Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

FRAKTUR CERVICALIS SETINGGI C3

Oleh:
Anggun Puspa Arini, S. Ked
NIM: 71 2019 050

Pembimbing:
dr. H. Gunawan Tohir, Sp.B., MM.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identifikasi
Nama : Ny. Atikah binti Rusmin
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 5 Maret 1997
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jl. Banten No.5
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Status : Menikah
MRS : 24 April 2021
No. RM : 53.65.90
Pembiayaan : BPJS

B. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada hari Sabtu, 24 April 2021

Keluhan Utama
Nyeri pada daerah leher.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dibawa warga ke IGD RSUD Palembang Bari sejak 30
menit yang lalu setelah mengalami kecelakaan mobil dengan keluhan nyeri
hebat pada daerah leher. Kondisi pasien sadar, tampak kebingungan dan
butuh pertolongan segera. Menurut warga setempat, pasien menabrak pohon
dan kepala terbentur ke arah depan. Setelah di rumah sakit, kondisi pasien
nampak bingung dan kesakitan. Pasien mengaku sulit menggerakkan kedua
kakinya, dan terasa kesemutan.

1
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa.

Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat sosial dan ekonomi: baik, ekonomi baik
 Riwayat tempat tinggal: di daerah komplek perumahan
 Riwayat olahraga rutin (-)
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat minum alkohol (-)
 Riwayat menggunakan narkoba (-)

C. Pemeriksaan Fisik (24 April 2021)


Status Generalis
KU : Tampak sakit hebat
Kesadaran : Somnolen (GCS: E4, V4, M3)
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit, Reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,30C
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 156 cm
IMT : 21,6 (BB ideal)
Skala nyeri : 8

2
Nyeri berdasarkan SOCRATES
Site (Lokasi) : Nyeri pada daerah leher
Onset (Mulai timbul) : Sesaat setelah kejadian
Character (Sifat) : Nyeri tajam
Radiation (Penjalaran) : Nyeri menetap
Association (Hubungan) : Dapat timbul komplikasi
Timing (Saat terjadinya) : Timbul mendadak
Exacerbating and relieving : Nyeri bertambah berat dan tidak bisa
factor beraktivitas
Severity (Tingkat keparahan) : 9

Primary Survey
Airway : Pemasangan Collar Neck
Breathing : RR 18x/menit
Circulation : IVFD NaCl dua jalur dengan jarum 14G
Disability : GCS (E4, V4, M3)
Exposure : Imobilisasi in-line, pemasangan selimut.

Secondary survey
Kepala:
a. Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera kuning (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor kanan kiri, oedem palpebral (-/-),
eksoftalmus (-/-)

3
b. Hidung :Napas cuping hidung (-), tidak terdapat darah pada hidung,
tidak ada deviasi
c. Telinga :Tidak ada kelainan, tidak tedapat darah pada telinga.
d. Mulut :Bibir kering (-), sianosis (-)
e. Leher : Nyeri tekan (+), capillary refill time < 2 detik,
vaskularisasi distal dalam batas normal, tidak terlihat
benjolan, vena jugularis datar (tidak distansi), trakea di
tengah, pembesaran KGB (-/-), massa (-), JVP 5-2 cmH20

Thoraks :
a. Bentuk : Datar, barrel chest (-), simetris saat statis dan dinamis,
b. Payudara : Ukuran dan bentuk kedua payudara simetris, Papila
mammae kecoklatan, retraksi (-), sekret (-), benjolan (-).
c. Kulit : pucat (-), ikterik (-), dan spider nevi (-)

Paru – Paru
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR

Inspeksi Kiri Retraksi iga: Supra sternal Simetris saat statis dan
(-/-), Intercostae (-/-) dinamis

Kanan Retraksi iga: Supra sternal Simetris saat statis dan


(-/-), Intercostae (-/-) dinamis

Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan

- Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris

Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan

- Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris

Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru

4
Kanan Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru

Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular


normal normal

Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Kanan Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular


normal normal

Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi
 Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
 Batas kiri : ICS V, midklavikularis sinistra
 Batas atas : ICS II, línea parasternalis sinistra
Auskultasi
 Suara dasar : S1-S2 murni, regular, irama teratur, frekuensi 84x/menit
 Suara tambahan : murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
a. Inspeksi : datar, lemas,massa (-), hemtoma (-), venektasi (-), scar (-),
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), benjolan/massa (-)
c. Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
d. Auskultasi : bising usus 6x/menit normal, tidak ada bunyi tambahan

Genitalia Eksterna : Dalam batas normal


Ekstremitas superior : akral hangat, tremor (-), deformitas (-), perdarahan (-),
CRT >2 detik, Eritema (-), nyeri otot dan sendi (+),

5
gerakan ke segala arah, atrofi (-), edema pada kedua
lengan dan tangan (-), hiperpigmentasi (-), pitting edema
pretibia (-) vulnus excoriasi (-)

