Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA

Diajukan kepada Pembimbing:


dr. Iqbal, Sp.BS

Disusun oleh:
Rahayu Fatmawati
1620221203

KEPANITERAAN KLINIK SMF BEDAH


RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 11 SEPTEMBER – 18 NOVEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
CEDERA KEPALA

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian


Kepaniteraan Klinik SMF Bedah
RSUP Persahabatan Jakarta
Periode 11 September – 18 November 2017

Telah disetujui
Tanggal

……………………………………….

Disusun oleh:
Rahayu Fatmawati
1620221203

Pembimbing

dr. Iqbal, Sp.BS


KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “Cedera Kepala” dimana laporan ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik SMF Bedah RSUP Persahabatan Jakarta Periode
11 September – 18 November 2017.
Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada dr. Iqbal, Sp.BS sebagai dokter pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan kasus ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri beserta teman-
teman pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu
kedokteran pada umumnya.

Jakarta, Oktober 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III LAPORAN KASUS
BAB IV ANALISA KASUS
BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Menurut WHO (2004), sekitar 16.000 orang meninggal di seluruh dunia setiap
hari diakibatkan oleh trauma atau cedera. Cedera merupakan penyebab terbanyak
kematian pada usia produktif dan lebih dari 50% merupakan cedera kepala (Astrand
dan Romner, 2011). Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks; defisit kognitif, psikis,
intelektual, dan lain-lain, yang dapat bersifat sementara ataupun menetap (Atmadja,
2016).
Cedera kepala dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan
kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kepala dapat juga
terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya (Soertidewi, 2012).
Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum sampai ke rumah sakit;
hampir 90% kematian akibat cedera kepala. Sekitar 75% pasien cedera kepala
diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 10%
cedera kepala berat (Sylvia, 2012).
Akibat cedera kepala, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak
sadarkan diri pada saat akut. Oleh karena itu tindakan saat perawatan sangatlah penting
untuk diperhatikan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian
atau kecacatan berat (Saatman dkk. 2008).
Salah satu cara untuk mengurangi kematian adalah tindakan bedah. Di Amerika,
setiap tahunnya terdapat 100.000 pasien yang memerlukan tindakan operasi. Di lain
pihak, tidak semua cedera kepala memerlukan perawatan di rumah sakit, pencitraan
dengan CT-scan ataupun tindakan pembedahan. Terdapat indikasi tertentu untuk
dilakukan tindakan-tindakan tersebut (Atmadja, 2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Cedera Kepala


American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM) mendefinisikan cedera
kepala sebagai trauma yang melukai baik bagian kranium (tengkorak) ataupun
serebrum (otak). ACRM membatasi penyebab cedera kepala berupa benturan pada
kepala, kepala yang terbentur pada suatu objek atau pergerakan akselerasi-deselerasi
otak, seperti whiplash, tanpa cedera langsung pada kepala. Sedangkan, menurut
Atmadja (2016), cedera kepala adalah cedera mekanik terhadap kepala, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis,
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

II.2 Epidemiologi
Cedera kepala menjadi masalah pada kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi
di seluruh dunia. Cedera kepala adalah penyebab utama terjadinya kematian dan
disabilitas jangka panjang khususnya pada dewasa muda. Banyak pasien cedera kepala
berat meninggal sebelum sampai ke rumah sakit; hampir 90% kematian akibat cedera
terkait dengan cedera kepala (Astrand dan Romner, 2011). Sekitar 75% pasien cedera
kepala diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang, dan
10% cedera kepala berat (Sylvia, 2017). Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain
itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus
peluru), dan lainnya (Soertidewi, 2012).

