Anda di halaman 1dari 34

1

REFERAT
SINDROME KOMPARTMEN

Pembimbing :
dr. Willy Yulianto Sp.B

Disusun Oleh:
Eva Maris Sahara (030.09.080)
Ratiya Primanita (030.09.193)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD DR. SOESELO SLAWI
Periode 9 Januari 22 Maret 2014

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha
Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan penyusunan
referat yang berjudul Sindrome Kompartmen.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraaan di Departemen Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soeselo Slawi periode 9 januari 15 Maret 2014 serta
untuk menambah wawasan kami sebagai coass di bagian Bedah dan sebagai calon
dokter umum mengenai kompartmen sindrome.
Kami ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
masukan dan bantuan dalam penyusunan referat ini. Terimakasih kepada para dokter
konsulen yang banyak membantu kami selama kepaniteraan di bagian bedah, Dr sebagai
pembimbing dalam penyusunan referat ini. Terimakasih juga kepada teman sejawat
kami dan kepada siapapun yang telah membantu kami.
Harapan kami, semoga referat ini dapt berguna bagi kami khususnya sebagai
penyusun dan bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 20 Februari 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan.

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Definisi

B. Anatomi .

C. Epidemiologi...

11

D. Etiologi.

13

E. Patofisiologi..

14

F. Manifestasi Klinis

17

G. Penegakan Diagnosa.....

18

H. Diagnosis Banding...

19

I. Pemeriksaan Penunjang .

21

J. Terapi ..

23

K. Komplikasi ...
L. Prognosis ...

29
30

Bab III Kesimpulan .

31

Daftar pustaka

32

BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan


tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen
osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf, dan pembuluh darah.
Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang
dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah
nyeri, parestesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang.
Sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik,
tergantung dari penyebab peningkatan tekanan kompartemen dan lamanya gejala.
Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan
lunak, kerusakan arteri, dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik
dapat disebabkan oleh aktivitas yang berulang, misalnya lari.
Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak
dipelajari untuk sindroma kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering
untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindroma kompartemen
lebih sering didiagnosa pada pria daripada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana
pria lebih sering mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164 pasien yang
didiagnosis sindroma kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian
adalah fraktur tibia. Menurut Qvarfordt, sekelompok pasien dengan nyeri kaki, 14%
pasien dengan sindroma kompartemen anterior. Sindroma kompartemen ditemukan 19% fraktur pada kaki.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM KOMPARTEMEN

A. Definisi
Sindrom kompartemen

adalah sebuah kondisi di mana tekanan dalam

kompartemen otot menjadi begitu tinggi, sehingga suplai darah ke daerah tersebut
terganggu. Kondisi ini bisa kronis, karena otot terlalu berkembang atau akut akibat
trauma dan perdarahan ke dalam kompartemen. Sindrom kompartemen akut adalah
keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera dalam waktu 12 jam.

B. Anatomi
Kompartemen osteofascial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf, dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot yang masingmasing dibungkus oleh epimisium. Fascia merupakan serabut otot dalam satu

kelompok, berfungsi untuk mencegah jaringan yang rusak membengkak dan


meningkatkan tekanan, lalu membuat isinya menjadi tidak berfungsi dengan baik.
Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak.
Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa macam, antara lain:
1. Anggota gerak atas
Lengan atas : terdapat kompartemen anterior dan posterior
Lengan bawah : terdapat tiga kompartemen , yaitu flexor superfisial,
fleksor profundus dan ekstensor

a.
a.
a.
a.
Lengan

atas:

terdapat

posterior/dorsal/ekstensor :

kompartemen

anterior/ventral/fleksor

dan

Kompartemen anterior/ventral/ fleksor terdiri dari nervus medianus dan


ulnaris, arteri radialis dan ulnaris

Kompartemen

posterior/dorsal/ekstensor

terdiri

dari

nervus

interosseous

posterior
b. Pergelangan tangan: dibagi menjadi 6 bagian, yaitu:
Kompartemen I: otot abductor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis
Kompartmen II: otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi
radialis longus
Kompartemen III: otot ekstensor pollicis longus
Kompartemen IV: otot ekstensor digitorum communis, otot ektensor indicis
Kompartemen V: otot ekstensor digiti minimi
Kompartemen VI: otot ekstensor carpi ulnaris
2.

Anggota Gerak Bawah

10

11

Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus) serta
lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).

