Anda di halaman 1dari 55

Tatalaksana Perioperative Tiroidektomi

Pasien Graves’ Disease

I. Pendahuluan
II. Tujuan Review artikel
III. Fisiologi Hormon Tiroid
III.a. Biosintesis hormone tiroid
III.b. Transpor hormone tiroid
III.c. Metabolisme hormon tiroid
III.d. Efek-efek fisiologis dari hormon tiroid
III.e. Pengaturan fungsi tiroid
III.f. Obat anti tirod
IV. Patogenesis Graves Disease
IV.a Definisi Graves disease
IV.b Patogenesis Graves disease
V. Menegakkan diagnostik dari Graves Disease
VI. Terapi Graves Disease
VII. Persiapan Preoperative
VIII. Persiapan intraoperative
a. Monitoring selama operasi
b. Managemen badai tiroid
IX. Monitoring Postoperatve
XI. Kesimpulan.
XII. Daftar Pustaka

1
I. Pendahuluan (1,2,3,4,8)

Penyakit yang berhubungan dengan kelenjar tiroid sering terjadi. Sebagai


contoh, di daerah endemik, angka kejadian goiter sekitar 15-30% dari jumlah
penduduk dewasa. Sementara itu kejadian dari graves’ disease sekitar 0,5% dari
jumlah penduduk dan menjadi penyebab terbanyak dari kasus-kasus hipertiroid
sekitar 50-80%. Sebagian besar ahli anastesi walaupun kerjanya tidak secara
langsung terlibat dalam endocrine surgery, tetapi akan sering dibutuhkan untuk
menangani pasien-pasien dengan penyakit tiroid.
Hipertiroid pada Graves’ disease akibat dari antibodi IgG disirkulasi yang
mengikat dan mengaktivasi G-protein-coupled thyrotropin receptor. Ini dapat
mengaktivasi rangsangan terhadap hipertropi dan hiperplasia follicular, serta
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, meningkatkan produksi hormon dan
fraksi triiodothyronin (T3) relative terhadap thyroxin (T4)
Graves’ disease adalah kelainan autoimmune yang dikaitkan dengan
hipertiroid, diffuse goither, ophthalmophathy dan yang jarang terjadi adalah
dermopathy. Grave’s ophtalmophathy secara klinis terjadi sekitar 30-50% dari
pasien Graves’ disease, tapi ini diditeksi lebih tinggi sekitar lebih dari 80% bila
dilakukan assessment dengan orbital imaging.
Bila dibandingkan menurut gender, Grave’ disease lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki sekitar 5:1 sampai 10:1. kejadian
tertinggi saat usia mencapai 40 sampai 60 tahun (sekitar 15% terjadi pada usia
diatas 60 tahun), meskipun penyakit ini dapat terjadi pada semua usia.
Anastesi untuk operasi tiroidektomi mungkin terjadi penyulit dari masalah
airway seperti pada kasus pembesaran kelenjar tiroid di retrosternal. Ahli anastesi
seharusnya memberikan perhatian lebih saat melakukan preoperative dalam
melakukan penilaian airway dan seharusnya melakukan persiapan lebih baik
seandainya sewaktu-waktu terjadi penyulit pada airway saat perioperative.

2
Selain masalah airway pasien dengan hipertiroid rentan terjadinya
serangan badai tiroid saat operasi maupun setelah operasi. Tingginya angka
mortalitas bila terjadi badai tiroid yaitu 25-75% mengharuskan kita lebih hati-hati
dalam melakukan managemen perioperative pasien dengan hipertiroid.

II. Tujuan Review artikel


1. Menjelaskan fisiologi dari hormon tiroid
2. Menjelaskan patogenesis dari penyakit Graves’ disease
3. Menjelaskan tatalaksana perioperative Graves’ disease dengan penyulit

II. Fisiologi Hormon Tiroid (9,10,12,)

Kelenjar gondok merupakan organ endokrin yang memuat hormon tiroid


dan digunakan di jaringan perifer. Prohormon yang inaktif ini (T 4) akan diubah
menjadi hormon yang biologik aktif (T3). Hal ini dimungkinkan karena adanya
mekanisme pengubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Tiroid merupakan satu-satunya tempat dimana hormon tiroid ini dibuat
dan biosentesis hormon ini dimulai dengan pengambilan unsur yodium dari
plasma dan selesai dengan sekresinya di darah. Koloid yang ada di kelenjar
gondok bertindak sebagai tempat penyimpanan hormon. Faal kelenjar juga diatur
oleh susunan saraf (hipofisis dan hipothalamus) dan kadar hormon darah dalam
mekanisme umpan balik.
Penyampaian hormon tiroid pada jaringan hanya mungkin lewat sistim
traspor protein yang larut dalam darah. Protein transpor plasma ini ada macam-
macam, berbeda dalam kadarnya, afinitasnya serta kecepatan disosiasinya.
Namun sebagai hasilnya lebih dari 99% hormon yang beredar ini terikat dengan
protein (sisanya bebas) namun dengan cepat dapat dilepaskan untuk dapat masuk
kedalam sel. Hanya hormon bebas yang dapat masuk kedalam sel dan
memberikan efeknya.

3
III.a. Biosintesis hormone tiroid
Dialam bebas yodium berada dalam makanan dan air sebagai ion
anorganik dan diserap hampir sempurna oleh sistim gastrointestinal dan sangat
sedikit terdapat pada tinja. Normal, kadar plasma inorganik iodide (PII) adalah
0,08-0,60 μg/dl, sedangkan angka < 0,08 μg/dl menunjukan defisiensi dan > 1
μg/dl mengisyaratkan adanya tambahan yodium eksogen. Masukan yodium sehari
ditaksir dari jumlah yodium yang dieksresikan dari urin sehari. Minimal
dibutuhkan 100-300 μg/dl yodium sehari untuk menutup kebutuhan tubuh.
Dikatakan adanya eksresi yodium <50 μg/hari merupakan indikasi adanya
defesiensi pada populasi tertentu.
Pembentukan hormon ini menempuh beberapa langkah yaitu: (1) trapping,
(2) sintesis tiroglobulin, (3) oksidasi, (4) organifikasi, (5) coupling, (6)
penimbunan, (7) deyodinasi, dan tahap (8) proteolisis dan sekresi hormon.

Gambar1. bagan metabolisme hormon tiroid:

4
Tahap trapping yodium ini merupakan transpor aktif, berhubungan dengan
Na, K, -ATPase yang sensititif terhadap quabain. Pompa yodium ini dipacu oleh
TSH, dan dihambat oleh macam-macam anion, seperti Br, At, SCN dan SeCN,
ReO4 dan Tc04. secara klinis yang penting ialah SCN, satu zat goitrogen yang
berasal dari makanan yang mengandung HCN tinggi. Disamping ini CL04,
perclorat juga berpengaruh.
Bentuk molekul tiroglobulin yang sedemikian besar membuat residu
tirosin berperan dalam hormonogenesis. Letak residu tirosin yang strategis ini
memudahkan Iodinasi maupun proses coupling. Dengan demikian setelah Iodium
anorganik masuk ke sel maka akan dioksidasi cepat oleh thyroid peroxidase
(TPO) yang membutuhkan H202 menjadi iodium aktif dan menempel pada residu
tirosin yang disumbangkan oleh protein, dalam hal ini oleh tiroglobulin. Ada bukti
bahwa H202 ini diproduksi oleh NADPH – cytocrome C reductase. Pada tahap ini
terbentuk MIT dan DIT.
Reaksi lanjutan dari TPO ialah coupling. Dengan mengikat grup
dijodofenol dari DIT donor ke residu DIT acceptor, maka terbentuk T 4 sedangkan
pemberian monojodofenol pada residu DIT acceptor akan terbentuk T3 keduanya
masih berada dalam molekul tiroglobulin, dan bertempat ditempat DIT acceptor.
Baik PTU maupun metimazol menghambat TPO dalam proses oksidasi maupun
coupling sehingga dapat digunakan dalam pengobatan secara klinis.
Baik MIT, T3 dan T4 yang terbentuk tadi masih terikat pada tiroglobulin di
koloid dan baru akan dikeluarkan apabila dibutuhkan. Folikel dirangsang oleh
TSH untuk menggambil koloid dengan cara endositosis, dimana koloid ini akan
menyatu dengan lisosome yang mengandung protease, menjadi fagolisosom.
Hasil hirolisis ini adalah bebasnya MIT, DIT, T3 serta T4 dari tiroglobulin. Kalau
proses resorbsi koloid tadi dihambat oleh : colchicine, lithium, Iodium dan
cytochalasin B, maka proses proteolisis dihambat oleh Iodium dan dirangsang
oleh TSH. Disamping oleh TSH, maka untuk mencukupi kebutuhan hormon di
perifer, sekresi hormon diatur oleh dua macam pengaturan: autoregulasi dan
regulasi ektratiroidal.

5
Kepekaan sel folikel terhadap rangsangan TSH dengan langkah
berikutnya, sangat dipengaruhi oleh kadar Iodium di plasma (PII), dan kadar
Iodium intratiroidal. Iodium dosis besar akan menekan organifikasi Iodium dan
penurunan pompa Iodium. Hal ini dikenal sebagai efek wolff-Chaikott. Dengan
dosis besar yang sama artinya toh terdapat lagi kegiatan organifikasi, disebut
sebagai escape dari wolff Chaikoff akut. Mungkin sekali sebabnya ialah menjadi
normalnya kembali kadar Iodium intratiroid karena penekanan pompa tersebut
diatas.
Sebaliknya pada defisiensi Iodium akan terjadi keadaan sebaliknya dan
produksi T3 lebih dari T4 secara proposional, yang mungkin sebagai reaksi untuk
mempertahankan eutiroid. Pengaturan ektratiroid dicapai dengan TSH, yang
dirangsang oleh TRH hipotalamus (mendapat umpan balik dari hormon tiroid).
Dopamin menghambat dan estrogen merangsang hipofisis.

