Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

Cedera Kepala

Disusun Oleh :
Viona Natalia Sitohang
11.2015.407

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 13 MARET 2017 – 20 MEI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Cedera Kepala

Disusun :

Viona Natalia S./ 11.2015.407

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Mengetahui, ff

Kepala SMF Bedah

dr. Johan Lucas, Sp.B


LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Cedera Kepala

Disusun oleh :

Viona Natalia S/ 11.2015.407

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Ciawi,....... April 2017

Dr. Husdal, Sp.BS


BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah jenis trauma yang paling sering dihadapi di ruang gawat darurat.
Banyak penderitadengan cedera otak berat mati sebelum sampai di rumah sakit, di mana
hampir 90% dari kematian akibat trauma yang terjadi sebelum penderita sampai di RS
berkaitan dengan cedera otak. Kira-kira 75% dari penderita cedera otak tergolong cedera
otak ringan, 15% sedang, dan 10% berat. Data terakhir di Amerika Serikat memperkirakan
ada 1.700.000 TBI setiap tahunnya, meliputi 275.000 yang dirawat dan 52.000 meninggal.

Penderita yang selamat dari TBI sering mengalami gangguan neurofisiologis yang
mengakibatkan kecacatan yang berpengaruh terhadap aktivitas pekerjaan dan sosialnya.
Setiap tahun, kira-kira 80.000-90.000 orang di Amerika Serikat mengalami cacat jangka
panjang akibat cedera kepala. Di Denmark, kira-kira 300 orang dari 1 juta penduduk yang
mengalami cedera kepala sedang sampai berat setiap tahunnya, di mana lebih dari
sepertiganya membutuhkan rehabilitasi cedera kepala sedang sampai berat setiap tahunnya, di
mana lebih dari sepertiganya membutuhkan rehabilitasi cedera otak. Melihat data statistik ini,
jelas bahwa sedikit saja pengurangan mortalitas dan morbiditas akibat cedera otak berdampak
besar terhadap kesehatan masyarakat.

Tujuan utama penatalaksanaan penderita dengan kecurigaan TBI adalah mencegah cedera
otak sekunder. Memberikan oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
pada level yang cukup untuk melakukan perfusi ke otak adalah hal terpenting untuk
mencegah kerusakan otak sekunder dan akan memperbaiki outome penderita. Setelah
melakukan penatalksanaan ABCDE , penting untuk melakukan identifikasi lesi massa yang
melakukan identifikasi lesi massa yang memerlukan tindakan operasi, dan hal ini paling baik
dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan kepala segera. Namun, pemeriksaan CT Scan tidak
boleh memperlambat pasien untuk di rujuk ke fasilitas yang mampu melakukan tindakan
bedah saraf dengan segera.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. ANATOMI KEPALA

a. Scalp
Karena scalp mempunyai suplai aliran darah yang banyak, maka perlukaan scalp bisa
mengakibatkan kehilangan darah, syok hemoragik, dan bahkan kematian. Hal ini bisa
terjadi pada penderita dengan waktu transport yang lama.
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus 4 frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1. Duramater

Duramater terletak paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan
periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam
(lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri
meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri
opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri
vertebralis untuk yang posterior. Arteri meningea terletak antara duramater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis. 1,3,4

2. Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS
(Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang
melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater

Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 3,4

4. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak
menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan. 4

5. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengankecepatan


produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari 7 ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 4
6. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri


dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior). 4

7. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis
dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam
sinus venosus cranialis. 4

B. FISIOLOGI KEPALA

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan


serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa kira-kira
berada pada 10 mmHg 8.

Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau


memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini
dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak
(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera
otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO.4

2. CEDERA KEPALA

2.1 Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian


cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera
kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.2 Data-data yang didapat di
USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60%
diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera
kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia 85%).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis
dan penggunaan helm tanpa ikatan yang 10 memadai, sehingga saat penderita terjatuh,
helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.1,3

2.3 ETIOLOGI

Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas,


berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.
Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting
pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam
(misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah
tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.3,5

2.4 Mekanisme Cedera Kepala

a. Secara Statis (Static Loading)


Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada
kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-
turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang
terjadi.

b. Secara Dinamik (Dynamic Loading)

Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk
impulsif dan / atau impak. Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi
pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak,
contoh : pukulan pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan
ekstensi dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.

c. Impak (Impact Loading)


Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk impak:
1. Kontak / benturan langsung (contact injury)

Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :


- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar tempat
trauma

- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh gelombang
kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh pukulan
akan diteruskan di dalam jaringan otak.

2. Inersial (Inertial injury)

Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang, maka akan
terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat
menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan subdural,
memar otak yang berbentuk coup, contra coup, dan intermediate.
Ditinjau dari sudut tipe beban mekanik yang menimpa kepala, secara garis besar
mekanisme trauma kepala dapat dikelompokan dalam dua tipe yaitu beban statik
(static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban statik timbul perlahan-
lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun
sebenarnya kepala secara bertahap. Bila kekuatan tenaga cukup besar dapat
mengakibatkan terjadinya kertakan tulang (egg shell fracture), fraktur multiple atau
kominutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya gangguan kesadaran
atau defisit neurologis yang khas akibat mekanisme jenis ini masih tidak ada, kecuali
bila deformitasi tengkorak demikian hebatnya sehingga menimbulkan kompresi dan
distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.

Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi akibat beban dinamik,
dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200
mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi yang terjadi merupakan salah satu faktor
yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini
di bagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban
benturan ( impact loading).

Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi


antara percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang
diam secara tiba-tiba digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala kepala
yang sdang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan. Keadaan
seperti inin bukanlah suatu hal yang jarang terjadi, mengingat bahwa pukulan pada
dada atau muka sering kali mengakibatkan guncangan kepala yang hebat, di mana hal
ini tidak ada benturan pada tengkorak ataupun kontak tenaga sama sekali.

Sedangkan beban benturan (impact loading) merupakan jenis beban dinamik


yang lebih sering terjadi dari biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak
(contact forces) dna kekuatan beban lanjut (inertial forces). Respon kepala terhadap
beban-beban ini tergantung dari obyek yang membentur kepala. Efek awal dapat
sangat minimal pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa
sehingga ia tidak bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya akibat yang paling hebat
dapat terjadi bila energi benturan di hantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak dan
selanjutnya menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak.

Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat
namun terpisah dari titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan,
kecepatan, dan densitas obyek ). Dengan demikian, selanjutnya akan menimbulkan
suatu pola hantaran energi benturan tertentu oleh kepala. Objek-objek yang lebih
besar dari lima sentimeter persegi akan mengakibatkan deformitas lokal tulang
tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat pada daerah benturan dan mencuat
ke luar pada daerah perifernya. Bila derajat deformitas lokal tersebut melebihi
toleransi tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depres lokal
kebanyakna disebabkan oleh obyek-obyek dengan permukaan yang luasnya kurang
dari lima sentimeter persegi. Di samping hal-hal tersebut di atas, sebagai tambahan
peristiwa mekanisme trauma, juga terdapat suatu gelombang hantaman yang berasal
dari titik benturan dalam kecepatan gelombang suara yang menembus langsung ke
dalam substansi otak. Gelombang ini menyebabkan kerusakan jaringan lokal, yang
kemudian pada akhirnya dapat mengakibatkan distorsi jaringan dan kerusakan
intraparenkim otak serta biasanya tampil dalam bentuk perdarahn kecil-kecil.

Cedera (strain) adalah penyebab utama jejas jaringan, baik yang diakibatkan oleh
beban guncangan maupun beban benturan. Ada tiga jenis cedera yang dapat timbul,
yaitu kompresi (compression), regangan (tention) dan robekan (shear). Jenis jejas
yang terjadi ditentukan oelh tipe dan lokasi cedera dan daya tahan jaringan itu sendiri.
Cedra dapat di artikan juga sebagai jumlah deformitas jaringan yang diartikan juga
sebagai oleh suatu kekuatan kekuatan mekanis. Cedera dinamik terjadi pada keadaan-
keadaan di mana beban hanya berlangsung singkat saja dan mekanisme peristiwa ini
lebih rumit sehubungan dengan adanya sifat biologis yang proses deformasinya
berlangsung lebih lambat akan dapat menahan cedera lebih baik.

Mekanisme Penyebab Cedera Kepala

Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari
dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentr
terjadi bila membentur atau menabrak sesuatu objek atau sebaliknya, sedangkan
cedera guncanga lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi-deselerasi,
merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan
pukulan maupun bukan karena pukulan.

