Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

SINDROMA KOMPARTEMEN

Oleh:

Kusuma Ghaisani S 180070200011199


Kovai Malar 180070200011213
Nik Ahmad Rashdan 180070200011225
Asy Syifa Karima 180070200011166
Nur Nadia Bt Abdul Halim 180070200011164

Pembimbing : dr. Andhika Yudistira, Sp.OT(K)

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH


RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
SINDROMA KOMPARTEMEN
Oleh:
Kusuma Ghaisani S 180070200011199
Kovai Malar 180070200011213
Nik Ahmad Rashdan 180070200011225
Asy Syifa Karima 180070200011166
Nur Nadia Bt Abdul Halim 180070200011164

Disetujui untuk dibacakan pada:


Hari : Selasa
Tanggal : 19 Mei 2020

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Andhika Yudistira, Sp.OT(K)

i
Daftar Isi

Lembar Persetujuan ..........................................................................................i


Daftar Isi ............................................................................................................ii
Daftar Gambar ...................................................................................................iii
Bab 1 PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1. Latar belakang ............................................................................................1
1.2. Rumuan Masalah ........................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................2
Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3
2.1 Definisi .........................................................................................................3
2.2 Klasifikasi.....................................................................................................3
2.3 Kompartemen pada Ekstremitas ..................................................................4
2.4 Etiologi .........................................................................................................8
2.5 Patofisiologi .................................................................................................9
2.6 Penegakan Diagnosis ..................................................................................12
2.6.1 Anamnesis ...........................................................................................12
2.6.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................................12
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................13
2.7 Tatalaksana .................................................................................................14
2.8 Komplikasi ...................................................................................................17
2.9 Prognosis.....................................................................................................17
2.10 Pencegahan...............................................................................................18
BAB 3 PENUTUP ..............................................................................................20
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................20
3.2 Saran ...........................................................................................................20
Daftar Pustaka .................................................................................................21

ii
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Potongan cross-sectional kompartemen lengan atas .....................5


Gambar 2.2 Potongan melintang anatomi lengan bawah ..................................6
Gambar 2.3 Potongan anatomi cross-sectional kompartemen pada paha .........6
Gambar 2.4 Potongan cross-sectional kompartemen pada tungkai ..................7
Gambar 2.5 Mekanisme sindroma kompartemen ..............................................9
Gambar 2.6 Pembengkakan kompartemen tungkai bawah ...............................12
Gambar 2.7 Stryker STIC monitor ....................................................................13
Gambar 2.8 Pressure Transducer .....................................................................13
Gambar 2.9 Wick Technique ............................................................................14
Gambar 2.10 Teknik Fasiotomi dengan melakukan sayatan sepanjang 15-20
cm pada tungkai bawah ...............................................................16

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom kompartemen terjadi ketika tekanan berlebihan menumpuk di
dalam ruang otot tertutup dalam tubuh. Sindrom kompartemen biasanya hasil
dari perdarahan atau pembengkakan setelah cedera. Tekanan tinggi yang
berbahaya dalam sindrom kompartemen menghambat aliran darah ke dan dari
jaringan yang terkena. Ini bisa menjadi keadaan darurat, membutuhkan operasi
untuk mencegah cedera permanen. Kaki, lengan, dan perut paling rentan terkena
sindrom kompartemen (Kosir R dkk., 2007).
Sindrom kompartemen adalah kondisi menyakitkan yang terjadi ketika
tekanan di dalam otot meningkat ke tingkat yang berbahaya. Tekanan ini dapat
menurunkan aliran darah, yang mencegah nutrisi dan oksigen mencapai sel-sel
saraf dan otot. Sindrom kompartemen dapat bersifat akut atau kronis. Sindrom
kompartemen akut adalah keadaan darurat medis. Biasanya disebabkan oleh
cedera parah. Sindrom kompartemen kronis, juga dikenal sebagai sindrom
kompartemen exertional, biasanya bukan keadaan darurat medis. Hal ini paling
sering disebabkan oleh aktivitas atletik (Shuler MS dkk., 2010).
Sebanyak 75% kasus kompartemen sindrom diawali fraktur, terutama
fraktur tibia (tulang kering) pada 36% kasus. Sebagian besar kasus sindrom
kompartemen terjadi pada pria dewasa berusia 30-35 tahun, antara lain karena
massa otot pada pria usia tersebut lebih besar daripada wanita seusianya (10:1)
dan lebih besar daripada pria berusia di atas 35 tahun (Shuler MS dkk., 2010).
Susunan otot manusia terdiri dari kelompok-kelompok otot yang
dipisahkan oleh sebuah lapisan tebal yang disebut fascia. Kelompok-kelompok
otot ini terletak di ruangan yang dikenal dengan istilah kompartemen. Apabila
tekanan dalam ruang tertutup ini meningkat sampai tingkat tertentu, akan muncul
tanda dan gejala yang disebut sindrom kompartemen (Duckwrath AD dkk., 2011).
Kelompok organ atau otot diatur ke dalam area yang disebut
kompartemen. Jaring yang kuat dari jaringan ikat yang disebut fasia membentuk
dinding kompartemen ini. Setelah cedera, darah atau edema (cairan dihasilkan
dari peradangan atau cedera) dapat menumpuk di kompartemen. Dinding fasia
yang tangguh tidak mudah berkembang, dan tekanan kompartemen meningkat,
mencegah aliran darah yang cukup ke jaringan di dalam

