Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS GAWAT DARURAT

PREOPERATIF PERDARAHAN

Disusun oleh:
Airin Aldiani
0910710030

Pembimbing:
dr. Karmini Yupono, SpAn, KAP

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama
Umur

: Ny. PB
: 34 tahun

Alamat
Status
Register
Tanggal MRS
Jam MRS
Jenis Pembedahan
Rencana Anestesi

: Wlingi, Blitar
: Menikah
: 111855xx
: 5 Juli 2014
: 19.00 WIB
: Eksplorasi laparotomi + Trepanasi evakuasi SDD
: General Anesthesia - intubasi

2. Persiapan Pre Operasi


2.1 Anamnesis (5 Juli 2014)
A
: Riwayat alergi makanan atau alergi obat disangkal
M
: Pasien merupakan rujukan dari RS Ngudi Waluyo Wlingi
kemudian langsung dirujuk ke RSSA tanggal 5 Juli 2014.
Pasien mendapatkan pengobatan dari penyakitnya saat
ini di UGD RSSA.
P
: Riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes mellitus (-),
riwayat penyakit jantung (-), riwayat penyakit asma (-)
L
: Kemarin malam (4 Juli 2014)
E
: Ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri (5/7/2014),
dengan kepala berdarah (+).
2.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (8 Juni 2014)
2.2.1 Primary Survey
A
: Airway patent, suara tambahan (-), benda asing (-)
B
: Spontan 18-24x/m regular, simetris.
C
: Akral dingin, kering, pucat, nadi radialis reguler lemah
124-135x/m, CRT > 2
D
: GCS 335
E
: Jejas (+) temporoparietal sinistra, baju (+)
2.2.2

Secondary Survey

B1 : Spontan, paten, benda asing (-), suara nafas


tambahan (-), SaO2 99%, O2 NRBM 10lpm

B2 : Akral dingin, pucat, kering, CRT > 2, TD 124/75


mmHg, HR: 124 135x/menit regular lemah, S1S2
tunggal, murmur (-)

B3 : GCS 335, PBI 3mm/3mm, reflex cahaya +/+

B4 : Produksi urin (+), catheter (+)

B5 : TFU sesuai UK

B6 : dalam batas normal

2.3 Pemeriksaan Penunjang (3 Juli 2014)


Darah Lengkap
Hb
: 6,30 gr/dL (N : 11,4 15,1)
HCT
: 19,6%
(N : 38 - 42)
Leukosit
: 22.470/L
(N : 4.300 11.300)
Trombosit
: 335.000 /L (N : 142.000 424.000)
Faal hemostasis
PPT
: 12,1 detik
APTT
: 22,7 detik
INR
: 1,04
Kimia Darah

(N : 11,5 11,8)
(N : 28,9 30,6)

Ur/Cr
SGOT
SGPT

: 14/0,6 mg/dL
: 103 U/L
: 113 U/L

(N : 16,6 48,5 / <1,2)


(N : 0 40)
(N : 0 - 41)

Serum Elektrolit
Natrium
: 140 mmol/L (N : 136 145)
Kalium
: 3,57 mmol/L (N : 3,5 5,0)
Klorida
: 107 mmol/L (N : 98 108)
Analisis Gas Darah
pH
: 7,43
(N : 7,35 7,45)
pCO2
: 23,3 mmHg (N : 35 45)
pO2
: 203,9 mmHg (N : 80 100)
HCO3: 15,7 mmol/L (N : 21 28)
BE
: -8,8 mmol/L (N : [-3] [+3])
SaO2
: 99,8 %
(N > 95 %)
P/F ratio
: 145,64
USG FAST: Laserasi hepar grade II, cairan bebas 1000 cc, gravida
intrauterine T/H, fatty liver
CT scan kepala: Edema serebri, ICH + SDH + SAH temporoparietal
sinistra
2.4 Assessment
ASA 4 internal bleeding, peningkatan TIK, penurunan kesadaran,
transaminitis.
Diagnosa Pra Bedah : G2P1001Ab000 18-20mgg T/H, CKS 335,
ICH, SDH, SAH, internal bleeding.
2.5 Planning
Tanggal dilakukan anestesi
Jenis Anestesi

: 6 Juli 2014
: GA intubasi

Jenis Pembedahan

: Eksplorasi laparotomi + Trepanasi


evakuasi ICH + SDH

PEMBAHASAN
1.

