Anda di halaman 1dari 31

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Skleroderma

Oleh :
Dipo Try Harto Nusantara 2110017003

Pembimbing:
dr. Adidia Carina Familia, Sp.PD

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan
judul “Skleroderma”.Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Adidia Carina Familia, Sp. PD, atas ilmu dan bimbingan yang
diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini. Namun,
penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Penyakit Dalam.

Samarinda, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 3
2.1 Definisi........................................................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................................................................. 4
2.3 Etiologi........................................................................................................................................... 4
2.4 Patofisiologi ................................................................................................................................... 5
2.5 Klasifikasi .................................................................................................................................... 11
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................................................................ 12
2.7 Diagnosis...................................................................................................................................... 18
2.8 Diagnosis Banding ....................................................................................................................... 21
2.9 Tatalaksana .................................................................................................................................. 24
BAB 3 KESIMPULAN .......................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sklerosis sistemik (skleroderma atau SSc) adalah penyakit autoimun
multisistem yang dikarakteristikkan dengan cedera vaskular yang luas dan fibrosis
kulit dan organ internal yang progresif. Penandanya adalah heterogenisitas klinis
dengan bervariasinya tingkat ekspresi penyakit, keterlibatan organ, dan prognosis
yang baik. Istilah skleroderma digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang
memiliki manifestasi vaskulopathy pembuluh darah kecil, produksi autoantibodi, dan
disfungsi fibroblas sehingga meningkatkan penyimpanan matriks ekstraselular
(Bielecka, Bielecki & Kowal, 2013).
Skleroderma banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki
dengan rasio 3-14:1. Onset usia terjadinya penyakit ini berikisar antara 30-50 tahun.
Pada laki-laki biasanya memiliki onset lebih awal dibandingkan pada wanita.
Skleroderma dapat terjadi pada semua ras. Namun, skleroderma lebih banyak
ditemukan di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia dibandingkan Asia (Barnes &
Mayes, 2015).
Patogenesis penyakit kompleks ini melibatkan berbagai tipe sel (sel endotel,
sel epitel, fibroblas, dan sel limfosit) berinteraksi melalui berbagai mekanisme yang
bergantung pada lingkungan mikro dan mediator kunci. Aspek yang penting dari
penyakit ini termasuk peradangan, pembuluh darah, dan sel-sel yang memproduksi
jaringan ikat. Heterogenitas klinis dari skleroderma menunjukan adanya mekanisme
patogenetik berbeda yang mendominasi pada pasien-pasien tertentu. Meskipun
komponen genetik mungkin terlibat pada etiopatogenesis dan adanya beberapa bukti
yang mendukung faktor genetik terlibat dalam keparahan dan kerentanan pada
penyakit ini, akan tetapi terdapat beberapa bukti kuat yang mendukung faktor
lingkungan dan bahan kimia sebagai faktor pencetus (Orteu & Denton, 2016).
Skleroderma diklasifikasikan menjadi 2 subtipe utama bergantung pada
luasnya keterlibatan sklerosis kulit, yaitu bentuk difus (diffuse systemic sclerosis=

1
dSSc) dan bentuk terbatas (limited systemic sclerosis = lSSc). Pada pasien dengan
dSSc terjadi pengerasan kulit yang progresif dan ditemukannya fenomena Raynaud
yang terjadi setelah 1 tahun pengerasan kulit. Pada dSSc biasanya terjadi pada batang
tubuh, wajah, lengan atas dan tungkai atas. Selanjutnya dapat terjadi fibrosis pada
paru, keterlibatan jantung dan gangguan ginjal. Sedangkan, pada lSSc dijumpai
pengerasan pada ekstremitas yang terletak jauh dari sendi lutut dan siku, termasuk
wajah. Pada tipe ini, biasanya pasien sudah lama mengalami fenomena Raynaud.
Pada kelainan ini juga dapat ditemukan adanya kalsinosis, fenomena Raynaud,
dismotilitas esofagus, sindaktili dan teleangiektasis (Orteu & Denton, 2016).
Maka mengingat segala komplikasi yang dapat terjadi dan kurangnya
pengetahuan dokter akan penyakit ini, penulis merasa perlu membuat refrat tentang
skleroderma untuk mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi,
klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis dan penatalaksanaan penyakit skleroderma.
1.3 Tujuan Penulisan
Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis penyakit skleroderma.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skleroderma adalah kelainan jaringan ikat yang ditandai terutama oleh
penebalan dan pengerasan kulit. Bentuk gabungan "sclero" berarti "keras" dalam
bahasa Yunani, dan kata "dermis" berarti kulit. Ada dua jenis utama skleroderma:
lokal dan sistemik (juga disebut sklerosis sistemik). Pada skleroderma lokal, penyakit
ini terutama mempengaruhi kulit dan dapat berdampak pada otot dan tulang. Dalam
skleroderma sistemik, ada keterlibatan organ internal, seperti saluran pencernaan,
jantung, paru-paru, dan ginjal (Odonwodo, Badri & Hariz, 2022).
Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan
mengenai pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Sklerosis sistemik
(skleroderma atau SSc) adalah penyakit autoimun multisistem yang
dikarakteristikkan dengan cedera vaskular yang luas dan fibrosis kulit dan organ
internal yang progresif. Istilah sclerosis sistemik digunakan untuk menggambarkan
penyakit sistemik yang ditandai dengan indurasi kulit dan penebalan disertai dengan
berbagai derajat fibrosis jaringan dan infiltrasi inflamasi kronis pada berbagai organ
visceral, dan perubahan kekebalan tubuh humoral dan seluler. Penandanya adalah
heterogenisitas klinis dengan bervariasinya tingkat ekspresi penyakit, keterlibatan
organ, dan prognosis yang baik. Istilah skleroderma digunakan untuk
mendeskripsikan pasien yang memiliki manifestasi vaskulopathy pembuluh darah
kecil, produksi autoantibodi, dan disfungsi fibroblas sehingga meningkatkan
penyimpanan matriks ekstraselular (Bielecka, Bielecki & Kowal, 2013). Seperti yang
disampaikan sebelumnya, penyakit ini bisa lokal dan sistemik, yang sistemik sering
bersifat progesif dan fatal. Karakteristik kliniknya adalaah adanya indurasi dan
penebalan kulit. Deposit jaringan ikat dan obliterasi pembuluh darah ditemukan
dikulit maupun di organ-organ dalam tubuh (Orteu & Denton, 2016).

3
2.2 Etiologi
Penyebab skleroderma tidak sepenuhnya diketahui. Ada beberapa bukti bahwa
faktor genetik dan lingkungan berperan dalam terjadinya skleroderma. Silika dan
pelarut organik tertentu diakui sebagai faktor risiko terjadinya skleroderma sistemik.
Hasilnya adalah aktivasi sistem kekebalan tubuh, menyebabkan kerusakan pembuluh
darah dan cedera jaringan yang mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan
akumulasi kolagen berlebih. Faktor genetik memainkan peran yang lebih terbatas.
Menurut tiga studi kohort di AS, prevalensi penyakit ini 13 kali lebih tinggi pada first
deegree relative pasien skleroderma daripada populasi umum. Polimorfisme gen
OX40L berkorelasi dengan skleroderma sistemik. Gen IRF5 ditemukan berkorelasi
dengan skleroderma sistemik serta dengan terjadinya penyakit paru interstisial selama
skleroderma (Odonwodo, Badri & Hariz, 2022).
2.3 Epidemiologi
Skleroderma memiliki distribusi dan efek yang luas terhadap semua ras. Di
Amerika Serikat, insidens skleroderma sistemik diperkirakan sekitar 20 kasus per
satu juga penduduk dengan estimasi prevalensinya sebanyak 276 kasus per satu juta
penduduk. Sedangkan untuk skleroderma lokalisata atau morphea di Amerika Serikat
insidens nya diperkirakan 25 kasus per satu juta penduduk (Jimenez, 2022).
Pada skleroderma sistemik, wanita menderita empat sampai sembilan kali
lebih banyak daripada pria, sedangkan pada skleroderma lokalisata atau morphea,
wanita menderita tiga kali lebih sering daripada pria. Usia yang paling sering
terserang adalah antara 20- 40 tahun. Bentuk linier lebih predominan pada anak. Bila
timbul pada orang dewasa, bentuk linier mulai timbul pada usia yang lebih awal
daripada bentuk yang lain. Golongan kulit hitam memiliki onset yang lebih cepat dan
tinggi untuk terserang penyakit yang lebih luas. Dilaporkan bahwa sedikitnya 70%
pasien skleroderma tipe limited dapat bertahan hidup hingga 10 tahun. Parameter
untuk menentukan buruknya prognosis terdiri dari jenis kelamin laki–laki, ras kulit
gelap, usia tua saat didiagnosis, keterlibatan organ internal, dan peningkatan LED
(Jimenez, 2022).

4
2.4 Patofisiologi
Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun
seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas,
perubahan fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi
dini dari skleroderma berupa fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum
gambaran klinis lain muncul. Terjadi proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai
dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan jaringan (Varga, 2016).
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap
scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi
dan terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel
fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan
fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan yang ireversibel (Varga, 2016).

Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik (Mayes, 2008).

5
A. Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting
dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit
ditandai dengan perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini
awalnya reversibel, terjadi akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan
kurangnya produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen
saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot
polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis relatif lebih ringan dan
tidak progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan morfologi
dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel (Richard,
John & John, 2012).
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas
endothelium-derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin)
dan vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah
mikro sehingga diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade
koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya
trombosis. Sel Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya
(Richard, John & John, 2012).
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan
pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot
polos mengalami proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi
perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi
tunika intima dan media serta fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan
persisten sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran setan.
Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan
hilangnya gambaran vaskuler (Richard, John & John, 2012).
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan
vasokonstriktor (tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan
vaskuler ini kemudian diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat

6
iskemia berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran.
Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya mempertahankan aliran darah
pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma. Kegagalan
vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah
progenitor sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam
sirkuklasi jumlahnya menurun secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro
menunjukkan diferensiasinya menjadi sel endotel matur terganggu. Oleh karena itu
vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari
Skleroderma (Richard, John & John, 2012).
B. Autoimunitas Selular dan Humoral
Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan
terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan
HLA-DR serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi
oligoclonal sebagai respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang
bersirkulasi juga meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul
adhesi alpha 1 integrin yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat
endotel dan fibroblast (Mayes, 2016).
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang
memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan
respon Th2 terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin
Th2 ini dapat menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan
akumulasi matriks. TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta
sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi
fibroblast dan sel efektor lain (Mayes, 2016).
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial
menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan
kadar IL-4 dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma).

