SKLERODERMA SISTEMIK
Pembimbing:
Disusun Oleh:
1820211116
Skleroderma Sistemik
Diajukan sebagai salah satu tugas di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun Oleh:
Galih Okta Satria 1820211116
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah
melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat, serta kasih sayang-Nya kepada penulis
sehingga presentasi kasus yang berjudul “Skleroderma Sistemik” telah selesai
tepat pada waktunya.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK selaku dosen pembimbing
2. Dokter-dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan co-assistant bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dari
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta atas semangat dan dorongan
serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
3
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................................1
Lembar Pengesahan ...............................................................................................2
Kata Pengantar.......................................................................................................3
Daftar Isi .................................................................................................................4
BAB I Pendahuluan ...............................................................................................5
BAB II Status Pasien .............................................................................................7
BAB III Tinjauan Pustaka
III.1 Definisi ...............................................................................................13
III.2 Klasifikasi . ........................................................................................13
III.3 Epidemiologi .......................................................................................15
III.4 Etiologi ...............................................................................................15
III.5 Patogenesis dan Patofisiologi ..............................................................16
III.6 Manifestasi Klinis ..............................................................................18
III.7 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................20
III.8 Diagnosis ............................................................................................21
III.9 Diagnosis Banding .............................................................................22
III.10 Tatalaksana .......................................................................................23
III.11 Prognosis ..........................................................................................23
III.12 Komplikasi .......................................................................................24
BAB IV Pembahasan ...........................................................................................25
BAB V Kesimpulan .............................................................................................28
Daftar Pustaka ......................................................................................................29
4
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar antara lain ;
pertama skleroderma lokalisata atau morfea dan kedua adalah skleroderma
sistemik (sklerosis sistemik). Classification Criteria for Rheumatic Disease tahun
1980 oleh American College of Rheumatology adalah sistem yang digunakan
5
paling luas untuk skleroderma sistemik. Karena dirancang untuk aplikasi
penelitian dan tidak untuk diagnosis klinis, sistem ini mendapatkan kritik karena
sensitivitas yang rendah dalam mengidentifikasi penyakit dini dan bentuk
skleroderma sistemik yang lebih ringan seperti sindrom CREST (skleroderma
terbatas/ limited scleroderma). Beberapa sistem klasifikasi baru mungkin
mengelompokkan lebih baik spektrum skleroderma sistemik yang luas. Setiap
penyakit kronis bisa merupakan penyakit yang serius. Gejala Skleroderma sangat
bervariasi dari individu ke individu dan efek dari Skleroderma dapat berkisar dari
sangat ringan sampai mengancam kehidupan. Beratnya penyakit tergantung pada
bagian tubuh mana yang terkena dan sejauh mana bagian tubuh tersebut
terpengaruh.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
II.2 ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 5 Agustus 2019.
Keluhan Utama:
Pasien baru datang ke poliknik kulit dan kelamin RS. Margono dengan
keluhan kulit terasa keras dan kaku di daerah tangan, kaki dan wajah yang dialami
sejak 2 tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Pasien juga mengeluhkan gatal diseluruh tubuh hilang timbul dan nyeri
dibagian punggung.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kulitnya menjadi kering dan disertai perubahan warna
kulit menjadi putih tidak rata pada bagian tangan, punggung, bahu, paha, kaki dan
wajah. Sedangkan pada bagian perut tampak bercak yang berwarna coklat
kehitaman. Awalnya, terjadi pada bagian punggung dan dada terleih dahulu,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Pasien sejak 1 minggu yang lalu
mengalami penurunan nafsu makan. Belum pernah berobat ke puskesmas ataupun
ke rumah sakit lainnya dan juga tidak mengkonsumsi obat apapun untuk
mengurangi keluhan. Pasien tidak langsung berobat karena sibuk bekerja di luar
negri.
7
II.2.1 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa disangkal.
2. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
3. Riwayat keluhan serupa disangkal.
4. Riwayat alergi disangkal.
5. Riwayat asma dan sesak nafas disangkal
6. Riwayat diabetes disangkal.
7. Riwayat hipertensi disangkal.
8. Riwayat penyakit ginjal disangkal.
9. Riwayat penyakit hati disangkal.
10. Riwayat penyakit jantung disangkal.
8
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7° C
BB : 55 Kg
TB : 155 cm
IMT : 22,91
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor +/+
3mm/3mm
Telinga : ottorhea (-).
