada stadium awal dan lanjutan infeksi HIV (5)
TB Paru
Gambaran klinis

Tahap infeksi HIV


Awal
Lanjutan
Sering menyerupai TB paru Sering menyerupai TB paru

Hasil pemeriksaan dahak


Gambaran radiologi

post-primer
Sering positif
Sering tampak kavitas

primer
Sering negatif
Infiltrat tanpa kavitas

Indonesia berada pada tingkat epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated


epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual.

Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember


2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131
kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus
(49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia diperkirakan sekitar
3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk populasi di rumah
tahanan (Rutan) angkanya diperkirakan lebih tinggi (5).
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis
yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan
(lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB
ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB
abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar
limfe di leher, sesak napas dan lain-lain (5). Pada ODHA meskipun sulit
menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan pemeriksaan
mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya
BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan.
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Pada
ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu penegakan diagnosis TB bila hasilpemeriksaan penunjang lainnya
negatif (5). Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan biakan dahak.
Pemeriksaan yang selanjutnya dilakukan adalah pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. Perubahan gambaran foto
toraks pada pasien TB/HIV menggambarkan derajat tingkat kekebalan. Pada
penurunan tingkat kekebalan tubuh yang ringan gambaran foto toraks masih
menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru). Jika penurunan
tingkat kekebalan sudah lebih berat maka gambaran foto toraks menjadi tidak
tipikal. Penyakit TB paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai
kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan
kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia bakterial
sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV. Infeksi
sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal ini

sering ditemukan namun sulit didiagnosis. Jika pasien dengan asumsi awal
pneumonia gagal terhadap pengobatan antibiotik, perlu dipertimbangkan
kemungkinan M. tuberculosis (5).
Pneumomediastinum dan Emfisema Subkutis
Pneumomediastinum merupakan kelainan yang melibatkan mediastinum,
dimana terdapat udara bebas didalamnya. Kelainan ini terlihat pada berbagai
variasi kondisi klinis, disebabkan karena adanya kerusakan pada integritas
struktur mediastinum maupun karena adanya penyebaran dari organ lain dalam
tubuh ke dalam rongga mediastinum. PM dapat digolongkan menjadi spontan dan
sekunder. PM spontan merupakan kondisi yang dapat sembuh sendiri, biasanya
terjadi pada dewasa muda. Penyebab utama penyakit ini diantaranya latihan fisik
yang intensif, persalinan, penyelaman dalam, batuk keras berulang, dan inhalasi
narkotik. Sebaliknya, PM sekunder muncul dari kelainan spesifik, seperti
barotrauma akibat ventilasi mekanis, trauma intratorakal atau iatrogenik, infeksi,
atau kondisi akut yang lain. Etiologi infeksius dari pneumomediastinum sekunder
adalah mediastinitis oleh organisme penghasil gas, pasien dengan pneumonia
Pneumocystis jirovecii yang terinfeksi HIV, atau pneumonia dengan lesi kavitasi
(1,6,). Penting untuk mencurigai cedera esofagus dengan mengenali adanya tandatanda lain dari ruptur (demam, leukositosis, hemodinamik tidak stabil, efusi
pleura) sejak awal terkandung perforasi esofagus yang mungkin subklinis dan
sulit

untuk

mengenali.

Hal

ini

terutama

berlaku

untuk

pasien

immunocompromised atau orang-orang dengan pengobatan steroid atau antibiotik


(7).
Emfisema Subkutis (ES) adalah terdapatnya udara bebas di bawah
jaringan subkutis. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh komplikasi dari berbagai
penyakit seperti asma serangan akut, infeksi gangren, ekstraksi gigi atau
komplikasi saat memasang torakostomi (8). Pada pasien ini dicurigai menderita
PM spontan oleh karena batuk berulang. Hal tersebut dibuktikan dengan
emfisema subkutis yang semakin berkurang setelah gejala batuk berulang semakin
jarang seiring dengan pengobatan yang telah dilakukan terhadap penyakit
dasarnya.