1
kompartemen. Kerusakan jaringan yang parah dapat terjadi, dengan hilangnya
fungsi tubuh atau bahkan kematian (O’ Toole RV dkk., 2009).
Sindrom kompartemen dapat terjadi pada kasus trauma yang disertai
fraktur, paling sering di tungkai bawah. Sindrom kompartemen tidak memiliki
tanda dan gejala khusus, tanda dan gejalanya sering diduga berasal dari trauma
primer. Sindrom kompartemen dapat bersifat sangat destruktif. Tatalaksana
harus sesegera mungkin. Prinsip utama penanganan sindroma kompartemen
adalah dekompresi. Prognosis baik dapat dicapai dengan penanganan yang
cepat dan apabila sindrom kompartemen dapat dikenali sedini mungkin. Makin
lambat ditangani, makin besar risiko kerusakan permanen otot dan saraf (O’
Toole RV dkk., 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut, referat ini akan membahas mengenai
manifestasi klinis dan cara mendiagnosis sindroma kompartemen serta
mengetahui tatalaksana pada kasus tetanus.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana definisi serta etiologi dari sindroma kompartemen?
2. Bagaimana patofisiologi dari sindroma kompartemen?
3. Bagaimana cara menegakkan diagnosis sindroma kompartemen?
4. Bagaiaman tatalaksana dan perawatan pada pasien sindroma
kompartemen?
5. Bagaimana komplikasi dan prognosis pada kasus sindroma
kompartemen?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi serta etiologi dari sindroma kompartemen
2. Untuk mengetahui patofisiologi dari sindroma kompartemen
3. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis sindroma kompartemen
4. Untuk mengetahui tatalaksana dan perawatan pada pasien sindroma
kompartemen
5. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis pada kasus sindroma
kompartemen
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan akan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman dokter muda mengenai sindroma kompartemen dalam hal definisi,
penegakan diagnosis, serta manajemen dan tatalaksana yang dapat dilakukan
sehingga dapat berguna saat berpraktik di masyarakat kelak.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai disfungsi dan defek pada
perfusi organ dan jaringan di dalam ruang anatomis berbatas yang disebabkan
oleh kurangnya pasokan darah karena adanya peningkatan tekanan di dalam
kompartemen (Balogh, 2010). Istilah sindrom kompartemen bukan
menggambarkan suatu penyakit, melainkan suatu sindroma, melihat banyaknya
penyakit dan proses patofisiologis yang mendasari dalam terjadinya kondisi
tersebut (Malbrain, 2014). Kompartemen tubuh yang terikat oleh fasia dan
dibatasi oleh tulang ditemukan di ekstremitas, gluteal, abdomen, dan rongga
toraks. Kondisi yang menyebabkan pembengkakan intrakompartemen dapat
menyebabkan iskemia hingga kehilangan anggota tubuh (McLaughlin, 2014).
Meskipun sindrom kompartemen dideskripsikan berada di seluruh wilayah
tubuh dari kepala hingga kaki, etiologi, diagnosis, pengobatan, dan pencegahan
paling baik dijelaskan pada tiga wilayah tubuh utama, yaitu pertama adalah
ekstremitas, yang kedua adalah abdomen, dan yang ketiga adalah sindrom
kompartemen pada rongga toraks. Pada teminologi medis yang ada saat ini, kata
sindrom kompartemen mengarah pada kompartemen sindrom ekstremitas atau
extremity compartment syndromes (ECS); pada kasus dimana sindroma ini
terjadi pada area anatomikal lain, kompartemen tubuh secara spesifik harus di
sebutkan (abdominal, thoracic, dan lainnya) (Balogh, 2010).
Di dalam anggota gerak tubuh, otot dibagi menjadi beberapa
kompartemen yang padat, masing-masing berisi otot, arteri, saraf, pembuluh
limfatik, dan dibungkus oleh jaringan ikat inelastik. Pembungkus ini membatasi
sejauh mana kompartemen dapat mengakomodasi peningkatan volume. Oleh
karena itu, kondisi yang meningkatkan volume isi kompartemen atau mengurangi
kapasitas kompartemen, contohnya melalui kompresi eksternal, akan
meningkatkan tekanan intrakompartemen (ICP) (Mabvuure et al, 2012).
2.2. Klasifikasi
Sindrom kompartemen dapat muncul baik dalam bentuk klinis akut
maupun kronis (McDonald, 2010). Sindrom kompartemen akut dapat terjadi pada
kompartemen manapun. Sindrom kompartemen akut merupakan keadaan
darurat medis yang harus segera tangani untuk mencegah terjadinya kerusakan

3
otot yang ireversibel. Sindrom kompartemen akut paling sering terjadi pada
pasien post trauma ekstremitas inferior. Sedangkan sindrom kompartemen kronis
lebih umum terjadi dan jarang meberikan kedaruratan medis. Sindrom
kompartemen kronis ini biasanya memengaruhi kompartemen ekstremitas bawah
karena stres berulang selama latihan dan sering didiagnosis pada atlet dewasa
muda yang berpartisipasi dalam olah raga dengan kegiatan berulang seperti lari
jarak jauh (McLaughlin, 2014). Selain itu, sindrom kompartemen dapat
diklasifikasikan sebagai primer (patologi / cedera dalam kompartemen) atau
sekunder (tidak ada patologi primer atau cedera dalam kompartemen), dan
berdasarkan etiologi (contohnya trauma, luka bakar, sepsis) (Balogh, 2010).
2.3. Kompartemen Pada Ekstremitas
Tabel 1. Kompartemen mayor pada ekstremitas (Mabvuure, 2012)

Sindrom kompartemen akut pada ekstremitas mengacu pada kumpulan


gejala, yang terjadi setelah peningkatan tekanan di dalam otot kompartemen
ekstremitas. Pada ekstremitas, otot disusun menjadi kompartemen yang padat,
masing-masing berisi otot, arteri, saraf, dan pembuluh limfatik dan dikelilingi oleh
selubung jaringan ikat inelastis. Memahami otot di setiap kompartemen dapat
memungkinkan lokalisasi kompartemen yang terkena dampak melalui
pemeriksaan klinis dan dapat membantu dalam menentukan penempatan insisi
(Mabvuure et al, 2012). Berdasarkan anatomi, ekstremitas pada tubuh manusia
dibagi menjadi ekstremitas atas dan bawah yang kemudian dibagi menjadi

4
beberapa kompartemen. Tabel 1 merangkum isi kompartemen mayor dari
ekstremitas.
a. Ekstremitas atas
Ekstremitas atas dibagi menjadi lengan atas (upper arm) dan lengan
bawah (forearm). Lengan atas memiliki dua kompartemen. Kompartemen
anterior berisi otot biseps, otot brachialis, nervus ulnaris, median, dan radialis.
Sedangkan kompartemen posterior berisi otot triceps (McLaughlin, 2014).