Definisi Perdarahan
Perdarahan, atau secara teknis dikenal sebagai hemorargik, adalah

hilangnya darah dari sistem peredaran darah. Perdarahan merupakan komplikasi


terbesar pada trauma. Perdarahan yang menimbulkan gangguan sirkulasi secara
klinis dikenal dengan syok. Perdarahan berat adalah perdarahan yang

mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30% atau lebih dari estimated blood
volume. Perdarahan dapat terjadi secara internal, di mana kebocoran darah dari
pembuluh darah di dalam tubuh, atau eksternal, yaitu kebocoran darah yang
diserta luka terbuka pada kulit luar.1-3
2.

Perdarahan Luar (External Bleeding)


Jenis perdarahan ini terjadi akibat kerusakan dinding pembuluh darah disertai

dengan kerusakan kulit, yang memungkinkan darah keluar dari tubuh dan
terlihat jelas keluar dari luka tersebut.
Terdapat beberapa jenis luka terbuka yaitu:

Luka Gores/ Abrasi: Bagian kulit lapisan atas terkelupas sehingga hanya

sedikit kehilangan darah


Laserasi: Bagian kulit yang terpotong bergerigi
Insisi: Kulit terpotong rata seperti potongan pisau
Pungsi: Cedera benda tajam yang menembus permukaan kulit
Avulsi: Kulit yang terpotong masih menggantung di bagian lainnya
Amputasi: Terpotongnya bagian tubuh
Luka luar dibagi berdasarkan kerusakan pembuluh darah, yaitu:

Perdarahan arteri: biasanya pasien akan mengalami kehilangan volume


darah dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Ciri khas perdarahan
arteri adalah darah yang keluar biasanya menyembur jauh karena aliran
darah arteri yang deras. Pada perdarahan arteri sangat sulit terbentuk
clot karena clotting terbentuk pada aliran darah yang lambat atau tidak

ada aliran sama sekali.


Perdarahan vena: karena

aliran

darah

vena

yang

lebih

stabil

dibandingkan arteri, biasanya perdarahan vena lebih mudah dikontrol dan


mudah terjadi clotting. Namun apabila terjadi kerusakan di vena besar
biasanya pasien dapat kehilangan volume darah dalam jumlah yang

besar dan sulit dikontrol.


Perdarahan kapiler: biasanya perdarahan yang terjadi tidak terlalu serius
dan mudah untuk dikontrol karena sebagian besar perdarahan kapiler
mudah terbentuk clotting dan dapat berhenti sendiri. 1,4-5

Perdarahan Kapiler

Perdarahan Vena

Perdarahan Arteri

Gambar 1 Contoh Perdarahan Eksternal


3.

Perdarahan Dalam (Internal Bleeding)


Kehilangan darah dalam perdarahan internal dapat terlihat dan dapat juga

tidak terlihat karena kulit masih utuh. Perdarahan internal mungkin terjadi di
dalam jaringan-jaringan, organ-organ, atau di rongga-rongga tubuh termasuk
kepala, dada, dan perut. Perdarahan internal terjadi ketika kerusakan pada arteri
atau vena menyebabkan darah terlepas dari sistem sirkulasi dan terkumpul di
dalam tubuh. Jumlah perdarahan tergantung pada jumlah kerusakan pada organ
dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplainya, serta kemampuan tubuh
untuk memperbaiki pecahan- pecahan pada dinding-dinding dari pembuluhpembuluh darah.1-2
Diagnosis internal bleeding ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa dapat digali adanya riwayat
trauma dan gejala-gejala yang dirasakan pasien. Gejala perdarahan internal
mungkin tersembunyi dan muncul hanya dengan nyeri, tetapi jika ada kehilangan
darah cukup, pasien mungkin mengeluh kelemahan, kepala ringan , sesak
napas , dan gejala yang lebih berbahaya seperti syok . Gejala bergantung pada
lokasi perdarahan. Pada perdarahan di hemithorax menimbulkan gejala sesak
dan

nyeri

dada.

