Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PROFESI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKes HANG TUAH PEKANBARU


TAHUN AJARAN 2018/2019

LAPORAN PENDAHULUAN
(OPEN FRAKTUR NASSAL)
Nama : Sri Yuliani Putri
NIM : 18091025
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Fraktur adalah hilangnya konstinuitas tulang, tlang rawan baik yang bersifat total
maupun sebagian. Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Arif, 2008). Fraktur nasal atau fraktur hidung adalah hilangnya
kontinuitas pada tulang nasal.

Gambar fraktur nasal


2. Etiologi/faktor risiko
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. c.
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a. Tumor Tulang (Jinak atau Ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan kegagalan
absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara Spontan Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
Trauma nasal biasanya disebabkan oleh trauma langsung, seperti terpukul, kecelakaan
lalu lintas maupun pada saat olahraga (Sjamsuhidayat, 2004).
3. Klasifikasi
a) Fraktur hidung sederhana, jika fraktur dari tulang hidung, dapat dilakukan perbaikan
dari fraktur tersebut dengan anastesi local.
b) Fraktur Tulang Hidung Terbuka, fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan
perubahan tempat dari tulang hidung dan disertai laserasi pada kulit atau
mukoperiosteum rongga hidung.
c) Fraktur Tulang Nasoetmoid, fraktur ini merupakan fraktur hebat pada tulang hidung,
prosesus frontal pars maksila dan prosesus nasal pars frontal. Fraktur tulang
nasoetmoid dapat menyebabkan komplikasi.
4. Patofisiologi
Gangguan traumatik os dan kartilago nasal dapat menyebabkan deformitas eksternal
dan obstruksi jalan napas yang bermakna. Jenis dan beratnya fraktur nasal tergantung
pada kekuatan, arah, dan mekanisme cedera. Sebuah benda kecil dengan kecepatan tinggi
dapat memberikan kerusakan yang sama dengan benda yang lebih besar pada kecepatan
yang lebih rendah.
Trauma nasal bagian lateral yang paling umum dan dapat mengakibatkan fraktur salah
satu atau kedua os nasal. Hal ini sering disertai dengan dislokasi septum nasal di luar
krista maxillaris Dislokasi septal dapat mengakibatkan dorsum nasi berbentuk S, asimetri
apex, dan obstruksi jalan napas. Trauma frontal secara langsung pada hidung sering
menyebabkan depresi dan pelebaran dorsum nasi dengan obstruksi nasal yang terkait.
Cedera yang lebih parah dapat mengakibatkan kominusi pecah menjadi kecil-kecil
seluruh piramida 12 nasal. Jika cedera ini tidak didiagnosis dan diperbaiki dengan tepat,
pasien akan memiliki hasil kosmetik dan fungsional yang jelek. Diagnosis fraktur nasal
yang akurat tergantung pada riwayat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Riwayat
yang lengkap meliputi penilaian terhadap kekuatan, arah, dan mekanisme cedera
munculnya epistaksis atau rhinorea cairan serebrospinalis, riwayat fraktur atau operasi
nasal sebelumnya, dan obstruksi nasal atau deformitas nasal eksterna setelah cedera.
Pemeriksaan fisik yang paling akurat jika dilakukan sebelum timbulnya edema pasca
trauma. Pemeriksaan ini memerlukan pencahayaan yang cukup lampu kepala atau
otoskop, instrumentasi spekulum hidung, dan suction sebaiknya tipe Frasier. Inspeksi
pada bagian dalam hidung sangat penting. (Rubinstein Brian, 2011).
5. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan pada daerah hidung, epistaksis, nyeri tekan
dan teraba garis fraktur (Sjamsuhidayat, 2004).
a. Nyeri
b. Deformitas
c. Krepitasi
d. Bengkak
e. Peningkatan temperatur lokal
f. Pergerakan abnormal
g. Ecchimosis
h. Kehilangan fungsi
i. Kemungkinan lain

