KAPITIS
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi
RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Disusun Oleh :
Pembimbing :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatakan kepadaTuhan Yang Maha Esa, yang masih
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Tulisan ini berjudul penatalaksanaan trauma kapitis, ditulis guna memenuhi
persyaratan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Neurologi
RSUD dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
Dalam kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. Dalton Silaban, Sp.S sebagai pembimbing serta dokter-dokter lainnya yang telah
banyak memberikan bimbingannya selama kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Saraf.
Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapakan ktirik dan saran dari pemabaca sekalian.
Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
menggunakannya.
DAFTAR ISI
ii
2.1
ANATOMI ...........................................................................................
2.2
FISIOLOGI ..........................................................................................
2.3
2.4
GAMBARAN KLINIS.........................................................................
15
2.5
17
18
2.7
PENATALAKSANAAN ......................................................................
18
20
21
22
22
24
25
2.7.6 Prognosis..
25
26
FOLLOW UP.
39
41
BAB V.KESIMPULAN..............................................................................................
43
44
BAB I
PENDAHULUAN
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala
merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus
cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun
dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering
adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok
usia anak-anak.
Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling
ringan, tulang
tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka
yang tertutup, maupun trauma tembus.
Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting
seperti:
umur
penderita,
waktu,
mekanisme
cedera,
status
respiratorik
dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan
yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat
ruang subdural.2
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningeal terletak antara
duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningeal media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan
kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid
dan piameter dalam ruang sub araknoid.3
D.Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang
berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area
bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi
sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis
berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai
medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis
batang otak dan kedua hemisfer serebri.2,3
E.Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)3
F.Tentorium
7
berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat
hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan.3
2.3 MEKANISME DAN PATOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak.4
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses
penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera
fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa
kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom
subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa berkaitan
dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. 1,4
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera
kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.4
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial
(tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),
vasospasme, kejang, dan infeksi) 1
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan
yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan
yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan
antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan
yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma
serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah
arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa ventrikel yang
10
menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri
setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak. 1
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan
contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. 1
2.4. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.4
2.4.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak
11
1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak .
Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .
Perdarahan epidural
12
13
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira
30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi
bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat
diturunkan
dengan
tindakan
pembedahan
yang
cepat
dan
penatalaksanaan
14
15
Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri
Tidak bereaksi
Orientasi baik
Jawaban kacau
3
16
Mengerang
Tidak bersuara
Reaksi setempat
Menghindar
Fleksi abnormal/Decorticate
Ekstensi/Decerebrate
Tidak bereaksi
19
17
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya
perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera daerah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya
tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering
berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang akut.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal
dapat terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak(otot,
saraf, pembuluh darah).
2.5 Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi 4
18
2.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki
keadaan
umum
seoptimal
mungkin
sehingga
dapat
membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit . Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Trauma Life Support (2008) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat .5
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain :
A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental
control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah
cedera otak sekunder dan menjaga homeostasis otak .8
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar,
yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau
rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw
19
thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada
sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction
jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau
jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal. 8
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera
kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara
kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba
maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka .5
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi
datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.4
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis
pada penderita cedera kepala meliputi respon buka mata, respon motorik, respon verbal,
refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (dolls eye phonomenome, refleks okulosefalik),
test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.8
20
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit
kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinoreaotorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.4
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam
terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,
steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.5
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial
>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres
dengan kedalaman >1 cm.5
2.7.1 PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi : penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat :
Mekanisme cedera
Waktu cedera
Tingkat kewaspadaan
Kejang
21
CT scan abnormal
Kesadaran menurun
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
Fraktur tengkorak
Rhinorea-otorea
Amnesia
Dipulangkan dari RS
Tidak memenuhi kriteria rawat.
Pulang
Kontrol di poliklinik.
ABCDE
Secondary survey
Re evaluasi neurologis
- Respon buka mata
- Respon motorik
- Respon verbal
- Reflek cahaya pupil
Obat-obatan
- manitol
- hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
- antikonvulsan
CT scan
23
Cidera otak sering diperburuk akibat cidera otak sekunder. Penderita cidera otak
berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita
tanpa hipotensi.
a. Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera
dilakukan pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.
b. Sirkulasi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak itu sendiri kecuali pada
stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan.
Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada
penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai
euvolemia.Pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang.
B. Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakuakn untuk deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi
pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
C. Terapi medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cidera. Prinsip dasarnya adalah bila sel
saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat
berfungsi normal kembali.
1. Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi, agar penderita tetap dalam keadaan normovolemi.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi
yang berakibat buruk pada cidera otak. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologi yaitu Ringers Laktat.
