Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Perdossi, 2006). Cedera
kepala masih menjadi permasalah kesehatan dunia sebagai penyebab kematian,
disabilitas dan defisit mental. World Health Organization (2009) melaporkan setiap
tahun di seluruh dunia terjadi lebih dari 1, 2 juta orang meninggal di jalan raya dan
sebanyak 20–50 juta orang mengalami cedera tidak fatal. Sebagian besar (lebih dari
90%) dari kematian tersebut terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. 69
juta orang juga diperkirakan menderita cedera kepala dari semua penyebab setiap
tahun, dengan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat mengalami keseluruhan beban
penyakit terbesar. Cedera kepala setelah tabrakan lalu lintas jalan lebih umum terjadi
di negara berpenghasilan rendah, dan proporsi cedera kepala sekunder akibat tabrakan
lalu lintas juga paling besar di negara-negara ini (Dewan et al. 2018). Di Indonesia,
cedera kepala berdasarkan data RISKESDAS menunjukkan insiden cedera kepala
dengan meninggal dunia sebanyak 100.000 jiwa (Depkes RI, 2013).
Pasien dengan cedera kepala hadir dalam berbagai bentuk mulai dari perubahan
kesadaran ringan hingga keadaan koma yang tak henti-hentinya dan kematian. Dalam
bentuk cedera kepala yang paling parah, keseluruhan otak dipengaruhi oleh tipe cedera
dan pembengkakan (Galgano et al, 2017). Pembengkakan otak yang disebut edema
serebri, yaitu keadaan dimana terdapat akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau
di ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial (Kumar, 2013). Edema serebri menjadi salah satu
penyebab terjadinya kecacatan permanen pada cedera kepala. Oleh sebab itu, melihat
efek yang dapat terjadi akibat cedera kepala penting untuk mengetahui pengertian,
bagaimana dampaknya hingga penatalaksanaannya dengan tepat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 22 Tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
TL : 24 Desember 1996
Alamat : Jl. Gading Raya, Pisangan Timur, Jakarta Timur
Suku : Betawi
Pendidikan : Sekolah Dasar
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pembayaran : Tunai
Tanggal Masuk : 18 Juni 2019
Tanggal Periksa : 18 Juni 2019
Ruang Rawat : IGD
No RM : 25-50-58-xx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan teman pasien dan
autoanamnesa dengan pasien pada tanggal 18 Juni 2019 pukul 23.30 WIB di
Ruang Sayat IGD, RSUP Persahabatan Jakarta.
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien post Kecelakaan Lalu Lintas (KLL) datang ke IGD RSUP
Persahabatan Jakarta pada hari Selasa, 18 Februari 2019 pukul 23.30 WIB
dalam keadaan penurunan kesadaran 1 jam SMRS, terpental ke jalan setelah

2
temannya berusaha menghindari mobil saat lampu merah dengan kecepatan
±60 km/jam. Pasien dibonceng motor oleh temannya dan tidak memakai helm.
Pasien terpental jatuh membentur aspal lalu tidak ingat lagi kejadian setelah ia
terpental karena sudah tidak sadarkan diri. Pasien tidak sadarkan diri selama
kurang lebih 15 menit setelah tertabrak motor. Sampai di rumah sakit pasien
bangun dalam keadaan pasien seperti kebingungan. Tidak ada darah keluar dari
lubang hidung dan telinga pasien. Ditemukan luka pada bawah mata kiri, lutut,
dan tangan pasien. Menurut keterangan dari teman pasien yang mengantar tidak
didapatkan mual/muntah -/- atau kejang (-) setelah kejadian. Pasien mengaku
tidak ada kelemahan anggota gerak. Pasien tercium bau alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Operasi sebelumnya : Disangkal
b. Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
c. Riwayat Stroke : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Magh : Disangkal
e. Riwayat Penyakit Paru/ TB : Disangkal
f. Riwayat Asma : Disangkal
g. Riwayat Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Keluhan serupa : Disangkal
b. Riwayat Penyakit DM : Disangkal
c. Riwayat Penyakit Kronis lainya : Disangkal
d. Riwayat Alergi : Disangkal

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

3
Riwayat Individu dan Sosial
Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Jl. Gading Raya bersama keluarganya.
b. Occupational
Keseharian pasien masih berstatus pelajar sekolah dasar kelas 6.
c. Home
Pasien tinggal di daerah perumahan susun (Rusun). Ventilasi mungkin tidak
memadai.
d. Personal Habit
Pasien mengaku memiliki kebiasaan minum alkohol dan menyangkal tidak
pernah merokok atau mengonsumsi obat-obatan terlarang.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
A: Clear
B: pernafasan spontan, gerakan dinding dada simetris, 20x/m
C: Nadi 88x/m, TD 110/70 mmHg
D: E3V5M6 GCS 14

Secondary Survey
a. Keluhan : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : GCS E3V5M6=14
c. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/m
Respirasi rate : 20 x/m
Suhu : 36.0°C
SaO2 : 90%

