Anda di halaman 1dari 39

Referat

DEMAM TIFOID

Penyusun:
Dwi Puspita Sari, S.Ked
712019017

Pembimbing:
dr. Halimah, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BARI PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Oleh
Nurisma
Maulisa,
S.Ked
7120200
01

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Bari Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Desember
2020
Pem
bimb
ing,

ii
dr. Halimah, Sp.A

iii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Penyakit Mata RSUD Palembang BARI pada Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik
sampai pada penyusunan laporan kasus ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan laporan kasus ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1) dr. Fera Yunita Rodhiyanti, Sp.M selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan laporan
kasus ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH..........................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan fisiologi sklera..........................................................3
2.1.1 Anatomi sklera......................................................................3
2.1.2 fisiologi ................................................................................5
2.2 Skleritis...........................................................................................6
2.2.1. Definisi skleritis...................................................................6
2.2.2. Epidemiologi........................................................................6
2.2.3. Etiologi.................................................................................6
2.2.4. Patofisiologi.........................................................................7
2.2.5. Klasifikasi ...........................................................................12
2.2.6. Diagnosis.............................................................................16
2.2.7. Diagnosis banding................................................................21
2.2.8. Penatalaksanaan ..................................................................23
2.2.9. Komplikasi...........................................................................28
2.2.10. Prognosis............................................................................28

v
BAB III KESIMPULAN................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................31

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan

adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. 1 Proses

peradangan ini terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi.

Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering

berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.2

Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika

Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis

yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah

skleritis posterior. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya

sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara

bilateral. Dari data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti

mengenai insiden skleritis. Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai

gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah hingga beberapa bulan. Angka

morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri dan penyakit

sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1.

Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata

orang yang menderita skleritia adalah usia 52 tahun.1,2,3

Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa

nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang

dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan

bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri

1
tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri

ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien

sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula mata merah

berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.3,4

Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani

dengan baik berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio

retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis

tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis

yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.1,2

Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa

diberikan Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari.

Kebanyakan kasus menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan

pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik

selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Pada kasus

yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena. Apabila

mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan

antibiotik spesifik.3,4,5

Pada makalah ini akan dipaparkan sebuah tinjauan pustaka mengenai

skleritis. Pembahasannya akan meliputi anatomi dan fisiologi sklera, epidemiologi

dan klasifikasi skleritis, patogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan

penatalaksanaan pada skleritis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sklera

2.1.1 Anatomi sklera

Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan

kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya,

kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera

merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang

tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan

berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah

pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena

terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir

pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular

3
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari

nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima

rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus

koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera

mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah

tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh

darah yang melekat pada sklera.3

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada

bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea,

untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan

menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus

oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.

Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan

1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu

penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar

melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm

pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau

akuator.3,4

Gambar 2. Sklera

4
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6

 Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan

merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.

 Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar

nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari

sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas

foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk

menuju ke otak.

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan

berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai

tebal 10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan

endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

2.I.2. Fisiologi sklera

Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen

intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan

pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.

Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan

vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada

sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan

jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan

perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.

5
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang

mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera. 3

2.2. Skleritis

2.2.1. Definisi Skleritis

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang

ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang

mengisyaratkan adanya vaskulitis.1

2.2.2. Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat

insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien

yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya

adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit

ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau

mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan

insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak

terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama

terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.2

2.2.3. Etiologi Skleritis7,8

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh

proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan

tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,

mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses

6
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah

katarak dan operasi pterigium.1

2.2.4. Patofisiologi Skleritis

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50

persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang

menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing

spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's

granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7

7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis

adalah gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus.

Gangguan regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi

genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat

berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses

peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan

kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon

granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).9,10

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang

terdiri dari antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi

menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal

dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen

kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena

FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena

ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk

reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe

I, secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih

menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam

sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi

yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi

kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang

diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII.

Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi

8
granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement

sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam

lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari

hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis

dan glomerulonefritis.11

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi

hipersensitivitas yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe

hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat.

Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah

mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan

peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami

kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T

tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk

makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini

adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan

makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48

– 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah

tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak

yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal

atau bahan kimia reaktif.11

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang

meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting

terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia

9
dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi

dari bola mata.12

Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan

penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi

pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari

skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang

berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III

dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV).

Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat

menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada

pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan

venula post kapiler dan respon imun sel perantara.7

Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien

dengan skleritis membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi

antipospolipid dan meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis

pernah dilaporkan. Studi terkini melaporkan bahwa untuk pertama kalinya

muncul antibodi spesifik sklera dalam serum pasien dengan tipe skleritis

non infeksius. 10

10
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi

Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi

11
Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan

beberapa protein dari segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin

pernah dilaporkan, khususnya pada kejadian uveitis idiopatik. Meskipun

tidak ada literatur yang melaorkan autoantibodi pada idiopatic skleritis.

Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua

polipeptida yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan

dan memunculkan kemungkinan adanya proses autoimun organ spesifik.10

Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis,

terjadinya skleritis memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh

makrofag dan limfosit T CD-4, yang mana biasanya tidak ditemukan pada

sklera normal.10

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan

sklera, yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul

poskapiler (peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis,

peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian

posterior mata.

Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya

skleritis akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya

paparan antigen ke dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang

yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan

seluler.10

2.. 5. Klasifikasi Skleritis

12
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan

skleritis posterior:13,14

1. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior

sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.

Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik

dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus,

walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.

Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih

nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster

oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada

seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis


2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.

Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak

13
dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus

berkembang menjadi skleritis nekrosis.

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah


resolusi dari nodul
3. Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi

sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan

penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5

tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi

setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina. Muncul

sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau

limbus.11(1050pdf)

Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

 Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti

rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera

14
terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal

sebagai sklerokeratitis.

 Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada

pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis.

Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya

gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

2. Skleritis Posterior

Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan

skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan

penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya

perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,

perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem

makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli

anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi

kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata,

penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada

skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular,

dan papiledema.3

15
Gambar 6. Skleritis Posterior
2.2.6. Diagnosis

Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan

didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8

a. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,

riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat

pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala

dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan

ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala

yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..

Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya

inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam

menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam,

kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat

analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret

mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan

16
dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi

keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.2,3,4,8

Gambar 7. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya

penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat

menyebabkan skleritis seperti :2

1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat

2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular

disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan

terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur.

Proses kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa

kasus.410

3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)

4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata

5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid

dan ibandronate.

17
6. Post pembedahan pada mata

7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,

8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung

dan responnya terhadap pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

 Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan

pemeriksaan tajam penglihatan.11

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

 Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat

dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

 Pemeriksaan Sklera10

o Pemeriksaan Daylight

Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa

peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan

menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh

peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses

berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan

18
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi

oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

o Pemeriksaan slit – lamp10,11

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau

segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse

anterior scleritis.

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam

episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial

episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser

ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan

pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera

yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam

episklera.2

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan

menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam

dari jaringan episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area

avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50%

kasus.

o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan.

 Pemeriksaan skleritis posterior11

19
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi

dan proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.

Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan

koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.

Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis


posterior.5

20
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya
akumulasi cairan pada kapsul tenon
2.2.7. Diagnosa Banding

a. Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara

konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi

toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan

idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita

usia pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering

tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan

eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan

konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang

lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak

menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

21
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa

mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada

episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan

warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas

atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang

dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini

dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,

melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin

2,5% topikal.

22
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan
pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan


pemberian fenilefrin 2,5% topikal.

23
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis

2.2.8. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.

Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan

yang spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada

skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta

24
konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang

menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau

obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak

mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon

pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

 Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat

menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko

tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan

gastrointestinal.

 Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi

remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

 Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat

digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga

digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide,

atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegener’s granulomatosis

atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

 Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator

seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

 Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada

bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.

25
 Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

 Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat

memperparah proses nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan

atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara

kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit

penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk

pengawasan terapi imunosupresif.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki

perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan

apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada

granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit

perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata

akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga

terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha

mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau telah terjadi

perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau

material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan

pada ulkus kornea yang berat atau keratolisis.7,11,12

Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam

terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali

apabila juga disertai pemberia kemoterapi.11

26
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis

27
28
Skema Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis

2.2.9.Komplikasi

Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,

ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis

bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau

vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda

buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai

oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut

terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8

Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti

uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera

atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea

dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat

peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang

terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan

susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak pernah terjadi

neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu

berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian

sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan. 3,8

2.2.10.Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada

spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana

termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata.

29
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan

buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada

mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,

nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada

penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau

autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan

lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe

yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang

telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.

BAB III

30
KESIMPULAN

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang

ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang

mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis disebabkan oleh berbagai macam

penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik, infeksi, trauma dan

idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior

dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata

berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis

meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis,

uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis,

katarak, dan hipermetropia. Prognosis skleritis tergantung pada penyakit

penyebabnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,


Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of
Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America:
Library o Congress Catalog. 1988; 111-6

3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20

4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with


rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
systemic vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Clinical Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and
Episcleritis. Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Skleritis Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R.
Antineutrophil Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch
Ophthalmol. 2008;126(5):651-655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and
Scleritis: Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol
2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A.
Sclera-Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of
Patients with Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol;
2007;47(3):174-179

32
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J
Ophthalmol 1999;83:410–413
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare
sclera excision of pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological
Profile and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a
Tertiary Eye Care Center of India. International Journal of
Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and
serological manifestations and the therapeutic response of patients with
isolated scleritis and scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras
Oftalmol . 2011;74(6):405-9

33

Anda mungkin juga menyukai