Anda di halaman 1dari 45

Laboratorium/SMF Ilmu Bedah LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MULTIPLE TRAUMA

Disusun oleh :

Trikortea Espandiarie Cahyasit


NIM. 1510029052

Dosen Pembimbing:
dr. Grace Sianturi, Sp. BS

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Lab/SMF Ilmu Bedah

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2017
Laboratorium/SMF Ilmu Bedah LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MULTIPLE TRAUMA

Disusun oleh :

Trikortea Espndiarie Cahyasit


NIM. 1510029052

Dosen Pembimbing:
dr. Grace Sianturi, Sp. BS

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Lab/SMF Ilmu Bedah

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

MULTIPLE TRAUMA

LAPORAN KASUS
Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
pada Laboratorium/SMF Ilmu Bedah

Disusun oleh:
TRIKORTEA ESPANDIARIE CAHYASIT
1510029052

Dipresentasikan pada Maret 2017

Pembimbing

dr. Grace Sianturi, Sp. BS

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2017

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai
Multiple Trauma ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan ini merupakan hasil
dari belajar mandiri selama berada di stase Bedah Saraf di bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

Dalam pembuatan laporan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih


kepada:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.

2. dr. Suhartono, Sp.THT selaku Ketua Program Pendidikan Profesi


Pendidikan Dokter Umum.

3. dr. Grace Sianturi, Sp.BS selaku dosen pembimbing di stase Bedah Saraf
bagian ilmu bedah yang telah mendidik dan memberi banyak masukan
mengenai bidang Bedah Saraf.

4. Orang tua serta teman-teman yang telah mendukung dan membantu


terselesaikannya laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, penulis berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun kepada penulis. Sebagai penutup penulis berharap semoga laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Samarinda, Maret 2017

Trikortea Espandiarie Cahyasit

3
DAFTAR ISI

Hal.
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................. 5
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 5
1.2 Tujuan........................................................................................... 5
BAB 2 LAPORAN KASUS........................................................................... 6
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 25
3.1 Pendahuluan............................................................................................ 25
3.2 Manajemen Trauma................................................................................ 26
3.3 Primary Survey and Resuscitation........................................................... 29
3.4 Secondary Survey..................................................................................... 30
3.5 Trauma Servikal dan Tulang Belakang................................................. 30
3.6 Cedera Kepala......................................................................................... 32
3.7 Trauma Thoraks...................................................................................... 34
3.8 Trauma Abdomen ................................................................................... 36
3.9 Trauma Muskuloskeletal........................................................................ 36
3.10 Skor Penilaian Trauma......................................................................... 39
BAB 4 PEMBAHASAN................................................................................ 41
BAB 5 PENUTUP.......................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 44

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun
di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
yaitu kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi
bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam
penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004). Multiple trauma dapat
didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan
kondisi yang mengancam jiwa (Trentz O L, 2000). Beberapa penulis
mendefinisikan multiple trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu
dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan
multiple trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, et al, 2013).
Multiple trauma mempunyai konsekuensi yang serius terhadap pasien dan apabila
pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup serius dan
akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di rumah, tempat
pekerjaan, dan masyarakat.

1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan
kegawatan pada kasus multiple trauma dalam ranah kompetensi dokter umum.

5
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 19 Januari 2017 pukul 18.50 (5 jam pasca kejadian),
anamnesis dilakukan pada tanggal 24 Januari 2017 (5 hari pasca kejadian).
Anamnesis yang dilakukan berupa heteroanamnesis.

A. Identitas
Nama : An. KS
Usia : 10 tahun (DOB 3 September 2006)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Etam RT 12 KM 6 Kukar
Pekerjaan : Pelajar SD
Suku : Dayak
Pekerjaan Ortu : Petani
Pendidikan Terakhir Ortu : SD
No. Rekam Medis : 94.55.61

B. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Heteroanamnesis dengan Penabrak
5 hari yang lalu, sekitar pukul 2 siang, penabrak melaju dengan kecepatan
60 km/jam menggunakan mobil Pajero Sport, menuruni turunan. Dari arah
berlawanan, sebuah truk melaju menaiki tanjakan. Tiba-tiba, korban dengan

