Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

KARSINOMA KOLOREKTAL DAN PENANGANANNYA

Disusun Oleh:
Rizweta Destin (1102009253)

Pembimbing :
Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MH.Kes, FInaCS, ICS.

Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI


Bagian Ilmu Bedah RSUD Arjawinangun
Juli 2013
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam penulis
panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulisan referat dengan judul
Karsinoma Kolorektal dan Penanganannya dapat terselesaikan
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian
neurologi RSUD Arjawinangun.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MH.Kes, FInaCS, ICS. sebagai pembimbing
2. Perawat SMF bedah yang telah membantu dan berbagi ilmu dengan penulis
3. Ayahanda dan ibunda yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat yang tiada
henti kepada penulis
4. Rekan-rekan kepaniteraan SMF bedah, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
wawasan penulis. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan referat ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga referat ini dapat memberikan manfaat,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Arjawinangun, Juli 2013

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi.. 2

I. BAB I
A. Pendahuluan. 3

II. BAB II
A. Anatomi. 4- 7
B. Definisi.. 7
C. Epidemiologi. 8-9
D. Etiologi.. 9-11
E. Faktor Predisposisi. 11-17
F. Patogenesis.... 18-21
G. Klasifikasi . .. 21-22
H. Manifestasi Klinis............ 22-25
I. Diagnosis.............. 25-33
J. Diagnosis Banding........... 33
K. Tatalaksana .. 34-44
L. Komplikasi 44
M. Prognosis.. 44-45
III. BAB III
A. Kesimpulan. 46

Daftar Pustaka 47
BAB I
PENDAHULUAN

Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.1,4
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.2
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang 4erada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, anemia
simptomatik dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
Pembagian tahapan berdasarkan klasifikasi Duke yaitu tes darah lengkap, digital
dubur, barium enema, sigmoidoskopi, kolonoskopi. Terapi terdiri dari kuratif dan terapi
paliatif. Pengobatan kuratif adalah dengan operasi. Terapi paliatif dengan kemoterapi dan
radiasi.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Histologi

Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum,
kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri
dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada
lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan
sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut
appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa,
terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan
submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku
yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau
kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah pindah atau menghilang.

Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior


dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang
memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri
adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan
arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan
cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica
superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica
media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum dan
mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri
colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti pembuluh
darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior
yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke nn. ileocolica, nn.
colica dextra, nn. colica media, nn. colica sinistra dan nn. mesenterica inferior. Kemudian
mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.

Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra
sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan
pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra
letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga
lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.
Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon
transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica superior
pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat arterialisasi
dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior .

Gambar 2.1. Arteri Mesenterica Superior

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon


transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut
radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli
dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut
ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan
duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari
mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Gambar 2.2. Arteri Mesenterica Inferior

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra
sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal
karena hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus
lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang
arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri
mesenterica inferior.

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi


toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan
yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang
tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam
cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral
dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum
pada dinding mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat
dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri
mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena
haemorrhoidalis superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena
ini yang bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena
haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat
hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang
penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar
sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang
berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri
iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini
terdapat reccessus intersigmoideus.1,4,5

Gambar 2.3 anatomi kolon dan rektum

II. II Karsinoma Kolorektal

II. II. 1 Definisi Karsinoma Kolorektal

Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam permukaan
usus besar atau rektum.1
II. II. 2 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal

Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4 di dunia
dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk. Angka insiden tertinggi terdapat pada
Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru, sedangkan angka insiden terendah terdapat
pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua
sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Dewasa ini
kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data
yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan
salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.1,4

Gambar 2. 4 Kasus kanker di Indonesia


Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:1

6.8%

8.7% 11.7%

Sekum Sigmoid
1.9% 9.7%

51.5%

Gambar 2. 5 Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi

II. II. 3 Etiologi Karsinoma Kolorektal

Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :


Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.
Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini.

Syndrome % of Genetic Phenotype Extracolonic Treatment Notes


total basis manifestations
CRC
burden
Familial <1% Mutasi <100 CHRPE, TPC with Variants
adenomatous pada gen adenomatous osteomas, end- include Turcot
polyposis suppress polyp; near epidermal cysts, ileostomy or (CNS tumors)
(FAP) or tumor 100% with periampullary IPAA or and Gardener
APC CRC by age neoplasms TAC with (desmoids)
(5q21) 40 yr IRA and syndromes
lifelong
surveillance
Hereditary 5%7% Defective Polyps sedikit, At risk for Genetic High
nonpolyposis mismatch predominantly uterine, ovarian, counseling; microsatellite
colorectal repair: right-sided small intestinal, consider instability
cancer MSH2 CRC, 80% pancreatic prophylactic (MSI-H)
(HNPCC) and lifetime risk of malignancies resections, tumors, better
MLH1 CRC including prognosis than
(90%), TAH/BSO sporadic CRC
MSH6
(10%)
Peutz-Jeghers <1% Kehilang Hamartomas Mucocutaneous Surveillance Majority
(PJS) an tumor throughout GI pigmentation, EGD and present with
suppress tract risk for colonoscopy SBO due to
or gene pancreatic q3 yr; resect intussuscepting
LKB1/ST cancer polyps >1.5 polyp
K11 cm
(19p13)
Familial <1% Mutasi Hamartomas Gastric, Genetic Presents with
juvenile SMAD4/ throughout GI duodenal and counseling; rectal bleeding
polyposis DPC tract; >3 pancreatic consider or diarrhea
(FJP) (18q21) juvenile neoplasms; prophylactic
polyps; 15% pulmonary TAC with
with CRC by AVMs IRA for
age 35 yr diffuse
disease
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented epithelium; CNS,
central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal
anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal
hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Tabel 2. 1 Sindroma kanker familial

Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-
9 x untuk dapat terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak jenuh
meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk individu
dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari
negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini. 6,7

II. II. 4 Faktor Predisposisi Karsinoma Kolorektal

1. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram).
Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif
pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein
dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik
dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui
siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen
gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah
satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker
dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi
ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan
menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering
terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang
tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan
villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85%
tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.

Gambar 2.6. Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat
dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi
untuk menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan
dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4
kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai
multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat
displasia. Potensi untuk menjadi ganas semakin besar dengan bertambahnya ukuran. Bila
diameternya kurang dari 1 cm risiko keganasan 1%, bila ukurannya antara 1-2 cm risiko
keganasan naik menjadi 10%, dan bila ukurannya lebih dari 2 cm risiko keganasannya 35
50%. Juga jenis PA nya, bila jenisnya tubuler potensi keganasannya 5%, sedangkan jenis
villosa 40%, dan biasanya jenis campuran tubulovillosa yang potensi keganasannya 22%.

Gambar 2.7. Polip Neoplastik


Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous adenoma, (D)
karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah
villous adenoma

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease


2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada
pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan
asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis
dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.

2.2 Penyakit Crohns


Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar 20%.
Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada
tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty
menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan
strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohns disease.6,7

3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal
pada keluarganya.

3.2 Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal
cancer (HNPCC).
A. FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus
dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali
sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP
termasuk gardners syndrom dan turcots syndrom.

B. HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II. Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (45
tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari
abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana
predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.
Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous,
dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih,
ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal,
tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-
cell, reaksi yang mirip crohns (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada
perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon
yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan
proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria
amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi dari kanker kolorektal yang dikarenakan
HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar 1-6 %.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker
kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien
kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC
terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.

4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya
adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi
dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut
dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara
experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-
inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang
berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal,
dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.

5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih
dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya
risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan
energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas
fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan
dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang
berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa
penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan
resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.

Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :


1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis dan Peutz jagers
sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal. 1,2,3,7
II.II. 5 Patofisiologi Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati rentang masa
yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan berbagai perubahan
genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan
sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan
pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma).
Faktor lingkungan yang berperan pada karsinogenesis kanker kololrektal dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Faktor Lingkungan Yang Berperan Pada Karsinogenesis Kanker Kololrektal
1. Probably related
a. Konsumsi diet lemak tinggi
b. Konsumsi diet lemak rendah
2. Possibly related
a. Karsinogen dan mutagen
b. Heterocyclic amines
c. Hasil metabolisme bakteri
d. Bir dan konsumsi alkohol
e. Diet rendah selenium
3. Probably protektif
a. Konsumsi serat tinggi
b. Diet kalsium
c. Aspirin dan OAINS
d. Aktivitas fisik (BMI rendah)
4. Possibly protekstif
a. Sayuran hijau dan kuning
b. Makanan dengan karoten tinggi
c. Vitamin C dan E
d. Selenium
e. Asam folat
5. Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
6. Hormone Replacement Theraphy (estrogen)
Tabel 2.2 Faktor lingkungan yang berpengaruh pada karsinoma kolorektal
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol
pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan
akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan
sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker
kolorektal yaitu : instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas
mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang kepada sel
anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh
hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair (MMR) dan merupakan
terbentuknya kanker pada sindrom Lynch. 1,5,6
Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada perubahan dari
adenoma kolon menjadi karsinoma kolon.

Gambar 2.8. mutasi genetik kanrsinoma kolorektal

Awal dari proses terjadinya karsinoma kolon yang melibatkan mutasi somatik terjadi
pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi
pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng selanjutnya berkembang menjadi
adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi pada adenoma kolon yang
berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal.
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor
tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat proliferasi sel
yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA
tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel dengan kerusakan DNA yang
lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang
berisi beberapa alele (misal loss of heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen
supresor tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan
transformasi akhir menuju keganasan.1
Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Gambar 2.8. perubahan genetik dan gambaran klinik

II.II. 6 Klasifikasi Karsinoma Kolorektal

Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada gambar di


bawah ini8 :
Staging tumor menurut TNM. 7

a. Stadium 0 : stadium kanker insitu; pada stadium ini, sel yang abnormal masih
ditemukan pada garis batas dalam dari kolon (muskularis mukosa)
b. Stadium 1 : stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam dari
kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar keluar kolon.
c. Stadium 2 : stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon
hingga lapisan ketiga dan lapisan lemak atau kulit tipis yang mengelilingi kolon dan
rektum. Namun belum mengenai kelenjar limfe.
d. Stadium 3 : stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi belum
menyebar ke bagian lain daripada tubuh.
e. Stadium 4 : stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh seperti
hati dan paru-paru

II.II.7 Manifestasi Klinis Karsinoma Kolorektal

Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang
paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus
(hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan tanda-tanda
fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan invasi lokal
kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon desendens dan
kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal.
Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi
akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah
sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan
umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus. Tumor yang terletak
lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang
proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan
tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut
dapat terjadi bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara
kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke
lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri
perut, ikhterus dan hipertensi portal.
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di dalam
usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih besar
daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor yang terletak di usus
bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak
tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di
kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang
tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan
kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah
kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini
adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah
gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien dapat mengalami perubahan dalam pola
defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber feses. Perdarahan
adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah merah yang melapisi permukaan feses
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker
kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum
terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang
menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB.
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur
dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker
tetap harus dipikirkan. 1,3,9,11
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.3,6,9
Faktor yang membedakan gejala dan tanda8

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM


ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA FESES Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN UMUM
Tabel 2.3. Gambaran klinis karsinoma kolorektal

II.II. 8 Diagnosis Karsinoma Kolorektal

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik


pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk kanker kolon
adalah pengujian darah samar, enema barium, proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak
60% kasus dari kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi
atau apusan sitologi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi metastase
dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam pengobatan. Area
supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas
operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm
steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau
nyeri tekan pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau
melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen
ialah timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada
auskultasi didengarkan bising usus. Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa
yang rata, keras, oval atau melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus
ditentukan ukuran dan derajat perlekatan jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat
didapatkan darah pada sarung tangan. 2, 3,

Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal
dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong
douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi
jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon
dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk
mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.

Rectal toucher untuk menilai :


Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah
berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis
anorektal sampai tumor.1
II.II. 9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika


terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat
sitologi akan sangat berguna.

2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu
insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal.
Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit
dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan
faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada
monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering
diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna
sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai
CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase
karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

3. Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru
oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna
dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di
dalam diet. Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus
untuk menghindari hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi
dari occult blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10
mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang
perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber
perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara
intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif.
Proses pengolahan, manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood
dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini
sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

4. Barium Enema

Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema,
yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik
ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya
sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan
perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium
peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat
menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.

a. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop


Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)
Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan tidak
bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.
- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon
sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)
Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.1,2,3,6
Gambar 2.9. Double kontras barium enema

5. Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.11

Gambar 2. 10. Lower endoscopy


6. Proktosigmoidoskopi

Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.