C. Epidemiologi
Insidensi dari sindrom kompartemen akut tergantung dari trauma yang terjadi.
DeLee dan Stiehl mengatakan 6% dari fraktur terbuka tibial akan berujung dengan
sindrom kompartemen dibandingkan dengan fraktur tertutup tibia sekitar 1.2% akan
berujung menjadi sindroma kompartemen. Rorabeck dan Macnab melaporkan
keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Hasil penelitian studi
kasus oleh McQueen, sindrom kompartemen didiagnosa lebih sering pada laki-laki
disbanding perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien trauma adalah laki-

12

laki. Selain itu, ditemukan insidens terjadinya sindroma kompartemen akut setiap
tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan 0,7 per 100.000 untuk wanita. McQueen
memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, dari penelitian
McQueen ditemukan penyebab yang paling sering menyebabkan sindroma
kompartemen akut adalah fraktur. Dalam hal ini, fraktur yang paling sering terjadi,
yaitu fraktur diafisis os tibia dan fraktur os radius distal.

Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari sindroma kompartemen belum


diketahui. Namun, sebuah penelitian menunjukkan angka kejadian Chronic
Exertional Compartment Syndrome (CECS) sebesar 14% pada individu yang
mengeluh nyeri tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah sama
dan biasanya bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic Exertional
Compartment Syndrome (CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih
muda dari 40 tahun.
D. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal
yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen kondisi ini disebabkan oleh:

13

Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas


Penutupan defek fascia
2. Peningkatan tekanan eksternal:
Prolonged compression pada ekstremitas
Balutan yang terlalu ketat
Berbaring di atas lengan
Pemasangan gips
3.

Peningkatan tekanan pada struktur komparteman, beberapa hal yang bisa


menyebabkan kondisi ini antara lain:
Perdarahan atau trauma vaskuler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan/extremely vigorous exercise, terutama gerakan
yang eksentrik/aneh, seperti extension under pressure
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena, misalnya karena terdapat blood clot pada vaskular ekstremitas.
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,

dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak
bawah.

14

E. Patofisiologi

Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang


menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan
nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Sindroma

kompartemen

merupakan

hasil

dari

peningkatan

tekenan

intrakompartemen. Peningkatan tekanan intrakompratemen ini bergantung dari kejadian


yang menyebabkannya. Terdapat 2 macam sindroma kompartemen. Tipe yang pertama
adalah tipe akut yang berhubungan erat dengan trauma dan yang kedua adalah tipe
kronik akibat aktivitias yang repetitif biasanya berhubungan dengan mikrotrauma yang
biasanya berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.
Perfusi jaringan sebanding dengan perbedaan antara tekanan perfusi kapiler
(Capillary Perfussion Pressure/CPP) interstisial, yang dinyatakan dengan rumus LBF =
(PA - PV)/R, dimana LBF = local blood

flow/aliran darah lokal, PA = arterial

pressure/tekanan arteri, PV = venous pressure/tekanan vena, R = local vascular


resistance/resistensi vaskular lokal.

15

Miosit normal membutuhkan oksigen bertekanan 5-7 mmHg untuk metabolisme.


Tekanan ini dapat dicapai dengan CPP (capillary perfusion pressure) 25 mmHg dan
tekanan jaringan interstisial 4-6 mmHg.. Ketika ada cairan yang masuk ke dalam
kompartemen yang memiliki volume yang tetap, ini akan membuat peningkatan tekanan
jaringan dan tekanan vena juga meningkat. Ketika tekanan interstisial melebihi CPP,
maka akan membuat arteri dan otot menjadi kolaps dan berujung dengan iskemik
jaringan. Respon tubuh terhadap iskemik adalah pelepasan substansi yang menyerupai
histamin yang meningkatkan permeabilitias vaskuler. Hal ini membuat terjadi
kebocoran plasma dan terjadi sumbatan darah di kapiler kecil yang semakin
memperburuk iskemia yang terjadi. Selanjutnya yang terjadi adalah miosit akan
melisiskan diri dan protein miofibrilar berubah menjadi partikel osmotik yang aktif
menarik air dari arteri.
Satu miliosmol (mOsm) diperkirakan memiliki/menggunakan tekanan 19,5
mmHg, sehingga peningkatan yang relatif kecil pada partikel osmotik aktif dalam
kompartemen tertutup menarik cairan yang cukup untuk menyebabkan kenaikan lebih
lanjut dalam tekanan intramuskular. Ketika aliran darah jaringan berkurang jauh,
iskemia otot dan berikutnya edema sel memburuk.
Tanpa

memperhatikan

penyebabnya,

peningkatan

tekanan

jaringan

menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara
terus-menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya

tekanan

intrakompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer di sekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Bila terjadi peningkatan intrakompartemen maka tekanan vena meningkat. Setelah itu,
aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen
juga akan terhenti, sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut,
maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel
(nekrosis) pada komponen tersebut.