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-).
Mulut : ischarge (-), sianosis (-).
Leher : Pembesaran KGB (-).
Toraks :
Paru-paru : Pergerakan hemitoraks kiri dan kanan
simetris, suara nafas vesikular pada lapang paru
kanan dan kiri, rhonki -/-, wheezing -/-.
Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur
(-), gallop (-).
Abdomen : Cembung, timpani, BU (+) normal.
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-.
II.3.1 Status Dermatologikus
Lokasi : Regio dorsum, regio delatoid, regio femoralis anterior,
regio crurallis anterior, dan regio abdomen.
Effloresensi : Makula hipopigmentasi dan makula hiperpigmentasi.
9
Gambar 1 Makula hipopigmentasi pada regio manus, regio facial.
II.5 RESUME
Pasien Sdr. J usia 29 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS
Margono pada tanggal 5 Maret 2019 dengan keluhan kulit terasa keras dan kaku
di daerah tangan dan wajah yang dialami sejak 2 tahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan gatal diseluruh tubuh hilang timbul, nyeri dibagian punggung, dan
kulit terasa kering. Terjadi perubahan warna kulit, kulit pasien menjadi putih tidak
rata pada bagian dada, punggung, bahu, paha, kai dan wajah. Sedangkan pada
bagian perut tampak bercak yang berwarna coklat kehitaman. Awalnya, terjadi
pada bagian punggung dan dada terleih dahulu, kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Pasien sejak 1 minggu yang lalu mengalami penurunan nafsu makan.
Belum pernah berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit lainnya dan juga
tidak mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan. Pasien tidak
langsung berobat karena masalah ekonomi dan sibuk bekerja dan belum pernah
10
berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit lainnya dan juga tidak
mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan dermatologikus didapatkan makula hipopigmentasi di regio
manus, regio facialis generalisata.
II.8 PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa :
a. Edukasi pasien mengenai perjalanan penyakit, prognosa penyakit, dan
komplikasi penyakit.
b. Edukasi untuk mengolesi kulit pasien yang kering dengan minyak
zaitun atau handbody.
2. Medikamentosa :
a. Azitromisin 50mg tab 1x1
b. Curcuma plus syrup 60 ml 1 sendok makan/ hari.
c. Cetrizin 10mg tab 1x1.
d. Metil prednisolon 4mg tab.
e. Nifedipind 10mg kapsul no.15 1x1.
f. Ranitidin 150mg tab 2x1.
g. Desoksimetason 0.25% cream 15 gram.
Fucilex 5gr cream.
Soft U Derm 20gr.
Synarcus 5gr.
11
II.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad fungsionam : ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi
Skleroderma merupakan penyakit autoimun sistemik yang bersifat
idiopatik ditandai dengan deposisi kolagen berlebihan dan jaringan ikat
lainnya pada kulit dan terkadang juga melibatkan organ dalam.
III.2 Klasifikasi
13
Kulit hitam > kulit Wanita 3x lebih
putih. sering daripada
laki-laki.
Umur 30 – 50 tahun.
Kulit putih lebih
sering.
Umur 20 – 50
tahun.
Antibodi (+) pada > 85% kasus. (+) pada > 50%
antinuklear kasus.
14
pada biopsi
III.3 Epidemiologi
III.4 Etiologi
16
III.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis skleroderma sistemik meliputi gangguan vaskular, inflamasi,
dan fibrosis. Suatu injury pada individu yang secra genetik mempunyai
predisposisi terhadap skleroderma sistemik menyebabkan gangguan sel endotel,
kerusakan pembuluh darah, dan sekaligus mengaktifkan sistem imun inang
maupun adaptif. Injury yang berulang-ulang dan terus menerus, respon imun yang
menetap, dan vaskulopati obliterasi progresif menimbulkan hipoksia jaringan
berbagai organ. Aktivasi fibroblas menghasilkan akumulasi kolagen dan molekul
matriks ekstraselular. Diferensiasi sel-sel progenitor mesenkim dan sel vaskular
ke dalam miofibroblas selanjutnya berkontribusi dalam fibrogenesis. Lebih lanjut
insufisiensi vaskular dan fibrosis jaringan menimbulkan gangguan pada organ
yang terlibat. Manifestasi klinis yang heterogen merefleksikan kontribusi yang
beragam terhadap proses patogenesis ini.
