Anda di halaman 1dari 18

REFERENSI ARTIKEL

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

Disusun Oleh:
Farah Nur Adiba G992202118
Fauzan Dimas Anggara G992202119
Firdaus Lazuardi G992202121

Periode: 22 Agustus - 16 Oktober 2022

Pembimbing:
dr.Coanna Sukmagautama, Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus
dengan judul:
Infeksi Helicobacter pylori

Hari, tanggal:
Selasa, September 2022

Disusun Oleh:
Farah Nur Adiba G992202118
Fauzan Dimas Anggara G992202119
Firdaus Lazuardi G992202121

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

dr.Coanna Sukmagautama, Sp.PD, M.Kes


BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Helicobacter pylori telah diakui sebagai salah satu infeksi bakteri kronis yang
paling umum pada manusia dan berhubungan dengan penyakit gastritis, ulkus peptikum, tukak
lambung, dan karsinoma lambung. Diperkirakan bakteri ini menginfeksi hingga 50% populasi di
seluruh dunia, dengan prevalensi yang lebih tinggi di negara berkembang. Infeksi H. pylori
biasanya didapat pada anak usia dini dan menetap tanpa pengobatan. Gambaran klinis
Helicobacter pylori berkisar dari gastritis asimtomatik hingga keganasan gastrointestinal.
Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) adalah limfoma zona marginal sel B tingkat rendah
dan Helicobacter pylori telah terdeteksi pada lebih dari 75% pasien dengan limfoma MALT.
Banyak tes untuk mendeteksi Helicobacter pylori tersedia, termasuk tes antibodi, tes urea breath
test, tes antigen tinja dan biopsi endoskopi. Eradikasi Helicobacter pylori biasanya mencegah
kembalinya ulkus dan komplikasi ulkus bahkan setelah pengobatan yang tepat seperti PPI
dihentikan. Perubahan pola resistensi dengan implikasi terapeutik, dan pengetahuan baru yang
berkaitan dengan indikasi pemberantasan patogen, manajemen medis H. pylori merupakan
proses dinamis yang membutuhkan penilaian ulang berkala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang mikroaeropilik tumbuh baik
dalam suasana lingkungan yang mengandung 02 (oksigen) 5% ; CO2 5 – 10% pada
temperatur 37ºC selama 16 – 19 hari dalam media agar basa dengan kandungan 7%
eritrosit kuda dan dengan pH 6,7 – 8 serta tahan beberapa saat dalam suasana sitotoksin
seperti ph 1,5. Kemampuan bakteri ini untuk dapat hidup dalam suasana asam ini,
sebagian disebabkan oleh aktivitas urease yang luar biasa, dimana urease dapat merubah
urea pada cairan lambung menjadi ammonia alkalin dan karbon dioksida. Bakteri ini
sering ditemukan di perut individu yang terinfeksi dan menyebabkan peradangan dan
ulserasi. Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan faktor patogen utama untuk
penyakit ulkus gastroduodenal dan karsinoma lambung, serta untuk jenis penyakit
lambung dan ekstragastrik lainnya.

Umumnya bakteri ini berkoloni pada lambung manusia sejak kanak-kanak dan
dapat bertahan seumur hidup tanpa adanya pengobatan eradikasi yang efektif. Negara
berkembang memiliki tingkat infeksi yang jauh lebih tinggi daripada negara maju, dan
hal ini diduga karena perbedaan lingkungan dan penggunaan antibiotik, terutama pada
masa kanak-kanak (Neelapu et al., 2014).

