Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

BATU URETER

Disusun oleh :
dr. Alifa Farah
Safira

Pendamping :
dr. Sofiana, MARS
dr. Meliana Muliawaty

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PERIODE II TAHUN 2023


RS KARYA MEDIKA I CIKARANG BARAT KABUPATEN BEKASI
PERIODE 26 MEI 2023 – 25 MEI 2024

1
BAB I
STATUS
PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. A
No.RM : 03-11-XX-XX
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cikedokan RT
002/01 Tanggal masuk : 06 Juni 2023

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 06 Juni 2023 di IGD
RS Karya Medika I
Keluhan utama
Nyeri pinggang kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang kiri yang dirasakan sejak kurang
lebih 5 jam SMRS. Nyeri dirasakan menjalar dari pinggang kiri ke perut bagian
depan dan di atas kemaluan. Nyeri terasa seperti diremas dan muncul tiba-tiba.
Pasien mengatakan BAK tidak tuntas dan hanya sedikit, nyeri saat BAK (+).
Keluhan juga disertai mual (+) dan muntah (+). Keluhan lain seperti demam, batuk,
pilek, sesak disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat hipertensi
dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat batu ginjal, hipertensi, dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat untuk mengatasi keluhan.
Riwayat Alergi

2
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat Psikososial
Kebiasaan menahan buang air kecil disangkal. Pasien mengaku minum
dengan frekuensi sedikit.

III. PEMERIKSAAN FISIK (06/06/23)


A. Keadaan Umum
 GCS : E4V5M6
 Kesadaran : Compos mentis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang

B. Status
Antropometri
 BB : 70 kg
 TB : 155 cm
 IMT : 29,10 kg/m2 (obesitas)

C. Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
 Nadi : 102 x/menit
 Laju napas : 20 x/menit
 Suhu : 36,1
 SpO2 : 98%

D. Status Generalis
 Kepala : Normocephal, rambut hitam
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
RCL (+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3 mm)
 Hidung : Simetris, deviasi septum (-)
 Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
 Telinga : Normotia, serumen (-)
 Leher : pembesaran KGB (-)
 Thoraks :

3
o Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan

Inspeksi Retraksi (-) Retraksi (-)


Bentuk dada Datar Datar
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit Sama seperti kulit sekitar
sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus (+) normal (+) normal
Perkusi Sonor seluruh lapang Sonor seluruh lapang
paru paru
Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki kasar (-) (-)
- RBH (-) (-)
- Stridor (-) (-)

o Cor
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis kuat angkat
 Perkusi :
- Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung : ICS V linea mid clavicula sinistra
- Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
 Auskultasi : suara jantung I dan II regular, bising jantung (-),gallop (-
)
 Abdomen
 Inspeksi : permukaan datar, warna sama seperti kulit sekitar
 Auskultasi : bising usus (+)
 Perkusi : timpani seluruh lapangan abdomen
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-)
hepar tidak teraba, lien tidak teraba

4
 Ektremitas
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill 3 detik / 3 detik 3 detik / 3 detik

 Status Urologis
o Regio Costovertebra
- Inspeksi : tanda peradangan (-), benjolan (-)
- Palpasi : bimanual ballottement ginjal (-/-), nyeri tekan (-/-)
- Perkusi : nyeri ketok CVA (-/+)
o Regio suprapubis
- Inspeksi : tanda peradangan (-), benjolan (-)
- Palpasi : nyeri tekan (+)
o Regio genitalia eksterna
- Tidak diperiksa

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

(06/06/23)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Seri DHF

Hemoglobin 12,2 g/dl 11 – 16

Hematokrit 36,4 % 40,00 - 48,00

Leukosit 11,62 ribu/L 4,5 - 10

Trombosit 275 ribu/L 150 - 400

Hitung Jenis

Basofil 0 % 0–1

Eosinophil 0 % 1–3

Batang 2 % 2–6

Segmen 82 % 50 – 70

5
Limfosit 11 % 20 – 40

monosit 5 % 2–8

Elektrolit

Natrium 138,27 mmol/L 135 – 145

Kalium 3,38 mmol/L 3,50 – 5


Chlorida 101,15 mmol/L 94 – 111

Kimia Darah

SGPT/ALT 20 U/L 0 – 41
Creatinin 1,14 mg/dl 0,50 – 1,50

Glukosa Sewaktu 129 mg/dl <170

Urinalisis Lengkap

Warna Kuning
Kejernihan Keruh
pH 5,5 5,00 – 8,00
Berat Jenis 1030 1005 – 1030
Albumin Positif 1 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 E.U 0,10 – 1,00
Bilirubin Negatif Negatif
Darah samar Positif 3 Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urinalisis Sedimen
Eritrosit 12 - 14 LPB 0–1
Leukosit 1–2 LPB 1-5
Silinder Negatif LPK Negatif