Gambar 2.1 Potongan cross-sectional menunjukkan kompartemen pada lengan atas


Lengan bawah merupakan lokasi tersering terjadinya sindrom
kopartemen pada ekstremitas atas. Lengan bawah terdiri dari 4 kompartemen,
yaitu volar (superficial dan deep yang dibagi membrane interosseus radialis dan
ulna), dorsal, dan mobile wad. Anatomi pada lengan bawah terutama pada
bagian yang lebih dalam lebih mudah mengalami ischemic dan cedera kompresi
karena adanya pembatas fascia yang menghambat ekspansi pada otot-otot
daerah ini. Tulang radius dan ulna dijembatani oleh membrane interosseus yang
sangat kaku. Dan di bagian volar dari membrane ini terdapat otot flexor pollicis
longus (FPL) dan flexor digitorum profundus. otot-otot tersebut sering mengalami
kerusakan pada sindrom kompartemen stadium lanjut.
Sedangkan otot flexor superficial pada lengan bawah, termasuk flexor
digitorum superficialis, flexor carpi ulnaris, and flexor carpi radialis juga rawan
mengalami cedera iskemik, namun lebih jarang karena posisinya yang lebih
superfisial dan fascia yang lebih tidak kaku (Friedrich, 2007). Kompartemen
dorsal berisi ekstensor tangan dan jari, extensor digitorum communis, extensor
digiti minimi, extensor carpi ulnaris, abductor pollicis longus, extensor pollicis
longus, extensor pollicis brevis, extensor indicis proprius, dan otot supinator.

5
Mobile wad terdiri dari otot brachioradialis, extensor carpi radialis longus dan
brevis, dan nervus radialis. Bagian tangan memiliki 10 kompartemen: dorsal
interossei (4 kompartemen), palmar interossei (3 kompartemen), adductor
pollicis, tenar, dan hipotesis (Kistler, 2018; McLaughlin, 2014).

Gambar 2.2 Potongan melintang anatomi lengan bawah


b. Ekstremitas bawah

Gambar 2.3 Potongan anatomi cross-sectional menunjukkan kompartemen pada paha


Bagian paha memiliki tiga kompartemen, yaitu kompartemen anterior,
medial, dan posterior. Terdapat dua penebalan fasia yang memisahkan
kompartemen anterior dari kompartemen medial dan posterior, yaitu septum
intermuskular medial dan lateral, yang melekat pada tulang femoralis.
Kompartemen medial dipisahkan dari kompartemen posterior oleh bidang fasia
tipis (Von Keudell, 2015). Kompartemen anterior terdiri dari vastus lateralis,

6
vastus intermedius, vastus medialis, otot Sartorius, dan rectus femoris; arteri
femoralis; dan nervus femoralis. Kompartemen medial terdiri dari otot-otot
adductor longus, adductor magnus, dan otot gracilis. Kompartemen posterior
terdiri dari otot semimberanous, semitendinosis, dan bisep femoris serta nervus
sciatic.
Bagian tungkai memiliki empat kompartemen, yaitu anterior, lateral,
posterior superfisial, dan deep posterior. Septum intermuskular anterior
memmisahkan otot-otot lateral dan anterior, sedangkan septum intermuskular
posterior memisahkan otot-otot lateral dan posterior. Membran interosseus
membentang pada celah diantara tulang tibia dan fibula sehingga memisahkan
kompartemen anterior dan deep posterior. Sedangkan septum intramuscular
transversum memisahkan otot pada kompartemen posterior superfisial dan deep.
Kompartemen anterior merupakan lokasi sering terjadinya sindroma
kompartemen. Bagian ini terdiri dari otot tibialis anterior, otot ekstensor ibu jari
kaki, arteri tibialis anterior, dan nervus peroneal profundus. Kompartemen lateral
terdiri dari otot peroneus longus, peroneus brevis serta nervus peroneus
superfisialis. Kompartemen posterior profundus terdiri dari otot tibialis posterior,
flexor digitorum longus, dan flexor hallus longus; arteri tibialis posterior; serta
nervus tibialis. Kompartemen posterior superfisialis terdiri dari otot gastrocnemius
dan soleus dan nervus sural (McLaughlin, 2014).

Gambar 2.4 Potongan anatomi cross-sectional menunjukkan kompartemen pada tungkai


Sedangkan pada kaki, jumlah kompartemen dan tatalaksana dari
sindroma kompartemen akut masih kontroversial. Meskipun tiga kompartemen
sudah di deskripsikan (medial, lateral, dan superfisial), terdapat beberapa

