Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit urologi sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno. Salah satu bukti arkeologi adalah
diketemukannya batu di dalam buli-buli pada kerangka tulang pelvis anak lelaki pada kuburan yang
diperkirakan tejadi pada 5000 tahun yang lalu. Professor Harold Ellis pada kata pendahuluan tentang
monograf penyakit batu saluran kemih menyebutkan, bahwa tiga jenis operasi elektif yang paling tua
yang dikerjakan pada manusia adalah sirkumsisi, trepanasi kepala, dan mengeluarkan batu dari buli-buli.
Operasi batu buli-buli saat itu adalah operasi yang dilakukan berdasarkan atas indikasi medis. Penyakit
batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak di
temukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas
(ginjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari (Purnomo,
2012: 1).

Kalkulasi vesikalis mengacu pada keberadaan batu atau bahan batu dalam kandung kemih. Batu-batu ini
biasanya berhubungan dengan statis kemih, tetapi mereka dapat terbentuk pada orang sehat tanpa
bukti cacat anatomi, struktur, infeksi, atau benda asing. Kehadiran batu atas saluran kemih tidak selalu
kecenderungan pembentukan batu kandung kemih. Insiden batu kandung kemih di Amerika Serikat dan
Eropa Barat telah mantap dan signifikan menurun sejak abad ke 19 karena perbaikan diet, nutrisi, dan
pengendalian infeksi. Di Negara-negara ini, batu kandung kemih mempengaruhi orang dewasa, dengan
frekuensi terus menerus pada anak-anak. Namun, batu kandung kemih tetap umum di Negara-negara
berkembang seperti Thailand, Indonesia, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Meskipun prevalensi batu
kandung kemih menurun dalam populasi, ia tetap

merupakan penyakit yang mempengaruhi anak-anak. Penyakit ini jauh lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada perempuan (Nursalam, 2008: 111).

Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan zaman Mesir kuno. Sebagai salah
satu buktinya adalah diketemukan batu pada kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat
menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk Indonesia. Angka kejadian penyakit ini
tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-
buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas, hal ini
karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. Di Amerika Serikat 5-10%
penduduknya mnerita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang
menderita batu saluran kemih (Purnomo, 2012: 5).

Batu kandung kemih dapat terjadi pada pria dengan obstruksi saluran keluar kandung kemih. Anak-anak
yang tinggal di negara belum berkembang juga akan terkena. Batu kalsium oksalat merupakan batu yang
paling sering dijumpai di Amerika Serikat. Batu kandung kemih lebih sering terjadi pada pria dan dialami
semua bangsa (Stanley Zaslau, 2010: 132). Setelah batu dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah
pentingnya adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih
rata-rata 7% per tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun (Haryono, 2013: 65).

Menurut WHO (2014), menunjukkan 46% penyakit sistem perkemihan, salah satunya batu saluran
kemih disebabkan karena kurang gerak. Sekitar 60-70% batu yang turun spontan sering disertai dengan
serangan kolik ulangan. Angka prevelensi rata-rata diseluruh dunia 1-12% penduduk menderita batu
saluran kemih. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI (2015), jumlah pasien rawat inap
penderita BSK di rumah sakit seluruh Indonesia yaitu 16.251 penderita dengan CFR 0.94% (Nurlina,
2015).

Berdasarkan hasil survei di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin khususnya di ruang Bedah
Umum (Tulip IC) pada tahun 2014, jumlah klien rawat inap sebanyak 2.492 orang, 35 klien yang
menderita batu pyelum, sedangkan pada tahun 2015, 34 klien yang menderita batu ureter, dan kini
pada tahun 2016 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Maret, 7 klien yang menderita batu saluran
kemih.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat Asuhan Keperawatan Batu Buli-Buli secara
optimal, berdasarkan proses keperawatan, agar klien dengan batu buli-buli mendapatkan perawatan
yang benar.

1.2 Tujuan Umum

Menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif baik secara fisik, psikologis, sosial maupun
spiritual pada klien dengan diagnosa medis batu buli-buli di RSUD Ulin Banjarmasin.
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis Medis Sistem Perkemihan

2.1.1 Anatomi Sistem Perkemihan.

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan

Sumber : Mirza,2011

2.1.1.1 Ginjal

Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada setiap sisi dari kolumna tulang belakang antara T12 dan L3.
Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibanding ginjal kanan. Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti
oleh lambung, pankreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan superior setiap ginjal terdapat
kelenjar adrenalin (Muttaqin dan Sari, 2011: 3).

