REFRAT
SINDROM KOMPARTEMEN
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
dr. Tito Sumarwoto, Sp. OT (K)
2018KATA PENGANTAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM KOMPARTEMEN
A. Definisi
B. Anatomi
Kompartemen I: otot abductor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis
Kompartmen II: otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi
radialis longus
Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus) serta
lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).
C. Epidemiologi
Insidensi dari sindrom kompartemen akut tergantung dari trauma yang terjadi.
DeLee dan Stiehl mengatakan 6% dari fraktur terbuka tibial akan berujung dengan
sindrom kompartemen dibandingkan dengan fraktur tertutup tibia sekitar 1.2% akan
berujung menjadi sindroma kompartemen. Rorabeck dan Macnab melaporkan
keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Hasil penelitian studi
kasus oleh McQueen, sindrom kompartemen didiagnosa lebih sering pada laki-laki
disbanding perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien trauma adalah laki-
10
laki. Selain itu, ditemukan insidens terjadinya sindroma kompartemen akut setiap
tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan 0,7 per 100.000 untuk wanita. McQueen
memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, dari penelitian
McQueen ditemukan penyebab yang paling sering menyebabkan sindroma
kompartemen akut adalah fraktur. Dalam hal ini, fraktur yang paling sering terjadi,
yaitu fraktur diafisis os tibia dan fraktur os radius distal.
D. Etiologi
Pemasangan gips
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena, misalnya karena terdapat blood clot pada vaskular ekstremitas.
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak
bawah.
12
E. Patofisiologi
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus
menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan
tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Biasanya yang terkena adalah kompartemen anterior dan lateral
dari tungkai bagian bawah. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dari tekanan intrakompartemen. Kontraksi otot
berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang.
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan
arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun, maka tidak ada lagi
perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing
pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan
vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu
dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali.
F. Manifestasi Klinis
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama
jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak
tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
Biasanya nyeri yang dirasakan dideskrpsikan seperti terbakar. Nyeri tidak bisa
dijadikan dasar pasti untuk diagnosa, contohnya pada kasus fraktur terbuka, kita
tidak tahu rasa sakitnya berasal dari frakturnya atau dari peningkatan komparemen.
2. Pallor (pucat)
Parastesia atau baal adalah gejala yang tidak biasa diandalkan untuk
keluhan awal, penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada saat
awal untuk mendiagnosis.
5. Paralysis
16
Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
a. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.
b. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
G. Penegakan Diagnosa
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia, namun parestesia gejala klinis yang
datangnya belakangan.
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat menurunnya
perfusi ke jaringan tersebut. Menindaklanjuti pemeriksaan fisik penting untuk
mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri pada saat istirahat
atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu, terutama saat peregangan
otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan merupakan awal indikator klinis
dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut biasanya tidak dapat teratasi dengan
pemberian analgesik termasuk morfin. Kemudian bandingkan daerah yang terkena
dan daerah yang tidak terkena.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan
dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.
Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,
dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.
Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudicatio intermittens yang
18
merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal
ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak
ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat meningkatkan
tekanan intramuskular, sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran
darah dan otot menjadi kram.
Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain:
1. Cellulitis
2. Coelenterate and Jellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis and Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolysis
I. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang, antara lain:
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis
banding lainnya.
a. Hitung sel darah lengkap
b. Creatinin phosphokinase (CPK)
Jika nilainya berkisar 1000-5000 U/ml bisa menjadi tanda adanya
sindrom kompartemen. Jika dilakukan tes serial CPK dan hasil meningkat bisa
menjadi indikai sedang terjadinya proses sindrom kompartemen.
c. Mioglobin serum
d. Mioglobin urin
e. Toksikologi urin: dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
19
f. Urin awal: bila ditemukan mioglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolysis.
g. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT):
untuk persiapan preopratif
2. Imaging
Pemeriksaan ini biasanya kurang membantu dalam menegakkan diagnosis
sindrom kompartemen tetapi pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
a. X-ray/Rontgen: pada ekstremitas yang terkena, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat ada tidaknya fraktur.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT) di ektremitas bawah, selain itu, bisa untuk
mngevaluasi otot yang robek. Tetapi pemeriksaan USG sendiri tidak berguna
dalam menegakkan sindrom kompartemen, tetapi untuk diagnosis banding
lainnya.
c. CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding saja.
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg dari
diastol, maka diagnosis telah didapatkan. Pada kecurigaan sindrom kompartemen
kronik, tes ini dilakukan setelah aktivitas yang menyebabkan nyeri.
21
J. Terapi/Penanganan
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Bentuk terapi ini meliputi:
c. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen dicurigai, lakukan
imobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan meletakkan plantar dalam keadaan
fleksi. Hal ini dapat menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam
dan tidak meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca operasi,
pergelangan kaki diletakkan dalam posisi 90° untuk mencegah deformitas
equinus)
2. Terapi Medikamentosa
22
a. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
b. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
3. Terapi Bedah
Jika tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi,
jika memburuk, maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan
kompartemen 30 mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak
dan Hargens merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien
berikut:
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman
dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas
dan risiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
1. Fibulektomy
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal
caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian
anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke
bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial.
Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas
dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke
belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan
dilakukan inisisi secara longitudinal.
3.PendekatanDorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,
harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih
baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah
dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada
kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi
28
lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah
pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui
defek fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal.
Nervus peroneal segera dicari dan dilewatkan fasciotom ke kompartemen anterior
pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotom diarahkan ke
posterior nervus peroneal superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara
biasa dan pasang pembalut steril.
Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen, kalau jaringan itu sehat luka dapat dijahit ( tanpa tegangan )
atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder.
K. Komplikasi
4. Infeksi
5. Rhabdomyolysis
L. Prognosis
Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan pengambilan
tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah daerah tempat terjadinya
sindrom kompartemen, serta penggunaan ektremitas tersebut dalam akitivitas sehari-
hari. Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi
otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari
8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi
otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien
mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten.
30
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Dandy DJ, Dennis JE. Esential Orthopaedics and Trauma. China: Churchill
Livingstone Elsevier. p:38-40; 112-4.
2. Medline Plus (2008). Compartement Syndrome. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article. (Diunduh bulan Oktober 2013).
3. Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ (December
2007). Diagnosis and Management of Extremity Compartment Syndromes: An
Orthopaedic Perspective. Am Surg 73 (12): 1199–209. PMID 18186372. (Diunduh
bulan Oktober 2013).
6. Syamjuhidayat, De Jong (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal 462;
853.