4
d. Status Gizi
BB : 60 kg
TB : 165 cm
BMI : 22.03 (Normoweight)
e. Status Generalis
Kepala : Bentuk mesochepal, simetris, alopesia (-)
Rambut : Hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-
), pupil refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor, periorbital
ecchymosis sinistra
Telinga : Othorrea (-/-), deformitas (-/-), discharge darah (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), discharge darah (-/-), rhinorrhea (-/-
)
Mulut : Bibir sianosis (-/-), bibir kering (-/-), atrofi papil lidah (-/-)
Leher : Bentuk simetris, JVP tidak meningkat, deviasi trachea (-),
kelenjar lymphoid tidak membesar dan nyeri (-), kaku leher (-
), bruit a carotid (-)
Limfonodi: Pembesaran limfonodi axial dan inguinal tidak ada.
Thorax
Pulmo :
Inspeksi :Normochest, pergerakan simetris , ketinggalan
gerak (-), tak tampak retraksi interkostalis (-), jejas (-)
Palpasi :Vokal fermitus paru kanan equal dengan paru
kiri, krepitasi (-)
Perkusi :Sonor pada seluruh lapang paru,
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Whezing (-/-),
ronki basah halus (-/-), ronki basah kasar (-/-).
Cor :Inspeksi :Iktus kordis tidak nampak, tak tampak laserasi
dan hematom
Palpasi :Iktus kordis teraba pulsasi, kuat angkat (+)

5
Perkusi :
Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC III LPSD
Batas jantung kanan bawah : SIC II-IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LPSD
Auskultasi : BJ SI dan SII regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Dinding datar, tak tampak laserasi (-), jejas (-),
jaringan parut/ luka bekas operasi (-), caput
medusa(-), hernia umbilicus (-), warna kulit sama
dengan warna sekitar.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi :Supel, nyeri tekan (-), Hepar : Tidak teraba
perbesaran Lien : Tidak teraba perbesaran,
Renal: Nyeri ketok vertebre (-)
Perkusi : Timpani seluruh region abdomen, pekak sisi (-
), pekak alih (-), undulasi (-)
Ekstremitas :
Tabel 2.1. Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan Ektremitas Superior Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Koilonychia - - - -
Akral
+ + + +
Hangat
CRT
+ + + +
<2detik

6
f. Status Lokalis
Regio Chepal:
Look: tampak memar pada bagian periorbital kiri
Regio poplitea:
Look: luka lecet (vulnus excoriatum) pada bagian poplitea
Regio antebrachii 1/3 proximal:
Look: luka lecet (vulnus excoriatum) pada regio antebrachii bagian 1/3 proximal

Diagnosis kerja :
Cedera Kepala Ringan
Multiple VE
Periorbital Ecchymosis sinistra

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Lab di RSUP 19 Juni 2019 Pukul 01:06 WIB
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.7 L 13.0-16.0 g/dL
Leukosit 25.52 H 5.000-10.000 U/L
Hematokrit 37.2 H 40.0-48.0 %
Eritrosit 4.61 N 4.50-5.50 ^6/uL
Trombosit 388.000 N 150.000–440.000 /uL
MCV 80.7 N 82-92 fL
MCH 27.5 N 27-31 Pg/cell
MCHC 34.1 N 32 – 36 %
RDW 13.4 N 11.5 – 14.5 %
Basofil 0.2 N 0-1 %
Eosinofil 0.8 L 1-3 %

7
Neutrofil 99.9 H 52-76 %
Limfosit 6.3 L 20-40 %
Monosit 3.8 N 2-8 %
Kimia Klinik
Ureum Darah 16 L 19-44 mg/dl
Kreatinin 0.9 N 0.6-1.2 mg/dl
Hemostasis
Natrium 138 N 135-145 mmol/L
Kalium 3.30 L 3.5-5.0 mmol/L
Klorida 110 H 98.0-107.0 mmol/L
GDS 101 N 70-200 mg/dl

2. Foto CT Scan Kepala Non Kontras 19 Juni 2019 Pukul 06:38 WIB

8
9
10
11
12
13
Gambar 2.1 Hasil CT Scan kepala non kontras Tn. S di RSU Persahabatan
Expertise :
- Jaringan lunak extracranial terlihat normal dengan tulang-tulang
calvarial intak tanpa diskontinuitas dan tidak terlihat lesi hiperdens pada
subcalvarial.
- Penebalan jaringan lunak tampak pada sisi anterior maxillofacial
dengan fragmentasi dinding sinus maxillaris terutama kiri.
- Sulci, sisterna dan sistem ventrikel tampak normal dengan fisura
interhemisferik di midline.
- Tidak tampak lesi fokal hypo/iso/hiper-dens atau densitas patologis.
- Basal ganglia, nucleus caudatus dan thalamus serta sella, parasellar dan
orbita tampak normal.
- Pada infratentorial konfigurasi pons dan cerebellum tampak normal.
- Konsolidasi terdapat intrasinus maxillaris bilateral
- Aerasi sinus paranasal lainnya dan pneumatisasi mastoid bilateral
tampak normal.

14
Kesimpulan :
- Tidak tampak fraktur calvarial atau perdarahan intracranial.
- Fraktur tampak pada dinding sinus maxillaris bilateral dengan
hematosinus maxillaris dominan sisi kiri.

E. ASSESMENT
Cedera Kepala Ringan
Fraktur dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus maxillaris
dominan sisi kiri
Multiple VE

F. TATALAKSANA
IGD
Manajemen Trauma Kepala pada awal di IGD (06 Februari 2019, Pukul 18:40
WIB)
Primary Survey
A: airwayà jalan nafas Clear
B: breathingà pernafasan Spontan 20 x/m, SaO2 90% à Nasal kanul 3 lpm
C: circulationàRegular Nadi 88 x/m, TD :110/70 mmHg à IVFD RL 500
cc/8Jam 20 tpm
D : disabilityà E3M6V5 GCS 14, pasien kondisi terjadi penurunan kesadaran.
Pemberian analgetik injeksi Ketorolac 3x30 mg IV. Ranitidin 2x50 IV.
Rencana cek lab DPL, scan kepala polos dan konsul bedah saraf
E : Hasil Lab darah lengkap: Hb 12.7 mg/dl, Ht 37.2 ,Trombosit 388.000
Leukosit 25.52, Hasil CT Scan kepala.

