Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

SKLERODERMA SISTEMIK

Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:

GALIH OKTA SATRIA

1820211116

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
Periode 22 Juli 2019 – 24 Agustus 2019
Halaman Pengesahan

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

Skleroderma Sistemik

Pada tanggal, Agustus 2019

Diajukan sebagai salah satu tugas di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Galih Okta Satria 1820211116

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah
melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat, serta kasih sayang-Nya kepada penulis
sehingga presentasi kasus yang berjudul “Skleroderma Sistemik” telah selesai
tepat pada waktunya.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK selaku dosen pembimbing
2. Dokter-dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan co-assistant bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dari
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta atas semangat dan dorongan
serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.

Purwokerto, Agustus 2019

Galih Okta Satria

3
DAFTAR ISI

JUDUL ...................................................................................................................1
Lembar Pengesahan ...............................................................................................2
Kata Pengantar.......................................................................................................3
Daftar Isi .................................................................................................................4
BAB I Pendahuluan ...............................................................................................5
BAB II Status Pasien .............................................................................................7
BAB III Tinjauan Pustaka
III.1 Definisi ...............................................................................................13
III.2 Klasifikasi . ........................................................................................13
III.3 Epidemiologi .......................................................................................15
III.4 Etiologi ...............................................................................................15
III.5 Patogenesis dan Patofisiologi ..............................................................16
III.6 Manifestasi Klinis ..............................................................................18
III.7 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................20
III.8 Diagnosis ............................................................................................21
III.9 Diagnosis Banding .............................................................................22
III.10 Tatalaksana .......................................................................................23
III.11 Prognosis ..........................................................................................23
III.12 Komplikasi .......................................................................................24
BAB IV Pembahasan ...........................................................................................25
BAB V Kesimpulan .............................................................................................28
Daftar Pustaka ......................................................................................................29

4
BAB I
PENDAHULUAN

Skleroderma sistemik adalah penyakit yang cukup langka terjadi dan


disebabkan oleh autoimun. Autoimun adalah keadaan dimana sistem kekebalan
tubuh terlalu aktif secara tidak sebagaimana mestinya, sehingga kekebalan tubuh
yang seharusnya melindungi diri dari bakteri, virus, dan serangan asing lainnya,
sebaliknya menyerang dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sehat yang
ada didalam tubuh. Kata skleroderma berasal dari bahasa Yunani yaitu sclero
berarti keras dan derma berarti kulit. Skleroderma sistemik merupakan penyakit
sistemik kronis yang ditandai dengan deposisi kolagen yang berlebihan dan
makromolekul jaringan ikat lainnya pada kulit. Menurut Scleroderma Foundation,
skleroderma adalah sekelompok penyakit yang menyebabkan kulit dan organ
internal (seperti : saluran cerna, paru-paru, jantung, esofagus, dan ginjal) menjadi
keras. Skleroderma sistemik bukan penyakit menular, tidak menyebabkan infeksi,
dan tidak bersifat kanker atau ganas. Di Amerika Serikat insiden skleroderma
sistemik sebanyak 9 – 19 kasus per juta penduduk/ tahun dengan prevalensi kasus
286 kasus per juta penduduk/ tahun. Pada negara lain seperti Australia bagaian
selatan, insiden skleroderma sistemik sebesar 22,8 kasus baru per juta penduduk
dan prevalensi 233 kasus per juta penduduk. Penelitian sebelumnya juga
mengatakan bahwa insidensi dan prevalensi skleroderma sistemik pada kelompok
keturunan Asia lebih rendah dari pada Eropa. Misalnya, Perancis prevalensi
skleroderma sistemik 158 kasus per juta penduduk sedangkan Taiwan, insiden dan
prevalensi masing-masing 10.9 dan 56.3 kasus per juta penduduk. Penderita
skleroderma sistemik pada wanita lebih banyak daripada laki-laki dengan
perbandingan 4:1, ha ini terlihat jelas pada usia masa subur. Usia onset
skleroderma biasanya sekitar 30-65 tahun. Perempuan kulit hitam cenderung
untuk memunculkannya pada usia yang lebih muda.

Secara umum skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar antara lain ;
pertama skleroderma lokalisata atau morfea dan kedua adalah skleroderma
sistemik (sklerosis sistemik). Classification Criteria for Rheumatic Disease tahun
1980 oleh American College of Rheumatology adalah sistem yang digunakan
5
paling luas untuk skleroderma sistemik. Karena dirancang untuk aplikasi
penelitian dan tidak untuk diagnosis klinis, sistem ini mendapatkan kritik karena
sensitivitas yang rendah dalam mengidentifikasi penyakit dini dan bentuk
skleroderma sistemik yang lebih ringan seperti sindrom CREST (skleroderma
terbatas/ limited scleroderma). Beberapa sistem klasifikasi baru mungkin
mengelompokkan lebih baik spektrum skleroderma sistemik yang luas. Setiap
penyakit kronis bisa merupakan penyakit yang serius. Gejala Skleroderma sangat
bervariasi dari individu ke individu dan efek dari Skleroderma dapat berkisar dari
sangat ringan sampai mengancam kehidupan. Beratnya penyakit tergantung pada
bagian tubuh mana yang terkena dan sejauh mana bagian tubuh tersebut
terpengaruh.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas


laporan kasus tentang skleroderma sistemik mulai dari aspek klasifikasi penyakit
ini dalam skleroderma, patogenesis, gambaran klinis, terapi yang akan diberikan,
dan prognosa serta komplikasi penyakit.

6
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Sdr. J
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. RM : 02016892
Alamat : Kembaran RT 05/02
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh

II.2 ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 5 Agustus 2019.
Keluhan Utama:
Pasien baru datang ke poliknik kulit dan kelamin RS. Margono dengan
keluhan kulit terasa keras dan kaku di daerah tangan, kaki dan wajah yang dialami
sejak 2 tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Pasien juga mengeluhkan gatal diseluruh tubuh hilang timbul dan nyeri
dibagian punggung.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kulitnya menjadi kering dan disertai perubahan warna
kulit menjadi putih tidak rata pada bagian tangan, punggung, bahu, paha, kaki dan
wajah. Sedangkan pada bagian perut tampak bercak yang berwarna coklat
kehitaman. Awalnya, terjadi pada bagian punggung dan dada terleih dahulu,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Pasien sejak 1 minggu yang lalu
mengalami penurunan nafsu makan. Belum pernah berobat ke puskesmas ataupun
ke rumah sakit lainnya dan juga tidak mengkonsumsi obat apapun untuk
mengurangi keluhan. Pasien tidak langsung berobat karena sibuk bekerja di luar
negri.

7
II.2.1 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa disangkal.
2. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
3. Riwayat keluhan serupa disangkal.
4. Riwayat alergi disangkal.
5. Riwayat asma dan sesak nafas disangkal
6. Riwayat diabetes disangkal.
7. Riwayat hipertensi disangkal.
8. Riwayat penyakit ginjal disangkal.
9. Riwayat penyakit hati disangkal.
10. Riwayat penyakit jantung disangkal.

II.2.2 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Tidak ada anggota keluarga mengalami gejala yang sama.
2. Riwayat keluhan serupa disangkal.
3. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
4. Riwayat alergi disangkal.
5. Riwayat asma dan sesak nafas disangkal.
6. Riwayat diabetes disangkal.
7. Riwayat hipertensi disangkal.
8. Riwayat penyakit ginjal disangkal.
9. Riwayat penyakit hati disangkal.
10. Riwayat penyakit jantung disangkal.

II.2.3 Riwayat Sosial Ekonomi


Sdr. J adalah seorang pria berusia 29 th yang bekerja sebagai buruh diluar
Negr. Belum menikah sampai saat ini. Pasin saat ini bekerja membantu
kakaknya di pasar.

II.3 PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaaan umum : Tampak sakit ringan

8
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7° C
 BB : 55 Kg
 TB : 155 cm
 IMT : 22,91
Status Generalis
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor +/+
3mm/3mm
 Telinga : ottorhea (-).
 Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-).
 Mulut : ischarge (-), sianosis (-).
 Leher : Pembesaran KGB (-).
 Toraks :
 Paru-paru : Pergerakan hemitoraks kiri dan kanan
simetris, suara nafas vesikular pada lapang paru
kanan dan kiri, rhonki -/-, wheezing -/-.
 Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur
(-), gallop (-).
 Abdomen : Cembung, timpani, BU (+) normal.
 Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-.
II.3.1 Status Dermatologikus
Lokasi : Regio dorsum, regio delatoid, regio femoralis anterior,
regio crurallis anterior, dan regio abdomen.
Effloresensi : Makula hipopigmentasi dan makula hiperpigmentasi.

9
Gambar 1 Makula hipopigmentasi pada regio manus, regio facial.

II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

II.5 RESUME
Pasien Sdr. J usia 29 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS
Margono pada tanggal 5 Maret 2019 dengan keluhan kulit terasa keras dan kaku
di daerah tangan dan wajah yang dialami sejak 2 tahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan gatal diseluruh tubuh hilang timbul, nyeri dibagian punggung, dan
kulit terasa kering. Terjadi perubahan warna kulit, kulit pasien menjadi putih tidak
rata pada bagian dada, punggung, bahu, paha, kai dan wajah. Sedangkan pada
bagian perut tampak bercak yang berwarna coklat kehitaman. Awalnya, terjadi
pada bagian punggung dan dada terleih dahulu, kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Pasien sejak 1 minggu yang lalu mengalami penurunan nafsu makan.
Belum pernah berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit lainnya dan juga
tidak mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan. Pasien tidak
langsung berobat karena masalah ekonomi dan sibuk bekerja dan belum pernah

10
berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit lainnya dan juga tidak
mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan dermatologikus didapatkan makula hipopigmentasi di regio
manus, regio facialis generalisata.

II.6 DIAGNOSA KERJA


Skleroderma sistemik

II.7 DIAGNOSIS BANDING


1. Skleroderma sistemik
2. Vitiligo
3. Morbus Hansen

II.8 PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa :
a. Edukasi pasien mengenai perjalanan penyakit, prognosa penyakit, dan
komplikasi penyakit.
b. Edukasi untuk mengolesi kulit pasien yang kering dengan minyak
zaitun atau handbody.
2. Medikamentosa :
a. Azitromisin 50mg tab 1x1
b. Curcuma plus syrup 60 ml 1 sendok makan/ hari.
c. Cetrizin 10mg tab 1x1.
d. Metil prednisolon 4mg tab.
e. Nifedipind 10mg kapsul no.15 1x1.
f. Ranitidin 150mg tab 2x1.
g. Desoksimetason 0.25% cream 15 gram.
Fucilex 5gr cream.
Soft U Derm 20gr.
Synarcus 5gr.

11
II.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad fungsionam : ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi
Skleroderma merupakan penyakit autoimun sistemik yang bersifat
idiopatik ditandai dengan deposisi kolagen berlebihan dan jaringan ikat
lainnya pada kulit dan terkadang juga melibatkan organ dalam.

III.2 Klasifikasi

Skleroderma merupakan kolagenosis kronik, dibedakan dalam 2


bentuk :

1. Skleroderma Sistemik (Skleroderma Difusa Progresiva), adalah penyakit


sistemik kronis yang ditandai dengan adanya deposisi masif kolagen pada
jaringan ikat di kulit dengan keterlibatan organ internal yang luas
terutama paru, saluran cerna, jantung, dan ginjal. Stadium dini dari
penyakit ini berhubungnan dengan berbagai gambaran inflamasi yang
menonjol, diikuti dengan perubahan struktural, dan fungsional yang
menyeluruh pada mikroavaskular dan disfungsi organ yang progresif
akibat dari fibrosis. Fibrosis adalah pemebentukan struktur seperti skar
yang halus yang menyebabkan jaringan mengeras dan mengurangi aliran
cairan melalui jaringan-jaringan.

2. Skleroderma Lokalisata (Skleroderma Sirkumskripta) adalah kolagenosis


kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan
keras, yag seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Penyakit mulai
stadium inisial yang inflamatorik, yang kemudian memasuki fase
sklerodermatik. Skleroderma hanya mengenai kulit saja, meskipun dapat
menyebar ke otot, sendi, dan tulang tetapi tidak mengenai organ lain.

Tabel 1 Perbandingan Skleroderma Lokal dan Sklerosis Sistemik

Gambaran klinis Sklerosis sistemik Skleroderma lokal

Epidemiologi Wanita 4x lebih Relatif jarang


banyak. didapat.

13
Kulit hitam > kulit Wanita 3x lebih
putih. sering daripada
laki-laki.
Umur 30 – 50 tahun.
Kulit putih lebih
sering.

Umur 20 – 50
tahun.

Keterlibatan Sklerodaktili Distribusi


kulit (penebalan kulit dan pengerasan kulit
jari-jari). liniear atau patch
biasanya pada
pengerasan kulit
tangan (distal siku),
proksimal yang
kaki (distal lutut),
melibatkan badan,
wajah, leher, atau
lengan atas, dan paha,
tidak ada sklerosis
di samping jari-jari,
sama sekali.
tangan, lengan bawah,
wajah, dan leher
secara simetris.

Fenomena Ada. Tidak ada.


Raynaud

Iskemik pada Biasanya ada (ulkus Tidak ada.


ujung jari atau skar pitting pada
jari, atau kehilangan
fingerpad).

Keterlibatan Ada. Tidak ada.


organ dalam

Antibodi (+) pada > 85% kasus. (+) pada > 50%
antinuklear kasus.

Antibodi spesifik (+) pada 60% kasus. (-)


skleroderma

Temuan histologi Fibrosis kulit. Fibrosis kulit.