6
seragam sekolah berlari menyeberang jalan dari arah kanan jalan. Penabrak yang
tidak melihat korban sebelumnya, dikarenakan tertutup oleh truk yang melaju dari
arah berlawanan, tidak sempat mengerem dan mobilnya menabrak korban dari
arah kiri korban. Penabrak mengerem penuh mobilnya, dan berhenti setelah 23
meter. Penabrak segera menghampiri korban yang tergeletak di rerumputan di
pinggir kiri jalan. Penabrak segera menggendong pasien dan meminta tolong
orang sekitar untuk membawa mobilnya menuju RS Parikesit. Kondisi pasien
tidak sadarkan diri, tidak ada muntah, tidak ada bloody otorrhea maupun bloody
rhinorrhea. Menurut keterangan penabrak, terdapat luka dan keluar darah yang
banyak dari dahi pasien sampai membasahi wajah pasien dan pakaian penabrak
yang menggendong pasien, terdapat luka gores pada siku kiri pasien dan tumit kiri
pasien, sepatu kiri yang dikenakan pasien terlepas.
Selama di perjalanan menuju RS Parikesit, korban dalam posisi berbaring
digendong oleh penabrak. Korban sempat sadar, menggerakkan tangan kanannya,
merintih dan membuka mata. Namun bola mata kiri korban melirik ke arah luar,
sementara bola mata kanan melihat lurus ke depan. Tidak ada muntah selama di
perjalanan. Dari RS Parikesit, pasien dirujuk ke RSUD AWS Samarinda, namun
penabrak tidak ikut dikarenakan urusan investigasi dengan polisi.

Heteroanamnesis dengan Penerima Pasien di IGD RSUD AWS Samarinda


Pasien datang melalui IGD Abdul Wahab Sjahranie pukul 7 malam
bersama dengan keluarganya dan perawat dari RS Parikesit. Pasien datang dalam
keadaan penurunan kesadaran dengan GCS E1VopaM4 dengan tubuh dialasi long
board, dengan keadaan sudah terpasang neck collar, OPA, bidai di tungkai kiri,
balut di dahi dan terpasang NRM 15 lpm.. Bidai di tungkai kiri dilepas dan diganti
dengan skin traksi 3 kg. Selama di IGD, tidak ada mual maupun muntah, tidak ada
bloody othorrhea maupun bloody rhinorrhea. Balut pada dahi dilepas, terdapat
sisa perdarahan pada dahi. Dilakukan log roll, terdapat jejas pada daerah
punggung dan pinggang sebelah kiri.

7
D. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat trauma, operasi, dan masuk rumah sakit sebelumnya disangkal

- Riwayat asma dan alergi disangkal

- Riwayat gangguan pembekuan darah disangkal

- Riwayat imunisasi sulit digali

- Riwayat penyakit yang pernah diderita tidak jelas

- Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun, tidak ada obat-obatan


yang rutin diminum pasien

E. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat asma dan alergi pada anggota keluarga sedarah disangkal

- Riwayat gangguan pembekuan darah pada anggota keluarga sedarah


disangkal

2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik di RS Parikesit Tenggarong
A : Not clear; terdengar gurgling
Pasang neck collar + OPA + suction Clear
B : Not clear; gerak dan suara nafas simetris, SaO2 86%, RR 30 kali/menit
NRM 12 lpm SaO2 97% - 100%
C : Not clear; nadi 177-200 kali/menit, TD 80/50 mmHg
Cairan I: Asering 300 cc dalam 1 jam TD 100/60 mmHg
Cairan II: Asering 200 cc dalam 1 jam (transfer) TD 110/60 mmHg
D : GCS E2VopaM5

8
Pemeriksaan Fisik di IGD RSUD AWS Samarinda
Primary Survey
A : Clear; terpasang OPA dan collar brace
B : Clear; RR 49 kali/menit, ekspansi dada simetris, SaO2 98%
Suara nafas vesikuler simetris dextra dan sinistra
Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Venturi Mask 10 lpm RR 36 kali/menit reguler, SaO2 99%
C : Not clear; nadi 162 kali/menit reguler lemah, TD 90/60 mmHg, CRT<2
Pelvis unstable Pelvic sling dengan elastic bandage 6 cm Stabil
Kateter urine Urine initial 100 cc kuning
FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) Cairan bebas
intraabdomen (-)
Fraktur femur sinistra, bidai dilepas digantikan skin traksi 3 kg
IVFD Asering 400 cc (2 line) Nadi 137 kali/menit reguler kuat
angkat TD 120/70 mmHg, urine 50 cc/jam, kuning (BB 18 kg; UO
2,8 cc/kgBB/jam)
D : GCS E1VopaM4
E : Vulnus laceratum regio frontalis
Hematom regio occipital sinistra
Vulnus laceratum regio elbow sinistra
Hematom regio thoraks posterior sinistra
Hematom regio lumbal posterior sinistra
Hematom regio inguinal sinistra
Hematom pelvis
Hematom regio femoralis sinistra