III.b. Transpor hormone tiroid


Sistim penyampain hormon tiroid ke perifer melibatkan protein transpor
dari plasma yang karena perbedaan kosentrasinya, afinitasna pada hormon, dan
konstata disosianya, membedakannya dalam 3 golongan besar: TBG, TBPA dan
albumin
Fungsi carrier protein ini antara lain untuk mencegah hormon keluar dari
sirkulasi lewat air seni, sebagai reservoir hormon, dan menjaga kadar hormon
bebas untuk sel. Ikatan T3 dan T4 berbeda pada carrier protein diatas.
TBPA (disebut juga transthyretin) juga mengikat komplek RBP (retinol binding
protein) yang masing-masing molekul mengikat satu vitamin A.
Meskipun keduanya bersama-sama, tetapi tidak saling mempengarui. Produksi
TBPA 50 x lebih banyak dari TBG, tetapi 25 x lebih sedikit dari albumin. TBPA
ini sangat sensitif terhadap penyakit, malnutrisi dan sebagainya. Dengan demikian
TBPA ini dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk malnutrisi atau
protein calorie malnutrion.

6
Secara keseluruhan maka lebih dari 99% baik pada T3 maupun T4 terikat
pada carrier protein tiga diatas, dan hanya sebagaian kecil hormon ini dalam
keadaan bebas (free hormon), namun mempunyai kelebihan karena hanya hormon
bebas sajalah yang dapat masuk sel untuk melangsungkan efeknya. Perbedaan
sifat ikatan ini menyebabkan perbedaan juga dalam waktu paruhnya. Dari
cadangan T4 tubuh, 40% berada di sel, dimana 80% berada di sel hati, sedangkan
untuk T3 80% di sel dan hanya 10% berada di sel hati.
Olek karena penentuan kadar hormon total dipengarui oleh carrier protein
maka perlu diketahui beberapa obat atau keaadaan yang mempengaruinya, apakah
ini menaikan atau menurunkan TB protein, TBG khusus, atau TBPA

III.c. Metabolisme hormon tiroid


Kelenjar membuat terutama T4 (prohormon) dan sedikit T3 yang aktif.
Kira-kira 80% T3 yang terdapat di sirkulasi perifer merupakan bentukan dari T4
yang mengalami outer ring deiodenation. Dengan proses deiodenation inner ring
akan terjadi hormon 3 T3 yang inaktive (metabolit inaktif) dan selanjutnya
metabolit 3,3 T2. dengan demikian jelas bahwa aktifitas biologi hormon tiroid ini
ditentukan oleh proses deyodinasi diluar kelenjar tiroid. Proses ini dipengarui oleh
faktor-faktor yang masih belum diketaui dengan jelas.
Setidaknya dikenal 3 macam enzim yang aktif dalam proses deyodinasi
ini. Enzim ini terdapat di membran/ retikulum endoplasmik sel jaringan. Semua
reaksinya dirangsang oleh zat yang mengandung gugus SH.
T4 akan mengalami monodeyodinasi dari phenolik ring atau outer ring
disebut 5- deiodination dan terbentuklah T3 dan dari rT3 terbentuklah 3,3’- T2.
kedua ialah proses tyrosyl atau inner ring deiodination dimana T 4 akan diubah
menjadi rT3 sedang T3 menjadi 3,3’-T2. proses ini disebut sebagai 5-deiodination.
Untuk ringkasnya proses pertama disebut sebagai OrD dan proses kedua sebagai
IrD.
Dari langkah tadi dapat disimpulkan bahwa OrD merupakan activating
patway dan IrD merupakan inaktivating patway. Apabilah ada defek jaringan

7
perifer, dimana terkena hanya OrD tetapi tidak mengenai IrD, maka akan terlihat
gambaran sebagai low T3 syndrom.
Berdasarkan suseptibilitasnya terhadap efek PTU maka deyodinasi ini
dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Deyodinasi tipe I: non selektif dan mengenai kedua ring dan dihambat
kerjanya oleh PTU. Terdapat banyak di hati dan ginjal. Tetapi yang paling banyak
mungkin dikelenjar gondok sendiri. Enzim dikemas di mikrosom dan co
faktornya adalah gugus SH. Banyak bukti yang mendukung anggapan bahwa PTU
terikat dengan enzim secara kovalen.
Deyodinasi tipe II: hanya mengenai ring luar saja, dan tidak sensitif
terhadap PTU. Khusus untuk menghilangkan yodium di ring luar, yang
merupakan PTU-insentive-OrD. Jaringan yang mengandun enzim ini ditemukan
di susunan saraf pusat, hipofisis, otak, dan plasenta
Deyodinasi tipe III: hanya mengenai ring dalam saja, tak sensitif pada
PTU. Tipe I dihambat oleh PTU, tidak oleh MMI. Khusus IrD, terdapat di
plasenta terutama pada sel membran khorialis dan sel galia.
Sifat diatas sangat penting untuk dapat mengerti peristiwa yang terjadi
pada defisiensi yodium, dimana untuk perkembangan saraf pusat, bukannnya T 3
yang penting tetapi justru T4 yang beredar dalam sirkulasi. Demikian pula untuk
mengerti mangapa hampir tidak ada T3 atau T4 yang lewat plasenta meskipun
kadarnya didarah ibu cukup.

III.d. efek-efek fisiologis dari hormon tiroid (13,14,16,17)


Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal melalui peningkatan
konsumsi oxygen dan produksi panas pada beberapa jaringan tubuh. Hormon
tiroid juga memiliki efek-efek spesifik pada beberapa sistim organ tubuh. Efek-
efek ini diperbesar pada keadaan hipertiroid dan berkurang pada hipotiroid.

8
Tabel 1 . Perubahan Fungsi Sistem Organ yang Berhubungan dengan
hipertiroidis

Sistem Organ Perubahan Fungsi


Kardiovaskular Resting Tachicardia
Peningkatan Stroke Volume
Peningkatan Cardiac Output
Pulse pressure yang lebar
Aritmia
Kontraksi prematur
Atrial Fibrilasi
Gagal jantung kongestif
Disfungsi valvular
Prolaps katub mitral, insufisiensi
Pulmoner Ventilatory failure
Myopati otot-otot pernafasan
Peningkatan produksi CO2
Penurunan kapasitas vital
Hipoksemia
Peningkatan konsumsi O2
Perubahan afinitas Hb terhadap O2
Renal/Elektrolit Poliuria
Hipomagnesemia
Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
Gastro-intestinal Hipermotilitas
Hepatik Peningkatan transaminase
Kolestasis intrahepatik
Muskuloskeletal Myopati
Protein wasting
SSP Nervousness, labilitas emosi
Metabolik Peningkatan resting energy expenditure

9
Efek hormon tiroid pada sistim organ :
a. Efek pada konsumsi O2, produksi panas, dan pembentukan radikal
bebas.
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas, melalui stimulasi Na-K
ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan
dalam peningkatan kecepatan metabolisme basal (BMR) dan peningkatan
kepekaan terhadap panas pada hipertiroidesme. Hormon tiroid juga
menurunkan kadar superoxida dismutase, sehingga menimbulkan peningkatan
pembentukan radikal bebas anion superoksida.

b. Efek kardiovaskuler
T3 merangsang transkripsi rantai berat α miosin dan menghambat rantai β
miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi Ca2+ ATP ase dalam retikulum sarkoplasmik,
sehingga meningkatkan kontrasi diastolik jantung. Dengan demikian hormon
tiroid mempunyai efek inotropik maupun kronotropik terhadap jantung. Hal
ini merupakan penyebab peningkatan cardiak output dan peningkatkan nadi
yang nyata pada pasien hipertiroid.
Manifestasi kardiovaskuler dari tirotoksikosis mungkin disebabkan oleh
efek langsung hormon tiroid pada level seluler, interaksinya dengan sistim
saraf simpatetik, atau perubahan metabolisme dan sirkulasi perifer. Sebagai
contoh, exercise intolerance dan dyspnea on exertion mungkin disebabkan
ketidakmampuan untuk meningkatkan cardiak output dan akibat kelemahan
otot skeletal atau respiratorik.
Pengaruh dari T3. sebagai bentuk hormon yang aktif, terhadap fisiologi
cardiovaskuler ditunjukan dalam gambar, serta pengaruh-pengaruh pada
keadaan hipertiroid atau hipotiroid pada pengukuran hemodinamik.seperti
pada tabel dibawah ini:

10
Tabel 2, Perubahan fungsi kardiovaskuler terkait dengan penyakit
tiroid

Sudah jelas dari pengukuran baik secara invasive maupun noninvasive


pada pasien dengan penyakit tiroid dimana fungsi jantung seperti heart rete,
cardiac output, dan sistemik vaskuler resisten sangat terkait erat dengan status
tiroidnya. Telah diketahui dengan baik cara kerja hormon tiroid dalam
meningkatkan konsumsi oksigen perifer dan substrat recruitment, sehingga
menyebabkan peningkatan sekunder pada kontraktilitas jantung, hormon tiroid
juga menyebabkan kontraksi jantung meningkat secara langsung. T3
menurunkan sistemik vascular resisten melalui dilatasi resistance arteriole
pada sirkulasi perifer. Vasodilatasi disebabkan pengaruh langsung dari T3 pada
sel-sel otot polos pembuluh darah yang mengalami relaksasi.
Hormon tiroid meningkatkan volume darah. Sebagi hasil dari penurunan
resistensi vaskular sistemik, efektivitas pengisian arteri turun, menyebabkan
meningkatnya pelepasan renin dan mengaktifasi jalur angiotensin –
aldosteron. Hal ini mestimulasi renal-sodium reabsorption, menyebabkan
peningkatan volume plasma. Hormon tiroid juga merangsang sekresi

11
erythropoitin. Kombinasi efek-efek ini adalah penigkatan volume darah dan
preload, dimana hal ini dapat meningkatkan cardiac output.