16

Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus
menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan
tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Biasanya yang terkena adalah kompartemen anterior dan lateral
dari tungkai bagian bawah. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dari tekanan intrakompartemen. Kontraksi otot
berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom
yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b.Theory of critical closing pressure
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan
arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun, maka tidak ada lagi
perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing
pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan
vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu
dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali.
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan
sindrom kompartemen.

17

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P
yaitu:
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama
jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak
tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
Biasanya nyeri yang dirasakan dideskrpsikan seperti terbakar. Nyeri tidak bisa
dijadikan dasar pasti untuk diagnosa, contohnya pada kasus fraktur terbuka, kita
tidak tahu rasa sakitnya berasal dari frakturnya atau dari peningkatan komparemen.
2. Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke
daerah tersebut.
3. Pulselessness (berkurang atau hilangnya
denyut nadi)
Pulsasi perifer biasanya normal
terutama pada ekstremitas atas pada sindrom kompartemen akut.
4. Paresthesia (rasa baal)
Parastesia atau baal

adalah gejala yang

tidak biasa diandalkan untuk

keluhan awal, penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada saat
awal untuk mendiagnosis.

18

5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
a.

Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.

b.

Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.

c.

Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

G. Penegakan Diagnosa
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa
sindrom kompartemen dilakukan dengan pengukuran tekanan intrakompartemen.
Pengukuran intrakompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar,
pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan

19

pasien-pasien dengan multipel trauma seperti trauma kepala, medula spinalis, atau
trauma saraf perifer.
Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan
iskemia relatif ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolik.
Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolik.
Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti kasus
lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan dengan
bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari
sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu penegakan
diagnosis.
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia, namun parestesia gejala klinis yang
datangnya belakangan.
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat menurunnya
perfusi ke jaringan tersebut. Menindaklanjuti pemeriksaan fisik penting untuk
mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri pada saat istirahat
atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu, terutama saat peregangan
otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan merupakan awal indikator klinis
dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut biasanya tidak dapat teratasi dengan
pemberian analgesik termasuk morfin. Kemudian bandingkan daerah yang terkena
dan daerah yang tidak terkena.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan
dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.

20

Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,


dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.
Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudicatio intermittens yang
merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal
ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak
ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat meningkatkan
tekanan intramuskular, sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran
darah dan otot menjadi kram.
Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain:
1. Cellulitis
2. Coelenterate and Jellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis and Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolysis
I. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang, antara lain:
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis
banding lainnya.
a. Hitung sel darah lengkap
b. Creatinin phosphokinase (CPK)
Jika nilainya berkisar 1000-5000 U/ml bisa menjadi tanda adanya
sindrom kompartemen. Jika dilakukan tes serial CPK dan hasil meningkat bisa
menjadi indikai sedang terjadinya proses sindrom kompartemen.
c. Mioglobin serum

21

d. Mioglobin urin
e. Toksikologi urin: dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal: bila ditemukan mioglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolysis.
g. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT):
untuk persiapan preopratif
2. Imaging
Pemeriksaan ini biasanya kurang membantu dalam menegakkan diagnosis
sindrom kompartemen tetapi pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
a. X-ray/Rontgen: pada ekstremitas yang terkena, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat ada tidaknya fraktur.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT) di ektremitas bawah, selain itu, bisa untuk
mngevaluasi otot yang robek. Tetapi pemeriksaan USG sendiri tidak berguna
dalam menegakkan sindrom kompartemen, tetapi untuk diagnosis banding
lainnya.
c. CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding saja.
3. Pengukuran tekanan kompartemen
Kateter Stic
Kateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur
tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan yang
dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit ke dalam
kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan
dan akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.
Alat tranduser yang dihubungkan dengan kateter bisa digunakan untuk
mengukur tekanan kompartemen, ini adalah cara yang paling akurat untuk

22

mengukur tekanan dan mendiagnosa sindrom kompartemen. Untuk sindrom


kompartemen akut tekanan berkisar 30-45mmHg, tetapi masih dijadikan
perdebatan. Pemeriksaan ini merupakan kriteria standard dan harus menjadi
prioritas untuk sindrom kompartemen. Alat yang digunakan adalah Stryker
pressure tonometer.