II.3 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi berdasarkan pada Glasgow Comma Scale
(GCS) atau berdasarkan patologi dan gejala klinis (Soertidewi, 2012).
a. Klasifikasi berdasarkan GCS
Kategori GCS Gambaran Klinis Scaning Otak
CKR 14 – 15 Pingsan < 10 menit, Normal
tidak ada defisit
neurrologis
CKS 9 – 13 Pingsan > 10 menit Abnormal
s/d 6 jam, defisit
neurologik
CKB 3–8 Pingsan > 6 jam, Abnormal
defisit neurologik
Tabel 1 Klasifikasi berdasarkan GCS

b. Klasifikasi berdasarkan Patologi dan Gejala Klinis


1. Epidural Hematoma (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea
media. Sebagian lainnya dapat pula diakibatkan oleh jejas pada tulang
kranial, robekan pada vena meningea media atau pada duramater.
Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala
klinisnya adalah adanya lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien
masih sadar setelah kejadian cedera kranioserebral dengan penurunan
kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini
kurang dari 24 jam (penilaian penurunan kesadaran dengan GCS). Gejala
lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan
midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks
patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada
gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung.
Gambar I Gambaran EDH berupa massa hiperdens, bikonveks, berbentuk seperti lensa.

Indikasi bedah pada EDH adalah:


a) Volume hematoma >30 cm3 pada hasil CT-scan dengan GCS
berapapun.
b) Pada pasien dengan GCS <9, harus dilakukan evakuasi
pembedahan secepatnya.
c) Hematoma epidural yang progresif
Bila volume hematoma < 30 cm3, ketebalan < 15 mm dan midline
shift < 5 mm pada pasien dengan GCS > 8 dan tanpa defisit neurologi, dapat
diterapi konservatif dengan pemeriksaan CT-scan serial. Yang perlu
diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT-scan untuk follow up pada
pasien yang tidak dioperasi, harus dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23%
kasus hematoma epidural mengalami pembesaran, paling sering dalam 8
jam setelah trauma. Pembesaran tidak terjadi lagi 36 jam setelah trauma.
Hasil operasi biasanya baik, kecuali pada fraktur yang panjang dan
laserasi sinus venosus. Prevalensi hematoma epidural bilateral adalah 2-
5%. Pada pasien koma, biasanya terdapat refleks Babinski bilateral,
spastisitas, rigiditas, menunjukkan kompresi mesensefalon, dan
prognosisnya buruk. Pada pasien seperti ini, pembedahan tidak boleh
ditunda.
Mortalitas operasi evakuasi EDH adalah 10%. Data perbandingan
antara terapi operatif dan non-operatif pada EDH belum ada.
2. Subdural Hematoma (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura
mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater
dan araknoidea. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan
muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan
kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (konkaf). Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.

Gambar 2 SDH akut memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit
(konkaf)

Indikasi pembedahan pada hematoma subdural adalah:


a) Pada hasil CT-scan ditemukan ketebalan hematoma >10 mm atau
midline shift > 10 mm atau midline shift > 5 mm dengan GCS
berapapun.
b) Pada nilai GCS <9, perlu monitoring tekanan intakranial secara
hati-hati. Bila tekanan intrakranial melebihi 20 mmHg atau pupil
anisokor atau terdilatasi tetap, diperlukan pembedahan.
Mortalitas pasien SDH yang memerlukan tindakan pembedahan
adalah 40-60%. Mortalitas pasien koma yang dioperasi adalah 57-68%.
Tingginya mortalitas ini karena sebagian besar kasus hematoma subdural
berkaitan dengan cedera jaringan intrakranial atau ekstrakranial. Kelainan
intrakranial yang paling sering ditemui adalah kontusio serebri dan
hematoma intraserebral. Kelainan ekstrakranial yang paling sering adalah
fraktur fasial, ekstremitas, dada, dan trauma abdomen. Perbandingan
angka mortalitas pasien yang dioperasi dengan yang tidak masih belum
tersedia karena kebanyakan pasien akhirnya memerlukan tindakan operasi.
3. Subarachnoid Hematoma (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40%
kasus cedera kepala, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital
dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang
meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan
penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila
vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul
gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada
pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai
10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT
scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH
non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak, perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.

Gambar 3 SAH dengan ciri khas gambaran hemoragik membentuk lengkung sulkus
SAH biasanya terjadi bersamaan dengan perdarahan intrakranial
lainnya seperti EDH, SDH, ataupun ICH. Hal ini menyebabkan indikasi
operasi pada SAH mengikuti indikasi operasi pada perdarahan intrakranial
lainnya yang terjadi. Namun, prognosisnya lebih buruk jika terdapat SAH.