B. Etiologi
Penularan H. pylori dapat terjadi melalui rute fekal-oral, lambung-oral, oral-oral,
atau seksual. Faktor risiko utama untuk prevalensi infeksi yang lebih tinggi adalah status
sosial ekonomi yang lebih rendah (Parikh & Ahlawat, 2021). H. pylori menyebabkan
respon inflamasi dengan neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag di dalam lapisan
mukosa dan menyebabkan degenerasi dan cedera sel epitel (Narayanan et al., 2018).
Meskipun cara penularan H. pylori tidak diketahui secara pasti, diperkirakan
dapat ditularkan secara langsung dari satu orang ke orang lain atau secara tidak langsung
dari lingkungan ke manusia. Penularan dari orang ke orang dianggap sebagai cara
penularan utama, terutama di negara maju. Penularan melalui makanan dan air lebih
mungkin terjadi di negara berkembang dan H. pylori menyebar lebih cepat di daerah
dengan kondisi higienis yang buruk.
Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi prevalensi infeksi H. pylori di
masyarakat pedesaan, Goodman et al. melaporkan bahwa orang yang menjadi konsumen
sayuran mentah lebih mungkin terinfeksi. Selain itu, berenang di sungai dan sungai dan
menggunakan sungai sebagai air minum dapat meningkatkan infeksi karena kontaminasi
oleh air irigasi atau air yang tidak murni. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa penularan H. pylori berasal dari kontaminasi lingkungan ke produk makanan,
tidak ada cukup bukti untuk mengkonfirmasi informasi ini. Dapat diterima bahwa rute
transmisi interpersonal lebih sering daripada paparan lingkungan. Namun, perhatian
khusus harus diberikan pada sumber kontaminasi (air yang tidak higienis) yang dapat
menyebabkan kontaminasi melalui makanan.
Penularan dari orang ke orang diperkirakan terjadi melalui rute oral-oral, fekal-
oral, lambung-oral, atau seksual. Literatur menunjukkan bahwa H. pylori hadir dalam
plak gigi dan air liur dari individu yang terinfeksi, yang menunjukkan bahwa infeksi H.
pylori menyebar pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari yang diharapkan dan, terutama,
penularan antara anggota keluarga adalah sangat sering (Oztekin et al., 2021).

C. Epidemiologi
Infeksi H. pylori terus menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh
dunia. Tinjauan sistematis global yang dilakukan oleh Hooi et al. (2017) menunjukkan
bahwa pada tahun 2015, sekitar 4,4 miliar orang di seluruh dunia diperkirakan positif
mengidap H. Pylori. Prevalensi H. pylori pada penduduk asli Amerika Serikat dan
Australia lebih tinggi daripada populasi umum. Di Australia, perkiraan prevalensi H.
pylori yang dikumpulkan untuk populasi umum adalah 24,6%, dan ditemukan sebesar
76,0% di pedesaan Australia Barat (pada masyakart adat). Di Amerika Serikat, perkiraan
prevalensi H. pylori yang dikumpulkan untuk populasi umum adalah 35,6% dan sangat
besar yaitu 74,8% pada penduduk asli Alaska. Negara dengan beban H. pylori tertinggi
adalah Nigeria, Portugal, Estonia, Kazakhstan, dan Pakistan. Negara dengan prevalensi
H. pylori terendah adalah Swiss (Hooi et al., 2017).
Di Asia, penelitian yang diterbitkan selama setahun terakhir menunjukkan tingkat
prevalensi yang tinggi dari infeksi H. pylori mulai dari 54% hingga 76 %. Hanya satu
penelitian yang dilakukan pada individu sehat di Arab Saudi yang menunjukkan
prevalensi infeksi yang rendah yaitu sekitar 28%. Di Korea, dalam studi multisenter
nasional cross-sectional besar, lebih dari 10.000 subjek tanpa gejala tanpa riwayat
pemberantasan H. pylori terdaftar. Seroprevalensi infeksi adalah 54,4% (Eusebi, Zagari
and Bazzoli, 2014). Di Cina, survei infeksi H. pylori dilakukan pada sampel populasi
umum dari daerah dengan insiden tinggi kanker lambung. Sebanyak 5417 orang sehat
berusia antara 30 dan 69 tahun diuji dengan tes napas 13 C-urea. Prevalensi infeksi H.
pylori adalah 63,4%. Nilai tinggi serupa dilaporkan di India, Kazakhstan, dan Bhutan. Di
India, prevalensi infeksi berkisar antara 58% hingga 62% pada subjek dengan gejala
dispepsia. Di Kazakhstan, di antara kasus simtomatik dan asimtomatik, prevalensi infeksi
H. pylori adalah 76,5%. Demikian pula, di Bhutan, infeksi hadir di 73,4% kasus,
meskipun lebih rendah di ibu kota, Thimphu, daripada di daerah pedesaan, terutama
terkait dengan kondisi sanitasi. Tingkat prevalensi yang lebih tinggi dari 86% dilaporkan
dari penelitian lain di negara yang sama (Eusebi, Zagari and Bazzoli, 2014).
Prevalensi infeksi H. pylori di Indonesia pada umumnya rendah (10.1%), sesuai
dengan Malaysia dan Singapura, tetapi berbeda dengan beberapa daerah lain di Asia
Tenggara seperti Vietnam atau Thailand. Dengan demikian, epidemiologi infeksi H.
pylori dapat bervariasi antar daerah (Miftahussurur et al., 2021). Penelitian yang
dilakukan oleh Syam et al. (2015) pada Januari 2014 hingga Februari 2015, melibatkan
total 267 pasien dengan gejala dispepsia di pulau Jawa, Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan
Sumatra. Pasien berusia 50-59 memiliki tingkat infeksi H. pylori yang secara signifikan
lebih tinggi daripada kelompok berusia 30-39 tahun. Tingkat infeksi juga secara
signifikan lebih rendah di antara orang-orang yang menggunakan air ledeng sebagai
sumber air minum mereka dibandingkan dengan mereka yang minum dari sumur atau
sungai.