1. Cedera Kontak Bentur

Cedera kontak bentur umumnya merupakan akibat adanya suatu tenaga benturan
yang mengenai kepala, dalam hal ini jejas yang terjadi disebabkan oleh fenomena
kontak saja dan sama sekali tidak berkaitan dengan gunvcangan atau akselerasi atau
deselerasi pada kepala. Namun dalam kejadian sehari-hari jarang sekali dijumpai
cedera kontak bentur yang murni, sering kali cedera kontak ini disertai dengan cedera
akselerasi atau deselerasi. Suatu benturan pada kepala dapat mengakibatkan dua
macam jejas, yaiu jejas lokal dan terjadi di tempat atau dekat benturan, dan jejas yng
terjadi ditempat atau dekat benturan, dan jejas ynag terjadi di tempat lain. Cedera
kontak bentur tidak menyebabkan jejas otak difus.

Lesi Lokal Akibat Benturan

Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur linier dan depresi
tulang tengkorak, hematom epidural, kontusi kup (coup contussio), intracerebral
hematom yang merupakan perkembangan dari kontusi kup, subdural hematom yang
merupakan tumpahan intraserebral hematom ke dalam rongga subdural dan bebrapa
fraktur basis kranii. Terjadinya fraktur tulang tengkorak sangan bergantung pada sifat-
sifat bahan tulang, kekuatan, dan arah benturan ukuran daerah yang terbentuk, serta
ketebalan dan kekuatan tulang setempat.

Bila kepala terbentur suatu objek, cenderung akan menimbulkan suatu efek lokal
berupa lekukan ke dalam yang selanjutnya akan menyebabkan cedera kompresi pada
tabula eksterna dan cedera regangan pada tabula interna. Mengingat bahwa tulang
lebih lemah terhadap regangan daripada tekanan, makahal ini menimbulkan fraktur
yang dimulai dari tabula interna berlanjut sepanjang daerah-daerah yang
resistensinaya paling kecil disekitar tempat benturan. Panjang, arah dan lebar fraktur
tergantung dari jumlah energi yang diabsorpsi oelh tulang kepala serta ketebalan
tulang didaerah itu.

Benturan pada basis cranii bisa terjadi secara langsung amupun tidak langsung,
sehingga ada beberapa fraktur basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan
langsung biasanya terjadi di daerah oksipitasl dan mastoid, sednagkan yang tidak
langsung biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya
dihantarkan melalui tulang-tulang wajah atau rahang bawah yang menimbulkan dasar
tengkorak.

Hematoma epidural dapat dianggap sebagai bentuk komplikasi akibat adanya


fraktur tengkorak di mana pembuluh darah duramater robek karena disilang oleh garis
fraktur, atau cedera akibat deformitas atau lekukan yang cukup hebat tanpa adanya
suatu fraktur. Kontusi “kup” dapat terjadi di bawah lokasi benturan dalam keadaan-
keadaan tertentu.

PATOFISIOLOGI

Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan
otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak,
gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan
radikal bebas.

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung

Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura
atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.

Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak
ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-
bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan
dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan
pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya
pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.

b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak
ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-
bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan
dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan
pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya
pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.

c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan
tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang
ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus
disertai perdarahan intraserebral.
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat
benturan dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan.
Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di
tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat
timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak
(lesi coup dan contra coup).

2.5 Klasifikasi Cedera Kepala

a. Berdasarkan Saat Terjadinya


Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu lesi
primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur tulang
tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.

- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.1,3

Lesi Sekunder

Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.

b. Berdasarkan patologi:
Komosio serebri

Kontusio serebri

Laserasio serebri
Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan

Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis,


sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi. CKR dianalogikan sama
dengan komosio serebri. Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki
beberapa keuntungan yaitu:
Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya cedera, penilaiannya
mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun paramedis, dan nilai GCS dapat dipakai
sebagai monitoring kondisi pasien

Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.

Kontusio Cerebri

Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Kerusakan
tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti
kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak
gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan.

Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul perubahan
patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari cedera (countre-
coup). Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul
dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus
berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi
kistik kecoklatan.

Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus
frontal dan temporal bilateral, disebut „cedera tetrapolar‟, memberikan gejala TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma atau
penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan 15
berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena
edema dan jaringan otak yang nekrosis.

Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya
berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan
intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi
langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau
penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak
langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.

c. Berdasarkan lokasi lesi


Lesi diffus

Lesi kerusakan vaskuler otak

Lesi fokal

o Kontusio dan laserasi serebri

o Hematoma intrakranial

Hematoma ekstradural

Hematoma subdural

Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid

Hematoma intraserebral

Hematoma intraserebellar

Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada
kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.

Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan


disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan
serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar
akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak
sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.

Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-
bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke
batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya
terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-
bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages.

Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat
berupa:

1. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)


penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak
mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan
oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan
radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang
iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana
penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu
memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh
karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :

a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini
relatif jarang ditemukan.

b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua
kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.

c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 %
dan menyebabkan cacat neurologis yang berat

Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI)


Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya
pasien segera meninggal dalam beberapa menit.

Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang cepat
terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada
daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea
media. Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian

Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi
cedera.
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid

Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma
yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan
pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 18
persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia
basalis

Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan
ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak

Skor GCS dipakai sebagai penilaian objektif klinis beratnya cedera otak. Skor GCS
sama atau kurang dari 8 secara umum disebut sebagai koma atau cedera kepala berat. Pasien
dengan cedera kepala yang mempunyai skor 9 -12 di golongkan cedera kepala sedang,
sedangkan penderita dengan skor GCS antara 13-15 disebut cedera kepala ringan. Dalam
menilai GCS, bila terdapat asimetris kiri/kanan atau atas/bawah, maka yang dipakai adalah
respons motorik terbaik, karena ini adalah prediktor outcome yang paling terpercaya.
Namun, setiap orang harus mencatat, respons aktual pada setiap sisi tubuh, wajah, lengan,
dan tungkai.

2.6 Fraktur Tulang tengkorak

Fraktur tulang tengkorak bisa terjadi di tempurung kepala atau dasar tengkorak.
Fraktur bisa linear atau stellata, dan terbuka atau tertutup. Untuk melihat fraktur dasar
tengkorak biasanya diperlukan CT Scan dengan gambaran bone window. Gambaran
klinis fraktur basis kranium adalah ekimosis periorbital (racoon eyes), ekimosis
retroaurikuler (Battle’s sign), kebocoran LCS dari hidung (rhinorea) atau telinga
(otorrhea), dan gangguan N.VII dan VIII (paralisis otot wajah dan gangguan
pendengaran), yang terjadi segera atau beberapa hari setelah trauma. Adanya tanda-
tanda ini harus menimbulkan kecurigaan dan membantu dalam menegakan kecurigaan
dan membantu dalam menegakan adanya fraktur basis kranium. Fraktur yang
melewati kanalis karotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma,
atau trombosis), dan dipertimbangkan untuk dilakukan CT angiografi (CT-A) atau
dengan kateterisasi.

Fraktur kranial terbuka atau compund dapat menyebabkan adanya hubungan


antara scalp yang robek dengan permukaan otak, karena robekan duramater.

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan menjadi difus atau fokal, walaupun


seringkali kedua bentuk ini ada bersamaan.

Cedera otak difus berkisar dari mulai konkusio ringan sampai cedera iskemik
hipoksia berat. Pada konkusio, penderita mengalami gangguan neurologis nonfokal
sesaat yang seirng disertai dengan hilangnya kesadaran. Cedera difus berat sering
diakibatkan oleh gangguan hipoksik dan iskemik otak karena syok atau apneu lama
segera setelah terjadinya trauma. Pada keadaan ini, gambaran CT Scan pda awalnya
tampak normal atau otak tampak bengkak dan difus dengan hilangnya gambaran
substasnsia alba dan nigra yang normal. Gambaran difus lainnya, bisa tampak pada
cedera akibat kecepatan tinggi atau deslerasi, yang menyebabkan perdarahan punktata
(bercak-bercak) di seluruh hemisfer serebri, yang sering dilihat antara perbatasan
substansian alba dan nigra. “Sherring injuries” ini sering disebut dengan diffuse
axonal injury (DAI), yang didefinisikan sebagai sindrom klinis dari cedera otak berat
dengan bentuk yang bervariasi namun dengan outcome yang buruk.

Cedera otak fokal, lesi fokal meliputi hematoma epidural, hematoma subdural,
kontusio, dan hematoma intraserebral.

Hematoma Epidural. Hematoma epidural relatif jarang, terjadi pada kira-kira


0,5% penderita dengan cedera otak dan pada 9% pemderita TBI yang koma.
Hematoma epidural berbentuk bikonveks atau lentikuler karena dia menekan dura dari
tabula imterna tulang tengkorak. Paling sering terjadi di daerah temporal atau
temporoparietal dan disebebkan oleh robekan arteri meningea media karena adanya
fraktur. Biasanya bekuan darah berasal dari arteri, namun bisa juga disebabkan
robekan sinus venosus besar atau perdarahan dari fraktur tulang tengkorak. Adanya
interval lucid antara waktu cedera dan gangguan neurologis adalah gejala klasik
hematoma epidural.