4. Intracerebral Hematoma (ICH)


ICH adalah perdarahan parenkim otak akibat pecahnya arteri
intraserebral, biasanya karena cedera kepala berat. Ciri khas ICH adalah
hilangnya kesadaran dan nyeri kepala berat setelah pasien sadar kembali.
Berikut gambaran perdarahan intraserebral pada CT scan:
 Kontusio hemoragik tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil
dengan batas tegas di parenkim otak
 Dapat dikelilingi oleh lingkaran hipodens dari edema
 Dapat terdapat perdarahan intraventrikel
 Efek massa merupakan hal yang sering terjadi dan menimbulkan
penekanan pada ventrikel, pergeseran ventrikel ke-3 dan septum
pellucidum, sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darah
dan otak yang berat. Pergeseran ini yang disebut herniasi

Gambar 4 ICH tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan batas tegas di
parenkim otak

Indikasi operasi pada lesi parenkim otak akibat trauma adalah:


a) Terdapat defsit neurologis yang progresif
b) Terdapat peninkatan tekanan intrakranial yang refrakter
c) Cushing reflex (hipertensi, bradikardi, tanda-tanda gangguan
napas)
d) Nilai GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm3 di daerah frontal atau
temporal dengan midline shift >5 mm dan ukuran lesi >50 cm3.
Pasien dengan lesi massa parenkim tetapi tidak memperlihatkan
tanda-tanda defisit neurologis, tekanan intrakranial terkontrol dan tidak
ditemukan kelainan pada CT-scan, dapat diterapi secara non-operatif dan
dengan monitoring pencitraan serial.
Salah satu indikasi utama pembedahan pada ICH adalah untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Walaupun belum ada data perbandingan
mortalitas antara pasien yang dioperasi dan tidak, beberapa penelitian
menunjukkan penurunan tekanan intrakranial yang signifikan pasca-
operasi. Operasi pada 48 jam pertama juga menunjukkan perbedaan hasil
yang signifikan dibandingkan dengan operasi yang dilakukan lebih dari 48
jam setelah trauma. Hasil lebih buruk didapatkan 3,8 kali lebih banyak pada
pasien yang hanya mendapatkan terapi obat-obatan dibandingkan dengan
yang dioperasi.

5. Edema Serebral Traumatik


Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah
di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun,
sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah
benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding
pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan
terjadi edema.

6. Fraktur Basis Cranii


Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal
tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Fraktur ini merupakan
fraktur paling berat berupa fraktur linier pada dasar tulang tengkorak.
Pada fraktur basis kranii, gejala klinis sesuai dengan lokasinya. Pada
fraktur bagian anterior, gejala dan tanda klinisnya adalah:
a) Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrhea
b) Perdarahan/ecchymosis periorbital bilateral/raccoon eyes
c) Anosmia
Pada fraktur bagian media, gejala dan tanda klinisnya adalah:
a) Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
b) Gangguan N.VII dan VIII
Pada fraktur bagian posterior, gejala dan tanda klinisnya adalah
ecchymosis mastoid bilateral/Battle sign. Risiko infeksi intrakranial tinggi
apabila duramater robek.
Pada pemeriksaan CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur basis
cranii terutama bila terdapat udara dalam otak (traumatic
pneumocephalus), cairan di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus
sfenoid.

7. Fraktur Kranium Terdepresi


Fraktur kranial terdepresi tertutup yang melebihi ketebalan kranium
harus dioperasi untuk mencegah penekanan ke struktur yang lebih dalam
dan mencegah infeksi. Setiap tindakan untuk mengatasi fraktur kranial
terdepresi harus diberi antibiotik. Fraktur kranial terdepresi tertutup masih
dapat diterapi tanpa operasi bila baik klinis maupun radiologi tidak
menunjukkan adanya penetrasi duramater, hematoma intrakranial,
keterlibatan sinus frontalis, dan luka infeksi. Sedangkan, setiap fraktur
kranial terdepresi terbuka memerlukan tindakan operasi serta perlu
diberikan antibiotik.
Sejumlah 10,6% kejadian infeksi berhubungan dengan defsit
neurologi yang lebih banyak dan persisten, terjadinya late epilepsy (kejang
terjadi >1 minggu setelah trauma) dan kematian. Tindakan operatif untuk
debridemen menurunkan kejadian infeksi sebesar 4,6%. Tindakan operasi
yang ditunda lebih dari 48 jam setelah trauma akan meningkatkan insidens
infeksi sebesar 36,5%.