7
Sitokin Th2 merangsang sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma
menghambat sintesis kolagen dan memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin
(Mayes, 2016).
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma.
Autoantibodi ini spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan
hubungan yang kuat dengan fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang
dibedakan secara genetik. Kadar autoantibodi berhubungan dengan keparahan
penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik
Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein mitosis seperti
topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang
antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada
Skleroderma dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi
terhadap fibroblast, sel endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase.
Beberapa autoantibodi ini mungkin mempunyai peran patogenik langsung sebagai
mediator kerusakan jaringan (Mayes, 2016).
Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran
pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien
sklerodema self-antigen spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah
proteolitik, peningkatan level ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga
sel tersebut dapat dikenali oleh sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan
protease granzim B yang merusak autoantigen, menghasilkan fragmen baru dengan
neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun (Mayes, 2016).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam
autoimunitas dan fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat
berperan sebagai antigen presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6
dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien
skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor
sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah sel B memori serta sel
plasma (Mayes, 2016).
C. Komponen Selular dan Molekul Fibrosis

8
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma
yang membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis
merupakan konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai
dengan penggantian arsitektur jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang
progresif yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma
(Mackay & Rose, 2013).
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi
oleh TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi
dengan kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan
sitokin, mengekspresi reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan
berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan
cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast
akan berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi (Mackay & Rose,
2013).
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus
dan makin besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan
parut. Aktivasi fibroblast yang salah ini serta akumulasi matriks adalah perubahan
patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderma (Mackay &
Rose, 2013).
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari
sumsum tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear
yang mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-
smooth muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat
oleh TGF-beta (Mackay & Rose, 2013).

9
Gambar 2. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma (Gabrielli et al., 2009).

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum


tulang, perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya
diferensiasinya menjadi matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya
diketahui. Transisi sel epitel menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam
berkembangnya fibrosis di paru dan ginjal serta organ lain (Mackay & Rose, 2013).
Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos.
Baik proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta.
Miofibroblast bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap
apoptosis. Miofibroblast berkontribusi terhadap pembentukan skar melalui
kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan
kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang rapat
(Mackay & Rose, 2013).
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien
skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks
ekstraseluler, ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi

10
PDGF, resitensi tehadap apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal
transduksi TGf-beta intraseluler yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan
kegagalan loop umpan balik negative Smad-7 tampak pada Skleroderma. Protein
koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi Smad dan merupakan
lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi fungsi
fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan protein
seluler lain mempengaruhi progresifitas proses fibrogenik scleroderma dengan cara
memodulasi transkripsi gen (Mackay & Rose, 2013).

Gambar 3. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma (Gabrielli et al., 2009).

2.5 Klasifikasi
Sklerosis dari kulit terjadi pada berbagai kondisi, misalnya pada dermatitis
dan lupus erythematosus (LE), dan juga seperti yang terjadi pada sebagian
manifestasi kulit dari skleroderma sistemik. Tetapi, kata skleroderma harus digunakan
secara ketat mengacu pada sklerosis dari kulit, baik lokal atau generalisata, yang
terjadi pada penderita sebagai tanda satu-satunya atau tanda yang menonjol. Pada

11
keadaan tersebut, istilah yang digunakan sebaiknya adalah morphea. Terdapat banyak
diskusi dan kebimbangan tentang hubungan antara morphea dan skleroderma
sistemik, yang paling dipertimbangkan adalah bahwa keduanya merupakan sebuah
penyakit berbeda meskupun memiliki beberapa kesamaan (Khanna, 2011).
Gutate Morphea

Bullous morphea
Morphea tipe plak
Keloidal (nodular)
Morphea
Morphea linier
Atrophoderma of Pasini
Lokalisata
and Pierini
Generelized morphea

Deep (profunda)
Skleroderma
morphea

Limited sclerosis
Sistemik
Diffuse sclerosis

Gambar 4. Klasifikasi Skleroderma (Djuanda, 2007)


SSc dibagi menjadi dua kategori klinis berdasarkan derajat keterlibatan
kelainan kulit, yaitu (Khanna, 2011):
1. Tipe Diffuse
Ketika kelainan kulit terjadi pada ekstremitas tubuh bagian distal dan
proksimal, badan, dan muka.
2. Tipe Limited
Ketika indurasi kulit hanya terjadi pada ekstremitas bagian distal dan wajah.
Skleroderma tipe difus berlangsung progresif dan fatal sedangkan skleroderma tipe
limited perlangsungannya lebih lambat.
2.6 Manifestasi Klinis
Skleroderma Sirkumskripta/Skleroderma Lokalisata/Morphea
1. Morphea tipe plak
Lesi dengan karakteristik plak berindurasi berbatas tegas dengan diameter 1
sampai lebih dari 20 cm. Lesi ini biasanya diawali dengan makula eritematous oval
atau bulat sampai makula keunguan atau plak disertai sedikit edema. Pada fase aktif,

12
daerah indurasi biasanya memiliki tepi berwarna keunguan (vilaceous) atau lebih
dikenal dengan lilac ring. Setelah beberapa minggu atau bulan, lesi akan berubah
warna khususnya pada bagian tengah lesi dan tampak seperti daerah tebal seperti lilin
(sklerosis) dengan warna seperti gading. Permukaannya biasanya licin dan mengkilat
akibat hilangnya folikel rambut dan kelenjar keringat (Werth, 2017).