Posisi dari kedua ginjal di dalam rongga abdomen dipelihara oleh dinding peritoneum, kontak dengan
organ-organ visceral, dan dukungan jaringan penghubung. Ukuran setiap ginjal orang dewasa adalah
panjang 10 cm, 5,5 cm pada sisi lebar, dan 3 cm pada sisi sempit dengan berat setiap ginjal berkisar 150
gr. Lapisan kapsul ginjal terdiri atas jaringan fibrous bagian dalam dan bagian luar. Bagian dalam
memperlihatkan anatomis dari ginjal. Bagian luar berupa lapisan tipis yang menutup kapsul ginjal dan
menstabilisasi struktur ginjal. Ada sekitar satu juta nefron pada setiap ginjal dimana apabila dirangkai
akan mencapai panjang 145 km (85 mil). Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu
pada keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap
(Muttaqin dan Sari, 2011: 3).

2.1.1.2 Ureter

Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil ang berfungsi mengalirkan urine dari pielum ginjal ke
dalam kandung kemih. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas
mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat
melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke kandung kemih (Muttaqin dan
Sari, 2011: 17).

Ureter terdiri dari dua bagian yaitu pars abdominalis (ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen)
dan pars pelvina (sebagian terletak dalam rongga pelvis). Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing
bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinary) panjangnya 25-30cm dengan penampang
0,5cm (Haryono, 2013: 14).

2.1.1.3 Vesika Urinaria (Kandung Kemih)

Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme miksi (berkemih). Saat kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis dan pada
saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalapasi dan diperkusi. Leher kandung kemih (uretra
posterior) panjangnya 2-3 cm, dan dindingnya terdiri atas otot detrusor yang bersilangan dengan
sejumlah besar jaringan elastik (Muttaqin dan Sari, 2011: 18). Fungsi vesika urinaria adalah sebagai
tempat penyimpanan urin dan mendorong urin keluar dari tubuh. Bagian-bagian vesika urinaria: fundus,
korpus, verteks (Haryono, 2013: 16).

The bladder is a hollow, thin-walled muscular organ that stores urine. In an adult, it can accommodate
an average of 500 mL of urine. The bladder is situated in the anterior portion of the pelvis, bordered by
the pelvic diaphragm inferiorly, parietal peritoneum superiorly, uterus and vagina posteriorl, and
abdominal wall and pubic bones anteriorly. The urachus secures the bladder to the anterior abdominal
wall (Gebhart, 2010: 7).

Kandung kemih adalah organ otot berdinding tipis berongga yang menyimpan urin. Dalam orang
dewasa, dapat menampung rata-rata 500 mL urin. Kandung kemih ini terletak di bagian anterior pelvis,
berbatasan dengan diafragma panggul inferior, peritoneum parietal superior, rahim dan posterior
vagina, dan dinding perut dan tulang kemaluan anterior. Urachus mengamankan kandung kemih ke
dinding perut anterior (Gebhart, 2010: 7).

2.1.1.4 Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih melalui proses miksi.
Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria,
organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfringter uretra
interna yang terletak pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfringter eksterna yang terletak
pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Pada saat BAK, sfringter ini terbuka dan tetap tertutup
pada saat menahan urine. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa
kurang lebih 23-25 cm (Muttaqin dan Sari, 2011: 19).

2.1.2 Pengertian

Batu kandung kemih atau vesikolitiasis adalah batu yang menghalangi aliran air kemih akibat penutupan
leher kandung kemih atau terdapat benda asing di kandung kemih, sering terjadi pada klien yang
menderita gangguan miksi (Muttaqin, 2008: 121).

Batu kandung kemih adalah suatu kondisi terdapatnya batu di dalam kandung kemih (Muttaqin dan Sari,
2011: 202).

Batu buli-buli atau vesikolitiasis adalah batu yang ada di vesika urinaria atau terdapat benda asing di
buli-buli, sering terjadi pada klien yang menderita gangguan miksi (Purnomo, 2012: 100).

Jadi, batu buli-buli adalah keadaan dimana terdapatnya batu di kandung kemih.
2.1.3 Etiologi

2.1.3.1 Banyak faktor yang memungkinkan kondisi batu di dalam kandung kemih. Obstruksi kandung
kemih merupakan faktor yang paling umum menyebabkan batu kandung kemih pada orang dewasa.
Pembesaran prostat, ketinggian leher kandung kemih, dan statis sisa urine yang tinggi menyebabkan
peningkatan kristalisasi. Statis urine juga meningkatkan infeksi saluran kemih yang akan meningkatkan
pembentukan kandung kemih. Dalam suatu studi pada pasien dengan cedera tulang belakang yang di
monitor selama lebih dari 8 tahun, 36% pasien mengalami pembentukan batu kandung kemih (Muttaqin
dan Sari, 2011: 3).

2.1.3.2 Etiologi menurut Mansjoer, dkk (2007: 490) adalah:

Vesikolitiasis (batu buli-buli) berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun, akibat statis pada
struktur uretra, kontraksi leher buli-buli, sistokel, buli-neurogenik, divertikel, infeksi saluran kencing,
hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, hiperoksalemia dan hiperoksaluria.