Tambahan pada Primary Survey setelah Hemodinamik Stabil


- DL
Dari RS Parikesit
- Rontgen thorax
Tenggarong
- Rontgen pelvis
- CT-Scan kepala

9
Assessment
- Syok hipovolemik grade 2 dengan complete respons, hemodinamik stabil
- CKS E1VopaM4 + SAH + Edema Oksipital + Close Fracture Depressed
Occipital Sinistra
- Close Fracture Pelvis (Sacro-Iliac joint disruption)
- Close Fracture Femur Sinistra 1/3 proximal
- Vulnus Laceratum regio frontalis
- Vulnus Laceratum regio elbow sinistra
- Abdominal Blunt Trauma

Secondary Survey
Kepala dan Leher : Vulnus laceratum regio frontal ukuran 5 cm x 1 cm, dasar
soft tissue.
Hematom regio oksipital sinistra.
Bloody otorrhea -/-, bloody rhinorrhea -/-
brill hematome -/-, battle sign -/-
Thorax Cor : S1S2 tunggal reguler, suara jantung tambahan (-)
Pulmo : Ekspansi dada simetris, suara nafas vesikuler normal
simetris, rhonki (-/-). wheezing (-/-)
Hematom regio thorax posterior sinistra

Abdomen : I : Distensi (-)


Hematom regio lumbal posterior sinistra
Hematom regio inguinal sinistra
Hematom pelvis
A: Bising usus (+) kesan normal
P : Timpani pada keempat kuadran abdomen
P : Soefl, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas : Vulnus laceratum regio elbow sinistra


Hematom dan deformitas regio femoralis sinistra

10
Tambahan pada Secondary Survey
- Rontgen Cervical AP/Lateral
- Rontgen Thorax ulang
- Rontgen Elbow

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Radiologi di RS Parikesit Tenggarong
CT-Scan Kepala dengan Kontras
Gambaran brain swelling
Subarachnoid haemorrhage
Fraktur kompresi / impresi calvaria (os occipitalis sinistra)

11
Rontgen Cervical AP dan Femur AP
Cervical AP:
Tidak tampak adanya fraktur

Femur AP:
Tampak fraktur komplit pada os femur sinistra, dengan over-riding antara
kedua segmen patahan

12
Rontgen Pelvic AP
Tampak gambaran fraktur pelvis dextra et sinistra
Diskontinuitas pada fossa acetabuli dan eminentia iliopubica

13
Rontgen Thorax AP
Tampak perselubungan pada kedua lapangan paru mengesankan suatu
contusio pulmonum
Sinus costophrenikus kanan kiri tajam, kedua diafragma licin tak mendatar
Sisterna tulang yang tervisulisasi intak

14
Pemeriksaan Radiologi di RSUD AWS Samarinda
Rontgen Cervical AP/Lateral
Alignment vertebra cervical tampak baik
Tidak tampak gambaran fraktur pada vertebra cervical
Processus spinosus berbatas tegas
Discus intervertebralis tampak normal, tidak tampak penyempitan
Proyeksi AP, alignment vertebra berada pada mid line, proc spinosus berada
pada satu garis
Proyeksi lateral, sepanjang tepi posterior corpus vertebra alignment baik,
berupa suatu garis kontinyu

15
Rontgen Thorax AP
Tampak perselubungan semiopaq inhomogen pda perihiler pulmo dextra dan
lobus inferior pulmo sinistra, mengesankan suatu contusio pulmonum
Kedua sinus costophrenicus tajam
Cor, CTR < 0,56
Sisterna tulang yang tervisualisasi intak

16
Rontgen Elbow
Tidak tampak fraktur maupun dislokasi pada articulatio cubiti
Os humerus, radius dan ulna yang tervisualisasi tampak baik, tidak tampak
adanya fraktur

17
Pemeriksaan Laboratorium di RS Parikesit Tenggarong
- Clotting Time : 2 menit 30 detik
- Bleeding Time: 1 menit 30 menit
- Hemoglobin : 12,2 g/dL
- Hematokrit : 36 vol %
- Trombosit : 474.000/mm3
- GDS : 214 mg/dL
- Leukosit : 19.700 /mm3
Hitung Jenis Leukosit
o Granulosit : 47,5%
o Limfosit : 47,0%
o Monosit : 5,5%