D. Faktor Risiko
Penelitian yang dilakukan oleh Mhaskar et al. (2013) menunjukkan bahwa
individu dalam kategori status sosial ekonomi yang lebih rendah lebih mungkin
menderita infeksi H. pylori dibandingkan dengan individu yang memiliki mobil
(indikator status sosial ekonomi yang lebih baik). Hasil penelitian ini menyoroti
hubungan antara sumber air minum dan infeksi H. pylori. Prevalensi H. pylori lebih
tinggi pada partisipan yang mengonsumsi air tanpa filter atau tanpa direbus dibandingkan
dengan partisipan yang menggunakan filter air atau merebus air sebelum dikonsumsi.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya tentang topik ini. Individu yang
makan makanan dari luar tiga kali atau lebih selama seminggu empat kali lebih mungkin
untuk memiliki Infeksi H. pylori. dibandingkan dengan individu yang hampir tidak
pernah makan di luar. Praktik higiene yang buruk dan penggunaan air yang tidak dimasak
di restoran-restoran di kota dapat berkontribusi pada penularan H. pylori. Daging telah
terbukti menjadi faktor risiko infeksi H. pylori. Demikian pula, dalam penelitian ini,
individu yang mengonsumsi daging dua kali lebih mungkin terinfeksi H. pylori
dibandingkan dengan peserta yang tidak mengonsumsi daging.
Terkait dengan jenis kelamin, sesuai dengan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk tertular infeksi H. pylori
daripada perempuan, karena laki-laki secara alami lebih aktif dan kurang higienis
daripada perempuan. Infeksi H. pylori dan kondisi sanitasi berbanding terbalik. Namun,
beberapa studi terdokumentasi tidak setuju dengan ide ini, tetapi alasannya masih belum
diketahui. Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori sangat terkait
dengan kondisi kehidupan yang buruk di masa kanak-kanak dan dengan tidak adanya
terapi antibiotik, Helicobacter pylori dapat bertahan seumur hidup di inang. Riwayat
keluarga dengan kanker lambung juga memiliki kecenderungan lebih besar terhadap
infeksi H. pylori. Beberapa studi menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit
peptik dan kanker lambung secara signifikan berhubungan dengan infeksi H. pylori
(Kouitcheu Mabeku, Noundjeu Ngamga and Leundji, 2018).
Merokok dan kecanduan tembakau juga dapat mempengaruhi terjadinya infeksi
H. pylori. Merokok jangka panjang dapat mengubah fisiologi normal saluran pencernaan
dan mempengaruhi faktor-faktor yang melindungi atau menyembuhkan lapisan, termasuk
sekresi lendir, aliran darah, dan produksi bikarbonat, yang dapat berkontribusi pada
kerentanan terhadap infeksi H. pylori (Hussain Shah et al., 2021).
E. Patofisiologi
Ada empat komponen penting yang mengarah pada pembentukan penyakit klinis
seperti gastritis dan ulkus pada infeksi H. pylori. Pertama, aktivitas urease H. pylori
memainkan peran penting dalam melawan lingkungan asam lambung. Kedua, motilitas
yang dimediasi flagela membantu bakteri H. pylori bergerak menuju sel epitel lambung
inang. Ini diikuti oleh adhesin bakteri yang berinteraksi dengan reseptor sel inang, yang
mengarah pada keberhasilan kolonisasi dan infeksi persisten. Terakhir, terdapat banyak
protein/toksin efektor yang meliputi gen A (Cag A) terkait sitotoksin dan sitotoksin A
(VacA) vacuolating yang dilepaskan oleh H. pylori yang menyebabkan kerusakan
jaringan inang. Baik peradangan akut dan kronis terlihat pada gastritis H. pylori sebagai
eosinofil, neutrofil, sel mast, dan sel dendritik dirangsang. Lapisan epitel lambung juga
mengeluarkan kemokin untuk memulai imunitas bawaan dan mengaktifkan neutrofil
yang selanjutnya merusak jaringan inang yang mengarah pada pembentukan gastritis dan
ulkus (Parikh & Ahlawat, 2021).
H. pylori mudah dibunuh dalam larutan asam klorida dengan pH di bawah 4,0.
Hal ini cukup paradoks untuk mikroorganisme yang situs utamanya adalah perut. H.
pylori terus hidup di bagian bawah lambung dengan menembus lapisan lendir lambung
melalui kontribusi bentuk spiral dan flagela. Untuk menetralkan aktivitas bakterisida
terkait pH asam terhadap H. pylori, yang dapat menjajah permukaan epitel lambung, H.
pylori menghidrolisis urea menjadi amonia dan karbon dioksida dengan enzim urease
yang dihasilkannya. Selain efek toksiknya pada sel epitel mukosa lambung, amonia yang
terbentuk meningkatkan pH mukosa. Dengan merusak lapisan pelindung mukus, yang
kaya akan fosfolipid dan lipase, dengan enzim protease bakteri, juga menunda
kemampuan difusi ion H dan meningkatkan efek merusaknya.