2.1.4 Teori Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih

2.1.4.1 Teori nukleasi adalah dimana batu terbentuk di dalam urin karena adanya inti batu atau sabuk
batu (nucleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan membentuk batu. Inti batu dapat berupa
kristal atau benda asing saluran kemih. Teori matriks atau juga matriks organik terdiri atas
serum/protein urin (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya
kristal-kristal batu. Penghambat kristalisasi urin orang normal mengandung zat penghambat pembentuk
kristal yakni magnesium, sitrat, pirofostat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu
atau beberapa zat ini berkurang maka akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih
(Haryono, 2013: 59).

2.1.4.2 Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat
yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-
buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika
kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-
keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-kistal yang tersusun
oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang teralrut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap
berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi
membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih
rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada
epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada
agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih (Purnomo,
2012: 88).

2.1.5 Patofisiologi

2.1.5.1 Kebanyakan kalkuli vesikalis terbentuk de novo dalam kandung kemih, tetapi beberapa awalnya
mungkin telah terbentuk di dalam ginjal, kemudian menuju ke dalam kandung kemih, di mana dengan
adanya pengendapan tambahan akan menyebabkan tumbuhnya batu kristal. Pada pria yang lebih tua,
batu kandung kemih terdiri atas asam urat. Batu jenis ini merupakan batu yang paling mungkin
terbentuk di kandung kemih. Batu yang terdiri atas kalsium oksalat biasanya awalnya terbentuk di ginjal.
Jenis umum dari sebagian besar batu vesikalis pada orang dewasa terdiri atas asam urat (>50%). Pada
kondisi yang lebih jarang, batu kandung kemih terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, ammonium
urat, sistein, atau magnesium ammonium fosfat (bila dikaitkan dengan infeksi). Menariknya, klien
dengan batu asam urat jarang pernah memiliki riwayat gout atau hyperuricemia. Batu pada anak
terutama tediri atas asam amonium, kalsium oksalat, atau campuran tercemar asam urat dan oksalat
kalsium ammonium dengan fosfat kalsium. Pemberian air tajin (air mendidih atau pada saat menanak
beras) sebagai pengganti ASI memiliki rendah fosfor, akhirnya menyebabkan eksresi amonia tinggi.
Anak-anak juga biasanya memliki asupan tinggi sayuran kaya oksalat (meningkatkan kristaluria oksalat)
dan protein hewani (sitrat diet rendah). Dengan terbentuknya batu di dalam kandung kemih, masalah
akan tergantung pada besarnya batu dalam menyumbat muara uretra. Berbagai manifestasi akan
muncul sesuai dengan derajat penyumbatan tersebut. Ketika batu menghambat dari saluran urine,
terjadi obstruksi, meningkatkan tekanan hidrostaltik. Bila nyeri mendadak terjadi secara akut dan
disertai nyeri tekan suprapubik, serta muncul mual muntah, maka klien sedang mengalami episode kolik
renal. Diare, demam, dan perasaan tidak nyaman di abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini
terjadi akibat reflex dan proksimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas, dan usus besar. Batu yang
terjebak di kandung kemih menyebabkan gelombang nyeri luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke
kepala, abdomen, dan genitalia. Klien sering merasa ingin BAK, namun hanya sedikit urine yang keluar,
dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasi batu, gejala ini disebabkan kolik ureter. Umumnya,
klien akan mengeluarkan batu yang berdiameter 0,5 sampai dengan 1cm secara spontan. Batu yang
berdiameter 1cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat dikeluarkan secara spontan
dan saluran urine membaik dan lancar. Adanya batu pada kandung kemih memberikan manifestasi pada
berbagai masalah keperawatan (Muttaqin dan Sari, 2011: 3).
Gambar 2.2 Pathway Batu Buli-buli

Sumber data: Muttaqin dan Sari (2011: 203).

2.1.5.2 Patofisiologi menurut Zaslau (2010: 133) adalah:

Obstruksi saluran keluar kandung kemih menyebabkan penurunan asupan cairan, yang akan
menghasilkan urine asam yang pekat.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Gejala khas batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi antara lain: nyeri kencing/disuria hingga stranguri,
perasaan tidak enak sewaktu kencing, dan posisi tubuh. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan
(refered pain) pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki. Pada anak seringkali
mengeluh adanya enuresis nokturna, di samping sering menarik-narik penisnya (pada anak laki-laki) atau
menggosok-gosok vulva (pada anak perempuan) (Purnomo, 2012: 100).