14
pada biopsi
III.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat insiden skleroderma sistemik sebanyak 9 – 19 kasus per


juta penduduk/ tahun dengan prevalensi kasus 286 kasus per juta penduduk/
tahun. Pada negara lain seperti Australia bagaian selatan, insiden skleroderma
sistemik sebesar 22,8 kasus baru per juta penduduk dan prevalensi 233 kasus per
juta penduduk. Penelitian sebelumnya juga mengatakan bahwa insidensi dan
prevalensi skleroderma sistemik pada kelompok keturunan Asia lebih rendah dari
pada Eropa. Misalnya, Perancis prevalensi skleroderma sistemik 158 kasus per
juta penduduk sedangkan Taiwan, insiden dan prevalensi masing-masing 10.9 dan
56.3 kasus per juta kasus penduduk.Wanita lebih banyak daripada peria dengan
perbandingan 4:1 dengan usai timbulnya penyakit pada wanita 20-44 tahun.
Mendapatkan perkiraan perkiraan prevalensi yang tepat sulit karena skleroderma
sistemik sering salah di diagnosis. Prevalensi dan insidensi sklerosis sistemik
dapat terjadi pada semua ras namun lebih banyak insiden pada orang kulit hitam
daripada kulit putih. Perempuan kulit hitam cenderung terkena pada usia yang
lebih muda.

III.4 Etiologi

Etiologi skleroderma sistemik bersifat idiopatik namun proses autoimun,


vaskulopati dan abnormalitas matriks ekstraselular (fibroblas) dipikirkan sebagai
mekanisme patogenesis. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi skleroderma
sistemik antara lain;
1. Faktor Genetik
Skleroderma merupakan penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan
hukum Mendelian. Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki risiko relatif
sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik. Risiko penyakit
autoimunlain termasuk SLE (Systemic Luppus Erhytematosus) dan RA
(Rheumatoid Arthritis) juga meningkat pada keturunan pertama pasien
skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen
kandidat, terutana gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas,
inflamasi, fungsi vesikuler, dan homeostasis jaringan ikat.
15
2. Faktor Lingkungan
Adanya faktor pemicu yang dapat berkontribusi pada pengembangan
sklerosis sistemik dalam latar belakang genetika. Berikut ini adalah hal yang
memicu pada faktor lingkungan antara lain:
a) Paparan silika.
b) Paparan pelarut (vini klorida, trikloretin, resin epoksi, benzena, dan
karbon tetraklorida).
c) Paparan radiasi atau radioterapi.
d) Infeksi mikroorgnisme seperti virus, yang disebabkan oleh Human
Herpesvirus dan parvovirus B19 diperkirakan berhubungan dengan
kejadian skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma dapat ditemukan
peningkatan antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan
antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu terjadinya
apoptosis sel endotel dan aktivasi fibroblas kulit. Hal ini terjadi melalui
proses mimikri molekular antara hCMV dengan host. Penelitian lain
menujukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada
transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan
pembentukan neointima vaskuler, proliferasi otot, dan vaskulopati
obliteratif. hCMV dapat secara lgsg menginduksi CTGF (connective
tissue growth hormone) pada fibroblas yang terinfeksi sehingga
menyebabkan kerusakan vaskular dan fibrosis. Namun belum terbukti
dengan pasti bahwa infeksi sebagai penyebab dalam patogenesis
Skleroderma sistemik.
3. Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma (bleomisin,
bromokriptin, pentazosin, taksol, kokain, dan penekanan nafsu makan
(triptofan, mazindil, fenfluramin, dan dietilpropion).
4. Bahan kmia (benzen, toluen).
5. Trauma fisik
6. Stress psikologi yang dapat merusak jaringan vaskular dan menghasilkan
reaksi skeroderma.

16
III.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis skleroderma sistemik meliputi gangguan vaskular, inflamasi,
dan fibrosis. Suatu injury pada individu yang secra genetik mempunyai
predisposisi terhadap skleroderma sistemik menyebabkan gangguan sel endotel,
kerusakan pembuluh darah, dan sekaligus mengaktifkan sistem imun inang
maupun adaptif. Injury yang berulang-ulang dan terus menerus, respon imun yang
menetap, dan vaskulopati obliterasi progresif menimbulkan hipoksia jaringan
berbagai organ. Aktivasi fibroblas menghasilkan akumulasi kolagen dan molekul
matriks ekstraselular. Diferensiasi sel-sel progenitor mesenkim dan sel vaskular
ke dalam miofibroblas selanjutnya berkontribusi dalam fibrogenesis. Lebih lanjut
insufisiensi vaskular dan fibrosis jaringan menimbulkan gangguan pada organ
yang terlibat. Manifestasi klinis yang heterogen merefleksikan kontribusi yang
beragam terhadap proses patogenesis ini.
Penyakit skleroderma sistemik dibangkitkan oleh proses imunologi.
Limfosit T bersama monosit, sel endotel, trombosit, dan sel mast bereaksi sebagai
mediator dan target dalam jalinan patofisologi penyakit. Sel-sel ini berekspresi
dan melepas molekul adhesi, interleukin, dan faktor pertumbuhan yang berekasi
pada fibroblast. Disamping itu, hipoksia menyebabkan stress oksidatif pada
berbagai organ. Fibrosis jaringan yang berlebihan akibat ekspansi klon
fibrinogenik jaringan fibroblas dan transformasi menjadi miofibroblas yang
bekerja secara autonom serta ekspresi berlebihan gen yang mengkode komponen
matriks ekstraselular.
Tirosin kinase telah terbukti meregulasi pelepasan dan aktivasi berbagai
sitokin dan faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor β (TGFβ) dan
platelete derivied growth factor (PDGF). Hal ini menyebabkan deposisi kolagen
dan protein matriks jaringan ikat lain yang berlebihan pada kulit, organ dalam,
dan juga dinding pembuluh darah.
Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan jalinan kejasama antara
perubahan vaskular, gangguan auto imun (sel B, sel T, dan autoantibod) dan
aktivasi fibroblas oleh molekul adhesi, sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan,
dengan konsekuensi terjadi deposisi kolagen dan substansi ekstraseluler matriks
(ECM) lain yang berlebihan di jaringan ikat (fibrosis). Dalam serum sebagian