6. Komplikasi
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak
ditangani segera.komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang dapat
menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler
diseminata (KID).
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan dara eksterna
maupun tak kelihatan ) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat
terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,dan vertebra karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapaler terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang
besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis. Penanganan meliputi
mempertahankan volume darah,mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang
pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.
kondisi dari
Komplikasi patologis,
fraktur nasal termasuk deformitas Trauma
secara Facial
kosmetik dan obstruksi
osteoporosis, neoplasma Langsung/tidak langsung
saluran napas. Selain itu ada beberapa komplikasi yang lain antara lain hematoma
(membutuhkan drainase untuk menghindari nekrosis septum dan superinfeksi septum),
Absorbsi calcium
epistaksis yang tidak berhenti/bleeding, obstruksi saluran nafas, kontraktur jaringan parut,
deformitas nasal/deviasi, saddling, Kebocoran cairan serebrospinal, komplikasi orbital.
Rentan fraktur Fraktur nasal perdarahan

Bersihan jalan nafas


inefektif
Deprasi saraf nyeri reposisi

Port de entre kuman

Gangguan Deficit
rasa nyaman : pengetahuan
nyeri Resti infeksi
fiksasi

cemas

Pemasangan
tampon paada
hidung

7. Web of cautions
nyeri
Pola nafas tidak efektif Perubahan persepsi
sensori ;
penciuman
Nafsu makan

Gangguan
pemenuhan nutrisi :
kurang dari
kebutuhan
8. Penatalaksanaan
Fraktur hidung harus segera direparasi dengan anastesi lokal dan immobilisasi
dilakukan dengan cara memasukkan tampon tiga sampai empat hari, patahan dapat
dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu
(Sjamsuhidayat, 2004).
1. Penatalaksanaan Awal
a. Pertolongan pertama ( emergency )
b. Resusitasi
c. Penilaian klinis
2. Enam prinsip umum pengobatan fraktur
a) Jangan membuat keadaan lebih jelek komplikasi pengobatan
latrogenik mal praktek
b) Pengobatan berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
c) Seleksi pengobatan
2. Menghilangkan nyeri
3. Memperoleh posisi fragmen yang baik
4. Mengusahakan penyambungan tulang
5. Pengembalian fumgsi yang obtimal
d) Mengingat proses penyembuhan secara alami
e) Bersifat realistic dan praktek dalam memilih jenis pengobatan
f) Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individu
3. AR sebelum melakukan pengobatan definitive.
a) Recognition ; diagnosis dan penilaian fraktur
6. Lokasi fraktur
7. Bentuk fraktur
8. Tahnik sesuai fraktur
9. Komplikasi yang mungkin terjadi
b) Reduction ; perlu bila restorasi frakturuntuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima.
c) Retention ; mobilisasi fraktur.
d) Rehabilitasi
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien, meliputi nama, usia (bisa terjadi pada semua usia), jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaaan, alamat, agama, suku, nomer registrasi dan diagnosa masuk.
b. Keluhan utama: nyeri pada daerah nasal post trauma
c. Riwayat penyakit sekarang: riwayat trauma pada daerah hidung disertai nyeri dan
perdarahan pada hidung.
d. Riwayat penyakit dahulu: apakah ada penyakit degeneratif pada tulang dan riwayat patah
tulang pada hidung sebelumnya.
e. Psikososial: kaji apakah ada rasa ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, dan gangguan
citra diri.
f. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing): adanya perubahan pada sistem pernafasan, karena adanya kerusakan
jalan nafas atau trauma pada nasal, adanya perdarahan pada daerah nasal, dan adanya
suara nafas tambahan (ronchi) pada trakea akibat perdarahan pada hidung.
2) B2 (Bleeding) : didapatkan rejanan (syok hipovelemik) dengan intensitas sedang
hingga berat akibat perdarah pada hidung, kulit yang pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemoglobin dalam darah, hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan menandakan syok hipovolemik.
3) B3 (Brain) : kesadaran bisa composmetis sampai koma tergantung pada keparahan
trauma pada kepala. Mengobservasi penampilan tingkah laku, gangguan dalam
berbicara dan ekspresi wajah, biasanya pada fraktur nasal terdapat pembengkakan
pada daerah wajah.