6
Epitel Gepeng + 1 Gepeng + 1
Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Lain-lain Negatif

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

SARS-Cov-2 Swab Negatif


Antigen Nasofaring
Negatif

V. ELEKTROKARDIOGRAFI

VI. DIAGNOSIS (IGD)


Kolik renal
Hipokalemia

VII. TATALAKSANA (IGD)


 Ketoprofen supp 100 mg  evaluasi 1 jam, nyeri belum berkurang
 RL 500cc/8 jam
 Ketorolac inj 3x30 mg
 Omeprazole inj 1x40 mg
 Ondancetron inj 3x4 mg
 Ceftriaxone inj 1x2 gram

7
 Urispas tab 3x1
 KSR tab 1x600 mg
 Konsul dr. Gunawan, SpU  Pro BNO IVP

VIII. BNO-IVP (saat ranap)


07/06/2023

8
Batu

Deskripsi
- Ren dextra : nefrogram dan pyelogram tervisualisasi pada menit ke-5.
Kontur, letak dan ukuran ren tampak normal. SPC tak lebar, ujung sistema
calices berbentuk cupping. Fungsi ekskresi tampak baik.
- Ren sinistra : nefrogram dan pyelogram tervisualisasi pada menit ke-5.
Kontur, letak dan ukuran ren tampak normal. Pelvis ren tampak melebar-
ringan, ujung sistema calices berbentuk cupping. Fungsi ekskresi tampak
baik.
- Ureter dextra : kaliber dalam batas normal, dinding licin, tak tampak filling
defect
- Ureter sinistra : lesi semiopak oval-kecil di cavum pelvis aspek kaudo-
sinistra tampak berada di intralumen ureter sinistra pars distalis disertai
dilatasi ringan ureter sinistra di kranialnya.
- VU : dinding licin, tak tampak filling/additional defect maupun indentasi.
Post miksi residu urin tampak minimal.

Kesan:
- Ureterolithiasis sinistra di pars distalis (bentuk oval-kecil, sugestif batu
porous), yang menyebabkan gambaran hidronefrosis ringan sinistra dan
pelviectasis ringan ren sinistra
- Anatomi dan fungsi ren dextra dan ureter dextra tampak normal
- Anatomi VU dan fungsi voiding tampak normal

9
IX. FOLLOW UP

07/06/2023 Dokter S) Nyeri pinggang kiri sejak P) Terapi lanjut


Jaga kemarin sore, nyeri tajam,
nyeri BAK (-), menjalar ke
perut tengah bawah, mual (+),
muntah (-), demam (-), hamil
(-), riwayat alergi obat

O) KU sedang CM; TD
120/80; N 102x; RR 22x,
Suhu 36,60C; SpO2 98%
room air
Paru: ves (+/+), rh (-/-), wh (-
/-); Cor BJ 1&2 reguler, Abd
supel, BU(+)

A) Colic renal sinistra,


hipokalemi

08/06/2023 DPJP S) Nyeri pinggang kiri, BAK P)


tidak lancer
- Boleh pulang
O) GCS 15, TTV dbn, nyeri - Kontrol 13/06/23
CVA (-/+) - Levofloxacin 1x3
- Dexketoprofen 2x1
A) Batu ureter distal kiri - Lansoprazole 2x1

10
X. USG (RS Sentra Medika)

Deskripsi :
Tampak batu di ureter distal sinistra dengan ukuran 8,10 mm

XI. CPPT Poli

13 Juni 2023

S) Pulang rawat

O) KU baik, nyeri CVA (-/+)

A) Batu ureter distal kiri

P) Rencana ESWL 20/06/2023

11
XII. LAPORAN ESWL
20/06/2023

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Epidemiologi
Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering di

antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran kemih

nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara 1-20%. Laki-laki

lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 tetapi perbandingannya semakin

menyempit. Puncak insidensi terjadi pada usia 40-50 tahun. Prevalensi batu saluran

kemih meningkat di daerah yang panas, jarang hujan, dan iklim yang kering seperti

pegunungan, gurun pasir dan wilayah tropis.

Paparan terhadap panas dan dehidrasi berkontribusi terhadap faktor

pembentukan batu saluran kemih, seperti yang terjadi pada koki dan teknisi,

dikarenakan adanya insidens volume urin yang rendah meningkat pada pekerja di

tempat kerja yang panas. Risiko terkena batu saluran kemih juga meningkat pada

individu dengan pekerjaan sedentary seperti pegawai kantor tetapi penyebabnya belum

diketahui lebih lanjut. Pekerja dengan akses kamar mandi yang terbatas seperti supir

juga memiliki risiko yang lebih tinggi terkena batu saluran kemih.

Prevalensi dan insidensi batu saluran kemih juga berkorelasi dengan berat

badan dan IMT, di mana lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.

Individu dengan IMT yang lebih tinggi mengekskresikan oksalat urin, asam urat,

natrium dan fosfor lebih banyak daripada individu dengan IMT yang lebih rendah.

