Cedera Kepala
Disusun Oleh :
Viona Natalia Sitohang
11.2015.407
Referat :
Cedera Kepala
Disusun :
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi
Mengetahui, ff
Referat :
Cedera Kepala
Disusun oleh :
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah jenis trauma yang paling sering dihadapi di ruang gawat darurat.
Banyak penderitadengan cedera otak berat mati sebelum sampai di rumah sakit, di mana
hampir 90% dari kematian akibat trauma yang terjadi sebelum penderita sampai di RS
berkaitan dengan cedera otak. Kira-kira 75% dari penderita cedera otak tergolong cedera
otak ringan, 15% sedang, dan 10% berat. Data terakhir di Amerika Serikat memperkirakan
ada 1.700.000 TBI setiap tahunnya, meliputi 275.000 yang dirawat dan 52.000 meninggal.
Penderita yang selamat dari TBI sering mengalami gangguan neurofisiologis yang
mengakibatkan kecacatan yang berpengaruh terhadap aktivitas pekerjaan dan sosialnya.
Setiap tahun, kira-kira 80.000-90.000 orang di Amerika Serikat mengalami cacat jangka
panjang akibat cedera kepala. Di Denmark, kira-kira 300 orang dari 1 juta penduduk yang
mengalami cedera kepala sedang sampai berat setiap tahunnya, di mana lebih dari
sepertiganya membutuhkan rehabilitasi cedera kepala sedang sampai berat setiap tahunnya, di
mana lebih dari sepertiganya membutuhkan rehabilitasi cedera otak. Melihat data statistik ini,
jelas bahwa sedikit saja pengurangan mortalitas dan morbiditas akibat cedera otak berdampak
besar terhadap kesehatan masyarakat.
Tujuan utama penatalaksanaan penderita dengan kecurigaan TBI adalah mencegah cedera
otak sekunder. Memberikan oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
pada level yang cukup untuk melakukan perfusi ke otak adalah hal terpenting untuk
mencegah kerusakan otak sekunder dan akan memperbaiki outome penderita. Setelah
melakukan penatalksanaan ABCDE , penting untuk melakukan identifikasi lesi massa yang
melakukan identifikasi lesi massa yang memerlukan tindakan operasi, dan hal ini paling baik
dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan kepala segera. Namun, pemeriksaan CT Scan tidak
boleh memperlambat pasien untuk di rujuk ke fasilitas yang mampu melakukan tindakan
bedah saraf dengan segera.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI KEPALA
a. Scalp
Karena scalp mempunyai suplai aliran darah yang banyak, maka perlukaan scalp bisa
mengakibatkan kehilangan darah, syok hemoragik, dan bahkan kematian. Hal ini bisa
terjadi pada penderita dengan waktu transport yang lama.
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus 4 frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Duramater
Duramater terletak paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan
periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam
(lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri
meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri
opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri
vertebralis untuk yang posterior. Arteri meningea terletak antara duramater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis. 1,3,4
2. Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS
(Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang
melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 3,4
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak
menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan. 4
5. Cairan serebrospinalis
7. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis
dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam
sinus venosus cranialis. 4
B. FISIOLOGI KEPALA
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini
dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak
(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera
otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO.4
2. CEDERA KEPALA
2.1 Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
2.2 EPIDEMIOLOGI
2.3 ETIOLOGI
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk
impulsif dan / atau impak. Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi
pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak,
contoh : pukulan pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan
ekstensi dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh gelombang
kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh pukulan
akan diteruskan di dalam jaringan otak.
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang, maka akan
terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat
menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan subdural,
memar otak yang berbentuk coup, contra coup, dan intermediate.
Ditinjau dari sudut tipe beban mekanik yang menimpa kepala, secara garis besar
mekanisme trauma kepala dapat dikelompokan dalam dua tipe yaitu beban statik
(static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban statik timbul perlahan-
lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun
sebenarnya kepala secara bertahap. Bila kekuatan tenaga cukup besar dapat
mengakibatkan terjadinya kertakan tulang (egg shell fracture), fraktur multiple atau
kominutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya gangguan kesadaran
atau defisit neurologis yang khas akibat mekanisme jenis ini masih tidak ada, kecuali
bila deformitasi tengkorak demikian hebatnya sehingga menimbulkan kompresi dan
distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi akibat beban dinamik,
dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200
mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi yang terjadi merupakan salah satu faktor
yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini
di bagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban
benturan ( impact loading).
Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat
namun terpisah dari titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan,
kecepatan, dan densitas obyek ). Dengan demikian, selanjutnya akan menimbulkan
suatu pola hantaran energi benturan tertentu oleh kepala. Objek-objek yang lebih
besar dari lima sentimeter persegi akan mengakibatkan deformitas lokal tulang
tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat pada daerah benturan dan mencuat
ke luar pada daerah perifernya. Bila derajat deformitas lokal tersebut melebihi
toleransi tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depres lokal
kebanyakna disebabkan oleh obyek-obyek dengan permukaan yang luasnya kurang
dari lima sentimeter persegi. Di samping hal-hal tersebut di atas, sebagai tambahan
peristiwa mekanisme trauma, juga terdapat suatu gelombang hantaman yang berasal
dari titik benturan dalam kecepatan gelombang suara yang menembus langsung ke
dalam substansi otak. Gelombang ini menyebabkan kerusakan jaringan lokal, yang
kemudian pada akhirnya dapat mengakibatkan distorsi jaringan dan kerusakan
intraparenkim otak serta biasanya tampil dalam bentuk perdarahn kecil-kecil.
Cedera (strain) adalah penyebab utama jejas jaringan, baik yang diakibatkan oleh
beban guncangan maupun beban benturan. Ada tiga jenis cedera yang dapat timbul,
yaitu kompresi (compression), regangan (tention) dan robekan (shear). Jenis jejas
yang terjadi ditentukan oelh tipe dan lokasi cedera dan daya tahan jaringan itu sendiri.
Cedra dapat di artikan juga sebagai jumlah deformitas jaringan yang diartikan juga
sebagai oleh suatu kekuatan kekuatan mekanis. Cedera dinamik terjadi pada keadaan-
keadaan di mana beban hanya berlangsung singkat saja dan mekanisme peristiwa ini
lebih rumit sehubungan dengan adanya sifat biologis yang proses deformasinya
berlangsung lebih lambat akan dapat menahan cedera lebih baik.
Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari
dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentr
terjadi bila membentur atau menabrak sesuatu objek atau sebaliknya, sedangkan
cedera guncanga lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi-deselerasi,
merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan
pukulan maupun bukan karena pukulan.
Cedera kontak bentur umumnya merupakan akibat adanya suatu tenaga benturan
yang mengenai kepala, dalam hal ini jejas yang terjadi disebabkan oleh fenomena
kontak saja dan sama sekali tidak berkaitan dengan gunvcangan atau akselerasi atau
deselerasi pada kepala. Namun dalam kejadian sehari-hari jarang sekali dijumpai
cedera kontak bentur yang murni, sering kali cedera kontak ini disertai dengan cedera
akselerasi atau deselerasi. Suatu benturan pada kepala dapat mengakibatkan dua
macam jejas, yaiu jejas lokal dan terjadi di tempat atau dekat benturan, dan jejas yng
terjadi ditempat atau dekat benturan, dan jejas ynag terjadi di tempat lain. Cedera
kontak bentur tidak menyebabkan jejas otak difus.
Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur linier dan depresi
tulang tengkorak, hematom epidural, kontusi kup (coup contussio), intracerebral
hematom yang merupakan perkembangan dari kontusi kup, subdural hematom yang
merupakan tumpahan intraserebral hematom ke dalam rongga subdural dan bebrapa
fraktur basis kranii. Terjadinya fraktur tulang tengkorak sangan bergantung pada sifat-
sifat bahan tulang, kekuatan, dan arah benturan ukuran daerah yang terbentuk, serta
ketebalan dan kekuatan tulang setempat.
Bila kepala terbentur suatu objek, cenderung akan menimbulkan suatu efek lokal
berupa lekukan ke dalam yang selanjutnya akan menyebabkan cedera kompresi pada
tabula eksterna dan cedera regangan pada tabula interna. Mengingat bahwa tulang
lebih lemah terhadap regangan daripada tekanan, makahal ini menimbulkan fraktur
yang dimulai dari tabula interna berlanjut sepanjang daerah-daerah yang
resistensinaya paling kecil disekitar tempat benturan. Panjang, arah dan lebar fraktur
tergantung dari jumlah energi yang diabsorpsi oelh tulang kepala serta ketebalan
tulang didaerah itu.