Patofisiologi
Patofisiologi dari PM tergantung dari kondisi klinis tiap pasien. PM atau
emfisema mediastinum dapat terjadi karena (1) sepsis mediastinum dari
organisme yang menghasilkan gas yang dikeluarkan dari jaringan lunak di
dekatnya, umumnya kepala dan leher, (2) gangguan trauma pada esofagus dan
trakea, sering berkaitan dengan ventilasi tekanan positif, atau dari ruang retroperitoneal, (3) kerusakan alveoli dan bronkiolus, yang memungkinkan gas bocor
sepanjang bundel bronkovaskular menuju mediastinum (1,9). Mekanisme terakhir
adalah yang paling umum. Mekanisme dimana pecahnya alveolar dapat terjadi
sebagai akibat dari peningkatan tekanan intra-alveolar karena kondisi seperti
batuk keras khususnya dengan glotis tertutup, paroksimal asma, dan muntah berat
(1,9). Mekanisme terjadinya PM pada pasien ini dicurigai berasal dari kerusakan
alveoli dan bronkiolus sebagai akibat dari peningkatan tekanan intra-alveolar
karena batuk keras, berulang, dan lama.
Mayoritas kasus PM disebabkan oleh kerusakan alveoli. Sebagian besar
kasus kerusakan alveoli yang menyebabkan PM adalah ruptur alveoli spontan
(10,11,12). Macklin dan Macklin adalah yang pertama menunjukkan bahwa PM
dapat terjadi ketika udara dari alveoli yang pecah bermigrasi ke mediastinum.
Dengan adanya perbedaan tekanan antara alveolus dan interstitium, udara yang
pecah dari alveolus menuju perivaskular dan selubung fasia peribronkial (10).
Mekanisme PM dalam kasus TB melibatkan over-ekspansi ruang udara distal di
luar obstruksi saluran napas kecil. Diikuti oleh ruptur alveolar, dipicu oleh batuk
atau mengejan. udara menuju interstitium paru yang bergerak sentripetal karena
tekanan lebih rendah di mediastinum daripada di parenkim paru (11,13,14).
Masuknya udara ke bronkovaskular menyebabkan emfisema interstisial paru. Hal
ini merupakan konsekuensi awal dari ruptur alveoli. Rerata tekanan di
mediastinum dan rongga pleura selalu negatif dibandingkan tekanan dalam
parenkim paru, perbedaan tekanan ini menyebabkan udara bergerak ke
mediastinum. Udara melewati sejumlah ruptur kecil pada dasar alveoli dari regio
yang mengalami pengembangan berlebihan ke dalam lapisan vaskular.
Gelembung udara kemudian bergerak di sepanjang lapisan vaskular, saling

bergabung, dan semakin membesar. Setelah sampai di hilum paru, gelembung


udara ini memasuki dan mengembangkan mediastinum. Dengan aliran udara yang
kontinu, terjadi aliran yang berlebihan ke dalam retroperitoneum, mediastinum
anterior dan jaringan subkutan dari dasar leher dan aksila. Pada kasus ekstrim
dimana dinding mediastinum mengalami ruptur, akan terjadi pneumotoraks
(1,7,12). Pada pasien ini terjadi emfisema subkutis pada daerah wajah, leher,
toraks anterior, dan abdomen anterior.

Gambar 4. Barotrauma yang terjadi pada pneumomediastinum (a) situasi normal


(b) pelebaran ruang yang mengandung gas dengan udara yang terjebak yang
dihasilkan dari pecahnya alveoli ke dalam jaringan ikat bronkovaskular (1).
Mekanisme terjadinya emfisema subkutis pada penderita dengan TB
adalah terjadinya obstruksi saluran nafas, mengakibatkan meningkatnya jumlah
udara yang terkurung di alveoli (air traping). Peningkatan volume udara di alveoli
mengakibatkan peningkatan tekanan (volutrauma dan barotrauma). Peningkatan
tekanan ini mengakibatkan terjadinya robek / ruptur alveoli. Robeknya alveoli jika
lokasinya di perifer akan dapat mengakibatkan terjadinya pneumotorak.
Pneumomediastinum dan emfisema subkutis dapat terjadi akibat rupturnya alveoli
sentral sehingga udara akan bergerak ke jaringan intersisial dan melanjutan ke
mediastinum dan kulit melalui percabangan bronkus. Robeknya alveoli dapat juga
menyebabkan terjadinya emboli udara apabila udara sampai masuk ke pembuluh
darah (8).

