REFERAT
SINDROME KOMPARTMEN
Pembimbing :
dr. Willy Yulianto Sp.B
Disusun Oleh:
Eva Maris Sahara (030.09.080)
Ratiya Primanita (030.09.193)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha
Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan penyusunan
referat yang berjudul Sindrome Kompartmen.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraaan di Departemen Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soeselo Slawi periode 9 januari 15 Maret 2014 serta
untuk menambah wawasan kami sebagai coass di bagian Bedah dan sebagai calon
dokter umum mengenai kompartmen sindrome.
Kami ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
masukan dan bantuan dalam penyusunan referat ini. Terimakasih kepada para dokter
konsulen yang banyak membantu kami selama kepaniteraan di bagian bedah, Dr sebagai
pembimbing dalam penyusunan referat ini. Terimakasih juga kepada teman sejawat
kami dan kepada siapapun yang telah membantu kami.
Harapan kami, semoga referat ini dapt berguna bagi kami khususnya sebagai
penyusun dan bagi siapapun yang membacanya.
Penyusun
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan.
A. Definisi
B. Anatomi .
C. Epidemiologi...
11
D. Etiologi.
13
E. Patofisiologi..
14
F. Manifestasi Klinis
17
G. Penegakan Diagnosa.....
18
H. Diagnosis Banding...
19
I. Pemeriksaan Penunjang .
21
J. Terapi ..
23
K. Komplikasi ...
L. Prognosis ...
29
30
31
Daftar pustaka
32
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM KOMPARTEMEN
A. Definisi
Sindrom kompartemen
kompartemen otot menjadi begitu tinggi, sehingga suplai darah ke daerah tersebut
terganggu. Kondisi ini bisa kronis, karena otot terlalu berkembang atau akut akibat
trauma dan perdarahan ke dalam kompartemen. Sindrom kompartemen akut adalah
keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera dalam waktu 12 jam.
B. Anatomi
Kompartemen osteofascial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf, dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot yang masingmasing dibungkus oleh epimisium. Fascia merupakan serabut otot dalam satu
a.
a.
a.
a.
Lengan
atas:
terdapat
posterior/dorsal/ekstensor :
kompartemen
anterior/ventral/fleksor
dan
Kompartemen
posterior/dorsal/ekstensor
terdiri
dari
nervus
interosseous
posterior
b. Pergelangan tangan: dibagi menjadi 6 bagian, yaitu:
Kompartemen I: otot abductor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis brevis
Kompartmen II: otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi
radialis longus
Kompartemen III: otot ekstensor pollicis longus
Kompartemen IV: otot ekstensor digitorum communis, otot ektensor indicis
Kompartemen V: otot ekstensor digiti minimi
Kompartemen VI: otot ekstensor carpi ulnaris
2.
10
11
Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus) serta
lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).
C. Epidemiologi
Insidensi dari sindrom kompartemen akut tergantung dari trauma yang terjadi.
DeLee dan Stiehl mengatakan 6% dari fraktur terbuka tibial akan berujung dengan
sindrom kompartemen dibandingkan dengan fraktur tertutup tibia sekitar 1.2% akan
berujung menjadi sindroma kompartemen. Rorabeck dan Macnab melaporkan
keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Hasil penelitian studi
kasus oleh McQueen, sindrom kompartemen didiagnosa lebih sering pada laki-laki
disbanding perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien trauma adalah laki-
12
laki. Selain itu, ditemukan insidens terjadinya sindroma kompartemen akut setiap
tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan 0,7 per 100.000 untuk wanita. McQueen
memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, dari penelitian
McQueen ditemukan penyebab yang paling sering menyebabkan sindroma
kompartemen akut adalah fraktur. Dalam hal ini, fraktur yang paling sering terjadi,
yaitu fraktur diafisis os tibia dan fraktur os radius distal.
13
dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak
bawah.
14
E. Patofisiologi
kompartemen
merupakan
hasil
dari
peningkatan
tekenan
15
memperhatikan
penyebabnya,
peningkatan
tekanan
jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara
terus-menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan
intrakompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer di sekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Bila terjadi peningkatan intrakompartemen maka tekanan vena meningkat. Setelah itu,
aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen
juga akan terhenti, sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut,
maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel
(nekrosis) pada komponen tersebut.