Secondary Survey
Terapi medikamentosa dan non medikamentosa :
- IVFD Asering 500 cc/8 jam
- O2 nasal kanul 3 lpm

15
- Ketorolak 3x30 mg iv, ranitidine 2x30 mg iv, profemid supp 3x1 à
analgetik
- Tirah baring dengan kepala ditinggikkan 20°- 30°, dimana posisi kepala
dan dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit
kepala, muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
- Nutrisià kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari
kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari. Selain infus, nutrisi diberikan
melalui per oral.
- Konsul spesialis Bedah Saraf dan Bedah Plastik

G. FOLLOW UP
Rabu, 19 Juni 2019 ,pukul 05.00 WIB
S Mengeluh masih merasa pusing
O KU/Kesadaran : tampak sakit sedang , GCS E3M6V5
TTV : TD:130/70, N 88 , RR 20, T 36, SaO2 99%
A Cedera Kepala Ringan
Fraktur dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus
maxillaris dominan sisi kiri
Multiple VE
P Pro CT Scan kepala
IVFD Asering 500 cc/8 jam
Terapi lain sesuai SpBS
Konsul Bedah Plastik
Kamis, 20 Juni 2019 pukul 09.00 WIB
S Keluhan pusing sudah tidak ada
O KU/Kesadaran : tampak sakit ringan , GCS E4M6V5
TTV : TD:120/80, N 88 , RR 20, T 36, SaO2 100%
A Cedera Kepala Ringan

16
Fraktur dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus
maxillaris dominan sisi kiri
Multiple VE
P Observasi
Operasi Rekonstruksi oleh Bedah Plastik à pasien menolak
Jumat, 21 Juni 2019 pukul 09.00 WIB
S Keluhan pusing sudah tidak ada
O KU/Kesadaran : tampak sakit ringan , GCS E4M6V5
TTV : TD:120/70, N 88 , RR 20, T 36, SaO2 100%
A Post Cedera Kepala Ringan
Fraktur dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus
maxillaris dominan sisi kiri
Multiple VE
P Pasien menolak operasi rekonstruksi SpBP
Rencana pulang hari Jumat, 21 Juni 2019

H. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Ad Sanationam : bonam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Basic Science
1. Anatomi Kepala

Gambar 3.1 Struktur Kulit Kepala (Snell, 2010).

a) Kulit Kepala (SCALP)


Menurut American Association of Neurological Surgeon, (2015). Kulit
kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
1) Skin atau kulit, yaitu jaringan bersifat tebal yang mengandung
rambut serta kelenjar sebasea (keringat).
2) Connective Tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan
lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah
terutama diatas galea.

18
3) Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak. Lapisan ini merupakan
lapisan terkuat, karena terdiri atas fascia yang melekat pada tiga
otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior),
m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N.
VII.
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, yaitu sebuah
lapisan yang mengandung vena emissary yang merupakan vena
tanpa katup, menghubungkan struktur kulit kepala (SCALP), vena
diploica, dan sinus vena intrakranial. Hematoma yang terjadi pada
lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma
yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala.
5) Perikarnium, adalah periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat terutama pada sutura karena melalui sutura, periosteum
akan langsung berhubungan dengan endosteum. Jaringan
penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan biasa menjadi tempat perdarahan subgaleal.

b) Skull atau Tulang tengkorak

Gambar 3.2 Tulang Tengkorak

19
Tengkorak terdiri atas tulang-tulang kranium, yang terdiri dari kalvarium
(pembentuk atap) dan basis kranii serta tulang-tulang wajah. Kalvaria
terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, os parietal dan os
oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan
diploe. Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada
lengkung atap kranium, sementara diploe berperan untuk meringankan
berat kranium dan memberi tempat untuk memproduksi sumsum darah.
Aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontal, os zygomaticum,
orbita, nasal, maxilla dan mandibula. Aspek lateral tengkorak terdiri dari
tulang-tulang kranium dan os mandibula atau tulang wajah. Aspek
posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipital, os parietal dan os
temporal. Aspek superior dibentuk oleh os frontal di sebelah anterior,
kedua os parietal dextra dan sinistra dan os occipital di sebelah posterior.
Sutura coronalis memisahkan os frontal dari os parietal; sutura sagitalis
memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan sutura
lamboidea memisahkan os parietal dan os temporal dari os occipital. Titik
bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik
vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura
sagitalis di dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu
antara sutura lamboidea dan sutura sagitalis. Aspek inferior tengkorak atau
permukaan dalam dasar tengkorak memperlihatkan tiga cekungan yaitu
fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior. Fossa
cranii anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa cranii media tempat
lobus temporalis dan fossa cranii posterior adalah ruang bagi batang otak
bawah dan serebelum.