17
penderita skleroderma sistemik dapat dideteksi autoantibodi terhadap antigen
intraseluler. Namun tiap pasien memiliki autoantibodi yang terbatas jumlahnya.
Masing-masing autoantibodi sering menampilkan ekspresi klinis, perjalanan
penyakit, dan tingkat keparahan tersendiri sehingga membantu mengakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis pasien. Tiga autoantibodi yang penting
dalam diagnostik skleroderma sistemik yaitu : ATA (Antibodi anti
topoisomerasse), ACA (Antibodi anti centromere), dan antibodi anti RNAP III.

Gambar 2 Skema patogenesis skleroderma sistemik. Hipotetis urutan peristiwa yang terlibat pada
fibrosis jaringan dan vaskulopathy fibroproliferatif pada Skleroderma sistemik. Penyebab yang
tidak diketahui menginduksi aktivasi sel-sel imun dan inflamasi pada host secara genetik
cenderung menghasilkan inflamasi kronis. Sel-sel inflamasi dan imun yang diaktifkan
mengeluarkan sitokin, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan yang menyebabkan aktifasi
fibroblas, diferensiasi sel-sel endotel dan epitel menjadi myofibroblas, dan perekrutan fibrosit dari
sumsum tulang dan sirkulasi darah perifer. Myofibroblas yang teraktivasi menghasilkan matriks
ekstraselular dalam jumlah berlebihan mengakibatkan fibrosis jaringan.

III.6 Manifestasi Klinis


Menurut Siregar (2013), penyakit ini melalaui tiga stadium yakni (1)
18
menyerupai morbus Raynaud, (2) mukosa terserang, dan (3) organ dalam
terkena pula.
a. Stadium I
Terjadi kelainan vasomotorik berupa akrosianosis dan akroasfiksi
terutama pada jaringan tangan. Di wajah, terdapat teleangiektasia.
Bercak edematosa berbatas tidak jelas. Kemudian terlihat bercak-
bercak berindurasi berwarna putih kekuningan. Pengerasan pada kulit
dan keterbatasan gerakan berakibat timbulnya muka topeng (mask
face), mikrosotomia, sklerodaktilli jari tangan dengan ulserasi pada
ujung jari (akrosklerosis), hiperpigmentasi, dan depigmentasi, serta
atrofi.
b. Stadium II
Mukosa oral mulai terkena, terdapat indurasi di lidah, dan gingiva serta
parosisma vasomotorik, Dn kelainan sensibilitas.
c. Stadium III
Alat-alat visera mulai terserang. Disfungsi dan penurunan motilitas
esofagus mengakibatkan disfagia dan malabsorbsi. Lambung dan usus
kecil mengalami kelainan yang sama. Fibrosis di paru membuat
penderita dyspneaa, bahkan dapat terjadi pula kor pulmonal dengan
menyebabkan payah jantung, perikarditis, dan efusi perikardium.
Ginjal akan mengalami kegagalan fisiologis yang disertai dengan
uremia dan hipertensi. Hanya pad asebagian kasus, penyakit dapat
berhenti spontan. Angka kelangsungan hidunp hingga 10 tahun adalah
35 – 47%.

