Tandatangan:
REFERAT
CEDERA KEPALA
Pembimbing:
Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
LEMBAR PENGESAHAN
Cedera Kepala
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 1$ Desember 201( ) 2* +ebruari 2017
Disusun oleh:
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Yudi Yuwono W, Sp.BS selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa
2
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul /
tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian
besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih
rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar, serta rujukan yang terlambat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.
3
I.1 Anatomi Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
•
Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea
(keringat).
yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior),
m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
•
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi
SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini
disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan
setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
•
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat
erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.
4
Gambar 1. Lapisan kulit kepala.
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
5
Gambar 2. Tulang Tengkorak
1.3 Meningens
Merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang
melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu :
3.1 Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar,
terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada
endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater
merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.
3.2 Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS
(Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang
melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater
6
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya
pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf ota
1.4 Otak
Otak adalah salah satu organ terpenting dari manusia. Merupakan pusat dari sistem syaraf yang be
7
Gambar 4. Otak
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
4.1 Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak
yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki
Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar.
8
4.2 Cerebellum
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena
itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan
teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau
terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda.
Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
9
Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama
dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia.
Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan
korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu
fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana
yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh
indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya
rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah
Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti
menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini
sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta,
penghargaan dan kejujuran.
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
10
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari
otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg
(136 mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih
dari 40 mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah
cedera kepala semakin buruk prognosisnya.
Tabel 1. Nilai normal tekanan intrakranial (TIK)
11
2.2 Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin terekspansi. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
12
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
I.4 Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera
kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal
sebelum datang ke Rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala.
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir
15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data
menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada
usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan
tindakan operasi.
Data-data yang didapat di Indonesia (2000) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas
dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera
kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (2002), terjadi 96% trauma kapitis yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda ±
25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan
konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda
motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm
yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah
helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat
penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala membentur permukaan tanah atau
aspal.
I.5 Etiologi
13
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb),
olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang,
batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga,
I.6 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologi yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
1. Mekanisme
14
• Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,
selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul
2. Berat
Klasifikasi beratnya cedera kepala ditentukan dengan menggunakan Skala Koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale) yang dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat.
Tabel 2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Skala Koma Glasgow.
Catatan : pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <
10 menit, tanpa deficit neurologic, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat
Mengikuti perintah
Respon motorik (M)
15
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
16
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
3. Morfologi
a. Laserasi Kulit Kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (SCALP) yaitu skin, connective tissue
dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan
ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur
tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang
terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
17
• Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
• Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada
satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau
terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga
menghasilkan fraktur depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari
besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.
c. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT
scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis.
Epidural Hematome
18
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
Subdural Hematome
Subdural hematoma (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arachnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan
atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
19
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit)
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom
di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom subdural.
SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas
ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi pada ruang subarachnoid (antara
piamater dan arachnoid). Biasanya kondisi ini disebabkan oleh trauma yang
merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi
pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena.
Gejalan yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala, gangguan kesadaran,
dan kaku kuduk. Pemeriksaan CT Scan untuk kondisi ini memiliki
20
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada
di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
Cedera Diffus
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien
mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa
yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung
pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah
membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari
derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat
berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya
tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga
mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema
di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat
kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang
berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue
tear hemorrages.
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari
6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal
21
baik berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI
ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana penderita
secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak
mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar.
Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson
I.8 Anamnesis
22
- Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit
penyerta), Last Meal, (νent)(nνironment yang berhubungan dengan kejadian
trauma
• Komplikasi / Penyulit
- Memakai helm atau tidak (untuk kasus kecelakaan lalulintas)
P Pi n g a n ta u ti d a k
- A A d a s e sak n af a s , batuk-batuk
- Muntah atau tidak
- Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
- Adanya kejang atau tidak
- Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
- Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
- Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
- Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah
mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
2. Primary Survey
a. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
• Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.
• Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada
obstruksi parsial.
• Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
• Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut
definitif memerlukan pemasangan selang udara.
• Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
pada leher.
• Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan
multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai
kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan
23
• Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang
baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
• Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah
pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
• Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
• Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.
Catatan:
- Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan
kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.
- Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus
dikenali pada secondary survey
Keterangan tambahan :
- Gejala tension pneumothoraks
Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,
hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan
distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
- Gejala Flail Chest
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan
abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
- Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
- Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas. Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat
karena perdarahan. Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain. Pada
perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar atau
menghilang.
sebaliknya.
• Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
24
• Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan
pada luka.
$. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU:
- A : sadar (Alert)
- V : respon terhadap suara (Verbal)
- P : respon terhadap nyeri (Pain)
- U : t id a k b e r sp o n ( U n r e p on i v e )
Gla s g o w C o m a S c a le a d al a h s i ste m s k o r ing
sederhana dan dapat memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum
dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat dilakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
• Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
O Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
O Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
O Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
O Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
O Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
O Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
25
O Tanda neurologis fokal
O Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma
kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai
terbukti sebaliknya.
e. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.
3. Secon$ary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe e*amination), termasuk
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien
dengan cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya
gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala. Jika tidak ada CT scan
kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah +-ray foto kepala untuk melihat adanya patah
tulang tengkorak atau wajah.
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360
derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan
dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya.
Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya
(Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah
seperti berikut:
26
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
BAB II
TATALAKSANA
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya
27
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
28
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah,
tanpa disertai defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi
pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk
menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
29
Tindakan Di Unit Gawat Darurat & Ruang Rawat
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan
pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenic sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli
paru, atau infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat
meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia Karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks,
atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya),
defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan
salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
30
indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi se
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai
salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR).
Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka
leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama
penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang
mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat,
tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu
acuan prediktor yang sederhana.
b. Gula darah sewaktu (GDS) (10)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL dan OR 39,82 untuk GDS >220
mg/ dL.
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu, karena manitol merupakan zat hyperosmolar
yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang
buruk, manitol tidak boleh diberikan.
d. Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2
tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga
tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
e. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
31
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal
adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada
pada satu bidang.
b. Terapi diuretik:
• Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan
dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas
tidak melebihi 310 mOsm.
• Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, Karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari, cuprum 1-3
mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50
mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl
avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah
terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah
regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila
pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk
mengurangi risiko flebitis.
BAB III
Komplikasi
1. Koma
32
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita
pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau
menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
2. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early sei0ure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
3. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
4. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan menurunkan
suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan
perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik
dengan dosis sesuai berat badan.
5. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan
lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stress ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stressor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi Karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet
peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari.
33
6. Kerusakan Saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga
terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi
paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang
menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
Hilangnya kemampuan kognitif: Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi
dan memori. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah ini.
8. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang yang
nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter
untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi
kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi
pernapasan.
Prognosis
Prognosis cedera kepala secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal.
Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa system penskoran,
antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) adalah penskoran
MNM (Mata, Napas, Motorik). Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian
dan kondisi hidup dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow 1utcome Score. Prediksi
luaran pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur,
beratnya cedera berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk
luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacedera yang menetap
lebih dari 1 jam, fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik atau gejala neurologic saat keluar
dari rumah sakit, yang akan memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan
mereka yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di atas.
34
BAB IV
PENCEGAHAN
Karena penyebab utama terjadinya sebagian besar cedera kepala adalah dikarenakan
kecelakaan lalulintas, maka cara pencegahan yang paling efektif adalah dengan mengedukasi
para pengguna kendaraan bermotor. Edukasi yang dapat diberikan antara lain perilaku dan
keamanaan saat berkendara, seperti pengguna helm berstandar nasional pada pengguna
kendaraan roda dua. Penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan roda empat atau lebih,
serta alat keamanaan tambahan pada kendaraan seperti kantong udara ataupun rem yang
harus diperhatikan. Selain itu juga kita dapat mengedukasi tentang perilaku pengendara,
seperti jangan mengemudi kendaraan di bawah pengaruh minuman beralkohol, mematuhi
rambu-rambu lalulintas dan terutama tidak kebut-kebutan.
BAB V
PENUTUP
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
35
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap
cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak
menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder),
berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi
Daftar Pustaka
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian S.
nd
36
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 th
Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes: Neurologi.
8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@KQoKCDUA
AGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journal:9&nmid=19874711.
Accessed on: November 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed on
November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1067-
1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p12-18
11. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-193 vol. 39
37