Gambar 5 Fraktur kranium depresi (A) pada tulang parietal kanan (tanda panah putih).
Fraktur basis cranii (B) terdapat fraktur kominutif di tulang temporal kanan (tanda panah
putih), cairan di mastoid air cells (lingkaran putih), dan udara di dalam otak
(pneumocephalus) (tanda panah terputus)
BAB III
LAPORAN KASUS

III.1 Kasus I
III.1.1 Identitas
Nama : Tn. AJ
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Lajang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Duren Sawit
MRS : 27 Agustus 2017

III.1.2 Autoanamnesis
Keluhan Utama
Bengkak pada kepala depan kiri pasca KLL satu jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


o Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak satu jam sebelum masuk Rumah
Sakit, tidak pernah sadar penuh.
o Pasien memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas, mekanisme tidak diketahui.
o Pasien dalam keadaan intoksi alkohol.
o Pasien muntah satu kali. Keluar darah dari hidung dan mulut.
o Tidak ada kejang, tidak ada kelemahan ekstremitas.
o Tidak tampak luka terbuka di kepala
o Terdapat jejas di bagian kepala depan kiri
Riwayat Penyakit Dahulu
o Tidak ada riwayat operasi sebelumnya
o Tidak ada riwayat transfuse sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


o Tidak ada yang mengalami kejadian serupa

Riwayat Sosial
o Pasien sering minum alkohol
o Merokok satu bungkus per hari

III.1.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
o KU : tampak sakit berat
o Kesadaran : GCS 9 (E2M5V2)
o BB : 50 kg
o TB : 150 cm
o Keadaan Gizi : normoweight (BMI 22,22)
o Tanda Vital
o Nadi : 80x/menit
o RR : 15x/menit
o TD : 110/70 mmHg
o Suhu : 36,7oC
o Kepala : normocephal
o Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
o Hidung : keluar darah
o Mulut : keluar darah
o Leher : tidak ada jejas, tidak ada pembesaran KGB ataupun tiroid
o Thoraks : tidak ada jejas, BJ I dan II regular, vesicular
o Abdomen : tidak ada jejas, tidak nyeri tekan, BU (+) normal
o Punggung : tidak ada jejas, tidak ditemukan kelainan
o Genitalia : tidak ditemukan kelainan
o Ekstremitas superior et inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada jejas

Status Neurologis
o Rangsang Meningeal
o Tidak ada Kaku kuduk
o Tidak ada Laseque
o Tidak ada Kernig
o Tidak ada Brudzinski I
o Tidak ada Brudzinski II
o Nervi Craniales
Dextra Sinistra
N.I (Olfactorius) Daya Penghidu Tidak dapat dinilai
N.II (Opticus) Ketajaman Tidak dapat dinilai
Penglihatan
Pengenalan Warna Tidak dapat dinilai
Lapang Pandang Tidak dapat dinilai
Funduskopi Tidak dapat dinilai
N.III, IV, VI Ptosis, Strabismus, Tidak dapat dinilai
(Oculomotorius, Nistagmus,
Troclearis, Eksoftalmus,
Abducens) Endoftalmus
Doll’s eyes (+) (+)
phenomenon
Pupil Isokor
Refleks Cahaya Tidak dapat dinilai
Langsung
Refleks Cahaya Tidak dapat dinilai
Tidak Langsung
N.V (Trigeminus) Menggigit, Tidak dapat dinilai
membuka mulut
N.VII (Facialis) Menutup mata Simetris
Meringis Simetris
Pengecapan 2/3 Tidak dapat dinilai
anterior
N.VIII Tes Rinne, Weber, Tidak dapat dinilai
(Vestibulocochlearis) Swabach
Mendengar suara Tidak dapat dinilai
gesekan jari tangan
N.IX, X Posisi uvula, Tidak dapat dinilai
(Glossopharyngeus, Pengecapan 1/3
Vagus) posterior, menelan
Bersuara Normal
N.XI (Accecorius) Memalingkan Tidak dapat dinilai
kepala, mengangkat
bahu
Sikap bahu Simetris
N.XII (Hypoglossus) Menjulurkan lidah, Tidak dapat dinilai
atrofi lidah, tremor
lidah