Ekstremitas inferior: akral hangat, tremor (-), deformitas (-), perdarahan (-),
CRT >2 detik, Eritema (-), nyeri otot dan sendi (+), gerakan
ke segala arah, atrofi (-), edema pada kedua lengan dan
tangan (-), hiperpigmentasi (-), pitting edema pretibia (-)
vulnus excoriasi (-)

Status Neurologis
GCS : E4V4M3 (11)
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Tanda Laseq : -/-
Tanda Kerniq : -/-
Brudzinski I :-
Brudzinski II : -
Saraf Kranialis Dextra Sinistra
N.I : gangguan penghidu N N
N.II:
Visus 6/6 6/6
Lapang Pandang N N
Warna Iris Hitam Hitam
Fundus - -
N.III, IV, VI:
Sikap bola mata Di tengah Ditengah
Pupil : Ukuran, bentuk 4mm, bulat 4mm, bulat
Isokor Isokor
Refleks cahaya langsung N N
Refleks cahaya tidak langsung N N

6
Refleks konvergensi N N
Nistagmus (+) Horizontal

Pergerakan Bola Mata


N.V:
Motorik
Membuka mulut N N
Gerak rahang N N
Sensorik
Sensibilitas V1 N N
Sensibilitas V2 N N
Sensibilitas V3 N N
Refleks kornea Tidak dilakukan
N. VII:
Sikap mulut istirahat : Sudut garis mulut kanan dan kiri simetris
Mengangkat alis N N
Kerut dahi N N
N. VIII:
Nervus Cochlearis
Suara bisikan/ gesekan jari N N
Rinne + +
Weber + -
Schwabach N N
Nervus Vestibularis
Nistagmus (+) horizontal
Berdiri dengan satu kaki :
Mata tertutup jatuh ke kiri
Mata terbuka N N
Bediri dengan dua kaki :
Mata tertutup N N

7
Mata terbuka N N
Berjalan Tandem bergeser ke arah kiri
Fukuda Stepping Test bergeser ke arah kiri
N. IX, X:
Arkus pharynx N
Uvula N
Disfoni Tidak ada
Disfagi Tidak ada
Reflex Pharynx N
N. XI:
Sternocleidomastoid N N
Trapezius N N
N. XII

Sikap lidah dalam mulut


Deviasi tidak ada deviasi
Atrofi tidak ada atrofi
Fasikulasi tidak ada
Tremor tidak ada
Menjulurkan lidah tidak ada devisiasi
Kekuatan lidah kanan = kiri
Motorik
Ekstremitas
Trofi :
Normotrofi Normotrofi
Normotrofi Normotrofi

Tonus : Normotrofi Normotrofi


Hipotrofi Hipotrofi

Kekuatan Otot :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4

8
Refleks fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
KPR : +2/+2
APR : +2/+2
Refleks Patologis
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaffer : -/-
Rossolimo : -/-
Mendel Becthrew : -/-
Hoffman Trommer : -/-
Gerakan Involunter : Tidak ada

Sensorik
Eksteroseptif
Ekstremitas Atas
Raba : +/+
Nyeri : +/+
Suhu : Tidak dilakukan
Ekstremitas Bawah
Raba : +/=
Nyeri : +/+
Suhu : Tidak dilakukan
Propioseptif
Posisi Sendi : N/N
Getar : Tidak dilakukan
Koordinasi
Tes Tunjuk-Hidung :N
Tes Tumit-Lutut :N

9
Disdiadokokinesis :N
Ototnom
Miksi :N
Defekasi :N

Status Lokalis
Regio Cervicalis
 Inspeksi: pada regio cervicalis setinggi C3 warna sama dengan kulit
sekitar, hiperemis (+), edema (+), perdarahan (-), scar (-), puncta (-),
sebum (-), tanda infeksi (-), hiperpigmentasi (-), deformitas (-), step off (-),
swelling (-).
 Palpasi: pada regio cervicalis setinggi C3 terdapat nyeri tekan (+),
krepitasi (+), fluktuasi (+), capilarry refill time < 2 detik, vaskularisasi
distal dalam batas normal, pulsasi (-), edema (-), hiperemis (-), edema (+),
hangat (-), puncta (-), sebum (-), tanda infeksi (-).
 Movement: Gerakan terbatas.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Darah Rutin
Hematologi
Hematologi Lengkap Hasil Nilai normal
Hemoglobin 14.0 g/dL 12.0-14.0
Leukosit 7.8 /mm3 5.000 – 10.000
Eritrosit 5.2 juta/uL 3.6-5.8
Trombosit 300 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 25 % 35-47
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 % 0.1-1
Eosinofil 1 % 1-6
Batang 0 % 3-5
Segmen 63 % 40-70

10
Limfosit 35 % 30-45
Monosit 5 % 2-10

 Pemeriksaan Radiologi (24 April 2021)

Gambar 1.1 Foto Polos Cervical Anteroposterior dan Lateral Pasien

Kesan: CT scan tulang belakang leher menunjukkan pelebaran yang nyata


dari ruang cakram pada C2-C3 dan fraktur di sepanjang aspek inferior
anterior C2-C3 serta pelebaran jarak ruang faset dan proses spinosus C2
dan C3.