Benturan pada basis cranii bisa terjadi secara langsung amupun tidak langsung,
sehingga ada beberapa fraktur basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan
langsung biasanya terjadi di daerah oksipitasl dan mastoid, sednagkan yang tidak
langsung biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya
dihantarkan melalui tulang-tulang wajah atau rahang bawah yang menimbulkan dasar
tengkorak.
PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan
otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak,
gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan
radikal bebas.
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura
atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak
ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-
bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan
dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan
pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya
pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak
ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-
bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan
dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan
pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya
pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan
tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang
ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus
disertai perdarahan intraserebral.
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat
benturan dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan.
Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di
tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat
timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak
(lesi coup dan contra coup).
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.1,3
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.
b. Berdasarkan patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri
Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan
Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.
Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Kerusakan
tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti
kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak
gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan.
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul perubahan
patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari cedera (countre-
coup). Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul
dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus
berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi
kistik kecoklatan.
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus
frontal dan temporal bilateral, disebut „cedera tetrapolar‟, memberikan gejala TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma atau
penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan 15
berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena
edema dan jaringan otak yang nekrosis.
Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya
berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan
intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi
langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau
penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak
langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.
Lesi fokal
o Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada
kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-
bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke
batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya
terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-
bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages.
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat
berupa:
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan
radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang
iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana
penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu
memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh
karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini
relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua
kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 %
dan menyebabkan cacat neurologis yang berat
Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang cepat
terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada
daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea
media. Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi
cedera.
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma
yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan
pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 18
persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia
basalis
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan
ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak
Skor GCS dipakai sebagai penilaian objektif klinis beratnya cedera otak. Skor GCS
sama atau kurang dari 8 secara umum disebut sebagai koma atau cedera kepala berat. Pasien
dengan cedera kepala yang mempunyai skor 9 -12 di golongkan cedera kepala sedang,
sedangkan penderita dengan skor GCS antara 13-15 disebut cedera kepala ringan. Dalam
menilai GCS, bila terdapat asimetris kiri/kanan atau atas/bawah, maka yang dipakai adalah
respons motorik terbaik, karena ini adalah prediktor outcome yang paling terpercaya.
Namun, setiap orang harus mencatat, respons aktual pada setiap sisi tubuh, wajah, lengan,
dan tungkai.
Fraktur tulang tengkorak bisa terjadi di tempurung kepala atau dasar tengkorak.
Fraktur bisa linear atau stellata, dan terbuka atau tertutup. Untuk melihat fraktur dasar
tengkorak biasanya diperlukan CT Scan dengan gambaran bone window. Gambaran
klinis fraktur basis kranium adalah ekimosis periorbital (racoon eyes), ekimosis
retroaurikuler (Battle’s sign), kebocoran LCS dari hidung (rhinorea) atau telinga
(otorrhea), dan gangguan N.VII dan VIII (paralisis otot wajah dan gangguan
pendengaran), yang terjadi segera atau beberapa hari setelah trauma. Adanya tanda-
tanda ini harus menimbulkan kecurigaan dan membantu dalam menegakan kecurigaan
dan membantu dalam menegakan adanya fraktur basis kranium. Fraktur yang
melewati kanalis karotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma,
atau trombosis), dan dipertimbangkan untuk dilakukan CT angiografi (CT-A) atau
dengan kateterisasi.
Cedera otak difus berkisar dari mulai konkusio ringan sampai cedera iskemik
hipoksia berat. Pada konkusio, penderita mengalami gangguan neurologis nonfokal
sesaat yang seirng disertai dengan hilangnya kesadaran. Cedera difus berat sering
diakibatkan oleh gangguan hipoksik dan iskemik otak karena syok atau apneu lama
segera setelah terjadinya trauma. Pada keadaan ini, gambaran CT Scan pda awalnya
tampak normal atau otak tampak bengkak dan difus dengan hilangnya gambaran
substasnsia alba dan nigra yang normal. Gambaran difus lainnya, bisa tampak pada
cedera akibat kecepatan tinggi atau deslerasi, yang menyebabkan perdarahan punktata
(bercak-bercak) di seluruh hemisfer serebri, yang sering dilihat antara perbatasan
substansian alba dan nigra. “Sherring injuries” ini sering disebut dengan diffuse
axonal injury (DAI), yang didefinisikan sebagai sindrom klinis dari cedera otak berat
dengan bentuk yang bervariasi namun dengan outcome yang buruk.
Cedera otak fokal, lesi fokal meliputi hematoma epidural, hematoma subdural,
kontusio, dan hematoma intraserebral.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
4. Pupil anisokor
5. Pupil isokor
Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks .
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya „bridging vein´
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
Kesadaran menurun
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid,
umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit
HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono-
atau multiple.
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)
2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
1. - Bilateral mastoid ecchymosis/battle‟s sign
Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda kllinis :
- Koma lama trauma kapitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah tepi lengkap
Ureum kreatinin
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah leher/ collar
neck yang telah terpasang tidak dilepas)
PENATALAKSANAAN
3. Tatalaksana Cedera Kepala
TBI minor (MTBI) didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan adanya riwayat
disorientasi amnesia, atau hilangnya kesadaran sesaat pada pasien yang sadar dan bisa
bicara. Ini artinya skor GCS berada antara 13 dan 15 . Riwayat hilangnya kesadaran
sesaat sulit untuk dikonfirmasi dan gambaran ini juga sering dikacaukan dngan
pengaruh alkohol dan zat intoksikasi lainnya. Namun, kondisi kelainan mental itu
tidak boleh ditegakan sebagai faktor mental itu tidak boleh ditegakan sebagai faktor
penyerta sampai cedera otak benar-benar disingkirkan.
Kebanyakan pasien dengan cedera otak ringan dapat sembuh tanpa gejala sisa.
Kira-kira 3% mengalami gangguan yang tidak diharapkan, potensial menyebabkan
disfungsi neurologis yang berat kecuali bila penurunan status mental dapat dideteksi
sejak dini.
Bila hal tersebut diterapkan pada pasien GCS 13, kira-kira 25% akan menunjukan
CT dengan kelainan akibat trauma , dan 1,3% memerluakn tindakan bedah saraf. Bila
diterapkan pada pasien GCS 15, 10 % akan menunjukan hasil CT Scan adanya trauma
dan 0,5 %memerlukan tindakan bedah saraf. Berdasarkan bukti-bukti baru terbaru
tersebut, maka tidak ada lagi pasien dengan cedera otak yang signifikan atau
memerlukan tindakan bedah saraf akan lolos.
Jika ditemukan abnormalitas CT Scan, atau bila keluhan pasien menetap atau
tetap menunjukan kelainan neurologis, maka pasien harus dirawat dan di
konsultasikan ke ahli bedah saraf.
Bila pasien tidak ada keluhan dan kelainan neurologis, maka pasien di observasi
selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan bila tetap normal bisa dipulangkan.
Idealnya pasien dipulangkan dan di awasi oleh orang yang bisa mengawasinya selama
24 jam berikutnya. Bila pasien tidak sadar atau orientasinya belum cukup baikuntuk
mengerti instruksi verbal dan tertulis, maka keputusan untuk memulangkan harus
diperimbangkan kembali.
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma intrakranial
B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat per infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
Pemeriksaan fisik CKS/CKB
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
- Kesadaran
- Pupil
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder.
- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan antara 30-35
mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila
TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm.
Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu bidang.
Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2
g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan
keseimbangan elektrolit.
Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan saraf
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam
12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.
Komplikasi
- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang
pasca CKB, yaitu:
GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak, Hematom Subdural,
Hematom Epidural
Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun waktu <24 jam
pasca cedera
Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan dengan fenitoin
200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari
Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama 7-10 hari.
- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis,
misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk
gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan
serebrospinal negatif.
- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan tindakan
menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat
antipiretik.
Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan 19-
24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan
rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah
terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama
H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v
selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole.
Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan penguncupan vena-
vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen.
PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.
Penggunaan helm penyelamat dan memadai. Angka kematian 4600 (1962) 2400 (1992)
Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi terhindar dari
kerusakan yang serius
Perilaku pengemudi
Kecepatan kendaraan
KESIMPULAN
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap
cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak
menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder),
berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi
(vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural, subdural, subarakhnoid,
intraserebral, intraserebellar]), dan berdasarkan GCS (simple head injury, CKR, CKS, CKB)
guna menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif,
dan prognosis.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan
pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada
kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan
penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus
CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan
Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil,
defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi,
Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi,
infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi
/neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis
bergantung pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan
masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk
keamanan, perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042.
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117.
6. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. 2007. p51-58