Anda di halaman 1dari 47

PENATALAKSANAAN TRAUMA

KAPITIS
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi
RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Disusun Oleh :

PUTRA BUDI TARIGAN


(101001188)

Pembimbing :

dr. DALTON SILABAN, Sp.S


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD dr. H. KUMPULAN PANE
TEBING TINGGI
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatakan kepadaTuhan Yang Maha Esa, yang masih
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Tulisan ini berjudul penatalaksanaan trauma kapitis, ditulis guna memenuhi
persyaratan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Neurologi
RSUD dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
Dalam kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. Dalton Silaban, Sp.S sebagai pembimbing serta dokter-dokter lainnya yang telah
banyak memberikan bimbingannya selama kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Saraf.
Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapakan ktirik dan saran dari pemabaca sekalian.
Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
menggunakannya.

Tebing Tinggi, September 2015


Penulis,

Putra Budi Tarigan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................

2.1

ANATOMI ...........................................................................................

2.2

FISIOLOGI ..........................................................................................

2.3

MEKANISME DAN PATOLOGI.........................................................

2.4

GAMBARAN KLINIS.........................................................................

15

2.5

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA.....................................................

17

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG .........................................................

18

2.7

PENATALAKSANAAN ......................................................................

18

2.7.1 Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan .....................................

20

2.7.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang .....................................

21

2.7.3 Penatalaksanaan Awal Cedera Kepala Berat ...............................

22

2.7.4 Penatalaksanaan Non Operatif ....................................................

22

2.7.5 Penatalaksanaan Operatif ............................................................

24

2.7.6 Tehnik Operasi ............................................................................

25

2.7.6 Prognosis..

25

BAB III.LAPORAN KASUS.....

26

FOLLOW UP.

39

BAB IV.DISKUSI KASUS........................................................................................

41

BAB V.KESIMPULAN..............................................................................................

43

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

44

BAB I
PENDAHULUAN
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala
merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus
cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun
dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering
adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok
usia anak-anak.
Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling

ringan, tulang

tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka
yang tertutup, maupun trauma tembus.
Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting
seperti:

umur

penderita,

waktu,

mekanisme

cedera,

status

respiratorik

dan

kardiovaskuler, pemeriksaan minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan


reaksi cahaya pupil, adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus
segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI

A.Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu: 2
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan
waktu lama untuk mengeluarkannya.6
B.Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio temporal
tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata
dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada
bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa anterior
adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis dan fosa posterior
adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.3

C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan
yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat
ruang subdural.2
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningeal terletak antara
duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningeal media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan
kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid
dan piameter dalam ruang sub araknoid.3
D.Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang
berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area
bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi
sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis
berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai
medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis
batang otak dan kedua hemisfer serebri.2,3

E.Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)3

F.Tentorium
7

Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan


infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus
oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada
keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau
edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah
sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan
juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi pupil
ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi
tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi
pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.2,3
2.2.Fisiologi
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan
tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi
dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136
mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40
mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya.2
B. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika
TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga
kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal
tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas
normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase
ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan
kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.3

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Mempertahankan tekanan daerah yang adekuat pada penderita cedera kepala
adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya TPO adalah indikator
yang sama pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang buruk pada
penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk
tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu bahkan
membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang
adekuat. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.3
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila
ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada
ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan
menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO
pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan
arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curah jantung dan bila tekanan arteri
rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO
meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera
kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak
sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme
kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat

berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat
hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan.3
2.3 MEKANISME DAN PATOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak.4
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses
penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera
fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa
kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom
subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa berkaitan
dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. 1,4
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera
kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.4
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial
(tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),
vasospasme, kejang, dan infeksi) 1
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan
yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan
yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan
antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan
yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma
serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah
arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa ventrikel yang
10

menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri
setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak. 1
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan
contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. 1
2.4. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.4
2.4.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan

2.4.2.Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;4

11

1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak .
Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan


subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan .

Perdarahan epidural

12

Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan


duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah
yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi
akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada region parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun
secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera
kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan
karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan
epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan
langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat
menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang semula
mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu
tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf.1,5

Gambar: Perdarahan epidural

13

Gambar: Epidural Hematoma

Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira
30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi
bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat
diturunkan

dengan

tindakan

pembedahan

yang

cepat

dan

penatalaksanaan

medikamentosa yang agresif.5,7

Gambar :Perdarahan subdural

14

Gambar: Subdural Hematom


Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan
cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural
akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas
perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas.
Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi
membentuk perdarahan intraserebral.5
Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi
dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih
berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad
(keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera).5

15

Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau


hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini
akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio
serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa
yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma
pasca komosio yang dapat cukup berat.7
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan
oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan
gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.7
2.4.3 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat
cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode
EMV (Eyes, Verbal, Motorik)6
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan

Atas perintah

Rangsangan nyeri

Tidak bereaksi

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik

Jawaban kacau

Kata-kata tidak berarti

3
16

Mengerang

Tidak bersuara

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah

Reaksi setempat

Menghindar

Fleksi abnormal/Decorticate

Ekstensi/Decerebrate

Tidak bereaksi

19

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup


pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam
penanganan di unit gawat darurat, yaitu:7
1. tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta (lebih
dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:8
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, racoons
eyes (ekhimosis periorbital), atau Battles sign(ekhimosis retroaurikuler).

2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade


jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi
atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)

17

3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya
perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera daerah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya
tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering
berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang akut.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal
dapat terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak(otot,
saraf, pembuluh darah).
2.5 Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi 4

Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan


Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)


o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)


o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

18

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah: 8
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam
dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

2.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki

keadaan

umum

seoptimal

mungkin

sehingga

dapat

membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit . Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Trauma Life Support (2008) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat .5
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain :
A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental
control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah
cedera otak sekunder dan menjaga homeostasis otak .8
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar,
yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau
rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw
19

thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada
sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction
jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau
jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal. 8
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera
kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara
kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba
maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka .5
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi
datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.4
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis
pada penderita cedera kepala meliputi respon buka mata, respon motorik, respon verbal,
refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (dolls eye phonomenome, refleks okulosefalik),
test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.8

20

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit
kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinoreaotorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.4
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam
terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,
steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.5
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial
>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres
dengan kedalaman >1 cm.5
2.7.1 PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi : penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat :

Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan

Mekanisme cedera

Waktu cedera

Tidak sadar segera setelah cedera

Tingkat kewaspadaan

Amnesia : Retrograde, Antegrade

Sakit kepala : ringan, sedang, berat

Kejang

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistcmik.


Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.
Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan,
kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriks-'-n neurologis normal.
Observasi atau dirawat di RS

CT scan tidak ada

21

CT scan abnormal

Semua cedera tembus

Riwayat hilang kesadaran

Kesadaran menurun

Sakit kepala sedang-berat

Intoksikasi alkohol/obat-obatan

Fraktur tengkorak

Rhinorea-otorea

Cedera penyerta yang bermakna

Tak ada keluarga di rumah

Tidak mungkin kembali ke RS segera

Amnesia
Dipulangkan dari RS
Tidak memenuhi kriteria rawat.

Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi.

Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

2.7.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang


Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih
mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).
Pemeriksaan awal :
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah
sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat
Pemeriksaan neurologis periodik,
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan.
22

Bila kondisi membaik (90%)

Bila kondisi memburuk (10%)

Pulang

Bila penderita tidak mampu melakukan

Kontrol di poliklinik.

perintah-perintah lagi, segera lakukan


pemeriksaan CT scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.

2.7.3 Penatalaksanaan Awal Cedera Kepala Berat


Definisi : penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
Kesadaran menurun GCS 3-8
Pemeriksaan :
-

ABCDE

Primary survey dan resusitasi

Secondary survey

Re evaluasi neurologis
- Respon buka mata
- Respon motorik
- Respon verbal
- Reflek cahaya pupil

Obat-obatan
- manitol
- hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
- antikonvulsan

CT scan

2.7.4 Penatalaksanaan Non Operatif


A. Primary survey dan resusitasi

23

Cidera otak sering diperburuk akibat cidera otak sekunder. Penderita cidera otak
berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita
tanpa hipotensi.
a. Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera
dilakukan pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.
b. Sirkulasi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak itu sendiri kecuali pada
stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan.
Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada
penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai
euvolemia.Pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang.

B. Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakuakn untuk deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi
pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
C. Terapi medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cidera. Prinsip dasarnya adalah bila sel
saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat
berfungsi normal kembali.
1. Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi, agar penderita tetap dalam keadaan normovolemi.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi
yang berakibat buruk pada cidera otak. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologi yaitu Ringers Laktat.
2. Hiperventilasi

24

Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan


vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama
dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokontriksi
serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan
pada 35 mmHg atau lebuh. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 2530 mmHg).

3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis yang dipakai
0,25-1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi karena pemakaian
manitol adalah deteriosasi neurologis yang akut, sepertiterjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan tekanan atau
volume cairan cerebrospinal dengan cara meninggikan tekanan osmotik plasma.
Dengan cara ini, air dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke
dalam ruangan ekstrasel.
4. Furosemid atau Lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang adalah
0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum
manitol.
5. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.
Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi.
6. Antikonvulsan

25

Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15% pada
cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang
dalam minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara intravena dengan
kecepatan pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam.
Pada pasien dengan kejam lama, pemberian diazepam atau lorazepam sebagai
tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Karena dapat menyebabkan cidera
otak sekunder.

2.7.5 PENATALAKSANAAN OPERATIF


1. Luka kulit kepala
Hal yang terpenting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan.
Debridement yang tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka kepala.
Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi
atau ligasi pembuluh darah besar. Jahit, pasang klips atau staples. Inspeksi,
apakah ada fraktur tengkorak atau benda asing.
2. Fraktur impresi tengkorak
Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup kulit kepala
yang laserasi.
3. Lesi massa intrakranial
Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Kraniotomi biasanya dimaksudkan
suatu tindakan yang lebi besar daripada sekedar membuat lubang bor. Burrhole
pada kranium untuk eksplorasi atau evakuasi hematom (SDH kronis atau
higroma)

2.7.6 Tehnik Operasi


1. Kraniotomi atau Trepanasi
Trepanasi / kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Secara sementara
membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya bisa dilakukan
pengeluaran dari bekuan darah SDH atau EDH. Bone flap didapat dengan
26

mengebor empat titik pada kranium dan membuat garis linear yang
menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap.
2. Burrhole
Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau tempat
adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan
hanya membuat satu lubang pada tempat lesi.
2.7.7 Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik
yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi

BAB III
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: HAIRUL BAHRI

Umur

: 28 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pengusaha ayam

Agama

: Islam

Status pernikahan

: Menikah

Tanggal masuk

: 18 september 2015

No RM

: 05-56-43
STATUS NEUROLOGIS

27

A. ANAMNESA (di peroleh dari Pasien)


1Keluhan Utama

: Luka pada bagian kepala,pipi kiri dan kaki sebelah kiri

1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Pasien datang ke RSUD Dr. H Kumpulan Pane

dengan GCS 15

sebelumnya OS rujukan dari RS.Pabatu dengan keluhan luka pada kepala,pipi


kiri yang sudah terjahid sebanyak 3 jahitan,tangan sebelah kiri dan kaki sebelah
kiri,hal ini dialami oleh os dikarenakan kecelakaan lalu lintas,Os mengendarai
sepeda motor,lalu os bertabrakan dengan sepeda motor yang sedang berjalan,lalu
wajah os terbentur ke aspal,Os sempat tidak sadarkan diri selama lebih kurang 15
menit,saat kecelakaan os tidak menggunakan helm.
Mual ( - ) , muntah ( - ), pusing (+), epistaksis ( - ) ,keluar darah dari
telinga ( - ), ingatan ( baik )
BAB ( + ) , BAK ( + ).