Sindrom Crest (Calsinosis cutis, Raynaud phenomenon, Eosophagus


motility, Sclerodactily, dan Teleangiectasis syndrome) merupakan bentuk
ringan dari skleroderma sistemik, yaitu hanya esophagus yang terkena,
sedangkan organ dalam lainnya tidak terkena. Angka kelangsungan hidup 10
tahun adalah 93%.
1. Fenomena Raynaud
Dapat muncul jauh sebelum gejala lain pada skleroderma sistemik,
yaitu suatu vasospasme, iskemik,atau hiperemia pada pembuluh
19
darah bila terkena dingin atau dalam keadaan stress. Gejala awal
yang sering mengikuti fenomena ini adalah edema kedua tangan.
Kadang-kadang pasien merasakan kesemutan, rasa tidak nyaman,
atau baal pada area yang berubah warna. Gejala ini paling serig
ditemui di jari-jari tangan lebih daripada kaki, juga pada hidung,
telinga, bahkan lidah. Komplikasi dari Fenomena Raynaud adalah
digital pits pitting scar, iskemik, ulkus, dan gangren di ujung jari
serta pemendekkan jari akibat auto amputasi.
2. Manifestasi kulit
Awalnya pasien akan mengeluhkan nyeri di kulit berupa nyeri yang
tajam dan nyeri tekan superfisial namun perlahan menghilang
setelah mulai fibrosis. Perubahan dermatologis awal lainnya
termasuk kulit berkilau atau perubahan pigmen. Timbul pruritus,
hiper dan hipopigmentasi (salt-pepper appearance), telangiektasis,
dan kalsinosis. Akibat terjadi pengerasan kulit terjadi keterbatasan
gerak sehingga lebih jauh terjadi kontraktor pada jari-jari, juga ada
keterbatasan dalam membuka mulut (pursued lip appearance).
Clemments dkk membuat skor Rodnan modifikasi untuk
menghitung keterlibatan kulit pada sklerosis sistemik sehingga
pemantauan progresivitas penyakit lebih teliti dengan perhitungan
dilakukan terhadap 17 area kulit. Derajat pengerasan yang terjadi di
kulit dibagi menjadi 4 yaitu ;
0  jika normal
1  jika penegerasan kulit minimal / ekuivokal
2  jika penegrasan pada kulit sedang tanpa fiksasi ke jaringan
yang lebih dalam.
3  jika penegrasan pada kulit berat dan terfiksasi ke jaringan yang
dibawahnya.
Untuk memperkuat skor rodnan maka perlu dilakukan pemeriksaan
kullit dengan alat durometer.

III.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Darah lengkap untuk mendeteksi fungsi ginjal dan hepar.
20
b. Pemeriksaan Autoantibodi
Beberapa tes autoantibodi pada skleroderma sistemik, yaitu :
 Tes anti centrome, bisa ditemukan 40-50% pasien.
 Tes aantibodi terhadap topoisomerase (Scl-70), bisa ditemukan sekitar
10-20%.
 Tes anti RNA polymerase III, sekitar 25-30% risiko terjadi krisis
renal.

Gambar 4 Antibodi Skleroderma

c. Pemeriksaan fungsi ginjal


d. Pemeriksaan radiologis
e. Uji fungsi paru
f. Pemeriksaan histopataologi
a) Stadium lanjut, menghilangnya unit polisebasea, kelnejar keringat,
dan salurannya. Semua pembuluh darah dari semua ukuran terkena.
Pada fase dini hanya terjadi pelebaran kapiler, pembuluh limfe,
kemudian proliferasi intima, dan mungkin perlengketan komplit.
Perubahan tersebut mungkin juga terjadi pada pembuluh darah dan
otot. Ditemukan juga infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah
pada spesimen kulit. Adanya deposisi matriks kolagen yang
melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. Penebalan
tunika intima dan media arteri intelobar dari biopsi ginjal pasien

21
skleroderma.
III.8 Diagnosis
Gambaran klinis berdasarkan American Rheumatism Association (ARA)
tahun 1980 mengajukan kriteria sklerosis sistemik dengan sensitifitas dan
spesifisitas 98%, yaitu bila terdapat 1 kriteria mayor, atau 2 dari 3 kriteria minor,
antara lain :

1. Kiteria mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan, dan pengerasan kulit yang


simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal
atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka,
leher, dan batang tubuh (toraks dan abdomen).

2. Kriteria minor :

Sklerodaktil : Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. Fibrosis
basal dikedua paru. Gambaran linear atau linenodular yang reticular terutama di
bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru
mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang labah. Kelainan ini bukan
merupakan kelainan primer paru.

III.9 Diagnosis Banding


1. Lichen Sclerosus et atrophicus
Tampak plak berwarna putih gading, berbatas jelas, permukaan lesi bisa
tampak meninggi atau sama dengan kulit normal. Pada keadaan lanjut lesi
menjadi cekung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
hiperkeratosis, atrofi epidermis, follicular plugging dan homogenisasi
dan kolagen dermis.

22
2. Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut
dapat timbul gejala seperti Fasies Leonina, penebalan cuping hidung,
madarosis dan Gloves and stocking anastesia. Selain itu juga terdapat
kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik.
Sehingga dapat muncul hipoestesia, kelemahan otot sampai terjadi
amputasi dan lesi yang terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah
pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan permukaan kulit. Bila
terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ lain.

3. Vitiligo
merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih
yang meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung
melanosit. Makula dapat hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter
beberapa millimeter atau sentimeter batas tegas tanpa perubahan epidermis
yang lain. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Daerah yang sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama pada jari, periorifisial
sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan
bagian fleksor. Pada area yang terkena trauma dapat timbul vitiligo.