Penyakit skleroderma sistemik dibangkitkan oleh proses imunologi.
Limfosit T bersama monosit, sel endotel, trombosit, dan sel mast bereaksi sebagai
mediator dan target dalam jalinan patofisologi penyakit. Sel-sel ini berekspresi
dan melepas molekul adhesi, interleukin, dan faktor pertumbuhan yang berekasi
pada fibroblast. Disamping itu, hipoksia menyebabkan stress oksidatif pada
berbagai organ. Fibrosis jaringan yang berlebihan akibat ekspansi klon
fibrinogenik jaringan fibroblas dan transformasi menjadi miofibroblas yang
bekerja secara autonom serta ekspresi berlebihan gen yang mengkode komponen
matriks ekstraselular.
Tirosin kinase telah terbukti meregulasi pelepasan dan aktivasi berbagai
sitokin dan faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor β (TGFβ) dan
platelete derivied growth factor (PDGF). Hal ini menyebabkan deposisi kolagen
dan protein matriks jaringan ikat lain yang berlebihan pada kulit, organ dalam,
dan juga dinding pembuluh darah.
Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan jalinan kejasama antara
perubahan vaskular, gangguan auto imun (sel B, sel T, dan autoantibod) dan
aktivasi fibroblas oleh molekul adhesi, sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan,
dengan konsekuensi terjadi deposisi kolagen dan substansi ekstraseluler matriks
(ECM) lain yang berlebihan di jaringan ikat (fibrosis). Dalam serum sebagian
17
penderita skleroderma sistemik dapat dideteksi autoantibodi terhadap antigen
intraseluler. Namun tiap pasien memiliki autoantibodi yang terbatas jumlahnya.
Masing-masing autoantibodi sering menampilkan ekspresi klinis, perjalanan
penyakit, dan tingkat keparahan tersendiri sehingga membantu mengakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis pasien. Tiga autoantibodi yang penting
dalam diagnostik skleroderma sistemik yaitu : ATA (Antibodi anti
topoisomerasse), ACA (Antibodi anti centromere), dan antibodi anti RNAP III.
Gambar 2 Skema patogenesis skleroderma sistemik. Hipotetis urutan peristiwa yang terlibat pada
fibrosis jaringan dan vaskulopathy fibroproliferatif pada Skleroderma sistemik. Penyebab yang
tidak diketahui menginduksi aktivasi sel-sel imun dan inflamasi pada host secara genetik
cenderung menghasilkan inflamasi kronis. Sel-sel inflamasi dan imun yang diaktifkan
mengeluarkan sitokin, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan yang menyebabkan aktifasi
fibroblas, diferensiasi sel-sel endotel dan epitel menjadi myofibroblas, dan perekrutan fibrosit dari
sumsum tulang dan sirkulasi darah perifer. Myofibroblas yang teraktivasi menghasilkan matriks
ekstraselular dalam jumlah berlebihan mengakibatkan fibrosis jaringan.
21
skleroderma.
III.8 Diagnosis
Gambaran klinis berdasarkan American Rheumatism Association (ARA)
tahun 1980 mengajukan kriteria sklerosis sistemik dengan sensitifitas dan
spesifisitas 98%, yaitu bila terdapat 1 kriteria mayor, atau 2 dari 3 kriteria minor,
antara lain :
1. Kiteria mayor :
2. Kriteria minor :
Sklerodaktil : Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. Fibrosis
basal dikedua paru. Gambaran linear atau linenodular yang reticular terutama di
bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru
mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang labah. Kelainan ini bukan
merupakan kelainan primer paru.
22
2. Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut
dapat timbul gejala seperti Fasies Leonina, penebalan cuping hidung,
madarosis dan Gloves and stocking anastesia. Selain itu juga terdapat
kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik.
Sehingga dapat muncul hipoestesia, kelemahan otot sampai terjadi
amputasi dan lesi yang terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah
pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan permukaan kulit. Bila
terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ lain.