Diketahui bahwa H. pylori mengeluarkan sitotoksin (VacA) pembentuk vakuola


yang melekat pada epitel permukaan dengan protein adhesin dan menyebabkan
vakuolisasi. Sitotoksin pembentuk vakuola menginduksi kematian sel inang melalui
pembentukan pori dan apoptosis pada membran mitokondria. Selain VacA, cytotoxin-
associated antigen (CagA), yang dikenal sebagai oncoprotein, dikirim ke sel epitel
lambung dan mengganggu jalur vesikular dan jalur autophagy. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa antigen terkait sitotoksin mempengaruhi bentuk sel protein bakteri,
mengganggu aktivitas perakitan sel, meningkatkan motilitas sel, dan bertanggung jawab
untuk tukak lambung dan kanker.
Lipopolisakarida (LPS), ditemukan di membran luar H. pylori, adalah
imunomodulator yang efektif dalam tubuh manusia dan menyebabkan peradangan kronis
dengan memicu sistem kekebalan tubuh. LPS H. pylori dapat meniru antigen golongan
darah Lewis dan, selama infeksi, LPS dapat menghasilkan antibodi anti-Lewis patogen.
Antigen golongan darah Lewis dalam struktur glikoprotein yang ditemukan pada
permukaan epitel lambung memediasi pengikatan BabA, yang dikenal sebagai adhesin,
yang mengikat antigen golongan darah pada membran luar H. pylori, ke permukaan sel
mukosa dan lubang lambung, dan menyebabkan kerusakan jaringan (Oztekin et al.,
2021).

