Anda di halaman 1dari 16

Daftar Isi

BAB I .............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 2
BAB II............................................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 3
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT ................................................................................ 3
2.2 Definisi .................................................................................................................................. 5
2.3 Klasifikasi ............................................................................................................................. 6
2.4 Epidemiologi ......................................................................................................................... 6
2.5 Etiologi .................................................................................................................................. 7
2.6 Patofisiologi .......................................................................................................................... 8
2.7 Faktor predisposisi ................................................................................................................ 9
2.8 Manifestasi Klinik ................................................................................................................. 9
2.9 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................................... 11
2.10 Diagnosis Banding ............................................................................................................ 11
2.11 Prognosis dan Komplikasi ................................................................................................ 13
2.12 Tatalaksana ....................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 16
BAB I

PENDAHULUAN

Impetigo contagiosa adalah infeksi kulit superfisial (pioderma) yang paling sering terjadi
pada anak – anak dari umur dua sampai lima tahun. Terdapat dua tipe impetigo yaitu nonbullous
impetigo (dapat juga disebut sebagai impetigo contagiosa) dan bullous impetigo. Pada anak –
anak, impetigo adalah infeksi kulit bakterial yang paling sering terjadi dan penyakit kulit ketiga
paling sering, setelah dermatitis dan viral warts. Infeksi kulit bakterial (pioderma) kebanyakan
disebabkan oleh Staphylococcus aureus and Streptococcus sp. Sebanyak 20% individu secara
terus menerus dikolonisasi dengan S. aureus, ini merepresentasikan sumber dari banyak infeksi
yang terjadi. Faktor predisposisinya yaitu kebersihan yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh
mengidap penyakit menahun, kurang gizi, keganasan atau kanker dan sebagainya atau adanya
penyakit lain di kulit yang menyebabkan fungsi perlindungan kulit terganggu. Impetigo sering
terjadi pada anak – anak yang menerima dialisis. Diagnosis biasanya dapat dilakukan secara
klinis, tetapi melakukan kultur dapat berguna dalam mengkonfirmasi etiologi impetigo.1
Infeksi biasanya sembuh tanpa bekas luka, dan bahkan tanpa pengobatan. Walaupun
impetigo biasanya dapat sembuh secara spontan dalam 2 minggu, memberikan pengobatan akan
membantu mengurangi ketidaknyamanan, memperbaiki secara kosmetik, dan mencegah
penularan organisme yang dapat menjadi penyakit lain seperti glomerulonefritis. Karena
impetigo kontagiosa merupakan penyakit yang sering terjadi, khususnya pada anak – anak,
penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui akan penyakit ini, cara mengobati dan cara
mencegah terjadinya penularan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT


Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan
terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta
mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh, penyembuhan luka dan regenerasi, dan
berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh
permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa.2 Kulit dapat
melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektronik, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet,
sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit
dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air.
Fungsi – fungsi kulit ini dimediasi oleh salah satu atau lebih regio-regio seperti
epidermis, dermis dan hipodermis. Setiap regio kulit ini berhubungan dengan jaringan sekitar
untuk regulasi dan modulasi struktur normal dan fungsi molekular, selular dan organisasi
jaringan. Epidermis dan stratum korneum mempunyai peran besar dalam barier protektif
yang diberikan kulit, sedangkan integritas struktural kulit diberikan oleh dermis dan
hipodermis. Aktivitas antimikrobial dari sistem pertahanan tubuh pertama dan sel dendritik
berasal dari epidermis, dan sel antigen dari dermis. Sel – sel superfisial epidermis berperan
besar dalam memproteksi dari radiasi ultraviolet. Inflamasi mulai dari keratinosit epidermis
atau sel – sel imun epidermis. Pembuluh darah terbesar berada pada hipodermis, yang
berperan untuk mengantar nutrient dan sel – sel imigran.3
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk,
mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda - beda pada
berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas lima lapisan
(dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum).

3
Gambar 1. Lapisan Epidermis

b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel – sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama
terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut – serabut kolagen menebal dan sintesa
kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus
meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira – kira 5 kali dari
fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling bersilang dalam jumlah yang besar
dan serabut elastin akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya
dan tampak berkeriput. Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar
keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan
ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit
c. Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan

4
di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda – beda menurut daerah tubuh dan keadaan
nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.

