Anda di halaman 1dari 23

Status Ujian

APENDISITIS AKUT

Oleh :
Dewi Triyana, S.ked
NIM: 712018053

Pembimbing
dr. H. Gunawan Tohir, Sp.B., MM.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Tn. Bambang Bin Warno
JenisKelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 16 April 1976
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Jl.Bangau, No.4. Kec. Seberang Ulu II Palembang
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Status : Menikah
MRS : 1 Mei 2021
No. RM : 50.02.54
Pembiayaan : BPJS

1.2 Anamnesis (Auto anamnesis, Sabtu, 1 Mei 2021)


Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke IGD RSUD Palemban Bari dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di bagian ulu hati 3
hari yang lalu, yang kemudian berpindah ke perut kanan bawah sejak 2 hari
SMRS. Nyeri dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul
sepanjang hari. Nyeri bertambah Ketika pasien hendak bangun dari tempat
tidur ataupun batuk dan membaik Ketika pasien diam dan istirahat. Pasien juga
mengeluh badan panas 2 hari SMRS, keluhan juga disertai dengan mual (+),
muntah (-), dan badan terasa lemas. Selain itu pasien juga mengeluh nafsu
makan menurun (+) dan tidak BAB sejak 2 hari yang lalu. keluhan badan
kuning (-), flatus (+), BAK (+) seperti biasa. Pasien belum pernah berobat dan

2
hanya membeli obat penurun panas untuk mengatasi keluhan. Dan pasien
mengatakan keluhan tidak membaik dan semakin memeberat. Keluhan
penurunan berat badan tidak ada.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit Gastritis. Sedangkan
riwayat hipertensi, diabetes melitus dan asma disangkal. Pasien juga
menyangkal memiliki alergi makanan, alergi obat, riwayat operasi dan trauma
sebelumnya. Pasien juga menyangkal mengonsumsi alkohol dan rokok
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
hipertensi, kencing manis, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, alergi.

1.3 PemeriksaanFisik
Status Generalis
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4, V5, M6)
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 102 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 21 x/menit
Suhu : 38,0 0C
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 167 cm
Skala nyeri : 6

3
Nyeri berdasarkan SOCRATES
Site (Lokasi) : Nyeri perut kanan bawah
Onset (Mulai timbul) : 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Character (Sifat) : nyeri tajam
Radiation (Penjalaran) : nyeri menetap, tidak ada penjalaran
Association (Hubungan) : sulit beraktivitas
Timing (Saat terjadinya) : menetap
Exacerbating and relieving factor: nyeri bertambah berat dan tidak bisa
beraktivitas.
Severity (Tingkat keparahan) : 6

Keadaan Spesifik
Kepala:
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera kuning (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (+/+), oedem palpebra (-/-), eksoftslmus (-/-).
Hidung : Deviasi septum (-), epistaksis (-)
Telinga : Simetris, serumen kanan/kiri (+/+)
Mulut : Bibir kering (-) sedikit hitam, sianosis (-), lidahkotor (-), tonsil
(T1/T1), faring tidak hiperemis
Leher : Benjolan (-), Vena jugularis datar (tidak distansi), trakea di
tengah, pembesaran KGB (-/-), JVP 5-2 cmH2O

4
Thoraks :
Pulmo
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi Kiri Pengembangan dada saat Simetris saat statis dan
statis maupun dinamis dinamis
tampak simetris. Retraksi
iga: Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Kanan Pengembangan dada saat Simetris saat statis dan
statis maupun dinamis dinamis
tampak simetris. Retraksi
iga: Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Palpasi Kiri - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris
- Tidak tertinggal saat -Tidak tertinggal saat
bernapas bernapas
- Tidak teraba massa
Kanan - Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris
- Tidak tertinggal saat - Tidak tertinggal saat
bernapas bernapas
- Tidak teraba massa - Tidak teraba massa
Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Kanan Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal, Ronkhi (-/-), normal, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-) wheezing (-/-)
Kanan Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal, Ronkhi (-/-), normal, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-) wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictuskordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas kiri : ICS V, midklavikularis sinistra

5
- Batas atas : ICS II, línea parasternalis sinistra
Auskultasi
- Suara dasar : S1-S2 reguler, irama teratur, frekuensi 84x/menit
- Suara : murmur (-), gallop (-)
tambahan

Abdomen:
Lihat Status Lokalis

Ekstremitas superior dan inferior


Akral hangat, tremor (-), deformitas (-), perdarahan (-), CRT <2 detik, Eritema (-),
nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah, atrofi (-), edema pada kedua lengan
dan tangan (-), hiperpigmentasi (-), pitting edema pretibia (-).

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, bergerak ketika inspirasi-ekspirasi, warna kulit tampak
kuning (-), erupsi (-), venektasi (-), scar (-), tumor (-), distensi
abdomen (-), caput medusae (-), jejas (-), bekas operasi (-).
Palpasi : Teraba panas, nyeri tekan kuadran kanan bawah, nyeri lepas di titik
Mc Burney, Rovsing sign (+), psoas sign (+), Dunphy sign (+),
obturator sign (-), ten horn sign (-), kocher sign (-), sitkovskiy sign(-),
bartomier sign (-), aure-rozanova sign (-), blumberg sign (-),
massa (-), nyeri tekan supra pubis (-), Ballotement (-), pulsasi aorta
abdominalis (-), hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.
Perkusi : hipertimpani, nyeri ketuk perut kanan bawah, pekak hepar (+),
Undulasi (-), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus (+) 8 x/menit

6
Alvarado Score
Feature Score Patient
Migration Pain 1 1
Anorexia 1 1
Nausea 1 1
Tenderness in right lower quadrant 2 2
Rebound pain 1 1
Elevated temperature 1 1
Leucocytosis 2 2
Shift of white blood cell count to the 1 0
left
Total 10 9
Interpretasi : kemungkinan besar apendisitis (≥7)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah Rutin (2 Mei 2021)
Hematologi
Hematologi Lengkap Hasil Nilai normal
Hemoglobin 14.3 g/dL 12.0-14.0
Leukosit 13.400 /mm3 5.000– 10.000
Eritrosit 5.48 juta/uL 3.6-5.8
Trombosit 235 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 45 % 35-47
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 % 0.1-1
Eosinofil 1 % 1-6
Batang 4 % 3-5
Segmen 78 % 40-70
Limfosit 11 % 30-45
Monosit 6 % 2-10

7
Urin Rutin
Pemeriksaan Hasil Batas Normal
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6,5 5-8
Glukosa Negatif Negatif
Protein 0 0-1/lpb
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Sedimen
-Leukosit 5 10/lpb
-Eritrosit 4 5/lpb
-Epitel - 32-36g/dl
-Silinder - 32-36g/dl
-Kristal - 27-31g/dl

1.5 Pemeriksaan USG

Interpretasi : Tampak penebalan pada dinding appendix

8
Intepretasi : Appendisitis akut dengan target sign, adanya inflamasi
dimesentrikum dan berisi cairan.

1.6 Diagnosis Banding


- Apendisitis akut
- Ureterolithiasis
- Chron’s disease
- Hernia inguinalis

1.6 Diagnosis Kerja


Apendisitis akut

1.7 Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana
tatalaksana
- Informed consent tindakan pembedahan apendektomi

B. Medikamentosa
- IVFD RL gtt 20x/mnt.
- Injeksi Cefotaxim 3x1 gr (skin test terlebih dahulu)
- Infus Metronidazole 3x 500 mg
- Injeksi Ketorolac 3 x 1 amp
- Konsul Sp.B

9
C. Operatif
- Rencana operasi Apendektomi

1.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendisitis
2.1.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks atau appendiks
vermiformis, yang lebih dikenal dengan usus buntu atau umbai cacing. Fungsi
appendiks belum diketahui tapi sering menimbulkan masalah kesehatan.
Perdangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
kompikasi yang umumnya berbahaya. Appendisitis akut dapat menyebabkan
kematian karena peritonitis dan syok. Appendisitis merupakan penyebab tersering
dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap pada semua golongan umur,
kegagalan menegakkan diagnosis dan keterlambatan penatalaksanaannya akan
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

2.1.2 Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang
akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Appendiks merupakan organ
berbentuk tabung, panjangnya kira – kira 10 cm (kisaran 3 – 15 cm, dan berpangkal
di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya, dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya
insidensi appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya pada
mesenterium bagian akhir ileum.
Appendix terletak pada regio iliaca kanan. Dasar appendix terletak pada 1/3
atas garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dengan umbilicus

11
(titik McBurney) dan pangkal appendix vermiformis lebih ke dalam dari titik pada
batas antara bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis miring antara
spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik McBurney). Posisi ujung
appendix yang bebas sangat berbeda-beda. Letak appendix vermiformis berubah-
ubah, tetapi biasanya appendix vermiformis terletak retrosekal namun sering juga
di temukan pada posisi lain. Pada kasus selebihnya, posisi appendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)
31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,
dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%. Gejala klinis appendikitis ditentukan
oleh letaknya appendiks.

Gambar 1 : Posisi appendiks

Perdarahan caecum terjadi melalui arteri ileocolica, cabang arteri


mecenterica superior. Perdarahan appendix vermiformis di pasok oleh arteri
appendicularis, cabang arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila
terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren. Vena
ileocolica, anak cabang vena mesenterica superior, mengantar balik darah dari
caecum dan appendix vermiformis. Pembuluh limfe dari caecum dan appendix
menuju ke kelenjar limfe dalam meso-appendix dan ke nodi lymphoidei ileocilici
yang teratur sepanjang arteri ileocolica. Pembuluh limfe eferen di tampung oleh
nodi lymphoidei mesenterici superiores. Persarafan parasimpatis berasal dari

12
cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.

2.1.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak
ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.
Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan

2.1.4 Epidemiologi
a. Faktor host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada
dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis
tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR)
23,3 per 10.000 penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan
limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia pubertas. Jarang

13
terjadi pada bayi dan anak karena appendiks yang berbentuk kerucut pada usia
ini sehingga tidak mudah mengalami obstruksi. Resiko perforasi terbanyak
pada usia 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja (30-40%) yang insiden
tertinggi menurut umur adalah pada masa anak.
2. Jenis kelamin
Perbandingan appendisitis sebelum pubertaas laki-laki : wanita = 1 : 1,
pada pubertas 2 : 1, setelahnya sama lagi.
b. Faktor agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang
ada di usus besar, seperti infeksi dari bakteri E. Coli dan Streptokokus. Bakteri
penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%. Penyebab lain
yang diduga dapat menikmbulkan appendisitis adalah erosi mukos appendiks
karena E. histolytica.
c. Faktor Environment
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko
appendicitis yang lebih tinggi.

2.1.5 Etiologi
faktor utama penyebab appendicitis : obstruksi (80%) dan infeksi hematogen.
a. Obstruksi :
1. Sumbatan pada lumen, jenisnya : fecalith, corpus allenum (biji-bijian : biji
cabe), parasit (cacing, terutama askaris), mengerasnya bubur barium dalam
lumen pada bekas pemeriksaan Ba in loop.
2. Bengkokan atau tekkukan appendiks (kingking), karena meso-appendiks
yang pendek dan adhesi sekitarnya.
3. Hipertrofi jaringan limfoid di tunika mukosa
b. Infeksi hematogen 10 – 20 % kasus, penyebaran secara hematogen dari tempat
lain.

14
2.1.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, invasi bakteri,
dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna. Tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan
sekitarnya. Perlekatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut.

