Anda di halaman 1dari 31

Bed Site Teaching

APENDISITIS AKUT

Oleh :
Yuni Ayu Lestari, S.ked
NIM: 712018026

Pembimbing
dr. H. Gunawan Tohir, Sp.B., MM.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Tn. Agung bin safri
JenisKelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 21 Februari 1978
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : Sarjana
Alamat : Jl. PDAM Tirta Musi
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Status : Menikah
MRS : 29 Maret 2021
No. RM : 53.11.76
Pembiayaan : BPJS

1.2 Anamnesis (Auto anamnesis, Senin, 29 Maret 2021)


Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2
hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di bagian ulu hati 4 hari yang lalu, yang
kemudian berpindah ke perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Nyeri
dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri
bertambah Ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan
membaik Ketika pasien diam dan istirahat. Pasien juga mengeluh badan panas
kurang lebih 4 hari SMRS. Keluhan mual (+), muntah (-), dan badan terasa
lemas. Selain itu pasien juga mengeluh nafsu makan menurun (+) dan tidak
BAB sejak 2 hari yang lalu. keluhan badan kuning (-), flatus (+), BAK (+)
seperti biasa. Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas 4 hari SMRS,

2
namun hanya diberikan obat penurun panas dan obat lambung. Keluhan tidak
membaik. Keluhan penurunan berat badan tidak ada.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit maag. Sedangkan
riwayat hipertensi, diabetes melitus dan asma disangkal. Pasien juga
menyangkal memiliki alergi makanan, alergi obat, riwayat operasi dan trauma
sebelumnya. Pasien juga menyangkal mengonsumsi alkohol dan rokok
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
hipertensi, kencing manis, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, alergi.

1.3 PemeriksaanFisik
Status Generalis
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4, V5, M6)
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 105 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 21 x/menit
Suhu : 38,0 0C
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 171 cm
Skala nyeri : 3

3
Nyeri berdasarkan SOCRATES
Site (Lokasi) : Nyeri pada kelingking kaki kanan
Onset (Mulai timbul) : 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Character (Sifat) : nyeri tajam
Radiation (Penjalaran) : nyeri menetap, tidak ada penjalaran
Association (Hubungan) : riwayat tertusuk taji ikan
Timing (Saat terjadinya) : timbul setelah tertusuk taji ikan
Exacerbating and relieving factor: nyeri bertambah apabila kelingkingnya
tersenggol benda/ saat berjalan.
Severity (Tingkat keparahan) : 3

Keadaan Spesifik
Kepala:
Mata : Status lokalis
Hidung : Deviasi septum (-), epistaksis (-)
Telinga : Simetris, serumen kanan/kiri (+/+)
Mulut : Bibir kering (-) sedikit hitam, sianosis (-), lidahkotor (-), tonsil
(T1/T1), faring tidak hiperemis
Leher : Benjolan (-), Vena jugularis datar (tidak distansi), trakea di tengah,
pembesaran KGB (-/-), JVP 5-2 cmH2O

4
Thoraks :
Pulmo
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi Kiri Pengembangan dada saat Simetris saat statis dan
statis maupun dinamis dinamis
tampak simetris. Retraksi iga:
Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Kanan Pengembangan dada saat Simetris saat statis dan
statis maupun dinamis dinamis
tampak simetris. Retraksi iga:
Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Palpasi Kiri - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris
- Tidak tertinggal saat -Tidak tertinggal saat
bernapas bernapas
- Tidak teraba massa
Kanan - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris
- Tidak tertinggal saat
- Tidak tertinggal saat
bernapas bernapas
- Tidak teraba massa - Tidak teraba massa
Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Kanan Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular normal, Suara Nafas vesikular
Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) normal, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Kanan Suara Nafas vesikular normal, Suara Nafas vesikular
Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) normal, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictuskordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas kiri : ICS V, midklavikularis sinistra
- Batas atas : ICS II, línea parasternalis sinistra

5
Auskultasi
- Suara dasar : S1-S2 reguler, irama teratur, frekuensi 84x/menit
- Suara : murmur (-), gallop (-)
tambahan

Abdomen:
Lihat Status Lokalis

Ekstremitas superior dan inferior


Akral hangat, tremor (-), deformitas (-), perdarahan (-), CRT <2 detik, Eritema
(-), nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah, atrofi (-), edema pada kedua
lengan dan tangan (-), hiperpigmentasi (-), pitting edema pretibia (-).

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, bergerak ketika inspirasi-ekspirasi, warna kulit tampak
kuning (-), erupsi (-), venektasi (-), scar (-), tumor (-), distensi
abdomen (-), caput medusae (-), jejas (-)
Palpasi : Teraba panas, nyeri tekan dan nyeri lepas di titik Mc Burney,
Rovsing sign (+), psoas sign (+), massa (-), nyeri tekan supra pubis
(-), Ballotement (-), pulsasi aorta abdominalis (-), hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba.
Perkusi : hipertimpani, nyeri ketuk perut kanan bawah, pekak hepar (+),
Undulasi (-), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus (+) 8 x/menit

6
Alvarado Score
Feature Score Patient
Migration Pain 1 1
Anorexia 1 1
Nausea 1 1
Tenderness in right lower quadrant 2 2
Rebound pain 1 1
Elevated temperature 1 1
Leucocytosis 2 2
Shift of white blood cell count to the 1 0
left
Total 10 9
Interpretasi : kemungkinan besar apendisitis (≥7)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah Rutin (22 Desember 2020)
Hematologi
Hematologi Lengkap Hasil Nilai normal
Hemoglobin 13.6 g/dL 12.0-14.0
Leukosit 16.500 /mm3 5.000– 10.000
Eritrosit 5.5 juta/uL 3.6-5.8
Trombosit 398 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 45 % 35-47
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 1 % 0.1-1
Eosinofil 5 % 1-6
Batang 2 % 3-5
Segmen 60 % 40-70
Limfosit 35 % 30-45
Monosit 7 % 2-10

7
Urin Rutin
Pemeriksaan Hasil Batas Normal
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6,5 5-8
Glukosa Negatif Negatif
Protein 0 0-1/lpb
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Sedimen
-Leukosit 5 10/lpb
-Eritrosit 4 5/lpb
-Epitel - 32-36g/dl
-Silinder - 32-36g/dl
-Kristal - 27-31g/dl

1.5 Pemeriksaan USG

Interpretasi : tampak edematous pada apendiks dengan gambaran doughnut


sign dengan tebal ± 14,9 mm.
Kesan : apendisitis akut

8
1.6 Diagnosis Banding
- Apendisitis akut
- Ureterolithiasis
- Chron’s disease
- Hernia inguinalis

Diagnosis Banding Keterangan


Apendisitis Akut Appendisitis adalah peradangan dari appendiks atau
appendiks vermiformis, yang lebih dikenal dengan usus
buntu atau umbai cacing. Appendisitis merupakan penyebab
tersering dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap
pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosis dan keterlambatan penatalaksanaannya akan
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Adapun manifestasi klinis apendisitis adalah nyeri samar-
samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau
umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan
anoreksia, nyeri kemudian berpindah ke perut daerah kanan
bawah di titik Mc Burney yang dirasakan lebih tajam dan

9
jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok,
konstipasi, demam (biasanya subfebris, yaitu antara 37,5-
38,5 C), leukositas. Pada pemeriksaan Fisik tampak
kesakitan, membungkuk, memegang perut kanan bawah,
demam. Pemeriksaan status lokalis abdomen kuadran kanan
bawah : Mc Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri
ketok (+) karena rangsang peritoneum, Rovsing sign (+),
psoas sign (+), obturator sign (+) pada apendisitis
retrocaecal.
Chron’s disease Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis
transmural pada saluran cerna dengan etiologi yang tidak
diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian
dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling
sering menyerang usus halus dan colon. Gambaran klinis
umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen,
diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per
rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat
berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran
kanan bawah abdomen. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat
disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat
menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan
LED
Hernia inguinalis Hernia inguinalis adalah protrusi atau penonjolan isi rongga
abdomen melalui defek atau bagian lemah dari dinding
abdomen bagian bawah (inguinal) dan masih dilapisi
peritoneum. Adapun manifestasi pada hernia inguinalis
adalah pada orang dewasa, biasanya penderita datang
dengan keluhan adanya “benjolan” di pelipatan paha atau
perut bagian bawah. Benjolan tersebut dapat timbul bila
mengejan, berdiri/berjalan, menangis, batuk dan benjolan
tersebut akan menghilang bila penderita ini dalam posisi
tidur. Ada kalanya keluhan berupa benjolan yang dapat
keluar masuk di daerah kemaluan (pada laki-laki di skrotum
dan pada wanita di labium mayor). Keluhan nyeri jarang
dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan di daerah

10
epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri visceral karena
regangan pada mesenterium sewaktu segmen usus halus
masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri yang disertai mual
atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarserata karena
ileus (dengan gambaran obstruksi usus dan gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa), atau
strangulasi karena nekrosis atau gangrene (akibat adanya
gangguan vaskularisasi).

1.6 Diagnosis Kerja


Apendisitis akut

1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana Farmakologi
- IVFD RL gtt 20x/mnt.
- Injeksi Cefotaxim 3x1 gr (skin test terlebih dahulu)
- Infus Metronidazole 3x 500 mg
- Injeksi Ketorolac 3 x 1 amp
- Konsul Sp.B
- Rencana operasi apendektomi
Tatalaksana Nonfarmakologi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit
yang diderita pasien, pengobatan dan perlunya dilakukan tindakan operasi
untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah penyebaran infeksi.
Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa perut pasien tidak boleh diurut-
urut. Selain itu dijelaskan pula kepada pasien dan keluarga bahwa untuk
membantu proses penyembuhan dan pemulihan post operasi pasien harus
menjaga kebersihan bekas luka post operasi, minum obat, disarankan agar
tidak berpantang dalam makan sehingga membantu dalam penyembuhan
luka serta perlunya kontrol ke rumah sakit.
Konsultasi : dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan spesialis
Bedah untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan yang lebih intensif

11
1.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendisitis
2.1.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks atau appendiks
vermiformis, yang lebih dikenal dengan usus buntu atau umbai cacing. Fungsi
appendiks belum diketahui tapi sering menimbulkan masalah kesehatan.
Perdangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah

12
kompikasi yang umumnya berbahaya. Appendisitis akut dapat menyebabkan
kematian karena peritonitis dan syok. Appendisitis merupakan penyebab tersering
dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap pada semua golongan umur,
kegagalan menegakkan diagnosis dan keterlambatan penatalaksanaannya akan
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

2.1.2 Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu
ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang
akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Appendiks merupakan
organ berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm (kisaran 3 – 15 cm, dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya, dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi
penyebab rendahnya insidensi appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus,
appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya pada mesenterium bagian akhir ileum.
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada
1/3 atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan
umbilicus (titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam
dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis
miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik
McBurney). Posisi ujung appendix yang bebas sangat berbeda-beda. Letak
appendix vermiformis berubah-ubah, tetapi biasanya appendix vermiformis
terletak retrosekal namun sering juga di temukan pada posisi lain. Pada kasus
selebihnya, posisi appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di retrocaecal (di
belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum)
2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus)
0,4%. Gejala klinis appendikitis ditentukan oleh letaknya appendiks.

13
Gambar 1 : Posisi appendiks

Perdarahan caecum terjadi melalui arteri ileocolica, cabang arteri


mecenterica superior. Perdarahan appendix vermiformis di pasok oleh arteri
appendicularis, cabang arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri.
Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.
Vena ileocolica, anak cabang vena mesenterica superior, mengantar balik darah
dari caecum dan appendix vermiformis. Pembuluh limfe dari caecum dan
appendix menuju ke kelenjar limfe dalam meso-appendix dan ke nodi lymphoidei
ileocilici yang teratur sepanjang arteri ileocolica. Pembuluh limfe eferen di
tampung oleh nodi lymphoidei mesenterici superiores. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.

2.1.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah

14
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak
ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.
Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan

2.1.4 Epidemiologi
a. Faktor host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada
dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis
tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR)
23,3 per 10.000 penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan
limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia pubertas. Jarang
terjadi pada bayi dan anak karena appendiks yang berbentuk kerucut pada
usia ini sehingga tidak mudah mengalami obstruksi. Resiko perforasi
terbanyak pada usia 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja (30-40%)
yang insiden tertinggi menurut umur adalah pada masa anak.
2. Jenis kelamin
Perbandingan appendisitis sebelum pubertaas laki-laki : wanita = 1 : 1,
pada pubertas 2 : 1, setelahnya sama lagi.
b. Faktor agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang
ada di usus besar, seperti infeksi dari bakteri E. Coli dan Streptokokus.

15
Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.
Penyebab lain yang diduga dapat menikmbulkan appendisitis adalah erosi
mukos appendiks karena E. histolytica.
c. Faktor Environment
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko
appendicitis yang lebih tinggi.

2.1.5 Etiologi
faktor utama penyebab appendicitis : obstruksi (80%) dan infeksi hematogen.
a. Obstruksi :
1. Sumbatan pada lumen, jenisnya : fecalith, corpus allenum (biji-bijian : biji
cabe), parasit (cacing, terutama askaris), mengerasnya bubur barium
dalam lumen pada bekas pemeriksaan Ba in loop.
2. Bengkokan atau tekkukan appendiks (kingking), karena meso-appendiks
yang pendek dan adhesi sekitarnya.
3. Hipertrofi jaringan limfoid di tunika mukosa
b. Infeksi hematogen 10 – 20 % kasus, penyebaran secara hematogen dari
tempat lain.

2.1.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, invasi bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis

16
akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang
timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna.
Tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlekatan dengan
jaringan sekitarnya. Perlekatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.

2.1.7 Klasifikasi Appendicitis


Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai
berikut:
a. Appendicitis Akut
1. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa

17
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
2. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
3. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada
appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
b. Appendicitis Infiltrat: Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks
yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon
dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya.
c. Appendicitis Abses: Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang
terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari
sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
d. Appendicitis Perforasi: Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks
yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut

18
sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Appendicitis Kronis: Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis
akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi
mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial
terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada
riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada
sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak
dilatasi.

2.1.8 Manifestasi Klinis


a. Anamnesa
- Nyeri samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau
umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia.
- Nyeri kemudian berpindah ke perut daerah kanan bawah di titik Mc
Burney yang dirasakan lebih tajam dan jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas
dan nyeri ketok.
- Konstipasi
- Demam (biasanya subfebris, yaitu antara 37,5-38,5 C).
- Leukositas
b. Pemeriksaan Fisik
- Tampak kesakitan, membungkuk, memegang perut kanan bawah
- Demam
- Status lokalis :
- Abdomen kuadran kanan bawah :
 Mc Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok (+) 
karena rangsang peritoneum
 Defans muskuler (+)  mm. Rectus abdominis

19
 Rovsing sign (+)  bila perut sebelah kiri bawah (kontra Mc
Burney) ditekan dan didirong ke kanan akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah. Penekanan dan pendorongan perut ke kanan
menyebabkan organ di dalamnya ikut terdorong ke kanan, menekan
appendiks, menyentuh peritoneum, dan menyimbulkan nyeri di titik
Mc Burney.

Gambar 2. Roving’s Sign

 Psoas sign (+)  untuk appendisitos retro[eritoneal, ada 2 cara


pemeriksaan :
o Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan oleh
pemeriksa. Pasien disuruh aktif memfleksikan articulatio
coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara
aktif).
o Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperektensi oleh
pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara
pasif).

20
Gambar 3. Psoas Sign

 Obrurator sign (+)  dengan gerakan fleksi dan endorotasi


articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan nyeri. Bila
nyeri berarti terjadi kontak dengan m. obrurator internus, artinya
appendiks terletak di pelvis.

Gambar 4. Obturator Sign

 Peritonitis umum (perforasi) : nyeri di seluruh abdomen, pekak hati


menghilang, bising usus menghilang.
 Rectal Touche : nyeri tekan pada jam 9-12. Pada anak-anak tidak
diperlukan colok dubur karena appendiksnya konus atau pendek
c. Pemeriksaan penunjang

21
- Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri. Leukosit yang lebih dari > 18.000 menandakan bahwa
terjadi perforasi
- LED meningkat (pada appendisitis infiltrat)
- Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan
angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-
Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%
- Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
- Pengukur an enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
- Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
- Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopymerupakan pemeriksaan
awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
- Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

2.1.9 Diagnosis Banding


Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding, meliputi :
- Gastroenteritis  mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit pada perut,
hiperperistaltik.

22
- Demam dengue  sakit perut mirip peritonitis, rumple leed positif,
trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
- Limfadenitis mesenterika  didahului enteritis dan gastroenteritis, nyeri
tekan perut samar.
- Intususepsi  nyeri kolik, muntah berwarna hijau, feses terdapat darah dan
lender.
- Infark omentum  teraba massa pada abdomen, nyeri tidak berpindah.
- Divertikulitis  nyeri di periumbilikal atau kuadran kiri bawah, demam, dan
leukositosis.
- Infeksi panggul  salpingitis ditandai keputihan, dan infeksi urin.
- Kista ovarium terpuntir  nyeri mendadak dan tajam, teraba massa dalam
rongga pelvis, tidak ada demam.
- Urolitiasis  nyeri kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan,
nyeri costovertebral.

2.1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka maupun dengan
cara laparoskopi. Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4
sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak
terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan
pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional
operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah
di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian
antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan
pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Alternatif
lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam
rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.

23
Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi
lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara
kosmetik lebih baik. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi.

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 38 C
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,
obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.

2.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.

2.2 Peritonitis
2.2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan lapisan rongga perut bisa akibat infeksi,
autoimun, dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer (spontan) atau

24
sekunder. Peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di
ruang peritoneum lewat hematogen atau limfogen. Peritonitis sekunder muncul
dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari atau robekan viskus intra-abdomen
atau abses dalam organ. Peritonitis pada masa neonatus bisa berasal dari
transplasenta pada infeksi dalam rahim lebih sering merupakan akibat infeksi
didapat selama atau segera setelah lahir. Peritonitis mungkin manifestasi
septikemia, perluasan langsung dari infeksi umbilikus atau dari perforasi usus
atau enterokolitis nekrotikan, atau kadang-kadang sekuele dari appendiks yang
terobek atau divertikulum Meckeli.

2.2.2 Anatomi Dinding Abdomen dan Peritoneum


Abdomen adalah sebagai daerah tubuh yang terletak di antara diaphragm
di bagian atas dan opertura pelvis superior di bagian bawah. Dinding abdomen
dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum parietale. Struktur dinding abdomen
dibagi menjadi 4 bagian:
a. Bagian superior : di bentuk oleh diapraghma yang memisahkan cavitas
abdominalis dari cavitas thoracis
b. Bagian inferior : cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi cavitas pelvis
melalui aperture pelvi superior
c. Bagian anterior : dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea
thoracis dan di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus
externus abdominis, musculus obliquus internus abdomini, dan musculus
tranversus abdominis serta fascianya
d. Bagian posterior : dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh kelima
vertebrae lumbales dan discus intervertebralis, bagian lateran dibentuk oleh
12 costae, bagian atas oleh os coxae, musculus psoas major, musculus
quadratus lumborum dan aponeurosis origo musculus transverses abdominis.
Musculus iliacus terletak pada bagian atas os coxae. Struktur dinding anterior
abdomen dibentuk oleh :
- Kulit : garis-garis lipatan kulit alami berjalan konstan dan hampir horizontal
di sekitar tubuh.

25
- Fascia superficialis : lapisan ini dibagi menjadi lapisan luar, panniculus
adiposus (fascia Camperi) dan lapisan dalam, stratum membranosum (fascia
Scarpae)
- Fascia Profunda : pada dinding anterior abdomen hanya merupakan lapisan
tipis jaringan ikat yang menutupi otot-otot. Fascia profunda tepat di sebelah
profunda stratum membranosum fascia superficialis.
- Otot dinding anterior abdomen : terdiri atas tiga lapisan otot lebar, tipis dan di
depan berubah menjadi aponeurosis. Otot tersebut dari luar ke dalam yaitu
musculus obliqus externus abdominis, musculum obliqus internus abdominis
dan musculum transverses abdominis, pada masing-masing sisi garis tengah
bagian anterior terdapat sebuah otot vertical yang lebar, musculus rectus
abdominis. Oleh karena ketiga lapisan aponeurosis berjalan ke depan
sehingga membungkus musculus rectus abdominis dan membentuk vagina
musculi recti abdominis. Bagian bawah vagina musculi recti abdominis
terdapat sebuah otot yaitu musculus pyramidalis. Musculus cremaster dari
serabut-serabut bagian bawah musculus obliqus internus abdominis berjalan
ke inferior sebagai pembungkus funiculus spermaticus dan masuk ke scrotum.
- Fascia transversalis : merupakan lapisan fascia tipis yang membatasi
musculus transverses abdominis dan melanjutkan diri sebagai lapisan sama
yang melapisi diaphragm dan musculus iliacus.
- Lemak ekstraperitoneal : selapis tipis jaringan ikat yang mengandung lemak
dalam jumlah yang bervariasi dan terletak diantara fascia transversalis dan
peritoneum parietale.
- Peritoneum parietale : merupakan membrane serosa tipis dan melanjutkan diri
ke bawah dengan peritoneum parietale yang melapisi rongga pelvis.
Peritoneum merupakan membrane serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis.
Peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara peritoneum
parietale dan peritoneum visceral disebut cavitas peritonealis. Cavitas peritonealis
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu cavitas peritonealis yang merupakan ruang

26
utama cavitas peritonealis yang terbentang dari diaphragm ke bawah sampai
pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang
gaster dan, kantong besar dan kantong kecil berhubungan bebas satu sama lain
melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen
epiploicum.
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental dan
mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin viscera
abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Peritoneum yang
meliputi usus cenderung saling melekat bila terdapat infeksi. Omentum majus
yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltik saluran penvernaan yang
ada di dekatnya dapat melekat pada permukaan peritoneum lainnya di sekitar
focus infeksi. Dengan cara ini banyak infeksi peritoneal ditutup dan tetap
terlokalisir. Lipatan peritoneum memegang peran penting untuk menggantungkan
berbagai organ di dalam cavitas peritonealis dan berperan sebagai tempat
jalannya pembuluh darah, limf dan saraf ke organ-organ tersebut. Sejumlah besar
lemak disimpan di dalam ligamentum peritoneale dan mesenteria dan pada
omentum majus mungkin dapat di temukan lemak dalam jumlah yang cukup
besar.

2.2.3 Epidemiologi
Pada peritonitis primer akut pada anak menurut jenis kelamin yang
terkena seimbang, dan kebanyakan kasus terjadi pada usia sebelum 6 tahun.
Peritonitis pada neonatus paling sering terjadi sebagai komplikasi enterokolitis
nekrotikans tetapi mungkin disertai dengan ileus mekonium atau robekan spontan
lambung atau usus.

2.2.4 Etiologi
Peritonitis biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen,
perforasi saluran pencernaan, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon. Peritonitis

27
mungkin manisfetasi septikemia, perluasan langsung dari infeksi umbilicus,
perforasi usus atau appendiks dan divertikulum Meckeli. Kebanyakan kasus
terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari sindrom nefrotik atau sirosis.
Paling sering bakteri murni termasuk pneumokokus, streptokokus grup A,
enterokokus, stafilokokus, dan bakteria enterik gram negative, terutama
Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia. Peritonitis pada masa neonatus bisa
berasal dari transplasenta pada infeksi dalam rahim, lebih sering merupakan
akibat infeksi didapat selama atau segera setelah lahir.

2.2.5 Klasifikasi
Peritonitis dibagi menjadi 2 yaitu peritonitis primer yang fokusnya berada
di luar rongga abdomen dan infeksi tersebut dibawa lewat darah dan limfe.
Peritonitis sekunder yaitu fokusnya berada dalam rongga abdomen. Peritonitis
terlokalisasi sekunder akut (abses peritonitis) dimana abses intra abdomen bisa
berkembang dalam organ visceral intra abdomen atau dalam usus, periappendiks,
subdiafragma, subhepatik, pelvis dan ruang retroperitoneum. Paling sering abses
perappendiks dan pelvis berasal dari perforasi appendiks. Radang tarnsmural
dengan pembentukkan fistula bisa mengakibatkan pembentukkan abses
intraabdomen pada anak-anak dengan penyakit crohn.