III.10 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat.
Derajat penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas
perubahan kulit menunjukkan perlunya terapi segera utnuk mencegah
kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung manifestasi
organ spesifik. Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara
oral : Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan hingga
dosis maintenance 2,5 – 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per hari
selama 3-6 bulan, dan foto terapi UVA-1 atau PUVA. Radiasi UVA-1 dapat
menghambat fibrosis dan proses inflamasi serta mengurangi luas kulit yang
sklerotik. Juga bisa digunakan metildopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara

23
bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada kemajuan klinis. Strategi
penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun
terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.

III.11 Prognosis

Prognosis penderita skleroderma sistemik lebih buruk daripada


skleroderma lokalisata. Prognosis penderita skleroderma sisitemik sangat
beragam, dalam 25 tahun terakhir terapat perbaikan prognosis penderita.
Angka harapan hidup dalam 5 tahun pada skleroderma sistemik dan
skloderma lokalisata masing-masing 80% dan 90%. Sekitar 50% pasien
skleroderma sistemik meningal atau mengalami komplikasi pada organ
mayor dalam 3 tahun setelah diagnosis. Prognosis menjadi lebih buruk bila
terdapat hipertensi pulmonal, krisis renal, atau kanker terutama paru. Pada
penelitian apabila penyakit yang menyertai mendapatkan terapi maka
harapan hidup 10 tahun penderita hingga 80%. Faktor-faktor yang
memperburuk prognisis adalah sebagai berikut : usia yang lebih tua,
keturunan Afrika, perkembangan yang cepat dari gejala kulit, tingkat
keterlibatan kulit yang lebih luas, anemia (Hb < 11gr/dl), penurunan
kapasitas difusi CO2 pada paru (prediksi <50%), penurunan kapasitas paru,
LED meningkat, dan keterlibatan orang lain seperti paru, ginjal, serta
jantung.

III.12 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita sjkeroderma sistemik, antaralain
sebagai berikut :

1. Pulmonary arterial hypertension,


2. Raynaud phenomenon,
3. Penyakir reflux,
4. Alveolitis,
5. Fibrosis pulmonal, dan
6. Scleroderma renal crisis.

24
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 Penegakkan Diagnosis


Sdr. J usia 29 tahun di diagnosa menderita skleroderma sistemik. Hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik dermatologis yang mengarahkan peneggakkan
diagnosa sebagai berikut :
1. Anamnesa
 Pasien mengeluhkan kulit terasa keras dan kaku di daerah tangan dan wajah
yang dialami sejak 2 tahun yang lalu.
 Pasien juga mengeluhkan gatal diseluruh tubuh hilang timbul, nyeri
dibagian punggung.
 Terjadi perubahan warna kulit, kulit pasien menjadi putih tidak rata pada
bagian dada, punggung, bahu, paha, kaki dan wajah.
 Bagian perut tampak bercak yang berwarna coklat kehitaman.
 Awalnya, terjadi pada bagian punggung dan dada terlebih dahulu, kemudian
menyebar ke seluruh tubuh.

2. Pemeriksaan Fisik Dermatologis


1. Lokasi : regio manus, regio carpal, dan regio facialis, regio frontal, regio
bucca dan regio cervical.
Efloresensi : kulit menebal, mergang, mengkilat disertai makula
hipopigmentasi tidak merata pada kulit.
2. Lokasi : regio abdomen dan thoracic.
Efloresensi : kulit menebal, mergang, mengkilat disertai makula
Hiperpigmentasi.
Diagnosis sklerosis sistemik pada Sdr. J ditegakkan dengan 1 kriteria
mayor, dimana pada kasus ini di jumpai penebalan, penegangan, dan pengerasan
kulit di leher, tangan, dan wajah. Selain itu, pada kasus pasiennya seorang pria
dengan usia 29 tahun.

25
IV.2 Diagnosis Banding
1.Lichen Sclerosus et atrophicus
Tampak plak berwarna putih gading, berbatas jelas, permukaan lesi bisa
tampak meninggi atau sama dengan kulit normal. Pada keadaan lanjut lesi
menjadi cekung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan hiperkeratosis,
atrofi epidermis, follicular plugging dan homogenisasi dan kolagen dermis.
2.Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat
timbul gejala seperti Fasies Leonina, penebalan cuping hidung, madarosis dan
Gloves and stocking anastesia. Selain itu juga terdapat kerusakan syaraf tepi bisa
bersifat sensorik, motorik dan autonomik. Sehingga dapat muncul hipoestesia,
kelemahan otot sampai terjadi amputasi dan lesi yang terserang tampak lebih
kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan
permukaan kulit. Bila terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ
lain.
3.Vitiligo
Merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih
yang meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit.
Makula dapat hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter beberapa millimeter
atau sentimeter batas tegas tanpa perubahan epidermis yang lain. Lesi bilateral
dapat simetris atau asimetris. Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor
tulang terutama pada jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Pada area yang terkena trauma
dapat timbul vitiligo.

