Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

“Seorang Laki-Laki dengan Perdarahan Subarachnoid,”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Enggar Widya Rahmawati (30101407177)

Pembimbing :
dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 15 DESEMBER – 12 JANUARI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

i
Nama : Enggar Widya Rahmawati
NIM : 30101407177
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul Laporan Kasus : Seorang Laki-laki dengan Perdarahan
Subarachnoid
Diajukan : Januari 2019
Pembimbing : dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp. Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................

Mengetahui,

Pembimbing Ketua SMF

dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp. Rad dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang Laki-laki dengan Perdarahan Subarachnoid” guna memenuhi salah
satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang periode 12 November – 8 Desember
2018.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
2. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
3. dr. Oktina Rachmi Dachlia, Sp.Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan segala pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, 31 Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6
2.1. Anatomi Otak/Encephalon .................................................................... 8
2.1.1 Lapisan Pelindung Otak .................................................................... 8
2.1.2 Bagian-bagian Otak ........................................................................... 6
2.1.3. Vaskularisasi ................................................................................... 10
2.1.4 Sistem Ventrikel Otak ..................................................................... 12
2.2. Fisiologi Otak/Encephalon ................................................................. 58
2.2.1. Definisi .............................................................................................. 5
2.2.2. Klasifikasi ......................................................................................... 5
2.2.3. Etiologi .............................................................................................. 5
2.4. Perdarahan Intraserebral ..................................................................... 53
2.4.1. Definisi ............................................................................................ 53
2.4.2. Epidemiologi ................................................................................... 53
2.4.3. Etiologi ............................................................................................ 54
2.4.4. Patofisiologi .................................................................................... 26
2.4.5. Faktor Risiko ................................................................................... 27
2.4.6. Manifestasi Klinis ........................................................................... 28
2.4.7. Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 29
2.4.8. Klasifikasi ......................................................................................... 5
2.4.9. Diagnosis ......................................................................................... 31
2.4.10. Tatalaksana...................................................................................... 33
2.5.3. Etiopatogenesis ................................................................................. 5
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 36
3.1. Identitas Penderita ....................................................................... 36
iv
3.2. Anamnesis ................................................................................... 36
3.3. Pemeriksaan Fisik........................................................................ 37
3.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding ............................................... 42
3.6. Rencana Monitoring .................................................................... 43
3.7. Penatalaksanaan ........................................................................... 44
3.8. Edukasi ........................................................................................ 44
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 47

v
BAB I
PENDAHULUAN

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga
antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).1
1. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing Medical
Education. 2012;39.

Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO


(Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi
arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.2

Perdarahan subaraknoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan


oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subaraknoid.1 Kejadian perdarahan sub-araknoid
berkisar antara 21.000 hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat.2Mortalitasnya
kurang lebih 50% pada 30 hari pertama sejak saat serangan, dan pasien yang bisa bertahan
hidup kebanyakan akan menderita defi sit neurologis yang bisa menetap.3,4 Perdarahan
subaraknoid adalah salah satu jenis patologi stroke yang sering dijumpai pada usia dekade
kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan
60 tahun untuk perempuan; lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2.1

Pada penyajian kasus ini akan dibahas mengenai perdarahan intraserebral dan
perdarahan intraventrikular dengan harapan dapat menambah informasi tentang imaging
perdarahan intraserebral dan perdarahan intraventrikular, sehingga dapat membantu
dalam mendiagnosisnya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Otak


2.1.1. Lapisan Pelindung Otak
Urutan lapisan pembungkus otak dari superfisial ke profunda:
1. Kutis
2. Subkutis
3. Gallea Aponeurotica
4. Jaringan ikat longgar
5. Cranium yang terbagi menjadi:
- Lamina externa
- Diploe
- Lamina interna
6. Cavum epidural
7. Duramater
8. Cavum subdural
9. Arachnoideamater
10. Cavum subarachnoid
11. Piamater

Gambar 1. Meninges dan sinus durae matris.5


7
Encephalon merupakan bangunan yang semisolid dan lemah sehingga perlu
mendapat perlindungan. Encephalon dibungkus beberapa membrane yang
mengapung dalam cairan dan dilindungi oleh cranium. Jaringan pelindung di
sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) adalah meninges (bentuk
tunggal: meninx).
Meninges terdiri dari tiga lapisan, yaitu: 4-5
a. Dura Mater (berasal dari kata dura=hard=keras dan mater=mother=ibu),
merupakan lapisan paling luar yang tebal, keras dan fleksibel tetapi tidak dapat
direnggangkan (unstretchable). Duramater terbagi menjadi dua lapis yaitu
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal merupakan lapisan yang
menutup cranium bagian interna. Pada sutura-sutura, lapisan endosteal
berlanjut dengan ligamentum sutura. Sedangkan lapisan meningeal adalah
lapisan duramater yang meliputi otak. Lapisan meningeal ini membentuk lima
septa ke arah dalam yang membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang
dapat berhubungan dengan bebas dan merupakan tempat-tempat bagian otak.
Fungsi dari septa ini adalah untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi
dan deselerasi otak saat digerakkan.
Kelima septa yang terbentuk dari duramater lapisan meningeal adalah:
1. Falx Cerebri
Merupakan lipatan duramater yang terletak di garis tengah antara
kedua hemisfer cerebri. Ujung anteriornya melekat pada crista galli dan
ujung posteriornya bergabung di garis tengah dengan permukaan atas
tentorium cerebelli.
2. Tentorium Cerebelli
Merupakan lipatan duramater yang membentuk atap fossa cranii
posterior. Tentorium menutupi permukaan atas cerebellum dan
menyokong lobus occipitalis.

3. Falx Cerebelli
Merupakan lipatan duramater kecil berbentuk bulan sabit yang melekat
pada protuberantia occipitalis interna dan menonjol ke depan di antara
kedua hemisfer cerebelli hingga crista galli.

8
4. Diafragma cella
Merupakan lipatan duramater kecil yag berbentuk sirkular membentuk
atap sella tursica.
5. Cavum trigeminalis Meckeli
Merupakan evaginasi duramater fossa cranii posterior ke fossa cranii
media dan membungkus ganglion trigeminale. 1-4
b. Arachnoideamater (berasal dari kata arakhe=spider), merupakan jaringan
bagian tengah yang bentuknya seperti jaring laba-Iaba. Sifatnya lembut,
berongga-rongga dan terletak di bawah lapisan durameter. Antara duramater
dan arachnoideamater dipisahkan oleh cavum subdural, yang terisi oleh selapis
cairan.2,3
c. Piamater (berasal dari kata pious=small=kecil dan mater=mother=ibu),
merupakan jaringan pelindung yang terletak pada lapisan paling bawah
(melekat erat pada otak, menutupi gyrus-gyrus dan melindungi jaringan-
jaringan saraf yang lain). Lapisan ini mengandung pembuluh darah yang
mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Piamater masuk ke atap
ventrikel membentuk plexus choroidea kemudian bergabung dengan epindema
membentuk plexus choroideus di ventrikel lateralis, ventrikel III, ventrikel IV.
Antara arachnoideamater dan piamater dipisahkan oleh cavum subarachnoid.
Cavum subarachnoid ini terisi cairan serebrospinalis (LCS) yang dihasilkan
oleh plexus choroideus ventrikel lateralis, ventrikel III, ventrikel IV. Di daerah
tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus untuk membentuk vili
arachnoidea. Kumpulan villi arachnoidea ini disebut granulationes
arachnoidea yang berfungsi sebagai tempat difusi cairan serebrospinal ke
dalam aliran darah vena.1

2.1.2. Bagian-Bagian Otak


Encephalon terdiri atas tiga subdivisi yakni:
1. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian dari encephalon yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer cerebri terdiri atas lipatan kortex berupa substansia grisea,
dibawahnya terdapat substansia alba serta kumpulan neuro profunda yang
disebut ganglia basalis. Kedua hemister cerebri dipisahkan oleh fissura

9
longitudinalis cerebri. Pada fissure ini terdapat falx cerebri. Dasar dari fissure
longitudinalis adalah corpus callosum, yang menghubungkan kedua hemisfer
cerebri.1-2
2. Batang Otak (Truncus encephali)
Batang otak dibentuk oleh medulla oblongata, pons dan mesenchepalon.
3. Cerebellum
Cerebellum terletak di fossa cranii posterior, berfungsi untuk
mengkoordinasikan semua reflex dan aktivitas otot voluntary.

Gambar 2. Pengaturan Sistema saraf pusat.i

10
Gambar 3. Encephalon; potongan horizontal.1

2.1.3. Vaskularisasi
Anatomi vaskuler otak dibagi menjadi 2 bagian: anterior (carotid
system) dan posterior (vertebrobasilar system). Perdarahan utama otak berasal
dari dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempatnya akan
berada di ruang subarachnoidea dan cabang-cabangnya akan beranastomosis
membentuk sirkulus Willisi.2

11
Gambar 4. Arteri di Encephalon; dilihat dari inferior.2

Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat tiga komponen, yaitu; arteri-
arteri ekstrakranial, arteri-arteri intrakranial berdiameter besar dan arteri-arteri
perforantes berdiameter kecil. Komponen-komponen arteri ini mempunyai struktur
dan fungsi yang berbeda, sehingga infark yang terjadi pada komponen-komponen
tersebut mempunyai etiologi yang berbeda.6
 Pembuluh darah ekstrakranial (misal, a. carotis communis) mempunyai
struktur trilaminar (tunica intima, media dan adventisia) dan berperan sebagai
pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai anatomosis
yang terbatas.
 Arteri-arteri intrakranial yang besar (misal a. serebri media) secara bermakna
mempunyai hubungan anastomosis di permukaan piameter otak dan basis
kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi khoroid. Tunica adventisia
pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah ekstrakranial, dan
mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit. Selain itu, dengan diameter
yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku daripada pembuluh
darah ekstrakranial.
 Arteri-arteri perforantes yang berdiameter kecil baik yang terletak superfisial
maupun profunda, secara dominan merupakan suatu end-artery dengan
anatomosis yang sangat terbatas, dan merupakan pembuluh darah resisten.6

12
Gambar 5. Sirkulus Willisi; dilihat dari inferior.7

Darah mengalir ke otak melalui dua arteri karotis dan dua arteri vertebralis.
Arteri carotis communis bercabang menjadi arteri karotis interna dan arteri karotis
externa setinggi tepi atas kartilago tiroidea atau setinggi vertebra cervical IV. Arteri
carotis communis dextra dicabangkan dari truncus brachiocephalica setinggi arteri
sternoclavicularis dextra. Sedangkan arteri carotis communis sinistra dicabangkan
langsung dari arcus costa. Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri
karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan
retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Arteri

13
karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer.
Arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis
bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri serebri media
memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis.6
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna
vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu
mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas
medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris dan setelah
mengeluarkan tiga kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris
berakhir sebagai sepasang cabang arteri serebri posterior. Arteri vertebralis
memberikan vaskularisasi pada batang otak dan medula spinalis atas. Arteri basilaris
memberikan vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan
vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus,
hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus koroid dan batang otak
bagian atas.6
Selain pembuluh darah arteri, terdapat pembuluh darah vena pada otak. Vena-vena
cerebri tidak mempunyai tunika muskularis, sehingga dindingnya sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena-vena tersebut muncul dari dalam otak kemudian
terletak di ruang subarachnoidea. Selanjutnya, menembus arachnoideamater dan
duramater kemudian bermuara ke sinus venosus cranii. Fungsi utama dari sinus
venosus cavum cranii adalah menerima darah dari otak melalui vena-vena cerebri dan
juga menerima cairan serebrospinal dari ruang subarachnoid melalui vili arachnoidea.
6

14
Gambar 6. Sinus Duraematris.7

2.1.1. Sistem Ventrikel Otak

Gambar 7. Ventriculi encephali; dilihat dari anterior dan lateral kiri.7

Terdapat 4 ventrikel pada otak yaitu:


1. Ventrikel lateral (ventrikel I dan ventrikel II)
Berjumlah dua, yaitu ventrikel lateral dextra dan ventrikel lateral sinistra.
Keduanya terletak didalam hemispheri telencephalon. Kedua ventrikel lateral

15
berhubungan dengan ventrikel III melalui foramen interventrikularis (foramen
Monroi). Ventrikel lateral dextra dan sinistra terdiri atas lima bagian :
a. Cornu frontale (anterior)
b. Cornu temporale (inferior)
c. Cornu occipital (posterior)
d. Corpus pars centralis
e. Atrium pars centralis
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius)
Merupakan ruangan sempit unilokuler yang terletak di linea mediana di daerah
diencephalon. Pada tepi anteroposteriornya berhubungan dengan ventriculus
lateralis kanan dan kiri melalui foramen interventrikularis (foramen Monroi). Di
sebelah posterior berhubungan dengan ventriculus quartus melalui aquaeductus
mesencephali sylvii.
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus)
Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarachnoid melalui tiga
foramen: dua foramen Luschka (aperture lateralis ventriculi tertius) dan satu
foramen Magendie (aperture medial ventriculi tertius).8
2.1. Fisiologi Otak (Serebrum)
Otak memiliki dua hemisfer yang memiliki fungsi masing-masing dimana jika
terjadi kerusakan atau gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan
darah. Gejala di atas biasanya terjadi pada serangan stroke.1,2
Berikut merupakan pembagian lobus beserta girus dan fungsinya :9

Lobus frontalis terdiri dari :

Girus presentralis  area motorik primer.

Girus frontalis superior  mengatur kesadaran diri dan koordinasi
dengan aksi sistem sensorik.

Girus frontalis media  mempertahankan perhatian dan kerja motorik.

Girus frontalis inferior (pars orbitalis, triangularis dan opercularis) 
area bicara Broca (area bicara motorik) pada pars triangularis dan
opercularis.

Lobus parietalis terdiri dari :
o Girus postsentralis  area somesthetica primer.
16
o Girus supramarginalis & angularis  daerah asosiasi umum.

Lobus temporalis terdiri dari :
o Girus temporalis superior  area Wernick (area bicara sensorik).
o Girus temporalis medius  membantu dalam proses pemahaman kata.
o Girus temporalis inferior  membantu interpretasi visual.
o Girus temporalis transversi  korteks auditorik.
o Girus parahippocampalis  korteks olfaktorius primer.
o Girus occipitotemporalis  proses informasi warna, pengenalan wajah,
tubuh dan kata.

Lobus oksipitalis (girus lingualis dan cuneus)  korteks visual primer (pada
sulcus calcarinus).

Gambar 8. Fisiologi Otak.8

Selain fungsi-fungsi tersebut di otak juga terdapat cairan serebrospinal (LCS). LCS
diproduksi terus-menerus dengan kecepatan 0,5 ml/menit dan volume total sekitar 130 ml,
hal ini dicapai dalam waktu 5 jam. LCS sebagian besar diproduksi oleh plexus choroideus
pada ventrikel lateral, tertius, quartus. Selain itu sebagian kecil LCS juga berasal dari sel
ependim yang melapisi ventrikel dan dari jaringan otak melalui ruang perivaskuler.10

17
LCS mengalir mulai dari ventrikel lateral (dextra dan sinistra) menuju ventrikel
tertius melalui foramen interventrikularis monroi. Selanjutnya LCS mengalir menuju
ventrikel quartus melalui aquaductus mecensephali sylvii. Dari ventrikel quartus melalui
foramen luschka dan foramen magendi LCS menuju ruang subarachnoid. Cairan perlahan-
lahan bergerak melalui cisterna cerebellomedularis dan cysterna pontis, lalu mengalir ke
superior melalui fissura tentorii untuk mencapai permukaan inferior cerebri, kemudian
LCS berjalan ke atas melalui aspek lateral masing-masing hemisferium cerebri. Sebagian
LCS berjalan ke inferior ke dalam ruang subarachnoid di sekeliling medulla spinalis dan
cauda equina.10

Gambar 9. Sirkulasi Cairan Serebrospinal

2.2. Stroke
Definisi
Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara
mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran
darah otak.11
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya stroke diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu
stroke hemoragik dan stroke iskemik.
a. Stroke hemoragik

18
Adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak
yang menghambat aliran darah normal dan darah merembes ke daerah
sekitarnya kemudian merusak daerah tersebut. Berdasarkan tempat terjadinya
perdarah, stroke hemoragik terbagi atas dua macam, yaitu stroke hemoragik
intra serebrum dan stroke hemoragik subaraknoid.
b. Stroke non hemoragik atau iskemik
Adalah stroke yang disebabkan oleh terjadinya penyumbatan pada arteri yang
mengarah ke otak yang mengakibatkan suplai oksigen ke otak mengalami
gangguan sehingga otak kekurangan oksigen.11

Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stroke:12
A. Trombosis
Trombosis merupakan proses pembentukan trombus dimulai dengan kerusakan
dinding endotel pembuluh darah paling sering karena aterosklerosis.
Aterosklerosis menyebabkan penumpukan lemak dan membentuk plak di dinding
pembuluh darah. Pembentukan plak yang terus menerus akan menyebabkan
obstruksi yang dapat terbentuk di dalam suatu pembuluh darah otak atau
pembuluh organ distal. Pada trombus vascular distal, bekuan dapat terlepas dan
dibawa melalui sistem arteri otak sebagai suatu embolus.
B. Emboli
Embolus yang terlepas akan ikut dalam sirkulasi dan terjadi sumbatan pada arteri
serebral yang menyebabkan stroke embolik, lebih sering terjadi pada atrial
fibrilasi kronik.
C. Hemoragik
Sebagian besar hemoragik intraserebral disebabkan oleh rupture karena
arteriosklerosis dan pembuluh darah hipertensif. Hemoragik intraserebral lebih
sering terjadi pada usia >50 tahun karena hipertensi.
D. Penyebab lain
Stroke dapat disebabkan oleh hiperkoagulasi termasuk defisiensi protein C dan S
serta gangguan pembekuan yang menyebabkan trombosis dan stroke iskemik.
Penyebab tersering adalah penyakit degenerative arterial baik arteriosklerosis pada
pembuluh darah besar maupun penyakit pembuluh darah kecil. Penyebab lain

19
yang jarang terjadi diantaranya adalah penekanan pembuluh darah serebral karena
tumor, bekuan darah yang besar, edema jaringan otak dan abses otak.

Gambar 10. Etiologi Stroke.11

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila,
sinus frontal,sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.2 Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga
di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung.1 Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang
mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi
udara.7 Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media,
ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.9
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah
ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi

20
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun.8
A. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore.6 Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8
ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.2 Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os
maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.5 Menurut
Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas yaitu premo lar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan
kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita .
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar
sinus,sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia,lagipula
drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

21
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter,
F.H., 2006).
B. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang
pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun.4
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal
dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang.3
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk.15 Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus.3 Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini.10 Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya

22
yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.7

C. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.9
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel
ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus
etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior
biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih
besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.4
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.2 Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita.1 Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.5
D. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
23
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus.5 Batas-batasnya
ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.8

2.4. Perdarahan Intraserebral


2.4.1. Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat
terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak,
ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral
hemorrhage), atau dapat terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal
ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).1
2.4.2. Epidemiologi
Insiden perdarahan intraserebral (PIS) di dunia berkisar 10 sampai 20 kasus
per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama
usia diatas 55 tahun. Tingkat mortalitas ICH pada 30 hari adalah 44%. Perdarahan
batang otak memiliki tingkat mortalitas 75% dalam 24 jam.13

2.4.3. Etiologi
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh:
1) Primer (hipertensif)
Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipertensi arterial.
Peningkatan tekanan darah patologis dapat merusak dinding pembuluh
darah arteri (mengurangi compliance), sehingga menyebabkan
24
mikroaneurisma yang dikenal sebagai Charcot Bouchard. Aneurisma ini
dapat ruptur secara spontan. Lokasi predileksi untuk perdarahan
intraserebral hipertensif adalah ganglia basalis, thalamus, nukelus serebri
dan pons. Sebaliknya, substansia alba pada serebri yang lebih dalam jarang
terkena.2
2) Sekunder
a. Cerebral Amyloid Angiopathy
Suatu perubahan vaskular yang ditandai oleh adanya deposit
amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri kecil
dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena
biasanya adalah arteri-arteri kortikal superfisial dan arteri-arteri
leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal
lobar daripada daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan
dinding arteri menjadi lemah sehingga pecah dan terjadi perdarahan
intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap
faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral
pada penderita lanjut usia.
Kelainan ini khas dengan adanya deposit fibril amiloid pada media
dan intima arteria ukuran kecil dan sedang pada otak dan leptomening
pasien lanjut usia. Perdarahan itu mungkin disebabkan karena robeknya
dinding pembuluh yang lemah atau mikroaneurisma. Angiopati amiloid
serebral tidak berhubungan dengan angiopati amiloid sistemik dan
terjadi secara sporadis, namun pengaruh keturunan pernah dilaporkan.
Berbeda dengan perdarahan hipertensif, penyakit ini mempunyai
predileksi pada lapisan superfisial dari korteks serebral, terutama pada
lobus parietal dan oksipital, dan jarang tampak pada substansi putih atau
abu-abu dalam. Perdarahan spontan berganda pada pasien lanjut usia
yang normotensif lebih mungkin karena adanya angiopati amiloid.
Perdarahan berulang dapat terjadi pada kasus yang operatif maupun non-
operatif. Sifat rekurensi dan multifokal yang dimiliki oleh CAA ini
menjadi ciri khusus yang membedakan jenis perdarahan ini dengan
perdarahan yang disebabkan oleh hipertensi.14
b. Arteriovenous Malformation
25
c. Neoplasma Intrakranial
Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskuler.
d. Trauma
Perdarahan di lobus temporoparietal, putamen, thalamus, dan pons
biasanya akibat ruptur a. Lentikulostriatal, a. Thalamoperforating, dan
kelompok basilar-paramedian. Sedangkan perdarahan di sentrum semi-
ovale dan kapsula interna biasanya akibat ruptur a. Rekuren heubner
cabang a. Cerebri anterior.14

Gambar 11. Asal dan tempat tersering terjadinya PIS. PIS paling sering mengenai lobus serebral, yang
berasal dari pecahnya cabang perforantes kortikal (penetrating cortical branches) dari arteri serebri
anterior, media, atau posterior (A); ganglia basalis, yang berasal dari pecahnya cabang lentikulostriata
asenden dari arteri serebri media (B); thalamus, yang berasal dari pecahnya cabang thalamogenikulata
asenden dari arteri serebri posterior (C); pons, yang berasal dari pecahnya cabang paramedian dari arteri
basilaris (D); dan serebellum yang berasal dari pecahnya cabang perforantes dari arteri serebellaris
posterior inferior, arteri serebellaris anterior inferior, atau arteri serebellaris superior (E). 14,15,16

2.4.4. Patofisiologi
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70%), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20% dan 10 % di hemisfer (di luar

26
kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena
robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di
sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh
hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak
beserta penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada
jaringan. Oleh karena itu gejala klinis yang timbul berasal dari destruksi
jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi
pada jaringan otak lainnya.16
Efek Patologis, yaitu efek dari space occupaying dan hematoma dapat
menyebabkan pelebaran untuk beberapa jam jika perdarahan terus berlanjut.
Dalam waktu 48 jam darah dan plasma akan mengelilingi otak dan
menyebabkan gangguan pada sawar darah otak, edema vasogenik, dan
sitotoksik, kerusakan neural dan nekrosis. Resolusi hematoma terjadi dalam 4-8
minggu meninggalkan kista.17

27
Gambar 12. Mekanisme Intracerebral Hemorrhage17

2.4.5. Faktor Risiko


1) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Pada pasien
dengan perdarahan intraserebral spontan memiliki tekanan darah sistolik >
160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 100mHg meliputi 91%
pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat hipertensi
sebelumnya.14
2) Merokok
Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai
risiko relatif 1,5-2,2.
3) Alkohol
Tingginya konsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko terjadinya PIS.
Meskipun demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak memberikan

28
efek dan bahkan dapat mencegah terjadinya PIS. Pemakaian antiplatelet
merupakan faktor risiko lain terjadinya PIS. Pemakaian warfarin sering
menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun
demikian pemakaian antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan
risiko stroke, tetapi dosis optimal belum diketahui. Dosis aspirin yang
dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan dosis yang direkomendasikan
325 mg/hari.18
4) Hiperlipidemia
5) Genetik

2.4.6. Manifestasi Klinis


Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat
akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas.
Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) akut. Biasanya disertai
dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi
dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara
keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. Dua pertiganya mengalami
koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke arah
ventrikel, ukuran hematom besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat
dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai
pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Hanya 36% kasus yang disertai
dengan sakit kepala, namun kasus yang disertai muntah didapati pada 44%
kasus. Sehingga tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan
PIS, sebaliknya bila dijumpai gejala tersebut, maka akan sangat mendukung
diagnosis PIS atau perdarahan subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke
oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.3
Ancaman utama perdarahan intraserebral adalah hipertensif
intrakranial akibat efek massa hematom. Tidak seperti infark, yang
meningkatkan tekanan intrakranial secara perlahan ketika edema sitotoksik
yang menyertainya bertambah berat, perdarahan intraserebral meningkatkan
tekanan intrakranial secara cepat.2
Beberapa gejala klinis pada PIS meliputi nyeri kepala, hemiparesis,
perubahan status mental, dan juga penurunan kesadaran. Juga disertai dengan
29
gejala susulan seperti mual, muntah, gangguan visus, dan diplopia. Beberapa
simtom berbeda pada PIS, tergantung dari lokasi lesi. Pada perdarahan supra
tentorial terutama pada perdarahan basal ganglia akan menampilkan
hemiparesis pada kontralateral lesi. Pada perdarahan infra tentorial akan
menimbulkan efek cepat ke batang otak seperti koma, intranuclear
ophthalmoplegy, reflex pupil yang abnormal, quadriparesis, dan postur
dekortikasi.2
Muntah terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarachnoid (51% dan 47%) dibandingkan pada stroke iskemik (4%-10%
kasus). Sepertiga pasien yang mengalami perdarahan intraserebral spontan
mengalami nyeri kepala, dibandingkan dengan hanya 3-12% pasien stroke
iskemik yang mengalami nyeri kepala. Koma dialami 24% pasien perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral spontan, dibandingkan hanya 5%
saja pada penderita stroke iskemik. Onset serangan yang gradual terjadi pada
63% penderita perdarahan intraserebral spontan dan hanya 34% pasien yang
mengalami onset yang mendadak. Sedangkan pada stroke iskemik hanya 5-
20% pasien saja yang mengalami onset yang gradual, sedangkan pada
perdarahan subarachnoid onset gradual hanya terjadi pada 14% pasien.2
2.4.7. Pemeriksaan Fisik
Hipertensi arterial sering dijumpai pada kasus PIS. Tingginya
frekuensi hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan
adanya hipertensi sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati
hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang diduga PIS mempunyai
tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati hipertensif dan
mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang preretina, yang
merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai
korelasi dengan ruptur aneurisma. Gerakan mata, pada perdarahan putamen
terdapat deviation conjugae kerah lesi, sedang pada perdarahan nukleus
kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae
ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas
(upward gaze palsy), sehingga mata melihat ke bawah. Pada perdarahan pons
terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.2,3

30
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil dapat normal atau bila terjadi
herniasi unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat.
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar
4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi
transtentorial. Pada perdarahan di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi
masih terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.2,3

2.4.8. Klasifikasi

Gambar 13. Tipe perdarahan intraserebral 3

Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut:2


1) Putaminal Hemorrhage
Perdarahan yang tersering adalah perdarahan putaminal dengan
terjadinya penekanan pada daerah berdekatan dengan kapsula interna.
Gejala dan kelainan neurologik hampir bervariasi berdasarkan kedudukan
dan ukuran penekanan. Perdarahan putaminal khas dengan onset
progresif pada hampir 2/3 pasien, dan kurang dari 1/3 mempunyai gejala
mendadak dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala dapat muncul
saat onset gejala. Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit
sedang motorik dan sensori kontralateral. Perdarahan berukuran sedang
mula-mula memiliki gejala hemiplegia flaccid, defisit hemisensori,
31
deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim, dan
disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi
menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalu koma, variasi
respirasi, pupil tak bereaksi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor
abnormal dan respons Babinski bilateral.2
Gejala muntah terjadi pada hampir setengah daripada penderita.
Dalam waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat miring ke satu
sisi, bicara cadel atau afasia, lemas tangan dan tungkai, serta bola mata
akan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekstremitas yang lemah.
Hal ini terjadi bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana
sangat kuat mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat
terjadi semakin memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang
mana pada awalnya dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral
dengan ekstremitas menjadi flaccid, stimulasi nyeri menghilang, tidak
dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karakteristik
tingkat keparahan paling parah adalah dengan adanya tanda
kompresi batang otak (koma); tanda Babinski bilateral; respirasi dalam,
irregular atau intermitten; pupil dilatasi dan biasanya ada kekakuan yang
deserebrasi.

2) Thalamic Hemorrhage
Perdarahan talamus yang kecil umumnya menyebabkan defisit
neurologis lebih berat daripada perdarahan putaminal. Seperti
perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula
interna tertekan. Gejala khas pada perdarahan ini ditandai dengan
hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang mengenai kepala,
wajah, lengan dan tubuh. Perluasan perdarahan ke subtalamus dan batang
otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal,
deviasi mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah.
Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong,
defisit lapang pandang dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia
yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang
berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi
32
pada 20-40% pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur
CSS.2

3) Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan
dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari
perdarahan infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat
menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi
koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan
fatal. Perdarahan pontin paling umum menyebabkan kematian dari semua
perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma,
pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral,
kelainan saraf kranial, kuadriplegia dan postur ekstensor. Nyeri kepala,
mual dan muntah jarang.2

4) Perdarahan Serebelum
Lokasi pasti dari tempat asal perdarahan pada serebelum umunya
sulit diketahui. Perdarahan serebelum sering terjadi di daerah nukleus
dentatus dengan arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan
perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus
perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan
keluar cairan serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan
kedua ventrikel lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut
dan peningkatan tekanan intrakranial dan memburuknya keadaan umum
penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari hematoma yang
menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.2
Sindroma klinis yang khas pada perdarahan serebelar adalah onset
yang mendadak dari gejala mual, muntah, tidak mampu bejalan atau
berdiri. Gangguan neurologis dapat terjadi dalam beberapa derajat
tergantung dari perkembangan perdarahan. Hipertensi adalah faktor

33
etiologi pada kebanyakan kasus. Dua per tiga dari pasien dengan
perdarahan serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan
tetap responsif saat datang; hanya 14% yang mengalami koma saat
pertama kali datang. Kemudian 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan
75% menjadi koma dalam seminggu sejak onset. Gejala mual dan
muntah terlihat pada 95% kasus, nyeri kepala (umumnya bioksipital)
pada 73% kasus, dan pusing (dizziness) pada 55% kasus.
Ketidakmampuan berjalan atau berdiri terjadi pada 94% kasus.2
Pada pasien non-koma, tanda-tanda umum yang dapat terjadi
adalah ataksia langkah (78%), ataksia trunkal (65%), dan ataksia
apendikuler ipsilateral (65%). Temuan lainnya adalah paralisis saraf
fasial perifer (61%), paralisis gaze ipsilateral (54%), nistagmus horizontal
(51%) dan miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang terjadi, dan
bila ada biasanya disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya
atau bersamaan. Trias klinis ataksia apendikuler, paralisis gaze
ipsilateral, dan paralisis fasial perifer mengarah pada perdarahan
serebelar. Perdarahan serebelar garis tengah dapat menimbulkan dilema
diagnostik pada pemeriksaan klinis. Umumnya perjalanan penyakit
pasien lebih ganas dan ditunjukkan dengan adanya oftalmoplegia total,
arefleksia, dan kuadriplegia flaksid.2
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebelar lebih
sulit karena disfungsi batang otak berat. Gejala pada pasien koma dapat
berupa oftalmoplegia eksternal yang lengkap (83%), pernafasan irregular
(53%) dan kelemahan fasial ipsilateral (54%). Pupil umumnya mengecil
dan tidak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40% pasien.2

5) Perdarahan Lober
Pada perdarahan lober, hipertensi kronik terdapat pada 31%
kasus, dan hanya 4% pasien yang koma saat datang. Perdarahan pada
oksipital menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan
hemianopsia yang jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri
ringan pada atau dekat bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan
pengertian pendengaran yang buruk namun repetisi relatif baik.

34
Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat,
kelemahan muka dan tungkai ringan, serta nyeri kepala frontal.
Perdarahan parietal diawali dengan gejala nyeri kepala temporal anterior
serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh sampai garis tengah.
Perkembangan gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun
tidak seketika bersamaan dengan satu dari sindroma tersebut dapat
membantu membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain.
Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi perdarahan lober.2

6) Perdarahan Intraserebral Akibat Trauma


Merupakan perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
Hematom intraserebral paska traumatik merupakan koleksi darah fokal
yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan terhadap
pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang
cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2-16% kasus cedera.
Intraserebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari
5ml dalam substansi otak, sedangkan hemoragi yang lebih kecil
dinamakan punctate atau petechial/bercak.2
2.4.9. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
A. Penemuan Klinis
1. Anamnesis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang
mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.
2. Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti
hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya.

B. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
1. Pemeriksaan Neuro-Radiologik
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu
diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase

35
akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila
scan tak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat
membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan
intraserebral (PIS) maupun perdarahan subarakhnoid (PSA).19
Selain CT-Scan, MRI lebih sensitif untuk melihat keadaan
intrakranial, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama sehingga sulit
untuk melakukannya berulang-ulang. Pada keadaan emergensi, hal ini
sulit untuk dilakukan. dan juga biayanya relatif lebih mahal. Tetapi
dengan MRI dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS.
Seperti ditemukannya gambaran tumor, malformasi serebrovaskular
dan aneurisma. Tetapi MRI tetap merupakan pilihan diagnostik
sekunder setelah CT.19
Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat
gangguan vascular, seperti AVM atau aneurisma. Dengan
ditemukannya CT-angiografi dan MRA, penemuan lesi vaskular tanpa
terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA
dapat dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi jika
diperlukan operasi emergensi.19

Tabel 1. Skoring ICH20

36
2. Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila
perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit,
Doppler, Elektrokardiografi (EKG).19

2.4.10. Tatalaksana
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus
mendapat pengobatan untuk :17

1) Normalisasi tekanan darah


2) Pengurangan tekanan intrakranial
3) Pengontrolan terhadap edema serebral
4) Pencegahan kejang
Hipertensi terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase
permulaan. Sebaiknya pengobatan hipertensi idak berlebihan karena beberapa
pasien mungkin tidak menderita hipertensi. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah
akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak. Obat-obat anti
hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :17
1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2) Angiotensin Receptor Blockers
3) Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS adalah dengan mengendalikan
tekanan intrakranial serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila
terdapat perdarahan tumor) digunakan untuk mengurangi hipertensi
intrakranial yang disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan
bahwa evakuasi perdarahan yang luas meningkatkankan survival pada pasien
dengan koma, terutama bila evakuasi dilakukan segera setelah onset
perdarahan.17

37
Walaupun begitu seringkali tetap terdapat defisit neurologis yang jelas pada
pasien. Pasien yang memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan
evakuasi perdarahan yang sangat segera. Angiogram dapat dilakukan untuk
membantu menemukan kelainan vaskuler. Pengangkatan PIS yang besar perlu
dipertimbangkan terutama bila terjadi bersamaan dengan hipertensi
intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis,
meskipun telah diberikan tindakan medis yang maksimal.17

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Usia : 70 Tahun
Jenis Kelamin : laki- laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Karang Pasar
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah
No. CM : 458XXX
Dirawat di ruang : Yudhistira
Tanggal Masuk RS : 21 Desember 2018
Anamnesis
 Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran dan lemah anggota gerak sebelah kiri
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro diantar keluarganya pada
tanggal 21 Desember 2018 pagi hari pukul 06.30 WIB dengan keluhan penurunan
kesadaran dan kelemahan anggota gerak kiri. Pasien ditemukan terjatuh secara

38
tiba-tiba saat sedang berada di kamar mandi pukul 05.00 WIB. Pasien terjatuh
karena anggota gerak sebelah kiri mendadak lemah, tidak bisa digerakkan. Pasien
juga merasakan nyeri kepala, dan muntah. Sebelumnya pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini. Melihat kondisi pasien, keluarga langsung
membawanya ke IGD RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro pukul 06.30 untuk
mendapatkan pertolongan segera.

 Riwayat penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Diakui (tidak terkontrol)
- Riwayat kencing manis : Diakui
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat kejang : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat stroke :-
- Riwayat hipertensi : diakui
- Riwayat kencing manis :-
 Riwayat kebiasaan:
- Konsumsi alkohol : Disangkal
- Merokok : Disangkal
 Riwayat ekonomi :
Pasien sudah tidak bekerja dan tinggal dirumah bersama istri dan keluarga anak
pertamanya. Pasien berobat menggunakan BPJS non PBI.

Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
- Kesadaran : Composmentis
- TB : 165 cm
- BB : 75 kg
- GCS : E4M6V5
TANDA VITAL

39
- Tekanan Darah : 195/105 mmHg
- HR (Nadi) : 79 x/ Menit , nadi kuat
- RR (Laju Napas) : 22 x/ Menit , reguler
- Suhu : 36,5 0C
STATUS INTERNUS
- Kepala : dalam batas normal
- Rambut : dalam batas normal
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis -/-, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : dalam batas normal
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)
- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
40
- KGB : tidak ada pembesaran

- PF Thoraks :
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 22x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-).
2. Palpasi : fremitus vokal normal, nyeri tekan (-), gerakan dada simetris,
tidak ada ketertinggalan gerak.
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
1. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
2. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V 2 cm ke medial
dari linea mid clavicularis sinistra
3. Perkusi : kardiomegali (-)
4. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop (-)
- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar, pelebaran pembuluh darah(-), sikatrik
(-), massa (-), tanda peradangan (-).
2. Auskultasi : bunyi peristaltik usus normal, tidak ada bising usus, tidak ada
bising pembuluh darah.
3. Palpasi : nyeri tekan (-)
4. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen
- Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik

STATUS NEUROLOGIS
- GCS : E4 M6 V5

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
PEMERIKSAAN LAB HASIL

41
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,5 g/dL
Hematokrit 33,80
Jumlah Leukosit 8,7 /uL
Jumlah Trombosit 310 /uL
KIMIA KLINIK
Ureum 36,3 mg/dL
Creatinin 1,0 mg/dL
Natrium 141,0 mmol/L
Kalium 3,3 mmol/L
Kalsium 1,38 mmol/L

KIMIA KLINIK
Asam Urat 8,7 mg/dL
Kolestrol Total 181 mg/dL
Trigliserida 213 mg/dL (H)
IMUNOLOGI
HbsAg Negatif

a. Pemeriksaan CT Scan Kepala Tanpa Kontras

42
Pembacaan Hasil CT Scan Kepala Tanpa Kontras

Pada brain window


- Tampak lesi hiperdens di sentrum semi-ovale, korona radiata, dan ganglia
basalis kanan
- Tampak lesi hipodens di nukleus lentiformis kiri
- Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak menyempit
- Ventrikel IV dan sisterna basalis baik
- Batang otak dan cerebelum baik
- Tampak midline shifting kekiri 5,2mm
Pada bone window
- Tak tampak frakture ossa cranium
- Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
- Tampak penebalan mukosa (CT Number 53 HU) pada sinus maksilaris kanan
- Tak tampak kesuraman pada kesdua mastoid
Kesan
- ICH di sentrum semi ovale, korona radiata, dan ganglia basalis
- Infark di nukleus lentiiformis kiri
43
- Disertai tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial saat ini
- Penebalan mukosa (CT Number 53 HU) pada sinus maksilaris kanan
DD: polip, sinusitis kronis.

Diagnosis
- Intracerebral Hemorarge di sentrum semi ovale, korona radiata, dan ganglia basalis
disertai Infark cerebri di nukleus lentiiformis kiri, dan Sinusitis di sinus maksilaris.

Rencana Monitoring
KU, kesadaran, TTV, diuresis, tanda-tanda peningkatan TIK.
Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis
- Infus RL 20 tpm
- Manitol 250 cc
- Injeksi mecobalamin 1x500 mg IV
- Injeksi citicolin 1x500 mg IV
- Citicolin 2x500mg
- Ranitidin 1 amp/12 jam
- Candesartan 16 mg/ 24 jam
- Amlodipin 10 mg/24 jam
3.7. Edukasi
- Jelaskan pada keluarga pasien tentang diagnosis, dasar diagnosis, komplikasi serta
prognosis.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan suatu prosedur diagnosis yang digunakan


untuk membedakan infark serebri atau perdarahan, yang berguna dalam menentukan tata
laksana awal. Pemeriksaan CT Scan kepala juga dapat menyingkirkan diagnosis banding
yang penting misalnya tumor intracranial dan hematoma subdural.
Pemeriksaan CT-Scan kepala yang merupakan golden diagnose pada penyakit stroke,
apabila didapatkan hasil adanya lesi hiperdens artinya terdapat perdarahan pada otak. Hasil

44
pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras yang dilakukan pada Tn.S yaitu tampak lesi
hiperdens di sentrum semi-ovale, korona radiata dan ganglia basalis kanan yang artinya
terdapat perdarahan (ICH) di sentrum semi-ovale, korona radiata dan ganglia basalis kanan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis stroke pada pasien Tn.M adalah stroke hemoragik.

Intracerebral hemorrhage (ICH) atau perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan


fokal dari pembuluh darah dalam parenkim otak. Penyebabnya biasanya adalah hipertensi
kronis. Selain itu penyebab yang juga sering didapatkan pada orang tua adalah adanya protein
abnormal di arteri otak. Hipertensi kronis dan protein abnormal tersebut akan menyebabkan
pembuluh darah di otak mudah mengalami ruptur atau robekan. Pada kasus ini pasien
memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak lama.

Pasien pada kasus ini memiliki tensi yang sangat tinggi ketika diperiksa, yaitu 195/105
mmHg. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak lama, namun pasien tidak pernah teratur
kontrol, dan juga tidak teratur minum obat. Pasien sebelumnya mengeluh nyeri kepala bisa
dicurigai karena tensi pasien yang tinggi sudah sejak lama.

Kebanyakan perdarahan intraserebral terjadi pada putamen, thalamus, ganglia basal,


lobus otak, dan pons. Perdarahan intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang
otak atau otak tengah. Pada kasus ini didapatkan bahwa pasien mengalami perdarahan pada
lesi hiperdens di sentrum semi ovale, korona radiata dan ganglia basalis kanan yang ruptur
dan dan infark dinukleus lentiformis kiri. Didapatkan juga adanya penebalan mukosa sinus
maksilaris kanan.

Gejala umum biasanya tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan. Gejala yang
dapat muncul dapat berupa defisit neurologis fokal, sakit kepala, mual serta dapat diikuti
dengan gejala prodromal. Dari hasil pemeriksaan didapatkan penurunan kesadaran secara
tiba-tiba saat beraktivitas dan juga pasien mengeluh tidak dapat bicara, nyeri kepala dan
muntah. Sesuai dengan hasil pemeriksaan CT-scan pasien yang menunjukkan ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial saat ini, yaitu sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak
menyempit.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Simon et al. Clinical Neurology. 9th edition. New York : Lange; 2015. P 240-270.
2. Corey-Bloom J, David RB. Clinical Adult of Neurology. 3rd ed. New York:
Demosmedical; 2009. p.270-9.
3. Baehr M, Duus’ FM. Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Physiology, Signs,
Symptoms. 4th revised edition. New York: Thieme; 2005. p.417-79.

46
4. Hakimelahi R, Gonzales RG, Neuroimaging of Ischemic Stroke with CT and MRI:
Advancing Towards Physiology-Based Diagnosis and Therapy, 7(1):29-48, Expert Rev
CardiovascTher. 2009.
5. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology. 6th edition. Lange Medical
Book; 2005. p.285-316.
6. Tortora GJ, Derrickson B. The Special Senses. In: Tortora GJ, Derrickson B, editors.
Principle of Anatomy & Physiology, 13th edition. USA: John Wiley & Sons, Inc; 2012.
7. Putz,R. 2010, Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA, Jakarta:EGC.
8. Snell, R, Neuroanatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC, 2007.
9. Fitzsimmons B. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In: Brust JCM, ed. Current
Diagnosis & Treatment in Neurology. USA: McGraw-Hill; 2007. p.100-25.
10. Patestas MA, et al. Neuroanatomy. Blackwell Science. 2006.
11. Maas, MB. Safdieh, JE, Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of localization.
Neurology Board Review Manual. Neurology, 2009, 13(1): 2-16.
12. Wilson, Sylvia A. Price & Lorraine M, Patofisiologi, Jakarta: EGC, 2002.
13. Jager R, Saunders D. Cranial and intracranial pathology (2): cerebrovascular disease and
non-traumatic intracranial hemorrhage. In: Grainger RG, Allison D, Adam A, Dixon AK,
editor.Grainger & Allison’s diagnostic radiology: a textbook of medical imaging. 4th
edition. London: Chruchill Livingstone; 2001.
14. Qureshi AI, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hideki H, Hnley DF. Perdarahan
Intraserebral Spontan. NEJM. 2001;344(19):1450-60.
15. Moore KL, et al. Clinically Oriented Anatomy. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
16. Masotti L, Napoli MD, Godoy DA, Rafanelli D, Liumbruno G, Koumpouros N, et al. The
practical management of intracerebral hemorrhage associated with oral anticoagulant
therapy. International Journal of Stroke & World Stroke Organization. 2011;6:228–40.
17. MacKenzier JM. Intracerebral Hemorrhage. Aberdeen: Department of Pathology,
Aberdeen Royal Infirmary; 1996. p.360-4.
18. Morgenstern LB. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral
Hemorrhage. 2010. p.2109-24.
19. Hinkle, JL. Guanci, MM, 2007, Acute Ischemic Stroke Review, 39 (5): 285-293, J
Neurosci Nurs.
20. Skor ICH-GS untuk Prediksi Prognosis Pasien Stroke Perdarahan Intraserebral di Rumah
Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. [Internet]. [ cited 7 April 2018]. Available from :
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_05_259Skor%20ICH-
GS%20untuk%20Prediksi%20Prognosis%20Pasien%20Stroke%20Perdarahan%20Intrase
rebral.pdfAminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology. 6th edition. Lange
Medical Book; 2005. p.285-316.

47

Anda mungkin juga menyukai