Hematoma Subdural. Hematoma subdural lebih sering terjadi dibandingkan


perdarahan epidural, terjadi pada kira-kira 30% penderita dengan cedera otak berat.
Sering diakibatkan karena robeklan pada bagian kecil permukaan atau pembuluh
darah di korteks serebri. Berlawanan dengan hematoma epidural yang berbentuk
lentikuler pada CT Scan, hematoma subdural lebih sering tampak mengikuti bentuk
permukaan otak. Kerusakan otak yang menjadi dasar dari hematoma subdural akut
lebih berat daripada yang terjadi pada hematoma epidural karena terjadinya kerusakan
parenkim pada saat yang bersamaan

Kontusio dan Hematoma Intraserebral. Kontusio serebri cukup sering terjadi


(kira-kira 20% sampai 30% dari cedera otak berat). Kontusio paling sering terjadi
pada lobus frontal dan temporal. Kontusio dalam beberapa jam atau hari bisa menajdi
hematoma intraserebral atau saing bergabung sehingga menimbulkan efek massa
sehingga perlu dilakukan pengeluaran tindakan dengan operasi segera. Hal ini terjadi
pada 20% yang datang dengan gambaran CT Scan kepala kontusio cerebri pada
awalnya. Karena alasan ini, pasien dengan kontusio serebri perlu menjalani CT Scan
ulang utnuk mengevaluasi perubahan cederanya dalam waktu 24 jam setelah CT Scan
awal.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis

a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid


b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)

2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis

3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial

4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal


5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi

Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis


1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle‟s sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Doll‟s eye phenomenone
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi

HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)

2. Kesadaran makin menurun

3. Late hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur di daerah temporal

Hematoma Epidural di Fossa Posterior


Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital

3. Kehilangan kesadaran cepat

4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan

5. Pupil isokor

Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks .

Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural. (Dikutip dari:


http://classic.muhealth.org/neuromed/images/epidural.jpeg)

HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya „bridging vein´
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari

b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu

c. Kronik : interval lucid >3 bulan

Hematoma Subdural Akut


Gejala dan tanda klinis:
Sakit kepala

Kesadaran menurun

Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid,
umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit

Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural. (Dikutip dari:


http://webmm.ahrq.gov/media/cases/images/case6_fig1.jpg)

HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono-
atau multiple.
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)

FRAKTUR BASIS KRANII


1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
- anosmia

2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea

3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
1. - Bilateral mastoid ecchymosis/battle‟s sign

Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda kllinis :
- Koma lama trauma kapitis

Gambar 11. CT Scan Subarachnoid Hemorrhage (Dikutip dari:


http://www.neurographics.org/3/1/2/4.shtml)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah tepi lengkap

Gula darah sewaktu

Ureum kreatinin

Albumin serum (hari ke-1)

Analisa gas darah (Astrup)

Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)

Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis

Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah leher/ collar
neck yang telah terpasang tidak dilepas)

Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi


Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema, kontusio,
hematoma)
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri

PENATALAKSANAAN
3. Tatalaksana Cedera Kepala

TBI minor (MTBI) didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan adanya riwayat
disorientasi amnesia, atau hilangnya kesadaran sesaat pada pasien yang sadar dan bisa
bicara. Ini artinya skor GCS berada antara 13 dan 15 . Riwayat hilangnya kesadaran
sesaat sulit untuk dikonfirmasi dan gambaran ini juga sering dikacaukan dngan
pengaruh alkohol dan zat intoksikasi lainnya. Namun, kondisi kelainan mental itu
tidak boleh ditegakan sebagai faktor mental itu tidak boleh ditegakan sebagai faktor
penyerta sampai cedera otak benar-benar disingkirkan.

Kebanyakan pasien dengan cedera otak ringan dapat sembuh tanpa gejala sisa.
Kira-kira 3% mengalami gangguan yang tidak diharapkan, potensial menyebabkan
disfungsi neurologis yang berat kecuali bila penurunan status mental dapat dideteksi
sejak dini.

Secondary survey penting dalam mengevaluasi pasien dengan MTBI. Perhatikan


mekanisme trauma, khususnya riwayat hilangnya kesadaran meliputi lamanya
hilangnya kesadaran, adanya kejang dan derajat kesadaran sebelumnnya. Tentukan
durasi amnesia sebelum (retrograde) dan setelah (anterograde) trauma. Pemeriksaan
dan pencatatan skor GCS secara serial penting pada penderita dengan skor GCS < 15.
CT Scan adalah metode pencitraan yang terpilih. Ct Scan sebaiknya dilakukan pada
semua penderita dengan kecurigaan cedera otak yangh secara klinis mengalami
fraktur tengkorak terbuka, ada tanda fraktur basis cranium, muntah lebih dari dua kali,
pasien berusia lebih dari 65 tahun. CT Scan dipertimbangkan bila penderita
mengalami hilangnya kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia retrograde lebih dari 30
menit, mekanisme trauma yang berbahaya, sakit kepala berat, atau defisit neurologis
fokal karena kelainan otak.

Bila hal tersebut diterapkan pada pasien GCS 13, kira-kira 25% akan menunjukan
CT dengan kelainan akibat trauma , dan 1,3% memerluakn tindakan bedah saraf. Bila
diterapkan pada pasien GCS 15, 10 % akan menunjukan hasil CT Scan adanya trauma
dan 0,5 %memerlukan tindakan bedah saraf. Berdasarkan bukti-bukti baru terbaru
tersebut, maka tidak ada lagi pasien dengan cedera otak yang signifikan atau
memerlukan tindakan bedah saraf akan lolos.

Permintaan CT Scan tidak boleh menunda pasien untuk di rujuk.

Jika ditemukan abnormalitas CT Scan, atau bila keluhan pasien menetap atau
tetap menunjukan kelainan neurologis, maka pasien harus dirawat dan di
konsultasikan ke ahli bedah saraf.

Bila pasien tidak ada keluhan dan kelainan neurologis, maka pasien di observasi
selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan bila tetap normal bisa dipulangkan.
Idealnya pasien dipulangkan dan di awasi oleh orang yang bisa mengawasinya selama
24 jam berikutnya. Bila pasien tidak sadar atau orientasinya belum cukup baikuntuk
mengerti instruksi verbal dan tertulis, maka keputusan untuk memulangkan harus
diperimbangkan kembali.

Terapi Kasus ringan


1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit

Terapi Cedera Kepala Ringan


Indikasi rawat inap CKR:
Nilai GCS <15

Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia


Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo

Fraktur tulang kepala

Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah

Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma intrakranial

Tujuan rawat inap CKR:


Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)

Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca trauma


berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup

Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural


Unit terkait
PPM bedah saraf bila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang perlu tindakan
bedah.

Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat


Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C)
A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal

Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu

 Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi

B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten

- Bila perlu pakai ventilator

C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan

- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat per infus

- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
Pemeriksaan fisik CKS/CKB
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
- Kesadaran

- Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan

- Pupil

- Defisit fokal serebral

- Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim)7

Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder.

Tekanan Intra Kranial meninggi


Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK
normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan cara:

- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan antara 30-35
mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila
TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm.

Loop diuretik (furosemid)


Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum
oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu bidang.

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan
jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥
30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi
gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH),
pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula
darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah

Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2
g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam

- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa

- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan
keseimbangan elektrolit.

Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan saraf
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam
12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.

Komplikasi
- Epilepsi/kejang

Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang
pasca CKB, yaitu:
GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak, Hematom Subdural,
Hematom Epidural

Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun waktu <24 jam
pasca cedera

Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan dengan fenitoin
200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari

Profilaksis:

Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama 7-10 hari.

- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis,
misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk
gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan
serebrospinal negatif.
- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan tindakan
menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat
antipiretik.

Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan 19-
24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan
rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah
terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama
H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v
selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole.

Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan penguncupan vena-
vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen.

Indikasi operasi penderita trauma kapitis


1. EDH (epidural hematoma):
a. > 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi batang
otak masih baik.
b. >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih
baik
c. EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
2. SDH (subdural hematoma)
a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang
otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.

PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.

PENCEGAHAN DAN EDUKASI


Yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat

Penggunaan helm penyelamat dan memadai. Angka kematian 4600 (1962) 2400 (1992)

Penggunaan sabuk keamanan 11% (1982) 66% (1992)

Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi terhindar dari
kerusakan yang serius

Perilaku pengemudi

Kecepatan kendaraan
KESIMPULAN
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap
cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak
menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder),
berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi
(vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural, subdural, subarakhnoid,
intraserebral, intraserebellar]), dan berdasarkan GCS (simple head injury, CKR, CKS, CKB)
guna menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif,
dan prognosis.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan
pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada
kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan
penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus
CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan
Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil,
defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi,
Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi,
infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi
/neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis
bergantung pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan
masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk
keamanan, perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:


Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.

3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan


Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.

4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042.

5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117.

6. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. 2007. p51-58

Anda mungkin juga menyukai