2. Hiperventilasi
24
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis yang dipakai
0,25-1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi karena pemakaian
manitol adalah deteriosasi neurologis yang akut, sepertiterjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan tekanan atau
volume cairan cerebrospinal dengan cara meninggikan tekanan osmotik plasma.
Dengan cara ini, air dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke
dalam ruangan ekstrasel.
4. Furosemid atau Lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang adalah
0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum
manitol.
5. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.
Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi.
6. Antikonvulsan
25
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15% pada
cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang
dalam minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara intravena dengan
kecepatan pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam.
Pada pasien dengan kejam lama, pemberian diazepam atau lorazepam sebagai
tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Karena dapat menyebabkan cidera
otak sekunder.
mengebor empat titik pada kranium dan membuat garis linear yang
menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap.
2. Burrhole
Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau tempat
adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan
hanya membuat satu lubang pada tempat lesi.
2.7.7 Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik
yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: HAIRUL BAHRI
Umur
: 28 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Pengusaha ayam
Agama
: Islam
Status pernikahan
: Menikah
Tanggal masuk
: 18 september 2015
No RM
: 05-56-43
STATUS NEUROLOGIS
27
dengan GCS 15
: (-)
Diabetes melitus
: (-)
Sakit jantung
: (-)
Asma
: (-)
Penyakit Lain
: (-)
2. RIWAYAT PRIBADI
: (-)
28
: (-)
5. ANAMNESA SISTEM
a. Sistem serebospinal
: nyeri kepala
b. Sistem kardiovaskular
: (-)
c. Sistem respirasi
: (-)
d. Sistem gastrointestinal
: (-)
e. Sistem muskuloskeletal
: (-)
f. Sistem integumental
: (-)
g. Sistem urogenital
: (-)
Resume Anamnesis
keluhan luka pada kepala,pipi kiri yang sudah terjahid sebanyak 3 jahitan,tangan
sebelah kiri dan kaki sebelah kiri,hal ini dialami oleh os dikarenakan kecelakaan
lalu lintas,Os mengendarai sepeda motor,lalu os bertabrakan dengan sepeda
motor yang sedang berjalan,lalu wajah os terbentur ke aspal,Os sempat tidak
sadarkan diri selama lebih kurang 15 menit.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Glasgow Coma Scale
d. Kontak
e. Vital sign
Tekanan darah
Nadi
Respirasi
: Sedang
: Compos mentis
: E :4 V : 5 M : 6 GCS:15
: adequate
: 120/90 mmHg
: 80x /menit regular
: 20x/menit teratur
29
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
Status gizi
Pulmo
Jantung
Hati
Limpa
: 370C
: 75 kg
: 170 cm
: Normoweight
: DBN
: DBN
: tidak teraba
: tidak teraba
2. Pemeriksaaan Neurologi
a. Kepala
Ukuran
: Normocephali
Wajah
: Simetris
Fontanella
: Tertutup
Nyeri tekan
: (+)
b. Leher dan Vertebra
Inspeksi
: DBN
Palpasi
: DBN
Range of motion : DBN
Manuver
:
- Lasegue sign
: (-)
- Patricks test
: (-)
- Contrapatricks test : (-)
- Lhermitters sign
: TDP
- Valsava maneuver : TDP
- Nafzingers test
: TDP
c. Rangsangan Meningeal
Kaku Kuduk
: (-)
Test Kernig
: (-)
Brudzinki I
: (-)
Brudzinki II
: (-)
Brudzinki III
: TDP
Brudzinki IV
: TDP
d. Saraf Otak
Nervus I (Olfactory nerve)
- Anosmia
: (-)
- Hiposmia
: (-)
- Hiperosmia
: (-)
- Parosmia
: (-)
- Kakosmia
: (-)
- Halusinasi Penciuman: (-)