F. Diagnosis
Saat ini, terdapat beberapa metode yang popular untuk mendeteksi keberadaan
infeksi H.pylori. Pada dasarnya uji diagnostik yang tersedia dapat dibagi berdasarkan
apakah endoskopi dibutuhkan atau tidak :
a. Tes Diagnostik Endoskopi
- Rapid Urea Testing
Meupakan tes diagnostik yang sangat spesifik untuk H. pylori dan
digunakan untuk mendeteksi bakteri melalui endoskopi. RUT dapat
mendeteksi keberadaan H. pylori melalui aktivitas urease. Melalui
endoskopi, setelah dilakukan biopsi lambung, hasil biopsi diletakkan pada
media agar yang telah diberi larutan urea, buffer, dan indikator pH yang
sensitif. Dengan adanya H. pylori, enzim urease yang terdapat pada
bakteri ini akan memetabolisme urea menjadi amoniak dan bikarbonat
sehingga terjadi peningkatan pH yang akan dideteksi oleh indikator pH
berupa perubahan warna. Hasilnya dapat dilihat dalam waktu 1 x 24 jam
(Darnindro dan Syam, 2013).

- Histologi
Pemeriksaan histologi dari sampel biopsi memiliki peran penting
dalam diagnosis H. pylori. Pada pemeriksaan histologis ditemukan H.
pylori secara langsung, sehingga banyak yang menyatakan bahwa
pemeriksaan ini dapat dianggap sebagai baku emas. Bahan biopsi diambil
dari antrum dan korpus. Salah satu kelebihan pemeriksaan ini adalah juga
dapat mengevaluasi perubahan patologis yang berhubungan dengan
infeksi Helicobacter, seperti: tanda-tanda peradangan, atrofi, metaplasia
usus atau bahkan tanda-tanda keganasan (Darnindro dan Syam, 2013).

- Kultur

Kultur adalah salah satu metode diagnostik yang spesifik.


Pemeriksaan ini tidak hanya penting untuk menemukan bakteri
Helicobacter, tetapi juga berguna untuk menguji sensitivitas bakteri
terhadap antibiotik. Tetapi teknik kultur untuk H. pylori sulit dilakukan
dan membutuhkan biaya yang besar serta membutuhkan penanganan
sampel yang khusus (Darnindro dan Syam, 2013).

- Polymerase Chain Reaction (PCR)