Jika

ada

perdarahan

pencernaan,

pasien

mungkin muntah darah merah terang, atau jika sudah dalam perut untuk periode
waktu, muntahan mungkin terlihat seperti bubuk kopi, dan buang air besar
berdarah. Pada perdarahan di kavum abdomen, akan ada nyeri perut dan perut
yang tegang/kaku. 1,4-5
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:

nyeri di lokasi yang cedera


bengkak, perut terasa tegang
mual dan muntah
pucat, berkeringat, kulit basah
sesak napas
rasa haus yang ekstrim
penurunan kesadaran

Tanda & gejala spesifik pada perdarahan dalam pada pasien cedera
kepala:

sakit kepala atau pusing


kehilangan memori, terutama saat kejadian
kebingungan
keadaan kesadaran yang berubah
luka di kepala (wajah dan kulit kepala)
mual dan muntah

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa:

4.

5.

Tes darah :
o
Complete blood count (CBC)
o
Golongan darah & uji crossmatch darah
o
Faal hemostasis darah PPT, aPTT, dan INR
o
Tes kehamilan & toxicology (bila diperlukan)
o
Kadar laktat & base deficit
Radiologi:
o
Foto polos radiologi
o
CT scan
o
USG FAST 1,4-5
Klasifikasi Perdarahan
Tabel 1 Klasifikasi Perdarahan

Tatalaksana Perdarahan
Seperti halnya dalam situasi mengancam jiwa lainnya, manajemen

pasien trauma dimulai dengan pembentukan atau pemeliharaan jalan napas


(airway), pernapasan yang memadai atau ventilasi (breathing), dan pemulihan
sirkulasi (circulation). Selain itu, pasien harus dikelola sedemikian rupa untuk
mencegah kecacatan permanen (disability), pada fase awal melibatkan
perlindungan dan imobilisasi tulang belakang mulai dari leher, torakal, sampai
dengan lumbal. Yang terakhir ialah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
luka pasien yang dicapai dengan pemeriksaan fisik yang terperinci dan
pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Manajemen jalan nafas awal akan bervariasi, tergantung pada ada atau
tidak adanya shock, kompromi pernapasan, luka rahang atas, status mental
pasien, dan potensi neurologis atau cedera tulang belakang leher. Pasien yang
sadar, berbicara, bernapas dengan nyaman, dan hemodinamik stabil mungkin
hanya membutuhkan masker atau nasal canule. Pada pasien dengan trauma
multipel, diperlukan bantuan alat agar jalan napas tetap paten dan melindungi
jalan napas (status mental depresi, darah orofaringeal atau muntahan, fraktur

wajah yang luas, hematoma leher yang meluas, dan luka bakar besar wajah atau
lainnya), atau untuk memberikan ventilasi dalam mengurangi risiko gagal napas
yang ada atau yang akan datang.
Intubasi trakea sering diperlukan. Tanda-tanda klinis dari kegagalan
pernapasan termasuk takipnea, dangkal sesak napas, penggunaan otot aksesori,
stridor, gerakan dinding dada paradoks seperti pada pasien flail chest, sianosis,
kebingungan, atau analisa gas darah yang abnormal (PO2 < 60 mmHg atau
PCO2 > 50 mmHg biasanya disertai pH 7.30). Intubasi diperlukan apabila
terdapat apneu atau cardiopulmonary arrest.
Ventilasi harus dilanjutkan sampai akses jalan nafas telah diperoleh.
Bahkan