7. Flexible Sigmoidoskopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai
bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi
dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk
indikasi terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus,
seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur
50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon.
Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi
untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10%
pasien. 9,10

8. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih
baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi
juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.
Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari
inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal
bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi diagnostik.

9. Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.

10. CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai
55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.

Gambar 2. 11. Gambaran CT scan invasi tomor ke dinding usus


11. MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya
yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis
ke hepar.

12. Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian 33erirectal33e dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60%
untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor
seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan.1, 2,7

Gambar 2.12. endoskopi

Persentase akurasi dari semua pemeriksaan dalam menegakkan karsinoma kolorektal8


Kesimpulan untuk mendiagnosis karsinoma kolorektal8

Right colon 1. Anemia and weekness


2. Occult blood in feces
3. Dyspepsia
4. Right abdominal mass
5. Typical abdominal x-rays
6. Colonoscopy findings
Left colon 1. Changes in bowel habit
2. Blood in stool
3. Symptoms and sign of obstruction
4. Photo of typical rontgen
5. The discovery of a colocnoscopy
Rectum 1. Rectal bleeding
2. Blood in stool
3. Changes in bowel habits
4. A feeling of fullness or feeling of
dissatisfaction after defecation
5. The discovery of tumor
rectosigmoidoscopy

II.II.10 Diagnosis Banding Karsinoma Kolorektal

Diagnosis banding dari karsinoma kolorektal terdapat pada tabel dibawah ini8
II.II. 11 Tatalaksana Karsinoma Kolorektal

Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah terjadi
metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi karsinoma
kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari
pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong
seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat
diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam
lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang kuat terhadap
CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan harus
dilkukan subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker
secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi,
maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan
anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass. 1, 6

Stage 0 ( Tis, N0,M0)


Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak memiliki resiko
metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko
karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas
dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien
iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip tidak rekuren dan tidak
terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat diangkat seluruhnya, maka dilakukan
reseksi segmental.

Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)


Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan metastasis ke
kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening berdasarkan kedalaman invasi
polip. Pada invasi limfovaskular, histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental
kolektomi.

Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)


Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan dengan operasi reseksi.
Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium 1 dapat berkembang rekurensi lokal atau
jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan
reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi ajuvan
disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko tinggi).

Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)


Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang tinggi
terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada pasien
ini. Regimen yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin
emngurangi rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru
ialah as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan immunotherapy.

Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)


Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan penyakit sistemik, sebanyak
15% akan bermetastase ke hati. Pada stadium ini, sebanyak 20% potensial reseksi untuk
sembuh. Angka survival pada pasien reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan pasien
yang tidak direseksi. Semua pasien membutuhkan kemoterapi ajuvan. Pasien yang
tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi. Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting
untuk lesi obstruksi kolon kiri.

Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma ( jinak dan ganas),
inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah pada bagian
kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kuratif dari karsinoma
kolorektal dicapai dengan ligasi pembuluh darah mesenterika proksimal dan
pembersihan kelenjar getah bening mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses
benign, tidak diperlukan reseksi mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.
Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan hemoragi. Pada keadaan
ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan
atau proksimal tranversal, anastomsosi oleocolonic dapat dilakukan.
Reseksi laparoskopik
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi nyeri post operasi
dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus besar secara laparoskopik
membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding operasi secara terbuka. 2, 3, 7

Gambar 2. 12. Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer


Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker

pasien, seperti bagan bawah ini: 5

Penentuan stadium

A B C

Tumor metastasis
Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C

Pembedahan radikal Pembedahan radikal Pembedahan


paliatif

Observasi Observasi

Percobaan klinis
dengan terapi ajuvan Kemoterapi

Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang digunakan dapat berupa
handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik ini terutama
dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan dalam kolostomi atau anastomosis
usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik ini dilakukan
pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.
4. Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah atau segmens
usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
End to end End to side

Side to side
Gambar 2. 13. Anastomosis

Kolostomi
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding dengan loop
kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan
akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui
dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmanns pouch.
Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan
odentifikasi usus distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi dikarenakan
terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi lebih sedikit beresiko.