Gambar 2, pengaruh hormon tiroid terhadap hemodinamik dan


cardiovascular

Tabel 3. Manifestasi kardiovaskuler pada hipertiroid

Symptoms and signs Prevalence (%)


Palpitations 85
Exercise intolerance 65
Dyspnea on exertion 50
Fatigue 50
Angina pectoris 5
Tachycardia 90
Bounding pulses 75
Wide pulse pressure 75
Hyperactive precordium 75
Systolic murmurs 50
Systolic hypertension 30
Atrial fibrillation 15

12
Efek pada Fungsi Ventrikuler
Pada awalnya, hipertiroidisme meningkatkan kontraktilitas jantung dan
memperbaiki fungsi diastolik. Namun, dalam jangka lama, tirotoksikosis
menginduksi hipertrofi ventrikel kiri baik pada manusia ataupun hewan. Ekses
hormon tiroid dihubungkan dengan peningkatan sintesa protein jantung,
menyebabkan adanya hipotesis bahwa hal tersebut memicu terjadinya hipertrofi.
Namun, beta-blocker diketahui dapat memblok atau mengembalikan hipertrofi,
sehingga keluar dugaan bahwa peningkatan cardiac workload mungkin
disebabkan oleh mediator hipertrofi. Laporan terbaru mempercayai bahwa pada
hipertiroidisme subklinis pun mungkin sudah mempengaruhi morfologi dan
fungsi jantung

Aritmia
Sinus takikardia adalah aritmia yang paling sering terjadi pada ekses hormon
tiroid. Gangguan ritme lain yang sering ada dengan tirotoksikosis adalah
premature atrial contraction dan atrial fibrilasi. Paroxysmal atrial tachycardia
atau atrial flutter juga bisa terjadi walaupun jarang. Premature venticular
contraction dan takiaritmia ventrikel jarang terjadi.

Sinus takikardia
Takikardi pada tirotoksikosis dapat terjadi saat istirahat, selama tidur, dan selama
latihan. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa hormon tiroid mempunyai efek
langsung pada sistim konduksi, kemungkinan melalui perubahan seluler dalam
transpor kation, termasuk :
- penurunan atrial excitation threshold,
- peningkatan sinoatrial node firing,
- shortening of conduction tissue refractory time.

Atrial fibrillation

13
AF terjadi pada 5 – 15 % pasien hipertiroid. Insidens tertinggi ditemukan pada
pasien yang diketahui atau diduga menderita penyakit jantung, ataupun beresiko
menderita sakit jantung, seperti orang tua atau laki-laki. Aritmia ini mungkin
hanya merupakan manifestasi dari tirotoksikosis, jadi kadar TSH seharusnya rutin
diperiksakan pada pasien dengan atrial fibrilasi. Bila kadarnya rendah, maka
diperlukan pemeriksaan tambahan free T4 dan free T3. Salah satu laporan
menunjukkan adanya subtle hyperthyroidism pada 12 % pasien geriatri dengan
AF, yang semula diduga idiopatik. Namun, dalam suatu studi kohort dalam
jumlah besar, yang dilakukan pada pasien dengan new-onset atrial fibrillation
tanpa adanya tanda atau gejala disfungsi tiroid, prevalensi hipertiroidisme cukup
rendah (< 1%). Perlu dicatat, bahkan pada keadaan hipertiroidisme subklinis pun
terjadi peningkatan resiko AF.

Efek hemodinamik
Efek hemodinamik tirotoksikosis meliputi takikardi, systolic hypertension,
peningkatan cardiac output dan stroke volume, dan penurunan systemic vascular
resistance (SVR). Isolated systolic hypertension mungkin disebabkan karena
ketidakmampuan vasculatur untuk mengakomodasi peningkatan cardiac output
dan stroke volume. Penurunan SVR mungkin disebabkan oleh efek vasodilatasi
langsung hormon tiroid pada sel otot polos vaskuler.

14
Gambar 3. Skema yang menggambarkan perubahan hemodinamik pada
hipertiroidisme. Penurunan systemic vascular resistance adalah sentral dari
banyak konsekuensi hemodinamik yang terjadi akibat ekses hormon tiroid.
LVEDV = left ventricular end-diastolic volume, LVESV = left ventricular end-
systolic volume.

Efek Simpatetik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor beta-adrenergik dalam otot jantung,
skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Hormon ini juga menurunkan reseptor α-
adrenergik pada miokardial. Selain itu juga terjadi peningkatan kepekaan terhadap
katekolamin secara nyata pada hipertiroidisme, sehingga obat β-adrenergic
blocker sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
Banyak tanda kardiovaskuler pada tirotoksikosis yang menyerupai peningkatan
aktivitas beta-adrenergik (sinus takikardi, peningkatan kontraktilitas jantung dan
CO). Dan responsnya terhadap beta-blockers, menguatkan dugaan bahwa hal
tersebut disebabkan oleh :

15
o disfungsi metabolisme katekolamin, atau
o peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin.
Sebagai tambahan, perubahan status tiroid telah dilaporkan dapat menyebabkan
perubahan:
o reseptor beta-adrenergik myokardial,
o guanine-nucleotide regulatory proteins,
o adenyl cyclase,
o ion channel performance
Pasien dengan tirotoksikosis mempunyai kadar katekolamin plasma dan urine
yang normal dan responsnya juga normal terhadap pemberian infus katekolamin.
Lagi pula, tidak ada fakta yang pasti terhadap peningkatan densitas reseptor beta-
adrenergik pada myokardium, peningkatan turn over katekolamin pada sinaps
neural, ataupun peningkatan afinitas reseptor adrenergik terhadap katekolamin.

Efek Pulmoner
Hormon tiroid mempertahankan hipoxic dan hipercapneic drive agar tetap
normal pada pusat pernafasan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa pada
hipotiroid berat bisa terjadi hipoventilasi, yang kadang harus memerlukan
ventilasi buatan.

Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular terhadap O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoetin dan peningkatan eritropoiesis.
Namun, volume darah biasanya tidak mengalami peningkatan karena hemodilusi
dan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-
difosfogliserat eritrosit, yang memungkinkan untuk terjadi peningkatan disosiasi
O2-hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 ke jaringan. Keadaan yang
sebaliknya terjadi pada hipotiroid.

16
Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, sehingga pada hipertiroidisme
dapat menimbulkan hipermotilitas usus dan diare. Hal ini memberi andil terhadap
penurunan berat badan.

Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, dengan cara
meningkatkan resorpsi dan pembentukan tulang. Dengan demikian,
hipertiroidisme dpat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus
yang berat, bisa terjadi hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan
ekskresi hidroksiprolin dan cross-reaction pyridium.

Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein
dan hilangnya jaringan otot, atau miopati. Hal ini berkaitan dengan terjadinya
kreatinuria spontan. Kelemahan otot yang hebat mungkin terjadi, terutama pada
apathetic hyperthyroid crisis. Sindroma kelemahan otot lain telah dilaporkan,
antara lain abnormalitas upper motor neuron dengan refleks yang asimetris, dan
sudden-onset episodic thyrotoxic periodic paralysis. Rhabdomyolisis juga dapat
terjadi.
Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot.
Pada hipertiroid secara klinis tanda ini berupa hiperefleksia. Hormon tiroid
penting untuk perkembangan susunan syaraf pusat dan menjamin fungsinya tetap
normal.

Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat


Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hepar,
demikian pula dengan absorbsi glukosa usus. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya eksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan
degradasi kolesterol juga meningkat pada hipertiroidisme. Efek tersebut sebagian

17
besar disebabkan oleh adanya peningkatan reseptor low-density lipoprotein (LDL)
hepar, sehingga kadar kolesterol akan menurun dengan adanya aktivitas tiroid
yang berlebih. Lipolisis juga meningkat, sehingga terjadi pelepasan asam lemak
dan gliserol. Hal sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme.

Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan perubahan metabolik dan farmakologi dari
banyak hormon dan obat-obatan. Sebagai contoh, half-life kortisol sekitar 100
menit pada orang normal, namun menjadi sekitar 50 menit pada keadaan
hipertiroidisme. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien
hipertiroid. Pada pasien dengan fungsi adrenal normal, kadar hormon dalam
sirkulasi dapat dipertahankan normal, namun pada insufisiensi adrenal hal
tersebut tidak terjadi. Gangguan ovulasi dapat terjadi pada hipertiroidisme
maupun hipotiroidisme, sehingga dapat menimbulkan infertilitas (dapat terkoreksi
bila pasien sudah dalam keadaan eutiroid).

Efek pada Perkembangan Janin


Sistim TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin
manusia sekitar minggu ke-11. Sebelum itu, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan
123
I. Hal ini disebabkan tingginya deiodinase-5 tipe 3, sehingga sebagian besar T 3
dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, sehingga sangat sedikit yang hormon
tiroid maternal yang masuk ke janin. Dengan demikian sebagian besar suplai
hormon tiroid janin tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah
pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid, namun
perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu tanpa hormon ini,
sehingga dapat menimbulkan terjadinya kretinisme.

18
III.e. Pengontrolan fungsi tiroid (9,10)
Hypothalamik thyrotropin releasing hormon (TRH) ditransportasi melalui
sistim the hypothalamic hypophysal portal terhadap thyrotrophs of the anterior
pituatary gland, merangsang pembentukan dan pelepasan TSH. TSH berperan
dalam meningkatkan uptake yodium di tiroid dan iodination pada thyroglobulin,
pelepasan T3 dan T4 dari kelenjar tiroid melalui peningkatan hydrolisis
thyroglobulin, dan merangsang sel pertumbuhan tiroid. Hipersekresi dari TSH
menyebabkan pembesaran tiroid (goiter). Sirkulasi T3 menggunakan negative
feedback inhibition TRH dan pelepasan TSH.