setelah

intubasi,

ventilasi

biasanya

digunakan

sampai

status

cardiopulmonary pasien telah stabil. Bantuan ventilasi untuk mendapatkan PCO2


dan pH dalam kisaran normal dan saturasi oksigen > 90% adalah tujuan ventilasi
mekanis. Di masa lalu, pasien dengan cedera kepala tertutup mengalami
hiperventilasi untuk mengurangi tekanan intrakranial (ICP). Dewasa ini diakui
bahwa hiperventilasi dan hipocarbia mengurangi ICP dengan menyebabkan
vasokonstriksi, yang pada gilirannya dapat mengurangi tekanan perfusi serebral.
Hiperventilasi untuk mengurangi ICP harus dihindari di sebagian besar pasien
dengan cedera kepala.
Setelah mengontrol airway dan breathing, prioritas berikutnya adalah
bantuan sirkulasi. Pada pasien perdarahan dibutuhkan akses vena untuk
resusitasi cairan. Pada perdarahan massif diperlukan double line pada akses
vena. Pembuluh darah yang digunakan adalah vena-vena besar yang letaknya
superfisial menggunakan venflon dengan ukuran besar (minimal ukuran diatas
20 gage). Untuk perdarahan luar biasanya dilakukan bebat tekan untuk
mengontrol perdarahan secara mekanik.
Hampir

semua

pasien

yang

menjalani

tindakan

pembedahan

membutuhkan akses vena untuk administrasi cairan dan obat, dan beberapa
pasien bahkan membutuhkan transfusi komponen darah. Sehingga, seorang
dokter harus dapat memperkirakan volume intravaskular agar dapat mengatasi
defisit cairan atau kehilangan darah yang terjadi. Evaluasi volume intravaskular
dapat dilakukan dengan mengamati riwayat pasien, pemeriksaan fisik, maupun
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat diketahui faktor-faktor penting
seperti intake oral, adanya diare atau muntah yang persisten, kehilangan darah
yang signifikan, serta adanya pemberian cairan intravena atau transfusi darah.
Dari pemeriksaan fisik, dapat dilihat tanda-tanda hipovolemia, seperti turgor kulit
yang abnormal, dehidrasi membran mukosa, peningkatan heart rate, penurunan
tekanan darah, serta penurunan produksi urin

Penatalaksanaan cairan pada syok perdarahan berat adalah dengan


melakukan resusitasi agresif/resusitasi standar (massive resuscitation) untuk
mengganti cairan yang hilang dengan menggunakan menggunakan kristaloid
(Ringer Laktat atau Normal Saline) dengan pemberian 3 kali lipat dari estimate
blood loss. Hal ini dikenal dengan 3 for 1 rule. Dasar pemikiran ada resusitasi ini
adalah cairan kristaloid memiliki partikel molekul kecil yang relatif berdifusi keluar
dari intravaskuler ke interstisial sehingga dianggap hanya 25% atau kurang lebih
1/3 dari cairan kristaloid yang bertahan intravaskuler. Kristaloid sendiri dapat
memenuhi kehilangan volume sirkulasi darah sampai dengan 30%. Volume
cairan yang diperlukan untuk resusitasi yang memadai adalah sekitar 3 kali lipat
dari perkiraan kehilangan darah (estimated blood loss). Namun, dengan proses
kehilangan darah yang sedang berlangsung atau perdarahan yang lebih
signifikan, intervensi operasi atau terapi transfusi darah diperlukan. Selain
kristaloid larutan hipertonis juga dapat dipakai dalam resusitasi awal pasien
dengan trauma perdarahan.
Sementara larutan koloid memiliki keuntungan dengan memberikan
pemulihan volume sirkulasi yang lebih cepat dengan volume yang diresapi lebih
kecil dari larutan garam fisiologis. Manfaat lainnya adalah kemampuan mereka
untuk mempertahankan atau mengembalikan kadar protein serum. Namun, hasil
meta-analisis baru-baru ini menjelaskan mengenai percobaan klinis terkontrol
dari resusitasi cairan koloid dibandingkan kristaloid dengan menunjukkan bahwa
hanya sedikit peran koloid dalam resusitasi pasien dalam kondisi kritis (critically
ill). Namun kolloid biasanya berperan dalam menambah kekurangan volume
sirkulasi darah sekitar 30-40%.
Meskipun kristaloid saja mungkin cukup untuk resusitasi kelas 1 atau 2
syok hemoragik (misalnya, kerugian kurang dari 15% sampai 30% volume
darah), perdarahan yang lebih signifikan memerlukan transfusi darah untuk
mempertahankan pengiriman oksigen yang cukup untuk jaringan. Pada
perdarahan akibat trauma, idealnya akan melibatkan resusitasi dengan transfusi
darah sampai pendarahan terkendali, diikuti dengan transfusi darah alogenik.
Apabila jumlah perkiraan kehilangan darah lebih dari 40% atau kadar Hb < 7
g/dL, kehilangan darah harus digantikan oleh transfusi darah. 3,6-9
Penelitian dewasa ini menyebutkan Pemberian resusitasi cairan pada
syok perdarahan berat sebaiknya menggunakan resusitasi terbatas (permissive
hypotension) untuk menghindari kerusakan sel lebih lanjut akibat mekanisme
iskemia-reperfusi, rebleeding, hipotermia dan koagulopati. Namun dari penelitian
tersebut menyebutkan terapi restriksi cairan ini di kontraindikasikan pada pasien
cedera kepala karena akan meningkatkan mortalitas pasien. 3