20
c) Meninges

Gambar 3.3 Lapisan Meninges

Selaput meninges, adalah tiga membran yang membungkus susunan saraf


pusat, dari lapisan terluar hingga terdalam; dura mater, arakhnoid mater,
dan pia mater. Mater artinya “ibu”, menunjukkan peran protektif dan
suportif membran tersebut (Sherwood Human Physiology 7th Edition,
2013).
Dura mater adalah pembungkus inelastik kuat yang terdiri dari dua
lapisan. Lapisan-lapisan ini biasanya melekat erat, tetapi di beberapa
tempat keduanya terpisah untuk membentuk rongga berisi darah, sinus
dural, atau rongga yang lebih besar, sinus venosus. Darah vena yang
berasal dari otak mengalir ke sinus ini untuk dikembalikan ke jantung.
Cairan serebrospinal juga masuk kembali ke darah di salah satu dari sinus-
sinus ini.
Arakhnoid mater adalah lapisan halus kaya pembuluh darah dengan
penampakan seperti sarang laba-laba. Ruang antara lapisan arakhnoid dan
pia mater di bawahnya yaitu ruang subarakhnoid, terisi oleh cairan
serebrospinal. Penonjolan jaringan arakhnoid, vili arakhnoid, menembus
celah-celah di dura di atasnya dan menonjol ke dalam sinus dura. Cairan

21
serebrospinal direabsorpsi menembus permukaan vilus-vilus ini untuk
masuk ke sirkulasi darah di dalam sinus.
Lapisan meninges paling dalam, yaitu pia mater, adalah lapisan yang
paling rapuh. Lapisan ini memiliki banyak pembuluh darah dan melekat
ke permukaan otak dan medula spinalis, mengikuti setiap tonjolan dan
lekukan. Di daerah-daerah tertentu, lapisan ini masuk jauh ke dalam otak
untuk membawa pembuluh darah berkontak erat dengan sel-sel ependim
dalam pembentukan cairan serebrospinal.

d) Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri (lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (Price,
2006).

e) Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) mengelilingi dan menjadi bantalan bagi otak
dan medulla spinalis. CSS memiliki berat jenis hampir seperti berat jenis
otak itu sendiri, sehingga pada hakikatnya mengapung atau tersuspensi di
dalam lingkungan cairan khusus ini. Fungsi utama CSS adalah sebagai
cairan peredam kejut untuk mencegah otak menumbuk bagian interior
tengkorak yang keras ketika kepala tiba-tiba mengalami benturan. Selain

22
melindungi otak dari trauma mekanis, CSS berperan penting dalam
pertukaran bahan antara sel-sel saraf dan cairan interstisium di sekitarnya.

Gambar 3.4 Cairan Serebrospinal dan Hubungan dengan Meninges

CSS dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus yang terdapat di bagian-


bagian tertentu rongga ventrikel otak dengan kecepatan produksi sebanyak
20 ml/jam. Setelah terbentuk, CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS mengalir melewati empat ventrikel yang saling
berhubungan di dalam interior otak dan melalui kanalis sentralis sempit di
medula spinalis yang berhubungan dengan ventrikel terakhir. CSS keluar
melalui lubang-lubang kecil dari ventrikel keempat di dasar otak untuk
masuk ke ruang subarakhnoid dan kemudian mengalir antara lapisan-
lapisan meniges di seluruh permukaan otak dan medula spinalis.

23
f) Blood Brain Barrier (BBB) atau sawar darah otak, adalah pelindung otak
yang sangat selektif. Tidak seperti pertukaran yang bebas menembus
kapiler di bagian tubuh lain, pertukaran melewati kapiler otak sangat
terbatas. BBB melindungi jaringan otak yang halus dari fluktuasi kimiawi
di darah dan memperkecil kemungkinan bahan-bahan yang potensial
berbahaya di dalma darah mencapai jaringan saraf sentral. BBB juga
mencegah hormon tertentu yang juga dapat bertindak sebagai
neurotransmitter mencapai otak, tempat bahan-bahan tersebut dapat
menimbulkan aktivitas saraf tak terkendali. Di sisi negatifnya, BBB
membatasi pemakaian obat untuk mengobati gangguan otak dan medula
spinalis, karena banyak obat yang tidak mampu menembus sawar ini.
g) Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot di dalam dindingnya yang tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
(Price, 2006).

2. Fisiologi Kepala
a) Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan di dalam rongga kepala,
yang meliputi volume darah intrakranial, cairan serebrospinal (CSS) dan
jaringan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal
pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak
dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Berbagai proses patologis
yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial
yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak
buruk terhadap kesusahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi

24
dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan
tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan TIK
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi
justru sering merupakan masalah utamanya. Semakin tinggi TIK setelah
cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan peningkatan TIK yaitu space
occupying lesion (SOL) atau massa seperti tumor serebri, edema serebri,
abses, hematoma intracranial, hidrosefalus, dan benign intracranial
hypertension. Segera setelah trauma massa seperti gumpalan darah akan
terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal karena masih
terkompensasi, saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik
dekompensasi, TIK akan meningkat secara cepat. Dalam keadaan istirahat
TIK normalnya 10 mmHg tinggi ketika 20 mmHg dan apabila menetap
akan memberikan prognosis yang buruk.
b) Doktrin Monro-Kellie

Gambar 3.5 Doktrin Monro Kellie


Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utama doktrin Monro
Kelle menjelaskan bahwa volume intrakranial selalu kontan karena
struktur kranium merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin membesar

25
atau melebar. TIK yang normal bukan berarti tidak adanya lesi masa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai
kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase
ekspansional kurva tekanan-volume.
c) Aliran Darah Otak (ADO)
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau
16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang
cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak kira-kira 50-55
ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25
ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100
gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap.
Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO
pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg.
Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan
bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering
mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-
penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena
iskemia sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme
kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi
otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi.
Karenanya bila terdapat hematoma intracranial, haruslah dikeluarkan
sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada
keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah
normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera.
Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70
mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO (Price, 2006).