PCR adalah teknik amplifikasi DNA yang menggunakan produksi
yang sangat cepat dari kopi multiple dari urutan DNA target untuk
mengidentifikasi infeksi H.pylori. Pemeriksaan ini sangat spesifik dan
mungkin lebih sensitive dibandingkan pemeriksaan lain yang berdasarkan
biopsy. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa PCR dapat mengidentifikasi
H.pylori 20% dari biopsy lambung dengan gastritis kronik, dimana dengan
histologi organisme ini tidak dapat diidentifikasi. PCR juga dapat
mengidentifikasi adanya mutasi yang dihubungkan dengan resistensi
antibiotik. Walaupun saat ini, pemeriksaan ini masih terbatas dalam lingkup
penelitian, metode ini suatu hari dapat dipakai sebagai metode rutin yang
praktis untuk uji resistensi antibiotik, penetuan tipe organism, dan uji
virulensi organisme.
b. Tes Diagnostik Non Endoskopi
- Tes Antibodi
Tes antibodi bertumpu pada deteksi antibodi IgG spesifik terhadap
H.pylori di serum atau urine. Antibodi IgG H.pylori dapat muncul rata-rata
21 hari setelah infeksi dan dapat menetap lama setelah eradikasi. Antibodi
terhadap H.pylori dapat secara kuantitatif dihitung dengan menggunakan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan teknik agglutinasi lateks
atau secara kualitatif dinilai dengan menggunakan peralatan yang lebih
sederhana (officebased kits). Keuntungan dari tes ini adalah biaya murah,
tersedia luas, dan hasil yang cepat. Sayangnya, beberapa faktor membatasi
kegunaannya dalam praktik klinis. Sebuah meta analisis yang mengevaluasi
beberapa pemeriksaan kuantitatif yang tersedia secara komersial,
menunjukkan bahwa sensitifitasnya 85% dan spesifisitasnya 79%. Dan tidak
terdapat perbedaan dari berbagai alat. Tiga alat yang berbeda yang
memeriksa secara kualitatif antibodi dari darah, dalam suatu penelitian yang
berbeda, menunjukkan sensitifitas yang bervariasi antara 76%-84% dan
spesifisitasnya 79%-90%. Sangat penting untuk diingat bahwa positive
predictive value (PPV) dari pemeriksaan antibodi sangat bergantung pada
prevalensi infeksi H.pylori pada suatu daerah. Pada akhirnya, tes antibodi
memiliki peranan yang sedikit terutama jika terdapat riwayat eradikasi,
mengingat hasilnya dapat tetap positif hingga bertahun-tahun setelah
eradikasi yang sukses.
- Urea Breath Test
UBT, seperti RUT, mengidentifikasi infeksi aktif H.pylori dari
aktifitas urease. Dengan adanya H.pylori, urea yang ditelan, dapat ditandai
dengan isotop non radioaktif atau isotop radioaktif, akan menghasilkan
CO2 yang telah bertanda, yang dapat dihitung dari udara ekspirasi.
Walaupun jumlah radiasi pada UBT lebih sedikit daripada paparan radiasi
seharihari, namun lebih disukai untuk pemeriksaan pada anak-anak dan
wanita hamil. Secara keseluruhan, kedua pemeriksaan di atas mempunyai
cara yang sama dengan sensitifitas dan spesifisitasnya melebihi 95% pada
kebanyakan penelitian. UBT juga dapat sebagai tes yang akurat pada post
pengobatan. Urease blood test, yang memeriksa karbonat yang telah
ditandai pada darah, juga dapat diandalkan untuk mendeteksi H.pylori
sebelum dan sesudah terapi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, seperti
halnya pemeriksaan RUT, sensitifitas pemeriksaan ini juga menurun pada
pemakaian obat-obatan yang dapat menurunkan aktifitas urease. Masih
kontroversial apakah H2RA mempengaruhi sensitifitas dari pemeriksaan ini,
tetapi beberapa laboratorium menganjurkan untuk menghentikan obat ini
24-48 jam sebelum pemeriksaan. Antasida tampaknya tidak mempengaruhi
pemeriksaan ini.
- Fecal Antigen Test
FAT mengidentifikasi antigen H.pylori pada feses dengan cara
enzyme immunoassaydengan menggunakan antibodi anti H.PYLORI
poliklonal. Baru-baru ini, pemeriksaan antigen H.pylori pada feses dengan
menggunakan antibodi monoklonal sedang dikembangkan. Karena
pemeriksaan ini mendeteksi antigen dari bakteri yang menggambarkan
infeksi yang sedang berlangsung, tes ini dapat digunakan untuk skrining dan
menetukan apakah telah terjadi penyembuhan setelah terapi. Suatu
systematic reviewterakhir menunjukkan karakteristik dari FAT sebelum dan
sesudah terapi. Meskipun analisa di atas menunjukkan sensitifitas dan
spesifisitas yang sangat baik pada poliklonal tes sebelum terapi, tetapi
sensitifitas dan PPV nya kurang memuaskan setelah terapi. Di sisi lain,
sensitifitas dan spesifisitas dari FAT monoclonal di atas 90% sebelum dan
sesudah terapi. Penjelasan pasti mengapa terjadi perbedaan di antara kedua
tes di atas masih kurang jelas. FAT telah disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration dan didukung oleh Maastricht 2-2000 Consensus Report
Eropa sebagai cara alternatif bagi UBT untuk Monitoring penyembuhan.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa FAT mungkin efektif dalam
mengkonfirmasi eradikasi dalam 14 hari setelah pengobatan.
G. Tatalaksana (Farmakologis dan non farmakologis)
Tujuan farmakoterapi adalah membasmi mikroorganisme, mencegah komplikasi, dan
menurunkan morbiditas. Terapi obat tiga kombinasi digunakan. Meningkatnya resistensi
terhadap antibiotik telah membuat pengobatan alternatif diperlukan. Fenomena resistensi
antibiotik sekarang diamati dengan frekuensi tertentu pada infeksi H pylori; kadang-kadang,
bahkan setelah penggunaan protokol pemberantasan yang berbeda, H pylori tidak diberantas.
Dalam kasus tersebut pengobatan dengan rifabutin dapat diindikasikan.
Resistensi antibiotik biasanya merupakan penyebab infeksi H pylori refrakter (yaitu,
infeksi persisten setelah mencoba terapi eradikasi). Tinjau secara menyeluruh paparan antibiotik
sebelumnya. Dalam pengaturan riwayat pengobatan dengan makrolida atau fluoroquinolones,
hindari rejimen berbasis klaritromisin atau levofloksasin, masing-masing, karena kemungkinan
resistensi yang lebih besar. Namun, pertimbangkan amoksisilin, tetrasiklin, dan rifabutin sebagai
terapi lanjutan pada infeksi H pylori refrakter karena resistensi terhadap antibiotik ini jarang
terjadi. Terapi tambahan, termasuk probiotik, telah diusulkan, tetapi mereka dianggap
eksperimental karena manfaatnya tetap tidak terbukti untuk mengobati infeksi H pylori refrakter.
Memulai pengobatan hanya pada pasien yang memiliki hasil tes positif untuk infeksi H
pylori. Waktu optimal pemberantasan H. pylori pada orang tanpa gejala adalah selama periode
ketika kerusakan mukosa tetap nonatrofik. Edukasi pasien dengan hati-hati tentang pentingnya
menyelesaikan resep dan tentang potensi efek samping obat. Yang penting, pertimbangkan
kemungkinan resistensi antibiotik saat memilih rejimen pengobatan. Perhatikan bahwa
pembedahan tidak diperlukan untuk pasien dengan infeksi H pylori, tetapi dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan komplikasi berat, seperti kanker.
Infeksi H. pylori biasanya diobati dengan setidaknya dua antibiotik berbeda sekaligus. Ini
membantu mencegah bakteri mengembangkan resistensi terhadap satu antibiotik tertentu.
Antibiotik yang dapat digunakan seperti Metronidazole, Tetrasiklin, Klaritromisin, dan
Amoksisilin.
Selain penggunaan antibiotik, pengobatan tambahan termasuk obat-obatan untuk
membantu menyembuhkan perut juga diperlukan, termasuk:
● Inhibitor pompa proton (PPI). Obat-obatan ini menghentikan produksi asam di
lambung. Beberapa contoh PPI adalah omeprazole, esomeprazole , lansoprazole
dan pantoprazole.
● Bismut subsalisilat. Lebih dikenal dengan nama merek Pepto-Bismol, obat ini
bekerja dengan melapisi maag dan melindunginya dari asam lambung.
● Penghambat histamin (H-2). Obat-obatan ini memblokir zat yang disebut
histamin, yang memicu produksi asam. Salah satu contohnya adalah simetidin
(Tagamet HB). H-2 blocker hanya diresepkan untuk infeksi H. pylori jika PPI
tidak dapat digunakan.
H. Edukasi
Uji klinis fase 3 pada anak-anak di Cina mendokumentasikan kemanjuran dan
keamanan vaksin H. pylori rekombinan oral. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan masa depan untuk mengurangi kejadian infeksi H. pylori, terutama di negara
berkembang. Vaksin menawarkan perlindungan terhadap infeksi H. pylori hingga 3
tahun; namun, tindak lanjut yang lebih lama diperlukan dalam kohort yang divaksinasi
bersama dengan penelitian untuk mengidentifikasi waktu pemberian dosis booster untuk
perlindungan jangka panjang terhadap infeksi H. pylori (Parikh & Ahlawat,2021)