Pada klien dengan batu buli-buli terdapat gejala miksi yang lancar tiba-tiba terhenti dan terasa sakit
yang menjalar ke penis. Miksi yang terhenti itu dapat lancar kembali bila posisi diubah. Bila hal ini terjadi
pada anak-anak, mereka akan berguling-guling dan menarik-narik penisnya. Bila terjadi infeksi
ditemukan tanda-tanda sistitis hingga hematuria. Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan supra
simfisis karena infeksi atau teraba masa karena retensio urin. Hanya batu yang besar yang dapat diraba
bimanual. Vesikolitiasis: disuria, hematuria kadang-kadang disertai urin keruh, pancaran urin tiba-tiba
berhenti dan keluar lagi pada perubahan posisi, polakisuria. Pada anak nyeri miksi ditandai oleh
kesakitan, menangis, menarik-narik penis, miksi mengedan sering diikuti defekasi atau prolapsus ani
(Mansjoer dkk, 2007: 490).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


2.1.7.1 Laboratorium

Urinalisis, pemeriksaan urinalisis pada klien yang terkena batu kandung kemih dilakukan secara
mikroskopis dan makrokopis. Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan untuk menilai jenis batu
dengan menilai pH, konsistensi, dan komposisi batu. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai
warna dan kejernihan dari urine. Pada klien dewasa dengan jenis batu asam urat, secara mikroskopis
lazim didapatkan pH asam, sedangkan secara makroskopis didapatkan adanya hematuria dan piuria.
Hitung jumlah sel darah lengkap pada klien dengan obstruksi dan infeksi akan didapatkan sel darah putih
(WBC) meningkat (Muttaqin dan Sari 2011: 204).

2.1.7.2 USG

Menurut Muttaqin dan Sari (2011: 204) menyatakan bahwa ultrasonigrafi, menampilkan objek
hyperechoic klasik dengan membayangi posterior, efektif dalam mengidentifikasi baik radolusen dan
batu radio-opak.

2.1.7.3 Foto Polos Abdomen

Menurut Muttaqin dan Sari (2011: 204) pemeriksaan standar untuk menilai adanya batu dengan foto
polos abdomen.

Gambar 2.3 Foto Polos Abdomen

Sumber: Rihana Susilawati,2015

2.1.7.4 Intravena Pyelography (IVP)

Muttaqin dan Sari (2011: 204) mengemukakan bahwa jika kecurigaan klinis tetap tinggi dan foto polos
abdomen tidak mengungkapkan adanya batu, langkah berikutnya adalah cystography atau IVP.
Gambar 2.4 Intravena Pyelography

Sumber: Djuanda Nasution,2009

2.1.7.5 CT Scan

Menurut Muttaqin dan Sari (2011: 204) CT Scan biasanya diperoleh karena alasan lain (misalnya: sakit
perut, massa panggul, abses dicurigai), tetapi mungkin menunjukan batu kandung kemih ketika
dilakukan tanpa kontras intravena.

2.1.7.6 Sistoskopi

Sistoskopi digunakan untuk menginformasikan keberadaan batu kandung kemih dan rencana
pengobatan. Prosedur ini memungkinkan untuk visualisasi batu, ukuran, dan posisi. Selain itu,
pemeriksaan uretra, prostat, dinding kandung kemih, dan lubang saluran kemih memungkinkan untuk
dilakukan identifikasi struktur, obstruksi prostat, diverticula kandung kemih, dan tumor kandung kemih
(Muttaqin dan Sari, 2011: 204).

Gambar 2.5 Sistoskopi

Sumber: Nasution ,2009

2.1.8 Penatalaksanaan

2.1.8.1 Penatalakasanaan Medis menurut Arif Muttaqin (2008: 122) Tindakan untuk batu kandung
kemih adalah dengan memecahkan batu secara litotripsi (gambar 2.6) ataupun jika terlalu besar
memerlukan pembedahan terbuka (vesikolotomi).
Gambar 2.6 Tindakan-tindakan Batu Saluran Kemih

Sumber: Muttaqin (2008)

2.1.8.2 Pengobatan medis yang efektif berpotensi hanya untuk penghancuran batu asam urat. Kalium
sitrat (Polycitra K, Urocit K) 60 mEq/d adalah pengobatan pilihan. Intervensi bedah. Saat, ini terdapat
tiga pendekatan bedah berbeda yang digunakan untuk mengatasi batu kandung kemih tidak seperti
pentalaksanaan pada klien dengan batu ureter atau batu ginjal, intervensi ESWL pada batu kandung
kemih menunjukan dampak terapi yang rendah, tetapi pada beberapa studi menunjukan bahwa
intervensi ESWL masih dipertimbangkan untuk pengobatan batu kendung kemih (Muttaqin dan Sari
2011: 205-206).

a. Cystolitholapaxy Transurethral

Setelah alat sitoskop masuk dan memvisualisasikan batu, sumber energi yang digunakan untuk
menghancurkan batu menjadi serpihan fragmen yang kemudian secara mudah dikeluarkan dengan alat
sitoskopi. Sumber energi mekanik, ultrasonik, elektrohidrolik (sparkinduced pressure wave), lithotrite
manual, dan laser. Dengan menggunakan jenis panjang gelombang cahaya tertentu (misalnya holmium),
maka dapat menghancurkan batu (Muttaqin dan Sari 2011: 205-206).

b. Cystolitholapaxy Suprapubik Perkutan

Rute perkutan memungkinkan penggunaan lebih pendek dan diameter yang lebih besar peralatan
endoskopik (biasanya dengan lithotripter ultrasonik), yang memungkinkan fragmentasi cepat dan
evakuasi batu.

