Anda di halaman 1dari 20

TRICOPHYTON RUBRUM SEBAGAI AGEN

PENYEBAB TINEA KAPITIS TIPE GRAY PATCH


PADA SEORANG ANAK

Oleh :
dr. Christiana Paramita

dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016

1
PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh jamur dermatofita
yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya
sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku.1 Dermatofita merupakan kelompok
taksonomi jamur kulit superfisial yang terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum,
Tricophytondan Epidermophyton.2Tinea capitis adalah infeksi dermatofita pada
kulit kepala dan folikel rambut dengan agen penyebab yang paling sering berasal
dari 2 genus yaitu Tricophyton dan Microsporum.3 Tinea capitis predominan pada
anak prepubertas dengan rentang usia antara 3-14 tahun, dan jarang mengenai
individu dewasa, yang mana anak laki-laki lebih sering terkena daripada anak
perempuan.4 Sumber penularan dapat berasal dari manusia ( antropofilik ), hewan
(zoofilik), dan tanah (geofilik).5 Cara penularan dapat terjadi secara tidak
langsung melalui fomite seperti sisir, topi, sarung bantal, mainan dan kursi teater.
Beberapa faktor berhubungan dengan peningkatan insiden tinea kapitis yaitu
rendahnya kebersihan diri, lingkungan hidup padat dan kondisi sosioekonomi
yang kurang.1Oleh karena itu, angka prevalensi tinea kapitis pada beberapa daerah
tergantung dari kondisi lingkungan, kebersihan diri dan kerentanan individu.6
Manifestasi klinis dari tinea kapitis dapat ditentukan oleh bentuk invasi
rambut oleh jamur patogen penyebab, ukuran inokulum dan status imun pejamu.4
Tinea kapitis memiliki manifestasi klinis yang bervariasi yaitu bentuk gray patch,
black dot, kerion dan favus. Tipe gray patch sendiri ditandai dengan adanya
alopesia berbentuk lingkaran yang disertai skuama sebagai tanda khas.7
Insiden tinea kapitis belum diketahui dan dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang serius selama berpuluh-puluh tahun. Angka prevalensi
tinea kapitis di Eropa terletak antara 0,23%-2,6%.4Prevalensi tinea kapitis di
Indonesia bervariasi, di RSCM pada tahun 2005-2010 didapatkan prevalensi
0,53% dari seluruh kasus dermatofitosis.8di RSU dr Soetomo Surabaya terdapat
0,31-1,55% kasus baru tinea kapitis antara tahun 2001-2006.9Penelitian
retrospektif yang dilakukan di RSUP Sanglahpada tahun 2013-2015 ditemukan

2
tujuh belas kasus tinea kapitis tipe gray patch dari 24 kasus baru tinea kapitis
(70,83% dari seluruh kasus baru tinea kapitis).10
Spesies penyebab tinea kapitis dapat berubah seiring dengan waktu dan
berbeda-beda pada tiap-tiap negara.11Terdapat berbagai macam variasi lokal agen
penyebab tinea kapitis di dunia dengan spesies Tricophyton tonsurans menempati
urutan pertama dan diikuti oleh Microsporum canis.Tricophyton tonsurans
merupakan penyebab tersering tinea kapitis sejak tahun 80-an pada hampir 90%
kasus. Di Eropa, Microsporum canis merupakan agen penyebab tinea kapitis
tertinggi dan diisolasi pada 80% kasus. Di Asia sendiri Tricophyton violaceum
predominan di India dan Pakistan.4Jamur dermatofita yang paling sering terisolasi
didunia yaituTricophyton rubrum merupakan agen penyebab tersering pada tinea
korporis, tinea pedis dan tinea unguium, namun sangat jarang ditemukan sebagai
agen penyebab pada tinea kapitis.3,12,13 Di Bali, Tricophyton rubrum merupakan
agen penyebab tersering tinea kapitis (37,5%), diikuti Microsporum audoinii
(20,83%) dan Tricophyton mentagrophytes(12,5%).10
Terapi standar tinea kapitis di Amerika Serikat sampai saat ini adalah
griseofulvin oral.14 Itrakonazol dan terbinafin oral juga efektif untuk infeksi
dermatofita. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal sebagai adjuvandapat
memberikan hasil yang lebih baik.1 Sampai saat ini keterbatasan pilihan terapi dan
berbagai cara tranmisi masih menyulitkan upaya eradikasi.11
Berikut dilaporkan satu kasus tinea kapitis tipe gray patch pada seorang
anak perempuan usia 5 tahun. Laporan kasus ini dibuat untuk meningkatkan
pemahaman mengenai gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaan tinea kapitis
yang disebabkan oleh Tricophyton rubrum.
KASUS
Seorang anak perempuan berumur 5 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia,
dengan nomor rekam medis 16.04.36.37, datang ke Subdivisi Mikologi Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar pada
tanggal 10 Oktober 2016 dengan keluhan rambut rontok sejak 1 bulan yang lalu.
Dari heteroanamnesis dengan ibu pasien diketahui awalnya terdapatbintik-
bintik merah dikulit kepala yang terasa gatal 2 bulan yang lalu, 1 bulan kemudian