7
kompartemen yang teridentifikasi lebih lanjut. Sekarang, tiap kaki diketahui
memiliki 9 kompartemen, antara lain medial, lateral, 4 interossei, dan 3 central
(Von Keudell, 2015).
2.4. Etiologi
Faktor internal atau eksternal yang meningkatkan tekanan dalam
kompatemen dapat menyebabkan sindrom kompartemen. Demikian, peningkatan
kadar cairan atau penurunan ukuran kompartemen dapat menyebabkan kondisi
tersebut. Peningkatan kadar cairan dapat disebabkan oleh penggunaan otot
intensif seperti pada kondisi tetany, olahraga berat atau kejang. Luka bakar,
sindrom nefrotik yang mengurangi serum osmolaritas, pendarahan karena
cedera pembuluh besar, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, vaskulitis
autoimun, penyalahgunaan androgen atau hipertrofi otot serta deep venous
thrombosis juga menjadi antara penyebab conpartemen sindrom (Rasul, 2020).
Beberapa penelitian menunjukkan 69-75% kasus compartment syndrome
disebabkan oleh fraktur tulang yang menjadi penyebab paling umum. Selain itu,
jaringan lunak tanpa fraktur dan cedera pembuluh darah merupakan penyebab
lain ACS. Cedera pada arteri poplitea memiliki insiden ACS yang sangat tinggi.
Rhabdomyolysis juga dilaporkan berkaitan dengan ASC di beberapa negara.
(Via,2015).
Memar atau robekan yang parah pada otot seperti gastrocnemius atau
peroneus juga bisa meneyebabkan ACS. Jenis cedera ini dapat terjadi ketika
sepeda motor jatuh di kaki pengendara atau helm pemain terkena di kaki pemain
sepak bola lain. Aliran darah yang dikembalikan setelah sirkulasinya terhambat.
Ini mungkin terjadi setelah ahli bedah mamperbaiki pembuluh darah yang diblokir
selama beberapa jam. Pembuluh darah juga bisa tersumbat saat tidur dimana
berbaring terlalu lama dalam posisi yang menghalangi aliran pembuluh darah,
lalu bergerak atau bangun dapat menyebabkan kondisi ini. Perkembangan
sindrom komparteman selalu terjadi pada orang dengan neurologis yang
terganggu misalnya pada keracunan alkohol atau obat lain (AAOS,2009).
Selanjutnya, ACS terjadi karena crush injury,yang terjadi ketika kekuatan
atau tekanan pada bagian tubuh. Jenis cedera ini sering terjadi ketika bagian
tubuh terjepit di antara dua benda berat. Kondisi yang lain nya adalah karena
perban yang ketat dapat menyebabkan sindrom kompartemen. Jika gejala ACS
berkembang, perban harus segera dilepaskan atau di longgarkan (AAOS, 2009).

8
Rasa sakit dan pembengkakan pada sindrom kompatemen yang kronis
disebabkan oleh olaraga. Atlet yang berpartisipasi dalam senam yang melibatkan
gerakan ulang seperti berlari, bersepeda atau berenang, lebih cenderung
berkembang sindrom kompartemen kronis. Kondisi ini bisa lega dengan
menghentikan latihan dan biasanya tidak berbahaya (AAOS,2009).
2.5. Patofisiologi
Sindrom kompartemen terutama disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakompartemen. Mekanisme yang terlibat dalam pengembangan tekanan yang
meningkat tergantung pada peristiwa pencetusnya. Dua jenis sindrom
kompartemen yang berbeda telah dikenali. Jenis pertama dikaitkan dengan
trauma pada kompartemen yang terkena, seperti terlihat pada fraktur atau cedera
otot. Bentuk kedua, yang disebut sindrom kompartemen exertional, dikaitkan
dengan pembebanan berulang atau mikrotrauma yang terkait dengan aktivitas
fisik. Jadi, sindrom kompartemen dapat bersifat akut atau kronis (Livingston KS
dkk., 2018).

Gambar 2.5 Mekanisme sindroma kompartemen

9
Perfusi jaringan sebanding dengan perbedaan antara tekanan perfusi
kapiler (CPP) dan tekanan cairan interstitial, yang dinyatakan dengan rumus
berikut:
LBF = (PA - PV) / R
Dalam rumus di atas, LBF adalah aliran darah lokal, PA adalah tekanan
arteri lokal, PV adalah tekanan vena, dan R adalah resistensi pembuluh darah
lokal. Metabolisme miosit normal membutuhkan tekanan oksigen 5-7 mm Hg,
yang dapat diperoleh dengan CPP 25 mm Hg dan tekanan jaringan interstitial 4-6
mm Hg (Rasul, 2020).
Ketika cairan masuk ke dalam kompartemen volume-tetap, tekanan
jaringan meningkat dan tekanan vena naik. Ketika tekanan interstitial melebihi
CPP (gradien perfusi arteriovenous [AV] menyempit), kolaps kapiler dan iskemia
otot dan jaringan terjadi. Otot rangka merespons iskemia dengan melepaskan zat
seperti histamin yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Plasma
bocor keluar dari kapiler, dan endapan darah relatif di kapiler kecil terjadi,
memperburuk iskemia. Myocytes mulai lisis, dan protein myofibrillar terurai
menjadi partikel yang aktif secara osmotik yang menarik air dari darah arteri.
Satu miliosmole (mOsm) diperkirakan memberikan tekanan 19,5 mm Hg; oleh
karena itu, peningkatan yang relatif kecil dalam partikel aktif osmotik dalam
kompartemen tertutup menarik cairan yang cukup untuk menyebabkan
peningkatan lebih lanjut pada tekanan intramuskuler. Ketika aliran darah jaringan
berkurang lebih lanjut, iskemia otot dan edema sel selanjutnya memburuk. Siklus
perfusi jaringan yang memburuk ini terus merambat (Rasul, 2020)..
Beberapa gurangan gradien AV lokal dapat dikompensasi oleh perubahan
resistensi vaskular lokal (autoregulasi). Namun, tamponade kompartemen terjadi
karena aliran darah arteri tersumbat. Shrier dan Magder mempertanyakan
hipotesis tradisional ini untuk patofisiologi sindrom kompartemen dan
mendalilkan bahwa dalam kompartemen otot, ada tekanan penutupan kritis (mirip
dengan zona Barat II dalam fisiologi paru-paru) (Shrier I dkk., 1995). Para penulis
ini menunjukkan bahwa peningkatan tekanan tertutup kritis ini, yang mereka
sebut Pcrit, daripada peningkatan resistensi arteri, menghasilkan penurunan
aliran darah. Tekanan transmural di mana aliran darah berhenti tergantung pada
nada adrenergik serta tekanan interstitial; tekanan di mana hal ini terjadi masih
dalam perdebatan. Namun, secara umum, tekanan kompartemen lebih tinggi dari
30 mm Hg memerlukan intervensi bedah. Jika tekanan kompartemen tinggi

10
seperti itu dibiarkan tidak diobati, dalam 6-10 jam, terjadi infark otot, nekrosis
jaringan, dan cedera saraf. Untuk alasan yang tidak jelas, sindrom kompartemen
yang berhubungan dengan posisi bedah dapat bermanifestasi kemudian, dengan
waktu rata-rata untuk presentasi 15-24 jam atau lebih lama pasca operasi (Rasul,
2020).