E. Diagnosis Banding
1. Fraktur Cervicalis Setinggi C3 dengan kontusio cerebri
2. Fraktur Cervicalis Setinggi C3 dengan fraktur basis cranii

F. Diagnosis Kerja
Fraktur Cervicalis Setinggi C3

11
G. Pemeriksaan Tambahan
1. Pemeriksaan foto thorax AP/berkala
2. Pemeriksaan MRI cervical

H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Stabilisasi pasien dalam waktu < 24 jam.
2. Tirah baring total
3. Pemasangan collar neck
4. Pemberian O2 6-8L /menit
5. Log roll/ 2jam miring kanan, miring kiri
6. Observasi tanda vital.

Farmakologi
1. Pemberian Antibiotik
2. Paracetamol 3x500 mg
3. Manitol 0,25 – 1 g/kgBB

I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kolumna Vertebralis


Kolumna vertebralis merupakan struktur penyokong utama tubuh.
1,2
Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga thorax,
ekstremitas atas, pelvis dan menyalurkan berat tubuh ke ekstremitas
bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang bermakna
bagi struktur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain medulla spinalis,
nervus spinalis dan meningens.2 Kolumna vertebralis terdiri dari 33
vertebrae (Gambar 2.1), antara lain 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbar, 5
sacral (bergabung menjadi sacrum) dan 4 coccygeal, dengan bantalan
fibrocartilage di antara tiap segmen yang disebut discus intervertebralis. 1
Walaupun terdapat perbedaan secara regional pada segmen-segmen
tersebut, namun secara umum terdapat pola anatomi yang mirip (Gambar
2.2). Vertebra umumnya terdiri dari corpus di bagian anterior dan arcus
vertebra di posterior, dan di antaranya terdapat lubang yang disebut
sebagai foramen vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan lapisan
meningens. Arcus vertebra terdiri dari sepasang pedicle dan laminae.
Arcus vertebralis membentuk 7 processus, antara lain satu processus
spinosus, dua processus transversus dan 4 processus articularis. Processus
spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan processus
transversus terletak di antara laminae dan pedicle. Kedua processus
tersebut berfungsi sebagai tuaspengungkit dan menjadi tempat perlekatan
otot dan ligament. Processus articularis terbagi menjadi dua processus
superior dan dua processus inferior, kedua processus tersebut membentuk
sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan superior notch yang
membentuk foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi dari
columna vertebralis terbagi menjadi dua, antara lain sendi antara dua
korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus
intervertebralisdan sendi antara dua arcus vertebralis yantu sendi synovial
antara processus articularis.2 Terdapat 6 ligamen di sekitar columna

13
vertebralis (Gambar 2.3), antara lain ligament anterior longitudinal dan
posterior longitudinal (ligament di sekitar corpus) dan ligament
supraspinatus, interspinatus, intertransversum dan flavum (ligament di
antara arcus vertebralis). Pada daerah cervical, ligament supraspinatus dan
interspinatus bergabung membentuk ligamentum nuchae.

Gambar 2.1 Gambaran Columna Vertebralis Dari Posterior (dikutip dari


kepustakaan 2)

14
Gambar 2.2 A. Gambaran Columna Vertebralis Dari Lateral. B. Fitur
Umum Dari Tiap Vertebra (dikutip dari kepustakaan 2)

3.

15
Gambar 2.3 Ligamen Pada Columna Vertebralis (dikutip dari kepustakaan
1)

2.2. Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang


dimulai dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua
pertiga seluruh panjang canalis vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen
vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan
bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra
lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar
ketiga pada anak-anak.2 Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan
meningens, antara lain dura mater, arachnoid mater dan pia mater. Selain
itu, liquor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subarachnoid
juga memberikan perlindungan tambahanbagi medulla spinalis.

16
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen
cervical, 12 segmen thoracal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sacral dan 1
segmen coccygeal (Gambar 2.4). Nervus spinalis keluar dari setiap
segmen medulla spinalistersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis)
dan terdiri dari motor atau anterior roots (radix) dan sensory atau
posterior root.2,3 Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah
munculnya nervus tersebut melalui canalis vertebralis. Nervus spinalis C1
sampai C7 muncul dari atas columna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 di
antara columna vertebralis C7-T1.3 Nervus spinalis lainnya muncul dari
bawah columna vertebralis yang bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2


menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenicus yang
mempersarafi diagfragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas,
segmen thoracal mempersarafi otot-otot thoracoabdominal, dan L2-S2
mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah.3 Beberapa dermatom penting
yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis,
antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah
aerola mamae, T10 untuk umbilicus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu
anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking),
T1 (bagian medial antebrachii), T2 (bagian medial brachii), T2/T3 (axilla),
bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femur), L2
(bagian anterior dari femur), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5
(dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1
(anus).3

Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia


kelabu (gray matter) yang terletak internal dan substansia alba (white
matter) yang terletak secara eksternal.2,3 Secara umum, substansia alba
terdiri dari tractus ascending (sensorik) dan tractus descending (motorik),
sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10 lamina atau 3 bagian
(cornu anterior, posterior dan lateral) yang tersusun dari nucleus-nucleus
yang berperan dalam potensi aksineuron-neuron (Gambar 2.4 dan 2.5).3