Alat Pengukur Tekanan Kompartemen

Teknik Jarum (Whitesides)


Teknik Whitesides merupakan cara yang paling sederhana, mudah
dikerjakan, aman, murah, dan dapat diulang-ulang, namun tidak dapat memonitor
secara kontinu. Pada metode Whitesides, tindakan yang dilakukan adalah
memasukkan jarum yang telah dihubungkan dengan alat pengukur tekanan ke
dalam kompartemen otot. Alat pengukur tekanan yang digunakan adalah
modifikasi dari manometer merkuri yang dihubungkan dengan pipa (selang) dan
stopcock tiga arah.
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg dari
diastol, maka diagnosis telah didapatkan. Pada kecurigaan sindrom kompartemen
kronik, tes ini dilakukan setelah aktivitas yang menyebabkan nyeri.

23

J. Terapi/Penanganan
Tujuan dari terapi/penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi
defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui
bedah dekompresi. Penanganan yang menjadi pilihan untuk sindrom kompartemen
akut adalah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik,
namun beberapa hal, seperti masalah memilih waktu yang tepat masih diperdebatkan.
Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi
mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Terapi/penanganan sindrom kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Non Medikamentosa
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas. Semua perban dan gips harus dilepas. Melepaskan 1 sisi gips
bisa mengurangi tekanan intrakompartemen sebesar 30%, melepaskan 2 sisi gips
dapat menghasilkan pengurangan tekanan intrakompartemen sebesar 35%.
c. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen dicurigai, lakukan
imobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan meletakkan plantar dalam keadaan
fleksi. Hal ini dapat menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam
dan tidak meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca operasi,
pergelangan kaki diletakkan dalam posisi 90 untuk mencegah deformitas
equinus)
2. Terapi Medikamentosa

24

a. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
b. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
c. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
d. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri. Tetapi harus diperhatikan efek samping dari obat-obatan tersebut sebelum
memilih obat mana yang akan digunakan.
3. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot.
Jika tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi,
jika memburuk, maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan
kompartemen 30 mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak
dan Hargens merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien
berikut:

Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang


memiliki tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan
durasi tekanan yang meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.

25

Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan


intrakompartemen lebih dari 30 mmHg.

Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar


dari 20 mmHg.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi

ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman
dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas
dan risiko kerusakan arteri dan vena peroneal.

Fasciotomi pada Regio Cruris


Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartmen region cruris:
1. Fibulektomy
2. Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler)

26

Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal
caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian
anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke
bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial.
Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas
dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke
belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan
dilakukan inisisi secara longitudinal.
3. Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens)
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara
fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia
kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan
identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior.
Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan
distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan
nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi
septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka
fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor
digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah
kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior.
Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.

27

Fasciotomi pada Regio Antebrachii :


1. Pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan
dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai
ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama
operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi
kulit mulai dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi
radial tangan dan diperpanjang kearah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan
ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1
atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan.

28

Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya


kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis
ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor
pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom
kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan
dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresitelah
dilakukan.
2.

Pendekatan

Volar

Ulnar

Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan
Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep,
melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai
ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris
diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal.
Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis.
Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus
dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian
diinsisi.

29

3.PendekatanDorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,
harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih
baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah
dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada
kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi
lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah
pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.
Fasciotomi untuk sindroma kompartemen kronik :
1. Fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui
defek fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal.
Nervus peroneal segera dicari dan dilewatkan fasciotom ke kompartemen anterior
pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotom diarahkan ke
posterior nervus peroneal superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara
biasa dan pasang pembalut steril.
2. Fasciotomi insisi ganda : Teknik Rorebeck
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia.
Kemudian dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior bersama
dengan saraf, masuk dan dibuka kompartemen superficial kemudian fascia
profunda di insisi. Kompartemen profunda diekspos termasuk otot digitorum
longus dan tibialis posterior dengan merobek sambungan soleus. Kumparan