Gambar 5. Morphea Soliter: plak tipikal morphea. Pada tahap awal, dapat terlihat tepi
yang lebih jelas dan lebih edema (Goodfield, Jones & Veale, 2016).
Lesi biasanya ditemukan dalam jumlah lebih dari satu (multiple lesions) dan
biasanya bilateral, tetapi asimteris. Lesi biasanya ditemukan pada badan, terutama
badan bagian bawah, tungkai, lengan, wajah, dan genitalia dan lebih jarang
ditemukan pada aksilla, perineum, dan sekitar areola mammae (Werth, 2017).
Terdapat varian dari morphea tipe plak, antara lain (Werth, 2017).:
a. Guttate morphea
Memiliki lesi yang mirip dengan tipe plak, tetapi dengan ukuran lebih kecil
dan jumlah lebih banyak. Morphea guttata biasanya ditemukan pada daerah
dada dan leher.
b. Bullous morphea
Diduga akibat dari dilatasi pembuluh limfe dan cairn limfe yang stasis
bersamaan dengan pelepasan protein mayor dasar dari eosinofil.
c. Keloidal (nodular) morphea

13
Memiliki lesi dengan nodul yang menyerupai keloid.
d. Atrophoderma of Pasini and Pierini
Diduga merupakan bentuk abortif primer dari morphea, dimana gagal terjadi
indurasi dan lesinya menyerupai lesi luka bakar tipe plak. Lesi memiliki
karakteristik makula hiperpigmentasi atrofi berwarna kebiruan sampai coklat
gelap dengan permukaan sedikit menurun. Berbeda dengan morphea tipe plak,
pada jenis ini, tidak ditemukan adanya indurasi dan lilac ring, melainkan
ditemukan gambaran “cliff-drop” (Werth, 2017).
2. Morphea Linear (en coup de sabre)
Morphea linear memiliki karakteristik lesi indurasi seperti pita (band-like)
yang seringkali disertai dengan perubahan pigmen. Karakteristik penting pada
morphea tipe ini menyerupai morphea tipe plak, tetapi biasanya penampakan lilac
ring tersamarkan atau hanya tampak pada lesi yang lanjut. Lesi yang muncul biasanya
tunggal dan unilateral, walaupun kadang dapat muncul lesi bilateral. Morphea linear
paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, diikuti ekstremitas atas, kepala bagian
frontal, dan badan bagian anterior. Lesi yang muncul biasanya mengikuti garis
Blaschko. Proses fibrotic sering kali menyebar sampai ke jaringan subkutan,
termasuk otot dan fascia. (Werth, 2017).

Gambar 6. Skleroderma linear, en coup de sabre tampak oblique ( Werth, 2017).


Lesi frontoparietal memiliki karakteristik depresi atrofi dan linear pada aspek
frontoparietal dari wajah dan kulit kepala, dimana lesi tersebut nampak seperti bekas

14
tebasan pedang, sehingga disebut dengan “en coup de sabre” (Goodfield, Jones &
Veale, 2016).
3. Generalized Morphea
Morfea generalisata merupakan bentuk berat dari morphea yang ditandai
dengan banyak lesi yang sering kali tampak bersatu dan biasanya melibatkan daerah
permukaan tubuh yang lebih luas. Biasanya mempengaruhi tiga atau lebih region
anatomis secara signifikan, antara lain dada, abdomen, punggung belakang, bokong,
dan paha. Pada varian yang jarang ditemui dari morphea universal, terjadi
keterlibatan seluruh tubuh, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, tetapi, berbeda
dengan skleroderma sistemik, tidak terjadi sclerodaktili, Raynaud’s phenomenon,
atau keterlibatan organ dalam (Goodfield, Jones & Veale, 2016).
4. Deep (Profunda) Morphea
Morphea profunda memiliki lesi dengan karakteristik plak sklerotik berbatas
tidak jelas dengan penampakan “cobblestone” atau “pseudo-cellulite”. Adanya
“groove sign”, yaitu penurunan sepanjang perjalanan vena, antara kelompok otot,
atau keduanya, dapat menjadi bukti perjalanan penyakit lanjut. Lesi morphea
profunda biasanya hiperpigmentasi, tetapi karena inflamasi yang terjadi pada
tingkatan yang lebih dalam, hanya sedikit terjadi perubahan warna. Varian dari
morphea profunda antara lain eosinophilic fasciitis dan disabling pansclerotic
morphea of children (Goodfield, Jones & Veale, 2016).
Skleroderma Sistemik
Sistemik sklerosis memiliki manifestasi klinis yang bervariasi pada tiap
pasien, namun terdapat beberapa gejala klinis yang hampir selalu muncul pada
penderita SSc, yaitu fenomena Raynauds dan sklerosis pada kulit. Sistemik sklerosis
sering bermanifestasi dengan berbagai macam pola gejala klinis yang disebut sindrom
CREST (calcinosis kutis, Raynauds phenomenon, keterlibatan esofagus, sklerodaktili,
dan telangiektasis) (Werth, 2017).