10

Gambar 5. Emboli udara pada emfisema subkutis (8).

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Trias klinis klasik yang konsisten ditemukan pada pasien dengan PM
adalah nyeri dada, emfisema subkutis dan sesak. Nyeri dada merupakan gejala
yang paling sering dilaporkan oleh pasien dengan PM. Nyeri ini memiliki ciri
lokasinya di substernal dan memberat saat bergerak, bernapas, atau berubah
posisi. Nyeri seringkali menjalar ke punggung, bahu, atau lengan. Sesak dan batuk
juga merupakan gejala yang umum dijumpai. Robekan udara di retrofaring dan
perilaring dapat menimbulkan disfagia atau disfonia, yang menimbulkan suara
serak yang khas (1,3,9,12). Pada hampir separuh kasus, pemeriksaan fisik akan
menunjukkan krepitasi di leher dan area supra klavikular, serta sianosis dan
distensi vena leher. Hamman sign, atau Hammans crunching, adalah suara klik
yang timbul bersamaan dengan denyut jantung, terdengar di atas prekordium, dan
intensitasnya meningkat saat inspirasi dan pada posisi dekubitus lateral kiri.
Gejala ini ditemukan pada 10-20% kasus PM, menyerupai suara yang dihasilkan
saat menggesekkan dua balon karet bersamaan (1,3,7). Demam derajat rendah,
disertai leukositosis ringan hingga sedang, seringkali disebabkan oleh inflamasi
reaktif yang berhubungan dengan kebocoran udara di mediastinum. Pada pasien
ini didapatkan keluhan sesak dan emfisema subkutis, dan tidak didapatkan nyeri.
Teraba krepitasi daerah wajah, leher, toraks anterior, dan abdomen anterior, serta
demam derajat rendah.
Diagnosis PM spontan dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiografi.
Diagnosis ini dapat ditegakkan oleh adanya garis radiolusen tipis pada sisi kiri
jantung. Tanda umum lainnya adalah bayangan dari arkus aorta, yang dikelilingi
oleh gambaran peningkatan radiolusen dan tanda continuous diaphragm yakni

11

gambaran garis radiolusen yang menyambung dari satu hemidiafragma ke


diafragma lainnya dibawah jantung. Emfisema subkutis akan tampak seperti
gambaran garis atau kantongan udara pada leher maupun dada, yang terdapat pada
kompartemen jaringan dinding dada yakni muskulus pektoralis (1,3,4,10). Studi
terbesar dilaporkan oleh Macia dan rekan dan melibatkan 41 pasien selama 16
tahun, diikuti oleh sebuah studi oleh Campilo-Soto dan rekan yang melaporkan 36
pasien. Dalam kedua publikasi tersebut, diagnosis dibuat oleh roentgen dada saja,
kemudian pasien yang belum diketahui penyakitnya dapat diidentifikasi dengan
computed tomography (CT) scan (7). Pemeriksaan radiologis foto toraks pada
pasien ini ditemukan adanya garis radiolusen tipis pada sisi kiri jantung, tampak
pula gambaran kantongan udara pada leher maupun dada. Diagnosis PM pada
pasien ini dapat dipastikan melalui pemeriksaan CT scan toraks.
Computed tomography merupakan baku emas untuk mendiagnosis PM.
CT scan dapat memberikan gambaran yang lebih sensitif dibandingkan foto
roentgen dalam mendeteksi udara bebas dalam berbagai bentuk. Jika manajemen
harus segera dilakukan atau bila tidak ditemukan penyebab PM yang jelas maka
CT scan dapat dipertimbangkan (1,3,10).
Penatalaksanaan
Sebagian besar PM tanpa gejala sehingga dapat hilang sendiri. Saat
diagnosis telah ditegakkan, pasien sebaiknya dirawat inap untuk monitoring serta
tatalaksana lebih lanjut sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya PM.
Menghindari atau penanganan faktor predisposisi maupun presipitasi PM
umumnya diikuti dengan perbaikan bertahap dari udara bebas. Tirah baring
disertai pemberian oksigen tambahan dapat mempercepat proses penyerapan
udara bebas. Pemberian antibiotik juga disarankan bila terdapat gambaran infeksi
maupun