17
Gambar 2.4 Anatomi Medulla Spinalis (dikutip dari kepustakaan 2)

18
Gambar 2.5 Gambar Penampang Melintang Dari Medulla Spinalis Setinggi
Midcervical (dikutip dari kepustakaan 2)

Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju


pusat sensorik di cortex cerebral dapat dilihat pada Gambar 2.6. Tractus
sensorik (ascending tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain
tractus spinothalamicus lateral yang membawa sensorik untuk nyeri dan
temperature (Gambar 2.7), anterior spinothalamicus untuk perabaan kasar
(crude touch) dan tekanan (Gambar 2.8), tractus columna dorsalis (posterior
white column) untuk perabaan halus (two-point discrimination), fungsi
propioseptif dan getaran (Gambar 2.9), dan tractus-tractus lainnya seperti
spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinoreticular,
spinotectal dan spino-olivary.2

Gambar 2.6 Gambaran Umum Perjalanan Rangsang Sensorik Dari Sistem


Saraf Perifer Sampai Pusat Sensorik Di Cortex Cerebral (First-order Neuron
Sampai Third-Order Neuron) (dikutip dari kepustakaan 2)

19
Gambar 2.7 Tractus Spinothalamicus Lateral (dikutip dari kepustakaan 2)

20
Gambar 2.8 Tractus Spinothalamicus Anterior (dikutip dari: Snell RS, 2010)

21
Gambar 2.9 Tractus Columna Dorsalis (Posterior White Column) (dikutip
dari kepustakaan 2)

Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui tractus motorik


(descending tract) dari pusat motor di gyrus precentral ke efektor (otot)
dapat dilihat pada Gambar 2.10. Tractus motoric dari medulla spinalis
mencakup, antara lain tractus corticospinalis (anterior dan lateral) untuk
gerakan otot volunteer dan yang membeutuhkan ketepatan (Gambar 2.11),
rubospinalis untuk fasilitasi aktivitas otot-otot fleksordan menghambat otot

22
ekstensor (atau otot antigravitasi), vestibulospinalis untuk fasilitasi otot-otot
ekstensor dan menghambat otot-otot fleksor terutama untuk tujuan menjaga
postur dan keseimbangan, dan olivospinalis (fungsi belum diketahui).2

Gambar 2.10 Gambaran Perjalanan Rangsang Motorik Melalui Tractus


Motorik (Descending Tract) Dari Pusat Motor Di Gyrus Precentral Ke
Efektor (Otot) (dikutip dari kepustakaan 2)

23
Gambar 2.11 Tractus Corticospinalis Anterior dan Lateral (dikutip dari
kepustakaan 2)

Pengetahuan akan perjalanan tractus-tractus (terutama mengenai pada


level mana terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla
spinalis akan memberikan pengertian yang komprehensif mengenai
manifestasi klinis pasien-pasien dengan trauma medulla spinalis. Persepsi
raba halus, propioseptif dan getaran (dari tractus columna dorsalis) tidak
mengalami penyilangan (decusatio) sebelum rangsan tersebut mencapai

24
medulla oblongata, sedangkan tractus spinothalamicus lateral dan anterior
menyilang dalam 3 level segmen tempat rangsan tersebut masuk. 4 Di sisi
lain, tractus motorik utama (corticospinalis) mengalami decusatio pada level
medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya lesi pada tractus
corticospinalis atau columna dorsalis menyebabkan paralisismotor ipsilateral
(untuk corticospinalis) dan hilangnya persepsi raba halus, propioseptif dan
getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi pada tractus yang
membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan dan raba kasar menyebabkan
hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.4
Selain tractus untuk fungsi sensorikdan motoric, medulla spinalis juga
berperan dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh
nervus cranialis T1-L3 (thoracolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis
pada S2-S4.4 Lesi medulla spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat
menyebabkan gangguan saraf otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah
satu korelasi klinis dari fungsi saraf simpatis yang terganggu akibat dari lesi
lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic shock akibat hilangnya tonus simpatis
pada pembuluh darah arteri, sedangkan gangguan miksi dan disfungsi ereksi
akibat gangguan tonus parasimpatis.3
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari satu arteri spinalis anterior dan
dua arteri spinalis posterior.4 Arteri spinalis anterior memberikan suplai
darah dua pertiga bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada
pembuluh darah tersebut menyebabkandisfungsi dari tractus corticospinalis,
spinothalamicus lateral dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi
nyeri dan temperature dan disfungsi otonom).5 Arteri spiralis posterior
secara utama memberikan suplai darah untuk columna dorsalis dan
substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut muncul dari arteri
vertebralis.4 Beberapa cabang radikuler dari aorta thoracalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.4

25
Gambar 2.12 dan 2.13 Gambar Penampang Melintang Medulla Spinalis
Dengan Arteri Spinalis Anterior (dikutip dari: Guener G et al, 2008) Dan
Gambar Perfusi Medulla Spinalis (dikutip dari kepustakaan 5)