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


Hipertensi

: (-)

Diabetes melitus

: (-)

Sakit jantung

: (-)

Asma

: (-)

Penyakit Lain

: (-)

2. RIWAYAT PRIBADI

: (-)

28

3. RIWAYAT PENGOBATAN LAIN

: (-)

4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :(-)

5. ANAMNESA SISTEM
a. Sistem serebospinal

: nyeri kepala

b. Sistem kardiovaskular

: (-)

c. Sistem respirasi

: (-)

d. Sistem gastrointestinal

: (-)

e. Sistem muskuloskeletal

: (-)

f. Sistem integumental

: (-)

g. Sistem urogenital

: (-)

Resume Anamnesis

Seorang pria berumur 28 tahun datang ke IGD RSUD.Dr.H.Kumpulan


pane

Pane dengan GCS 15 sebelumnya OS rujukan dari RS.Pabatu dengan

keluhan luka pada kepala,pipi kiri yang sudah terjahid sebanyak 3 jahitan,tangan
sebelah kiri dan kaki sebelah kiri,hal ini dialami oleh os dikarenakan kecelakaan
lalu lintas,Os mengendarai sepeda motor,lalu os bertabrakan dengan sepeda
motor yang sedang berjalan,lalu wajah os terbentur ke aspal,Os sempat tidak
sadarkan diri selama lebih kurang 15 menit.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Glasgow Coma Scale
d. Kontak
e. Vital sign
Tekanan darah
Nadi
Respirasi

: Sedang
: Compos mentis
: E :4 V : 5 M : 6 GCS:15
: adequate
: 120/90 mmHg
: 80x /menit regular
: 20x/menit teratur
29

f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

Suhu
Berat badan
Tinggi badan
Status gizi
Pulmo
Jantung
Hati
Limpa

: 370C
: 75 kg
: 170 cm
: Normoweight
: DBN
: DBN
: tidak teraba
: tidak teraba

2. Pemeriksaaan Neurologi
a. Kepala
Ukuran
: Normocephali
Wajah
: Simetris
Fontanella
: Tertutup
Nyeri tekan
: (+)
b. Leher dan Vertebra
Inspeksi
: DBN
Palpasi
: DBN
Range of motion : DBN
Manuver
:
- Lasegue sign
: (-)
- Patricks test
: (-)
- Contrapatricks test : (-)
- Lhermitters sign
: TDP
- Valsava maneuver : TDP
- Nafzingers test
: TDP
c. Rangsangan Meningeal
Kaku Kuduk
: (-)
Test Kernig
: (-)
Brudzinki I
: (-)
Brudzinki II
: (-)
Brudzinki III
: TDP
Brudzinki IV
: TDP
d. Saraf Otak
Nervus I (Olfactory nerve)
- Anosmia
: (-)
- Hiposmia
: (-)
- Hiperosmia
: (-)
- Parosmia
: (-)
- Kakosmia
: (-)
- Halusinasi Penciuman: (-)
Nervus II (Optic nerve)
kanan

Kiri

Daya Penglihatan

(+)

(+)

Pengenalan Warna

Baik

Baik
30

Medan Penglihatan

(+)

(+)

Fundus Okuli

TDP

TDP

Pupil

TDP

TDP

Retina

TDP

TDP

Arteri/ vena

TDP

TDP

Perdarahan

TDP

TDP

Kanan

Kiri

Ptosis

(-)

(-)

Gerak mata ke atas

(+)

(+)

Gerak mata medial

(+)

(+)

Gerak mata ke bawah

(+)

(+)

Ukuran pupil

3 mm

3 mm

Bentuk pupil

Bulat

Bulat

Kesamaan pupil

Isokor

Isokor

Reflek cahaya langsung

(+)

(+)

Reflek cahaya konsesuil

(+)

(+)

Rima palpebra

(-)

(-)

Strabismus divergen

(-)

(-)

Diplopia

(-)

(-)

Nistagmus

(-)

(-)

Eksoftalmus

(-)

(-)

Nervus III ( Oculomotor Nerve)

Nervus IV (Trochlear nerve)

31

kanan

Gerak mata ke lateral bawah

(+)

Strabismus konvergen

(-)

Diplopia

(-)

Nervus V (Trigeminal nerve)


kanan
Menggigit

(+)

Membuka mulut

(+)

Sensibilitas muka atas, tengah,

(+)

bawah

Refleks kornea

(+)

Refleks bersin

(+)

Refleks masseter

(-)

Refleks zygomaticus

(-)

Eksoftalmus

(-)

Nervus VI ( abducens nerve)


kanan

Gerak mata ke lateral

(+)

Strabismus konvergen

(-)

Diplopia

(-)