Tabel 2. Jenis-Jenis Cairan Untuk Resusitasi

Tabel 3. Respon Tubuh Terhadap Resusitasi Cairan Dini

Untuk pasien yang berpuasa sebelum dilakukan operasi, akan terjadi


defisit cairan karena tidak adanya intake cairan oral. Perkiraan defisit cairan
dapat dihitung dengan menghitung perkiraan kebutuhan cairan per jam dikalikan
lama puasa. Defisit tersebut sebaiknya digantikan saat preoperatif.

10

Tabel 4. Penghitungan cairan maintenance


Berat Badan
10 kg pertama
10 kg berikutnya
Untuk tiap kg di atas 20 kg

Jumlah Cairan
4 mL/kg/jam
Tambahkan 2 mL/kg/jam
Tambahkan 1 mL/kg/jam

Gambar 1 Algoritma Tatalaksana Perdarahan

Perawatan untuk perdarahan eksternal, perawatan ini meliputi kontrol


perdarahan dan melindungi luka dari cedera selanjutnya. berikut adalah langkahlangkah pertolongan pertama perdarahan eksternal:

Gunakan APD (Alat Pelindung Diri), minimal sarung tangan.


Ekspos luka dengan cara merobek atau melepaskan pakaian untuk
menemukan sumber perdarahan.
Beri pembalut atau kasa pada sumber perdarahan dan tekan dengan
tangan anda secara langsung (tindakan ini dapat menghentikan sebagian

besar perdarahan)
Jika perdarahan terjadi di sekitar lengan atau tungkai, maka tinggikan
bagian tersebut di atas tinggi jantung.

Agar dapat menangani cedera lain anda dapat menggunakan perban


tekan untuk menahan pembalut pada luka.
Jika darah masih merembes hingga kasa dan perban di penuhi darah,
maka jangan angkat perban atau pembalut tersebut. Lebih baik gunakan

kasa tambahan dan perban di atas titik tekan yang sama.


Jika perdarahan masih belum dapat dikontrol maka beri tekanan pada titik
tekan (TT brakhial pada kedua lengan atas dan TT femoral dapa lipatan

paha) sambil tetap menjaga tekanan pada luka.


Untuk lebih mempermudah mengingat penanganan pada perdarahan
eksternal maka kita singkat pertolongan perdarahan eksternal dengan
TET (Tekan, Elevasi, dan Titik Tekan). 1,4-5

Gambar 2 Tatalaksana Perdarahan Eksternal


Sementara pertolongan pertama yang diberikan saat terjadi perdarahan
internal adalah sebagai berikut:
1. Gunakan APD (Alat Pelindung Diri), minimal sarung tangan.
2. Menjaga airway dengan menggunakan ceollar brace apabila terdapat
kecurigaan trauma cervical.
3. Memberikan ventilasi oksigen bila diperlukan.
4. Mengontrol semua perdarahan luar yang terlihat.
5. Pasang bidai pada ekstremitas yang dicurigai terdapat internal bleeding.
6. Monitor tanda-tanda vital minimal setiap 5 menit
7. Tidak memberikan apapun pada pasien melalui mulut karena dapat
merangsang muntah dan meningkatkan resiko aspirasi.