26
2.3. Insiden dan Epidemiologi
Sekitar 17.500 kasus cedera tulang belakang servikal baru terjadi di
Amerika Serikat setiap tahun. Pemulihan penuh sulit dicapai, dan memiliki
biaya perawatan seumur hidup yang sangat tinggi dan kualitas hidup yang
berkurang secara signifikan. Defisit neurologis yang umum termasuk
tetraplegia tidak lengkap, paraplegia tidak lengkap, paraplegia lengkap dan
tetraplegia lengkap. Karena konsekuensi ini, penting untuk memiliki ambang
kecurigaan yang tinggi, terutama pada pasien polytrauma dengan cedera
maksilofasial yang parah. Selain itu, salah satu konsekuensi yang paling
merusak dari trauma tulang belakang leher adalah cedera pada arteri
vertebralis, yang dapat mengakibatkan stroke sikulasi posterior jika tidak
ditangani. Oleh karena itu, penting untuk mencurigai adanya cedera arteri
vertebralis pada setiap pasien yang datang dengan trauma tulang belakang
leher, terutama dengan patah tulang dan dislokasi. Pemantauan yang cermat
sangat penting karena pasien awalnya dapat asimtomatik atau tanda dan
gejala dapat ditutupi oleh cedera lain yang terjadi bersamaan.6

2.4. Etiologi
Penyebab paling umum dari cedera tulang belakang servikal adalah
kecelakaan mobil, juga menyelam ke perairan dangkal, cedera senjata api,
dan aktivitas olahraga. Puncak terjadinya cedera tulang belakang pada usia 15
dan 24 tahun, dan yang kedua pada pasien berusia di atas 55 tahun.7

2.5. Patofisiologi
2.5.1. Mekanisme Cedera
Lokasi spinal cord injury (SCI) berturut-turut dari yang paling umum,
antara lain daerah cervical, thoracolumbar junction, thoracalis dan lumbalis
(Tabel 3.1).9 Mekanisme cedera pada umumnya merupakan aspek utama
yang menentukan lokasi spinal cord injury (SCI),9 contohnya motor vehicle
accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera
daerah cervical (akibat hyperextesion atau hyperflexion), jatuh melibatkan
beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjauh menumpu ke tanah

27
terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah
thoracolumbar akibat compression fracture atau burst fracture, jatuh di
tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hyperextension leher dan
cedera cervical), jatuh dengan pantat menumpu tanah melibatkan daerah
lumbar.
Tabel 4.1 Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) Berdasarkan
Tingkat Cedera Yang Dialami (dikutip dari: Derwenkus J, 2004)

Tingkat Cedera Frekuensi (%)

Cervical spine; paling umum C5-C6 50-55

Thoracic spine 10-15

Thoracolumbar 15-20

Lumbosacral 10

Sacral < 10

Multipel level 20

Disertai dengan cedera kepala

Ringan 40-50

Berat 2-3

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun


seringkali tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena
trauma yang dialami.10 Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat
kerusakan columna vertebralis yang parah umumnya menyebabkan spinal cord
injury (SCI) yang serius, namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan
minor dari columna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis,
namun tetap mungkin menyebabkan deficit neurologis yang serius.11 Seperti telah
disinggung pada paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat

28
menentukan tingkat spinal cord injury (SCI), juga dapat menentukan jenis cedera
pada columna vertebralis. Trauma dapat menyebabkan cedera pada medulla
spinalis melalui kompresi langsung dari tulang, ligamen atau discus, hematoma,
gangguan perfusi dan atau traksi.11

Cedera pada medulla spinalis dan columna vertebralis dapat


diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni dan dislokasi murni
(dengan frekuensi relatif 3:1:1).10 Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui
mekanisme yang serupa, antara lain vertical compression dengan anteroflexion
(flexion injury) atau dengan retroflexion (hyperextension injury). Pada flexion
injury, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra
cervical yang bersangkutan akan mengalami tekanan maksimum dan batas
anteroinferior dari corpus vertebralis yang berada di atas akan terdorong ke bawah
(kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari corpus vertebralis yang
mengalami fraktur akan terdorong ke belakang dan memberikan tekanan pada
medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang
paling sering pada daerah cervical (terjadi subluxation/dislocation).11 Seringkali,
terdapat robekan dari ligamen interspinosus dan posterior longitudinal ligaments
sehingga menyebabkan dislokasi.10 cedera tulang belakang servikal terjadi akibat
kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau
vaskuler.11

29
Gambar 3.2 Mekanisme Flexion Injury Dan Dislokasi Dari C5-C6 Dengan
Robekan Pada Ligamen Interspinosus Dan Posterior Longitudinal Ligaments,
Kapsul Facet Dan Intervertebralis Posterior (dikutip dari kepustakaan 12)

Gambar 3.3 Mekanisme Cedera Anterofleksi (dikutip dari kepustakaan 8)

30
Pada hyperextension injury terjadi vertical compression dengan posisi
kepala ekstensi (retroflexion).10 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina
dan pedicle) dari vertebra cervical bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi
fraktur unilateral, bilateral dan robekan dari ligament anterior. 10 Hyperextension
injury dari medulla spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan
vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, spinal cord injury
(SCI) yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat
terjadi akibat robekan ligamen (ketika dilakukan x-ray atau CT-scan alignment
sudah kembali normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray
tulangbelakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang
(perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan
ligament dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI.10 Selain
itu, spinal cord injury (SCI) yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical
cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua
dan pasien dengan spinal canal stenosis.