26
B. Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang disebabkan
oleh faktor eksternal berupa kecelakaan dan benturan pada kepala yang dapat
berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, dan psikososial, yang
bersifat sementara atau permanen. Menurut American Association of
Neurological Surgeon cedera kepala didefinisikan sebagai pukulan ke kepala
atau cedera kepala tembus yang mengganggu fungsi normal otak. Cedera
kepala dapat terjadi ketika kepala tiba-tiba dan dengan kasar mengenai suatu
benda atau ketika suatu benda menembus tengkorak dan memasuki jaringan
otak. Gejala cedera kepala dapat ringan, sedang atau berat, tergantung pada
tingkat kerusakan otak. Kasus-kasus ringan dapat mengakibatkan perubahan
singkat dalam kondisi mental atau kesadaran, sementara kasus-kasus parah
dapat mengakibatkan periode ketidaksadaran, koma, atau bahkan kematian.

2. Epidemiologi
69 juta orang diperkirakan menderita cedera kepala dari semua
penyebab setiap tahun, dengan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat
mengalami keseluruhan beban penyakit terbesar (Dewan et al, 2017). Cedera
kepala setelah tabrakan lalu lintas jalan lebih umum terjadi di negara
berpenghasilan rendah, dan proporsi cedera kepala sekunder akibat tabrakan
lalu lintas juga paling besar di negara-negara ini. Sementara itu, perkiraan
insiden TBI tertinggi di wilayah dengan data berkualitas lebih tinggi,
khususnya di Amerika Utara dan Eropa.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, namun terdapat prevalensi
cedera pada masyarakat di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 7,5%, dengan
urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh, kecelakaan lalu lintas (KLL)
darat dan terluka benda tajam/tumpul (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2007). Pada tahun 2013 terdapat peningkatan prevalensi cedera
menjadi 8,2%, dengan urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh 40,9%,

27
kecelakaan sepeda motor (40,6%), cedera karena benda tajam/tumpul 7,3%,
transportasi darat lainnya 7,1% dan kejatuhan 2,5% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI, 2013). Dengan meningkatnya prevalensi cedera
jatuh atau KLL, dapat meningkatkan juga prevalensi terjadinya cedera kepala.

3. Klasifikasi
a) Mekanisme Cedera Kepala
Klasifikasi berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera
kepala tumpul (tertutup) dan cedera kepala tembus (terbuka). Cedera
kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan
oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul (Arif et al. 2000).
b) Beratnya Cedera
Klasifikasi berdasarkan beratnya cedera menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala. Adapun klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS, sebagai
berikut (Greenberg, 2011):
1) Cedera kepala ringan, yaitu dengan GCS 14-15
2) Cedera kepala sedang, yaitu dengan GCS 9-13
3) Cedera kepala berat, yaitu dengan GCS ≤ 8
c) Morfologi Cedera
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi cedera kepala dibagi
menjadi:
1) Kulit
Terdiri atas vulnus, laserasi, hematoma subkutan dan hematoma
subgaleal

28
Gambar 3.5 Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi

2) Fraktur kalvaria
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak membutuhkan pemeriksaan CT
scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut
antara lain :
§ Ekimosis periorbital (Raccoon eye sign)
§ Ekimosis retro aurikuler (Battle`s sign)
§ Kebocoran CSS (rhinorrea, ottorhea)
§ Parese nervus facialis ( N. VII )

29
3) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang
mengalami trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang
menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye
(penumpukan darah pada orbital mata) (Fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa
media). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga
menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis
kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.
4) Lesi intrakranial

Gambar 3.6 Perdarahan intrakranial

a. Perdarahan epidural (Epidural Haemorrhage/ EDH)


Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya
terjadi pada regio temporal atau temporopariental akibat robeknya
salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus

30
durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi
akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatu lucid interval (fase sadar diantara dua fase
tidak sadar karena bertambahnya volume darah). Keadaan ini
disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan
neurologis unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi
yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.
b. Perdarahan subdural (Subdural Haemorrhage/ SDH)
Perdarahan yang terletak diantara duramater dan arachnoidea yang
terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus
duramater atau robeknya arachnoidea. Subdural Haemorrhage
(SDH) ada yang akut hingga kronik. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin
besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi
penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi
hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan,
disebut higroma (hidroma) subdural. Perdarahan subdural terbagi
atas 3 bagian yaitu:
• Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang otak. Perdarahan subdural akut memberi
gejala dalam 24 jam.
• Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 25 – 65 jam setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

31
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
• Perdarahan subdural kronik
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki
ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Trauma yang
menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat
tersebut gejala yang terasa hanya pusing. Kapsul yang terbentuk
terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap cairan dan
mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan
tersebut kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika volumenya
besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Gejala mungkin
tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada
proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
c. Perdarahan subarachnoid (Subarachnoid Haemorrhage/ SAH)
Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid).
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan
subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar
otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Kondisi ini
juga dapat disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah.
Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi
nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala
yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan
mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual,
dan muntah.
d. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau
vena yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan
temporal merupakan daerah yang paling sering terkena namun
selain itu dapat pula terjadi di lobus parietalis maupun pada

32
serebelum. Kontusio intraserebral yangdapat terjadi karena trauma
melalui jejas coup atau countercoup. Jika kepala bergerak saat
terjadi jejas, kemungkinan kontusio terjadi disisi yang jauh dari
tempat terjadinya jejas (countercoup). Apabila dua pertiga lesi
adalah darah, jejas terseebut disebut perdarahan. Gejala klinis pada
perdarahan intraserebral, yaitu adanya penurunan kesadaran,
defisit neurologis, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial,
hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh),
papill edema (pembengkakan mata). Pada hasil CT scan didapatkan
hasil CT scan yang abnormal dan pada pemeriksaan penunjang
cariran serebrospinal didapatkan cairan yang berdarah.
e. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular adalah perdarahan yang berasal dari
penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan
intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.
f. Komosio serebri
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang
disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan
mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala menimbulkan
gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian
disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis
spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan
lesi iritatif/ blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.
g. Kontusio serebri (luka memar)
Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
adanya kerusakan duramater. Terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan

33
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila
otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti
pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat
terlihat di CT-Scan atau MRI seperti luka besar. Pada kontusio
dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di
sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah
tingkat kesadaran.

4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
jejas primer dan jejas sekunder. Jejas primer merupakan jejas pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan countrecoup.

Gambar 3.7 Mekanisme Coup dan Countrecoup

Jejas primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang


tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

34
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
countrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup). Jejas
sekunder merupakan jejas yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

5. Gambaran Klinis
Gejala cedera kepala sebenarnya bervariatif, tergantung pada klasifikasi
cedera kepala. Namun, pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial dapat
ditemukan tanda dan gejala berupa:
a) Penurunan kesadaran
b) Nyeri kepala dan pusing
c) Battle sign, yaitu warna biru/ ecchymosis di belakang telinga di atas
os. Mastoid
d) Hemotimpanum, yaitu terdapatnya darah pada kavum timpani dengan
membrana timpani berwarna merah atau biru
e) Perioebital ecchymosis pada kedua mata atau racoon eyes, yaitu warna
hitam pada mata tanpa trauma langsung
f) Muntah (proyektil atau tidak)
g) Papilaedema pada funduskopi
h) Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, pernafasan)
i) Rhinnorhea
j) Otorrhea

35
6. Diagnosa
Diagnosa didapatkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa, pasien dengan cedera kepala biasanya datang dengan
penurunan kesadaran atau pingsan beberapa saat, jika sadar pasien akan
merasakan pusing atau nyeri kepala. Dari anamnesa juga harus terdapat
riwayat benturan pada kepala.
Pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan GCS penting dilakukan,
karena dapat menentukan klasifikasi cedera kepala.
Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standard pada cedera kepala
adalah CT Scan Kepala. CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto
suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang
tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga
objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan
akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya.
Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
cedera kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik
bentuk maupun ukurannya. Adapun indikasi CT-Scan sebagai berikut:
a) Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala
sedang dan berat
b) Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) Sakit kepala yang hebat
f) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g) Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

36
7. Tata Laksana
a) Posisi kepala dan leher
Posisi kepala dan leher harus netral dan kompresi vena jugularis harus
dihindari. Untuk mengurangi edema otak dapat dilakukan elevasi kepala 30
derajat.
b) Ventilasi dan oksigenasi
Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus dihindari karena merupakan
vasodilator serebral poten yang menyebabkan penambahan volume darah otak
sehingga terjadi peningkatan TIK. Intubasi dan ventilasi mekanik diindikasi
jika ventilasi atau oksigenasi pada pasien edema otak buruk.
c) Terapi cairan
Osmolaritas cairan yang rendah dapat menyebabkan edema sitotoksik
sehingga harus dihindari. Keadaan ini dapat dicegah dengan pembatasan
pemberian cairan hipotonik.
d) Mempertahankan tekanan darah
Tekanan perfusi serebral harus tetap terjaga diatas 60-70 mmHg pasca
trauma otak. Tekanan darah yang ideal dipengaruhi oleh penyebab edema otak.
Pada pasien stroke dan trauma tekanan darah harus dipelihara dengan cara
menghindari kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba dan hipertensi yang sangat
tinggi untuk menjaga perfusi tetap adekuat.
e) Pencegahan kejang, demam dan hiperglikemi
Kejang, demam dan hiperglikemi merupakan faktor-faktor yang
memperberat edema otak sehingga digunakan anti konvulsan profilaktik.
f) Analgetik, sedasi dan zat paralitik
Diperlukan analgetik dan sedasi pada pasien. Diberikan juga ventilator
atau ETT supaya tidak memperberat TIK. Sedasi yang sering digunakan seperti
: opiate, benzodiazepine dan propofol.

37
g) Terapi osmotik
Manitol menurunkan viskositas darah, yang menyebabkan aliran darah
otak tidak berubah namun volume darah otak dan tekanan intrakranial menurun.
Mannitol juga mengurangi tekanan intrakranial dengan mengurangi cairan sel
parenkim otak, efek total membutuhkan 20-30 menit. Pemberian manitol
disertai dengan pemantauan kadar osmolaritas serum. Osmolaritas yang terlalu
tinggi akan meningkatkan risiko gagal ginjal. Dosis awal manitol 20% 1-1,5
g/kgBB IV bolus diikuti dengan 0,25 g/kgBB IV bolus tiap 4-6 jam. Efek
maksimum terjadi setelah 20 menit dengan durasi kerja 4 jam.
h) Tindakan operatif
Tindakan operatif berupa kraniotomi dilakukan pada pasien dengan
volume hematom > 20-40 ml, biasanya hal tersebut terjadi pada pasien cedera
kepala sedang dan atau berat. Harus dipastikan juga dengan hasil CT Scan
apakah terdapat hematom atau tidak. Adapun indikasi operasi sebagai berikut:
• Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial dan 20 ml di daerah infratentorial
• Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
• Tanda fokal neurologis semakin kuat
• Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg (sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
• Pada pemeriksaan CT Scan terdapat pendorongan midline sampai lebih
dari 3 mm atau penambahan ukuran hematoma pada pemeriksaan
ulang

8. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera
kepala adalah sebagai berikut:

38
a) Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b) Peningkatan TIK
Peningkatan TIK dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah
yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c) Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang

39
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
d) Kebocoran CSS
Kebocoran cairan serebrospinalis Adanya fraktur di daerah fossa
anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian
petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS
akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap,
cukup diberi bantalan steril di bawah 25 hidung atau telinga. Instruksikan
klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.

40
BAB IV
PEMBAHASAN

Teori Temuan pada pasien


CEDERA KEPALA
Riwayat trauma kepala V Terlempar dan terbentur aspal jalan
Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran setelah trauma
V
selama ± 15 menit
Battle sign X
Hematimpanum X
Periorbital ecchymosis V Hanya pada satu mata (kiri)
Rhinorrhae X
Otorrhoea X
Leukosit & neutrofil Leukosit: 25.520 U/L
H
Neutrofil: 99.9%
TANDA PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Nyeri kepala Pasien merasa pusing dan atau nyeri kepala
V
setelah bangun dari pingsan
Papilaedema pada funduskopi X
Anisokoria X
Triad’s Cushing TD: 110/70 mmHg, nadi 88x/menit,
X
frekuensi napas 22x/menit
Muntah (proyektil atau tidak) X
PENEGAKAN DIAGNOSIS KERJA
GCS E3 = membuka mata dengan diajak bicara
14-15 = ringan V5 = orientasi baik
9-13 = sedang
V M6 = sesuai perintah
<8 = berat

41
PENEGAKAN DIAGNOSIS DEFINITIF: CT-scan
Lesi fokal hypo/iso/hiper-dens atau
X
densitas patologis
Midline N Tidak terdorong ke sisi kontralateral
Basal ganglia, nucleus caudatus dan Normal
thalamus serta sella, parasellar dan N
orbita
Infratentorial konfigurasi pons dan Normal
N
cerebellum
Perdarahan intrakranial X
Fraktur Fraktur tampak pada dinding sinus
V maxillaris bilateral dengan hematosinus
maxillaris dominan sisi kiri.

Dari anamnesa tersebut didapatkan seorang pasien laki-laki usia 22 tahun


datang dengan keluhan penurunan kesadaran setelah terjatuh dari motor, tidak
memakai helm dan tercium bau alkohol. Pasien mengalami penurunan kesadaran
setelah kejadian selama kurang lebih 15 menit. Sampai di rumah sakit pasien
terbangun, tampak bingung dan mengeluh sakit kepala. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh adanya gangguan pusat kesadaran yaitu pada kedua hemisfer atau pada
sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System). Jika terjadi gangguan pada
sistem tersebut baik secara anatomi atau fungsional maka akan terjadi penurunan
kesadaran dengan berbagai tingkatan. Gejala tersebut merupakan gejala dari cedera
kepala yang merupakan trauma mekanik pada kepala secara langsung atau tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
gangguan kognitif, gangguan fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen.
Cedera kepala yang dialami oleh pasien menyebabkan pasien mengalami kehilangan
kesadaran setelah terbentur di jalan. Pasien terpental dan kepala terbentur aspal jalan
menandakan mekanisme cedera kepala yang dialaminya berupa cedera kontak-bentur
yang dapat disertai dengan cedera guncangan (akselerasi-deselerasi). Suatu benturan

42
dapat mengakibatkan dua macam jejas yaitu jejas lokal yang terjadi ditempat atau dekat
benturan dan jejas yang terjadi di tempat lain. Kondisi ini dinamakan coup countrecoup
injury.
Keluhan pusing dan nyeri kepala pada pasien dapat disebabkan oleh proses
peradangan akibat cedera kepala. Respon inflamasi berupa aktivasi sitokin-sitokin pro
inflamasi akan teraktivasi ketika trauma cedera kepala terjadi. Riwayat mual/muntah
dan kejang disangkal, hal ini perlu ditanyakan pada pasien karena mual/muntah dan
kejang dapat menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan
penilaian kesadaran dengan GCS (Glasgow Comma Scale) didapatkan hasil
E3V5M6=14, menurut klasifikasi termasuk dalam cedera kepala ringan. Pemeriksaan
tanda vital didapatkan peningkatan respiratory rate (RR) 22x/menit dan penurunan
saturasi O2 (SpO2) menjadi 90%. Kondisi hipoksia pada pasien merupakan dampak
dari adanya jejas pada otak pasca cedera kepala. Selain itu, terdapat upaya tubuh untuk
meningkatkan RR sebagai kompensasi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 yang
ditandai dengan penurunan SpO2. Upaya tersebut merupakan tanda tubuh sedang
melakukan mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi
jaringan cerebral. Adanya kerusakan jaringan otak akan memicu terjadinya gangguan
sistemik yang salah satunya berupa hipermetabolisme pada jaringan otak. Maka secara
reflek tubuh akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan menjaga perfusi
jaringan otak dengan cara meningkatkan jumlah RR per menit, harapannya dengan
meningkatnya jumlah RR maka akan terjadi peningkatan PaO2 dan saturasi oksigen
jaringan.

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien diambil diagnosis
sementara berupa cedera kepala ringan, dikarenakan pada pasien didapatkan penilaian
GCS yang bernilai 14. Untuk penentuan diagnosis secara pasti, dapat dilihat dari hasil
pemeriksaan CT scan untuk melihat adanya perdarahan intrakranial atau kelainan
patologis lainnya.

43
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap menunjukkan adanya peningkatan
hematokrit, leukosit dan neutrofil. Peningkatan leukosit dan neutrofil sering terjadi
pada cedera otak akibat aktivasi katekolamin sebagai respon stress, diikuti dengan
peningkatan hematokrit. Leukosit akan terakumulasi sampai 48 jam setelah trauma.

Pada CT Scan kepala non kontras didapatkan tidak adanya fraktur calvarial atau
perdarahan intracranial. Hal ini menguatkan diagnosis sementara yaitu cedera kepala
ringan dengan GCS 14. Selain itu, didapatkan hasil fraktur pada dinding sinus
maxillaris bilateral dengan hematosinus maxillaris dominan sisi kiri. Hal ini
menguatkan hasil pemeriksaan fisik pada bagian wajah pasien yaitu periorbital
ecchymosis sinistra. Jika terjadi perdarahan di rongga orbita, darah akan mengisi
rongga tersebubt, sehingga terjadi luka memar kehitaman di bawah mata atau disebut
periorbital ecchymosis.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan pada pasien
didapatkan diagnosis definitif pasien yaitu cedera kepala ringan dengan fraktur dinding
sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus maxillaris dominan sisi kiri serta
multiple VE.

44
BAB V
KESIMPULAN

Pasien Tn. S usia 22 tahun datang dengan keluhan mengalami penurunan


kesadaran sejak 1 jam SMRS. Pasien post kecelakaan lalu lintas tidak memakai helm
dan tercium bau alkohol terpental dari motor saat sedang menghindari mobil di lampu
merah lalu tidak sadarkan diri selama 15 menit. Sampai di rumah sakit pasien bangun
dalam keadaan pasien seperti kebingungan dan mengeluh sakit kepala. Terdapat
periorbital ecchymosis pada mata kiri pasien. Dilakukan pemeriksaan fisik dan
ditemukan tingkat kesadaran berdasarkan penilaian GCS yaitu E3V5M6. Tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 88x/menit, frekuensi napas 22x/menit dengan status lokalis
periorbital ecchymosis sinistra, vulnus excoriatum pada regio poplitea dan antebrachii
1/3 proximal. Sehingga diagnosis kerja pada pasien menjadi cedera kepala ringan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto CT Scan kepala non kontras
didapatkan hasil tidak tampak fraktur calvarial atau perdarahan intracranial serta
fraktur tampak pada dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus maxillaris
dominan sisi kiri. Diagnosis akhir pasen ini adalah cedera kepala ringan dan fraktur
dinding sinus maxillaris bilateral dengan hematosinus maxillaris dominan sisi kiri serta
multiple VE.

45
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons (ACS) Committes on Trauma. 2012. Advanced Trauma


Life Support (ATLS) Student Course Manual 9th Edition

American Association of Neurological Surgeons. 2018. Traumatic Brain Injury

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riskesdas 2007. Laporan


Nasional 2007. Jakarta, p. 160–161.

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2014. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta, p. 136–139.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan dasar 2013.
Pedoman Pengisian Kuesioner. Jakarta, p. 31–95.

Arif Mansjoer et al. 2000. Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran
Edisi Ketiga Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta

David, C, Sabiston, JR 1995. Buku Ajar Bedah Sabiston, Bagian I. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran; EGC

Dewan MC, Rattani A, Gupta S, Baticulon RE. 2017. Estimating the global incidence
of traumatic brain injury. Journal of Neurosurgery. doi:
https://doi.org/10.3171/2017.10.JNS17352

Galgano, M., Toshkezi, G., Qiu, X., Russell, T., Chin, L., & Zhao, L. R. 2017.
Traumatic Brain Injury: Current Treatment Strategies and Future Endeavors. Cell
transplantation, 26(7), 1118–1130. doi:10.1177/0963689717714102

46
Husna, U, 2017. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Edema Serebri. Laboratorium
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

Kumar, R. 2013. Dasar- dasar Patofisiologi Penyakit. Jakarta : Binarupa aksara.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium Trauma Kranio-Serebral. 3 November


2007. Pekanbaru

Price, S.A., L.M. Wilson. 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Perjalanan
Penyakit. Jakarta: EGC.

Prakoso, MD. 2013. Cedera Kepala Ringan. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Rohen, Johannes W, Chihiro. Yokochi and Lynn J. Romrell. 1993. Color Atlas of
Anatomy: A Photographic Study of the Human Body. New York: Igaku-Shoin.

Sherwood, Lauralee. Human Physiology: from Cells to Systems 7th Edition. Belmont,
CA :Brooks/Cole, Cengage Learning, 2013.

Sjamsuhidajat & De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC

Snell, R. S. 2010. Clinical neuroanatomy (7th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer


Health/Lippincott Williams & Wilkins. MLA

Wahjoepramono, Eka. 2005. Cedera Kepala. Lippo karawaci: Universitas Pelita


Harapan

World Health Organization. 2009. Global status report on road safety: time for action.
Geneva.

47

Anda mungkin juga menyukai