8. Menempatkan pasien pada posisi syok (posisi kaki lebih tinggi daripada
kepala) pada pasien nontrauma.
9. Menjaga pasien dalam kondisi hangat
Untuk perawatan pasien perdarahan dalam akibat trauma dilakukan
pertolongan:

6.

Mengistirahatkan area yang cidera (Rest)


Kompres bagian yang cidera dengan es atau kantung dingin (Ice)
Tekan bagian yang cidera menggunakan perban kompresi (Compress)
Tinggikan bagian yang cidera apabila tidak terjadi fraktur (Elevation) 1,4-5
Perbandingan Kasus dengan Teori
Pada tanggal 5 Juli 2014, Ny. P, usia 34 tahun di rujuk ke RSSA dari RS

Ngudi Waluyo Wlingi. Pasien didiagnosa dengan G2P1001Ab000 18-20mgg T/H,


CKS 335, ICH, SDH, SAH, internal bleeding. Pada pasien ini direncanakan
tindakan eksplorasi laparotomy dan treapanasi evakuasi SDD dengan general
anestesi intubasi.
Internal bleeding merupakan salah satu jenis perdarahan berat yang
mengancam

jiwa

dan

merupakan

kegawatdaruratan

di

bidang

medis.

Perdarahan yang tidak terkontrol merupakan penyebab utama terjadinya syok


perdarahan dan juga cardiac arrest. Pasien dengan perdarahan post trauma
merupakan penyebab kematian tertinggi yang dapat dicegah pada pasien
trauma. 4
Pada saat pasien datang ke IGD, pertama kali dilakukan primary survey
yang meliputi A,B,C,D,E (airway, breathing, circulation, disability, dan exposure).
Primary survey bertujuan untuk menilai kondisi pasien secara cepat dan
dilakukan dalam waktu 2-5 menit. Dari primary survey pada pasien ini didapatkan
kondisi airway paten, breathing spontan dengan respiratory rate 24x/menit
regular simetris, circulation akral dingin, kering, pucat, nadi radialis 124135x/menit reguler lemah, CRT > 2, disability GCS 335, dan exposure terdapat
jejas di kepala regio frontotemporal. Karena pasien kehilangan sejumlah darah
maka pasien membutuhkan resusitasi cairan.
Sebelum menentukkan jenis cairan yang akan digunakan harus
ditentukan derajat syok dan estimasi kehilangan darah pada pasien ini. Pada
pasien ini diberikan cairan resusitasi berupa kristaloid yang isoosmolar yaitu NS.
Pada pasien dengan cedera kepala, pemberian cairan hipotonis, misalnya RL
sebaiknya dihindari untuk meminimalisir perpindahan cairan ke jaringan otak
sehingga mencegah terjadinya edema serebri yang lebih parah.11
Setelah primary survey dan resusitasi cairan pada pasien ini dilakukan
secondary survey atau pemeriksaan lengkap head to toe dengan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang. Masalah pada pasien ini adalah