15
2.1.7 Klasifikasi Appendicitis
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai
berikut:
a. Appendicitis Akut
1. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
2. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc
Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
3. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada

16
appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
b. Appendicitis Infiltrat: Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks
yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon
dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya.
c. Appendicitis Abses: Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk
berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,
retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
d. Appendicitis Perforasi: Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks
yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Appendicitis Kronis: Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut
supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme
dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen.
Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis.
Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa,
muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.1.8 Manifestasi Klinis


a. Anamnesa
- Nyeri samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di epigastrium atau
umbilikus yang terkadang disertai mual, muntah dan anoreksia.
- Nyeri kemudian berpindah ke perut daerah kanan bawah di titik Mc Burney
yang dirasakan lebih tajam dan jelas yaitu nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri
ketok.
- Konstipasi

17
- Demam (biasanya subfebris, yaitu antara 37,5-38,5 C).
- Leukositas
b. Pemeriksaan Fisik
- Tampak kesakitan, membungkuk, memegang perut kanan bawah
- Demam
- Status lokalis :
- Abdomen kuadran kanan bawah :
 Mc Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), nyeri ketok (+)  karena
rangsang peritoneum
 Defans muskuler (+)  mm. Rectus abdominis
 Rovsing sign (+)  bila perut sebelah kiri bawah (kontra Mc Burney)
ditekan dan didirong ke kanan akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah. Penekanan dan pendorongan perut ke kanan menyebabkan
organ di dalamnya ikut terdorong ke kanan, menekan appendiks,
menyentuh peritoneum, dan menyimbulkan nyeri di titik Mc Burney.

Gambar 2. Roving’s Sign

 Psoas sign (+)  untuk appendisitos retro[eritoneal, ada 2 cara


pemeriksaan :
o Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan oleh
pemeriksa. Pasien disuruh aktif memfleksikan articulatio

18
coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara
aktif).
o Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperektensi oleh
pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara pasif).

Gambar 3. Psoas Sign

 Obrurator sign (+)  dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio


coxae pada posisi supine akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti
terjadi kontak dengan m. obrurator internus, artinya appendiks terletak
di pelvis.

Gambar 4. Obturator Sign

19
 Peritonitis umum (perforasi) : nyeri di seluruh abdomen, pekak hati
menghilang, bising usus menghilang.
 Rectal Touche : nyeri tekan pada jam 9-12. Pada anak-anak tidak
diperlukan colok dubur karena appendiksnya konus atau pendek
c. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri. Leukosit yang lebih dari > 18.000 menandakan bahwa
terjadi perforasi
- LED meningkat (pada appendisitis infiltrat)
- Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%
- Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
- Pengukur an enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
- Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
- Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopymerupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
- Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

20
2.1.9 Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, meliputi :
- Gastroenteritis  mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit pada perut,
hiperperistaltik.
- Demam dengue  sakit perut mirip peritonitis, rumple leed positif,
trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
- Limfadenitis mesenterika  didahului enteritis dan gastroenteritis, nyeri tekan
perut samar.
- Intususepsi  nyeri kolik, muntah berwarna hijau, feses terdapat darah dan
lender.
- Infark omentum  teraba massa pada abdomen, nyeri tidak berpindah.
- Divertikulitis  nyeri di periumbilikal atau kuadran kiri bawah, demam, dan
leukositosis.
- Infeksi panggul  salpingitis ditandai keputihan, dan infeksi urin.
- Kista ovarium terpuntir  nyeri mendadak dan tajam, teraba massa dalam
rongga pelvis, tidak ada demam.
- Urolitiasis  nyeri kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan,
nyeri costovertebral.

2.1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka maupun dengan
cara laparoskopi. Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai
6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas

21
daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik
untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa
nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Alternatif lain operasi
pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini
dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut
sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat
memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan
bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil,
biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik.
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
dan perforasi.

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 38 C
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,
obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.

2.1.12 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard S. Snell. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6,
Jakarta : EGC
2. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC
3. Sylvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Volume 1 Edisi 6, Jakarta : EGC
4. Prof. Sudaryat Suraatmaja, SpAK. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Denpasar : SMF IKA FK UNUD/RS Sanglah
5. dr. Adhita Dwi A. 2009. Appendicitis Acute, Cimahi : Universitas Jendral
Achmad Yani

23

Anda mungkin juga menyukai