o Refleks Motorik
5555 5555
5555 5555
o Refleks Fisiologis
o Refleks Biseps : (+)/(+)
o Refleks Triseps : (+)/(+)
o Refleks Patella : (+)/(+)
o Refleks Achilles : (+)/(+)
o Refleks Patologis
o Refleks Babinski : negatif
o Refleks Chaddock : negatif
o Refleks Oppenheim : negatif
o Refleks Gordon : negatif
o Refleks Scheiffer : negatif
o Refleks Rossolimo : negatif
o Refleks Hoffmann Tromner : negatif

Status Lokalis: Regio Capitis


Look:
o Multiple vulnus laceratum
o Edema frontalis sinistra
o Racoon eyes sinistra
o Edema maxilla sinistra
o Rhinnorea
Feel:
o Krepitasi regio maxilla sinistra
o Nyeri tekan

III.1.4 Diagnosis Sementara


o CKS
o Suspek fraktur basis cranii

III.1.5 Saran Pemeriksaan Penunjang


o CT scan kepala
o Rontgen cervical
o Rontgen thorax
o Pemeriksaan laboratorium

III.1.6 Penatalaksanaan Awal


o IVFD Asering 500 cc/8 jam
o O2 Nasal Kanul 3-5 liter/menit
o Pasang rigid neck collar
o Pasang urine catheter 16F
o Pasang NGT 16F
o Mannitol 4x150 mg iv
o Ketorolac 3x30 mg iv
o Ranitidin 2x50 mg iv
o Traneksamat iv
o Vitamin K iv

III.1.7 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium 27/08/17
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 14,8 gr/dL
Hematokrit 43,3 %
Trombosit 251.000/μL
Leukosit 16.823/μL (↑)
PT/APTT 1,11/1,26

Pemeriksaan Laboratorium 07/09/17


Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 12,2 gr/dL
Hematokrit 35,2 %
Trombosit 413.000/μL (↑)
Leukosit 15.750/μL (↑)
PT/APTT 0,1/1,0
CT scan kepala 27/08/17
Contusio cerebri frontal kiri dan SDH frototemporal kiri dengan hematosinus
maksilaris, ethmoidalis, sphenoidalis dan frontalis dengan fraktur pada os frontalis
kiri, os sphenoidalis kiri dengan palpebral hematom kiri dan hematom frontal kiri

Rontgen Thorax 27/08/17


Radiografi thoraks normal

CT scan kepala 07/09/17


Subgaleal hematom regio frontal
Fraktur multiple os frontal, os nasal dan os zygomaticum sinistra
Hematom lobus frontal sinistra dan lobus occipital dextra
Penebalan mukosa sinus paranasalis
Fraktur mandibulla sinistra

III.1.8 Diagnosis Klinis


o Contusio cerebri frontal dextra
o SDH frototemporal sinistra
o Hematosinus maksilaris, ethmoidalis, sphenoidalis dan frontalis et
palpebral hematom kiri dan hematom frontal kiri ec fraktur os frontalis
sinistra, os sphenoidalis sinistra
o Fraktur mandibulla sinistra

III.1.2 Planning Terapi


o Puasa
o Monitor KU, tanda peningkatan TIK dan TTV
o Monitor laboratorium
o IVFD RL + DS
o Manitol 4 x150mg iv
o Ceftriaxone 1 x 2g iv
o Ketorolac 3 x 30 mg iv
o Ranitidin 2 x 50mg iv
o Asam traneksamat 3 x 1 ampul
o Vitamin K 3 x 1 ampul

Anda mungkin juga menyukai