Sering kali, pendekatan transurethral dan perkutan digabungkan untuk membantu stabilisasi batu untuk
memfasilitasi irigasi puing-puing batu. Para penulis mendukung pendekatan dikombinasikan dengan
penggunaan lithotripter ultrasonik atau lithoclast pneumatic. Holmium laser juga efektif, tetapi umunya
lebih lambat, bahkan dengan serat-mikron (Muttaqin dan Sari 2011: 205-206).

c. Cystolitholapaxy Suprapubik Terbuka

Cystolitholapaxy Suprapubik Terbuka, digunakan untuk menghilangkan batu. Kelebihan cystolothotomy


suprapubik termasuk kecepatan, penghapusan beberapa batu pada satu waktu, penghapusan kalkuli
terhadap mukosa kandung kemih, dan kemampuan untuk menghilangkan batu besar yang terlalu keras
atau padat. Untuk menghilangkan fragmen secepatnya dapat digunakan teknih transurethral atau
perkutan. Kelemahan utama termasuk nyeri pascaoperasi, tinggal di rumah sakit lebih lama, dan waktu
lebih lama untuk katetrisasi kandung kemih (Muttaqin dan Sari 2011: 205-206).

2.1.8.3 Pada dasarnya penatalaksaan secara farmakologis meliputi dua aspek:

a. Menghilangkan rasa nyeri/kolik yang timbul akibat adanya batu.

b. Menangani batu yang terbentuk, yaitu dengan meluruhkan batu dan juga mencegah terbentuknya
batu lebih lanjut (atau dapat juga sebagai pencegahan/prolifilaksis) (Haryono 2013: 63).

Panduan khusus dalam menatalaksana batu saluran kemih:

a. Pasien dengan dehidrasi harus tetap mendapat asupan cairan yang adekuat.

b. Tatalaksana untuk kolik ureter adalah analgesik, yang dapat dicapai dengan pemberian opioid
(morfin sulfat) atau NSAID/obat antiinflamasi nonsteroid (ketorolak) dan obat antimuntah
(metoklopramid). Jika klien dapat mengonsumsi obat secara peroral maka dapat diberikan kombinasi
dari ketiganya (narkotik, NSAID, antimuntah).

c. Pada klien dengan kemungkinan pengeluaran batu secara spontan, dapat diberikan regimen MET
(medical expulsive therapy). Regimen ini meliputi kortikosteroid (prednisone), calcium channel blocker
(nifedipin) untuk relaksasi otot polos uretra dan alpha blocker (terazosin) atau alpha-1 selective blocker
(tamsulin) yang juga bermanfaat merelaksasikan otot polos uretra dan saluran urinari bagian bawah.
Dengan demikian, batu dapat keluar dengan mudah (85% batu yang berukuran kurang dari 3mm dapat
keluar spontan).

d. Pemberian analgesik yang dikombinasikan dengan MET dapat mempermudah pengeluaran batu,
mengurangi nyeri serta memperkecil kemungkinan operasi. Contoh regimen yang biasa digunakan
adalah sebagai berikut:

1) 2 tablet opioid oral/asetaminofen setiap 4 jam.

2) 600-800 mg ibuprofen setiap 8 jam.

3) 30 mg nifedipin (1x1 hari).

4) 0.4mg tamsulosin (1x1 hari) atau 4 mg terazosin (1x1 hari).

Pemberian regimen ini hanya dibatasi selama 10-14 hari. Apabila terapi ini gagal (batu tidak keluar)
maka klien harus dikonsultasikan lebih lanjut pada urologis (Haryono, 2013: 63).
Menurut Haryono (2013: 64), Pengangkatan batu melalui pembedahan:

a. Pielolitotomi

b. Uretolitotomi

c. Sistolitotomi

d. Lithotripsi Ultrasinic Perkutan (PUL)

2.1.8.4 Pembedahan dilakukan untuk mengeluarkan batu yang tidak mungkin diharapkan keluar
spontan, dilakukan bila fungsi ginjal masih baik. Bila fungsi ginjal buruk, dilakukan nefrektomi. Batu buli-
buli besar dapat dipecahkan dengan litotripsi. Bila batu lebih besar dari 4cm, biasanya dilakukan
vesikolitotomi (seksio alta) (Mansjoer,dkk, 2007: 490).

2.1.9 Pencegahan

2.1.9.1 Setelah batu dikeluarkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kambuh
lebih dari 50% dalam 10 tahun. Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu
yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang diperlukan adalah:

a. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urin 2-3 liter per hari.

b. Diet rendah zat/komponen pembentukan batu.

c. Aktivitas harian yang cukup.

d. Medikamentosa (Haryono, 2013: 65).