Gambar 4. Bagan hypothalamic-pituitary-thyroid axis

Hypothalamus-hypophysis-thyroid axis. TRH yang dihasilkan hipotalamus mencapai tirotrop di


hipofisis anterior melalui sistim portal hipotalamus-hipofisis dan merangsang sintesa dan
pelepasan TSH. T3 menghambat sekresi TRH maupun TSH, di hipotalamus dan hipofisis. T 4 juga
mengalami monoiodinisasi menjadi T3 di neural dan hipofisis sebagaimana di jaringan perifer.

III.f. obat anti tiroid (12,17)

19
Obat anti tiroid merupakan molekul yang relatif sederhana yang dikenal
sebagai thionamides, yang mana berisi a sulfhydryl group dan a thiourea moiety
dalam struktur heterocyclik. Propylthiouracil (6-propil-2-thiouracil) dan
methimazole (1-methyl-2-mercaptomidazole, tapazol) adalah obat-obat yang
sudah digunakan di amerika serikat. Efek utama obat-obat tersebut menghambat
sintesis hormon tiroid dengan mempengarui tiroid peroxidase yang
memperantarai iodination dari residu tyrosin dalam thyroglobulin, dimana ini
merupakan tahap yang penting dalam pembentukan thyroxine dan triiothyronine.
Gambar 5 . Efek-efek obat anti tiroid pada sintesis dan aktivitas

hormone tiroid

20
Obat-obat ini memiliki beberapa catatan penting. Pertama,
propylthiouracil tapi bukan methimazole atau carbimazole dapat menghambat
konversi dari thyroxin menjadi triiodothyronine didalam kelaenjar tiroid dan
jaringan perifer, tapi efek ini tidak memilki arti klinis yang penting pada sebagian
besar kasus. Kedua, obat anti tiroid memiliki arti klinis yang penting karena dapat
menyebabkan immunosuppressive. Pada pasien yang mendapatkan obat anti tiroid
kosentrasi serum dari antithyrptropin reseptor antibodies menurun dengan
berjalannya waktu ( termasuk didalamnya intracellular adhesion molecule 1 dan
soluble interleukin 2 dan interleuikin 6 receptor).

Baik propylthiouracil dan methimazole keduanya diabsorbsi secara cepat


dari saluran pencernaan, kadar puncaknya didalam serum tercapai dalam 1-2 jam
setelam obat diminum. Kadar didalam serum memiliki efek anti tiroid yang
sedikit, biasanya bertahan dari 12 sampai 24 jam untuk propylthiouracil dan
mungkin lebih lama untuk methimazole. Dua obat ini berbeda dalam berikatan
dengan protein serum. Methimazole pada dasarnya bebas dalam serum,
sedangkan propylthiouracil 80-90 persen terikat oleh albumin.

Penggunaan obat anti tiroid selama hamil dan menyusui

Oleh karena kejadiannya relatif jarang, tidak ada penelitian klinik


prospektive yang membandingkan regimen obat-obatan anti tiroid. Obat-obat anti
tiroid seharusnya dimulai saat dilakukan diagnosis, oleh karena thyrotoxicosis
sendiri terdapat resiko pada ibu dan janinnya.

Propylthiouracil lebih dipilih di amerika utara dibandingkan dengan


methimazol oleh karena lebih minimal yang melewati placenta. Beberapa
penelitian terakhir menunjukan secara fakta tidak ada perbedaan fungsi tiroid saat
melahirkan antara janin yang terexpose dengan propylthiouracil dan janin yang
terexpose dengan methimazol.

Methimazole juga dilaporkan dapat menyebabkan kelainan congenital,


khususnya aplasia cutis ( lesi single atau multiple 0,5-3 cm di area vertex atau

21
occipital), kelainan ini terjadi secara spontan dengan angka kejadian 1:2000
kelahiran, tapi angka kejadian yang dikaitkan dengan methimazole tidak
diketauhi. Penggunaan methimazole juga dihubungkan dengan teratogenik
syndrome yang dikenal dengan methimazole embryopathy walaupun kejadiannya
sangat jarang. Kelainan ini berupa atresia choanal atau atresia esophagus.
Penelitian terkhir menunjukan angka kejadiannya sekitar 2:241 anak-anak pada
wanita yang terexpose dengan methimazole, dibandingkan dengan terjadinya
atresia esophagus spontan sekitar 1:2500 dan terjadinya atresia choanal spontan
sekitar 1:10.000.

Oleh karena sedikitnya ketersediaan propylthiouracil pada beberapa


negara, methimazole ( atau carbimazole) masih digunakan secara luas pada
wanita hamil, dan apabila tersedia propylthyiouracil seharusnya menjadi pilihan
terapi untuk ibu hamil. Bila terdapat reaksi alergi terhadap propylthyiouracil dapat
digantikan dengan methimazole. Menurut the Food and Drug Administration baik
propylthyiouracil maupun methimazole keduanya termasuk obat class D ( obat
dengan kejadian dan resiko yang kuat terhadap janin) karena potensial terjadinya
hipotiroid pada janin.

Ketika thyrotoxicosis sudah terkontrol, dosis obat anti tiroid seharusnya


diturunkan seminimal mungkin untuk mencegah terjadinya hipotiroid pada janin.
Jika kadar free thyroxin ibu dipertahankan pada nilai sedikit diatas normal, resiko
terjadinya hipotiroid pada janin dapat diabaikan. Walaupun jika tiroid janin
terpengaruh, kemungkinan resikonya ringan. Sekitar 30% wanita hamil dapat
menghentikan obat anti tiroid keseluruhan dan masih dalam kondisi eutiroid.

Untuk nursing mother, kedua obat dilaporkan aman. Keduanya terdapat


pada air susu ibu tapi dengan kosentrasi yang rendah (hanya 0,07% pada PTU dan
0,5% pada carbimazole yang di excresikan pada ASI ). Penelitian-penelitian klinik
menunjukan bayi yang terexpose dengan obat anti tiroid serta menyusui ASI
menunjukan fungsi tiroid dalam batas normal dan perkembangan intelektual juga

22
normal. Kedua obat tersebut diakui untuk nursing mother oleh American
Academiy of Pediatrics.

IV. Patogenesis Graves Disease (1,2,3,4,6,7)


Graves’ disease adalah penyebab utama dari hipertiroid, dan merupakan
penyakit autoimmune yang disebabkan oleh antibody, active terhadap receptor
thyroid-stimulating hormone (TSH), sehingga merangsang kelenjar tiroid untuk
mensisntesa dan mengsekresi secara berlebihan hormone tiroid. Graves’ disease
ini dapat bersifat familial dan seringkali terkait dengan kelainan autoimmune
lainnya.

IV.a Histori dari Graves disease dan operasi tiroidektomi


Graves’ disease sudah dikenal sangat lama, dari situs sejarah diketahui
bahwasanya pada masa 323 – 32 sebelum masehi ptolemies ( dinasti lagid) dari
bangsa macedonia yang menguasai peradapan yunani kuno. Pada koin dan barang
ukirannya, menggambarkan anggota keluarga dari dinasti ini terdapat gambaran
mata yang menonjol serta pembesaran pada leher.
Pada masa 500 setelah masehi, Aetius menjelaskan kasus tentang
exophthalmic goithre, tapi hal tersebut dimisalkan sebagai anurisma. Lalu pada
masa 1100 setelah masehi, Al Jurjani seorang dokter dari iran menjelaskan goiter
dengan exophthalmus pada pekerjaan dia ”thesaurus of the shah of khwarazam”
Pada tahun 1830, posthumous publikasi oleh Caleb Hillier Parry (1755-
1822) seorang dokter di inggris mencatat goiter dan exophthalmus. Dan pada
tahun 1835, Robert Graves (1796-1835) seorang dokter irlandia menentukan
bahwa tiroid adalah pusat dari penyebab terjdanya opthamopathy.
Pada tahun 1840, Carl A von Basedow (1799-1854) seorang dokter dari jerman
memberikan penjelasan yang lebih terhadap manifestasi pada mata.
Sebelum tahun 1960, Graves’ disease dikira sebagai penyakit kelenjar
pituitary dengan TSH yang terlalu banyak. Tahun 1956, long-acting thyroid
stimulator (LATS) diidentifikasi pada percobaan dengan babi. Tahun 1964 LATS

23
diketaui sebagi IgG2. dan pada 1972 Graves’ pertama kali diperkenalkan sebagai
penyakit autoimmun.
Didalam buku yang berjudul The History of Endrocrine Surgery Richard
Welbourrn menjelaskan detail awal mula operasi tiroidektomi. Pada abad 12 dan
13, sekolah Salerno di Italia yang memulai operasi tiroid. Saat itu tiroid
dilepaskan dengan menggunakan alat horrific-sounding seperti setons, besi panas,
stypics dan bubuk asphodel. Ahli bedah dari amerika William Halsted telah
mencatat hanya sekitar 8 operasi antara tahun 1596-1800 dengan menggunakan
piasau bedah. Satu dari operasi tersebut, pasiennya seorang anak perempuan 10
tahun meninggal dimeja operasi dan menyebabkan ahli bedahnya ditahan. Pada
tahun 1821, Hedenus melaporkan telah berhasil mengambil 6 goiter yang
menyebabkan penekanan pada jalan nafas dengan cara dissection dan ligasi semua
arterinya. Ada yang mengatakan operasi-operasi tersebut rawan terjadi komplikasi
dan seringkali fatal dan pada tahun 1850, the French Academy of Medicine
mengutuk operasi kelenjar tiroid. Tetapi dengan berkembangnya anastesi,
antisepsis, dan kemampuan ahli bedah mengkontrol perdarahan, menjadikan
banyak operasi tiroid mortalitasnya berkurang.
Tahun 1849, Nikolai pirogoff of St Petersburg pertamakali menggunakan
anastesi general untuk operasi tiroid. Ia menggunakan eter pada wanita umur 17
tahun dimana goiternya menyebabkan penyempitan pada trakea. Thomas Peel
Dunhill melakukan tiroidektomi pertama dengan lokal anastesi tahun 1907. ia
mengembangkan pembedahan yang efektive dan aman pada thyrotoxicosis serta
pada tahun 1911 ia mempresentasikan 230 kasus exophthalmic goithre, empat
diantaranya meninggal.catatan lain operasi tiroid juga dilakukan oleh Charles
Mayo dan George Crile.