31
Gambar 3.4 Mekanisme Hyperextension Injury (dikutip dari kepustakaan 8 dan
12)

32
Mekanisme cedera lainnya yaitu compression injury.11 Pada cedera dengan
mekanisme ini, corpus vertebra mengalami pemendekan dan mungkin terjadi
wedge compression fracture atau burst fracture dengan fragmen posterior dari
corpus masuk ke dalam canalis spinalis.8,11 Wedge fracture umumnya stabil
karena ligamentumnya intak, namun apabila terdapat fragmen yang masuk ke
dalam canalis spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga
tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear
drop fracture (digolongkan tidak stabil).

33
Gambar 3.5 Compression Injury (dikutip dari kepustakaan 8 dan 12)

2.5.2. Patofisiologi Molekuler


Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya
gejala dan tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder. 8,13
Terdapat
empat jenis mekanisme cedera primer pada medulla spinalis, antara lain
benturan dengan kompresi pesisten, benturan dengan kompresi sementara,
distraksi dan laserasi/transection.14 Mekanisme cedera primer yang paling
umum adalah benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi
pada burst fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan

34
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture), fracture-dislocation
dan acute discus rupture. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan
kompresi sementara contohnya terjadi pada hyperextension injury pada
individu dengan penyakit degenerative cervical. Distraksi yaitu regangan
kuatyang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi
dan dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi).
Distraction injury ini merupakan salah satu penyebab terjadinya spinal cord
injury (SCI) tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan radiologi.
Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera
karena roket, luka karena serangan api, dislokasi dari fragmen tulang yang
tajam dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan total transection
sampai hanya cedera minor saja. Seluruh mekanisme cedera primer
menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian central, tanpa
kerusakan substansia alba (bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera
pada bagian substansia dispekulasikan merupakan akibat konsistensinya
yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih banyak. 14 Cedera
tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage)
dalam hitungan menit awal paska trauma sampai dengan beberapa jam ke
depan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla
spinalis.14 Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang tinggi
dari medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami
edema pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam
hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera
sekunder sehingga mengalami kerusakan irreversible dalam satu jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam stelah
cedera.14

2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan evaluasi klinis dan pemeriksaan
radiologi

35
2.6.1. Evaluasi Klinis
Tanda klinis dari fraktur cervical sangat tidak spesifik, yang
membuat diagnosis menjadi sulit. Pasien umumnya hanya mengeluhkan
nyeri pada sisi posterior leher dan kejang otot paravertebral cervical. Karena
pemeriksaan khusus diperlukan untuk mendiagnosis patah tulang ini,
seringkali tidak diketahui. Pasien mungkin datang dengan rasa sakit yang
terus-menerus di daerah cervical posterior disertai dengan kejang otot dalam
waktu lama, tanpa pernah mencurigai adanya cedera. Patah tulang ini sangat
sulit dideteksi dengan menggunakan teknik radiografi konvensional,
sehingga diperlukan penggunaan metode lain. Computed tomography (CT)
adalah metode pemeriksaan yang sering digunakan. Transisi oksipitoserviks
harus dievaluasi dengan hati-hati, terutama pada pasien dengan trauma
wajah dan kranial terkait.7
Anderson dan D'Alonzo membuat klasifikasi yang
menghubungkan ketinggian garis dengan prognosis fraktur:
Tipe I: fraktur bagian atas sarang odontoid; Tipe II: fraktur di dasar
sarang odontoid; dan Tipe III: fraktur yang mempengaruhi badan sumbu.
Perawatan dipandu oleh jenis fraktur odontoid. 7
Fraktur tipe I yang tidak melibatkan cedera pada struktur ligamen yang
menopang sendi atlanto-oksipital dapat diobati dengan artrodesis serviks
selama tiga bulan. Ada beberapa perdebatan mengenai pengobatan terbaik
untuk patah tulang tipe II karena potensi buruk yang didokumentasikan
untuk konsolidasi patah tulang pada pasien usia lanjut dan morbiditas yang
diketahui terkait dengan pengobatan berkepanjangan dengan penyangga
halo. 7

Indikasi relatif untuk operasi termasuk yang berikut: 7


- Dislokasi fraktur lebih dari 5 mm;
- Angulasi lebih dari 10 derajat;
- Upaya gagal pada reduksi tertutup.