Kaitan obesitas dengan pembentukan batu kalsium oksalat dikarenakan ekskresi

pembentuk batu yang meningkat.

1
II. Definisi dan Etiologi

Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di saluran

kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan batu dapat

diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan genetik, dan

obat-obatan.

Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya kejadian

kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata laksana

farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Sekitar 50%

pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan kekambuhannya setidaknya 1

kali dalam seumur hidup

1
III. Klasifikasi

Klasifikasi batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran,

lokasi, karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi batu,

dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau 2 dimensi,

yang dibagi menjadi beberapa ukuran, yaitu 5, 5-10, 10-20, dan >20 mm. Berdasarkan

letak batu dibagi menjadi lokasi, yaitu kaliks ginjal superior, medial, atau inferior,

pelvis renal, ureter proksimal atau distal, dan buli. Dari pemeriksaan pencitraan X-ray,

batu saluran kemih dapat dibedakan berdasarkan komposisi mineralnya. CT-scan non

kontras dapat dilakukan untuk menentukan batu saluran kemih berdasarkan densitas,

struktur dan komposisinya.

IV. Faktor Risiko


Faktor risiko batu saluran kemih meliputi faktor intrinsik, yaitu keadaan yang berasal
dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan di sekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah:
- Hereditair (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
- Umur: penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30 - 50 tahun
- Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik di antaranya adalah:
- Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt

1
(sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai
penyakit batu saluran kemih.
- lklim dan temperatur
- Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada
air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
- Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
- Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life.
- Volume urine inadekuat: pasien dengan volume urin yang sangat sedikit
(biasanya kurang dari 1 liter per hari) dapat meningkatkan konsentrasi larutan
(urine dengan osmolaritas >600mOsm/kg) dan dapat mendorong terjadinya stasis
urin, yang menyebabkan supersaturasi larutan dan terbentuknya batu. Volume
urin harian yang optimal bagi pasien dengan batu ureter adalah 2500 ml dengan
minimum 2000 ml

1
- Asupan air minum yang kurang menyebabkan volume urine yang tidak cukup
untuk membuang zat sisa metabolisme, garam yang berlebihan, dan
mengurangisaturasi urine. Volume urine yang rendah dapat menyebabkan
supersaturasi urine dan retensi endapan zat terlarut dalam urine yang
dapat menyebabkan terbentuknya BSK. Oleh karena itu,kebiasaan jarang minum
menghasilkan jumlah urine yang tidak adekuat sehingga memudahkan
pembentukan batu pada saluran kemih
-
V. Patofisiologi

Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu pada sistem
kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis
uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat
benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-kristal yang

1
tersusun oleh bahan-bahan organic maupun anorganik yang terlarut di dalam urine.
Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam
urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti
batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar,
agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih.
Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi
kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga
membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi
metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine,
konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya
korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu,

Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan
dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium
fosfat; sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium amonium
fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun
patogenesis pembentukan batu-batu di atas hampir sama, tetapi suasana di dalam
saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Dalam hal
ini misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam suasanya asam, sedangkan batu
magnesium amonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa,

Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu
mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat
terbentuknya batu saluran kemih, yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium
di dalam usus, proses pembentukan inti batu atau kristal, proses agregasi kristal,
hingga retensi kristal, lon magnesium (Mg**)dikenal dapat menghambat
pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk garam
magnesium oksalat sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium
(Ca**) untuk membentuk kalsium oksalat menurun. Demikian pula sitrat jika
berikatan dengan ion kalsium (Ca**) membentuk garam kalsium sitrat; sehingga
jumlah kalsium yang akan berikatan dengan oksalat ataupun fosfat berkurang. Hal ini
menyebabkan kristal kalsium oksalat atau kalsium
1
fosfat jumlahnya berkurang. Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu
bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal,
menghambat agregasi kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara
lain adalah: glikosaminoglikan (GAG), protein Tamm Horsfall (THP) atau
uromukoid, nefrokalsin, dan osteopontin. Defisiensi zat yang berfungsi sebagai
inhibitor batu merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih.

Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum,
pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran
menyerupaitanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada
sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis ureteropelvik)
mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Batu yang tidak terlalu besar didorong
oleh peristaltik otot pelvikaliks dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga
peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu
yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang
lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi radang
(periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau
hidronefrosis Batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikalises mampu
menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran
kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis,
batu di pielum dapat menimbulkan hidronefrosis, dan batu di kaliks mayor dapat
menimbulkan kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan. Jika disertai dengan infeksi
sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik,
abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi
kerusakan ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gagal ginjal permanen.