Gambar 2.6 Pembengkakan kompartemen tungkai bawah


Defisit fungsional yang diinduksi oleh tekanan kemungkinan disebabkan
oleh penurunan perfusi jaringan daripada efek mekanis langsung. Oleh karena
itu, jumlah tekanan yang dapat ditoleransi anggota tubuh tergantung pada
peningkatan anggota tubuh, tekanan darah, perdarahan, dan oklusi arteri. Selain
morbiditas lokal yang disebabkan oleh nekrosis otot dan iskemia jaringan,
perusakan sel dan perubahan membran sel otot menyebabkan pelepasan
mioglobin ke dalam sirkulasi. Mioglobin yang bersirkulasi ini menyebabkan
cedera ginjal. Sindrom kompartemen lanjut dapat menyebabkan rhabdomiolisis,
dan sebaliknya, rhabdomiolisis dapat menyebabkan sindrom kompartemen.
Kematian biasanya disebabkan oleh gagal ginjal atau sepsis akibat manajemen
luka yang sulit (Rasul, 2020).
Mekanisme sindrom kompartemen setelah trauma vaskular mungkin
sedikit berbeda dari skenario di atas karena kebanyakan kasus terjadi dengan

11
reperfusi. Sindrom reperfusi ini kemungkinan terkait dengan penipisan iskemik
bentuk fosfat berenergi tinggi dan cedera otot iskemik. Otot memiliki kemampuan
yang cukup untuk regenerasi dengan membentuk sel-sel otot baru. Karena itu,
sangat penting untuk mendekompres otot iskemik sedini mungkin. Tekanan
kompartemen kembali normal setelah fasciotomi (Rasul, 2020).
2.6. Penegakan Diagnosis
2.6.1. Anamnesa
Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik dan tindakan ICP berulang. Mati
rasa dan kesemutan adalah tanda- tanda awal dari ACS. Nyeri yang parah, tidak
proporsional dengan cedera atau pembedahan dan tidak berkurang dengan obat
anti nyeri serta bertambah parah dengan peregangan otot kompartemen yang
pasif. Tetapi pada tahap ACS yang akhir nyeri nya mungkin tidak ada (Via,
2015). Pada trauma berat, seperti fraktur terbuka akibat nyerinya sulit untuk
membedakan antara nyeri dari fraktur atau akibat peningkatan tekanan
kompartemen.
Mekanisme cederanya harus ditentukan buat diagnosis sindrom ini.
Antara mekanisme nya adalah high velocity injury seperti fraktur tulang panjang
dan crush injury. Cedera penetrasi misalnya luka tembak atau luka tusuk dapat
menyebakan cedera arteri yang dapat segera menyebakan sindrom
kompartemen. Terapi antikoagulasi dan gangguan pendarahan seperti hemofilia
secara signifikan meningkatkan kemungkinan sindrom kompartemen. Pasien
harus ditanyakan tentang riwayat pengobatannya juga untuk membantu dokter
mendiagnosis sindrom ini (Rasul, 2020).
Gejala ‘5P’ yaitu pain, paresthesia, pallor, pulselessness dan
poikilothermia yang menjadi tanda iskemia akut pada tungkai tidak boleh
diterapkan pada sindrom ini karena gejala-gejala tersebut hanya bermanifestasi
pada tahap akhir sindrom kompatemen, diman kerusakan jaringan lunak yang
luas serta ireversibel mungkin telah terjadi. Denyut nadi dan capillary refill tetap
normal pada sebagian besar kasus ACS ekstremitas atas (Rasul, 2020).
2.6.2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik paling ditemukan adalah perasaan yang tegas
dan kuat seperti kayu pada palpasi dalam. Pada kasus yang melibatkan kaki,
massa jaringan lunak dapat diperhatikan akibat herniasi lemak atau jaringan otot
dari defek fasi yang sering ditemukan di sepertiga bagian bawah kaki. Dalam
kasus trauma dan cacat berat, kelainan claw-toe deformity harus dievaluasi.

12
Gangguan saraf harus ditentukan jika seorang pasien mengeluh sakit.
Saraf sensorik cenderung terpengaruh dari saraf motorik dan mungkin hanya
beberapa saraf terpilih mungkin lebih rentan daripada yang lain di kompartemen
tersebut. Sebagai contohnya, pada ACS tungkai bawah anterior, tanda pertama
yang muncul adalah paresthesia di antara dua jari pertama (saraf peroneum
superfisial) di kaki (Rasul, 2020).
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran tekanan intrakompartemen tetap menjadi standar untuk
diagnosis sindrom kompartemen, dengan teknik seperti berikut:
 Injection technique of direct pressure measurement

Gambar 2.7 Stryker STIC monitor


Pengukuran tekanan kompartemen langsung adalah standar kriteria
diagnostik dan harus menjadi prioritas pertama untuk diagnosis compartemen
sindrom. Tonometer tekanan banyak digunakan untuk mengukur tekanan
kompartemen (Rasul,2020).

Gambar 2.8 Pressure Transducer


Cara ini (gambat 2.5) digunakan untuk mengukur tekanan yang
diperlukan untuk menyuntikkan jumlah cairan yang sedikit. Teknik ini mungkin
tidak akurat tetapi masih bisa digunakan (Rasul,2020).

13
 Wick technique of direct compartment-pressure measurement
Teknik di atas menggunakan bahan yang dibasahi dari jaringan ke kateter
berisi cairan yang dihubungkan ke tranduser tekanan. Metode ini juga bisa
digunkan sebagai continuous infusion technique. Selain itu, foto polos tidak
membantu dalam penegakkan diagnosis sindrom ini. Radiografi digunakan
untuk menentukan sifat fraktur tulang. MRI dan USG berguna untuk melihat
robekan otot. CT scan dan radiografi lain bisa digunakan pada fraktur stres dan
periostitis tetapi tidak bisa menggunakan untuk pemeriksaan penunjang sindrom
compatemen (Rasul,2020).