36
Pada patah tulang yang membutuhkan perawatan bedah, alternatifnya adalah
osteosintesis dengan menggunakan sekrup kanulasi. Dalam teknik ini, insisi
yang dipandu radioskopi anterior dibuat di C4-C5 dengan diseksi dan
penempatan kawat pemandu di korteks bawah C2. Sekrup kanulasi
kemudian dimasukkan dengan bantuan gambar simultan dalam tampilan
anteroposterior dan profil. Kontraindikasi untuk teknik ini meliputi:
osteoporosis, fraktur kominutif, angulasi garis fraktur yang tidak diinginkan
(anterior oblique line), diastasis fragmen, dan pseudoarthrosis. 7

Klasifikasi Levine dan Edwards membagi spondylolisthesis


traumatis dari sumbu menjadi empat jenis:

 Tipe I: fraktur tanpa deviasi sudut dan deviasi translasi kurang dari 3,5
mm yang terjadi karena hiperekstensi dan kompresi aksial;
 Tipe II: fraktur dengan deviasi translasi atau sudut yang signifikan yang
terjadi karena hiperekstensi dan kompresi aksial yang dikombinasikan
dengan mekanisme kompresi fleksi;

37
 Tipe IIa: fraktur dengan deviasi translasi kecil dan angulasi lebar, dengan
peningkatan ruang diskus posterior antara C2-C3 pada penerapan traksi
yang terjadi karena distraksi fleksi; dan
 Tipe III: fraktur dengan deviasi translasi dan sudut yang besar, yang
berhubungan dengan dislokasi unilateral atau bilateral pada faset sendi C2-
C3 dan terjadi karena mekanisme kompresi-fleksi.

Fraktur tipe I adalah cedera yang stabil dan dapat diobati dengan
menggunakan penyangga leher, gips halo, rompi halo, atau gips Minerva
selama 12 minggu.
Fraktur tipe II adalah cedera yang tidak stabil, dan mekanisme
fraktur yang dihasilkan membutuhkan pengurangan melalui gangguan dan
sedikit hiperekstensi dengan imobilisasi berikutnya dan aplikasi halo-cast
selama 12 minggu.
Pada fraktur tipe IIa, traksi kranial diindikasikan sehingga reduksi
dapat dicapai dengan sedikit kompresi dan ekstensi, karena gangguan
fleksi adalah mekanisme cedera yang mungkin terjadi. Fraktur ini harus
diobati dengan halo-cast selama 12 minggu atau distabilkan melalui
pembedahan dengan artrodesis anterior C2-C3 atau fiksasi transpedikuler
C2. 7

38
Tabel 1 – Klasifikasi

Tabel 2 – Pedoman untuk perawatan bedah patah tulang cervical

39
2.6.2. Penilaian neurologis7
Berdasarkan parameter ini, tabel digunakan untuk menetapkan skor
pada setiap cedera: individu dengan skor kurang dari 4 tidak memerlukan
intervensi bedah; skor 4 berarti pengobatan dapat berupa bedah atau
konservatif (seringkali, keputusan dibuat berdasarkan pengalaman pribadi
ahli bedah); dan skor yang lebih tinggi dari 4 biasanya berarti bahwa
intervensi bedah diperlukan.

2.6.3. Pemeriksaan Radiologi6


Pada pemeriksaan radiologi menunjukkan a. gambaran Coronal b.
Gambaran sagital CT scan tulang belakang leher menunjukkan pelebaran
yang nyata dari ruang cakram pada C2-C3 dan fraktur di sepanjang aspek
inferior anterior C2-C3 serta pelebaran jarak ruang faset dan proses
spinosus C2 dan C3.

40
MRI tulang belakang leher dilakukan dan menunjukkan subluksasi
patah tulang belakang yang sangat tidak stabil pada tingkat C2–3 dengan
pecahnya ligamentum longitudinal anterior (ALL), ligamentum longitudinal
posterior (PLL), ligamen interspinous (IS), dan edema medula spinalis terkait
di C3, yang pada dasarnya menunjukkan disosiasi lengkap kolom tulang
belakang di C2-C3. Skor SLIC-nya adalah 9 (3 poin untuk cedera gangguan, 2
poin untuk kompleks discoligamentous yang terganggu, 3 poin untuk cedera
sumsum tulang belakang yang tidak lengkap dan 1 poin tambahan untuk
kompresi sumsum yang persisten). Reduksi C2-3 anterior terbuka dan
disektomi dengan fusi dan pelapisan dilakukan. Sendi C2-C3 berkurang
intraoperatif di bawah bimbingan sinar-X fluoroskopi dan distabilkan dalam

41
apa yang tampak sebagai posisi netral. Gangguan ligamen berikut dicatat
secara intraoperatif: Semua cedera pada C2–3 dan lepasnya longus coli
bilateral dan robekan pada PLL. Pada akhir kasus, terjadi stabilisasi dan
keselarasan yang memuaskan dari tulang belakang leher anterior. Pasca
operasi, fungsi neurologisnya tetap tidak berubah dengan gerakan minimal
pada ekstremitas atas bilateral.