VI. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari
tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria,
retensi urine, dan anuria.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter

1
meningkat dalam

2
usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu
menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat
peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri
pada saat kencing atau sering kencing. Hematuria sering kali dikeluhkan oleh
pasien akibat trauma pada mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu.
Kadang-kadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa
hematuria mikroskopik.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti demam dan tanda
gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu yang
berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas, hiperparatiroid
primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau pankreas.
Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada
pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah
dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman
yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi.
Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease,
inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor
karbonik anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau ginjal tunggal dan
diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan.
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa kelainan
fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan penyulit
yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain:
Pemeriksaan fisik umum: Hipertensi, demam, anemia, syok
Pemeriksaan fisik urologi
 Sudut kostovertebra: Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal
 Supra simfisis: Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh
 Genitalia eksterna: Teraba batu di uretra
 Colok dubur: Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)

2
3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu saluran

kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan

laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan

urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, dan

hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk diintervensi, maka perlu

dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji koagulasi (activated

partial thromboplastin time/aPTT, international normalised ratio/INR), natrium, dan

kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan atau C-reactive

protein (CRP).

Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria,

bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Kadang-kadang hematuria

didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik Hanya pasien

dengan risiko tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik

lebih lanjut. Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan apabila didapatkan sampel

batu pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan sinar

X terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas, dapat juga

dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar vitamin D, bila

dicurigai hiperparatiroid primer.

2
Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab

timbulnya batu saluran kemih (antara lain kadar: kalsium, oksalat, fosfat maupun urat

di dalam darah maupun di dalam urine).

4. Pencitraan

Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat untuk

membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter. Evaluasi pada pasien

termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta pemeriksaan fisik. Pasien

dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri, muntah, kadang demam, namun

dapat pula tidak memiliki gejala. Pencitraan rutin antara lain, foto polos abdomen

(kidney-ureter- bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto polos dapat

membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk membandingkan saat

follow-up.

USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan aman, mudah

diulang, dan terjangkau. USG juga dapat mengidentifikasi batu yang berada di kaliks,

pelvis, dan UPJ. USG memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk batu

ureter serta sensitivitas 45% dan spesifisitas 88% untuk batu ginjal.

2
Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti

pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut karena lebih

akurat dibandingkan IVP. CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada nyeri

pinggang akut.

Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan bila direncanakan

penatalaksanaan BSK yang memerlukan anatomi dan fungsi ginjal. CT-Scan non

kontras juga memberikan informasi cepat secara 3D termasuk ukuran dan densitas

batu, jarak antara kulit dan batu, serta anatomi sekitarnya, namun dengan konsekuensi

adanya paparan radiasi. Pemeriksaan dengan zat kontras tidak anjurkan pada pasien

dengan alergi kontras dan penurunan fungsi ginjal, konsumsi metformin, dan

mielomatosis.

2
VII. Komposisi Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium
fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat, dan
senyawa lainnya

1. Batu kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70 - 80 % dari
seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium
oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur itu.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah:
 Hiperkalsiuri,yaitu kadar kalsium di dalam urine lebih besar dari 250-300
mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat 3 macam penyebab terjadinya
hiperkalsiuri, antara lain:
 Hiperkalsiuri absobtif yang terjadi karena adanya peningkatan absorbs
kalsium melalui usus.
 Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan reabsorbsi
kalsium melalui tubulus ginjal
 Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi kalsium
tulang, yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer atau pada
tumor paratiroid.
 Hiperoksaluri, adalah ekskresi oksalat urine yang melebihi 45 gram per
hari. Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan
pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengkonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, diantaranya adalah teh,
kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran
berwarna hijau terutama bayam.
 Hiperurikosuria, adalah kadar asam urat di dalam urine yang melebihi 850
mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urine bertindak sebagai inti
batu/nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. sumber asam urat di
dalam urine berasal dari makanan yang mengandung banyak purin maupun
berasal dari metabolisme endogen.
 Hipositraturia. Di dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk
kalsium sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau

2
fosfat, Hal ini dimungkinkan karena ikatan kalsium sitrat lebih mudah
larut daripada kalsium oksalat. oleh karena itu sitrat dapat bertindak
sebagai penghambat pembentukan batu kalsium. Hipositraturi dapat terjadi
pada: penyakit asidosis tubuli ginjal atau renol tubular ocidosis, sindrom
malabsobsi, atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka
waktu lama.
2. Batu struvit
Batu struvite disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini
adalah kuman golongan pemecah urea atau ureo splitter yang dapat
menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa
melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, Suasana basa ini yang memudahkan
garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu
magnesium amonium fosfat (MAP) atau (Mg NHa PO4. H2O) dan karbonat
apatit (Caro[PO+]eCO3. Karena terdiri atas 3 kation ( Ca** Mg** dan NHa*)
batu jenis ini dikenal sebagai batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang
termasuk pemecah urea di antaranya adalah: Proteus spp, Klebsiella, Serrotio,
Enterobokter, Pseudomonas dan Stofilokokus. Meskipun E coli banyak
menimbulkan infeksi saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk pemecah
urea.
3. Batu asam urat
Batu asam urat merupakan 5-L0% dari seluruh batu saluran kemih. Di antara
75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan
campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh
pasien- pasien penyakit gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang
mendapatkan terapi antikanker, dan yang banyak mempergunakan obat
urikosurik diantaranya adalah sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat.
Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang
yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit ini.
Asam urat relatif tidak larut di dalam urine sehingga pada keadaan tertentu
mudah sekali membentuk kristal asam urat, dan selanjutnya membentuk batu
asam urat. Faktor ydng menyebabkan terhntuknya batu asam urat adalah (1)
urine yang terlau asam (pH urine <6 ).volume urine yang jumlahnya sedikit
(<2 liter/hari) atau dehidrasi, dan (3) hiperurikosuri atau kadar asam urat

2
yang

2
tinggi. Ukuran batu asam urat bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai
ukuran besar sehingga membentuk batu stoghorn yang mengisi seluruh
pelvikalises ginjal. Tidak seperti batu jenis kalsium yang bentuknya bergerigi,
batu asam urat bentuknya halus dan bulat sehingga seringkali keluar spontan.
Batu asam urat murni bersifat radiolusen, sehingga pada pemeriksaan IVU
tampak sebagai bayangan filling defecf pada saluran kemih sehingga
seringkali harus dibedakan dengan bekuan darah, bentukan papila ginjal yang
nekrosis, tumor, atau bezoar jamur. Pada pemeriksaan USG memberikan
gambaran bayangan akustik (acoustic shadowing).
4. Batu Jenis lain
Batu sistin, batu xanthin, batu triamteren, dan batu silikat sangat jarang
dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolisme sistin, yaitu
kelainan dalam absorbsi sistin di mukosa usus. Demikian batu xanthin
terbentuk karena penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase
yang mengkatalisis perubahan hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin
menjadi asam urat, Pemakaian antasida yang mengandung silikat (magnesium
silikat atau aluminometilsalisilat) yang berlebihan dan dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan timbulnya batu silikat.

VIII. Tatalaksana
a. Prinsip Terapi Umum
Terapi umum untuk mengatasi gejala batu saluran kemih adalah pemberian
analgesik harus diberikan segera pada pasien dengan nyeri kolik akut. Non Steroid
Anti Inflammation Drugs (NSAID) dan parasetamol dengan memperhatikan dosis
dan efek samping obat merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri
kolik akut dan memiliki efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat golongan
NSAID yang dapat diberikan antara lain diklofenak, indometasin, atau ibuprofen.
Pada pasien yang belum diketahui fungsi ginjalnya, pemberian analgetika
sebaiknya bukan NSAID, utamanya bila ada riwayat tindakan untuk untuk batu
yang berulang dan komorbiditas diabetes mellitus. Diklofenak dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif kelas II-IV berdasarkan klasifikasi
New York Heart Association (NYHA), penyakit jantung koroner, dan penyakit
serebrovaskuler, serta penyakit arteri perifer. Namun, pasien dengan faktor risiko

2
kardiovaskular dapat diberikan diklofenak dengan pengawasan dokter dan
diberikan dosis rendah dengan durasi yang singkat. Penambahan obat anti
spasmodik pada pemberian NSAID tidak menghasilkan kontrol nyeri yang lebih
baik.
Pada pasien dengan batu ureter yang diharapkan dapat keluar secara spontan,
maka pemberian NSAID baik tablet maupun supositoria (seperti natrium
diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10 hari) dapat membantu mengurangi
inflamasi dan risiko nyeri berulang. Walaupun diklofenak dapat memperburuk
fungsi ginjal pada pasien yang sudah terganggu fungsi ginjalnya, namun tidak
berpengaruh pada pasien yang masih memiliki fungsi ginjal yang normal. Pada
studi RCT, episode nyeri berulang pada kolik menurun secara signifikan pada
pemberian NSAID pada 7 hari pertama pemberian obat. Pemberian obat golongan
α-blocker, juga dapat menurunkan episode nyeri, namun masih terdapat
kontroversi pada beberapa literatur. Pemberian obat simtomatik segera diikuti
dengan terapi desobstruksi drainase dan atau terapi definitif pada batu saluran
kemih. Untuk pasien batu ureter simptomatik, pengangkatan batu segera
merupakan tata laksana pertama apabila memungkinkan.

b. Tatalaksana Spesifik Batu Ureter


a. Konservatif
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara
spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar
spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi
juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi,
nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).

b. Farmakologi
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET),
perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak
diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu
ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan
pemilihan terapi. Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter,
penurunan fungsi ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu
ditunda. Penggunaan α- blocker sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan

2
efek samping seperti

3
ejakulasi retrograd dan hipotensi. Pasien yang diberikan α-blocker,
penghambat kanal kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil)
memiliki peluang lebih besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang
rendah dibandingkan tidak diberikan terapi. Terapi kombinasi penghambat
PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan. Obat α-
blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih superior dibandingkan
nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi medikamentosa memiliki
efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter, khususnya batu ureter
distal ≥5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi pemberian terapi obat-
obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk
interval lama pemberiannya.