3. Vitiligo
merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih
yang meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung
melanosit. Makula dapat hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter
beberapa millimeter atau sentimeter batas tegas tanpa perubahan epidermis
yang lain. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Daerah yang sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama pada jari, periorifisial
sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan
bagian fleksor. Pada area yang terkena trauma dapat timbul vitiligo.
III.10 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat.
Derajat penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas
perubahan kulit menunjukkan perlunya terapi segera utnuk mencegah
kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung manifestasi
organ spesifik. Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara
oral : Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan hingga
dosis maintenance 2,5 – 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per hari
selama 3-6 bulan, dan foto terapi UVA-1 atau PUVA. Radiasi UVA-1 dapat
menghambat fibrosis dan proses inflamasi serta mengurangi luas kulit yang
sklerotik. Juga bisa digunakan metildopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara
23
bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada kemajuan klinis. Strategi
penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun
terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.
III.11 Prognosis
III.12 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita sjkeroderma sistemik, antaralain
sebagai berikut :
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
IV.2 Diagnosis Banding
1.Lichen Sclerosus et atrophicus
Tampak plak berwarna putih gading, berbatas jelas, permukaan lesi bisa
tampak meninggi atau sama dengan kulit normal. Pada keadaan lanjut lesi
menjadi cekung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan hiperkeratosis,
atrofi epidermis, follicular plugging dan homogenisasi dan kolagen dermis.
2.Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat
timbul gejala seperti Fasies Leonina, penebalan cuping hidung, madarosis dan
Gloves and stocking anastesia. Selain itu juga terdapat kerusakan syaraf tepi bisa
bersifat sensorik, motorik dan autonomik. Sehingga dapat muncul hipoestesia,
kelemahan otot sampai terjadi amputasi dan lesi yang terserang tampak lebih
kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan
permukaan kulit. Bila terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ
lain.
3.Vitiligo
Merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih
yang meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit.
Makula dapat hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter beberapa millimeter
atau sentimeter batas tegas tanpa perubahan epidermis yang lain. Lesi bilateral
dapat simetris atau asimetris. Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor
tulang terutama pada jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Pada area yang terkena trauma
dapat timbul vitiligo.
IV.3 Penetalaksanaan
Penatalaksaanan pada pasien ini diberikan dalam bentuk non-farmakologi
berupa edukasi serta dalam bentuk farmakologi/medikamentosa.
a. Azitromisin 500 mg tab 1x1 golongan makrolida bersifat antibiotik
spektrum luas.
26
b. Curcuma plus syrup 60 ml 1 sendok makan/ hari untuk meningkatkan daya
nafsu makan pada pasien.
c. Cetrizin 10 mg tab 1x1 antihistamin I generasi kedua, diberikan untuk
mengurangi rasa gatal pada pasien.
d. Metil prednisolon 4mg tab kortikosteroid.
e. Nifedipind 10 mg kapsul no.15 1x1 merupakan obat calcium-channel
blocker. Pasien mengatakan selalu tinggi ketika diukur tekanan darahnya
namun belum mengkonsumsi obat apapun untuk menurunkan tekanan
darahnya. Cara kerjanya adalah mencegah dan memperlambat ion Ca
memasuki otot jantung dan otot halus selama periode depolarosasi sehingga
terjadi vasodilatasi peifer dan koroner.
f. Ranitidin 150 mg tab 2x1 untuk menghambat sekresi asam lambung.
g. Desoksimetason 0.25% cream 15 gram.
Fucilex 5gr cream.
Soft U Derm 20gr.
Synarcus 5gr.
27
BAB V
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
Bielecka, OK, Bielecki, M, Kowal, K 2013, Recent advances in the diagnosis and
treatment of systemic sclerosis, Journal Medycyna PraktycznaI, Vol.123,
no.1-2, hlm. 51-58.
Jones, RM 2014, ABC Of Dermatology, 6th Ed. United Kingdom : John Wiley &
Sons.
Rahardjo & Rachmawati 2017, Perempuan Usia 31 tahun dengan SLE dan
Skleroderma Sistemik, Indonesia Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, July, Vol. 23, no.3, hlm. 303-309.
29
Siregar, RS 2005, Saripati Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : EGC,
hlm.79- 80
30