2.2.6 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa yang kemudian terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan
timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik usu kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,

28
menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin
syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan sapat mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya
obstruksi usus.

2.2.7 Gejala Klinis


Gejala dan tanda yang terjadi bergantung pada luas peritonitis, beratnya
peritonitis dan jenis organisme penyebab. Gejala yang terjadi biasanya adalah
demam, nyeri abdomen terus menerus sehingga jika menggerakan tubuh akan
lebih sakit menyebabkan penderita biasanya tidur dalam kadaan merengkuk atau
saat berjalan membungkuk agar perut tidak bergerak, muntah, buang air besar
dapat lancar sampai terganggu. Pada neonatus biasanya disertai rewel dan gelisah
yang sering terjadi. Pada abses appendiks ada sakit tekan yang terlokalisasi dan
massa yang dapat diraba pada kuadran kanan bawah. Abses pelvis terkesan dari
perut kembung, tenesmus rektum dengan atau tanpa keluarnya sedikit tinja
berlendir dan iritabilitas kandung kemih. Pemeriksaan rektum bisa menunjukkan
massa yang keras di sebelah anterior.

2.2.8 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam (39,5oC), hipotensi, takikardi,
napas cepat dan dangkal, nadi cepat atau lemah dan dangkal, defans muscular,
distensi abdomen, nyeri tekan, nyeri lepas, bising usus menurun atau dapat
menghilang, ascites dan dapat terjadi syok hingga distres pernapasan. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat lebih dari 12.000/μl
dengan dominasi sel polimorfonuklear yang menonjol sekitar 85-90%, adanya
proteinuria pada penderita sindrom nefrotik, pH < 7,35 , kadar laktat meningkat.
Pada aspirasi ascites bila didapatkan kadar protein meningkat, leukosit lebih dari
300/μl dan PMN lebih dari 25% menandakan adanya infeksi. Pemeriksaan foto
polos abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan usus besar, dengan
peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan dinding usus, dan udara
bebas pada rongga peritoneum.

29
2.2.9 Penatalaksaan
Pemberian cairan dengan agresif dan mendukung fungsi kardiovaskuler
harus segera dimulai. Stabilisasi penderita sebelum dilakukan tindakan operasi
merupakan keharusan. Operasi harus dimulai dengan memperbaiki viskus yang
perforasi setelah penderita distabilkan dan dimulai terapi antibiotik. Terapi
antibiotik yang dapat digunakan adalah kombinasi ampisilin, aminoglikosida dan
metronidazol atau klindamisisn atau sefalosporin atau kombinasi ampisilin,
gentamisin, dan kloramfenikol. Terapi antibiotik harus dilanjutkan selama 10-14
hari. Tindakan pembedahan laparotomi harus dilakukan sedini mungkin terutama
bila pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram negative atau bakteri gram
positif setelah pengobatan antibiotik parenteral selama 48 jam keadaan klinis
tidak membaik dan terdapat tanda-tanda lokalisasi. Pada abses peritonitis abses
harus dialirkan dan terapi antibiotik yang tepat diberikan. Drainase bisa dilakukan
di bawah pengawasan radiologi dan dipasang drainase tetap dengan kateter.
Pengobatan robekan appendiks yang terkomplikasi oleh abses mungkin menjadi
masalah karena pembentukkan flegmon usus membuat reseksi bedah lebih sulit.
Pengobatan antibiotik intensif selama 4-6 minggu diikuti dengan appendektomi
interval sering menjadi pengobatan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Richard S. Snell. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi
6, Jakarta : EGC
2. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC

30
3. Sylvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6, Jakarta : EGC
4. Prof. Sudaryat Suraatmaja, SpAK. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Denpasar : SMF IKA FK UNUD/RS Sanglah
5. dr. Adhita Dwi A. 2009. Appendicitis Acute, Cimahi : Universitas Jendral
Achmad Yani

31

Anda mungkin juga menyukai