IV.3 Penetalaksanaan
Penatalaksaanan pada pasien ini diberikan dalam bentuk non-farmakologi
berupa edukasi serta dalam bentuk farmakologi/medikamentosa.
a. Azitromisin 500 mg tab 1x1  golongan makrolida bersifat antibiotik
spektrum luas.

26
b. Curcuma plus syrup 60 ml 1 sendok makan/ hari  untuk meningkatkan daya
nafsu makan pada pasien.
c. Cetrizin 10 mg tab 1x1  antihistamin I generasi kedua, diberikan untuk
mengurangi rasa gatal pada pasien.
d. Metil prednisolon 4mg tab  kortikosteroid.
e. Nifedipind 10 mg kapsul no.15 1x1  merupakan obat calcium-channel
blocker. Pasien mengatakan selalu tinggi ketika diukur tekanan darahnya
namun belum mengkonsumsi obat apapun untuk menurunkan tekanan
darahnya. Cara kerjanya adalah mencegah dan memperlambat ion Ca
memasuki otot jantung dan otot halus selama periode depolarosasi sehingga
terjadi vasodilatasi peifer dan koroner.
f. Ranitidin 150 mg tab 2x1  untuk menghambat sekresi asam lambung.
g. Desoksimetason 0.25% cream 15 gram.
Fucilex 5gr cream.
Soft U Derm 20gr.
Synarcus 5gr.

27
BAB V
KESIMPULAN

1. Sdr. J datang ke poliklinik dengan keluhan Pasien mengeluhkan kulit terasa


keras dan kaku di daerah tangan dan wajah yang dialami sejak 2 tahun yang
lalu.
2. Sdr. J di diagnosa skleroderma sistemik. Hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik di dapatkan kulit menebal, mergang, mengkilat disertai makula
hipopigmentasi tidak merata pada kulit regio manus, regio carpal, dan regio
facialis, regio frontal, regio bucca dan regio cervical. Serta kulit menebal,
mergang, mengkilat disertai makula di regio abdomen dan regio thoracic.
3. Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan
mengenai pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma dibagi
dalam dua bentuk, bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta
atau dengan nama lain morphea atau skleroderma lokalisata, dan
scleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Karakteristik kliniknya
adalah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan ikat dan obliterasi
pembuluh darah ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu.
4. Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat
penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan
kulit menunjukkan perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ
internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung manifestasi organ spesifik.
Sklerosis sistemik harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya
kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ visceral sedangkan
skleroderma lokalisata bersifat self-limited dalam 3-5tahun.

28
DAFTAR PUSTAKA

Amerian College of Rheumatology. Scleroderma (also known as systemic


sclerosis). Specialist in Arthritis Care & Research, February 2013

Bielecka, OK, Bielecki, M, Kowal, K 2013, Recent advances in the diagnosis and
treatment of systemic sclerosis, Journal Medycyna PraktycznaI, Vol.123,
no.1-2, hlm. 51-58.

Jimenez, SA 2014, Scleroderma, Available at


https://emedicine.medscape.com/article/331864-overview#a3 diakses pada
tanggal 17 Maret 2019.

Jones, RM 2014, ABC Of Dermatology, 6th Ed. United Kingdom : John Wiley &
Sons.

Lawson, E 2017, Scleroderma, Master of Science in Nursing (MSN) Student


Schoolarship Otterbein University, Ohio.

Mayes, MD dan Barnes, J 2012, Epidemiology of systemic sclerosis: incidence,


prevalence, survival, risk factors, malignancy, and environmental triggers,
Journal Wolters Kluwer Health Lippincott Williams & Wilkins, Maret,
Vol.4, no.2, hlm. 165-170.

Menaldi, SLSW, Bramono, K, Indriatmi, W 2017, Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin, Ed. Ke-7, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rahardjo & Rachmawati 2017, Perempuan Usia 31 tahun dengan SLE dan
Skleroderma Sistemik, Indonesia Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, July, Vol. 23, no.3, hlm. 303-309.

Roswati, E 2012, Scleroderma: A case report, Cermin Dunia Kedokteran, Vol.39,


no.6, hlm.441-443.

Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo, AW, Simiadibrata, M, Setiyohadi, B, Syam, AF 2014,


Ilmu Penyakit Dalam, Ed. Ke-6, jilid 3, Jakarta : Interna Publishing.

29
Siregar, RS 2005, Saripati Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : EGC,
hlm.79- 80

Wigley, M, Shah, AA 2013, My approach to the treatment of scleroderma,


Journal Mayo Clin Proc, Vol.88, no.4, hlm.377-393.

30

Anda mungkin juga menyukai