16
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus
menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan
tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Biasanya yang terkena adalah kompartemen anterior dan lateral
dari tungkai bagian bawah. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dari tekanan intrakompartemen. Kontraksi otot
berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom
yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b.Theory of critical closing pressure
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan
arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun, maka tidak ada lagi
perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing
pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan
vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu
dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali.
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan
sindrom kompartemen.
17
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P
yaitu:
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama
jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak
tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
Biasanya nyeri yang dirasakan dideskrpsikan seperti terbakar. Nyeri tidak bisa
dijadikan dasar pasti untuk diagnosa, contohnya pada kasus fraktur terbuka, kita
tidak tahu rasa sakitnya berasal dari frakturnya atau dari peningkatan komparemen.
2. Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke
daerah tersebut.
3. Pulselessness (berkurang atau hilangnya
denyut nadi)
Pulsasi perifer biasanya normal
terutama pada ekstremitas atas pada sindrom kompartemen akut.
4. Paresthesia (rasa baal)
Parastesia atau baal
keluhan awal, penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada saat
awal untuk mendiagnosis.
18
5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
a.
Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.
b.
Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
c.
G. Penegakan Diagnosa
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa
sindrom kompartemen dilakukan dengan pengukuran tekanan intrakompartemen.
Pengukuran intrakompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar,
pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan
19
pasien-pasien dengan multipel trauma seperti trauma kepala, medula spinalis, atau
trauma saraf perifer.
Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan
iskemia relatif ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolik.
Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolik.
Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti kasus
lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan dengan
bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari
sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu penegakan
diagnosis.
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia, namun parestesia gejala klinis yang
datangnya belakangan.
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat menurunnya
perfusi ke jaringan tersebut. Menindaklanjuti pemeriksaan fisik penting untuk
mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri pada saat istirahat
atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu, terutama saat peregangan
otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan merupakan awal indikator klinis
dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut biasanya tidak dapat teratasi dengan
pemberian analgesik termasuk morfin. Kemudian bandingkan daerah yang terkena
dan daerah yang tidak terkena.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan
dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.
20
21
d. Mioglobin urin
e. Toksikologi urin: dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal: bila ditemukan mioglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolysis.
g. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT):
untuk persiapan preopratif
2. Imaging
Pemeriksaan ini biasanya kurang membantu dalam menegakkan diagnosis
sindrom kompartemen tetapi pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
a. X-ray/Rontgen: pada ekstremitas yang terkena, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat ada tidaknya fraktur.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT) di ektremitas bawah, selain itu, bisa untuk
mngevaluasi otot yang robek. Tetapi pemeriksaan USG sendiri tidak berguna
dalam menegakkan sindrom kompartemen, tetapi untuk diagnosis banding
lainnya.
c. CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding saja.
3. Pengukuran tekanan kompartemen
Kateter Stic
Kateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur
tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan yang
dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit ke dalam
kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan
dan akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.
Alat tranduser yang dihubungkan dengan kateter bisa digunakan untuk
mengukur tekanan kompartemen, ini adalah cara yang paling akurat untuk
22
23
J. Terapi/Penanganan
Tujuan dari terapi/penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi
defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui
bedah dekompresi. Penanganan yang menjadi pilihan untuk sindrom kompartemen
akut adalah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik,
namun beberapa hal, seperti masalah memilih waktu yang tepat masih diperdebatkan.
Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi
mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Terapi/penanganan sindrom kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Non Medikamentosa
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas. Semua perban dan gips harus dilepas. Melepaskan 1 sisi gips
bisa mengurangi tekanan intrakompartemen sebesar 30%, melepaskan 2 sisi gips
dapat menghasilkan pengurangan tekanan intrakompartemen sebesar 35%.
c. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen dicurigai, lakukan
imobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan meletakkan plantar dalam keadaan
fleksi. Hal ini dapat menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam
dan tidak meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca operasi,
pergelangan kaki diletakkan dalam posisi 90 untuk mencegah deformitas
equinus)
2. Terapi Medikamentosa
24
a. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
b. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
c. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
d. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri. Tetapi harus diperhatikan efek samping dari obat-obatan tersebut sebelum
memilih obat mana yang akan digunakan.
3. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot.
Jika tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi
dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi,
jika memburuk, maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan
kompartemen 30 mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak
dan Hargens merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien
berikut:
25
ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman
dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas
dan risiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
26
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal
caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian
anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke
bagian posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior superficial.
Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas
dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke
belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan
dilakukan inisisi secara longitudinal.
3. Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens)
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara
fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia
kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan
identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior.
Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan
distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan
nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi
septum antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka
fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor
digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah
kompartemen posterior dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior.
Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.
27
28
Pendekatan
Volar
Ulnar
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan
Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep,
melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai
ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris
diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal.
Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis.
Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus
dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian
diinsisi.
29
3.PendekatanDorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,
harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih
baik ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah
dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada
kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi
lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah
pergelangan. Batas antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.
Fasciotomi untuk sindroma kompartemen kronik :
1. Fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui
defek fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal.
Nervus peroneal segera dicari dan dilewatkan fasciotom ke kompartemen anterior
pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotom diarahkan ke
posterior nervus peroneal superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara
biasa dan pasang pembalut steril.
2. Fasciotomi insisi ganda : Teknik Rorebeck
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia.
Kemudian dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior bersama
dengan saraf, masuk dan dibuka kompartemen superficial kemudian fascia
profunda di insisi. Kompartemen profunda diekspos termasuk otot digitorum
longus dan tibialis posterior dengan merobek sambungan soleus. Kumparan
30
31
L. Prognosis
Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan pengambilan
tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah daerah tempat terjadinya
sindrom kompartemen, serta penggunaan ektremitas tersebut dalam akitivitas seharihari. Sindrom kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi
otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari
8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi
otot. Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien
mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten.
32
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom kompartemen (CS) adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota
tubuh dan jiwa, yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang
tertutup, mengalami penurunan. Secara tegas, saat sindrom kompartemen tidak teratasi,
maka tubuh akan mengalami nekrosis jaringan/gangguan fungsi yang permanen.
Walaupun fraktur pada tulang panjang merupakan penyebab tersering dari kompartemen
sindrom, trauma lainnya juga dapat menjadi penyebabnya. Lokasi yang dapat
mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di tangan, lengan bawah, lengan
atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua cedera dapat
menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Gejala klini yang
terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu pain, pallor, pulselesness,
parrestesia, dan paralysis. Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah
mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dahulu menegembalikan aliran darah
local melalui bedah dekompresi dan dilakukan jika tekanan intra- kompartemen
mencapai > 30 mmHg. Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan
pengobatan yang tepat, umumnya memberikan hasil yang baik dan pengobatan yang
terlambat dapat menyebabkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot
yang terlibat.
33
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dandy DJ, Dennis JE. Esential Orthopaedics and Trauma. China: Churchill
Livingstone Elsevier. p:38-40; 112-4.
2.
Medline
Plus
(2008).
Compartement
Syndrome.
Available
at:
Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ (December
2007). Diagnosis and Management of Extremity Compartment Syndromes: An
Orthopaedic Perspective. Am Surg 73 (12): 1199209. PMID 18186372. (Diunduh
bulan Oktober 2013).
4.
Richarf
(2009).
Compartment
Syndrome,
Extremity.
Available
at:
Other
Acute
Traumatic
Ischemias.
Available
at:
Syamjuhidayat, De Jong (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal 462;
853.
7.
Compartemen
Syndrome.
Available
http://www.scribd.com/doc/27320465/CompartmentSyndrome.
at:
(Diunduh
bulan
Oktober 2013)
8.
Compartement
Syndrome.
Available
at:
34
9.
Compartement
Syndrome.
http://emedicinemedscape.com/article/1269081.
J.
Volkman
Contracture.
Available
at: