Anda di halaman 1dari 49

KATA PENGANTAR LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI DENGAN INFARK CEREBRI


DISERTAI MENINGITIS

Disusun oleh
Nurul Inayah Indah Cahyani
406182064

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
PERIODE 14 OKTOBER – 17 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Nurul Inayah Indah Cahyani


NIM : 406182064
Asal Universitas : Fakultas Kedokteran Uiversitas Tarumanagara
Judul Kasus : Seorang laki-laki dengan Infark Cerebri dengan Meningitis
Bagian : Ilmu Radiologi - RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang
Pembimbing : dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp.Rad

Semarang, 12 November 2019


Pembimbing

dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp.Rad

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyellesaikan laporan
kasus yang berjudul “Seorang Laki-laki dengan Infark Cerebri dengan Meningitis” dengan
baik. Laporan kasus ini merupakan prasyarat untuk memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang.

Selama proses penyusunan laporan kasus ini, penulis mengalami keterbatasan


dalam pengerjaan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak
yang telah mendukung keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Direktur RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menjalankan Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi di RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang.
2. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad selaku ketua SMF Radiologi dan
pembimbing.
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp. Rad (K) selaku koordinator pendidikan/pelatihan.
4. dr. Oktina Rahmi Darliana, Sp. Rad selaku koordinator pelayanan.
5. Dokter, staf, dan perawat, serta rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi
di RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Semarang, 12 November 2019


Penulis

Nurul Inayah Indah Cahyani

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Anatomi Kepala ......................................................................................... 3
2.2 Fisiologi Kepala ....................................................................................... 10
2.3 Terminologi dan Klasifikasi Trauma Kepala .......................................... 12
2.4 Penilaian GCS dan Indikasi CT Scan Pada Trauma Kepala .................... 13
2.5 Infark Cerebri........................................................................................... 14
2.5.1 Definisi ........................................................................................... 14
2.5.2 Etiologi ........................................................................................... 14
2.5.3 Faktor Risiko .................................................................................. 15
2.5.4 Manifestasi Klinis ........................................................................... 16
2.5.5 Diagnosis ........................................................................................ 16
2.5.6 Tatalaksana ..................................................................................... 21
2.6 Meningitis ................................................................................................ 22
2.6.1 Definisi ........................................................................................... 22
2.6.2 Etiologi ........................................................................................... 22
2.6.3 Patofisiologi .................................................................................... 22
2.6.4 Tanda dan Gejala ............................................................................ 23
2.6.5 Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 24
2.6.6 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 24
2.6.7 Tatalaksana ..................................................................................... 31
2.6.8 Kompliksi ....................................................................................... 32
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 33
3.1 IDENTITAS PASIEN ............................................................................. 33
3.2 ANAMNESIS .......................................................................................... 33
3.3 PEMERIKSAAN FISIK .......................................................................... 34
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................ 37
3.5 DIAGNOSIS ............................................................................................ 40

3
3.6 TATALAKSANA.................................................................................... 40
3.7 PROGNOSIS ........................................................................................... 41
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

4
BAB I
PENDAHULUAN

Infark adalah cedera jaringan lokal atau nekrosis karena berkurangnya aliran darah ke
bagian tubuh tertentu, termasuk ke otak. Infark serebral (infark serebral atau stroke) biasanya
disebabkan karena kejadian iskemik fokal dengan onset akut dan tanda klinis yang asimetris
dan progresif untuk waktu yang singkat.1 Infark terjadi akibat kematian neuron, sel glia dan
sistem pembuluh darah yang disebabkan kekurangan suplai oksigen dan makanan. Kondisi
ini dapat disebabkan adanya penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus atau emboli,
sehingga menyebabkan iskemik atau infark jaringan otak.1
Kondisi ini merupakan penyebab kedua kematian didunia, penyebab kedua demensia dan
disabilitas. Di Amerika Serikat, penyakit serebrovaskular (stroke) merupakan penyebab
kematian keempat dan menjadi penyebab utama disabilitas di AS.2 Sedangkan berdasarkan
usia, penyakit serebrovaskular merupakan penyebab ketiga kematian pada pria setelah
penyakit jantung koroner dan kanker paru, sedangkan sedangkan pada wanita penyakit
serebrovaskular merupakan penyebab utama 18.964 kematian wanita di Spanyol pada tahun
2007, mewakili 10,2% dari semua kematian. Di Catalonia menyebabkan 9,2% dari
keseluruhan kematian, 7,5% pada pria dan 11,1% pada wanita.3 Insidens serangan stroke
pertama sekitar 200 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden stroke meningkat dengan
bertambahnya usia. Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya angka harapan hidup,
termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke dijumpai. Perbandingan antara
penderita pria dan wanita hampir sama. Prevalensi stroke berkisar 5-12 per 1000 penduduk.
MacDonald et al. (2000) yang meneliti prevalensi dari berbagai jenis penyakit susunan saraf
menemukan prevalensi stroke sebesar 800 per 100.000 penduduk.4 berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar di Indonesia, prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9% dari total
penduduk Indonesia.5 Stroke dibagi menjadi duamacam berdasar penyebabnya yaitu stroke
iskemik dan stroke hemoragik akibat Perdarahan Intraserebral (PIS) atau Intracerebral
Hemorrhage (ICH). Berdasarkan penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian stoke iskemik
lebih sering dijumpai dibandingka stroke hemoragik. Pada pasien dengan gejala stroke atau
infark intraserebral, Gold Standard yang digunakan adalah CT Scan guna menetapkan secara
pasti letak dan penyebab dari stroke. Namun, pada stroke iskemik hiperakut (0-6 jam), CT
Scan biasanya tidak sensitif dalam mengidentifikasi infark serebri. Tetapi cukup sensitif
5
dalam mengidentifikasi berbagai bentuk perdarahan intrakranial akut dan lesi makroskopik
lain yang menjadi kontraindikasi penggunaan terapi trombolitik.5,6

Selain stroke, sepuluh besar penyakit pada otak yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas dan morbiditas adalah meningitis. Meningitis didefinisikan sebagai peradangan
pada meningen yaitu membran yang melindungi otak dan cairan serebrospinal. Meningitis
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, infeksi parasit dan obat-obatan tertentu. Meningitis
virus biasanya lebih ringan dan dapat sembuh sendiri secara spontan sehingga tidak
membutuhkan pengobatan spesifik. Meningitis bakteri dapat mematikan dan menyebabkan
gangguan neurologis permanen di kemudian hari. Meningitis merupakan masalah kesehatan
universal dan kondisi gawat darurat medis pada anak yang berpotensi tinggi terjadi
morbiditas dan mortalitas. Angka kematian meningitis sebesar 152.000 jiwa tiap tahun, dari
7,6 juta jiwa kematian anak usia dibawah 5 tahun. Untuk mendeteksi adanya kelainan pada
meningen, dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan dan MRI. Pencitraan pada otak dapat
mengungkapkan tanda-tanda peradangan otak, pendarahan internal atau pendarahan, atau
kelainan otak lainnya. Dua prosedur pencitraan non-invasif yang tidak menyakitkan secara
rutin digunakan untuk mendiagnosis meningitis dan ensefalitis.7,8

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Lapisan Pelindung Otak

Gambar 1. Lapisan Otak dari Superfisial ke Profunda9


Urutan lapisan pembungkus Otak dari superfisial ke profunda :9
1. Kutis

7
Kutis (Skin) merupakan bagian tipis, kecuali di daerah okspital, mengandung banyak
kelenjar sudorifera dan sebasea, serta folikel rambut. Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah arteri dan drainase vena dan limfatik yang baik.

2. Jaringan ikat (Connective tissue) merupakan lapisan subkutan tebal, pada, kaya
vaskularisasi dan persarafan kulit.
3. Aponeurosis (epicranial aponeurosis) merupakan lapisan yang luas, kuat, dan lembut
menutupi calvaria dan berfungsi sebagai perlekatan otot dari dahi sampai regio occipital
(musculus occipitofrontalis) dan os temporal (musculus temporoparietalis dan auricularis
superior). Struktur ini merupakan bagian epicranius-musculo-aponeurosis.
4. Jaringan ikat longgar (Loose areolar tissue) merupakan lapisan seperti spons termasuk
ruang potensial yang dapat mengembang karena cairan akibat cedera atau infeksi.
Lapisan ini memungkinkan pergerakan bebas dari kulit kepala (tiga lapisan pertama) di
atas calvaria yang mendasarinya.
5. Cranium yang terbagi menjadi : Lamina externa, Diploe, Lamina interna
6. Cavum epidural
7. Duramater
8. Cavum subdural
9. Arachnoideamater
10. Cavum subarachnoid
11. Piamater

2.1.2 Selaput Meningen


Selaput meningen adalah bagian membranosa yang menutupi otak yang terletah di bawah
cranium. Selaput menigen berfungsi untuk melindungi otak, membentuk kerangka
pendukung sebagai tempar berjalannya arteri, vena, dan sinus venosus, menutupui ruang
subarachnoid yang berisi liquor serebrospinal yang vital terhadap fungsi normal otak.
Lapisan meningen terdiri dari tiga lapisan jaringan ikat membranosa yaitu sebagai berikut:9,10

1. Dura mater (dura)


Lapisan fibrosa eksternal yang kuat dan tebal dan kaya akan serabut saraf sensorik. Dura
mater kranial dibedakan ddari dura mater medulla spinalis oleh 2 lapisan yaitu lapisan
periosteal (luar) dan lapisan meningeal (dalam). Lapisan periosteal melekat pada aspek
internal cranium dan disuplai oleh arteri meningea. Lapisan meningeal kontak dengan

8
arachnoid mater yang mendasarinya dan berlanjut dengan dura mater medulla spinalis
setinggi foramen magnum.9,10
Lipatan pada dura mater masuk ke rongga-rongga di rongga cranium dan sebagian membagi
rongga-rongga tersebut. Lipatan dura ini mencakup falx cerebri, tentorium cerebelli, falx
cerebelli, and diaphragma sellae. Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit
dari dura mater yang melapisi calvaria melewati kedua hemisfer cerebri. Falx cerebri melekat
dengan crista galli dan frontalis di anterior dan di posterior melekat dengan tentorium
cerebelli.

Tentorium cerebelli merupakan lipatan dura horizontal yang menutupi dan memisahkan
cerebellum di fossa cranii posterior dengan bagian posterior hemisfer cerebri. Tentorium
cerebelli melekat di posterior dengan os occipital sepanjang alur sinus transversus dan di
lateral dengan batas superior os temporal pars petrosa dan berakhir di anterior oleh processus
clinoideus anterior et posterior.

Falx cerebelli merupakan lipatan dura yang kecil dan letaknya di tengah fossa cranii posterior
antara kedua hemisfer cerebelli. Falx cerebelli melekat di posterior dengan crista occipitalis
interna dan di superior dengan tentorium cerebelli, serta tepi anteriornya bebas.

Diaphragma sellae adalah lipatan dura terakhir bentuknya horizontal dan kecil yang menutupi
fossa hypophysialis di sella turcica os sphenoidale.9,10

Duramater diperdarahi oleh arteri yang berjalan sepanjang lapisan periosteal duramater yaitu
sebagai berikut:9
 Arteri meningea anterior di fossa cranii anterior.
 Arteri menigea media dan accessories di fossa cranii media.
 Arteri menigea posterior dan cabang meningea lainnya di fossa cranii posterior.

9
Gambar 2. Pasokan Darah pada Duramater11

Sinus venosus dura merupakan ruang yang dibatasi oleh endothelium (vena) di antara lapisan
periosteal dan meningeal dura mater. Drainase vena otak dimulai secara internal di mana
vena-vena kecil menuju vena cerebri yang lebih besar, vena cerebelli, dan vena di medulla
oblongata, kemudian drainase dilanjutkan ke sinus venosus dura ini dan berakhir ke vena
jugularis interna. Sinus venosus dura meliputi sinus sagitalis superior et inferior, rectus,
confluens sinuum, transversus, sigmoideus, cavernosus, dan beberapa sinus venosus dura
yang kecil.9,10

2. Arachnoid mater (arachnoid)


Arachnoid mater merupakan lapisan tengah yang tipis, halus, dan bentuknya seperti jejaring
yang avaskuler dibawah dura mater. Di bawah lapisan ini terdapat ruang subarachnoid yang
berada di antara arachnoid dan pia mater. Ruang ini berisi liquor serebrospinal sebagai
proteksi sistem saraf pusat.9,10,11

3. Pia mater (pia)


Pia mater adalah lapisan internal yang halus dan bervaskuler. Lapisan ini mengikuti kontur
otak, memasuki lekukan dan celah pada permukaannya, dan sampai ke akar dari nervus
cranieales.9,10,11

10
Gambar 3. Scalp dan Meningen

2.1.3 Lapisan Otak


Otak adalah salah satu komponen dari sistem saraf pusat. Selama perkembangan otak dapat
dibagi menjadi lima bagian. Dari cranial sampai ke caudal otak dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu sebagai berikut:6

11
Gambar 4. Anatomi Otak9

1. Telencephalon (cerebrum)
Telencephalon pada perkembangannya menjadi kedua hemisfer cerebri. Permukaan hemisfer
ini terdiri dari elevasi (gyri) dan depresi (sulci), dan kedua hemisfer dipisahkan oleh fissura
longitudinalis yang dalam. Cerebrum mengisi area ruang cranium di atas tentorium cerebelli
dan dibagi menjadi beberapa lobus berdasarkan letaknya.9
2. Diencephalon
Diencephalon merupakan bagian yang tersembunyi dari pandangan di otak orang dewasa
oleh hemisfer cerebri, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan struktur terkait lainnya, dan
secara klasik dianggap sebagai bagian batang otak yang paling kranial. 9
3. Mesencephalon (otak tengah)
Mesencephalon merupakan bagian pertama batang otak yang terlihat ketika otak orang
dewasa yang utuh diperiksa, membentang di persimpangan antara fossa kranial tengah dan
posterior.9
4. Metencephalon
Pada perkembangannya akan menjadi cerebellum (terdiri dari dua lateral hemisfer dan bagian
tengah berada di fossa cranii posterior di bawah tentorium cerebelli) dan pons (anterior dari
otak kecil, dan merupakan bagian yang menonjol dari batang otak di bagian paling depan dari
fossa cranii posterior terhadap clivus dan dorsum sellae).9
5. Myelencephalon (medulla oblongata)

12
Bagian paling ujung dari batang otak, berakhir di foramen magnum atau bagian paling atas
dari nervus cervicalis yang pertama dan di mana merupakan asal tempat nervus cranialis VI
hingga XII. 9

2.1.4 Perdarahan Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi
fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga
aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak
merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan
erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.9,10

- Peredaran Darah Arteri


Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri
karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi. 12

Gambar 5. Circulus of Willisi 11

13
- Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran
pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak
mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex
superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua
buah vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam
sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus
transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia.12

2.2 Fisiologi Kepala


2.2.1 Fisiologi Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intracranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. TIK normal pada keadaa istirahat sebesar 10 mmHg. TIK lebih tinggi
dari 20 mmHg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan prognosis yang
buruk.12

Gambar 6. Doktrin Monro-Kellie13

Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan


pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial harus selalu

14
konstan. Hal ini jelas karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
elastis (rigid), tidak mungkin mekar. Segera setelah trauma terjadi, massa seperti gumpalan
darah dapat terus bertamaah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat pengaliran liquor
serebrospinal dan darah intravascular mencapai titik dekompensasi, TIK secara cepat akan
meningkat.12,13

2.2.2 Fisiologi Aliran Darah Otak (ADO)


Aliran darah normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml/100 gram/menit.
Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 5% dari ADO dalam 6-12 jam pertama
sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari setelahnya, tetapi pada penderita
yang tetap koma, ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah
trauma. ADO yang rendah tidak dapat mencukup kebutuhan metabolisme otak segera setelah
trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemia otak fokal ataupun difus. Pembuluh darah
prekapilier normal memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon
terhadap perfusi otak/TPO (CPP = Cerebral Perfusion Pressure), yang secara klinis
didefinisikan sebagai tekanan darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP
sebesar 50-150 mmHg diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan
(autoregulasi tekanan). Akibatnya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark
sehubungan dengan penurunan ADO akibat cedera itu sendiri.13

Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi otak
dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan volume intracranial, mempertahankan
tekanan darah arteri rata-rata (MAP = Mean Arterial Blood Pressure) dan memperbaiki
oksigenasi serta mengusahakan normocapnia. Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan
volume intracranial harus segera dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak di atas 60
mmHg sangat membantu untuk memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat
memperburuk keadaan paru-paru). Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat
peningkatan eksponensial TIK, maka perfusi otak akan terganggu, terutama pada pasien yang
mengalami hipotensi. Akhirnya akan berkontribusi pada terjadinya cedera sekunder yang
dapat terjadi pada jaringan otak yang masih bertahan beberapa hari pertama setelah cedera
otak berat. Proses patofisiologi tersebut ditandai oleh proses inflamasi progresif,
permeabilitas pembuluh darah, dan pembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan
TIK yang menetap dan mengakibatkan kematian.7

15
Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi ADO13

2.3 Terminologi dan Klasifikasi Trauma Kepala


Traumatic brain injury dapat dipisahkan menjadi dua kategori utama: (1) cedera primer
dan komplikasi primer yang terkait berkaitan dengan kerusakan akibat dampak langsung
dan (2) komplikasi sekunder akibat cedera primer dari waktu ke waktu. Cedera kepala
terbuka (open head injury/OHI) melibatkan isi intrakranial melalui tengkorak dan kulit
kepala. Pada cedera kepala tertutup (closed head injury/CHI), tidak ada hubungan antara
isi intrakranial dan lingkungan ekstrakranial.14

Klasifikasi TBI adalah sebagai berikut:15


1. Lesi Primer
 Perdarahan ekstraksial: SAH, subdural hematoma (SDH), epidural hematoma (EDH)
 Lesi intraaxial: diffuse axonal injury (DAI), contusio kortikal, deep cerebral GM
injury, trauma batang otak, intraventricular haemorrhage (IVH)
2. Fraktur Tengkorak
 Fraktur linier
 Fraktur depresi/impresi
 Fraktur elevasi
3. Lesi sekunder
 Herniasi otak

16
 Iskemia traumatik
 Edema cerebri difus
 Hypoxic brain injury

2.4 Penilaian GCS dan Indikasi CT Scan Pada Trauma Kepala


Cedera kepala ringan: skor 13-15, cedera kepala sedang: skor 9-12, dan cedera kepala
berat: skor ≤8. Pasien dengan cedera kepala sedang dan berat merupakan indikasi CT
scan.16

Gambar 8 Penilaian GCS dan Klasifikasi Cedera Kepala16

Sedangkan, cedera kepala ringan diindikasikan CT scan bila memenuhi kriteria-kriteria pada
gambar di bawah ini.16

Gambar 9. Indikasi CT scan pada cedera kepala ringan16

17
2.5 Infark Cerebri

2.5.1 Definisi

Stroke atau infark cerebri adalah penyakit gangguan pembuluh darah otak yang ditandai
dengan kematian jaringan otak. Stroke dibagi menjadi 2 macam dilihat dari penyebabnya
yaitu stroke henoragik dan nonhemoragik (stroke iskemik). Stroke henoragik sendiri adalah
stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak secara spontan, stroke ini
dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke intra cerebrum dan stroke hemoragik subaraknoid.
Sedangkan stroke non hemoragik atau iskemik adalah stroke yang disebabkan oleh terjadinya
penyumbatan pada arteri yang mengarah ke otak yang mengakibatkan berkurangnya suplai
darah ke otak.17

Stroke atau infark serebri adalah kematian neuron-neuron, sel glia dan sistem pembuluh
darah yang disebabkan oleh berkurangnya pasokan oksigen dan nutrisi ke otak. Berdasarkan
penyebabnya infark dapat dibagi menjadi 3, yaitu:18

1. Infark anoksik, disebabkan kekurangan oksigen, walaupun aliran darahnya


normal, misalnya asfiksia.
2. Infark hipoglikemik, terjadi bila kadar glukosa darah dibawah batas kritis
untuk waktu yang lama, misalnya koma hipoglikemik.
3. Infark iskemik, terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen dan nutrisi.17

2.5.2 Etiologi Infark Cerebri

Infark cerebri dapat disebabkan oleh : 18

1. Trombosis otak
Trombosis adalah obstruksi aliran darah yang terjadi karena proses oklusi pada satu
pembuluh darah lokal atau lebih. Trombosis otak umumnya terjadi pada pembuluh darah
yang mengalami artherosklerosis yang mula-mula akan menyempitkan lumen pembuluh
darah (stenosis) yang kemudian dapat berkembang menjadi sumbatan (oklusi) yang
menyebabkan terjadinya infark
2. Emboli otak

18
Emboli adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan
tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Penyebab
emboli otak pada umumnya berhubungan dengan kelainan kardiovaskuler antara lain :
a. Fibrilasi atrial
b. Penyakit katup jantung
c. Infark miokard
d. Penyakit jantung rematik
e. Lepasnya plak aterosklerosis pembuluh darah besar intra / ekstra cranial

3. Pengurangan perfusi sistemik umum


Pengurangan perfusi sistemik bisa mengakibatkan iskemik. Pengurangan perfusi ini dapat
disebabkan karena :
a. Kegagalan pompa jantung
b. Proses perdarahan yang masif
c. Hipovolemik18

2.5.3 Faktor Risiko17,18


- Mempunyai riwayat stroke/infark cerebri di keluarga
- Usia : Usia di atas 55 tahun, resiko stroke meningkat akibat proses penyempitan
dan pengerasan pembuluh darah yang dapat mengurangi aliran darah ke otak.
- Hipertensi : Hipertensi dapat menyebabkan pembentukan plak aterosklerosis
semakin cepat dan progresif, disfungsi endotel semakin meningkat, diameter
pembuluh darah semakin menyempit sehingga supply oksigen ke otak terhambat.
- Diabetes Mellitus : Diabetes diketahui dapat meningkatkan kemungkinan
aterosklerosis karena gangguan metabolisme lipid pada arteri koroner, arteri
femoral, dan arteri serebral.
- Dislipidemia : Berperan dalam proses ateresklerosis dan meningkatkan resiko
stroke
- Merokok
- Obesitas
- Kebiasaan konsumsi alcohol

19
2.5.4 Manifestasi Klinis19
Paling umum adalah difisit neurologis yang progresif. Pemburukan situasi secara bertahap
terjadi pada sepertiga jumlah penderita, dua pertiga lainnya muncul sebagai transien iskemic
attacks (TIA) yang kemudian berkembang menjadi defisit neurologis menetap.
Defisit neurologis pada otak biasanya mencapai maksimum dalam 24 jam pertama. Umur
lanjut, hipertensi, koma komplikasi kardiorepirasi, hipoksia, hiperkapnia, dan hiperventilasi
neurogenik merupakan faktor prognosis yang memperburuk kondisi penderita. Infark di
wilayah arteri serebri media dapat menimbulkan edema masif dengan herniasi otak, hal ini
biasanya terjadi dalam waktu 72 jam pertama pasca infark.
Pulihnya fungsi neural dapat terjadi 2 minggu pasca infark dan pada akhir minggu ke 8 akan
dicapai pemulihan maksimum. Kematian meliputi 24% dalam satu bulan pertama. Angka
harapan hidup jelas lebih baik pada kasus infark otak dari pada perdarahan, tetapi kecacatan
akan lebih berat pada infark karena perdarahan akan mengalami resolusi dan jaringan otak
akan kembali dalam keadaan utuh, sementara itu infark merusak neuron-neuron yang
terkena.6,9

2.5.5 Diagnosis
Penyebabnya harus segera ditegakkan dalam beberapa jam pasca awitan agar terapi yang
tepat dapat segera diberikan. Pemeriksaan urin, darah, EKG, dan pemeriksaan radiologi
sebaiknya dilakukan secara sistematis.7

Pemerikasaan Laboratorium Darah


Dari pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis ke arah strok non hemoragic tidak
banyak, diantaranya adalah penurunan hematokrit. Penurunan hematokrit menandakan
kondisi viskositas darah, dimana viskositas darah mempengaruhi aliran darah ke otak. Aliran
darah ke otak yang tidak lancar menyebabkan hipoksia otak yang dapat berakhir terjadinya
infark.

Pemeriksaan Radiologi
CT Scan
Computed Tomography Scan juga disebut CT Scan, merupakan proses pemeriksaan dengan
menggunakan sinar-X untuk mengambil gambar otak. Dengan menggunakan komputer,
beberapa seri gambar sinar-X akan memperlihatkan gambar tiga dimensi kepala dari
beberapa sudut. CT Scan dapat menunjukkan ; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh

20
darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal, dan dapat menentukan
penyebab stroke, apakah karena insufisiensi aliran darah (stroke iskemik), ruptur pembuluh
darah (hemoragik) atau penyebab lainnya. CT Scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan
lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah, pembekuan darah, dan
masalah lainnya.

Perubahan gambaran CT Scan kepala pada stroke iskemik : 10


1) Infark Hiperakut
Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan biasanya tidak sensitif
mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50% pasien, tetapi cukup
sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut dan/atau lesi lain. Gambaran
CT scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut adalah sebagai berikut :
 Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement). Gambaran ini tampak
akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark serebral akut menyebabkan
hipoperfusi dan edema sitotoksik. Edema serebri dapat dideteksi dalam 1-2 jam
setelah onset gejala. Pada CT scan terdeteksi sebagai pembengkakan girus dan
pendangkalan sulcus serebri.

Gambar 10. Sulcal effacement pada hemisfer serebri kanan

 Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri. Substansia grisea
merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan substansia alba,
karena metabolismenya lebih aktif. Sehingga menghilangnya diferensiasi substansia
alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT scan yang paling awal
didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada substansia grisea.

21
Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul pada 82% pasien
dengan iskemia area arteri serebri media.10,11

 Tanda insular ribbon

Gambaran hipodensitas insula serebri cepat tampak pada oklusi arteri serebri media
karena posisinya pada daerah perbatasan yang jauh dari suplai kolateral arteri serebri
anterior maupun posterior. 10,11

Gambar 11. Hipodensitas insula serebri kiri pada infark arteri serebri media kiri
(panah putih) 10,11

 Hipodensitas nukleus lentiformis


Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam
setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung mudah mengalami kerusakan ireversibel
yang cepat pada oklusi proksimal arteri serebri media karena cabang lentikulostriata
arteri serebri media yang memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end
vessel. 10,11

22
Gambar 12. Hipodensitas nukleus lentiformis (panah putih panjang), hipodensitas kaput
nukleus kaudatus (kepala panah putih), hipodensitas insula serebri (panah putih pendek),
dan pendangkalan sulkus serebri regio temporoparietal (panah hitam) 10,11

 Tanda hiperdensitas arteri serebri media


Gambaran ekstraparenkimal dapat ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala
timbul, yaitu gambaran hiperdensitas pada pembuluh darah besar, yang biasanya
terlihat pada cabang proksimal (segmen M1) arteri serebri media, walaupun
sebenarnya bisa didapatkan pada semua arteri. Peningkatan densitas ini diduga akibat
melambatnya aliran pembuluh darah lokal karena adanya trombus intravaskular atau
menggambarkan secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri. 10,11

Gambar 13. Tanda hiperdensitas arteri serebri media, hiperdensitas linear pada segmen
proksimal arteri serebri media (tanda panah) 10,11

 Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri media yang
tampak sebagai titik hiperdens pada fisura Sylvii. 10,11

23
Gambar 14. Tanda Sylvian dot , tampak titik hiperdens pada fissura Sylvii (tanda
panah) 10,11

2) Infark Akut
Pada periode akut (6-24 jam), hilangnya batas substansia alba dan substansia grisea
serebri, pendangkalan sulkus, hipodensitas ganglia basalis, dan hipodensitas insula
serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas pada fase
ini.11
3) Infark Subakut dan Kronis
Selama subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek massa yang
menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi pada
infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Infark kronis ditandai dengan
hipodensitas dan berkurangnya efek massa. Densitas infark = cairan serebrospinal.12

Gambar 8. Gambaran hipodensitas masing-masing lesi. Densitas sama dengan cairan


serebrospinal dan bentuknya sesuai distribusi vaskular arteri serebri media (infark di sulkus
sentralis) (a) dan arteri serebri posterior (infark oksipital) (b)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI mendeteksi kelainan neurology lebih baik dari CT scan misalnya stroke, abnormalitas
batang otak dan cerebellum, dan multiple sclerosis. Stroke dapat mengakibatkan penumpukan
cairan pada sel jaringan otak segera 30 menit setelah terjadi serangan. Dengan efek
visualisasi (MRI angiogram) dapat pula memperlihatkan aliran darah di otak dengan jelas.12

24
2.5.6 PENATALAKSANAAN
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan melakukan
tindakan sebagai berikut:
 Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lender yang
sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
 Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
 Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
 Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
 Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan. 10,11

Pengobatan Konservatif
a. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi
maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
b. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
c. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d.Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya
trombosis atau emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler. 10,11

Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
a. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka
arteri karotis di leher.
b. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh pasien TIA.
c. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
d. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma. 10,11

25
2.6 Meningitis
2.6.1 Definisi
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh selaput
otak (meningen) dan ditandai dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal
(CSF). Penyebab meningitis yang terbanyak yaitu bakteri, beberapa kasus juga menunjukan
keterlibatan dari infeksi virus.

2.6.2 Etiologi
Penyebab meningitis yang paling umum pada orang dewasa yang imunokompeten adalah
virus dan bakteri. Enterovirus adalah penyebab infeksi virus pada kasus meningitis yang
paling umum, dengan herpes simplex dan varicella zoster paling sering berikutnya.
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis adalah bakteri yang paling sering
mengakibatkan meningitis, kedua jenis bakteri ini bersama-sama menyumbang sekitar
seperempat dari kasus meningitis. Penyebab lain seperti Haemophilus influenzae, Listeria
monocytogenes, Mycobacterium tuberculosis dan jamur (biasanya cryptococci) kurang sering
terdeteksi, bersama-sama mewakili <10% kasus. Saat ini, banyak orang dewasa dengan
meningitis tidak memiliki patogen yang terdeteksi.
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi menjadi dua
golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang
selaput otak arakhnoid dan pia mater yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lain seperti virus, Toxoplasma
gondhii, Ricketsia.
Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan pia mater yang meliputi otak dan
medulla spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumonia (pneumokok), Nesseria
meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa.

2.6.3 Patofisiologi
Saluran nafas merupakan port d’entrée (jalan masuk) utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan
sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk melalui jalur hematogen, memperbanyak diri
didalam darah masuk ke dalam cairan serebrospinal selanjutnya memperbanyak diri
didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak. Meningitis
bakteri paling sering terjadi akibat penyebaran mikroorganisme secara hematogen.

26
Meningitis bakteri pada umumnya, sebagai akibat dari penyebaran penyakit lain. Bakteri
menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis,
tonsilitis, pneumonia, dan lain-lain. Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada didekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis
media, sinusitis, dan lain-lain. Penyebaran bakteri bisa juga terjadi akibat trauma kepala
dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak.
Meningitis dapat terjadi setelah terjadi invasi bakteri yang berasal dari pusat infeksi menular.
Meningitis juga dapat terjadi melalui invasi langsung ke selaput otak dan menyebar ke
selaput otak secara hematogen. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang
mengalami hiperemi dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. waktu yang
sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.

2.6.4 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda meningitis bakteri didahului oleh gejala saluran nafas bagian atas atau
saluran cerna selama beberapa hari sebelumnya. Biasanya radang selaput otak akan
disertai panas mendadak mual, muntah, anoreksia, fotofobia, dan kaku kuduk. Bila
infeksi memberat, timbul peradangan korteks dan edema otak dengan gejala-gejala
penurunan tingkat kesadaran, koma, kejang-kejang, kelumpuhan saraf otak yang
bersifat sementara atau menetap, dan pada bayi fontanella mencembung.
Gambaran klinis saja tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis meningitis. Pungsi lumbar (LP)
penting untuk memastikan diagnosis meningitis dan menentukan penyebabnya.
Dalam satu penelitian, 95% pasien meningitis bakteri memiliki setidaknya dua gejala sakit
kepala, leher kaku, demam dan perubahan kesadaran. Tiga fitur terakhir hadir bersama hanya
dalam 44% kasus. Defisit neurologis ditemukan pada sekitar sepertiga pasien. Temuan serupa
dilaporkan oleh penelitian lain. Ruam pada dugaan meningitis membuat N meningitidis lebih
mungkin terjadi. Namun, 37% pasien meningitis meningokokus tidak memiliki ruam.
Varicella dan enterovirus juga dapat dikaitkan dengan ruam.
Faktor risiko meningitis Listeria termasuk kompromi kekebalan tubuh terbuka atau relatif,
yang terakhir termasuk penyakit kronis, diabetes, ketergantungan alkohol, keganasan atau
usia tua. Listeria meningitis jarang terlihat pada orang dewasa yang imunokompeten di
bawah 60 tahun. Riwayat perjalanan penyakit, gejala otitis media / sinusitis, kontak dengan

27
orang lain dengan meningitis, sepsis atau tuberkulosis adalah petunjuk diagnostik lain yang
bermanfaat.

2.6.5 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1. Pemeriksaan Kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak
dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan
rotasi kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa
nyeri. Tanda kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
derajat (kaki tidak dapat diekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda brudzinski I positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II (Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

2.6.6 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan cairan serebrospinalis
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi menjadi dua
golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.Pada meningitis purulenta,
diagnosa diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop
dan hasil biakan. Pada pemeriksaan diperoleh hasil cairan serebrospinal yang keruh

28
karena mengandung pus (nanah) yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan
mati, serta jaringan yang mati dan bakteri.

 Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, dan kultur. Pada meningitis purulenta
didapatkan peningkatan leukosit. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit
saja. Di samping itu, pada meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.

 Pemeriksaan Radiologis
Menigitis adalah sindrom klinis yang ditandai oleh peradangan pada meninges. Penyebab
paling umum dari peradangan meningeal adalah infeksi bakteri atau virus. Sebagian
besar kasus meningitis bakteri terlokalisasi di atas dorsum otak; Namun, dalam kondisi
tertentu, meningitis dapat terkonsentrasi di pangkal otak, seperti halnya penyakit jamur
dan TBC. Meningitis bakteri harus menjadi pertimbangan pertama dan terpenting dalam
diagnosis banding pasien dengan sakit kepala, leher kaku, demam, dan perubahan status
mental. Meningitis bakteri akut adalah keadaan darurat medis, dan keterlambatan dalam
melembagakan terapi antimikroba yang efektif menghasilkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Keputusan untuk mendapatkan CT scan otak sebelum LP seharusnya
tidak ditunda untuk penentuan terapi antibiotik; keterlambatan semacam itu dapat
meningkatkan kematian.21

Neuroimaging dapat mengidentifikasi kondisi yang dapat menjadi predisposisi


meningitis bakteri; dengan demikian, ini diindikasikan pada pasien yang memiliki bukti
trauma kepala, infeksi sinus atau mastoid, fraktur tengkorak, dan anomali kongenital.
Selain itu, studi neuroimaging biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan
memantau komplikasi meningitis, seperti hidrosefalus, efusi subdural, empiema, dan
infark dan untuk mengecualikan abses parenkim dan ventrikulitis. Mengidentifikasi
komplikasi otak sejak dini adalah penting, karena beberapa komplikasi, seperti
hidrosefalus simtomatik, empiema subdural, dan abses serebral, memerlukan intervensi
bedah saraf yang cepat.21

29
CT – Scan

Peran paling penting dari pemindaian CT pada pasien pencitraan dengan meningitis
adalah untuk mengidentifikasi kontraindikasi untuk pungsi lumbal dan komplikasi yang
memerlukan intervensi bedah saraf segera, seperti hidrosefalus simtomatik, empiema
subdural, dan abses serebral. CT scan yang ditingkatkan kontras juga dapat membantu
mendeteksi komplikasi seperti trombosis vena, infark, dan ventrikulitis. Ventriculitis
adalah komplikasi meningitis bakteri yang biasa terlihat pada neonatus. Peningkatan
ependymal dapat dilihat pada CT scan yang ditingkatkan kontras. 21

Nilai CT scan dalam diagnosis awal empyema subdural dan efusi kontroversial, karena
modalitas ini mungkin tidak mendeteksi meningitis, terutama CT scan yang tidak
ditingkatkan pada tahap awal penyakit. Hasil normal pada pencitraan CT tidak
mengecualikan adanya meningitis akut.21

CT scan dapat mengungkapkan penyebab infeksi meningeal. Hidrosefalus obstruktif


dapat terjadi dengan perubahan inflamasi kronis pada ruang subaraknoid atau dalam
kasus obstruksi ventrikel. Struktur ottorologis dan defek kalvarial kongenital dan
posttraumatic dapat dievaluasi.21

Gambar 9. Mastoiditis kronis dan empiema epidural pada pasien dengan meningitis bakteri.
Gambar ini menunjukkan sklerosis tulang temporal (mastoiditis kronis), empiema epidural yang
berdekatan dengan peningkatan dural yang ditandai (panah), dan tidak adanya udara mastoid kiri.

30
Pada cerebritis, CT scan dapat menunjukkan area redaman yang tidak jelas, yang merupakan
bukti edema pada otak yang terkena. Pada CT scan yang tidak ditingkatkan, abses, yang
paling sering terletak di dekat persimpangan materi-abu-abu, dapat muncul sebagai area
redaman rendah dengan dinding tipis atenuasi sedikit meningkat. Setelah pemberian bahan
kontras, dinding abses dan peningkatan jaringan inflamasi sekitarnya berbentuk cincin.

Gambar 10. Cerebritis dan gambaran pembentukan abses pada pasien dengan meningitis bakteri.
Pemindaian tomografi terkompensasi aksial yang ditingkatkan kontras ini diperoleh 1 bulan
setelah operasi dan menunjukkan massa kecil, peningkatan cincin, hypoattenuating (rekurensi
abses) di ganglia basal kiri dan pengumpulan cairan subdural berbentuk lentiform kiri dengan
meningen yang disempurnakan (panah).

31
Gambar 11. Empiema subdural dan edema serebral pada pasien dengan meningitis bakteri. Scan
tomografi terkomputasi yang ditingkatkan kontras ini menunjukkan edema serebral dan infark
lacunar di thalamus.

Gambar 12. Empyema subdural bilateral pada pasien dengan meningitis bakteri. Scan tomografi
terkomputasi ini menunjukkan fitur diagnostik penting dari meningitis: peningkatan margin yang
menonjol dan peningkatan atenuasi empiema.

32
CT Scan bagian tipis berguna untuk mengevaluasi pasien dengan meningitis bakteri berulang;
Cisternografi CT dapat menggambarkan kebocoran CSF, yang mungkin menjadi sumber
infeksi pada kasus meningitis berulang.
Gejala sisa dari meningitis dapat digambarkan pada CT scan sebagai kalsifikasi
periventrikular dan meningeal, area terlokalisasi dari encephalomalacia, porencephaly, dan
dilatasi ventrikel sekunder akibat atrofi otak.
Temuan CT scan nonenhanced mungkin normal (> 50% dari pasien), atau studi dapat
menunjukkan dilatasi ringan dan ventrikel sulci, edema serebral, dan focal low-attenuating
lesions. (Lihat gambar di bawah.)

Gambar 13 . Meningitis bakteri akut. Pemindaian tomografi terkomputasi aksial nonenhanced


ini menunjukkan ventrikulomegali ringan dan penipisan sulkus.

MRI
MRI otak dengan kontras adalah modalitas paling sensitif untuk diagnosis meningitis bakteri
karena membantu mendeteksi keberadaan dan tingkat perubahan inflamasi pada meninges,
serta komplikasi. Meningkatnya sensitivitas dan spesifisitas hasil MRI dari pencitraan
multiplanar langsung, peningkatan resolusi kontras, dan tidak adanya artefak yang
disebabkan oleh tulang. Studi MRI nonenhanced dilakukan pada pasien dengan meningitis
bakteri akut tanpa komplikasi dapat menunjukkan temuan biasa; Namun, hasil tersebut tidak
mengecualikan meningitis akut.
Beberapa penulis menyarankan melakukan MRI dengan bahan kontras dosis tinggi (0,3
mmol / kg), yang merupakan faktor paling penting. Mereka juga merekomendasikan

33
pencitraan segera setelah injeksi dan kemudian melakukan pencitraan transfer magnetisasi,
yang dapat membantu menggambarkan peningkatan meningeal abnormal dan yang
memfasilitasi diagnosis meningitis otak dini. Peningkatan meningeal tidak spesifik, namun,
dan dapat disebabkan tidak hanya oleh meningitis bakteri tetapi juga oleh neoplasma,
perdarahan, sarkoidosis, dan gangguan inflamasi tidak menular lainnya.

Gambar 14. Sinusitis frontal, empiema, dan pembentukan abses pada pasien dengan
meningitis bakteri. Gambar resonansi magnetik aksial T2 ini menunjukkan sinusitis frontal,
bone defect (panah) dengan edema kortikal yang berdekatan (panah), dan pengumpulan
cairan subdural oksipitoparietal kanan (empiema).

34
gambar 15. Meningitis bakteri akut. Gambar MRI aksial T2 ini hanya menunjukkan
ventrikulomegali ringan.21

Gambar 16. Pachymeningitis dan serebritis pada pasien dengan meningitis bakteri. Gambar
MRI ini menunjukkan edema fokus parenkim (serebritis).21

2.6.7 Tatalaksana Meningitis


Penderita diberikan pengobatan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan jenis
penyebab meningitis, yaitu:

35
 Meningitis yang disebabkan pneumokok, meningokok : Ampisilin.
 Meningitis yang disebabkan Haemophilus influenza : Kombinasi ampisilin dan
kloramfenikol.
 Meningitis yang disebabkan enterobacteriaceae : Sefotaksim, campuran trimetoprim
dan sulfametoksazol.
 Meningitis yang disebabkan Staphylococcus aureus : Vankomisin, sefotaksim atau
setrifiakson.21

2.6.8 Komplikasi22
 hydrocephalus
 subdural empyema
 epidural empyema
 cerebritis and cerebral abscess
 infarction
 ventriculitis
 dural sinus thrombosis
The complications of meningitis can be remembered using the mnemonic HACTIVE.

36
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
No. CM : 4853**
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 66 tahun
Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan : SMA
Alamat : Banyumanik, Semarang
Tanggal masuk RS : 15/10/2019

II. ANAMNESA
 Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran dan lemas anggota gerak sebelah kiri
 Keluhan Tambahan:
Sulit bicara, tidak mau makan

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


• Seorang pasien berusia 66 tahun datang diantar oleh keluarga ke IGD RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang pada tanggal 18 Oktober 2019 pukul 13.00 WIB 15
November 2019 pukul 09.44 WIB dengan keluhan penurunan kesadaran dan lemas
anggota gerak sebelah kiri. Keluhan dirasakan sejak 2 jam SMRS. Pasien juga
mengeluh sulit bicara dan tidak mau makan sejak 2 hari lalu. Pasien mempunyai
riwayat TB paru 1 tahun lalu dengan pengobatan tidak tuntas. Pasien hanya minum
obat selama 3 bulan. Pasien juga mempunyai riwayat stroke 3 tahun lalu. Selama 3
tahun ini, pasien menggunakan tongkat untuk berjalan karena lemah anggota gerak
sebelah kiri. Keluhan seperti pandangan kabur, nyeri ulu hati, dan muntah disangkal.
Riwayat trauma disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.

37
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
 Riwayat keluhan serupa : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Diakui, sejak 5 tahun lalu (tidak terkontrol)
 Riwayat Kencing Manis : Disangkal
 Riwayat Stroke : Diakui, sejak 3 tahun lalu
 Riwayat Jantung : Disangkal
 Riwayat sakit ginjal : Disangkal
 Riwayat Kejang : Disangkal
 Riwayat Trauma : Disangkal
 Riwayat TB paru : Diakui, sejak 1 tahun lalu (pengobatan tidak tuntas)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat Kencing Manis : Disangkal
 Riwayat Stroke : Disangkal
 Riwayat Jantung : Disangkal
 Riwayat TB paru : Disangkal

RIWAYAT PENGOBATAN
• Pasien mengaku tidak kontrol secara rutin untuk penyakit darah tingginya.
• Pasien mempunyai riwayat TB putus obat 1 tahun lalu

RIWAYAT KEBIASAAN
 Konsumsi Alkohol : Disangkal
 Merokok : Diakui (sudah berhenti 3 tahun lalu)

RIWAYAT OPERASI : -

III. PEMERIKSAAN FISIK


• Pemeriksaan Umum
 KU: tampak mengalami penurunan kesadaran

38
 Kesadaran: Somnolen (GCS : 7)
• Tanda-tanda vital
• Tekanan Darah: 158/117 mmhg
• Frekuensi Nadi: 112x/ menit, nadi kuat
• Frekuensi Nafas: 22x/menit, reguler
• Suhu Tubuh: 37,90C
• Saturasi O2 : 98%
• GDS : 180

PEMERIKSAAN SISTEMATIS

Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam, tidak mudah dicabut, kulit


kepala tidak ada kelainan
Mata : CA -/-, Refleks cahaya +/+, pupil isokor
Telinga : bentuk normal, serumen -/-
Hidung : bentuk normal, septum deviasi (-), 39issur -/-
Tenggorokan : tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Mulut : Lidah tidak ada kelainan, uvula di tengah, faring tidak hiperemis.
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar

THORAX
• Paru-paru
 Inspeksi : bentuk dada normal
 Palpasi : stem fremitus kanan kiri depan belakang sama kuat
 Perkusi : sonor +/+
 Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
• Jantung
 Inspeksi : pulsasi iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : pulsasi iktus cordis teraba pada ICS VI midclavicula line sinistra
 Perkusi : redup
 Auskultasi : BJ1&2 reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN

39
• Inspeksi : permukaan datar, tegang
• Auskultasi : BU (+)
• Palpasi : nyeri tekan (-)
• Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

STATUS NEUROLOGIS
- GCS : E2M3V2 (somnolen)
- Pemeriksaan Motorik : 5/5|3/5
5/5|3/5
Saraf Kranial
• N. I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan
• N. II (Optikus) : Tidak dilakukan
• N. III (Okulomotorius)
Palpebra : Tidak ada kelainan
Gerakan bola mata : Tidak ada kelainan
Fungsi dan reaksi pupil : Normal +/+
Ukuran pupil : 3mm / 3mm
Bentuk pupil : Isokor, bulat
Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tak langsung : +/+
• N. IV (Throklearis)
Gerakan mata ke lateral bawah: Normal +/+
• N. V (Trigeminus)
Membuka mulut :+
• N. VI (Abdusen)
Gerakan Mata ke lateral : +/+
• N. VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi : Tidak ada kelainan
Mengangkat alis : Tidak ada kelainan
Memejamkan mata : Tidak ada kelainan
Menyeringai : Dapat, sulkus nasolabialis kiri datar dan
sudut mulut sisi kiri tertinggal
Mencucukan bibir : Bibir bagian kiri lebih tertinggal / lemah

40
• N. VIII (Vestibulo-koklearis): Tidak dilakukan
• N. IX (Glossofaringeus) : Tidak dilakukan

- Pemeriksaan Sensorik : Dalam batas normal


- Meningeal Sign :
 Kaku kuduk :+
 Kernig Sign :+
 Laseque Sign :+
 Brudzinski I :+
 Brudzinski II :-
 Brudzinski III :-
 Brudzinski IV :-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin 15,6 g/dL 11.7-15.5
Hematokrit 47.00 % 35-47
Leukosit 9.0 /uL 3.8-10.6
Trombosit 227 /uL 150-400
Kimia Klinik
SGPT 40 U/L 0-35
SGOT 26 U/L 0-35
CKMB 79 U/L <25
Kalsium 1.22 mmol/L 1.00-1.15
Kalium 3.40 mmol/L 3.50-5.0
Natrium 146.0 mmol/L 135.0-5.0
Kreatinin 0.7 mg/dL 0.6-1.1
Ureum 65.0 mg/dL 17.0-43.0

41
B. Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax

Kesan:

Cor bentuk dan letak normal.

Kalsifikasi arkus aorta.

Gambaran bronkopneumonia.

42
Foto CT SCAN Kepala

MSCT Scan Kepala Dengan Kontras


Pada Brain window :

43
 Tampak lesi hipodens di korona radiata dan nucleus lentiformis kanan dan kiri,
thalamus, dan genu capsula interna kiri serta pons
 Tampak area hipodens di periventrikel lateral kanan dan kiri
 Paska injeksi kontras, tampak basal dan sulcal enhancement
 Diferensiasi substansia alba dan grisea masih baik
 Sulkus kortikalis dan fisura sylvii baik
 System ventrikel dan sisterna baik
 Cerebellum baik
 Tak tampak midline shifting

Pada Bone window :


 Tak tampak fraktur os cranium
 Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
 Tak tampak penebalan mukosa pda sinus paranasalis
 Tak tampak kesuraman pada kedua mastoid

KESAN :
 Gambaran Meningitis
 Infark di korona radiata dan nucleus lentiformis kanan dan kiri, thalamus
dan genu kapsula interna kiri serta pons
 Area hipodens di periventrikel lateral kanan dan kiri  demielinisasi
 Tak tampak tanda peningkatan TIK saat ini

V. DIAGNOSIS
 Diagnosis Kerja :
- Meningitis
- Infark Cerebri

VI. TATALAKSANA
Tatalaksana Farmakologi
 O2 2L/mnt
 Infus RL 15 tpm
 Inj Ranitidin 50mg /12 J

44
 Inj Fartison 2x1 amp
 Inj Levofloxaxin 750 mg / 24 j
 Inj Acetylsistein 3x1 amp
 PO: Paracetamol tab 500 mg / 8 J

VII. PROGNOSIS
 Ad Vitam : dubia ad malam
 Ad Functionam : dubia ad malam
 Ad Sanationam : dubia ad malam

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan suatu prosedur diagnosis yang digunakan untuk
membedakan infark serebri, perdarahan, infeksi ataupun masa, yang berguna dalam
tatalaksana awal. Pemeriksaan CT Scan juga dapat menyingkirkan diagnosis banding yang
penting. Pada Ct Scan bisa dilihat gambaran infark. Infark adalah cedera jaringan lokal atau
nekrosis karena berkurangnya aliran darah ke bagian tubuh tertentu, termasuk ke otak.

Infark serebral biasanya disebabkan karena kejadian iskemik fokal dengan onset akut dan
tanda klinis yang asimetris dan progresif untuk waktu yang singkat. Faktor risiko dari Infark
serebral adalah hipertensi dan Diabetes Mellitus. Hal ini sesuai dengan pasien yang memiliki
riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu disertai dengan DM yang tidak terkontrol.
Berdasarkan teori, hematocrit pada kasus stroke non haemorage akan meningkat, tetapi pada
kasus ini, hematocrit masih normal. Dan dari hasil MSCT dengan kontras memperlihatkan
adanya infark di korona radiata dan nucleus lentiformis kanan dan kiri, thalamus dan genu
kapsula interna kiri serta pons. Artinya, terdapat lesi di parenkim otak, sehingga fungsi
motorik pada pasien juga terganggu.

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan keluhan penurunan kesadaran. Dari hasil
pemeriksaan tingkat kesadaran pasien somnolen. Dan dari pemeriksaan fisik didapatkan
rangsang meningeal (+) hal ini sesuai dengan hasil gambaran MSCT dengan kontras. Yang
memperlihatkan gambaran meningitis. Pasien juga mempunyai riwayat TB paru dengan
pengobatan tidak tuntas 1 tahun yang lalu.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jogjakarta: UGM


2. Ovbiagele B, Mai N. Stroke Epidemiology: Advincing Our Understanding of
Disease Mechanism and Therapy. Department of Neurology, University of
California: 2011.
3. Soler EP, Ruiz V. Epidemiology and Risk Factors of Cerebral Ischemia and
Ischemic Heart Diseases: Similarities and Differences. Spain: 2010 Aug; 6(3):
138–149.

4. Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill


Livingstoke.
5. Kemenkes RI. Potret Sehat Indonesia dari Riskesdas 2018. Jakarta : 2018.
6. Hakimelahi R, Gonzales RG. Neuroimaging of Ischemic Stroke with CT and MRI:
Advancing Towards Physiology – Based Diagnosis and Therapy, 7(1):29-48,
Expert Rev CardiovascTher. 2009.

7. Analisis Hubungan Kadar PCT dengan Derajat Keparahan Meningitis pada Anak.
Surakarta: 2017
8. Luhulima JW, 2003. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
9. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s anatomy for students. 4th ed.
Philadelphia: Elsevier. 2019; p.843-82
10. Moore KL, Dalley AF, Agur AM. Clinically oriented anatomy. 8th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer. 2017; p.1871-900, 1921-3, 1964-82, 1995-2007..
11. Hansen JT. Netter’s clinical anatomy. 4th ed. Philadelphia: Elsevier. 2018; p.442-47.
12. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. ECG: Penerbit Buku
Kedokteran. Edisi 6.

13. Barret KE, Barman SM, Brooks HL. Ganong’s review of medical physiology. 26th
ed. United States: McGraw-Hill Education. 2019; p.1380-2.
14. Nadgir R, Yousem DM. Neuroradiology: the requisites. 4th ed. Philadelphia: Elsevier.
2017; p. 150-7.
15. Harisinghani MG, Chen JW, Weissleder R. Primer of diagnostic imaging. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier. 2019; p.387-8, 390-1, 399-401.

47
16. Osborn AG, Hedlund GL, Salzman KL. Osborn’s brain: imaging, pathology, and
anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier. 2018; p. 6-8, 13-26.
17. Maas MB, Safdieh, JE. Ischemic stroke: Pathophysiology and Principles of
localization. Neurology Board Review Manual. Neurology, 2009, 13 (1): 2-16.
18. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2003
19. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press. 2011.
20. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor
Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.
21. Anil Khosla. Bacterial meningitis imaging. MBBS, MD Assistant Professor,
Department of Radiology. 2019.
22. Sharma R, Gaillard F. Leptomeningitis. Diperoleh dari :
https://radiopaedia.org/articles/leptomeningitis

48

Anda mungkin juga menyukai