I. Prognosis
Prognosis baik, bahkan pada pasien dengan komplikasi, seperti limfoma lambung.
Namun, prognosis menjadi buruk untuk pasien dengan kanker esofagus sel skuamosa
atau karsinoma lambung. Tingkat infeksi ulang sangat rendah (1%-2%); namun, anak-
anak dan perempuan memiliki insiden infeksi ulang yang lebih tinggi (5% -8%) (De
Francesco, 2021).
BAB III
KESIMPULAN
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang mikroaeropilik tumbuh baik
dalam suasana lingkungan yang mengandung 02 (oksigen) dan suasana asam. Infeksi
Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan faktor patogen utama untuk penyakit ulkus
gastroduodenal dan karsinoma lambung, serta untuk jenis penyakit lambung dan
ekstragastrik lainnya. Penularan H. pylori dapat terjadi melalui rute fekal-oral, lambung-
oral, oral-oral, atau seksual. Faktor risiko utama untuk prevalensi infeksi yang lebih
tinggi adalah status sosial ekonomi yang lebih rendah (Parikh & Ahlawat, 2021). Saat ini,
terdapat beberapa metode yang popular untuk mendeteksi keberadaan infeksi H.pylori
seperti Rapid urea test, histologi, kultur, PCR, serologi ELISA, urea breath test, dan
kultur tinja.
DAFTAR PUSTAKA