IV.b Patogenesis Graves disease


Patogenesis dari Graves’ disease seperti yang dijelaskan di gambar.
Hipertiroid dan goiter pada graves’ disease disebabkan rangsangan kelenjar tiroid
terhadap TSH reseptor antibodi. Produksi antibodi ini utamanya didalam kelenjar
tiroid sendiri. Telah diketahui bahwa genetic clonal yang kekurangan suppressor

24
T cell mungkin bertanggung jawab terhadap produksi TSH receptor antibodi yang
tidak terkendali. Adapun faktor-faktor predisposisi terjadinya Graves’ disease
yang sudah teridentifikasi seperti yang disebutkan dalam tabel
Satu usulan hipotesis untuk patogenesis ophthalmopathy adalah respon
immune terhadap TSH receptor –like protein di jaringan connective orbita yang
mengawali pembentukan cytokine, meningkatkan produksi hydrophilic
glycosaminoglycans oleh fibroblas di orbita, menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik, volume otot extraocular, serta akumulasi cairan dan tanda-tanda klinis
ophthalmophathy.
Gambar 6. Patogenesis dari Graves’ disease dan ophtalmopathy

25
Gambar 7. Perubahan anatomi bola mata pada Graves’ ophtalmophaty

Tabel 4. Faktor-faktor predisposisi dari Graves’ disease

26
V. Menegakkan diagnostik dari Graves Disease (2,3,6)
Hipertiroid pada Graves’ disease mungkin sudah jelas, baik secara
biokimia ataupun subklinik. Semua pasien menunjukan penurunan TSH, bahkan
pada sebagian besar kasus terjadi suppresi TSH. Adanya peningkatan level free
thyroxin (FT4 ), menguatkan terjadinya hipertiroid. Bagaimanapun 10% pasien
free T3 maupun total T3 akan meningkat saat didapatlkan normal FT4 dan suppresi
TSH, kondisi ini disebut T3 toxicosis.
Direkomendasikan konfirmasi Graves’ disease dengan menggunakan
radioiodine uptake (RAIU) dimana akan meningkat dalam 24 jam, oleh karena
painless thyroiditis dan Graves’ disease dapat terjadi pada pasien yang sama
dengan waktu yang berbeda. Pengukuran level TSH receptor antibodi dapat
menggantikan keperluan penggunaan RAIU ebagai konfirmasi diagnosis Graves’
disease. Nodul-nodul tiroid pada Graves’ disease kemungkinan mengalami
malignancy dan mungkin lebih agresif jika cancerous, scan tiroid di
rekomendasikan untuk semua pasien.
Pasien yang secara scannya menyatakan defek photopenic (cold)
seharusnya dilakukan palpasi langsung atau melakukan ultrasonografi untuk
mengkonfirmasi apakah nodul tersebut ada, dan jika ya seharusnya dilanjutkan
dengan fine needle aspiration biopsi. Pada pasien yang scannya menyatakan
diffus, patchy uptake dengan autonomous (hot) dan area photopenic, adanya
peningkatan lenel receptor TSH antibodi di sirkulasi mungkin hanya terjadi untuk
graves’ disease ( yang sebelumnya goiter multinodul), berbeda dengan goiter
multinodul yang toxic, khususnya pada pasien tua. Pasien tua dengan Graves’
disease mungkin juga mengalami penurunan RAIU oleh karena sebelummya ada
goiter multinodul. Tidak adanya peningkatan RAIU pada pasien dengan gambaran
Graves’ disease mengharuskan pengeluaran sumber iodium dari luar.
Antibodi terhadap thyroglobulin dan thyroid peroxidase mungkin ada tapi
bukan sebagai diagnostik. Meskipun TSH reseptor antibodi ada pada serum semua
pasien Graves’ disease, untuk mengukurnya hanya tersedia pada beberapa tempat

27
saja. Pada sebagian besar pasien Graves’ disease dengan opthalmophati, tidak
diperlukan pemerisaksaan lainya. Meskipun pasien dengan eutiroid atau
unilateral opthalmopati, CT atau MRI menangkap gambaran orbita yang
dihubungkan sengan pembengkakan pada otot extraoculer dan peningkatan lemak
retrobulber yang dihubungkan dengan Graves’ disease.

Gambar 8 , Algoritma diagnostic Graves’ disease

28
Gambar 9. gambaran scan radioiodine pada tiroid

29
Tabel 5. Diferensial diagnosis dari hipertiroid

30
VI. Terapi Graves Disease (2,6)

Tujuan utama terapi Graves disease adalah mengontrol tanda-tanda


hipertiroid dan mengembalikan ke kondisi eutiroid. Modalitas terapi utama pada
Graves’ disease yang sering digunakan saat ini adalah: (1) perusakan kelenjar
tiroid dengan 123
I; (2) menghambat sintesa hormon tiroid dengan obat-obat anti
tiroid ; (3) operasi pengangkatan tiroid. Dahulu iodium pernah digunakan sebagai
terapi tunggal tetapi oleh karena kesembuhannya sementara dan tidak komplit
serta ada metode lain yang lebih efektif . Iodium digunakan terutama sebagai
tambahan dengan obat anti tiroid untuk menyiapkan pasien yang akan dioperasi
(surgical thyroidectomy) ketika hal tersebut dijadikan sebagai pilihan terapi.
Roentgen irradiation juga pernah digunakan sebelumnya.
Pemilihan terapi tergantung pada berbagai pertimbangan, mulai dari
keberadaan ahli bedah, kekawatiran akan bahaya dari iodium radiasi, serta
kebijakan pemerintahan terkait pemilihan terapinya. Dari ketiga modalitas terapi
tersebut semuanya memberikan kenyamanan pada 90% lebih pasien.
Gambar dibawah ini memberikan gambaran perbandingan terapi pada pasien
tirotoksikosis terhadap ketiga modal terapi diatas.

31
Tabel 6. Terapi pada Graves’ disease

Gambar 10. Perbandingan outcome terapi pada Graves’ disease.

Figure . Comparison of outcome of treatment of thyrotoxicosis by 131I


(left upper panel); 131I plus ATD + KI (right upper panel); surgery (left lower
panel); and ATD (right lower panel); over ten years follow-up. Surgery
produced the highest final percentage of euthyroidism without therapy,
followed by ATD and 133I

32
Tiroidektomi seharusnya hanya dipertimbangkan pada kondisi antara lain;
pasien memiliki goiter yang besar, terdapat tanda-tanda obstruksi, goiter retro
sternal, tiroid yang diduga malignancy, pasien intoleran terhadap obat-obat anti
tiroid, dan menolak menggunakan radioterapi, atau gagal dalam mengobatan anti
tiroid setelah trimester kedua, atau terjadi perburukan setelah radioterpi pada
pasien tiroid opthalmopati.
Kejadian terjadinya hipotiroid dihubungkan dengan besarnya tindakan
pembedahan tapi sekitar 50% dalam 25 tahun. Komplikasi dari tiroidektomi
antara lain; terjadinya hipotiroit, paralysis dari corda vocalis disebabkan
kerusakan pada nerves laryngeal recurrent, kerusakan kelenjar paratiroid, dan
lain-lain. Pasien seharusnya dikondisikan dalam keadaan eutiroid sebelum
dilakukan pembedahan untuk mengurangi resiko terjadinya badai tiroid. Pasien
juga diberikan ioudium seperti lugolisasi selama 7 -10 hari sebelum prosedur
operasi untuk mengurangi aliran darah di kelenjar tiroidnya.

VII. Persiapan Preoperative (5,7,8,14,16,18)


Pasien Graves’ disease yang akan menjalani operasi elektif dalam hal ini
operasi tiroidektomi memerlukan pemeriksaan dan penilaian preoperative yang
cukup komplek, hal ini terkait tidak hanya kelainan pada sistim organ khususnya
sistim cardiovaskuler yang disebabkan oleh kelainan endokrin, efek samping dari
obat-obat anti troid tetapi juga masalah yang berkaitan dengan managemen
airway, serta pada kasus tertentu terjadinya compression syndromes.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hipertiroid dapat mempengarui sistim
organ tubuh khususnya sistim kardiovaskuler, hal ini mengharuskan kita
mempersiapkan pasien Graves’ disease yang akan menjalani operasi elective
dalam kondisi eutiroid mengingat resiko terjadinya badai tiroid durante opearsi
maupun setelah operasi dapat dikurangi.
Pasien hipertiroid tua kadang-kadang menunjukkan gejala gagal jantung atau
angina. Beberapa faktor mungkin memberi kontribusi terhadap kegagalan jantung
pada tirotoksikosis (Gambar 4). Gagal jantung mungkin terjadi ketika perubahan
hemodinamik akibat hipertiroidisme, tidak mencukupi untuk memenuhi

33
peningkatan metabolic demands jaringan perifer atau ketika terjadi high-output
state atau takiaritmia yang menyebabkan eksaserbasi underlying coronary artery
disease. Fungsi diastolik juga mengalami penurunan karena :
- hipertrofi ventrikel kiri
- progressive ventricular stiffness,
- kegagalan ventricular filling, terutama pada saat terjadi takikardi dan AF.
Sebagai tambahan, tirotoksikosis menyebabkan peningkatan volume total darah
dan plasma, yang selanjutnya meningkatkan filling pressure. Sementara itu
penurunan SVR akibat hipertiroidisme, kadang-kadang akan menambah kapasitas
jantung secara berlebihan sehingga menyebabkan high-output failure. Namun
sering kali keadaan high-output, tachyarrhythmias, ataupun keduanya merupakan
tanda penyakit jantung koroner, dan gagal jantung yang terjadi disebabkan
iskemia tersebut.
Gambar 11. Bagaimana tirotoksikosis menyebabkan terjadinya gagal jantung

Masih terjadi perdebatan apakah perubahan hemodinamik yang diinduksi


oleh tirotoksikosis itu sendiri yang menyebabkan gagal jantung. Disfungsi
myokardial pada pasien tirotoksik juga terjadi meskipun tanpa underlying cardiac
disease, bahkan pada anak sekalipun, dan telah dilaporkan adanya perbaikan
kontraktilitas myokardial setelah mencapai euthyroidism.