Gambar 2.9 Wick Technique


Pada pasien dengan hanya compatemen sindrom, tidak diperlukan
pemeriksaan laboratorium karena hasilnya seringkali normal dan tidak bisa
mendiagnosis sindrom tersebut. Pada ACS dengan trauma pemeriksaan
rhabdomiolisis dipertimbangkan, misalnya Creatine phoshokinase (CPK), fungsi
ginjal, urinalisis dan myoglobin urin (Rasul,2020).
2.7. Tatalaksana
Tatalaksana definitif ACS adalah dekompresi (Blom et al., 2017).
Dekompresi penting untuk menurunkan tekanan intracompartment dan
menghindari trauma dan cedera yang lebih lama kepada otot-otot dalam
compartment tersebut. Dekompresi akan menurunkan tekanan dan
mengembalikan perfusi kepada jaringan otot (Blom et al., 2017).
Pada ACS yang diakibatkan oleh splint atau cast, maka splint dan cast
harus dibuka dan ekstremitas yang terancam dekompresi haruslah di baringkan
rata. Faktor eksternal yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
intracompartment harus dieliminasi. Ekstremitas tidak boleh dielevasi dan

14
haruslah dibaringkan sejajar dengan jantung. Elevasi akan menyebabkan
berkurang kadar aliran darah arteri ke compartment tersebut dan menyebabkan
penyempitan gradient tekanan antara arteri dan vena (arterial-venous pressure
gradient) (Donaldson et al., 2014).
Pasien dengan trauma seringkali akan datang dengan kondisi lain seperti
perdarahan. Status hipovelomi, asidodis metabolik, rhabdomyolisis dan
myoglobinemia haruslah dinilai dengan cepat untuk menghindari dari perburukan
kondisi pasien. Pasien yang mengalami hipovolemi harus cepat direhidrasi
dengan cairan kristaloid untuk mengembalikan perfusi jaringan (Donaldson et al.,
2014). Pada pasien dengan crush injury dimana kausa cedera ditangani dengan
terlalu cepat akan menyebabkan pelepasan myoglobin yang banyak ke
pembuluh darah dan ke ginjal. Myoglobinemia akan menyebabkan gagal ginjal
akut (acute renal failure) yang harus ditangan cepat dengan suplementasi cairan
intravena dan urine output di atas 0,5 ml/kgBB/jam. Suplementasi cairan juga
diperlukan untuk mengeluarkan kadar creatinine kinase yang akan meningkat
sekiranya terjadi rhabdomyolisis (Donaldson et al., 2014).
Manajemen nyeri pada compartment syndrome haruslah berlaku karena
simtom nyeri adalah yang paling mengganggu pada pasien dengan compartment
syndrome.
Fasiotomi
Manajemen definitif untuk dekompresi adalah dengan fasiotomi. Menurut
Royal Australasian College of Surgeons, fasiotomi harus segera dilakukan
sekiranya ada (Wall et al., 2010):
1. Manifestasi klinis ACS, atau
2. Tekanan intracompartment >30 mmHg, atau
3. Perfusion pressure (ΔP = Tekanan diastolic – tekanan intracompartment)
< 30 mmHg
Teknik fasiotomi diberlakukan pada semua compartment yang berdekatan
dengan compartment yang cedera agar tidak ada compartment yang terlewati.
Tehnik yang digunakan untuk fasiotomi pada tungkai bawah adalah tehnik
double incision four compartment fasciotomy dan compartment syndrome pada
tungkai atas menggunakan tehnik Gelberman. Double incision four compartment
technique mendekompresi tekanan anterior dan lateral compartment dengan
insisi lateral dan insisi medial mendekompresi tekanan pada deep posterior dan
superficial compartment (Cone and Inaba, 2017).

15
Fasiotomi yang incomplete haruslah dihindari karena akan menyebabkan
komplikasi yang boleh menyebabkan kematian. Kadar creatine kinase haruslah
di-monitor untuk menilai sekiranya semua compartment sudah di dekompresi.
Sekiranya terjadi peningkatan CK atau kadar CK tidak menurun, maka daerah
yang di fasiotomi haruslah dilakukan eksplorasi ulang (Cone and Inaba, 2017).
Manajemen pasca-fasiotomi
Monitoring pasca-fasiotomi haruslah dilakukan setiap 4 jam selama
minimal 24 jam. Komponen yang dinilai adalah tekanan intracompartment dan
manifestasi klinis ACS serta pemeriksaan penunjang untuk menilai sekiranya
terjadi rhabdomyolysis atau myoglobinemia (Wall et al., 2010).

Gambar 2.10 Teknik Fasiotomi dengan melakukan sayatan sepanjang 15-20 cm pada
tungkai bawah