sebagai

profilaksis

terhadap

mediastinitis

(1,3,10,13).

Pneumomediastinum pada pasien yang terinfeksi HIV, yang disebabkan oleh


infeksi Pneumocystis jirovecii, memberikan hasil yang baik jika diberikan terapi
antimikroba dengan tepat (15). Intervensi bedah jarang sekali dilaporkan, kecuali
pada kasus PM yang mengakibatkan terganggunya fungsi jantung dan pernapasan
(1,3,6,13). Pasien mendapatkan terapi antituberkulosis dikombinasikan dengan

12

antibiotik spektrum luas, bronkodilator dan oksigen. Keluhan batuk berulang,


sesak napas, dan demam membaik seiring dengan emfisema subkutis yang
semakin berkurang setelah menjalani kombinasi pengobatan tersebut.
Prinsip penatalaksanaan ES adalah mengatasi penyakit primer dan
mengeluarkan udara bebas di subkutis dengan jalan membuat insisi langsung di
daerah ES. Cara ini banyak kelemahan seperti meninggalkan sikatrik, sumber
infeksi dan insisi cepat menutup sehingga fungsinya sebagai saluran untuk
keluarnya udara tidak berfungsi lagi (1,8,9). Pada pasien ini dijumpai emfisema
luas yang diterapi secara konservatif, tanpa dilakukan tindakan. Hasilnya
emfisema pada pasien berkurang secara bertahap.
Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki berusia 53 tahun,
dengan gejala sesak napas, demam, batuk, krepitasi pada leher, dada, dan perut.
Pada foto toraks didapatkan gambaran emfisema subkutis disertai pneumonia dan
proses spesifik paru. Hasil CT scan thoraks menunjukkan gambaran TB paru
disertai emfisema subkutis luas dan PM. Pneumomediastinum pada kasus TB
maupun HIV jarang ditemukan, dimana PM merupakan komplikasi infeksi
saluran napas yang tidak lazim ditemukan pada kondisi tersebut. Batuk yang keras
dan berulang pada penderita ini disertai adanya penyakit infeksi paru merupakan
faktor pemicu serta penyakit dasar terjadinya ruptur alveoli sehingga
mengakibatkan timbulnya PM melalui mekanisme patofisiologi yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tatalaksana konservatif berupa pemberian oksigen, tirah
baring, obat antituberkulosis, serta antibiotik pada pasien ini memberikan hasil
yang cukup baik, ditandai dengan sesak, batuk, dan emfisema subkutis yang
berkurang.
Daftar Pustaka
1. Park DR, Valliyres E. Pneumomediastinum and mediastinitis. In Murray &
nadels textbook of respiratory medicine eds. 5th. Philadelphia: Saunders
Elsevier 2010 (2): 1496-1502.
2. Saadon AA, Janahi IA. Spontaneous pneumomediastinum in children and
adolescents. 2016. (cited: 21 April 2016). Available from: URL:

13

http://www.uptodate.com/contents/spontaneous-pneumomediastinum-inchildren-and-adolescents .
3. Carolan PL. Pneumomediastinum. 2016. (cited: 21 april 2016). Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1003409-overview.
4. Turban JW. Case report: spontaneous pneumomediastinum from running
sprints. Case Rep Med 2010: 1-5
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tata laksana
klinis ko-infeksi tb-hiv. 2012: 1-150.
6. Sheila M, Carey PB, Hind CR. Pneumocystis carinii pneumonia presenting
with pneumomediastinum in an HIV-positive patient. Postgrad Med J
1995; 71: 96-119.
7. Caceres M, Ali SZ, Braud R, Weiman D, Garrett HE, Spontaneous
pneumomediastinum: a comparative study and review of the literature.
Ann Thorac Surg 2008; 86: 962 966.
8. Khairsyaf O, Medison I. Penggunaan iv kateter pada penatalaksanaan
emfisema subkutis. Majalah Kedokteran Andalas 2009; 33: 1: 100-102.
9. Gupta A, Rizvi I, Srivastava BV, Debnath CJ, Kapur BN, Khanna VN, et
al. Spontaneous pneumomediastinum. Med J Arm Forc Ind 2015; 71: S85S88.
10. Kelly S, Hughes S, Nixon S, Brown SP. Spontaneous pneumomediastinum
(Hammans syndrome). The Surgeon 2010; 8: 63-66.
11. Dixit R, Dave L. Pneumomediastinum with subcutaneous emphysema in
silico tuberculosis patient. Lung India 2007; 24: 102-104.
12. Dasgupta UK. Subcutaneous emphysema and pneumomediastinum
complicating miliary tuberculosis: a case report. Ind J Tub 1991; 38: 231232.
13. Zylak CM, Standen JR, Barnes GR, Zylak CJ. Pneumomediastinum
revisited: scientific exhibit. Radiographics 2000: 1403-1057.
14. Narula T, Barthwal MS, Deoskar RB, Rajan KE, Sharma SK.
Pneumomediastinum an uncommon complication of acute severe
asthma. Med J Arm Forc Ind 2006; 62: 394-395.
15. Cheng WL, Ko WC, Lee NY, Chang CM, Lee CC, Li MC, et al.
Pneumomediastinum in patients with AIDS : a case report and literature
review. Int J Infec Dis 2014; 22: 31-34.

14

Kepada: Yth. dr Pande Made Dwipayana, SpPD-KEMD, FINASIM


Di- tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : dr. I Gusti Putu Hery Sikesa
Angkatan 1 C
Dengan ini menyampaikan Laporan Kasus yang berjudul Pneumomediastinum
dan Emfisema Subkutis pada penderita TB-HIV yang telah disetujui pembimbing
dr. Ida Bagus Suta, SpP (K). Mohon bimbingan dan koreksi untuk kesempurnaan
laporan kasus ini. Atas perhatian Dokter, Saya ucapkan terim kasih.
Hormat Saya
dr. I Gusti Putu Hery Sikesa

15

Kepada: Yth. Dr. Ida Bagus Suta, Sp.P (K)


di-tempat
Mohon koreksi dan bimbingannya atas laporan kasus oleh:
Nama

: dr. I Gusti Putu Hery Sikesa

Mahasiswa

: PPDS 1, Tingkat 1

No. HP

: 081239635355

Dengan judul kasus adalah Pneumomediastinum dan Emfisema


Subkutis Pada Penderita TB-HIV. Atas waktu dan perhatiannya, Saya
ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,

Dr.
SIkesa

Gusti

Putu

Hery

16

Kepada: Yth. Prof. Dr. dr. I Dewa Nyoman Wibawa, SpPD-KGEH


Di- tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : dr. I Gusti Putu Hery Sikesa
Angkatan 1 C
Dengan ini menyampaikan Laporan Kasus yang berjudul Pneumomediastinum
dan Emfisema Subkutis pada penderita TB-HIV yang telah disetujui pembimbing
dr. Ida Bagus Suta, SpP (K) dan Sekretaris Program Studi dr Pande Made
Dwipayana, SpPD-KEMD, FINASIM. Mohon bimbingan dan koreksi dari Prof.
untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Atas perhatian Prof, Saya ucapkan terim
kasih.
Hormat Saya
dr. I Gusti Putu Hery Sikesa

Anda mungkin juga menyukai