34
Mengetahui efek samping dari obat anti tiroid atau obat-obat adjunct (beta
blocker agent receptor) yang dikonsumsi dalam jangka panjang mengharuskan
kita melakukan pemeriksaan klinis dan labolatoris yang tepat. Pemilihan obat-
obat anastesi disesuaikan dengan kondisi pasien serta adanya pengaruh dari efek
samping obat anti tiroid tersebut.

Tablel 7. Efek samping obat anti tiroid.

35
Problem terkait managemen airway harus menjadi perhatian serius pada
pasien dengan goiter. Selain pemeriksaan goiternya sendiri penilaian airway juga
termasuk didalamnya penilaian jarak antara gigi incisor, jarak thyromental, derajat
protrusion dari gigi bagian bawah, mobilitas kepala dan leher serta observasi dari
struktur pharing.
Laryngoscopy indirect secara rutin dilakukan untuk mendokumentasikan
disfungsi vocal cord saat preoperative. Pemeriksaan ini berguna bagi ahli anastesi
karena keperluan melakukan fibreoptic untuk melihat vocal cord, jika indirect
laryngoscopy tidak berhasil, ahli anastesi akan waspada kemungkinan kesulitan
dalam intubasi.
Foto x-ray diperlukan untuk mencari adanya penekanan dan deviasi pada
trakea serta gambaran thorak lateral digunakan untuk menunjukan penekanan
trakea pada bidang antero-posterior.

Gambar 12. X-ray menunjukan pene- Gambar 13. X-ray gambaran thorak-
kanan dan deviasi trakea sisi lateral

36
Pemeriksaan lainya tetapi tidak rutin dilakukan, hanya pada kasus tertentu.
CT scan dapat memberikan gambaran yang baik pada goiter retrosterna.

Gambar 14. CT scan goiter retrosternal


Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki keuntungan dengan memberikan
gambaran pada potongan sagital dan coronal. Gambaran coronal pada pasien ini
berindikasi bahwa hal ini tidak mungkin melihat laryng melalui direct
laryngoscopy dan intubasi dengan fiberoptik telah direncanakan

Gambar 15. MRI irisan coronal Gambar 16. MRI irisan sagital

37
Selain itu pasien yang akan menjalani operasi tiroidektomi juga kita
evaluasi apakah pasien memiliki penyakit lain yang mungkin tidak berhubungan
dengan penyakitnya tapi mempengarui tindakan operasi dalam hal ini yang
berkaitan dengan masalah airway. Gambar 17 dan 18 menunjukan pasien dengan
ukuran goiter yang tidak begitu besar tapi pergerakan ektensi lehernya terbatas.
Terbatasnya pergerakan leher tersebut mengharuskan kita lebih hati-hati dalam
memeriksa foto x-ray thoraknya dan x-ray dari cervical spine nya. Pada pasien ini
mengalami severe ankylosing spondylitis tapi intubasi relative mudah dengan
menggunakan teknik awake fiberoptik

Gambar 17. goiter dengan ukuran Gambar 18. gerak extensi leher yang
Medium terbatas

Pembesaran kelenjar tiroid kearah retrosternal dapat menyebabkan


compression syndromes. Kelenjar tiroid terbatasi di posterior oleh vertebral body,

38
di anterior oleh otot-otot dan fasia daerah leher, dan bagian superior oleh
laryngeal cartilage. Tidak ada struktur anatomi yang mencegah pembesaran tiroid
kedalam rongga thorak serta tekanan negative intrathorak selama bernafas dan
menelan. Oleh karena itu pembeasaran tiroid cenderung menyebakan pergeseran
struktur anatomi yang berdekatan.
\
Tabel 8. Commpression syndromes akibat goiter substernal

Vena.
Pergeseran yang besar pada vena cava superior tidak mungkin, karena
bagian yang substansial melekat pada pericardium. Sebagai tambahan, dinding
yang tipis pada vena cava dan vena inominata kurang tahan terhadap tekanan
daripada aortic arch atau arteri carotis. Oleh karena itu, sumbatan pada leher,
kepala, extrimitas atas yang disebabkan stenosis, occlusion, atau trombosis pada
vena mediastinum merupakan komplikasi yang paling sering pada tumor media
stinum.

39
Pembesaran tiroid substernal yang berlahan-lahan dapat asimtomatis ini
disebabkan adanya pembentukan vena colateralis. Bendungan pada muka,
cyanosis, dan distress pada saat mengankat kedua lengan ( pamberton’s sign )
dapat diindikasikan peningkatan tekanan intra torakal oleh massa substernal.
Ketika lengan diangkat, aliran darah vena dari lengan menyebabkan bendungan
pada leher, dan kepala selama pembuntuan sementara pada vena cava superior dan
kolateralnya. Oleh karenanya disarankan pemeriksaan dengan pamberton’s
manufer mungkin berguna pada pasien dengan dugaan goiter substernal.
Bagaimanapun juga, pembesaran tiroid yang terus-menerus dapat
menyebabkan simtomatis vena cava sindrom akibat dari penekanan atau
trombosis yang dikaitkan dengan penyumbatan vena sentral atau kolateranya.

Gambar 19. jalur kolateral pada vena cava sindrom

40
Trakea
Selain dari pada pembesaran massa di cervical, gejala-gejala respiratori
yang disebabkan iritasi terus-menerus pada upper airway adalah yang sering
muncul pada goiter substernal. Batuk, suara parau atau nafas yang pendek-pendek
tercatat sekitar 90% pasien yang menjalani terapi pembedahan. Penyempitan
trakea yang progesif dapat menyebabkan sesak saat aktivtas, stridor atau gagal
jantung kanan akibat dari hipoxia persisten. Bagaimapun sesak pada pasien
dengan goiter mediastinal tidak selalu akibat dari dislokasi trakea. Penyebab lain

41
tapi sangat jarang adalah decopensasi gagal jantung kanan, effusi pleura, dan
hipoperfusi pulmonary disebabkan penekanan pada arteri pulmonary.

Oesophagus
Disphagia merupakan keluhan yang sering muncul pada oesophagus
karena jaringan tiroid substernal. Angka kejadian disphagia saat pembedahan
ntelah dilaporkan sebesar 30%. Pada pemeriksaan plain foto air oesophagogram
terlihat sekitar 15% pasien seperti tanda intermittent aerophagy yang disebabkan
iritasi terus-menerus pada struktur leher oleh pembesaran tiroid. Pada penelitian
sekitar 1051 kasus dengan goiter cervical maupun substernal, 3% pasien
berkembang menjadi ’downhill’ varises oesophagus. Angka kejadian tersebut bila
dihubungkan dengan ukuran kelejar tiroid sebesar 0% dengan ukuran tiroid yang
kecil dan 12% dengan ukuran besar. Penekanan pada vena cava superior
menyebabkan bendungan pada vena tiroid inferior dan cabang-cabang lainnya.
Penekanan vena cava diantara atrium kanan dan vena azygos mungkin
menyebabkan varises oesophagus seluruhnya, karena bendungan vena dapat di
teruskan via vena hemi-azygos ke vena mediastinal oesophagus. Perdarahan
gastrointestinal mungkin juga sebagai awal timbulnya goiter substerna.

Cerebrovaskuler
Beberapa pasien dengan goiter substernal dan sebaliknya telah dilaporkan
iskemia otak yang tidak dapat dijelaskan. Hemiplegia berulang dan aphasia
selama mengextensikan leher, telah dilaporkan pada satu kasus, yang
kemungkinan besar disebabkan penekanan pada carotis oleh massa mediasinal.
Meskipun serangan transient ischemia yang berulang telah dilaporkan juga tanpa
adanya penekanan arteri.

42
Thyrocervical steal melalui peningkatan aliran darah tiroid tercatat sebagai
cerebral iskemia pada kasus ini, oleh karena semua gejala-gejala tersebut
membaik setelah dilakukan operasi pengangkatan tiroid.goiter substernal yang
besar juga dikaitkan dengan trombosis sinus sagitalis superior. Oleh karenanya
sindrom ini hanya dilaporkan pada pasien goiter Graves’ diasese, mekanisme yang
mendasarinya masih dugaan saja.

Nerves
Beberapa nerves melewati rongga thorak dan terpapar oleh kerusakan
melalui proses patologi di mediastinum. Nerves laryngeal reccurent yang paling
sering terkena sebab melewati bagian atas mediastinum sekitar arkus aorta.
Walaupun palsy corda vocalis merupakan tanda lambat dari kelainan proses
malignacy seperti carsinima tiroid, mungkin kadang-kadang disebabkan oleh
penekanan proses jinak di mediastinum seperti goiter substernal atau pembesaran
atrium kiri (ortner’s syndrome).nerves prenikus melewati kelenjar tiroid pada
rongga thorak, palsy nerves prenikus merupakan komplikasi yang jarang pada
pembesaran tiroid.

Chylothorax
Massive unilateral chylothorax tidak membaik setelah drainage tapi
membaik setelah pembedahan pengangkatan goiter substernal multipel yang besar
pada beberapa pasien. Penekanan pada vena brachiocephalic dan duktus thoracic
diperkirakan menyebabkan komplikasi yang jarang dari pembesaran kelenjar
tiroid.
VII. a Persiapan preoperative (7,13,18,14,16)
Melakukan anamnese preoperative yang cermat dan lengkap terkait
dengan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada pasien dengan Graves’
disease akan memudahkan kita melakukan antisipasi dan pencegahan terjadinya
penyulit saat durante operasi maupun paska operasi.
Selain tanda-tanda dan gejala-gejala dari hipertiroidnya kita harus mampu
melakukan penilaian terhadap airway. Penilaian airway ini tidak hanya menilai

43
keadaan jalan nafas saat ini tapi harus mampu menilai dan memprediksikan
kemungkinan penyulit saat dilakukan intubasi.