16
Luka fasiotomi tidak boleh ditutup dengan segera untuk menghasilkan
efek dekompresi tekanan. Maka manajemen luka amat penting untuk
menghindari komplikasi dari fasiotomi. Tujuan manajemen luka adalah untuk
mengawal pembengkakan, pemulihan jaringan yang terluka dan minimalisir
retraksi kulit (Bowyer, 2015). Menurut Royal Australasian College of Surgeons,
secara konsensus luka fasiotomi ditutup setelah 2 minggu dengan tehnik delayed
primary intention setelah bengkak sudah cukup berkurang. Sekiranya delayed
primary intention tidak boleh menutup luka fasiotomi, maka akan dilakukan split-
thickness skin graft. Luka dibalut dengan negative pressure dressing untuk
mengurangkan pembengkakan dan menghindari terjadi traksi dari tepi luka
(Wall et al., 2010).
Komplikasi fasiotomi
Komplikasi fasiotomi adalah infeksi dari manajemen luka yang tidak baik.
Pada fasiotomi yang incomplete akan menyebabkan cedera saraf permanen,
multisystem organ failure dan rhabdomyolysis yang sekiranya tidak ditangani
akan menyebabkan kematian (Bowyer, 2015).
2.8. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada compartment
syndrome. Antara komplikasi kasi yang bisa terjadi adalah nekrosis tisu, claw toe
deformity, gangguan fungsional, cavovarus deformity, cedera neuromuskular
atau kontraktur sendi. Namun, komplikasi manejemen luka dalam jangka waktu
yang panjang dan perawatan sekuensial yaitu clubfoot deformity jarang
dilaporkan. Selain itu, secondary horshoe ankle, dan metatarsophalangeal joint
dislocation juga merupakan komplikasi dari compartment syndrome (Du, 2019).
Fasciotomy dikaitkan dengan kumpulan komplikasinya sendiri, yang
dibutuhan untuk pembedahan lebih lanjut untuk delayed wound closure atau skin
grafting, nyeri, masalah kosmetik, cedera saraf, kelemahan otot permanen, dan
insufisiensi vena kronis. Luka fasciotomi tidak boleh segera ditutup karena risiko
menyebabkan peningkatan tekanan otot dan ACS berulang. Tidak ada
konsensus tentang kapan fasciotomi harus dikembalikan ke ruang operasi untuk
penutupan yang pasti. Biasanya, debridemen ulang dilakukan setiap 48 hingga
72 jam ketika ada nekrosis otot sampai luka tetap stabil. Jika jaringan yang layak
ditemukan di fasciot-omy awal, adalah praktik penulis untuk menunggu 4 hingga
5 hari sebelum mengembalikan pasien ke pembedahan untuk upaya penutupan
luka (Schmidt, 2016).

17
Compartment syndrome akut pada tungkai bawah tidak banyak
dilaporkan, tetapi komplikasinya yang potensial dapat terjadi setelah patah
tulang, crush injury, atau cedera traumatis. Komplikasi kerusakan jangka panjang
diketahui secara serius menghambat mobilitas pasien dan kualitas hidup. Cacat
terkait compartment syndrome dan bahkan kematian dilaporkan jika diagnosa
dan perawatan yang lambat (du). Skuele jangka waktu panjang mulai dari
masalah kosmetik sekunder hingga komplikasi luka, penggunaan penggunaan,
deformitas tungkai, amputasi, atau komplikasi sistemik yang terkait dengan
rhabdomyolysis (Steven B, 2020).
2.9. Prognosis
Delay dalam diagnosis dan tatalaksana ACS akan menyebabkan
kecacatan yang ireversibel kepada individu. Sekiranya otot tidak di-
revaskularisasi dengan cepat maka akan terjadi iskemi yang berkelanjutan dan
terjadi nekrosis otot serta kehilangan otot tersebut dan kehilangan fungsi otot.
Iskemi yang berkelanjutan juga akan menyebabkan deficit neurologis dan rusak
saraf yang menginnervasi otot pada compartment tersebut. Otot yang sudah
nekrotik di amputasi dan berdampak buruk pada quality of life pasien. Pasien
juga boleh timbul foot drop dan juga mengurangkan kualitas kehidupan pasien
(Cone and Inaba, 2017).
Iskemi dan nekrosis otot dibiarkan akan menyebabkan gangguan sistemik
yang diakibatkan oleh myoglobinemia dan peningkatan creatine kinase yang
berdampak pada ginjal. Ginjal akan terbeban dengan kadar myoglobin dan
creatine kinase yang banyak dan terjadi ARF (Cone and Inaba, 2017).
2.10. Pencegahan
Edema yang berat dan nyeri hebat pada ekstremitas bawah,
Compartment Syndrome akut sulit untuk didiagnosis dan sangat bergantung
pada keparahan cedera dan pemeriksaan klinis yang baik. Oleh karena itu,
banyak penelitian dilakukan pada Compartment Syndrome fokus pada diagnosis
dan pengobatan dini. Diagnosis dini penting untuk mencegah komplikasi seperti
nekrosis jaringan, deformitas claw toe, dan kontraktur sendi. Obat anti – inflamasi
juga bisa digunakan untuk menghambat reaksi inflamasi sistemik untuk
mencegah kerusakan organ yang luas (Du, 2019).
Selain itu, hal yang harus di cegah adalah drop foot dan neurophatic
ulcers. Antara cara mencegah drop foot pada pasien compartment syndrome
setelah perawatan luka atau debridement adalah dengan penggunaan drop foot

18
correction braces. Penggunaan Llizarov external frame juga bisa digunakan
untuk koreksi clubfoot. Pasien juga dilatih untuk berjalan supaya dapat
mencegah drop foot dan penggunaan orthopedic insoles untuk mencegah
neurophatic ulcers (Du, 2019).
Sementara etiologi yang paling umum dari sindrom kompartemen adalah
trauma, penting untuk mengenali penyebab potensial lain pada pasien ortopedi
perioperatif. Compartment syndrome iatrogenik dapat dicegah dengan
memperhatikan posisi pasien, pemilihan, penggunaan tourniquet yang tepat, dan
aplikasi yang hati-hati dari alat imobilisasi (Steven B, 2020).