15
Gambar 7. CRST Syndrome (Werth, 2017)
1. Manifestasi pada kulit
Banyak pasien dengan SSc pada awalnya akan mengalami edema yang
biasanya sering bermanifestasi sebagai pitting edema pada jari jari sebelum terjadinya
sklerosis pada kulit. Kulit akan mengalami fase indurasi, dimana kulit akan mengeras
dan akan tampak mengkilat. Selain itu, kulit akan mengalami fase atrofi, dimana kulit
akan mengalami perlembutan secara bertahap. Depigmentasi juga dapat menjadi
salah satu manifestasi perubahan kulit yang terjadi pada pasien SSc selain adanya
fibrosis. Selain itu dapat juga ditemukan telangiektasis yang biasanya terdapat pada
bibir dan telapak tangan. Telangiektasis ini biasanya terdapat pada pasien SSc dengan
tipe limited SSc, namun juga dapat terjadi pada pasien dengan SSc tipe difus.
Kalsinosis kutis biasanya terjadi pada ekstremitas, biasanya pada daerah sekitar sendi
dan berlokasi pada daerah distal (Goodfield, Jones & Veale, 2016).

16
Fenomena Raynauds ditandai dengan adanya episode vasospasme pada arteri-
arteri jari-jari yang akhirnya akan menhasilkan perubahan warna pada jari-jari tangan
menjadi putih, biru, atau merah (Goodfield, Jones & Veale, 2016).

Gambar 8. Adanya pengekatan kulit jari tangan dan resorpsi jari (Werth, 2017)

Gambar 9. Teleangiektasis pada pasien dengan sistemik sklerosis (Werth, 2017)


2. Manifestasi ekstra kulit
Pasien SSc biasanya datang dengan keluhan adanya kelainan organ bagian
dalam tubuh yang terlibat sebelum terbukti adanya kelainan kulit, misalnya hipertensi
pulmonal atau hipertensi krisis ginjal. Organ-organ tubuh yang paling sering terlibat
adalah traktus gastrointestinal, paru-paru, jantung, dan ginjal (Connolly, 2004).
Keterlibatan paru-paru akan didominasi dengan adanya fibrosis paru-paru secara
menyeluruh. Pada sistim Gastrointestinal, esofagus adalah organ yang paling sering
terserang. Sedangkan pada ginjal akan terjadi sejumlah perubahan patologis yang
dapat menjadi masalah serius bagi pasien, namun penanganan yang tepat terhadapa
hipertensi dan kemajuan pengobatan modern, misalnya dengan menggunakan ACE
inhibitor dapat membantu mengurangi masalah ini. Pasien sistemik sklerosis dengan

17
keterlibatan organ ginjal pada mulanya akan datang dengan gejala klinis proteinuri
(Goodfield, Jones & Veale, 2016).
2.7 Diagnosis
Anamnesis
Pada umumnya pasien tidak mengeluhkan adanya kelainan pada kulit. Pada awalnya
pasien merasakan adanya artralgia dan arthritis. Keluhan tersebut cenderung
mengarahkan pemeriksa kepada reumatologik sistemik. Keluhan lain yang biasanya
menyertai adalah demam, pembesaran kelenjar limfa regional, migraine, sakit perut,
susah mendengar, sakit pada saraf dan spina bifida (Werth, 2017).
Pemeriksaan fisik
Pada umumnya yang ditemukan pada inspeksi kulit adalah plak berbatas
tegas, kesannya seperti kasar, dengan diameter 2 sampai 15 cm, bulat atau oval, lebih
baik jika diraba daripada dilihat. Awalnya, keunguan. Dalam beberapa saat,
permukaan menjadi halus dan mengkilap, setelah beberapa bulan, permukaanya
seperti gading dengan warna seperti lilak. Mungkin terdapat hiperpigmentasi di
daerah lesi sklerotik. Jarang, lesi menjadi atrofi dan hiperpigmentasi tanpa melalui
tahap sklerotik (Werth, 2017).
Gejala klinis
Agar dapat mendiagnosis penyakit morfea atau yang biasa disebut localized
scleroderma, petugas kesehatan perlu mengetahui gejala klinis dari penyakit
ini.ditandai dengan Round or oval, indurated atrophic patches and plaques, smooth
surface and violaceous border. Gejala klinis yang pertama adalah lesi yang berbentuk
plak. Lesi ini terjadi sebagai akibat dari kulit yang mengalami inflamasi yang pada
awalnya berwana keunguan. Kemudian menjadi tidak berwarna setelah beberapa
minggu atau bulan, terutama di daerah tengah lesi yang kemudian nampak dikelilingi
oleh struktur seperti lilin yang tipis. Permukaannya seperti halus dan mengkilap
namun bisa saja terdapat peninggian (nodular). Tidak terdapat rambut dan tidak
berkeringat. Vesikel, bulla dan hemoragik biasanya dapat terjadi dan kadang-kadang
juga terdapat talengiektasis (Werth, 2017).