4) B4 (Bladder) : menkaji keaadan urin meliputi warna, jumlah dan karakteristik.
5) B5 (Bowel) : pemenuhan nutrisi biasanya normal bila tidak disertai rasa nyeri saat
menelan dan tidak ada mual muntah, pola defekasi tidak ada kelainan.
6) B6 (Bone) : fraktur pada tulang nasal akan mengganggu jalan nafas, adanya
deformitas pada nasal dan kaji adanya rasa nyeri tekan pada daerah nasal, terdapat
perubahan warna kulit, warna kebiruan pada daerah wajah menunjukan adanya
sianosis.
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi dengan foto rongten dari arah lateral dapat menunjang
diagnosis fraktur pada nasal.
2. Diagnosa Keperawatan
10. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan perdarahan pada hidung.
11. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan os nasal
12. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
3. Intervensi
Diagnosa keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan dan kreteria hasil Intervensi
Bersihan Jalan Nafas tidak NOC: NIC:
efektif berhubungan dengan: Respiratory status : a. Pastikan kebutuhan
Obstruksi jalan nafas : Ventilation oral/tracheal suctioning.
perdarahan pada hidung Respiratory status : Airway b. Berikan O2 ……
patency l/mnt, metode………
Aspiration Control c. Anjurkan pasien
Setelah dilakukan tindakan untuk istirahat dan napas
keperawatan selama dalam
…………..pasien d. Posisikan pasien
menunjukkan keefektifan untuk memaksimalkan
jalan nafas dibuktikan ventilasi
dengan kriteria hasil : e. Lakukan fisioterapi
a. Mendemonstrasikan dada jika perlu
batuk efektif dan suara f. Keluarkan sekret
nafas yang bersih, tidak dengan batuk atau
ada sianosis dan dyspneu suction
(mampu mengeluarkan g. Auskultasi suara
sputum, bernafas dengan nafas, catat adanya suara
mudah, tidak ada pursed tambahan
lips) h. Berikan
b. Menunjukkan jalan nafas bronkodilator :
yang paten (klien tidak i. Monitor status
merasa tercekik, irama hemodinamik
nafas, frekuensi j. Berikan antibiotik
pernafasan dalam rentang k. Atur intake untuk
normal, tidak ada suara cairan mengoptimalkan
nafas abnormal) keseimbangan.
c. Mampu l. Monitor respirasi
mengidentifikasikan dan dan status O2
mencegah faktor yang m. Pertahankan hidrasi
penyebab. yang adekuat untuk
d. Saturasi O2 dalam batas mengencerkan sekret
normal n. Jelaskan pada pasien
Foto thorak dalam batas dan keluarga tentang
normal penggunaan peralatan :
O2, Suction, Inhalasi.
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan: Agen injuri (biologi, Pain Level, a. Lakukan pengkajian
kimia, fisik, psikologis), pain control, comfort level nyeri secara
kerusakan jaringan Setelah dilakukan tinfakan komprehensif termasuk
keperawatan selama …. lokasi, karakteristik,
Pasien tidak mengalami durasi, frekuensi, kualitas
nyeri, dengan kriteria hasil: dan faktor presipitasi
a. Mampu mengontrol nyeri b. Observasi reaksi
(tahu penyebab nyeri, nonverbal dari ketidak
mampu menggunakan nyamanan
tehnik nonfarmakologi c. Bantu pasien dan
untuk mengurangi nyeri, keluarga untuk mencari
mencari bantuan) dan menemukan
b. Melaporkan bahwa nyeri dukungan
berkurang dengan d. Kontrol lingkungan yang
menggunakan dapat mempengaruhi
manajemen nyeri nyeri seperti suhu
c. Mampu mengenali nyeri ruangan, pencahayaan
(skala, intensitas, dan kebisingan
frekuensi dan tanda e. Kurangi faktor presipitasi
nyeri) nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman f. Kaji tipe dan sumber
setelah nyeri berkurang nyeri untuk menentukan
e. Tanda vital dalam intervensi
rentang normal g. Ajarkan tentang teknik
f. Tidak mengalami non farmakologi: napas
gangguan tidur dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
h. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri:
……...
i. Tingkatkan istirahat
j. Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
k. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. EGC : Jakarta.
Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Brunner, Suddarth. (2002). Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Nurarif & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis. Jilid 2.
Jakarta : EGC
Nursing Interventions Classification (NIC). 6th Indonesian Edision. By Gloria Bulechek,
Howard Butcher, Joanne Dochterman and Cheryl Wagner. 2016. Singapura : Elsevier
Nursing Outcome Classification (NOC). 5th Indonesia Edision. By Sue Moorhead, Marion
Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson. 2016. Singapura : Elsevier

Anda mungkin juga menyukai