Untuk pasien dengan batu ureter simptomatik, pengangkatan batu segera


merupakan tata laksana lini pertama apabila memungkinkan.

c. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:


 Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan
 Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat
 Obstruksi persisten
 Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney)
atau
 Kelainan anatomi ureter

3
d. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-


free rate) pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki
efikasi yang sama. Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik
dicapai dengan menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif
untuk batu ureter, namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan
SWL. Namun, era endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara
signifikan menurun. URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas
(IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio komplikasi yang
sebanding. Namun, pada pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki
peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat
pengulangan terapi yang lebih rendah dibandingkan SWL, namun
membutuhkan prosedur tambahan (misal penggunaan DJ stent), tingkat
komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat yang lebih panjang. Obesitas
juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL.

e. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh
Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter, atau
batu buli- buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu
dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui
saluran kemih. Penelitian oleh Abdelghany et al menyatakan ESWL dapat
digunakan sebagai tatalaksana pilihan pada pasien dengan batu ureter distal
dengan panjang batu kurang dari sama dengan 10 mm, lebar batu kurang dari
8 mm, dan BMI kurang dari 30 kg/m2.

3
f. Teknik Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung
ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi
kecil pada kulit (perkuton). Prose pemecahanan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau
dengan enersi laser.

i. URS dan RIRS


Ureteroskopi atau uretero-renoskopiadalah dengan memasukkan alat
ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem
pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di
dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.
Ureterorenoskopi (URS) semi rigid dapat digunakan pada seluruh
bagian ureter. Namun, seiring berkembangnya teknologi, saat ini lebih
banyak digunakan URS fleksibel pada ureter. URS juga dapat digunakan
pada seluruh pasien tanpa kontraindikasi spesifik apa pun. Sebagian
besar intervensi menggunakan anestesi spinal walaupun anestesi umum
juga dapat dilakukan. Sedasi intravena merupakan anestesi yang cocok
untuk pasien wanita dengan batu ureter distal. Untuk batu ureter
proksimal impaksi yang besar atau ketika ureter tidak dapat dilakukan
secara retrograd dapat diterapi dengan pilihan seperti URS dengan akses
antegrad perkutan. Namun, perlu dipertimbangkan pula fasilitas yang
ada serta pertimbangan ahli urologi setempat. Pembedahan terbuka
merupakan salah satu alternatif terapi bila dipertimbangkan merupakan
pilihan terbaik dalam suatu kasus. Alat floroskopi, dilator balon, dan
plastik apabila diperlukan disediakan di kamar operasi. Saat ini, URS
rigid dapat membantu untuk dilatasi sehingga terlihat jelas, kemudian
diikuti URS fleksibel (apabila diperlukan). Apabila akses ureter sulit
ditemukan, maka dilakukan pemasangan DJ stent kemudian diikuti URS
setelah 2-4 minggu pemasangan sebagai prosedur alternatif. Pelindung

3
akses ureter (ureteral

3
access sheaths/UAS) dapat membantu insersi fURS lebih mudah
mencapai traktus urinarius bagian atas. UAS dilapisi senyawa bersifat
hidrofilik yang tersedia dalam ukuran yang berbeda (diameter dalam
mulai dari 9 F ke atas), yang dapat dimasukkan dengan bantuan kawat
pemandu (guide wire), kemudian diletakan pada ureter proksimal. Fungsi
pelindung tersebut adalah membantu memberikan pandangan yang jelas
mengenai pengeluaran batu, menurunkan tekanan intrarenal, dan
menurunkan durasi operasi. UAS juga memiliki risiko untuk melukai
ureter, namun risiko berkurang apabila sudah dipasang stent sebelum
operasi (pre-stenting). Walaupun dari konsensus, pemasangan stent
ureter tidak rutin dilakukan sebelum melakukan prosedur fURS Tujuan
dari tindakan fURS adalah mengeluarkan batu secara menyeluruh. Batu
dapat diekstraksi atau dikeluarkan dengan menggunakan forsep
endoskopik atau basket. Hanya basket (keranjang) yang terbuat dari
bahan nitinol yang dapat digunakan untuk URS fleksibel. Bila tidak
terdapat forcep/basket, dapat memakai strategi “dust and go”.
ii. Litotripsi Intrakorporal
Prosedur litotripsi yang paling efektif adalah dengan menggunakan
laser Ho:YAG, yang saat ini merupakan standar optimal untuk
ureterorenoskopi yang efektif pada segala jenis batu. Sistem pneumatik
dan ultrasonik dapat digunakan dengan efikasi disintegrasi tinggi pada
URS semi rigid. Namun, migrasi batu ke dalam ginjal merupakan
masalah tersering yang dapat dicegah dengan pemasangan alat
antimigrasi pada proksimal batu. Terapi ekspulsi farmakologis diikuti
litotripsi laser Ho:YAG dapat meningkatkan angka bebas batu dan
menurunkan episode kolik. Seperti penjelasan sebelumnya,
berdasarkan dari konsensus, pemasangan stent ureter tidak rutin
dilakukan sebelum prosedur RIRS. Untuk pertimbangan pemasangan
stent pasca RIRS, disarankan dilakukan pada pasien dengan risiko
komplikasi (seperti trauma ureter, sisa pecahan batu, perdarahan,
perforasi, infeksi saluran kemih, atau kehamilan), dan semua kasus
yang meragukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Durasi
pemasangan tidak diketahui dengan pasti, namun beberapa spesialis
urologi menggunakannya selama 1-2 minggu setelah URS. Obat α-