18
Gejala klinis kedua yaitu lesi bulosa. Dalam klasifikasi Peterson
menggambarkan bulosa pada morphea sebagai gejala yang selalu ada pada penyakit
ini. Akan tetapi, keadaan ini telah digambarkan pada semua jenis morphea dan telah
menjadi landasan dalam dilatasi limfatik sepanjang pelepasan protein dari eosinofil
(Werth, 2017).
Gejala klinis ketiga yaitu lesi linear. Ciri-ciri utamanya hampir sama dengan
lesi plak, tapi batas dari lesi ini tidak begitu tegas atau kurang mencolok. Biasanya
hanya terdapat satu dan unilateral pada tubuh pada saat terjadi lesi. Tempat
predileksinya terutama pada ekstremitas dimana kaki lebih sering daripada tangan.
Biasanya juga terdapat pada bagian anterior dari dada, perut dan bokong (Werth,
2017).
Gejala klinis terakhir yaitu lesi frontoparietal, ‘en coup de sabre’ (terdapat
kemiripan dengan luka sayatan pedang) dengan atau tanpa hemiartropi. Lesi ini
biasanya dimulai dengan kontraksi dan kekakuan pada kulit disekitar daerah yang
terkena lesi. Setelah itu, plak sklerosis yang menyerupai gading yang tidak teratur
akhirnya terbentuk, biasanya disertai dengan talengiektasis pembuluh darah
disekitarnya dan biasanya bersamaan dengan hiperpigmentasi pada daerah tepi lesi.
Kemudian setelah itu, lekukan linear yang agak dalam terjadi pada bagian
frontoparietal dan menjalar ke daerah kulit kepala yang terdapat rambut sehingga
terjadi alopesia (Werth, 2017).
Sebuah klasifikasi dari American College of Rheumatology telah dibuat untuk
menegakkan diagnosis skleroderma. SSc dapat didiagnosis dengan menemukan
kriteria mayor atau sedikitnya 2 kriteria minor. Yang dimaksud dengan kriteria mayor
adalah ditemukannya lesi kutaneus sklerotik pada proksimal dari sendi
metacarpophalangeal atau sendi metatarsophalangeal. Sedangkan untuk kriteria minor
yaitu ditemukannya skleroderma pada jari yang berbentuk pitting scar, hilangnya
sensasi dari ujung jari atau terdapatnya jaringan fibrosis pada kedua bagian paru–

19
paru. Walaupun demikian, pengunaan kriteria ini tidak terlalu aplikatif dalam praktik
sehari-hari dan tidak semua pasien memenuhi kriteria (Khanna, 2011).
Baru baru ini telah dibuat sebuah set kriteria lain berdasarkan European
League Against Rheumatism (EULAR) scleroderma trials and research groups
dimana kriteria ini sangat penting untuk mendeteksi dini adanya skleroderma.
Kriterianya terbagi menjadi 3 domain yang terdiri dari 7 penilaian yaitu (Khanna,
2011) :
1. Domain kulit (jari-jari yang memebengkak yang akan mengarah ke
sklerodaktili).
2. Domain Vaskular (Raynauds phenomenon, kapilaroskopi abnormal).
3. Domain Laboratorium (Antinuklear, Anticentromere, dan antibodi
Antitopoisomerase-I).
Tabel 1. Perbandingan Sklerosis Sistemik dengan Morphea
Systemic Sclerosis Morphea
Gejala klinik mayor - Limited - Morphea tipe plak
- Diffuse - Morphea Generalisata
- Morphea Linear
Fenomena Raynauds ++ -
Indurasi Simetris ++ -
Sklerodaktili ++ -
Lesi di daerah muka + - Tipe plak dan generalisata
+ linear
Antibodi antinuklear ++ ± tipe general dan linear
- Tipe plak
Antibodi anticentromere + tipe limited -
Antitopoisomerase I (Scl- + tipe diffuse -
70) antibodi
Remisi Spontan - ++ tipe plak
+ tipe general
± tipe linear
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan serum auto-antibodi. Pada pemeriksaan ini, didapatkan serum
auto-antibodi yang berbeda-beda jumlahnya. Jumlah autoantibody yang paling sering
ditemukan pada pasien adalah antinuclear antibody yang mencapai 46 persen hingga

20
80 persen, pada umumnya dengan susunan imunofloresensi homogen. Kemudian
lebih lanjut terdapat 27 persen persen hingga 53 persen dari kasus morfea yang
ditemukan memiliki anti-single stranded DNA. Secara khusus, pasien dengan
generalized morphea memilikijumlah autoantibody dibandingkan dengan pasien
dengan localized scleroderma (mofea), dan autoantibody memiliki hubungan dengan
seberapa beratnya gejala klinis, jumlah lesi dan lamanya perjalanan klinis dari
penyakit ini (Werth, 2017).
Eosinofil ditemukan dalam jumlah 6 persen hingga 50 persen. Jumlah ini
berhubungan dengan aktifitas penyakit. Penurunan jumlah dari eosinofil mungkin
bersamaan dengan penurunan aktifitas dari lesi kulit. Peninggian immunoglobulin,
terutama serum immunoglobulin level G berhubungan dengan keaktifan dan
perluasan penyakit dan kontraktur persendian (Werth, 2017).
2. Pemeriksaan Histopatologi.
Lesi yang masih baru mungkin tidak begitu jelas atau tidak begitu memiliki
perubahan histology. Vakuolisasi dan perusakan sel endotel dengan reduplikasi
lamina basalis telah ditemukan terjadi pada penyakit ini. Dari hasil biopsi ditemukan
secara khusus pada lesi yang telah lama, terlihat tepi yang berbentuk segi empat.
Infiltrat radang di bagian superficial hingga ke bagian lebih dalam biasanya terlihat.
Lesi yang sangat baru terbentuk mungkin menunjukkan infiltrate radang di bagian
dermis dan subkutan. Limfosit, makrofag, plasma sel, eosinofil dan sel mast juga
terlihat. Endapan glikosaminoglikan mungkin terlihat pada tahap awal penyakit ini,
terutama jika difokuskan pada bagaimana mempertahankan komponen matriks
selama proses patologis. Pada stage awal morphea dengan biopsi menunjukkan
karekteristik lurus, parallalel, lesi tepi dengan bagian terdalam menjadi seluas
permukaan epidermis (Werth, 2017).
2.8 Diagnosis Banding
A. Fenomena Raynound
Raynaud fenomena terdiri dari 2 bentuk primary Raynaud fenomenon (penyakit
Raynaud) yang lebih sering terjadi pada wanita muda dan tanpa didasar oleh suatu
penyakit. Sedangkan pada fenomena Raynaud didasari pada suatu penyakit