Nervus II (Optic nerve)
kanan
Kiri
Daya Penglihatan
(+)
(+)
Pengenalan Warna
Baik
Baik
30
Medan Penglihatan
(+)
(+)
Fundus Okuli
TDP
TDP
Pupil
TDP
TDP
Retina
TDP
TDP
Arteri/ vena
TDP
TDP
Perdarahan
TDP
TDP
Kanan
Kiri
Ptosis
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Ukuran pupil
3 mm
3 mm
Bentuk pupil
Bulat
Bulat
Kesamaan pupil
Isokor
Isokor
(+)
(+)
(+)
(+)
Rima palpebra
(-)
(-)
Strabismus divergen
(-)
(-)
Diplopia
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
Eksoftalmus
(-)
(-)
31
kanan
(+)
Strabismus konvergen
(-)
Diplopia
(-)
(+)
Membuka mulut
(+)
(+)
bawah
Refleks kornea
(+)
Refleks bersin
(+)
Refleks masseter
(-)
Refleks zygomaticus
(-)
Eksoftalmus
(-)
(+)
Strabismus konvergen
(-)
Diplopia
(-)
Kiri
(+)
(+)
Kedipan mata
(+)
(+)
Lipatan naso-labial
(+)
(+)
Sudut mulut
(+)
(+)
32
Menggerutkan dahi
(+)
(+)
Mengerutkan alis
(+)
(+)
Menutup mata
(+)
(+)
Meringis
(+)
(+)
Mengembungkan pipi
(+)
(+)
Tic facialis
(-)
(-)
Lakrimasi
(+)
(+)
TDP
TDP
Refleks visuo-palpebral
TDP
TDP
Refleks glabella
(+)
(+)
(-)
(-)
Tanda myerson
(-)
(-)
Tanda chovstek
(-)
(-)
(+)
(+)
Refleks
aurikulo-
palpebral
Bersiul
Kiri
suara
(+)
(+)
detik
(+)
(+)
Test rinne
TDP
TDP
Test weber
TDP
TDP
Test schwabach
TDP
TDP
Mendengar
berbisik
Mendengar
arloji
: Simetris
33
Memalingkan Kepala
Sikap Bahu
Mengangkat Bahu
Trofi Otot Bahu
Nervus XII (Hypoglossal nerve)
Sikap Lidah
Artikulasi
Tremor Lidah
Menjulurkan Lidah
Kekuatan Lidah
Trofi Otot Lidah
Fasikulasi Lidah
:
:
:
:
:
:
:
:
TDP
(+)
(-)
(-)
Simetris
Teraba
(+)
(+)
Kanan
Kiri
DBN
DBN
simetris
simetris
DBN
DBN
(-)
(-)
: Simetris
: Baik
: (-)
: (+)
: Normal
: (-)
: (-)
e. Sistem Motorik
Inspeksi
: DBN
Gerakan volunter : DBN
Palpasi Otot
: DBN
Perkusi Otot
: DBN
Tonus Otot
: Normotonus
Kekuatan Otot :
ESD
E: 55555
F: 55555
ESS
E: 55555
F: 55555
34
EID
E: 55555
F: 55555
EIS
E: 55555
F: 55555
f. Sistem Sensorik
Sensibilitas
Tangan
Kaki
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Nyeri
(+)
(+)
(+)
(+)
Termis
(+)
(+)
(+)
(+)
Taktil
(+)
(+)
(+)
(+)
Posisi
TDP
TDP
TDP
TDP
Vibrasi
TDP
TDP
TDP
TDP
g. Refleks Fisiologi
Refleks
Kanan
Kiri
Biceps refleks
(+)
(+)
Triceps refleks
(+)
(+)
Brachioradialis refleks
(+)
(+)
(+)
(+)
Achilles refleks
(+)
(+)
Kanan
Kiri
Babinski Refleks
(-)
(-)
Chaddock refleks
(-)
(-)
Oppenheim refleks
(-)
(-)
Gordon refleks
(-)
(-)
h. Refleks Patologis
Refleks
35
Schaeffer refleks
(-)
(-)
Gonda refleks
(-)
(-)
Hoffman refleks
(-)
(-)
Trommer refleks
(-)
(-)
i. Fungsi Cerebellum
Cara Berjalan
: sdn
Ataksia
: (-)
Rebound Fenomen
: (-)
Dismetri
:
- Tes Telunjuk-Hidung : (+)
- Tes Telunjuk-Telunjuk
: (+)
- Tes Hidung-Telunjuk-Hidung: (+)
Disdiadokhok nesis
: TDP
Nistagmus
: (-)
j. Fungsi Vegetatif
Vasomotorik
Sudumotorik
Pilo-erektor
Miksi
Defekasi
Potensi Libido
k. Fungsi Luhur
Kesadaran Kualitatif
Daya ingat Kejadian
Orientasi
Inteligensi
Daya Pertimbangan
Reaksi Emosi
Afasia
Agnosia
Akalkulia
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: TDP
: Tingkah laku (baik)
Perasaan Hati (Baik)
: Ingatan Baru (Baik)
Ingatan Lama (Baik)
: Tempat (Baik)
Waktu (Baik)
Orang (Baik)
Situasi (Baik)
: Baik
: Baik
: Baik
: (-)
: (-)
: (-)
A. PEMERIKSAAN LAIN
Darah Rutin
36
WBC
:Meningkat (10.600/L)
Hb
:Normal ( 13,8 gr/dl)
PLT
:Normal (256.000ul)
RBC
:Normal (4,64 x 1012/L)
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Urin Rutin
Warna
: Kuning
Kejernihan : Jernih
Berat jenis : 1.015
PH
: 6.0
Protein
: Negatif
Glukosa
: Negatif
C. DIAGNOSIS BANDING
1. Cidera Kepala Ringan (CKR)
2. Cidera Kepala Berat (CKB)
D. DIAGNOSA KERJA
1. Diagnosis Klinis : Cidera Kepala Sedang (CKS),Vulnus laseratum