Darnindro, Nikko, and Ari F. Syam. "Current Diagnosis and Management of Helicobacter
Pylori." Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy,
vol. 14, no. 3, 31 Dec. 2013, pp. 165-173, doi:10.24871/1432013165-173
De Francesco V, Zullo A, Manta R, Gatta L, Fiorini G, Saracino IM, Vaira D. Helicobacter
pylori eradication following first-line treatment failure in Europe: What, how and when
chose among different standard regimens? A systematic review. Eur J Gastroenterol
Hepatol. 2021 Dec 1;33(1S Suppl 1):e66-e70. doi: 10.1097/MEG.0000000000002100.
PMID: 33741798.
Eusebi, L.H., Zagari, R.M. and Bazzoli, F. (2014) ‘Epidemiology of Helicobacter pylori
Infection’, Helicobacter, 19(S1), pp. 1–5. doi:10.1111/HEL.12165.
Hooi, J.K.Y. et al. (2017) ‘Global Prevalence of Helicobacter pylori Infection: Systematic
Review and Meta-Analysis’, Gastroenterology, 153(2), pp. 420–429.
doi:10.1053/J.GASTRO.2017.04.022.
Hussain Shah, S.R. et al. (2021) ‘Epidemiology and risk factors of Helicobacter pylori infection
in Timergara city of Pakistan: A cross-sectional study’, Clinical Epidemiology and
Global Health, 12, p. 100909. doi:10.1016/J.CEGH.2021.100909.
Kouitcheu Mabeku, L.B., Noundjeu Ngamga, M.L. and Leundji, H. (2018) ‘Potential risk factors
and prevalence of Helicobacter pylori infection among adult patients with dyspepsia
symptoms in Cameroon’, BMC Infectious Diseases, 18(1), pp. 1–11.
doi:10.1186/S12879-018-3146-1/TABLES/5.
Mhaskar, R.S. et al. (2013) ‘Assessment of Risk Factors of Helicobacter Pylori Infection and
Peptic Ulcer Disease’, Journal of Global Infectious Diseases, 5(2), p. 60.
doi:10.4103/0974-777X.112288.
Miftahussurur, M. et al. (2021) ‘Overview of Helicobacter pylori Infection in Indonesia: What
Distinguishes It from Countries with High Gastric Cancer Incidence?’, Gut and Liver,
15(5), p. 653. doi:10.5009/GNL20019.
Narayanan M, Reddy KM, Marsicano E. Peptic Ulcer Disease and Helicobacter pylori
infection. Mo Med. 2018 May-Jun;115(3):219-224. PMID: 30228726; PMCID:
PMC6140150.
Öztekin M, Yılmaz B, Ağagündüz D, Capasso R. Overview of Helicobacter pylori
Infection: Clinical Features, Treatment, and Nutritional Aspects. Diseases. 2021 Sep
23;9(4):66. doi: 10.3390/diseases9040066. PMID: 34698140; PMCID: PMC8544542.
Parikh NS, Ahlawat R. Helicobacter Pylori. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534233/
Syam, A.F. et al. (2015) ‘Risk Factors and Prevalence of Helicobacter pylori in Five Largest
Islands of Indonesia: A Preliminary Study’, PLOS ONE, 10(11), p. e0140186.
doi:10.1371/JOURNAL.PONE.0140186.

Anda mungkin juga menyukai