Gambar 2. Anatomi kulit

2.2 Definisi
Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit.
Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering
merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur,
dan pada insect bites. Impetigo kontagiosa juga dikenal sebagai impetigo krustosa, impetigo
vulgaris, atau impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo
vesikulo-bulosa atau cacar monyet.

5
2.3 Klasifikasi

Jenis impetigo yaitu :


1. Impetigo contagiosa (tanpa gelembung cairan, dengan krusta/keropeng/koreng)
Impetigo contagiosa hanya terdapat pada anak-anak, paling sering muncul di muka,
yaitu di sekitar hidung dan mulut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat
memecah sehingga penderita datang berobat yang terlihat adalah krusta tebal berwarna
kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi dibawahnya. Jenis ini biasanya berawal
dari luka warna merah pada wajah anak, dan paling sering di sekitar hidung dan mulut. Luka
ini cepat pecah, berair dan bernanah, yang akhirnya membentuk kulit kering berwarna
kecoklatan. Bekas impetigo ini bisa hilang dan tak menyebabkan kulit seperti parut. Luka ini
bisa saja terasa gatal tapi tak terasa sakit. Impetigo jenis ini juga jarang menimbulkan demam
pada anak, tapi ada kemungkinan menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening pada
area yang terinfeksi. Dan karena impetigo sangat mudah menular, makanya jangan
menyentuh atau menggaruk luka karena dapat menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya.
2. Bullous impetigo (dengan gelembung berisi cairan)
Impetigo jenis ini utamanya menyerang bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Namun
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Impetigo bulosa terdapat pada anak dan juga pada
orang dewasa, paling sering muncul di ketiak, dada, dan punggung. Kelainan kulit berupa
eritema, vesikel, dan bula. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel atau bula
telah pecah. Impetigo ini meski tak terasa sakit, tapi menyebabkan kulit melepuh berisi
cairan. Bagian tubuh yang diserang seringkali badan, lengan dan kaki. Kulit di sekitar luka
biasanya berwarna merah dan gatal tapi tak terasa sakit. Luka akibat infeksi ini dapat berubah
menjadi koreng dan sembuhnya lebih lama ketimbang serangan impetigo jenis lain

2.4 Epidemiologi
Impetigo tipe nonbullous atau impetigo contagiosa merupakan 70% dari kasus
pioderma ini. Sekarang, pada negara – negara industrial, impetigo contagiosa paling sering
disebabkan oleh Staphyloccocus aureus, dan lebih jarang oleh grup A Streptococcus. Group
A Streptococcus merupakan penyebab impetigo contagiosa yang sering terjadi pada negara –
negara berkembang. S. aureus mengkolonisasi anterior lobang hidung pada 20% populasi.
Karier transien atau intermiten bisa terjadi pada individu – individu lainnya. Sekitar 60%
6
individu sehat merupakan karier S. aureus di beberapa tempat. Kondisi yang
mempredisposisi kepada kolonisasi S. aureus merupakan dermatitis atopik, diabetes mellitus
(dependen insulin), dialisis (hemo dan peritoneal), pemakaian obat intravena, disfungsi hati
dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Dalam sebuah studi di United Kingdom,
insidensi tahunan impetigo adalah 2.8 persen pada anak – anak sampai umur 4 tahun dan 1.6
persen pada anak – anak umur 5 sampai 15 tahun.4 Pasien – pasien dapat menyebarkan
infeksi ke diri sendiri atau ke orang lain setelah menggaruk atau mengekskoriasi area yang
terinfeksi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di sekolah. Walaupun anak – anak
seringkali terinfeksi melalui kontak dengan anak – anak lain yang terinfeksi, fomit juga
penting dalam penularan impetigo. Insidensi impetigo paling tinggi pada musim panas, dan
infeksi sering terjadi pada area – area dengan higenitas yang kurang baik dan pada kondisi
hidup yang ramai.5

2.5 Etiologi
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Kolonisasi oleh S. aureus dapat berupa transien
atau pada kondisi karier yang berkepanjangan. S. aureus memproduksi banyak komponen –
komponen selular dan ekstraselular yang berkontribusi kepada patogenesis tersebut. Faktor –
faktor resiko seperti imunosupresi, terapi glukokortikoid, dan atopi merupakan peran besar
dalam patogenesis terjadinya infeksi stafilokokal. Adanya kerusakan atau trauma pada kulit
sebelumnya (bekas luka operasi, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga penting
dalam patogenesis terjadinya penyakit stafilokokal.
Beberapa strain memproduksi satu atau lebih exoprotein, termasuk enterotoksin
stafilokokal (SEA, SEB, SECn, SED, SEE, SEG, SEH, dan SEI), dan toksin eksfoliasi (ETA
dan ETB), TSS toxin – 1 (TSST-1), dan lekosidin. Toksin – toksin ini mempunyai efek poten
unik pada sel – sel imun dan efek biologis lainnya, menginhibisi respons imun dari tubuh.
TSST – 1 dan enterotoksin stafilokokal bisa juga disebut sebagai superantigen toksin
pirogenik. Molekul – molekul ini menempel langsung ke molekul HLA – DR pada antigen-
presenting cells tanpa memproses antigen. Walaupun antigen konvensional memerlukan
recognisi dari lima elemen kompleks sel T – reseptor, superantigen hanya memerlukan
beberapa regio dari rantai β. Karena itu, 5 – 30% dari sel T dapat teraktivasi, sedangkan
respons antigenic hanya 0.0001% - 0.01% dari sel T. Aktivasi sel T non spesifik akan
7
melepaskan banyak sitokin – sitokin sistemik, seperti interleukin 2, interferon -  dan tumor
necrosis factor – β dari sel T dan interleukin 1 dan tumor necrosis factor – α dari makrofag.
Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai
karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20
produk ekstraseluler yang antigenik termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes)
diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik,
disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin.

2.6 Patofisiologi
Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus adalah
bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan
pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan
ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin
meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase,
koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok
toksik, dan enterotoksin. Bakteri staphylococcus menghasilkan racun yang dapat
menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toksin ini menyerang protein yang
membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat
menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Staphylococcus akan merusak struktur kulit dan
adanya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.
Streptococci Grup A timbul pada kulit normal pada anak – anak sekitar 10 hari
sebelum terbentuknya impetigo, dan tidak ditemukan pada hidung dan tenggorokan sampai
14 – 20 hari. Streptococci ditemukan pada hampir 30% saluran pernafasan anak – anak
dengan lesi kulit, tetapi tidak ada bukti klinis adanya faringitis streptococcal. Karena itu,
urutan penyebaran mulai dari kulit normal ke lesi, kemudian ke saluran pernafasan.
Sedangkan urutan penyebaran S. Aureus (pada kasus impetigo) adalah dari hidung ke kulit
normal (sekitar 11 hari setelah itu), lalu timbul lesi kulit (setelah 11 hari kemudian). Lesi
biasanya timbul pada kulit wajah (khususnya sekitar lubang hidung) atau ekstrimitas setelah
trauma. Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm, kemudian
berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa awalnya berupa warna
kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang
8
berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna
keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang dapat membesar dengan diameter
sampai lebih dari 2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan
disekelilingnya, sekret seropurulen kuning kecoklatan yang kemudian mengering membentuk
krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif
yang mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta menyebar
ke perifer dan menyembuh di bagian tengah.
Saat terekspos dengan kontak infeksius, lesi yang sudah ada sebelumnya, seperti
scabies, varisela, atau eksema, akan mempredisposisi timbulnya lesi terinfeksi. Crowding,
kebersihan yang kurang baik, dan traumakulit minor dapat berkontribusi kepada penyebaran
impetigo streptococcal pada keluarga. Penyebaran minor dapat juga terjadi pada atlit – atlit
yang melakukan olahraga kontak. Walaupun kebanyakan terjadi pada anak – anak, dewasa
muda juga terpengaruh. Proses inflamasi impetigo superfisial, dengan unilokular
vesicopustule yang berada antara stratum korneum di atas dan stratum granulosum di
bawahnya. Ini biasanya timbul dekat keluarnya folikel rambut. Organisme, leukosit dan
debris sel, mengisi vesikel.

2.7 Faktor predisposisi


Adapun faktor predisposisi dari impetigo yaitu :
1. Kontak langsung dengan pasien impetigo
2. Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo
3. Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab
4. Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat
5. Kondisi yang mengganggu integritas epidermis sehingga ada portal masuknya
impegtiginasi seperti gigitan serangga, dematofitosis epidermal, herpes simplex, varisela,
abrasi, laserasi dan luka bakar thermal.
6. Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik

2.8 Manifestasi Klinis


Tempat predileksi tersering pada impetigo kontagiosa adalah pada kulit wajah,
terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah

9
tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan
kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi.
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat
terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering
disebabkan oleh Streptococcus, dan ada pada hampir 90% pasien dengan infeksi
berkepanjangan yang tidak diobati.
Kelainan kulit didahului oleh eritema dengan makula eritematus kecil, sekitar 1-2
mm. Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustul transien yang mudah pecah dan
meninggalkan erosi dan eritema. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal
berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey colour)
(Gambar 3). Lesi dapat melebar sehingga diameter lebih dari 2 cm. Lesi tersebut akan
bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara
autoinokulasi. Bila tidak ditangani, lesi dapat membesar dan timbul di tempat lain dalam
beberapa minggu.
Impetigo akibat Streptococcus Grup A adalah infeksi kulit superfisial yang timbul
sebagai krusta, secara klinis sulit untuk dibedakan dengan impetigo akibat S. aureus.

Gambar 3. Staphylococcus aureus: Impetigo. Eritema dan krusta pada hidung dan area kumis (A), yang
dapat menyebar ke regio centrofacial (B).

10
Gambar 4. Staphylococcus aureus: karier nasal dengan impetigo. Eritema
dengan pustul pada ujung hidung dan lubang hidung pada individu
dengan lubang hidung yang dikolonisasi S. aureus

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah memeriksa eksudat vesikel
menggunakan pengecatan gram untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan
infeksi gram negatif. Pada pengecatan gram akan terlihat Gram – positif cocci bergerombol
S. aureus. Dapat juga dilakukan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara
Staphylococcus dan Stretptococcus.
Pada impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus Grup A, pada pengecatan gram
cairan vesikel dapat ditemukan cocci Gram – positif berantai. Kultur area krusta dapat
menunjukan Streptococci Grup A atau campuran Streptococci dan S. aureus (khususnya dari
lesi krusta yang lebih lama).

2.10 Diagnosis Banding


1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit
kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak
seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.
2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput
lender atau daerah lipatan.

11
3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang
mengiritasi.
4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel
rambut.
5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat
menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai
jaringan kulit dalam (dermis).
6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet
tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal
pada malam hari.
9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki,
dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel,
krusta) pada saat yang sama.

12
2.11 Prognosis dan Komplikasi
Sebenarnya impetigo tidak berbahaya, dan biasanya dapat sembuh tanpa penyulit
dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Tetapi terkadang komplikasi dapat terjadi pada
impetigo yang tidak diobati. Komplikasi dapat berupa radang Poststreptococcal
glomerulonephritis (PSGN) pasca infeksi Streptococcus yang terjadi pada 1-5% pasien
terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala
berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, penurunan produksi urine, perubahan warna
urine seperti warna teh atau adanya darah pada urine. Keadaan ini umumnya sembuh secara
spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.
Komplikasi lainnya adalah infeksi tulang (osteomielitis), pneumonia, selulitis
(merupakan infeksi serius yang menyerang jaringan di bawah kulit dan dapat menyebar ke
kelenjar getah bening serta memasuki aliran darah, Jika tak ditangani, selulitis dapat
mengancam jiwa), guttate psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS), radang
pembuluh limfe atau kelenjar getah bening serta infeksi methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA), kulit parut berubah warna terang atau gelap.6

2.12 Tatalaksana
Pengobatan lokal yang dapat diberikan berupa ointment atau krim mupirocin,
pengangkatan krusta, dan debris dengan membasahi dengan air dan sabun, cukup untuk
menyembuhkan kasus ringan sampai sedang.7 Ointment retapamulin 1% juga efektif untuk
secondarily impegtiginized dermatitis, walaupun penurunan efektivitas pada MRSA
ditemukan pada beberapa percobaan. Asam fusidic juga merupakan agen topical yang efektif
untuk impetigo yang lokal dan memiliki efek samping yang sangat sedikit. Antibiotik
sistemik mungkin diperlukan pada kasus – kasus yang ekstensif.
Impetigo akibat Staphylococcus aureus
Pada orang dewasa dengan lesi – lesi yang ekstensif atau bullous, dapat diberikan
dicloxacillin 250 – 500 mg per oral 4 kali sehari (qid), atau eritromisin (pada pasien yang
alergi penisilin), 250 – 500 mg PO qid. Pengobatan dilanjutkan selama 5 – 7 hari (10 hari
apabila ditemukan Streptococci). Dengan azitromisin oral (pada orang dewasa 500 mg pada
hari pertama, 250 mg per hari pada 4 hari selanjutnya) juga sama efektivitasnya dengan
dicloxacillin pada infeksi kulit pada orang dewasa dan anak – anak. Untuk impetigo yang

13
disebabkan oleh S. aureus yang resisten eritromisin, yang seringkali ditemukan pada lesi
impetigo pada anak – anak, amoxicillin dengan asam clavulanic (25 mg / kg / hari, diberikan
3 kali sehari), cephalexin (40 – 50 mg / kg / hari), cefaclor (20 mg / kg / hari tid), cefprozil
(20 mg / kg satu kali sehari), atau klindamisin (15 mg / kg / hari tid atau qid) selama 10 hari,
merupakan terapi alternatif yang efektif.

Impetigo akibat Streptococcus Grup A


Untuk proderma superfisial akibat Streptococcus Grup A, penisilin merupakan obat
bilihan, yang diberikam sebagai injeksi tunggal long acting benzathine penicillin (300,000 –
600,000 units untuk anak – anak; 1.2 juta unit untuk orang dewasa) atau per oral (25,000 –
100,000 unit / kg / hari q6h selama 10 hari). Walaupun pengobatan dengan penisilin
menghilangkan lesi impetigo GAS dan mencegah rekurensi dalam jangka waktu pendek,
Streptococci dapat menetap atau mengkolonisasi kulit yang tidak terkena walaupun dengan
terapi ini. Eritromisin (30 – 50 mg / kg / hari PO q6h untuk anak – anak; 250 – 500 mg PO
q6h untuk orang dewasa selama 10 hari) juga merupakan obat alternatif untuk pasien –
pasien yang alergi kepada penisilin.

14
BAB III

KESIMPULAN

Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit.
Impetigo tipe nonbullous atau impetigo contagiosa merupakan 70% dari kasus pyoderma ini.
Etiologi dari impetigo adalah Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Penyebaran Staphylococcus aureus mulai dari
hidung ke kulit normal, lalu timbul lesi kulit. Penyebaran Group A Streptococcus mulai dari
kulit normal, lalu timbul lesi kulit, kemudian ke saluran pernafasan. Faktor – faktor resiko
seperti imunosupresi, terapi glukokortikoid, dan atopi merupakan peran besar dalam
patogenesis terjadinya infeksi stafilokokal. Adanya kerusakan atau trauma pada kulit
sebelumnya (bekas luka operasi, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga penting
dalam patogenesis terjadinya penyakit stafilokokal.
Manifestasi klinis yang dapat timbul mulai dari adanya vesikel atau pustul yang
mudah pecah pada daerah kulit muka, khususnya sekitar hidung dan mulut. Dapat juga
timbul pada kulit ekstrimitas tubuh. Setelah pecah, akan meninggalkan erosi dan eritema, dan
cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi
gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Eksudat dengan mudah menyebar
secara autoinokulasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa pengecatan gram pada
eksudat vesikel.
Pengobatan lokal yang dapat diberikan berupa ointment atau krim mupirocin,
pengangkatan krusta, dan debris dengan membasahi dengan air dan sabun. Ointment
retapamulin 1% dan Fusidic acid juga merupakan obat topikal yang efektif untuk impetigo.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.aafp.org/afp/2007/0315/p859.html
2. https://journals.lww.com/jdnaonline/Fulltext/2011/07000/Anatomy_and_Physiology_of_t
he_Skin.3.aspx
3. Fitzpatrick, T. and Wolff, K. (2012). Dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill Medical.
4. George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of treatments for impetigo.
Br J Gen Pract. 2003;53:480–7.
5. Brown J, Shriner DL, Schwartz RA, Janniger CK. Impetigo: an update. Int J Dermatol.
2003;42:251–5.
6. https://www.hse.ie/eng/health/az/i/impetigo/complications-of-impetigo.html
7. Gisby J, Bryant J: Efficacy of a new cream formulation of mupirocin: Comparison with
oral and topical agents in experimental skin infections. Antimicrob Agents Chemother
44(2):255-260, 2000

16

Anda mungkin juga menyukai