3
bintik merah tersebut berkurang dan diikuti munculnya sisik-sisik putih halus
ditempat yang sama disertai rambut yang rontok, mudah tercabut, terlihat kusam
dan berwarna keabu-abuan serta sebagian rambut tampak patah. Sejak 2 minggu
yang lalu keluhan dirasakan makin memberat,yang mana rambut yang rontok
semakin bertambah dan meluas disertai rasa gatal yang menetap. Keluhan ini
tidak disertai rasa nyeri dan demam.
Riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien belum pernah mendapat
keluhan serupa. Riwayat atopi disangkal, Riwayat penyakit sistemik seperti
diabetes, asma, penyakit ginjal dan hati disangkal oleh ibu pasien
Riwayat pengobatan didapatkan pasien sempat berobat ke puskesmas 2
minggu yang lalu dan diberikan obat puyer yang diminum tiga kali sehari dan
krim mikonazol 2% yang dioleskan 2 kali sehari pada kulit kepala dan dipakai
selama 3 hari namun belum ada perbaikan lalu pasien membeli obat sendiri di
apotik yaitu asiklovir tablet dan losion kalpanakyang dioleskan 1 kali sehari
selama 2 hari tetapi keluhan semakin memberat. Riwayat mengoleskan minyak
tradisional atau bahan oles lainnya pada lesi kulit disangkal. Riwayat penyakit
yang sama, maupun penyakit kulit lain sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit pada keluarga, dikatakan bahwa keluhan yang sama
pada anggota keluarga lain keluarga disangkal dan riwayat penyakit sistemik
seperti diabetes, asma penyakit ginjal dan hati dalam keluarga disangkal.Riwayat
sosial pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini pasien sedang
duduk di bangku taman kanak-kanak, riwayat keluhan yang sama pada teman
sekolah maupun teman sepermainan pasien tidak diketahui oleh ibu pasien. Pasien
dikatakan tidak pernah memakai sisir, bantal maupun selimut secara bergantian
dengan orang tua dan saudara pasien. Pasien juga dikatakan ke salon untuk
memotong rambut, setidaknya satu kali setiap bulan.Riwayat memakai topi dan
sisir bersamaan dengan teman sekolah maupun teman sepermainan disangkal.
Pasien memeliharaseekor kucing yang ditemukan dijalan kira-kira 2,5 bulan yang
lalu, saat ditemukan terdapat luka-luka dan kerontokan pada sebagian kulit kucing
tersebut, ibu pasien membawanya berobat 2 bulan yang lalu ke dokter hewan dan

4
saat ini sudah tidak ditemukan luka maupun kerontokan rambut. Ibu pasien
mengaku anaknya sering bermain-main dengan kucing tersebut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran
kompos mentis dengan berat badan 20 kg, tinggi badan 102 cm dan indeks massa
tubuh 19,2. frekuensi pernafasan 20x/menit, frekuensi denyut nadi 88 kali/menit
dan temperatur aksila 36,6OC. Status generalis kepala normosefali, kedua mata
tidak tampak anemis,ikterus maupun hiperemis dengan reflek pupil baik dan
simetris. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan didapatkan kesan tenang,
Pemeriksaan thoraks didapatkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal regular, tidak
terdapat murmur. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas vesikuler tanpa
adanya ronki maupun wheezing. Pemeriksaan abdomen memperoleh bising usus
dalam batas normal, tanpa adanya distensi maupun pembesaran hepar dan lien.
Tidak terdapat pembesaran pada pemeriksaan kelenjar getah bening. Ekstremitas
atas dan bawah teraba hangat dan tidak ditemukan edema. Pemeriksaan kuku dan
mukosa tidak ditemukan kelainan.
Status dermatologis pada regio oksipital didapatkan efloresensi
patchalopesia soliter, bentuk bulat, ukuran diameter 5-7 cm, tampak skuama putih
halus diatasnya disertai rambut yang terputus 0,5-1 cm dengan warna kusam
keabuan.Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut terlepas 4 helai.
Pasien didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik dan alopesia
areata. Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan lampu Wood tidak tampak
adanya fluoresensi (gambar 1b). Pemeriksaan KOH 10% pada rambut yang
diambil pada tempat lesi didapatkan arthrokonidia pada permukaan luar batang
rambut (gambar 1c). Pada Pemeriksaan dermoskopi tampak adanya rambut koma
dan rambut pembuka botol (gambar 1d).

1a 1b

5
1c 1d

Gambar 1a. Lesi di kulit kepala dan rambut. 1b. Pemeriksaan lampu Wood tidak tampak adanya
fluoresensi. 1c. Pemeriksaan dengan KOH 10% didapatkan arthrokonidia diluar batang rambut
(ektotriks). 1d. Pemeriksaan dermoskopi tampak adanya rambut koma dan rambut pembuka botol.
Pada tanggal 10 Oktober 2016 dilakukan pemeriksaan kultur rambut pada
lesi dengan menggunakan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Hewan
peliharaan penderita (kucing) juga direncanakan diambil sampel bulunya dan
dilakukan pemeriksaan KOH 10%.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah memperoleh hasil eritrosit 5,10/μL
(4.0-5,20); hemoglobin 12,6g/dL (12,0-16,0); hematokrit 44,21% (36-46);
trombosit 335 K/uL (140-440); leukosit 7,26/μL (4,1-11) neutrofil 5,21/μL (2,5-
7,5); limfosit 2,34 K/μL (1-4); monosit 0,458 K/μL (0,1-1,2); eosinofil 0,070K/μL
(0-0,5); basofil 0,01K/μL (0-0,1). Pada pemeriksaan fungsi hepar didapatkan
SGOT 24,6 IU/L (11,0-33,0); SGPT 15,2 IU/L (11,0-50,0). Pemeriksaan gula
darah sewaktu didapatkan 87 mg/Dl (60-100). Pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan BUN 16,0 mg/dl dan kreatinin 0,76 mg/dl (0,7-1,2).
Diagnosis kerja berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada pasien adalah tinea kapitis tipe gray patch.
Penatalaksanaan pada pasienyaitu griseofulvin microsize tablet 400 mg setiap 24
jam peroral selama 2 minggu yang direncanakan akan diberikan selama 6 hingga
8 minggu, ketokonazol sampo 2% 3 kali seminggu dan KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) mengenai penyakit, penyebab, penularan, cara pencegahan
penularan, disinfeksi, skrining infeksi pada anggota keluarga dalam satu rumah,
terapi, cara minum obat dan waktu kontrol.