21
(Connolly, 2004), penyakit ini merupakan suatu kondisi terjadinya spasme arteri
perifer yang bersifat reversible yang merupakan respon terhadap dingin dan stress.
Pada scleroderma atau pada SLE, raynaud phenomenom digunakan untuk
menggambarkan terjadinya vasospapme pada jari sebagai respon terhadap dingin
(Saigal, et al., 2012).

Gambar 10. Gambaran fenomena Raynaud. 1) Pucat akibat vasokonstriksi


precapillary muscular arteriole. 2) Sianosis akibat deoxygenasi pembuluh darah vena.
3) Erythema akibat hyperemia yang kembali aktif, berkaitan dengan nyeri (Saigal, et
al., 2012).
1. Gejala klinis
Selama serangan, sejumlah pembuluh darah kecil yang mengantarkan darah
ke kulit, jari kaki, hidung, telinga, mengalami konstriksi sehingga mengakibatkan
mati rasa, pucat, atau memberi warna kebiruan (sianosis) dan ditemukan erythema
akibat hyperemia yang kembali aktif, berkaitan dengan nyeri yan berdenyut (Saigal,
et al., 2012).
2. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit raynaud belum diketahui, akan tetapi Fenomena
Raynaud kebanyak disebabkan oleh suatu penyakit autoimun.oleh Obat-obatan
(ergotamine, interferon alfa dan beta, nicotin, β bloker) dan Faktor lingkungan
(frostbite) (Saigal, et al., 2012).

22
3. Faktor Resiko
Lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Lebih sering terjadi pada
masa muda (5 sampai 35 tahun ) dan biasanya terjadi pada anggota keluarga yang
sama, sedangkan pada fenomena Raynaud terjadi pada usia 30 tahun (Saigal, et al.,
2012).
4. Laboratrium
Pada fenomena Raynaud sering kita dapatkan antinuclear
antibody,anticentromer antibody,dan jarang ditemukan pada penyakit Raynaud. Pada
pemeriksaan ESR dan CRP menunujukan hasil yang positif fenomena Raynaud,akan
tetapi pada penyakit Raynaud didaptkan ESR normal dan CRP negatif (Saigal, et al.,
2012).
B. LED (Lupus Ertematosus Discoid)
Merupakan suatu penyakit autoimun yang bersifat kronik dan tidak
berbahaya, menyebabkan bercak di kulit yang eritematous dan atrofi kutan tanpa
ulserasi (Djuanda, 2007).
1. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun, bisa juga diinduksi oleh obat (prokainamid,
hidantoin, streptomisin, penisilin) (Djuanda, 2007).
2. Gejala klinis
Lesi pada LED terdiri dari eritema dan hiperpigmentasi pada daerah luarnya,
serta meninggalkan scar yang atrofi pada bagian tengahnya, telangiektasis, dan
bercak hipopigmentasi. Predileksi tempat terjadinya DLE adalah wajah (alis mata,
kelopak mata, hidung, mulut, bibir), kulit kepala, telinga, leher, dan ekstensor tangan.
Bila lesi diatas hidung dan pipi berkonfluensi dapat berbentuk seperti kupu-kupu
(butterfly erythema) (Djuanda, 2007).
3. Faktor resiko
Insidens pada wanita lebih banyak daripada pria, usia biasanya lebih dari 30
tahun, lebih sering terjadi pada orang Asia-India (Djuanda, 2007).
4. Laboratrium

23
Kelianan laboratrium jarang terjadi seperti leukopeni, LED meninggi, atau
serum globulin naik, ANA test positif. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat
penebalan basement membran, lichenloid infiltrate, dan peri appendegeal
inflammation (Djuanda, 2007).
2.9 Tatalaksana
Skleroderma Sistemik
Pengobatan pada sistemik sklerosis (skleroderma) cukup sulit dan merupakan
tantangan yang besar bagi para klinisi. Karena etiologinya tidak diketahui dengan
jelas, terapi-terapi yang diberikan adalah terapi yang ditujukan untuk meningkatkan
sirkulasi darah perifer (dengan menggunakan vasodialtor dan anti agregasi platelet),
untuk mencegah sintesis dan pelepasan sitokin-sitokin yang berbahaya (dengan
menggunakan obat imunosupresan), dan untuk mencegah dan mengurangi fibrosis
(dengan menggunakan agen yang mengurangi sintesis kolagen). Khusus untuk
skleroderma sistemik, banyak obat terapi digunakan untuk menangani kerusakan
organ–organ dalam, seperti paru–paru dan ginjal walaupun belum memiliki efek yang
signifikan terhadap komponen kutaneus (kulit). Terapi yang dapat diberikan untuk
efek Raynaud’s phenomenon yang terjadi yaitu calcium channel blocker, angiotensin
converting enzyme inhibitor, angiotensis receptor blocker, agen antioksidan dan
prostacyclin analogues (Orteu & Denton, 2016).
Skleroderma Lokalisata
Pada sebagian besar kasus skleroderma lokalisata, lesi akan mengalami
resolusi spontan, namun pada beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan fibrosis
atau sklerosis pada kulit dan lapisan subkutan. Terapi yang diberikan ditujukan untuk
mengatasi komponen-komponen inflamasi, pelepasan sitokin, dan aktivasi serta
deposisi kolagen (Falanga & Killoran, 2016).
1. Topikal Kortikosteroid
Topikal kortikosteroid (fluorinated dan hydrocortisone) adalah pilihan terapi
selama fase inflamasi. Triamcinolone intralesi, 5 mg/ml, sekali sebulan selama 3
bulan dapat mengurangi atau menghentikan progresitivitas dari morphea dan
skleroderma linear (Orteu & Denton, 2016).