2.1.9.2 Pencegahan Batu Saluran Kemih menurut (Nursalam, 2008: 80).

a. Usahakan diueresis yang adekuat: minum air 2-3 liter per hari dapat dicapai diueresis 1,5 liter/hari.

b. Pelaksanaan diet bergantung dari jenis penyakit batu (rendah kalsium tinggi sisa asam, diet tinggi
sisa basa, dan diet rendah purin).

c. Eradikasi infeksi saluran air kemih, khususnya untuk batu struvit.


2.1.9.3 Pencegahan umum termasuk meningkatkan inhibitor endogen pembentukan batu dengan
memberikan kalium sitrat oral, jus lemon, dan mencegah diet rendah kalium. Terapi preventif yang
spesifik termasuk:

a. Infeksi yang terkait dengan batu: antibiotik profilaksis.

b. Batu urat: baik batu gout maupun batu kalsium oksalat dapat dicegah dengan alopurinol. Pada batu
oksalat, jumlah oksalat dalam diet (misalnya rubarb atau bayam) harus dikurangi.

c. Batu fosfat: urin harus diasamkan dengan klorida untuk mencegah pembentukannya.

d. Batu oksalat: meningkatkan vitamin B6 dalam diet untuk mengurangi oksalat dalam urin (Davey,
2015: 243).

General precautions including increasing endogenous inhibitors of stone formation by giving oral
potassium citrate, lemon juice, and prevent low potassium diet. Specific preventive therapies include:

a. Infections associated with the stone: antibiotic prophylaxis.

b. Batu urat: batu gout or calcium oxalate stones can be prevented by allopurinol. Batu oksalat, amount
of oxalate in the diet (example rhubarb or spinach ) should be reduced.

c. Batu fospat: Urine should be acidified with hydrochloric to prevent its formation.

d. Batu oksalat: increasing vitamin B6 in the diet to decrease oxalate in urine (Davey, 2015: 243).

2.1.10 Komplikasi

2.1.10.1 Komplikasi menurut Haryono (2013: 61) adalah jika keberadaan batu dibiarkan maka dapat
menjadi sarang kuman yang bisa menimbulkan infeksi saluran kemih, pielonefritis, yang akhirnya
merusak ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibat terparahnya.

2.1.10.2 Komplikasi menurut Mansjoer,dkk (2007: 490) adalah:

a. Hidronefrosis.

b. Pionefrosis.

c. Uremia.

d. Gagal ginjal.

2.1.11 Prognosis
Batu kandung kemih sering menimbulkan gejala rasa sakit yang hebat, tapi biasanya setelah dikeluarkan
tidak menimbulkan kerusakan permanen. Memang sering terjadi kambuh lagi, terutama bila tidak
didapatkan penyebabnya dan diobati. Prognosis tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu,
dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu makin buruk prognosisnya, letak batu
yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi (Sumardi, 2013).

2.2 Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

2.2.1.1 Pengkajian Keperawatan menurut Muttaqin dan Sari (2011: 204) adalah:

Pada anamnesis, keluhan spesifik yang umum adalah frekuensi berkemih yang meningkat, urine yang
masih menetes setelah berkemih, merasa tidak puas setelah berkemih, sering berkemih pada malam
hari, penurunan kekuatan dan ukuran pancaran urine, mengedan saat berkemih, tidak dapat berkemih
sama sekali, nyeri saat berkemih, nyeri pinggang, peningkatan suhu tubuh disertai menggigil, penurunan
fungsi seksual, serta keluhan gastrointestinal seperti nafsu makan memnurun, mual, muntah, dan
konstipasi.

Keluhan umum lainnya termasuk hematuria dan rasa sakit pada skrotum penis, perineum, dan rasa nyeri
tersebut kembali ke pinggul. Keluhan nyeri tumpul tersebut sering diperparah oleh gerakan tiba-tiba dan
olahraga. Dengan posisi telentang, atau posisi kepala di bawah lateral dapat mengurangi rasa sakit oleh
batu pada leher kandung kemih.

Pengkajian riwayat operasi panggul sebelumnya harus dicari pada semua klien, terutama bila ada bahan
sintetis ditanamkan. Pemeriksaan fisik meliputi nyeri suprapubik, kandung kemih penuh, dan kadang
teraba distensi kandung kemih jika klien berada dalam retensi urine akut. Temuan yang dimaksud
meliputi cystoceles pada wanita, stenosis stomal (jika klien telah mengalami diversi sebelum kemih), dan
defisit neurologis pada klien dengan kandung kemih neurogenik.