2. Diagnosis Topik : Temporal sinistra,ekstremitas sinistra
3. Diagnosis Etiologik : Trauma
E. TERAPI
Th/
- Diet M II
- IVFD RL 20 gtt/I macro
- Inj.Ceftriaxone 1gr/12j
- Inj.Ketorolac 1a/12j
-Inj.Ranitidin 1amp/12j
-Inj.Citicholine 500mg/12j
P/o
F. PROGNOSIS
1. Death
2. Disease
3. Disability
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
4. Discomfort
: Dubia ad Bonam
5. Dissatisfaction
: Dubia ad Bonam
37
G.FOLLOW UP
19 09 2015
Ku/
Th/
Sens : Composmentis
- Luka di wajah ( + )
- Diet M II
TD : 130/80 mmHg
HR : 80 x/i
- Inj.Ceftriaxone
RR : 20 x/i
1gr/12j
-Inj.Citicholine
- BAB (+)
500mg/12j
- BAK (+)
-Inj.Ketorolac 1a/12j
: 36,9 oC
-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaplam 50mg 2x1
38
20 09 2015
Ku/
Th/
Sens : Composmentis
- Luka di wajah ( + )
- Diet M II
TD : 120/80 mmHg
HR : 84 x/i
- Inj.Ceftriaxone
RR : 20 x/i
1gr/12j
-Inj.Citicholine
: 36,3 oC
500mg/12j
- BAB (+)
-Inj.Ketorolac 1a/12j
- BAK (+)
-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1
21 09 2015
Ku/
Th/
Sens : Composmentis
- Luka di wajah ( + )
- Diet M II
TD : 130/90 mmHg
HR : 80 x/i
- Inj.Ceftriaxone
RR : 20 x/i
1gr/12j
-Inj.Citicholine
: 36, oC
500mg/12j
- BAB (+)
-Inj.Ketorolac 1a/12j
- BAK (+)
-Inj.Ranitidin
1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1
22 09 2015
Ku/
Th/
Sens : Composmentis
- Luka di wajah ( + )
- Diet M II
TD : 110/80 mmHg
HR : 80 x/i
- Inj.Ceftriaxone
RR : 20 x/i
1gr/12j
-Inj.Citicholine
: 36,5 oC
39
500mg/12j
- BAB (+)
-Inj.Ketorolac 1a/12j
- BAK (+)
-Inj.Ranitidin
PBJ
1amp/12j
P/o
- Exaflam 50mg 2x1
- Kenalog
BAB IV
DISKUSI KASUS
40
Jawab : Menurut penulis diagnosa pada kasus ini sudah benar, karena
berdasarkan :
-
Anamnesis Pasien
dengan GCS 15
41
b.
c.
d.
e.
Desease
Disability
Discomfort
Dissatisfaction
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
Bab V.kesimpulan
Cidera kepala merupakan suatu pukulan atau benturan pada kulit
kepala,tulang kepala,dan otak yaitu mulai dari selaput otak,saraf kranial,dan
jaringan otak.kerusakan otak ini merupakan masalah yang penting dan perlu
mendapatkan perhatian (olva irwana 2009).
Klasifikasi derejat cidera kepala menurut Glasgow dibagi menjadi 3
yaitu: Cidera Kepala Ringan (CKR),Cidera Kepala Sedang (CKS),Cidera
Kepala Berat (CKB).Penyebab prevelansi cidera kepala terbesar disebabkan
oleh Kecelakaan lalu lintas 48% - 53%,dilanjutkan dengan akibat karena
terjatuh 20% - 28%,lau disebabkan oleh tindakan kekerasan dan olahraga.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Diterjemahkan dan di cetak oleh komisi traumaIKABI(Ikatan Ahli Bedah
Indonesia) Advance Trauma Life Support.2008
2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit
Erlangga.Jakarta, hal 44-51
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC, 2003
4. Avaiable from :
http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
6. Avaiable from :
http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
7. Avaiable from :
43
http://fhs.mcmaster.ca/surgery/documents/head_injury.pdf.
Diunduh tanggal 1 Oktober 2015.
8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991
9. Cidera tertutup kepala.penerbit FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
INDONESIA 1999
10. Arif mansjoer dkk editor,trauma susunan saraf dalam kapita selekta
kedokteran edisi ketiga jilid 2,media Aesculapius,Jakarta 2000
11. Robert L.martuza,telmo M.aquino,trauma dalam manual of neurologic
therapeutics with essentials of diagnosis,3th ed,little brown and co 2000
12. Harsono,kapita selekta neurologi,gajah mada university press,Yogyakarta
2004
13. Hasan sjahrir,ilmu penyakit saraf neurologi khusus,dian rakyat,Jakarta 2004
44