Nervus VII ( Facial nerve)


kanan

Kiri

Kerutan kulit dahi

(+)

(+)

Kedipan mata

(+)

(+)

Lipatan naso-labial

(+)

(+)

Sudut mulut

(+)

(+)
32

Menggerutkan dahi

(+)

(+)

Mengerutkan alis

(+)

(+)

Menutup mata

(+)

(+)

Meringis

(+)

(+)

Mengembungkan pipi

(+)

(+)

Tic facialis

(-)

(-)

Lakrimasi

(+)

(+)

TDP

TDP

Refleks visuo-palpebral

TDP

TDP

Refleks glabella

(+)

(+)

(-)

(-)

Tanda myerson

(-)

(-)

Tanda chovstek

(-)

(-)

(+)

(+)

Daya kecap lidah 2/3


bagian

Refleks

aurikulo-

palpebral

Bersiul

Nervus VIII ( Vestibulocochlear nerve)


kanan

Kiri

suara

(+)

(+)

detik

(+)

(+)

Test rinne

TDP

TDP

Test weber

TDP

TDP

Test schwabach

TDP

TDP

Mendengar
berbisik
Mendengar
arloji

Nervus IX ( Glassopharyngeal nerve)


Arkus Faring

: Simetris
33

Daya kecap lidah 1/3 belakang


Refleks muntah
Sengau
Tersedak

Nervus X (Vagus Nerve)


Arkus Faring
Nadi
Bersuara
Menelan
Nervus XI (Accessory Nerve)

Memalingkan Kepala
Sikap Bahu
Mengangkat Bahu
Trofi Otot Bahu
Nervus XII (Hypoglossal nerve)
Sikap Lidah
Artikulasi
Tremor Lidah
Menjulurkan Lidah
Kekuatan Lidah
Trofi Otot Lidah
Fasikulasi Lidah

:
:
:
:

:
:
:
:

TDP
(+)
(-)
(-)

Simetris
Teraba
(+)
(+)

Kanan

Kiri

DBN

DBN

simetris

simetris

DBN

DBN

(-)

(-)

: Simetris
: Baik
: (-)
: (+)
: Normal
: (-)
: (-)

e. Sistem Motorik
Inspeksi
: DBN
Gerakan volunter : DBN
Palpasi Otot
: DBN
Perkusi Otot
: DBN
Tonus Otot
: Normotonus
Kekuatan Otot :
ESD
E: 55555
F: 55555

ESS
E: 55555
F: 55555

34

EID
E: 55555
F: 55555

EIS
E: 55555
F: 55555

f. Sistem Sensorik
Sensibilitas

Tangan

Kaki

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Nyeri

(+)

(+)

(+)

(+)

Termis

(+)

(+)

(+)

(+)

Taktil

(+)

(+)

(+)

(+)

Posisi

TDP

TDP

TDP

TDP

Vibrasi

TDP

TDP

TDP

TDP

g. Refleks Fisiologi
Refleks

Kanan

Kiri

Biceps refleks

(+)

(+)

Triceps refleks

(+)

(+)

Brachioradialis refleks

(+)

(+)

Knee patella refleks

(+)

(+)

Achilles refleks

(+)

(+)

Kanan

Kiri

Babinski Refleks

(-)

(-)

Chaddock refleks

(-)

(-)

Oppenheim refleks

(-)

(-)

Gordon refleks

(-)

(-)

h. Refleks Patologis

Refleks

35

Schaeffer refleks

(-)

(-)

Gonda refleks

(-)

(-)

Hoffman refleks

(-)

(-)

Trommer refleks

(-)

(-)

i. Fungsi Cerebellum
Cara Berjalan
: sdn
Ataksia
: (-)
Rebound Fenomen
: (-)
Dismetri
:
- Tes Telunjuk-Hidung : (+)
- Tes Telunjuk-Telunjuk
: (+)
- Tes Hidung-Telunjuk-Hidung: (+)
Disdiadokhok nesis
: TDP
Nistagmus
: (-)
j. Fungsi Vegetatif
Vasomotorik
Sudumotorik
Pilo-erektor
Miksi
Defekasi
Potensi Libido
k. Fungsi Luhur
Kesadaran Kualitatif
Daya ingat Kejadian
Orientasi