penurunan kesadaran, trauma kepala dengan ICH, SDH, dan SAH, disertai
internal bleeding dan gravida 20 minggu.
Pada pasien ini estimasi kehilangan darah sekitar > 1500 mL dengan nadi
124-135x/menit, tekanan darah 124/75mmHg, RR 24x/menit, penurunan
kesadaran. Maka dapat disimpulkan pasien jatuh pada derajat syok kelas 3.
Maka dari itu diperlukan resusitasi awal menggunakan kristalloid (NaCl 0,9%)
sampai 20% kehilangan cairan terpenuhi, kemudian ditambahkan dengan kolloid
sampai 40% kehilangan cairan terpenuhi setelah itu kekurangan volume darah
diganti dengan transfusi darah PRC. Pada pasien ini dilakukan transfusi PRC
sebanyak 2 labu sebelum dilakukan operasi karena dari pemeriksaan penunjang
pada pasien ini didapatkan kadar Hb sebesar 6,3 g/dL.
Setelah di resusitasi pasien terus di monitor setiap 15 menit untuk
mengecek respon terhadap pemberian cairan. Pada pasien ini setelah di monitor
didapatkan perbaikan tanda-tanda vital. Respon pasien terhadap resusitasi
cairan tergolong dalam kategori transient response (respon sementara) dimana
terdapat perubahan tanda-tanda vital namun terkadang naik-turun.
Terapi pre-operasi yang diberikan pada pasien ini antara lain adalah:
- Elevasi kepala 30o: pada pasien dengan edema serebri, posisi kepala
yang netral penting untuk menghindari kompresi jugular dan
hambatan outflow vena, serta untuk menurunkan tekanan hidrostatik
CSF. Pada pasien normal maupun pasien dengan cedera otak,
-

elevasi kepala dapat menurunkan tekanan intrakranial.


Oksigenasi yang adekuat hipoksia merupakan vasodilator serebral
yang poten sehingga harus dihindari pada pasien dengan edema

serebri.
Pemberian antikonvulsan: sebagai profilaksis terhadap terjadinya

kejang post-trauma.
Pemberian antipembekuan

perdarahan hebat.
Pemberian obat-obatan lambung: karena sebelum operasi pasien

darah:

karena

pasien

mengalami

harus dalam keadaan puasa sehingga asam lambung cenderung


meningkat saat dilakukan tindakan pembedahan.

Daftar Pustaka

1.

Mullin, Richard J. 2007. Shock Electrolyte and Fluid in Sabiston

2.

Textbook of Surgery 18 th Edition. Blackwell: United Kingdom.


American College of Surgeons. 2007. Advanced Trauma Life Support

3.

(ATLS) Program for Doctors p 58, 89-132.


Ario, D., Vicky S.B, 2011. Kebutuhan Optimal Cairan Ringer Laktat
untuk Resusitasi Terbatas (Permissive Hypotension) pada Syok

Perdarahan yang Menimbulkan Kenaikan Laktat Darah Paling Minim


4.

in Journal of Emergency Vol.1 No.1. Surabaya, Indonesia.


Thygerson, Alton. 2011. Wound and Bleeding in Standard, First Aid,

5.

CPR, and AED. Jones & Bartlett Publisher: Massachusetts, USA


Hanafi, B, Pusponegoro AD. 2010. Shock dan Perdarahan in Definitive

6.

Surgical Trauma Care. Jakarta, Indonesia.


Cherkas, David. 2011. Traumatic Hemorrhagic Shock: Advances in
Fluid Management in Emergency Medicine Practice Vol. 13 No. 11. EB

7.

Medicine: New York, USA.


Tremblay, Lorraine N., S.B. Rizoli, Frederick D., Brenneman. 2001.
Advances in Fluid Resuscitation of Hemorrhagic Shock in Canadian

8.

Journal of Surgery Vol. 44 No. 3. University of Toronto: Toronto.


Barton, R.G. Initial Approach to the Injured Patient in Surgical Critical

Care 2nd Edition. Taylor & Francis Publisher: New York, USA
9. Rossaint, et al. 2010. Management of Bleeding Following Major
Trauma: An Updated European Guideline in Critical Care Vol. 14.
BioMed Central: Germany.
10. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikhails
Clinical Anesthesiology 5th Edition. McGraw Hill: USA.
11. Spahn DR, Bouillon B, Cerny V, Coats TJ, Duranteau J, Filipescu D, et al.
2013. Management of bleeding and coagulopathy following major trauma:
an updated European guideline. Critical Care 17:R76

Anda mungkin juga menyukai