3
blocker dapat menurunkan

3
morbiditas pada penggunaan stent dan meningkatkan toleransi.
Komplikasi setelah prosedur URS berkisar antara 9-25%, kebanyakan
merupakan komplikasi minor dan tidak membutuhkan intervensi.
iii. Tatalaksana Operasi Laparoskopi untuk Batu Ureter
Hanya sedikit studi yang melaporkan pengeluaran batu ureter secara
laparoskopik. Prosedur tersebut biasanya dilakukan untuk beberapa
kasus khusus seperti batu ureter proksimal yang sangat besar sebagai
alternatif URS atau SWL. Jika terdapat ahli urologi yang memadai,
ureterolitotomi per laparoskopi dapat dilakukan pada batu ureter
proksimal besar sebagai alternatif dari URS atau SWL. Semakin banyak
prosedur invasif dapat menghasilkan SFR yang tinggi dan prosedur
tambahan lebih sedikit.

IX. Algoritma Tatalaksana Batu Ureter

3
3
X. Pencegahan Rekurensi

3
4
BAB III
ANALISIS KASUS

Teori Kasus Kesimpulan


Faktor Faktor intrinsik itu Pasien perempuan, Faktor risiko pada
Risiko antara lain adalah: usia 48 tahun. pasien sebagian
- Hereditair sesuai dengan teori
Tinggal di negara
- Umur: paling sering
tropis dan daerah
usia 30 - 50 tahun
- Laki-laki > yang panas
perempuan Beberapa Asupan air kurang
faktor ekstrinsik di
Pekerjaan tidak
antaranya adalah:
ditanyakan
- Geografi
- lklim dan temperatur
- Asupan air kurang
- Diet banyak purin,
oksalat, dan
kalsium
- Pekerjaan: pada
orang yang
pekerjaannya banyak
duduk atau kurang
aktifitas atau
sedentary life.
Anamnesis Tanpa keluhan, sakit Nyeri pinggang Anamnesis pada
pinggang ringan hingga menjalar ke perut kasus sesuai
berat (kolik), disuria, depan, BAK tidak dengan teori
hematuria, retensi urine, dan tuntas, BAK sedikit-
anuria, demam dan tanda sedikit, nyeri saat
gagal ginjal. BAK, mual, muntah
Riwayat penyakit dahulu :
obesitas, hiperparatiroid RPD tidak ada
primer, malabsorbsi
gastrointestinal, penyakit
usus atau pankreas. Riwayat pengobatan:
Riwayat pola makan : tidak ada
asupan kalsium, cairan yang Riwayat pola makan:
sedikit, garam yang tinggi, minum sedikit
buah dan sayur kurang, serta
makanan tinggi purin yang
berlebihan, jenis minuman
yang dikonsumsi, jumlah
dan jenis protein yang
dikonsumsi.

4
Riwayat pengobatan

4
Pemeriksaan Pemeriksaan fisik umum: PF umum : dalam PF pada kasus
fisik Hipertensi, demam, anemia, batas normal sesuai dengan teori
syok PF urologi:
Pemeriksaan fisik urologi - Nyeri ketok (-/+)
- Sudut kostovertebra: - Nyeri tekan
Nyeri tekan, nyeri suprapubic (+)
ketok, dan pembesaran
ginjal
- Supra simfisis: Nyeri
tekan, teraba batu, buli
kesan penuh
- Genitalia eksterna:
Teraba batu di uretra
- Colok dubur: Teraba
batu di buli-buli
(palpasi bimanual)