Inteligensi
Daya Pertimbangan
Reaksi Emosi
Afasia
Agnosia
Akalkulia

: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: TDP
: Tingkah laku (baik)
Perasaan Hati (Baik)
: Ingatan Baru (Baik)
Ingatan Lama (Baik)
: Tempat (Baik)
Waktu (Baik)
Orang (Baik)
Situasi (Baik)
: Baik
: Baik
: Baik
: (-)
: (-)
: (-)

A. PEMERIKSAAN LAIN
Darah Rutin

36

WBC
:Meningkat (10.600/L)
Hb
:Normal ( 13,8 gr/dl)
PLT
:Normal (256.000ul)
RBC
:Normal (4,64 x 1012/L)
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Urin Rutin
Warna
: Kuning
Kejernihan : Jernih
Berat jenis : 1.015
PH
: 6.0
Protein
: Negatif
Glukosa
: Negatif
C. DIAGNOSIS BANDING
1. Cidera Kepala Ringan (CKR)
2. Cidera Kepala Berat (CKB)
D. DIAGNOSA KERJA
1. Diagnosis Klinis : Cidera Kepala Sedang (CKS),Vulnus laseratum
2. Diagnosis Topik : Temporal sinistra,ekstremitas sinistra
3. Diagnosis Etiologik : Trauma
E. TERAPI
Th/

- Diet M II
- IVFD RL 20 gtt/I macro
- Inj.Ceftriaxone 1gr/12j
- Inj.Ketorolac 1a/12j
-Inj.Ranitidin 1amp/12j
-Inj.Citicholine 500mg/12j

P/o

- Exaplam 50mg 2x1


- B.comp 3x1

F. PROGNOSIS
1. Death
2. Disease
3. Disability

: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam

4. Discomfort

: Dubia ad Bonam

5. Dissatisfaction

: Dubia ad Bonam

37

G.FOLLOW UP
19 09 2015

Ku/

Th/

Sens : Composmentis

- Luka di wajah ( + )

- Diet M II

TD : 130/80 mmHg

-Lka di lengan kiri ( + )

- IVFD RL 9gtt/I macro

HR : 80 x/i

-Luka di kaki kiri ( + )

- Inj.Ceftriaxone

RR : 20 x/i

-Badan terasa pegal ( +

1gr/12j

-Inj.Citicholine

- BAB (+)

500mg/12j

- BAK (+)

-Inj.Ketorolac 1a/12j

: 36,9 oC

-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaplam 50mg 2x1

38

20 09 2015

Ku/

Th/

Sens : Composmentis

- Luka di wajah ( + )

- Diet M II

TD : 120/80 mmHg

-Lka di lengan kiri ( + )

- IVFD RL 9gtt/I macro

HR : 84 x/i

-Luka di kaki kiri ( + )

- Inj.Ceftriaxone

RR : 20 x/i

-Badan terasa pegal ( +

1gr/12j

-Inj.Citicholine

: 36,3 oC

500mg/12j
- BAB (+)

-Inj.Ketorolac 1a/12j

- BAK (+)

-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1

21 09 2015

Ku/

Th/

Sens : Composmentis

- Luka di wajah ( + )

- Diet M II

TD : 130/90 mmHg

-Lka di lengan kiri ( + )

- IVFD RL 9gtt/I macro

HR : 80 x/i

-Luka di kaki kiri ( + )

- Inj.Ceftriaxone

RR : 20 x/i

-Badan terasa pegal ( +

1gr/12j

-Inj.Citicholine

: 36, oC

500mg/12j
- BAB (+)

-Inj.Ketorolac 1a/12j

- BAK (+)

-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1

22 09 2015

Ku/

Th/

Sens : Composmentis

- Luka di wajah ( + )

- Diet M II

TD : 110/80 mmHg

-Lka di lengan kiri ( + )

- IVFD RL 9gtt/I macro

HR : 80 x/i

-Luka di kaki kiri ( + )

- Inj.Ceftriaxone

RR : 20 x/i

-Badan terasa pegal ( +

1gr/12j

-Inj.Citicholine

: 36,5 oC

39

500mg/12j
- BAB (+)

-Inj.Ketorolac 1a/12j

- BAK (+)

-Inj.Ranitidin

PBJ

1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1
- Kenalog

BAB IV
DISKUSI KASUS

4.1 Daftar Masalah


1. Apakah diagnosa pada kasus sudah tepat ?
2. Apakah pentalaksanaan pada kasus sudah tepat ?
3. Bagaimana prognosis pada kasus ini ?