Tabel 9, Tanda dan gejala dari hipertiroid

% of %of
Symptoms pasients Sign pasiens
Anxienty 99 Tachycardia 100
Hyperhydrosis 91 Goitre 100
Heat intolerance 89 Skin change 97
Palpitation 89 Tremor 97
Fatique 88 Thyroid bruit 77
Weight loss 85 Eye signs 71
Tachycardia 82 Atrial fibrilation 10
Dyspnoea 75
Muscle weakness 70
Increased appetite 65
GI complaints 65
Eye complaints 54
Leg swelling 35

After Ingbar SH

Pada kasus-kasus dengan goiter yang besar atau goiter substernal lakukan
pemeriksa yang detail untuk mencari adanya compression syndromes. Adanya
penekanan dan deviasi pada trakea, pamberton’s sign, disphagia, perdarahan
upper gastrointestinal, thyrocervical steal syndrome, serangan iskemia otak
sementara menguatkan dugaan kita kearah pembesaran tiroid sub sternal.
Apabila akan dilakukan operasi elektive pasien harus dikondisikan dalam
keadaan eutiroid (klinis dan labolatoris normal). Mengingat resiko terjadinya

44
penyulit terjadinya badai tiroid saat operasi maupun setelah operasi lebih besar
bila pasien dalam kondisi masih hipertiroid. Direkomendasikan denyut jantung
basal kurang dari 85 x/menit.
Pemberian obat-obat anti tiroid membutuhkan waktu yang relative lama
untuk dapat mencapai keadaan eutiroid, sebagai contoh thioureylenes
membutuhkan waktu untuk bekerja sekitar 8 hari, dan diperlukan 6-7 minggu
untuk mencapai eutiroid. Pemberian obat anti tiroid tetap dilanjutkan sampai pagi
hari menjelang operasi, mengingat obat seperti propylthiouracil dan methimazole
karena memiliki waktu paruh yang pendek.
Iodium seharusnya diberikan selama 7-10 hari sebelum jadwal operasi.
Pemberian Iodium dalam dosis besar dan dalam waktu singkat menyebabkan
hambatan sementara dari pembentukan hormone tiroid ( the wolff Chaikoff effek).
Iodium juga dapat menurunkan vaskularisasi dan hiperplasi yang disebabkan
karena overaktivitas dari kelenjar tiroid.
Pemberian yodium harus disesusikan dengan jadwal operasi, mengingat
pemberian lebih dari 14 hari menyebabkan terjadinya ‘iodide escape’ yang dapat
menyebabkan meningkatnya kembali vaskularisasi dari tiroidnya.
Selain memberikan obat-obat anti tiroid seringkali pasien juga
mendapatkan obat untuk menghambat katekolamin, diantaranya golongan beta-
adrenergik receptor blockade yaitu propanolol, propanolol telah menunjukan
kontrol yang baik terhadap manifestasi peripheral thyrotoxicosis.
Turunnya cardik output, tidak berubahnya oxygen consumption, laju
jantung yang melambat meskipun tidak menurun sampai nilai normal,
berkurangnya tremor, dan hyperhidrosis merupakan efek dari pemberian
propanolol. Pada dosis yang besar, propanolol dapat digunakan untuk
menghambat konversi T4 menjadi T3.
Propanolol mempunyai potensi sebagai myocardial depressant dan
seharusnya digunakan dengan perhatian yang lebih pada pasien dengan gagal
jantung. Ada beberapa pendapat dari anaesthesiologist untuk menghentikan
pemberian propanolol, tapi beberapa diantaranya lebih memilih untuk tidak
meneruskan obatnya selama satu hari atau lebih sebelum operasi. Half-life dari

45
propanolol sekitar 3,4 sampai 6 jam. Oleh karenya menghentikan obat dalam 24
sampai 48 jam sebelum operasi harusnya cukup untuk mengembalikan secara
penuh dari efek obat utama dan kemungkinan active metabolitnya. Dan harus
diketahui apabila withdrawal propanolol pada pasien yang tergantung pada beta
adrenergic blockade untuk mengkontol gejala-gejala cardiovaskulernya mungkin
dapat memicu terjadinya krisis tiroid atau decompensasi jantung.
Pada satu kondisi dimana keadaan eutiroid tidak tercapai atau pasien
mengalami severe thyrotoxicosis, khususnya lagi pada pasien yang mengalami
thyroiditis, penggunaan glukocotikoid dalam dosis besar sangat berguna.
Prednisolon 25 mg, dexametason 4 mg, atau hidrocortison 100 mg dapat
digunakan. Obat-obat tersebut dapat menghambat konversi dari T 4 menjadi T3,
dan meningkatkan efek obat PTU. Sebagai tambahan, pasien dengan hipertiroid
mungkin mengalami relative kekurangan adrenocorticoid. Telah diamati terjadi
hiperplasi dari kortek adrenal yang kemungkinan disebabkan oleh hipersekresi
hormone untuk mengkompensasasi selama perusakan meningkat.
Direkomendasikan pemberiaan steroid saat preoperative.

VIII. Persiapan intraoperative (7,14,16,18)


General anastesia dengan intubasi trakea serta muscle relaxan merupakan
tehnik anastesi yang sering digunakan. Laryngesl mask airway (LMA) dapat
digunakan dengan nafas spontan dan intermittent positive pressure ventilation
(IPPV) pada operasi tiroid. Teknik ini membutuhkan kerjasama yang baik antara
ahli bedah dengan ahli anastesi. Kontra indikasi penggunaan LMA salah satunya
adalah penyempitan dan atau deviasi dari trakea. Hati-hati terjadinya resiko
berpindah posisi selama pembendahan serta terjadinya laringospasme yang
disebabkan oleh karena manipulasi pembedahan.
Intubasi trakea bukan hal yang mudah pada pasien-pasien dengan
pembesaran kelenjar tiroit/ goiter, seorang anastesi seharusnya memperkirakan
kesulitan intubasi terjadi sekitar 6 % pada operasi tiroid. Telah dilaporkan
bahwasanya intubasi yang mudah tidak berkorelasi dengan luasnya abnormalitas

46
seperti yang terlihat di gambaran foto leher. Sewaktu-waktiu perhatian khusus
pada airway yang akan hilang saat dilakukan induksi anastesi, intubasi awake
dengan fiberoptik merupakan salah satu pilihan.
Pemberian premedekasi harus adequat, biasanya digunakan morfin dan
bisa ditambahkan golongan short-acting barbiturat (midazolam). Golongan
anticolinegik seringkali tidak digunakan karena mempengarui mekanisme
sweating dan memicu terjadinya tachicardi. Golongan chlorpromazine dapat
digunkan sebagai obat premedikasi menyebabkan penurunan menifestasi
autonomik tirotoxicosinya dan menurunkan basal metabolisme rate. Penurunan
konsumsi oxygen dan penghambatan efek-efek kalorinergik pada pemberian
secara parenteral. Bagaimanapun pemberian obat ini mungkin relative
kontraindikasi jika ada ketidaknormalan liver enzim, dimana seringkali terjadi
pada pasien dengan tirotoxicosis.
Induksi anastesi terbaik menggunakan golongan thiopentone (pentotal)
oleh karena obat ini memilki aktivitas anti tiroid, ini dikaitkan dengan struktur
thiocarbamat. Ketamin merupakan kontraindikasi relatif karena efek
sympathomimetiknya. Perhatian pada pasien dengan hipertiroid dapat terjadi
hipovolemi dan vasodilatasi yang kronis, sehingga rentan terjadinya hipotensi
yang berlebihan saat melakukan induksi anastesi.
Penggunann halotan masih kontroversi. Walaupun ada data yang diambil
dari penelitian hewan telah menunjukan bahwasanya hipertiroid cenderung
menyebabkan nekrosis pada hepar yang disebabkan oleh halotan. Tapi hal ini
tidak ditunjukan pada manusia.
Muscle relaxan non depol umumnya menyebabkan tachycardia (eg
pancuronium, gallamine) seharusnya dihindari. Sementara itu pemberiaan
succinylcholine baik secara infusion atau melalui i bolus intermittent mungkin
diindikasikan oleh karena obat ini tidak memerlukan reversal. Perlu hati-hati
dalam menggunakan neuromuscular blocking agents oleh karena hipertiroid
dihubungkan dengan terjadinya myopathi dan myasthenia gravis (pada Graves’
disease kejadiannya meningkat 30 kali).

47
Monitoring selama operasi (8)
Selama anestesi dan pembedahan harus dijaga supaya tidak terjadi hipoxia
dan hipocarbia, karena kedua-duanya akan menyebabkan meningkatnya sekresi
katekolamin. Pemantauan suhu dan ECG harus dilakukan terus menerus
Selama anastesi dan pembedahan harus tersedia obat-obatan untuk
mengatasi aritmianya semisal propanolol dan lidokain. Selain itu juga obat-obatan
untuk mengatasi bila terjadi badai tiroid. Disamping badai tiroid masih ada
penyulit-penyulit lain yang dapat timbul pada pembedahan tiroid yaitu terjadinya
penyumbatan jalan nafas karena terbengkoknya pipa endotrakeal atau karena
sekret, perdarahan, dan bisa terjadi hipoventilasi.