Gambar 2. 14. Kolostomi


Karsinoma rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma kolon dan prinsip
operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar getah bening dan organ apapun yang
terkena. Akan tetapi diakrenakan struktur dari pelvis maka reseksi lebih sulit dan
membutuhkan pendekatan lain. Rekurensi lebih tinggi dibanding dengan kanker kolon
dengan stadium yang sama. Akan tetapi, tumor rektum lebih sensitif dengan radiasi.

Terapi lokal
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus. Karena itulah,
beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang benign, noncircumferential dan
adenoma villous dilakukan dengan baik dengan eksisi transanal. Akan tetapi rekurensi tinggi
walau dengan terapi kemoradiasi. Transanal endoscopic microsurgery (TEM) dioperasikan
dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat serupa dengan laparoskopi yang membuat
eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat yang lebih tinggi yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi
harus diikuti dengan eksisional biopsi.
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga dapat digunakan.
Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya spesimen patologis untuk diketahui
stadiumnya. Teknik ini digunakan pada individu dengan resiko tinggi yang tidak dapat
mentoleransi terapi radikal lainnya.

Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak kasus karsinoma
rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang terkena bersama dengan limfovaskularnya.
Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan diseksi tajam
untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal. Untuk tumor rektosigmoid, eksisi
partial mesorektal paling tidak sepanyak cm distal dari tumor. TME menurunkan rekurensi
dan meningkatakan survival. Teknik ini hanya sedikit dari yang hilang dibanding dengan
operasi tajam.

Terapi spesifik stadium


Sebelum dilakukan terapi dilakukan ultrasound endorektal untuk mengetahui T dan N dari
kanker rektum. USG ini baik untuk mengetahui kedalaman tumor namun kurang akurat
dalam diagnosis keterlibatan nodus limfatikus.
Stage 0 (Tis, N0,M0)
Karsinoma in situ ( displasia tingkat tinggi) secara ideal diterapi dengan eksisi lokal.

Stage I: Localized Rectal Carcinoma (T1-2, N0, M0)


Karsinoma invasif yang berasal dari polip pedunkulated hanya memiliki < 1% resiko
metastasis. Terapi yang dapat dilakukan ialah polipektomi. Terapi lokal dapat dilakukan
namun angka rekurensi tinggi. Untuk alasan ini, maka dilakukan reseksi radikal.

Stage II: Localized Rectal Carcinoma (T3-4, N0, M0)


Tumor rektum yang besar sering terjadi lagi. Ada 2 pendapat untuk mencegah rekurensi yaitu
tidak diperlukannya kemoradiasi ajuvan setelah dilakukan TME untuk stadium 1,2 dan 3.
Pendapat lainnya ialah diperlukannya kemoradiasi. Keuntungan kemoradiasi preoperasi ialah
pengecilan ukuran tumor, mereseksi menjadi lebih mudah. Kerugiannya ialah overtreatment
dari tumor masa awal, penundaan penyembuhan uka dan fibrosis pelvis.

Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)


Banyak pendapat yang menyarankan kemoterapi dan radiasi pre atau post operasi untuk
kanker rektal dengan keterlibatan kelenjar getah bening. Keuntungan dan kerugian sama
seperti yang diungkapkan di atas. Untuk alasan ini, pasien diterapi dengan neoajuvan terapi
diikuti dengan reseksi radikal.

Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)


Sama seperti stadium 4 karsinoma kolon, angka harapan hidup terbatas dengan pasien
metastasis. Metastasis ke hepar jarang namun bila ada reseksi dapat menyembuhkan untuk
beberapa pasien. Kebanyakan pasien memerlukan terapi paliatif. Reseksi radikal dapat
digunakan untuk mengontrol nyeri, perdarahan atau tenesmus. Terapi lokal dengan kauter
atau laser digunakan untuk mengontrol perdarahan atau mencegah obstruksi. Intraluminal
stent berguna untuk mencegah obstruksi namun sering menyebabkan nyeri dan tenesmus. 6

Sistemik kemoterapi
Regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil sebagai terapi ajuvan maupun
metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa regimen kombonasi menyediakan
peningkatan efikasi dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat
capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau kombonasi dengan
oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum
5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu

Regimen untuk metastasis :


Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400 mg/m2
IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous
infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu

Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan
diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).
Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
4, 5, 10, 11
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.