30

neurovaskuler dan tendo tibialis posterior kemudian di insisi ke proksimal dan


distal fascia pada tendon tersebut. Tibialis posterior adalah kunci dekompresi
kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke proksimal antara fleksor
hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya. Tutup
luka diatas drain untuk meminimalkan pembentukan hematom.
Perawatan pasca operasi :
Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen, kalau jaringan itu sehat luka dapat dijahit ( tanpa tegangan )
atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder.
3.HBO (Hyperbaric Oxygen Therapy)
HBO mencetuskan untuk terjadinya hyperoxic vasoconstriction, dimana
yang bisa mengurangi pembengkakan dan meningkatkan aliran darah dan
oksigenasi lokal. Selain itu, juga meningkatkan tekanan oksigen pada jaringan dan
membantu jaringan yang masih hidup untuk bertahan.
K. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:
1. Nekrosis pada saraf dan otot dalam kompartemen yang ireversibel/permanen
2. Kontraktur volkman: merupakan pemendekan otot-otot lengan bawah permanen
merupakan hasil trauma, yang memberikan deformitas tangan menjadi clawlike
di tangan, jari-jari tangan, dan pergelangan tangan. Biasanya terjadi pada anakanak.
3. Jaringan parut otot, kontraktur, dan kehilangan fungsi anggota badan
4. Infeksi
5. Rhabdomyolysis

31

6. Kerusakan ginjal/acute kidney injury (AKI)

L. Prognosis
Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan pengambilan
tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah daerah tempat terjadinya
sindrom kompartemen, serta penggunaan ektremitas tersebut dalam akitivitas seharihari. Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi
otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari
8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi
otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien
mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten.

32

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom kompartemen (CS) adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota
tubuh dan jiwa, yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang
tertutup, mengalami penurunan. Secara tegas, saat sindrom kompartemen tidak teratasi,
maka tubuh akan mengalami nekrosis jaringan/gangguan fungsi yang permanen.
Walaupun fraktur pada tulang panjang merupakan penyebab tersering dari kompartemen
sindrom, trauma lainnya juga dapat menjadi penyebabnya. Lokasi yang dapat
mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di tangan, lengan bawah, lengan
atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua cedera dapat
menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Gejala klini yang
terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu pain, pallor, pulselesness,
parrestesia, dan paralysis. Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah
mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dahulu menegembalikan aliran darah
local melalui bedah dekompresi dan dilakukan jika tekanan intra- kompartemen
mencapai > 30 mmHg. Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan
pengobatan yang tepat, umumnya memberikan hasil yang baik dan pengobatan yang
terlambat dapat menyebabkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot
yang terlibat.

33

DAFTAR PUSTAKA
1.

Dandy DJ, Dennis JE. Esential Orthopaedics and Trauma. China: Churchill
Livingstone Elsevier. p:38-40; 112-4.

2.

Medline

Plus

(2008).

Compartement

Syndrome.

Available

at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article. (Diunduh bulan Oktober 2013).


3.

Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ (December
2007). Diagnosis and Management of Extremity Compartment Syndromes: An
Orthopaedic Perspective. Am Surg 73 (12): 1199209. PMID 18186372. (Diunduh
bulan Oktober 2013).

4.

Richarf

(2009).

Compartment

Syndrome,

Extremity.

Available

at:

http://www.emedicine.com/EMERG/topic739.htm. (Diunduh bulan Oktober 2013)


5.

Undersea and Hyperbaric Medical Society. Crush Injury, Compartment syndrome,


and

Other

Acute

Traumatic

Ischemias.

Available

at:

http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan Oktober 2013)


6.

Syamjuhidayat, De Jong (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal 462;
853.

7.

Compartemen

Syndrome.

Available

http://www.scribd.com/doc/27320465/CompartmentSyndrome.

at:
(Diunduh

bulan

Oktober 2013)
8.

Compartement

Syndrome.

Available

at:

http://ww:answer.com/topic/compartementsyndrome. (Diunduh bulan Oktober


2013)

34

9.

Compartement

Syndrome.

http://emedicinemedscape.com/article/1269081.

(Diunduh bulan Oktober 2013)


10. Kare

J.

Volkman

Contracture.

Available

at:

emedicene.medscape.com/article/1270462-overview. (Diunduh bulan Oktober


2013)
11. Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed
10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57
12. Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic
science, management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92

Anda mungkin juga menyukai