Badai Tiroid (15,19)


Badai tiroid atau krisis tiroid adalah eksaserbasi akut pada keadaan
hipertiroid yang menimbulkan pengeluaran secara mendadak hormon thyroxine
(T4), triiodothyronine (T3 ) atau kedua-duanya disirkulasi darah. Hal ini
menyebabkan manifestasi thyrotoxic yang berlebihan seperti takhicardi, febris,
agitasi, dehidrasi, shock, gagal jantung congestive, dan kematian. Sering kali
terjadi pada dengan thyrotoxicosis akibat dari Graves’ disease baik yang
menjalani pengobatan atau tidak.
Faktor-faktor pencetus terjadinya badai tiroid antara lain:
- Systemic insult ( pembedahan, trauma, miocard infark, tromboemboli paru-
Infeksi yang berat)
- Penghentian obat antitiroid
- Kelebihan Iodium ( radiocontrast dyes, amiodarone)
- Radioiodine therapy
- Penggunann pseudoephedrine dan salicylate
Diagnosis ditegakkan secara klinis. Kriteria diagnosis antara lain :
termoregulator, central nervous system, gastrointestinal, dan sistem
cardiovaskuler, sistim hepatik. Pada saat durante operasi adanya hiperpireksia
dan takhicardia merupakan pegangan bagi seorang anastesi untuk waspada
terjadinya badai tiroid.

48
Ada kriteria dari Wartofsky yang akan membantu kita dalam menegakkan
diagnosis dari badai tiroid. Kriteria tersebut dengan menggunakan score, bila
score 45 atau lebih dugaan kearah badai tiroid sangat tinggi; score 25 sampai 44
mendukung dugaan kearah badai tiroid; dan jika score dibawah 25 dugaan badai
tiroid tidak mungkin.
Tabel 10. Score Wartofsky untuk badai tiroid

Ada empat tujuan dalam penanganan terjadinya badai tiroid, diantarnya ;


mengobati beberapa penyakit dasarnya, mengurangi sekresi dan produksi hormon
tiroid, melakukan tindakan general supportive, dan meminimalkan efek metabolik
hormon tiroid. General support seperti menggantikan cairan dan menurunkan
suhu badan dengan menggunakan ice pack atau blanket pendingin. Obat-obat
yang lainya seperti pada tabel dibawah ini

Tabel 11. Obat-obat yang digunakan untuk badai tiroid

49
IX. Monitoring Postoperatve (7,5,14,16)

Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan setelah menjalani operasi


tiroidektomi terutama bila kelenjar toroidnya bermasalah, dan komplikasi ini bisa
terjadi sesaat setelah operasi sampai beberapa hari setelah operasi, antara lain :
Problem extubasi
Secara umun kejadian komplikasi respiratori saat ektubasi diruangan recovery
room lebih besar daripada saat intubasi. Komplikasi ini diantaranya: batuk,
desaturasi oxygen, laryngospasme, dan obstruksi jalan nafas.
Batuk saat ektubasi seharusnya dihindari, tapi ini sering kali dicapai, khususnya
jika pasien memliki iritasi jalan nafas karena merokok atau baru saja mengalami
infeksi pernafasan. Cara mencegahnya dengan melakukan extubasi yang relative
dalam stadiun anastesianya, pemberian narcotik intranena, dan lidocain. Lidocain
bisa diberikan intravenus atau topical.

Hematom

50
Perdarahan post operasi potesial menjadi masalah besar ketika operasi di daerah
leher, tapi dapat dihindari dengan cara haemostasis yang teliti. Anaesthetist dapat
diminta untuk mempertahankan tekanan positive intra torakal pasien selama 10
sampai 20 detik untuk menilai haemostasis sebelum luka operasi ditutup. Bila
perdarahan tersebut menyebabkan pendesakan maka mungkin diperlukan reopen
untuk mengurangi efek penekanan pada airway.
Tim anastesi seharusnya mempersiapkan lebih hati-hati saat melakukan induksi
pada pasien yang akan dilakukan reexplorasi, intubasi yang akan dilakukan
menjadi lebih sulit karena perluasan dari hematom dan penekanan airway.
Obstruksi pernafasan mungkin disebabkan oleh oedema pada laryng dan pharyng
yang disebabkan oleh sumbatan aliran vena dan limfe oleh haematoma, dari pada
penekanan langsung dari trakhea.
Early re-intubation lebih dianjurkan daripada tergesa-gesa melakukan pembukaan
pada tempat insisi adalah langkah terbaik untuk menangani komplikasi ini.

Kerusakan nerves laryngeal recurrent


Kerusakan nerves laryngeal recurrent dapat terjadi melalui beberapa, antara lain
ichemia, contusio, tarikan, entrapment dan actual transection. Kejadian paralisis
vocal cord unilateral yang sifatnya sementara sekitar 3-4%. Sedangkan parilisis
yang sifatnya permanen unilateral sekitar < 1%. Dan yang paralisis bilateral
sangat jarang sekali.
Paralisis vocal cord bilateral akan menyebabkan stridor saat dilakukan trakheal
extubasi. Re-intubasi akan diperlukan dan dipertimbangkan dilakukan
trakheostomi. Sementara paralisis vocal cord unilateral menyebabkan
incompetence pada glotis, suara serak, susah bernafas, batuk yang tidak efektive
serta terjadi aspirasi.

tracheomalacia
collapse pada trakhea setelah tiroidektomi akibat dari penekanan yang lama pada
trakhea oleh goiter yang besar dan neglected, khususnya yang terdapat di dalam
rongga torak. Penanganan dari trakheomalasia membutuhkan reintubasi segera,

51
kemungkinan dilakukan trakheostomi dan beberapa tindakan support trakheal,
sebagai contoh ceramic rings.

Laryngeal oedema
Komplikasi pada laryng saat intubasi trakheal dapat terlihat selama postoperative
saat laryngoscopy untuk mengidentifikasikan kerusakan nerves laryngeal
recurrent. Oedema dan luka traumatik dicatat sekitar 4,6% pasien.

Hipocalsemia
Kejadian hipocalsemia akan tergantung pada jenis operasi yang dilakukan.
Setelah tiroidektomi untuk goiter multinonodular dan ukurannya besar, temporary
hipocalcemia membutuhkan penggantian calcium terjadi pada 20% pasien. Ini
selalu terjadi sekitar 36 jam post operasi. Hanya sekitar 3,1% pasien yang masih
mengalami hipocalcemia permanen.

Wound complication
Infeksi pada luka operasi semestinya jarang terjadi dan dengan posisi insisi yang
benar seharusnya menghasilkan good cosmetic.

Postoperative nausea and vomiting


Pasien yang menjalani operasi tiroidektomi memiliki resiko yang tinggi terjadinya
PONV dan karenanya seringkali digunakan obat anti emetik. Ondancentron,
lorazepam dapat digunakan sebagai premedikasi, maintenance anastesi dengan
propofol, propofol dosis subhypnotic dan positive therapeutic suggestion selama
neurolept anaesthesia semua tersebut dapat mengurangi efek mual dan muntah
setelah tiroidektomi.

Postoperative pain
Pasien biasanya bisa toleransi terhadap nyeri post tiroidektomi, mereka biasanya
mengeluhkan kekakuan leher selama posisi operasi, dari pada nyeri pada tempat
insisinya.

52
XI. Kesimpulan.
1. Graves’ disease merupakan penyakit autoimmune
2. Penanganan perioperative tiroidektomi pasien Graves’ disease yang baik dapat
mengurangi morbidatas dan mortalitas
3. Diperlukan penanganan yang agresif pada serangan badai tiroid
4. Post operasi tiroidektomi memerlukan observasi yang ketat untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut .

Daftar Pustaka

1. Gregory A. Brent M.D. Graves’ Disease. N Engl J Med 2008; 358: 2594-605
2. Leslie J. De Groot, MD. Diagnosis and Treatment of Graves’ Disease. Update:
March 5, 2007

53
3. Elias S. Siraj. MD. Update on the Diagnosis and Treatment of
Hyperthyroidism. JCOM June 2008. vol 15, No 6
4. Preview of the Medifocus Guidebook on: Graves’ Disease. Updated
November 2, 2009. page 16-19
5. H.J.Anders. Compression Syndromes Caused by Substernal Goitre. Postgrad
Med J 1998 74: 327-329
6. Jody Ginsberg. Diagnosis and Management of Graves’ disease. CMAJ 2003;
168(5) 575-85
7. P. A Farling. Department of anaesthetics, royal victory hospital, thyroid
disease. British journal of anaesthesia 65 (2000)
8. Siti Chasnak Saleh ,Hipertiroid dan Anastesi: beberapa masalah penting yang
perlu diperhatikan. KONAS PERKENI Surabaya 1989
9. AR Samuel. Bunga rampai hipertiroid. Kursus endokrinologi. 1989
10. Vivien Bonert et all, the thyroid gland, chapter 65
11. Linda C. Stehling, MD. Anesthetic management of the patient with
hyperthyroidism. Anesthesiology. V 41. No 6. Dec 1974
12. David S. Cooper M.D. Antithyroid drug. N Engl J Med 2005; 352:905-17
13. Irwin klein. M.D. et all. Thyroid hormone and the cardiovascular system. N
Engl J Med, Vol 344, No 7. 2001.
14. Morgan GE, M.M., Anesthesia for Patients with Endocrine Disease. Clinical
Anesthesiology. 2002, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.741
15. Harrisons principles of internal medicine. Thyrotoxicosis and tiroid storm,

16. Peter F Dunn, Clinical anesthesia procedure of the Massachusetts general


hospital, seventh edition.2007. P 84
17. S, D.C., Metabolic and Endocrine Disorder. 9th ed. Introduction to
Anesthesia, ed. F.L.M. David E. Longnecker. 1997, Philadelphia: W.B

54
Saunders Company. 328 - 329
18. Stephen H. Helpenn MD. Anesthesia for caesarean section in patien with
uncontrolled hyperthyroidism. CAN J ANAESTH 1989/ 36:4/ pp 454-9
19. Catherine M Grimes, CRNA. MS. Intraoperative Thyroid Storm: case report.
AANA Journal. Februari 2004. Vol 72. No 1

55

Anda mungkin juga menyukai