4.2 Pembahasan Masalah


1. Apakah diagnosa pada kasus sudah tepat ?

40

Jawab : Menurut penulis diagnosa pada kasus ini sudah benar, karena
berdasarkan :
-

Anamnesis Pasien

Pasien datang ke RSUD Dr. H Kumpulan Pane

dengan GCS 15

sebelumnya OS rujukan dari RS.Pabatu dengan keluhan luka pada


kepala,pipi kiri yang sudah terjahid sebanyak 3 jahitan,tangan sebelah
kiri dan kaki sebelah kiri,hal ini dialami oleh os dikarenakan kecelakaan
lalu lintas,Os mengendarai sepeda motor,lalu os bertabrakan dengan
sepeda motor yang sedang berjalan,lalu wajah os terbentur ke aspal,Os
sempat tidak sadarkan diri selama lebih kurang 15 menit,saat
kecelakaan os tidak menggunakan helm.
-

Mual ( - ) , muntah ( - ), pusing (+), epistaksis ( - ) ,keluar darah dari


telinga ( - ), ingatan ( baik )

2.Apakah penatalaksanaan pada kasus sdah tepat ?


Jawab : Penatalaksanaan awal bagi pasien ini sudah tepat. Penatalaksanaan
awalnya iyalah membersihkan luka agar tidak terjadi infeksi lalu apa bila ada
robekan dalam maka di lakukan penjahitan pada luka bertujuan menghentikan
perdarahan.
Pemberian inj.ceftriaxon > sebagai antibiotic agar tidak terjadi infeksi
-inj.citicholin > memperbaiki sirkulasi darah otak
-inj.ketorolac > sebagai anti nyeri
-exaflam
> sebagai anti nyeri
Bagaimana prognosis pada kasus ini ?
Jawab : Prognosis pada kasus ini :
a. Death
: Dubia ad bonam

41

b.
c.
d.
e.

Desease
Disability
Discomfort
Dissatisfaction

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

Bab V.kesimpulan
Cidera kepala merupakan suatu pukulan atau benturan pada kulit
kepala,tulang kepala,dan otak yaitu mulai dari selaput otak,saraf kranial,dan
jaringan otak.kerusakan otak ini merupakan masalah yang penting dan perlu
mendapatkan perhatian (olva irwana 2009).
Klasifikasi derejat cidera kepala menurut Glasgow dibagi menjadi 3
yaitu: Cidera Kepala Ringan (CKR),Cidera Kepala Sedang (CKS),Cidera
Kepala Berat (CKB).Penyebab prevelansi cidera kepala terbesar disebabkan
oleh Kecelakaan lalu lintas 48% - 53%,dilanjutkan dengan akibat karena
terjatuh 20% - 28%,lau disebabkan oleh tindakan kekerasan dan olahraga.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Diterjemahkan dan di cetak oleh komisi traumaIKABI(Ikatan Ahli Bedah
Indonesia) Advance Trauma Life Support.2008
2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit
Erlangga.Jakarta, hal 44-51
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC, 2003
4. Avaiable from :
http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
6. Avaiable from :
http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
7. Avaiable from :
43

http://fhs.mcmaster.ca/surgery/documents/head_injury.pdf.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991
9. Cidera tertutup kepala.penerbit FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
INDONESIA 1999
10. Arif mansjoer dkk editor,trauma susunan saraf dalam kapita selekta
kedokteran edisi ketiga jilid 2,media Aesculapius,Jakarta 2000
11. Robert L.martuza,telmo M.aquino,trauma dalam manual of neurologic
therapeutics with essentials of diagnosis,3th ed,little brown and co 2000
12. Harsono,kapita selekta neurologi,gajah mada university press,Yogyakarta
2004
13. Hasan sjahrir,ilmu penyakit saraf neurologi khusus,dian rakyat,Jakarta 2004

44

Anda mungkin juga menyukai