24
2. Calcitrol dan Calcipotreine
Selain mempengaruhi diferensiasi dan proiferasi dari keratinosit, calcitrol dan
calcipotreine juga menghambat proliferasi fibroblast, sintesis kolagen, dan bahkan
aktivasi Limfosit-T. Calcitrol peroral dengan dosis 0,50-0,75 mg perhari,
memperbaiki mobilitas sendi dan ekstensibilitas kulit pada pasien dewasa dengan
morphea generalisata, selama 3-7 bulan terapi. Salep calcipotriene topikal (0,005 %)
yang digunakan pada 12 pasien yang berusia 12-38 tahun dengan hasil biopsi
morphea aktif atau skleroderma linear setelah 3 bulan terapi semua pasien
menunjukkan perbaikan, yaitu berkurangnya eritema, telangiektasis, dan
depigmentasi (Falanga & Killoran, 2016).
3. Psoralen-UV-A dan UV-A
Psoralen-UV-A fototerapi telah menunjukkan hasil efektif pada sejumlah
kasus morphea dan skleroderma linear (Falanga & Killoran, 2016).
4. Methotrexate
Pada orang dewasa penderita morphea yang diberikan oral methotrexate, 15
mg/minggu, dan apabila terdapat resistensi dosisnya dinaikkan hingga 25 mg/minggu
setelah 24 minggu terapi. 6 dari 9 pasien menunjukkan perbaikan yang signifikan
dilihat dari berkurangnya indurasi lesi pada kulit (Falanga & Killoran, 2016).

25
BAB 3
KESIMPULAN

Skleroderma merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya


kolagenesis kronis. Berdasarkan epidemiologinya wanita menderita tiga kali lebih
banyak daripada pria dan usia yang paling sering terserang adalah antara 20- 40 tahun
Penyakit ini belum diketahui penyebab pastinya, tetapi dicurigai terdapat beberapa
faktor familial yang berpengaruh. Penegakan diagnosis scleroderma berdasarkan
skema klasifikasi dari American College of Rheumatology, SSc dapat didiagnosis
dengan menemukan kriteria mayor atau sedikitnya 2 kriteria minor.
Pada skleroderma sistemik, terapi yang diberikan adalah terapi yang ditujukan
untuk meningkatkan sirkulasi darah perifer, untuk mencegah sintesis dan pelepasan
sitokin sitokin yang berbahaya, serta untuk mencegah dan mengurangi fibrosis. Untuk
sebagian besar kasus skleroderma lokalisata, lesi dapat mengalami resolusi spontan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Orteu, S.H., & Denton, C.P. (2016). Systemic Sclerosis. In: Griffiths CEM, Barker J,
Bleiker T, Chalmers R, dan Creamer D. (eds.) Rook’s Textbook of Dermatology.
Edisi 9. UK: John Wiley & Sons; p. 56.1-56.23

Falanga, V., & Killloran, C.E. (2016). Morphea. In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
A.Gilchrest B, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. Edisi 7. UK: John Wiley & Sons; p. 56.1-56.23

Goodfield, M.J.D., Jones, S.K., & Veale, D.J.(2016). The ‘connective tissue
diseases’. In Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's textbook
of dermatology. 9th ed. UK: John Wiley & Sons; p. 56.70-87

Khanna, D.(2011). Diagnosis and treatment of systemic and localized scleroderma.


Expert Rev. Dermatol . (3): p. 287–302.

Jimenez, S.A.(2022). Scleroderma. [Online]; cited 2022 October 10. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/331864.

Werth, V.P.(2017). Morphea. [Online]; [cited 2022 October 10. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1065782.

Connolly, M.K.(2004). Systemic sclerosis (scleroderma) and related disorders. In


Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, et al.,
editors. Bolognia: dermatology. 2nd Ed. Mosby : Elsevier.

Djuanda, S. (2007). Penyakit Jaringan Konektif. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; p. 268-70

Odonwodo, A., Badri, T., & Hariz. (2022). Scleroderma. Treasure Island : StatPearls
Publishing

Varga, J. (2016). Systemic Sclerosis (Scleroderma). In : Fauci AS, Braunwald E,


Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editor. Harrison’s
Principles of internal medicine 19 th Ed. New York : Mc Grwa Hill Medical; p
2096-2106.

27
Bielecka, O.,K., Bielecki, M., & Kowal, K. (2013). Recent advances in the diagnosis
and treatment of systemic sclerosis. Pol Arch Med Wewn;123 (1-2): 51-58

28

Anda mungkin juga menyukai