6
PENGAMATAN LANJUTAN I (24 Oktober 2016)
Pengamatan hari ke-14 (tanggal 24 Oktober 2016), dari heteroanamnesis melalui
ibu pasien didapatkan keluhan gatal pada lesi sudah berkurang. Meskipun rambut
pada lesi masih mengalami kerontokan tampak sebagian rambut mulai tumbuh.
Adanya lesi baru disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan umum baik dan
kesadaran kompos mentis. Status present dan generalis pasien dalam batas
normal. Status dermatologis pada regio oksipitaldidapatkan efloresensi patch
alopesia, soliter, bentuk bulat, ukuran diameter 4-6 cm, tampak skuama tipis
berwarna putih diatasnya. Tampak sebagian rambut putus dengan panjang 0,5-1
cm berwarna kusam keabuan. Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut
terlepas 3 helai.

2
1a

Gambar 2. Lesi pada bagian oksipital

Pemeriksaan lampu Wood tidak memperlihatkan adanya fluoresensi (


gambar 3a). Pemeriksaan potasium hidroksida (KOH) 10% pada rambut
didapatkan arthrokonidia dipermukaan luar batang rambut (ektotriks)(gambar 3b).
Pada pemeriksaan dermsokopi didapatkan adanya rambut koma.

3a 3b 3c
1a 1a

Gambar 3a. Pemeriksaan lampu Wood tidak tampak adanya fluoresensi. 3b. Pemeriksaan dengan
KOH 10% didapatkan arthrokonidia diluar batang rambut (ektotriks). 3c. Pemeriksaan dermoskopi
tampak adanya rambut koma.

7
Hasil kultur rambut pada media SDA yang dilakukan pada tanggal 10
Oktober 2016 didapatkan gambaran sesuai Trichophyton rubrumyang tumbuh
pada hari ke-14. Pada identifikasi secara makroskopis didapatkan koloni berwarna
putih dengan permukaan membentuk lapisan seperti kapas pada permukaan
sebaliknya tampak kecoklatan’dari koloni. Pada gambaran mikroskopis
didapatkan mikrokonidia bentuk tear dropditepi lateral hifa. Gambaran tersebut
sesuai dengan spesies jamur Trichophyton rubrum.

4a 4b 4c
1a 1a 1a

Gambar 4a dan 4b. Gambaran koloni jamur pada media SDA tampak depan dan belakang. 4c.
Pemeriksaan mikroskopis KOH 10% tampak mikrokonidia bentuk tear drop pada tepi lateral
hifa.
Pada bulu kucing pasien juga dilakukan pemeriksaan KOH 10% namun
tidak ditemukan elemen jamur. Diagnosis kerja pasien adalah follow up tinea
kapitis tipe gray patch membaik. Penatalaksanaan pada pasienyaitu griseofulvin
microsize tablet 400 mg setiap 24 jam peroral selama 2 minggu yang
direncanakan akan diberikan selama 6 hingga 8 minggu, ketokonazol sampo 2% 3
kali seminggu dan KIE akan perkembangan kondisi pasien, durasi konsumsi obat
dan waktu kontrol selanjutnya.
PENGAMATAN LANJUTAN II ( 7 November 2016)
Pengamatan hari ke-28 (tanggal 7 November 2016), dari heteroanamnesis melalui
ibu pasien didapatkan. Kerontokan rambut sudah tidak ada, sebagian rambut

8
mulai tumbuh, sisik putih pada rambut sudah tidak ada, gatal pada kulit kepala
sudah tidak ada. Adanya lesi baru disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan umum baik dan
kesadaran kompos mentis. Status present dan generalis pasien dalam batas
normal. Status dermatologis pada regio oksipitaldidapatkan efloresensi patch
alopesia, soliter, bentuk bulat, ukuran diameter 3-4cm, tampak pertumbuhan
rambut berwarna hitam ukuran 2-3 cm dan tidak lagi ditemukan rambut kusam
keabu-abuan. Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut terlepas 1helai.

5
1a

Gambar 5. Lesi pada bagian oksipital

6a 6b 6c
1a
1a 1a

Gambar 6a. Pemeriksaan lampu Wood tidak tampak adanya fluoresensi. 6b. Pemeriksaan dengan
KOH 10% pada rambut tidak ditemukan elemen jamur 6c. Pemeriksaan dermoskopi tidak tampak
adanya rambut koma dan pembuka botol, ditemukan rambut abu cerutu (cigarrete ash).
Diagnosis kerja pasien adalah follow up tinea kapitis tipe gray patch membaik.
Penatalaksanaan pada pasienyaitu griseofulvin microsize tablet 400 mg setiap 24
jam peroral selama 2 minggu yang direncanakan akan diberikan selama 6 hingga
8 minggu, ketokonazol sampo 2% 3 kali seminggu dan KIE akan perkembangan
kondisi pasien, durasi konsumsi obat dan waktu kontrol selanjutnya.