Pencegahan

A. Endoskopi

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip


dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani
kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif
randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk
mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian trial untuk tes
ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan
polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan
kolonoskopi harus dilakukan.

B. Diet

Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang
mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai
efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National Research
Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982.
Rekomendasi ini diantaranya :
1. Menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori
2. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat
3. Membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan
4. Membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet
5. Mengurangi konsumsi alkohol.
C. Non Steroid Anti Inflammation Drug

Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac


dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip
bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip
bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data
lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari
polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada kanker kolorektal
familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian
aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.

D. Hormon Replacement Therapy (HRT)

Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002
orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT
dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan
risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT
menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT dihentikan. 9,11

II. II. 12 Komplikasi

Komplikasi primer dihubungkan dengan karsinoma kolorektal, antara lain :

a. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi

b. Perforasi dari dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi organ peritoneal

c. Perluasan langsung ke organ-organ yang berdekatan8

II. II. 13 Prognosis

Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan gambar di
bawah ini:1
Stadium Deskripsi histopatologi Bertahan 5
Dukes TNM Derajat tahun (%)
A T1N0M0 I Kanker terbatas pada >90
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 II Kanker mencapai muskularis 85
B2 T3N0M0 III Kanker cenderung 70-80
masuk/melewati mukosa
C TxN1M0 IV Tumor melibatkan KGB 35-65
regional
D TxN2M1 V Metastasis 5
BAB III
KESIMPULAN

Insidensi kolorektal di Indonesia cukup tinggi, serta mortalitas tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita. Sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid. Pemeriksaan colok
dubur merupakan penentu karsinoma rektum. Faktor risiko karsinoma kolorektal adalah
degenerasi polip kolon, faktor genetik, kurangnya makan makanan berserat seperti sayuran
dan buah-buahan bsayur, dan konsumsi tinggi lemak hewani.

Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum berdasarkan keganasan histologis


dibagi menurut klasifikasi Dukes dilihat dari infiltrasi karsinoma. Penyebaran karsinoma
kolorektal secara hematogen, limfogen dan perkontinuitatum.

Gejala klinis karsinoma usus besar di sebelah kiri berbeda dengan kanan. Karsinoma
kolon kiri menyebabkan stenosis dan obstruksi. Stenosis tinja pada karsinoma kolon kanan
jarang terjadi dan tinja masih berbentuk cair sehingga tidak ada obstruksi. Gejala pertama
biasanya timbul karena komplikasi, yaitu gangguan usus fisiologi, obstruksi, perdarahan, atau
akibat dari penyebaran. Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan buang air
besar. Perdarahan akut jarang dialami. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada usus besar
kanan. Rasa sakit dari usus besar kiri dimulai di bawah umbilikus, sedangkan dari usus besar
tepat di epigastrium.

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anammesis, pemerikssan


fisik, colok dubur, dan rektosigmoidiskopi atau kolon dengan kontras gambar ganda.
Komplikasi yang dapat terjadi pada karsinoma kolorektal adalah obstruksi dan perforasi.
Terapi terdiri dari kuratif dan terapi paliatif. Terapi kuratif adalah operasi n terapi
premises.Palliative dengan kemoterapi dan radiasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting Penyakit
Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65
3. Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of Clinical
Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347
4. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. Hal: 14-18, 36-42.
5. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 658-667
6. Schwartz. 2000.Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
7. Doherty GM. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill.
Hal: 658-668.
8. Utama HSY. 2012. Carcinoma Colorectal (CANCER) / Keganasan (KANKER) Kolon
dan Rektum (definition, sign, symptom, etiology, diagnosis and management). Available
online at : http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/04/carsinoma-colorectal-
defition-sign.html (diakses tanggal 30 Juni 2013)
9. Zieve, D. 2009. Colon Cancer. Available online at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/colorectalcancer.html (diakses 30 Juni 2013)
10. Mohammad, Wehbi. 2011. Familial Adenomatous Polyposis. Available online at:
www.emedicine.medscape.com (diakses 30 Juni 2013)
11. Fingerote, Robert J. 2011. Colon Cancer. Available online at :
http://www.emedicinehealth.com/colon_cancer/article_em.htm (diakses 30 Juni 2013)

Anda mungkin juga menyukai