Pemeriksaan Pemeriksaan darah berupa Pemeriksaan darah Pemeriksaan


Laboratoriu hemoglobin, hematokrit, (+) Leukosit 11,62 penunjang pada
m leukosit, trombosit, dan
Pemeriksaan urine kasus sesuai
hitung jenis darah, apabila dengan teori
rutin:
pasien akan direncanakan
untuk diintervensi, maka - Ph 5,5
perlu dilakukan - Darah samar +3
pemeriksaan darah berupa, - Eritrosit 12-14
ureum, kreatinin, uji - Bakteri (-)
koagulasi (activated
partial
thromboplastin time/aPTT,
international normalised
ratio/INR), natrium, dan
kalium. Bila diperlukan
dapat dilakukan
pemeriksaan kalsium dan
atau C-reactive protein
(CRP).
Pemeriksaan urine rutin
digunakan untuk melihat
eritrosuria, leukosuria,
bakteriuria, nitrit, pH urine,
dan atau kultur urine.
Analisis komposisi batu
sebaiknya dilakukan apabila
didapatkan sampel batu
pada pasien BSK.
Pemeriksaan Diagnosis klinis Pemeriksaan foto Pemeriksaan
Pencitraan sebaiknya dilakukan dengan polos abdomen pencitraan pada
pencitraan yang tepat untuk didapatkan gambaran kasus sesuai
membedakan yang dicurigai dengan teori
batu ginjal atau batu ureter..
4
4
Pencitraan rutin antara lain, batu radioopak di batu
foto polos abdomen (kidney- ureter distal kiri.
ureter-bladder/KUB
Pada USG,
radiography). Pemeriksaan
didapatkan batu di
foto polos dapat
ureter distal kiri
membedakan batu
radiolusen dan radioopak ukuran 8,1 mm
serta berguna untuk Tidak dilakukan
membandingkan saat pemeriksaan CT-scan.
follow- up.
USG merupakan
pencitraan yang awal
dilakukan dengan alasan
aman, mudah diulang, dan
terjangkau. USG juga dapat
mengidentifikasi batu yang
berada di kaliks, pelvis, dan
UPJ.
Pemeriksaan CT-
Scan non kontras sebaiknya
digunakan mengikuti
pemeriksaan USG pada
pasien dengan nyeri
punggung bawah akut
karena lebih akurat
dibandingkan IVP. CT-Scan
non kontras menjadi standar
diagnostik pada nyeri
pinggang akut.

Tatalaksana Terapi umum: pemberian  Ketoprofen supp Tatalaksana


Medikament analgesic (NSAID/opioid) 100 mg  medikamentosa
osa Terapi konservatif: terapi evaluasi 1 jam, pada kasus sesuai
ekspulsi medikamentosa nyeri belum dengan teori
pada batu ureter <5mm berkurang
 RL 500cc/8 jam
 Ketorolac inj 3x30
mg
 Omeprazole inj
1x40 mg
 Ondancetron inj
3x4 mg
 Ceftriaxone inj
1x2 gram
 Urispas tab 3x1
 KSR tab 1x600
mg

4
Tatalaksana Indikasi untuk pengeluaran Indikasi : Tatalaksana bedah
Bedah batu ureter secara aktif
Nyeri menetap pada kasus sesuai
antara lain:
setelah diberikan dengan teori
 Kemungkinan kecil batu
analgesic adekuat
keluar secara spontan
 Nyeri menetap walaupun
sudah diberikan analgesik Dilakukan ESWL
adekuat
 Obstruksi persisten
 Insufisiensi ginjal (gagal
ginjal, obstruksi bilateral,
atau solitary kidney) atau
 Kelainan anatomi ureter

Algoritma Batu ureter:


Proksimal:
- > 10 mm : URS / SWL /
Laparoskopi / operasi
terbuka
- < 10 mm : SWL atau
URS
Distal
- > 10 mm : URS / SWL /
Laparoskopi / Operasi
terbuka
- < 10 mm : SWL atau
URS

4
DAFTAR PUSTAKA

Alić J, Heljić J, Hadžiosmanović O, et al. (September 01, 2022) The Efficiency of


Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) in the Treatment of Distal Ureteral Stones:
An Unjustly Forgotten Option?. Cureus 14(9): e28671. doi:10.7759/cureus.28671

Anggraeny, S. F., Soebhali, B., Sulistiawati, S., Nasution, P. D. S. and Sawitri, E. (2021)
“Gambaran Status Konsumsi Air Minum Pada Pasien Batu Saluran Kemih”, Jurnal Sains dan
Kesehatan, 3(1), pp. 58–62. doi: 10.25026/jsk.v3i1.211

Campbell, M.F., Kavoussi, L.R. and Wein, A.J. (2020) Campbell-Walsh Urology. 12th
Edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, PA.

Carter MR, Green BR. Renal calculi: emergency department diagnosis and treatment. Emerg
Med Pract. 2011 Jul;13(7):1-17; quiz 18. PMID: 22164398.

Noegroho B.S., Daryanto B., Soebhali B., dkk. 2018. Buku Panduan Penatalaksanaan
Penyakit Batu Saluran Kemih. Editor: Rasyid N., Duarsa G.W.K., Atmoko W. Ikatan Ahli
Urologi Indonesia (IAUI)

Purnomo B. Dasar-Dasar Urologi. Edisi III. Jakarta: Sagung seto; 2015. hal. 125-44, 263- 70

Yu Y, Arnold A, Keegan DA. The Calgary Guide: teaching disease pathophysiology more
effectively. Med Educ. 2020 May;50(5):580-1. doi: 10.1111/medu.13037. PMID: 27072467

Anda mungkin juga menyukai