2.2.1.2 Pengkajian keperawatan menurut Haryono (2013: 66) adalah:

a. Aktivitas/istirahat

Kaji tentang pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah klien terpapar suhu tinggi,
keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang kronis atau adanya cedera pada medula spinalis.

b. Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan darah nadi, yang disebabkan nyeri, ansietas atau gagal ginjal.
Daerah perifer apakah teraba hangat, merah atau pucat. Eliminasi kaji adanya riwayat ISK kronis,
obstruksi sebelumnya (kalkulus). Penurunan haluaran urin, kandung kemih penuh, rasa terbakar saat
BAK. Keinginan/dorongan ingin berkemih terus, oliguria, hematuria, piuri atau perubahan pola
berkemih.

c. Makanan/cairan

Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat atau fosfat, atau
ketidakcukupan pemasukan cairan, terjadi distensi abdominal, penurunan bising usus.

d. Nyeri/kenyamanan

Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu misalnya pada panggul di
region sudut kosta vertebral dapat menyebar ke punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha,
genetalia, nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri khas
adalah nyeri akut tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi.

e. Keamanan

Kaji terhadap penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau menggigil.

f. Riwayat penyakit

Kaji adanya riwayat batu saluran kemih pada keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis,
riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme, penggunaan
antibiotika, antihipertensi, natium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium
atau vitamin.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan batu buli-buli menurut (Muttaqin dan
Sari, 2011: 207) yaitu:

2.2.2.1 Nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, trauma jaringan, edema
dan iskemia seluler, nyeri pascabedah.

2.2.2.2 Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal
dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

2.2.2.3 Risiko infeksi berhubungan dengan port de entree luka pascabedah.

2.2.2.4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah
efek sekunder dari nyeri.
2.2.2.5 Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan invasife diagnostik.

2.2.2.6 Pemenuhan informasi berhubungan dengan rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif,
perencanaan klien pulang.

2.2.3 Rencana Keperawatan

2.2.3.1 Nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, trauma jaringan,
edema dan iskemia seluler, nyeri pascabedah.

a. Kaji jenis dan tingkat nyeri klien.

Rasional: pengkajian berkelanjutan memantau meyakinkan bahwa penanganan dapat memenuhi


kebutuhan klien dalam mengurangi nyeri.

b. Minta klien untuk menggunakan sebuah skala nyeri 0-5 untuk menjelaskan tingkat nyerinya.

Rasional: untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat tentang tingkat nyeri klien.

c. Atur periode istirahat tanpa terganggu.

Rasional: tindakan ini meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan peningkatan energi, yang penting
untuk mengurangi nyeri.

d. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.

Rasional: mengurangi nyeri dan menghilangkan nyeri.

e. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik.

Rasional: menurunkan reflek spasme dapat menurunkan kolik nyeri.

2.2.3.2 Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu,
iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

a. Awasi intake dan output, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu

Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Penemuan batu
memungkinkan identifikasi tipe batu dan memengaruhi pilihan terapi.

b. Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi.

Rasional: batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf sehingga menimbulkan
sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila batu mendekati
pertemuan uretrovesikal.

c. Dorong peningkatan asupan cairan


Rasional: peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris, dan membantu lewatnya batu.

d. Observasi perubahan status mental, perilaku, atau tingkat kesadaran.

Rasional:akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektolik dapat menjadi toksis pada SSP.

e. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin).

Rasional: peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit menunjukan disfungsi ginjal.

f. Kolaborasi untuk pemberian:

1) Asetazolamid (diamox)

2) Alupurinazol (ziloprim)

Rasional: meningkatkan pH urine (alkalinitis) untuk menurunkan pembentukan batu asam. Mencegah
statis urine dan menurunkan pembentukan batu kalsium.

2.2.3.3 Risiko infeksi berhubungan dengan port de entree luka pascabedah.

a. Pantau tanda/gejala infeksi.

Rasional: tanda gejala tersebut akan memberikan tanda bahwa terjadi infeksi pada klien.

b. Ajarkan klien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih.

Rasional: mempercepat pemberian asuhan keperawatan.

c. Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi.

Rasional: faktor-faktor infeksi bisa berasal dari internal.

d. Pantau hasil laboratorium.

Rasional: perubahan hasil laboratorium menunjukan adanya tanda infeksi.

e. Minimalkan resiko infeksi klien dengan:

1) Mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan keperawatan.

Rasional: mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk mencegah penularan pathogen.

2) Gunakan sarung tangan untuk mempertahankan aseptic pada saat memberikan perawatan secara
langsung.

f. Lakukan perawatan luka pembedahan dengan memperhatikan teknik aseptik dan antiseptik.

Rasional: infeksi bisa terjadi karena prosedur tindakan dan alat yang tak steril.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik

Rasional: antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi.

2.2.3.4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah efek sekunder dari nyeri.

a. Beri kesempatan klien mendiskusikan alasan untuk tidak makan.

Rasional: untuk mengkaji penyebab gangguan makan.

b. Observasi dan catat asupan klien (cair dan padat).

Rasional: untuk mengkaji zat gizi yang dikonsumsi dan suplemen yang diperlukan.

c. Tentukan makanan kesukaan klien dan usahakan untuk mendapatkan makanan tersebut.

Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan klien.

d. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan pada waktu makan.

Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan klien.

e. Timbang berat badan klien pada jam yang sama setiap hari.

Rasional: memberikan data akurat dan pengendalian pada klien tentang makanan yang dimakan.

f. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.

Rasional: dapat menetukan diet yang sesuai dengan keadaan klien.

2.2.3.5 Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan invasife diagnostik.

a. Kurangi stessor dan usahakan menuntut klien.

Rasional: seminimal mungkin jika memungkinkan untuk menciptakan iklim yang tenang dan terapeutik.

b. Kaji pengetahuan klien mengenai situasi yang dialaminya dan beri dukungan kepada klien.

Rasional: untuk mendiskusikan alasan-alasan munculnya ansietas.

c. Berikan penjelasan yang benar pada klien tentang semua tindakan.

Rasional: untuk menghindari terlalu banyak informasi.

d. Dorong klien untuk mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam aktivitas yang ia rasa menenangkan.

Rasional: untuk membangun rasa kontrol.

e. Dukung upaya anggota keluarga untuk mengatasi perilaku kecemasan klien.


Rasional: untuk menurunkan ansietas klien.

f. Berikan kesempatan kepada klien untuk mendiskusikan perasaannya dengan orang lain yang
memiliki kesehatan yang sama.

Rasional: untuk menghilangkan keraguan dan meningkatkan dukungan.

g. Kolaborasi berikan obat sesuai yang diresepkan

Rasional: membantu klien rileks selama periode berat.

2.2.3.6 Pemenuhan informasi behubungan dengan rencana pembedahan, tindakan diagnostik


invasife, perencanaan klien pulang.

a. Tumbuhkan sikap saling percaya dan perhatian.

Rasional: untuk meningkatkan pembelajaran.

b. Negosiasi dengan klien tentang cara mengembangkan tujuan pembelajaran.

Rasional: keterlibatkan klien dalam perencanaan tujuan yang berarti mendukung kontinuitas.

c. Pilih strategi pengajaran yang tepat untuk gaya pembelajaran secara individual.

Rasional: untuk meningkatkan keefektifan pengajaran.

d. Masukkan keterampilan yang dipelajari klien ke dalam rutinitas sehari-hari selama hospitalisasi,
misalnya (klien bisa menjelaskan kembali dari pengertian, penyebab, perjalanan penyakit dan tanda
gejala penyakit batu buli-buli).

Rasional: tindakan ini memungkinkan klien mempraktikan keterampilan baru dan menerima umpan
balik.

e. Berikan nama dan nomor telepon sumber-sumber orang atau organisasi kepada klien.

Rasional: untuk menunjang kontinuitas perawatan dan tindak lanjut setelah pemulangan.

DAFTAR RUJUKAN
Davey. Patrick. 2015. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Data Penyakit RSUD Ulin Ruang Tulip IC Banjarmasin tahun 2014-2016.

Doenges, M. E., Moorhouse, M.F., dan Geissler, A.C.. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.

Gebhart, J.B. (2010). Urologic Surgery for the Gynecologist and Urogynecologist. Jakarta: Saunders.

Haryono, R. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Edisi 1. Yogyakarta: Rapha
Publishing.

Hidayat, A.A.A (2008). Pengantar Konsep Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Musika.

Judith M. Wilkinson. dan Nancy R. Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta:
EGC.

Mansjoer, A., Suprohaita., Wardhabi, W.A., & Setiowulan, W. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapis.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.

Muttaqin, A. & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, A. H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
Nanda NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction Jogjakarta.

Nursalam. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

Priharjo, R. (2006). Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Purnomo, B.B. (2012). Dasar-dasar Urologi. Edisi ketiga. Malang: CV Sagung Seto.

Safitri, A. Eds. (2015). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Sukandar, Y. E., Andrajati, R., Sigit, I. J., Adnyana, K. I., Setiadi, P. A., Kusnandar. (2008). Iso
Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.

Taylor, C. M. dan Ralph, S. S. (2012). Diagnosa Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

http://eprints.undip.ac.id/18458/1/Nur_Lina.pdf> (Diakses tanggal 28 April 2016).

http://www.depkes.go.id> (Diakses tanggal 28 April 2016).

http://id.answer.yahoo.com/question/index?qid=2009330182032AAcQraG> (Diakses tanggal 3 April


2016).

http://www.Mirzachimoey.wordpress.com> (Diakses pada tanggal 3 April 2016).


http://www.medika-islamica-ig.com> (Diakses tanggal 3 April 2016).

http://www. Riversideonline.com> (Diakses tanggal 3 April 2016).

http://www. Tipskesehatan.web.id> (Diakses tanggal 3 April 2016).

Anda mungkin juga menyukai