19
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Compartment Syndrome memiliki implikasi yang merugikan bagi ahli
bedah dan pasien. Sekuele termasuk morbiditas pasien, baik fungsional dan
kosmetik. Kegagalan untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan temuan
dapat memiliki konsekuensi yang buruk. Perawatan yang paling efektif adalah
diagnosis dini. Sebagai dokter muda, pengetahuan tentang compartment
syndrome ini sangat penting untuk mempersiapkan diri apabila sudah menjadi
dokter umum kelak dalam menangani kasus ini yang merupakan kasus gawat
darurat.
Diagnosis compartment klinis sangat bergantung pada temuan klinis. Ahli
tenaga kesehatan, dokter umum maupun ahli bedah harus memberikan
perhatian khusus pada temuan paling awal seperti pain out of proportion,
meningkatnya kebutuhan analgesik, dan rasa sakit dengan regangan otot pasif
dalam kompartmen fasia yang dicurigai. Selain itu, pemeriksaan secara
tradisional adalah 5 P yaitu (pallor, paresthesias, paralysis, pain dan
pulselessness).
Selain itu, terdapat beberapa terapi yang bisa dilakukan dalam
menatalaksana compartment syndrome. Antara terapi yang bisa dilakukan
adalah terapi sistemik seperti pemberian antibiotik dan anti – inflamasi dalam
manejemen infeksi dan radang. Manajemen luka juga merupakan terapi yang
penting dalam tatalaksana compartment syndrome. Akhir sekali, terapi yang bisa
dilakukan adalah pencegahan deformitas seperti club foot, claw toe dan drop foot
dengan melakukan koreksi dan latihan otot yang terjejas.
3.2 Saran
Kami menyarankan perlu adanya pengetahuan, skil dan keterampilan
klinis yang memadai untuk dokter umum dalam menangani kasus compartment
syndrome yang akan ditemui kelak.

20
DAFTAR PUSTAKA

AAOS. (2009). Compartement Syndrome. [online]. Available at:


https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--conditions/compartment-
syndrome/ [Accessed on 16 May 2020]
Balogh ZJ, Butcher NE. 2010. Compartment syndromes from head to toe. Crit
Care Med; 38(9 Suppl): S445-S451.
Blom, A., Warwick, D. & Whitehouse, M. 2017. Apley & Solomon's System Of
Orthopaedics And Trauma, Crc Press.
Bowyer, M. W. 2015. Lower Extremity Fasciotomy: Indications And Technique.
Current Trauma Reports, 1, 35-44.
Cone, J. & Inaba, K. 2017. Lower Extremity Compartment Syndrome. Trauma
Surgery & Acute Care Open, 2, E000094.
Donaldson, J., Haddad, B. & Khan, W. S. 2014. The Pathophysiology, Diagnosis
And Durrent Management Of Acute Compartment Cyndrome. The Open
Orthopaedics Journal, 8, 185.
Du, W., Hu, X., Shen, Y. and Teng, X., 2019. Surgical management of acute
compartment syndrome and sequential complications. BMC
musculoskeletal disorders, 20(1), p.98.
Duckwrath AD, Mc Queen MM. Focus on diagnosis of acute compartment
syndrome. J Bone and Joint Surg. 2011;40:467-72.
Kistler, J. M., Ilyas, A. M., & Thoder, J. J. (2018). Forearm Compartment
Syndrome. Hand Clinics, 34(1), 53–60. doi:10.1016/j.hcl.2017.09.006
Kosir R, Moore FA, Selby JH, Cocanour CS, Kozar RA, Gonzalez EA, et al.
Acute lower extremity compartment syndrome (ALECS) screening
protocol in critically ill trauma patients. J Trauma 2007;63:268-75.
Livingston KS, Meehan WP 3rd, Hresko MT, Matheney TH, Shore BJ. Acute
Exertional Compartment Syndrome in Young Athletes: A Descriptive Case
Series and Review of the Literature. Pediatr Emerg Care. 2018 Feb. 34
(2):76-80.
Mabvuure, N.T., Malahias, M., Hindocha, S., Khan, W. and Juma, A., 2012.
Suppl 3: Acute Compartment Syndrome of the Limbs: Current Concepts
and Management. The open orthopaedics journal, 6, p.535.

21
Malbrain ML, Roberts DJ, Sugrue M, De Keulenaer BL, Ivatury R, Pelosi P, et al.
2014. The polycompartment syndrome: a concise state-of-the-art review.
Anaesthesiol Intensive Ther; 46(5): 433-450.
McDonald S, Bearcroft P. 2010. Compartment syndromes. Semin Musculoskelet
Radiol; 14(2): 236-244.
McLaughlin N, Heard H, Kelham S. 2014. Acute and chronic compartment
syndromes: know when to act fast. JAAPA; 27(6): 23-26
O’ Toole RV, Whitney A, Merchant N, Hui E, Higgins J, Kim TT, et al. Variation in
diagnosis of compartment syndrome by surgeons treating tibial shaft
fractures. J Trauma 2009;67:735-41. doi:
10.1097/TA.0b013e3181a74613.
Orr, S.B., Garner, M.R., Taylor, S.A., Little, M.T. and Lyden, J.P., 2020.
Compartment Syndrome and Orthopedic Surgery: Diagnosis and
Management. In Perioperative Care of the Orthopedic Patient (pp. 357-
367). Springer, Cham.
Rasul, T.A. (2020). Acute Compartement Syndrome. [online]. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/307668-overview#showall
[Accessed on 16 May 2020]
Schmidt, A.H., 2016. Acute compartment syndrome. Orthopedic Clinics, 47(3),
pp.517-525.
Shuler MS, Reisman WM, Kinsey TL, Whitesides TE Jr, Hammerberg EM, Davila
MG, et al. Correlation between muscle oxygenation and compartment
pressure in acute compartment syndrome of the leg. J Bone Joint Surg
[Am] 2010; 92(4): 863-70. doi: 10.2106/JBJS.I.00816.
Via, A. G., Olivia, F., Spoliti, M. & Maffulli, N. (2015). Acute compartment
syndrome. Muscles, Ligaments and Tendons Journal. 5(1): 18-22
Von Keudell, A. G., Weaver, M. J., Appleton, P. T., Bae, D. S., Dyer, G. S. M.,
Heng, M., … Vrahas, M. S. 2015. Diagnosis and treatment of acute
extremity compartment syndrome. The Lancet, 386(10000), 1299–
1310. doi:10.1016/s0140-6736(15)00277-9
Wall, C. J., Lynch, J., Harris, I. A., Richardson, M. D., Brand, C., Lowe, A. J. &
Sugrue, M. 2010. Clinical Practice Guidelines For The Management Of
Acute Limb Compartment Syndrome Following Trauma. Anz Journal Of
Surgery, 80, 151-156.

22

Anda mungkin juga menyukai