PEMBAHASAN

9
Tinea kapitis adalah infeksi dermatofitapada skalp dan rambut kepala. Tinea
kapitis dapat disebabkan oleh dermatofita genus Tricophyton dan Microsporum
selain Tricophyton concentricum. Tricophyton concentricum dapat mengenai
skalp, tetapi tidak rambut kepala.1 Jamur dermatofita diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan sumber penularan dan habitat alaminya yaitu antropofilik atau dari
manusia ke manusia (Micropsporum audonii, Microsporum ferugineum,
Trichophyton tonsurans, Trichophyton violaceum, Trichophyton schonleini,
Trichophyton rubrum), zoofilik atau dari binatang ke binatang (Microsporum
canis, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton verrucosum) dan geofilik atau
dari tanah ke manusia (Microsporum gypseum, Microsporum cookie,
Trichophyton eboreum).15
Tinea kapitis sering ditemukan pada anak-anak dibawah umur 12 tahun
dengan puncak rentang usia antara 3-7 tahun dan jarang pada dewasa.16Hal ini
disebabkan perubahan PH pada kulit kepala dan meningkatnya asam lemak sebum
yang bersifat fungistatik sehingga memberikan efek protektif.4,11Insidens tinea
kapitis berdasarkan jenis kelamin sangat bervariasi tergantung dari etiologi
penyebab. Infeksi Tricopyhton sp. sama pada anak laki-laki dan perempuan,
sedangkan pada infeksi Microsporum audoinii rasio anak laki-laki dibanding
perempuan adalah 5:1.17Beberapa penelitian juga menyatakan pada anak laki-laki
cenderung lebih sering terjadi tinea kapitis dikarenakan rambut pendek yang
menyebabkan spora mudah tersebar, sedangkan pada perempuan dikarenakan
ikatan rambut yang terlalu ketat.18
Penularan tinea kapitis meningkat dengan adanya higienitas perorangan
yang rendah, perumahan penduduk yang padat serta status ekonomi yang rendah.
Transmisi terjadi melalui sisik kulit kepala dan rambut yang terinfeksi pada
manusia maupun hewan peliharaan, Penyebaran juga dapat terjadi melalui benda-
benda yang terkontaminasi seperti peralatan untuk memangkas rambut, sisir, sikat
rambut dan topi dengan masa inkubasi pendek yaitu 1-3 minggu.15 Menurut
penelitian Enemuor dkk dinigeria salon dan tempat pangkas rambut berkontribusi
pada penyebaran tinea kapitis.19 Dominasi oleh jamur dermatofita antropofilik
menandakan adanya suatu faktor risiko yang terlibat pada penyebaran tinea kapitis

10
di komunitas seperti kontak langsung dengan manusia yang terinfeksi dan kontak
tidak langsung dengan fomites yang terinfeksi.20Tricophyton rubrum merupakan
jamur dermatofita antropofilik namun dapat juga ditemukan pada binatang
peliharaan seperti kucing dan anjing walaupun sumber infeksinya pada binatang
peliharaan sampai saat ini belum dapat ditentukan. Terisolasinya Tricophyton
rubrum dari dermatofitosis pada anjing mewakilkan adanya zooanthroponotic
pathogen.Tricophyton rubrum dapat dinyatakan sebagai anthropozonotic dan
zooantroponotic patogen. Sehingga penularan Tricophyton rubrum dari binatang
ke manusia dapat diterima.21
Kasus adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Usia pasien berada
dalam rentang puncak kelompok usia yang terkena tinea kapitis. Tinea kapitis
pada pasien ini dicurigai ditularkan melalui instrumen potong rambut disalon yang
mana pasien setidaknya sebulan sekali datang ke salon untuk memotong
rambutnya. Namun belum terdapat bukti pasti bahwa pasien tertular melalui
instrumen potong rambut tersebut.pada kepustakaan dikatakan bahwa Tricophyton
rubrum dapat ditularkan dari binatang peliharaan ke manusia walaupun sumber
infeksi pada binatang peliharaan tersebut belum dapat ditentukan. Pada kasus,
kucing peliharaan pasien juga dicurigai sebagai sumber penularan infeksi karena
saat ditemukan terdapat luka-luka dan kerontokan rambut pada kulit kucing
tersebut yang kemudian ibu pasien membawanya ke dokter hewan untuk diobati
dan saat ini sudah tidak ditemukan lagi luka maupun kerontokan rambut pada
kucing tersebut. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10 % dilakukan
pada bulu kucing tersebut namun tidak ditemukan adanya elemen jamur.
Gambaran klinis dari tinea kapitis sangat beraneka ragam, tergantung pada
jenis invasi rambut oleh jamur patogen (ektotriks atau endotriks), ukuran
inokulum, imunitas tubuh dan derajat respon inflamasi pejamu. Rasa gatal juga
dapat menyertai gejala tinea kapitis. Semua tipe atau bentuk tinea kapitis
gejalanya adalah rambut rontok pada sebagian kulit kepala dengan berbagai
derajat inflamasi.22Bentuk non inflamasi (tanpa peradangan) atau gray patch, lesi
mula-mula berupa papula kecil yang eritematus, mengelilingi satu batang rambut
yang meluas secara sentrifugal pada rambut-rambut sekitarnya. Biasanya terdapat

11
skuama, tetapi keradangan minimal. Rambut-rambut pada daerah yangterkena
berubah menjadi abu-abu dan kusam akibat sekunder dari pelapisan artrokonidia
pada batang rambutdan patah beberapa milimeter diatas kepala. Seringkali lesinya
tampak satu atau beberapa area yang berbatas jelas pada daerah oksiput atau
leherbelakang.Bentuk inflamasi (dengan peradangan), klinis peradangannya mulai
dari folikulitis pustula sampai kerion yaitupembengkakan yang disertai dengan
rambut-rambut yang patah danadanya folikular yang mengandung pus. Inflamasi
tersebut seringmenimbulkan alopesia sikatrik. Lesi peradangan biasanya gatal dan
nyeri, dapat terjadi limfadenopati servikal, demam serta lesi lain pada kulit
glabrosa. Pada tinea kapitis black dot, kerontokan rambut dapat terjadi maupun
tidak. Bila terdapat kerontokan rambutmaka rambut-rambut patah tepat pada
muara folikel hingga membentuk gambaran bintik hitam ataublack dot. Biasanya
disertai skuama yang difus, tetapiperadangannya bervariasi dari minimal sampai
folikulitis pustula atau lesi seperti furunkel hingga kerion. Daerah yang terkena
biasanya banyak atau poligonal dengan batas yang tidak jelas, tepinya seperti jari-
jari yang membuka. Rambut-rambut normal biasanya masih terdapat dalam
alopesianya.9 Bentuk favus merupakan bentuk yang berat dan kronis. Bentuk ini
ditandai dengan pembentukan skutula, yaitu krusta yang berbentuk mangkuk
berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi berwarna kuning
kecoklatan. Pada pengangkatan krusta terlihat dasar yang cekung, merah, basah
dan berbau seperti tikus (mousy odor). Pada bentuk favus dapat terjadi skar, atrofi,
dan alopesia permanen.3
Terdapat tiga bentuk infeksi dermatofita pada rambut berdasarkan metode
invasi yaitu ektotriks, endotriks dan favus. Pada infeksi ektotriks, hanya
artrokonidia ditemukan pada permukaan batang rambut, meskipun hifa juga ada
dalam batang rambut dan terjadi kerusakan kutikula rambut. Pada infeksi
endotriks, artrokonidia dan hifa ditemukan didalam batang rambut dimana
kutikula dan korteks tetap utuh, sedangkan tinea favus ditandai dengan hifa yang
tersusun longitudinal dan terdapat rongga udara pada batang rambut, artrokonidia
umumnya tidak ditemukan. Invasi ektotriks lebih sering pada tinea kapitis gray
patch, meskipun endotriks juga bisa terjadi. 15,23

12
Diagnosis tinea kapitis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan lampu
wood, pemeriksaan mikroskopis langsung menggunakan KOH10% dan kultur
jamur. Pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood juga memberikan hasil
bervariasi tergantung dari spesies penyebab. Lampu wood sangat membantu
dalam mendiagnosis dan menilai respon pengobatan pasien yang mana hasil
akhirnya diharapkan tidak adanya fluoresensi pada rambut. Dermatofita yang
dapat menyebabkan fluoresensi secara umum merupakan kelompok dari genus
microsporum, walaupun begitu, tidak terdapatnya fluoresensi tidak dapat
menyingkirkan tinea kapitis karena hampir semua spesies Tricophyton tidak
berfluoresensi kecuali T.schoenleini.24Pada pemeriksaan lampu Wood.
Trycophyton rubrum tidak memberikan fluoresensi.
Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan potasium hidroksida (KOH)
10% sangat membantu dalam menegakkan diagnosis tinea kapitis. Bila rambut
diinvasi oleh dermatofita, infeksi diklasifikasikan sebagai endotriks, ektotriks atau
favus (favosa endotriks). Invasi rambut pada tinea kapitis yang disebabkan oleh
Tricophyton rubrum adalah ditemukannya ektotriks yang mana arthrokonidia
terletak dipermukaan luar batang rambut.15
Dermoskopi adalah suatu modalitas diagnostik yang sering digunakan
untuk lesi pigmentasi namun beberapa tahun ini banyak studi menunjukan
kegunaan modalitas ini dalam evaluasi kelainan pada rambut dan kulit kepala.
Dermoskopi merupakan modalitas diagnostik yang cepat, efektif, tidak invasif dan
murah. Beberapa laporan menjelaskan bahwa rambut koma( comma hair)
merupakan tanda khas untuk tinea kapitis dengan dermoskopi. Rambut koma
terjadi akibat patah dan melekuknya batang rambutkarena timbunan multipe hifa
jamur. Rambut koma biasanya dijumpai dengan ketebalan dan warna yang
seragam dan lengkungan distal yang khas. 25 Selain rambut koma, pada tinea
kapitis dapat juga dijumpai rambut pembuka botol (corkscrew hairs) yaitu
gambaran batang rambut yang sangat berlekuk-lekuk seperti spiral melebihi
rambut koma dan merupakan temuan dermoskopi baru untuk tinea kapitis pada
anak ras kulit hitam.26 Rambut pembuka botol ini merupakan temuan dermoskopi

13
yang spesifik pada dermatofitosis dikulit kepala tanpa melihat agen penyebabnya.
Rambut pembuka botol ini terjadi diduga akibat jamur ektotriks maupun endotriks
yang mampu mensekresi enzim keratolitik sehingga menyebabkan degradasi
jaringan keratin dan menyebabkan kerapuhan batang rambut sehingga terjadi
lengkungan dan membentuk spiral. Temuan terbaru pada tahun 2016 adalah
ditemukannnya rambut abu cerutu (cigarrete ash) setelah terapi antijamur, hal ini
diduga setelah dilakukan pengobatan batang rambut pembuka botol menjadi lebih
mudah rapuh dan patah karena spora yang dieliminasi oleh obat antijamur, rambut
baru yang normal dan tidak terinfeksi akan tumbuh perlahan menggantikan
rambut pembuka botol yang rusak sehingga tampak terlihat seperti abu cerutu. 27
Tricophyton rubrummerupakan jamur antropofilik yang dapat dikultur
menggunakan Sabouraud dextorese agar (SDA). Koloni yang tumbuh merupakan
koloni dengan pertumbuhan lambat ( slow growing) yaitu 10-15 hari, secara
makroskopis memberikan gambaran yang bervariasi. Terdapat gambaran
bentukan downy, melanoid, granular, African, rodhainii dan dysgenic. Bentukan
melanoid berupa bulu halus menyerupai kapas berwarna putih dan memproduksi
pigmen melanoid coklat yang berdifusi ke dalam medium dan menutupi pigmen
merah yang ada di permukaan sebaliknya dari koloni.Pada pemeriksaan
mikroskopis didapatkan mikrokonidia bentuk tear drop tersusun pada tepi lateral
hifa. Tes urease digunakan sebagai tambahan pada pemeriksaan mikroskopi untuk
diferensiasi spesies dermatofita karena banyak dari spesies memiliki kemampuan
untuk memproduksi enzim urease yang menghidrolisis urea. Namun pada tes
urease T. rubrum memberikan hasil yang negatif.15Sebagai tambahan, kultur
menggunakanbromocresol purple milk-solid-agar, spesies Tricophyton
melepaskan ion ammonium yang menganggu PH dari medium, pada T.rubrum
menghasilkan warna biru langit selama 7-10 hari setelah inokulasi.15
Pada kasus diketahui terdapat keluhan rambut rontok, mudah tercabut,
kusam berwarna keabuan disertai sisik-sisik putih tipis yang gatal di kulit kepala
bagian belakang sejak 1 bulan yang lalu. Kerontokan rambut makin meluas
disertai sisik tipis dan gatal yang menetap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
patch alopesia soliter bentuk bulat, batas tegas, ukuran diameter 5-7 cm, diatasnya

14
tampak skuama putih halus disertai rambut yang terputus 0,5-1 cm dengan warna
kusam keabuan.Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut terlepas 4 helai.
Gambaran lesi menyerupai gray patch.
Pemeriksaan penunjang lampu Wood tidak memberikan fluoresensi, hal
ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa hampir semua spesies
Tricophyton sp tidak memberikan fluoresensi, kecuali T. schonleini yang
memberikan fluoresensi biru keabuan. Pemeriksaan KOH 10% pada rambut
ditemukan bentuk ektotriks yang mana terlihat artrospora yang kecil disekitar
batang rambut. Tricophyton rubrum merupakan salah satu jamur ektotriks.
Rambut koma, rambut pembuka botol ditemukan pada pemeriksaan dermoskopi
yang mencerminkan adanya infeksi tinea kapitis, namun rambut koma ini tidak
spesifik untuk tipe tinea kapitis tertentu. Rambut abu cerutu tampak setelah
pengobatan anti jamur 4 minggu yang merupakan salah satu penanda perbaikan
pada tinea kapitis. Kultur jamur didapatkan koloni slow growing yang tumbuh
pada hari ke-14, koloni berbulu halus menyerupai kapas, berwarna putih dengan
bagian belakang tampak pigmen melanoid coklat yang berdifusi ke dalam medium
yang sesuai dengan koloni T.rubrum. Pemeriksaan mikroskopis kultur didapatkan
mikrokonidia bentuk tear drop pada tepi lateral hifa.
Diagnosis banding tinea kapitis antara lain dermatitis seboroik yang
ditandai dengan adanya peradangan seperti eritema yang ditutupi skuama
kekuningan dan berminyak yang kemudian dapat berakumulasi membentuk
krusta. Terkadang disertai rasa gatal ringan. Lokasi dermatitis seboroik tidak
hanya terbatas pada kulit kepala namun dapat terjadi pada area tubuh lain seperti
pada wajah terutama pada lipatan nasolabial, lipatan kelopak mata, alis mata,
retroaurikular, aksila, inguinal dan bagian dada. Sering timbul pada pasien dengan
imunokompromais, terutama pasien dengan AIDS dan pasien dengan gangguan
neurologi seperti penyakit Parkinson.28 Alopesia areata adalah suatu penyakit
autoimun yang disebabkan interaksi antara limfosit T dan epitelial folikular
menyebabkan mengecilnya folikel dan terjadilah kerontokan rambut. Alopesia
timbul berbentuk bulat atau oval tanpa adanya tanda-tanda inflamasi pada kulit.
Dapat juga terjadi satu atau beberapa patch diskret atau konfluen dan tidak

15
ditemukan atrofi ataupun jaringan parut. Area yang sering terlibat adalah kulit
kepala namun alis mata, bulu mata, rambut pubis dan rambut dagu. Kerontokan
rambut terjadi secara perlahan beberapa minggu hingga beberapa bulan. Patch
dari alopesia areata bisa stabil dan sering menunjukan resolusi spontan serta
terjadi pertumbuhan rambut dalam beberapa bulan. Patch baru akan timbul saat
patch lain mengalami resolusi. Dengan dermoskopi tampak adanya exclamation
hair ujung rambut lebih tebal dibandingkan pangkal rambut. Gambaran klinisnya
patch alopesia berbatas tegas, halus, tanpa disertai rambut.29
Tujuan utama terapi pada tinea kapitis adalah mencapai perbaikan secara
klinis dan penyembuhan secara mikologi (kultur negatif) secepat mungkin dengan
efek samping yang minimal.30 Tinea kapitis harus diobati dengan terapi sistemik
karena agen topikaltidak dapat penetrasi ke dalam batang rambut. Selama puluhan
tahun, terapi lini pertama untuk tinea kapitis adalah griseofulvin dikarenakan
keamanan dan efektivitasnya yang telah terbukti.Griseofulvin bekerja dengan
menghambat mitosis dan menganggu sintesis asam nukleat, protein dan dinding
sel sel jamur dermatofita saat proses replikasi. Selain itu, griseofulvin memiliki
efek antiinflamasi, yang berbeda diantara agen sistemik lainnya.22 Dosis yang
direkomendasikan adala griseofulvin 20-25 mg/kg/hari dalam bentuk microsize
dan 10-15 mg/kg/ hari dalam bentuk ultramicrosize dengan dosis tunggal maupun
terbagi selama 6-8 minggu. Disarankan untuk mengkonsumsi makanan berlemak
bersamaan dengan obat griseofulvin untuk meningkatkan absorbsi. Kekurangan
dari griseofulvn ini adalah rasanya yang pahit dan proses pengobatan yang cukup
lama sehingga mengurangi tingkat kepatuhan pasien berobat.Griseofulvin juga
memiliki efek hepatotoksisitas dan leukopenia namun hal ini jarang
15
dijumpai .Penyembuhan secara mikologi dengan griseofulvin mencapai 80-95%
dengan angka efektivitas mencapai 88-100%.24
Studi randomized clinicaltrials (RCT) menunjukan agen antijamur terbaru
yaitu terbinafin dan flukonazol memiliki tingkat keamanan dan efektivitas yang
sama dengan periode pengobatan yang singkat. 22 Dosis terbinafin yang dapat
diberikan adalah 3-6 mg/kg/hari diberikan pada tinea kapitis yang disebabkan
genus Tricophyton dan 4-6 minggu pengobatan dibutuhkan untuk tinea kapitis

16
yang disebabkan oleh Microsporum. Itrakonazol dosis 5 mg/kg/hari selama 2-4
minguu efektif mengeradikasi tinea kapitis yang disebabkan oleh genus
Microsporum maupun Tricophyton. Namun ketiga obat terbaru tersebut belum
disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai terapi tinea kapitis. Pengobatan
adjuvan menggunakan selenium sulfid 1-2,5%, zinc pyrithione 1% dan 2%atau
sampo ketokonazol 2% mampu mengeradikasi jamur dermatofita pada kulit
kepala anak-anak dan dapat digunakan pada 2 minggu pertama untuk mengurangi
transmisi jamur. Terapi adjuvan berupa sampo ini dapat digunakan 2-4 kali
seminggu selama 2-4 minggu. Sampo diaplikasikan pada kulit kepala dan rambut
selama 5 menit 2 kali seminggu selama 2-4 minggu atau 3 kali seminggu hingga
secara klinis dan mikologi pasien dinyatakan sembuh. Terapi adjuvan ini dapat
digunakan oleh seluruh anggota keluarga untuk menurunkan jumlah spora
sehingga mengurangi transmisi.15,31
Terapi non medikamentosa yang dapat dilakukan antara lain dengan
meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan serta melakukan desinfeksi pada
barang-barang yang mungkin terkontamnasi akibat kontak langsung maupun tidak
langsung dengan lesi.Edukasi pasien merupakan hal yang penting dalam proses
eradikasi tinea kapitis, studi menyatakan agar saat pasien anak-anak kembali ke
sekolah disarankan untuk tidak saling bertukar sisir, sikat rambut, topi dan
asesoris rambut dengan teman sekolahnya dikarenakan fomites berperan penting
dalam proses penularan. Pasien juga disarankan untuk tidak bertukar atau berbagi
selimut, sarung bantal, sisir dengan anggota keluarga lainnya. Seprei, selimut
sarung bantal dicuci dan lantai juga di bersihkan dengan desinfektan, sikat rambut
sisir dan asesoris rambut juga sebaiknya direndam dengan desinfektan.
Desinfektan yang dapat diberikan adalah larutan bleach atau 2% aqua solution
sodium hypochlorite.32German-speaking mycological society guidelines pada
tahun 2007 menyatakan bahwa barang- barang seperti sisir dan sikat rambut bila
dilakukan perebusan selama 5 menit sudah cukup untuk membunuh spora.3
Pada kasus terapi medikamentosa yang diberikan adalah griseofulvin
microsizetablet 400 mg setiap 24 jam per oral selama 2 minggu dan direncanakan
pemberian selama 6-8 minggu. Monitor efek hepatotoksik dan leukopenia pada

17
pemberian obat griseofulvin jangka panjang secara periodik dengan dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan fungsi hati sebelum dimulai terapi
dan direncanakan diulang pada akhir minggu keenam. Sampo ketokonazol 2%
diberikan 3 kali seminggu untuk mengurangi penularan infeksi.
Orang tua pasien dan pasien juga diberikan KIE meningkatkan kebersihan
diri dan anggota keluarga lainnya serta lingkungan. Pasien diajarkan untuk tidak
bertukar dan berbagi sisir, sikat rambut, asesoris rambut, selimut, seprai dan
sarung bantal dengan anggota keluarga lainnya. Melakukan desinfeksi pada
barang-barang yang kemungkinan bisa menjadi sumber penularan dengan cara
dicuci dan direbus selama 5 menitatau dengan menggunakan larutan sodium
hipoklorit 2%. Sangat penting untuk mengobati seluruh anggota keluarga secara
bersamaan untuk memutus rantai penularan infeksi.
Identifikasi faktor risiko, faktor predisposisi serta sumber penularan
infeksi jamur pada pasien setelah mendapatkan penyembuhan dengan terapi
antijamur perlu dilakukan untuk mencegah kekambuhan. 15 Prognosis pada pasien
ini adalah dubius dikarenakan walaupun dengan pengobatan terhadap kesembuhan
klinis, namun sumber penularan pada pasien ini masih belum diketahui secara
pasti sehingga kemungkinan terjadinya reinfeksi dapat terjadi.

SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus tinea kapitis tipe gray patch pada anak berusia 5
tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan keluhan berupa rambut rontok, berwarna kusam keabuan disertai sisik
putih yang sesuai dengan tinea kapitis tipe gray patch. Pada pemeriksaan lampu
wood tidak ditemkan fluoresensi, pada pemeriskaan mikroskopis KOH 10%
didapatkan arthrokonidia ektotriks dan pada kultur dengan media agar Saboraoud
didapatkan pertumbuhan jamur T.rubrum. Penatalaksanaan yang diberikan pada
pasien adalah dengan terapi kombinasi yang terdiri dari griseofulvin microsize
400 mg setiap 24 jam peroral dan ketokonazol sampo 2% 3 kali seminggu.
Tampak perbaikan baik secara klinis dan mikologi. Prognosis pada pasien adalah
dubius.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Verma S, H effernan MP. Superficial fungal infection:dermatophytosis,