2.7. Diagnosis Banding


1. Fraktur cervical setinggi C3
2. Fraktur cervical setinggi C4-C5

2.8. Tatalaksana7
Cara yang benar untuk memindahkan pasien dengan dugaan
fraktur serviks adalah dengan posisi dorsal decubitus pada permukaan
yang kaku dengan tangan atau bantalan seseorang ditempatkan di samping
pasien untuk mengamankan kepala dan mencegah rotasi. Idealnya, kerah
harus segera dipasang. Pasien harus diperiksa saat masih dalam posisi
dorsal decubitus dengan inspeksi saluran telinga untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya cairan fistula atau otorrhagia di belakang membran
timpani, yang akan mengindikasikan fraktur tengkorak. Kepala dan
prosesus spinosus harus dipalpasi.
Jika ada tanda-tanda cedera tulang belakang atau faktor yang
berpotensi menyebabkan cedera tersebut, tindakan perawatan harus segera
dimulai. Studi terbaru mendukung gagasan bahwa semakin cepat tulang
belakang distabilkan dengan dekompresi sumsum tulang belakang yang
cedera, semakin besar kemungkinan pemulihannya. Pemeriksaan
radiografi harus dilakukan yang mencakup tampilan profil,
anteroposterior, oblik, dan transoral dari tulang belakang leher. CT
mungkin digunakan untuk mengklarifikasi setiap temuan yang tidak jelas
dalam radiografi sederhana, mengungkapkan cedera okultisme, dan
menilai fraktur atau dislokasi fraktur yang teridentifikasi secara lebih
mendalam.

42
Perawatan ortopedi untuk mengurangi fraktur atau dislokasi akan
mengembalikan kanal vertebral ke bentuk dan dimensinormalnya dan
menyebabkan dekompresi medula spinalis. Reduksi melalui traksi dengan
cranial halo adalah metode yang umum digunakan di beberapa layanan
darurat dan efisien serta dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.
Pengurangan dengan manipulasi dengan anestesi umum merupakan
kontraindikasi karena ini adalah metode yang sangat berbahaya; bahkan
dengan traksi bertahap, kehati-hatian harus dilakukan dan beban kecil
harus digunakan terlebih dahulu.
Karena ketidakstabilan yang terkait dengan dislokasi, pedoman
terbaru menunjukkan bahwa pembedahan diperlukan untuk mencapai
pengurangan dan stabilisasi yang memadai, memastikan dekompresi
sumsum tulang belakang, dan mencegah imobilisasi yang tidak nyaman.
Pembedahan dapat dilakukan melalui jalur anterior, posterior, atau ganda.
Studi anatomi dan biomekanik yang lebih baru mendukung penggunaan
instrumentasi dengan bahan sintesis paling modern, seperti sangkar dan
pelat anterior, atau sekrup massa lateral posterior.
Fiksasi posterior tulang belakang leher dengan implan yang
dipasang pada massa vertebra lateral telah banyak digunakan karena
keunggulan mekanisnya dibandingkan fiksasi yang menggunakan teknik
serklase interspinous. Selain itu, prosedur ini memiliki keunggulan teknis
lainnya, seperti kemungkinan untuk digunakan dalam kasus di mana
elemen posterior tidak ada atau retak.

2.9. Prognosis7
Prognosis dari cedera patah tulang belakang cervical berpotensi
serius dan dapat menyebabkan konsekuensi yang terdestruksi jika tidak
ditangani dengan benar. Diagnosis dan klasifikasi cedera yang benar
adalah langkah pertama menuju penentuan pengobatan yang paling tepat,
yang dapat berupa pembedahan atau konservatif.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine
and Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma
OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds. Tintinalli’s Emergency: A
Comprehensive Study Guide 7th Ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
http://www.accessmedicine.com/con-tent.aspx?aID=6389092
2. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and The Ascending and Descending
Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy 7th Edition. Lippincott
William & Wilkins, Philapdelphia. 2010. p. 133-84
3. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the
Spinal Cord. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall,
4. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/793582-overview#showall
5. Waxman SG. Chapter 6.The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy
26th Ed. NewYork: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198. Diakses
tanggal 10 Desember 2015
6. Alexander H, Dowlati E, McGowan JE, Mason RB, Anaizi A. C2-C3
spinal fracture subluxation with ligamentous and vascular injury: a case
report and review of management. Spinal Cord Ser Cases. 2019;5:4.
Published 2019 Jan 16. doi:10.1038/s41394-019-0150-7.
7. Marcon RM, Cristante AF, Teixeira WJ, Narasaki DK, Oliveira RP, de
Barros Filho TE. Fractures of the cervical spine. Clinics (Sao Paulo).
2013;68(11):1455-1461. doi:10.6061/clinics/2013(11)12
8. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005;12(9):29-38
9. Derwenkus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related
Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32

44
10. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of The Spinal Cord. In:
Ropper AH, Samuels MA, eds. Adams and Victor’s Principles of
Neurology 9th Ed. New York: McGraw-Hill;2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
11. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p.225-33
12. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal
Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA, Netter’s
Neurology 2nd Edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
13. Waxman SG. Chapter 6.The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy
26th Ed. NewYork: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
14. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

45

Anda mungkin juga menyukai