onychomycosis, tineanigra, piedra. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008. h. 1807-21.
2. Djuanda, Adhi,dkk. DermatofitosisdalamIlmuPenyakitKulitdanKelamin;
edisikeenam, hal.306&329. BadanPenerbit FK UI, Jakarta 2011
3. Bennassar A, Grimalt R. Management of tineacapitis in childhood. Clinical,
Cosmetic and Investigational Dermatology. 2010; 3: 89-98.
4. N Rebello, Lopez AP, Arenas R. Tineacapitis. Actas Dermosifiliogr.2008;99:91-
100
5. Nasution MA, Muis K, Rusmawardiana. Tineakapitis. Dalam:Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SW, DwihastutiP, Widaty S, editor.
Dermatomikosissuperfisialis: pedomanuntukdokterdanmahasiswakedokteran.
Balaipenerbit FKUI:2004. h. 24-30.
6. Bose S, Kulkarni SG, Akhter I. Theincidene of tineacapitis in a tertiary care rural
hospital-a study.Journal of clinical and diagnostic research.2011;5(2):307-311
7. Fuller LC, Higgins EM. Diagnosis and management of scalp
ringworm.BMJ.2003:326:539-541
8. Sari AB, Widaty S, Bramono K, Miranda E, GanjardaniM.Tineakapitis di
poliklinikkulitdankelamin RSUPN DrCiptomangunkusumo Jakarta periodetahun
2005-2010.MDVI.2012;39(3):113-117
9. Suyoso S. Tineakapitispadabayidananak. Dalam:
KelompokStudiDermatologiAnak.
Penyakitpapuloeritroskuamosadandermatomikosissuperfisialispadabayidananak.
Semarang:BadanPenerbitUniversitasDiponegoro; 2008. h. 49-88.
10. Batan PN, Andriani PI, Yuliwaty, Rusyati LM. Profil of tineacapitis in
dermatovenereology outpatient clinic Sanglah General hospital Denpasar bali 2013-
2015.2016;APSMM 2016
11. Patel GA, Schwartz RA. Tineacapitis: still an unsolvedproblem?. Mycoses.
2009: 1-6
12. Abdel rahman SM, LPN Jami, Alander SW. Tricophytonrubrumtineacapitis in
young child.Pediatric dermatology.2004;1(21):63-65
13. Anstey A, Lucke TW, Philpot C. Tineacapitis caused byTrichophyton rubrum.Br J
Dermatol 1996;135:113–115
14. HanselmayerGG, Seebacher C. Treatment of tineacapitis-critical appraisal. Journal
of the german society of dermatology.2011;9(2):109-114
15. Schieke SM danGarg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. 8thed. New York: McGraw Hill; 2012. p. 2277-97.
16. Joordan HF. The diagnosis and management of tinea capitis.SA Pharmaceutical
journal.2006;8-11
17. Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD. Mycology involving skin and subcutaneous
tissue Dalam: Clinical mycology.Oxford University Press.2003;h.381-383
18. Grover C, Arora P, Manchanda V. Tineacapitis in the pediatric population: a study
from North India. Indian JDermatolVenereolLeprol. 2010; 76: 527–532.
19. SC Enemuor, MI Ojih, S Isah, OO Oguntibeju. Evaluation of bacterial and fungal
contamination in hairdressing and beauty salons.2013;7(14):1222-1225

19
20. Dogo J, Larai S, Afegbua, Dung EC. Prevalence of Tineacapitis among school
children in Nok community of Kaduna State Nigeria.Journals of
Pathogens.2016;1-6
21. Kano R, et al. Isolation of Tricophytonrubrumvar.raubitschekii from a
dog.Medical mycology. 2010; 48:653-655
22. Ndunge MJ. Prevalence of Trichophyton, Microsporum and Epidermophyton
Species Causing TineaCapitis in Children Aged 3-14 Years in Mathare Informal
Settlement, Nairobi, Kenya [Thesis] Kenya: master degree of Science
(Microbiology). Kenyatta University; 2014.
23. Puri N, Puri A. A study on tineacapitis in the pre School and school going
children. department of dermatology and venereology, Punjab Health Systems
Corporation, India. 2013;4(2): 157-160
24. Gupta LK, Singhi MK. Wood's lamp. Indian J DermatolVenereolLeprol
2004;70:131-5.
25. Hernandez-Bel P, Malvehy J, Crocker A, Sanchez-Carazo JL, Febrer I,
Alegre V. Comma hairs: A new dermoscopic marker for tineacapitis.
ActasDermosifilogr. 2012; 103(9): 836-837.
26. Isa RI, Amaya BY, Pimentel MI, Arenas R, Tosti A, Cruz AC. Dermoscopy in
tineacapitis: a prospective study on 43 patients. Med CutanIberLat Am. 2014;
42(1-3): 18-22.
27. Lu M, et al.An ultrastructural study on corkscrew hairs and cigarette-ash-shaped
hairs observed by dermoscopy of tineaCapitis.wiley online library.2016;38(2):128-132
28. Elewski, BE. Clinical diagnosis of common scalp disorders.Journal of
investigative dermatology symposium proceedings.2005;10(3):190-193
29. JoordanHF.An approach to the diagnosis and management of patchy, non scaring
hair loss.South African family practice.2007;49(7):26-29
30. Palacio AD, Garau M, Gonzales-Escalada A, Calvo MT. Trends in the treatment
of dermatophytosis. In: Kushwaha RKS, Guarro J, Eds. Biology of Dermatophytes
and other Keratinophilic Fungi. Spain. 2000.p.148-58.
31. KakourouT, Uksal U. Guidelines for the management of tineacapitis in Children.
Pediatric Dermatology. 2010; 27(3): 226-228.
32. Fuller LC, et al.British association of dermatologists guidelines for the management
of tineacapitis 2014.BJD;171:454-463

20

Anda mungkin juga menyukai