Pemeriksaan Laboratorium di RSUD AWS Samarinda


- Clotting Time : 12 menit
- Bleeding Time: 3 menit
- Hemoglobin : 9,4 g/dL
- Hematokrit : 29,2 vol %
- Trombosit : 408.000/mm3
- Leukosit : 14.060 /mm3
- GDS : 69 mg/dL
- Ureum : 31,8 mg/dL
- Creatinin : 0,6 mg/dL
- Natrium : 139 mmol/L
- Kalium : 4,0 mmol/L
- Chloride : 106 mmol/L
- AbHIV : Non Reaktif
- HBsAg : Non Reaktif

2.4 Diagnosis Kerja

18
Multiple Trauma
- CKS E1VopaM4 + SAH + Edema Oksipital + Close Fracture Depressed
Occipital Sinistra
- Close Fracture Pelvis (Sacro-Iliac joint disruption)
- Close Fracture Femur Sinistra 1/3 proximal
- Vulnus Laceratum regio frontalis et regio elbow sinistra
- Abdominal Blunt Trauma
- Contusio pulmonum
2.5 Penatalaksanaan
- Atasi kegawatan
- Rencana craniotomy elevasi
- IVFD D51/4NS 1500cc/24 jam
- Injeksi Ceftriaxone 1000 mg/12 jam
- Injeksi Antrain (Natrium Metamizole) 500 mg/8 jam
- Injeksi Ranitidine 25 mg/12 jam
- Transfusi PRC 10 cc/kgBB target Hb 12 g/dL
- Pasang NGT
- MRS PICU
- Terapi dari Bedah Anak berupa terapi konservatif

Tindakan Operatif :
- Pemasangan CVC
- Tracheostomy (27 Janauri 2017)
- Craniotomy elevasi atas indikasi closed fracture depressed occipital sinistra (10
Februari 2017)
- Close reduction dan pemasangan cast atas indikasi cosed fracture femur 1/3
proximal sinistra (10 Februari 2017)

2.6 Evaluasi
CT Scan Kepala

19
19 Januari 2017
CT Scan Kepala dgn kontras
- Gambaran brain swelling
- Subarachnoid haemorrhage
- Fraktur kompresi/impresi
calvaria (os occipital S)

4 Februari 2017
CT Scan kepala tanpa kontras
- Kedua orbita, os zygoma
maxila, dan mandibula intak
- Fraktur impressi oksipital
sinistra dengan chronic
subdural hematoma
frontoparietotemporal S
dengan densitas 5-7 HU
- Sistem ventrikel baik
mid line shift (-)
sinus paranasalis normal

Rontgen Thorax
19 Januari 2017

20
- Tampak perselubungan semiopaq
inhomogen pada perihiler pulmo
dextra dan lobus inferior pulmo
sinistra, mengesankan suatu
contusio pulmonum
- Kedua sinus costophrenicus tajam
- Cor, CTR < 0,56
- Sisterna tulang yang tervisualisasi
intak

23 Januari 2017
- Tampak perselubungan semiopaq
inhomogen pada perihiler dan
parakardial pulmo dextra
mengesankan Contusio
pulmonum dextra
- Tak tampak penebalan pleural
space bilateral
- Kedua diafragma licin, tak
mendatar
- Cor, CTR < 0,56, cor dbn
- Sisterna tulang yang tervisualisasi
intak
- Terpasang ETT pada proyeksi
airway dengan ujung distal
setinggi VTH 5 (pada karina)
- Pneumotoraks (-)
26 Januari 2017
- Konsolidasi, perselubungan

21
dengan airbronchogram pada
paracardial paru kanan
mengesankan suatu pneumonia
- Sinus costophrenicus kanan kiri
tajam
- Tulang-tulang dan soft tissue
yang tervisualisasi tampak baik
- Cor besar dan bentuk kesan
normal

31 Januari 2017
- Corakan bronchovaskular dalam
batas normal, tidak tampak
pneumothorax, fluidothorax,
maupun tanda kontusio paru
- Kedua sinus costophrenicus
lancip, kedua diafragma reguler
- Cor dan pembuluh darah besar
dalam batas normal
- Tulang yang tervisualisasi intak
tak tampak fraktur maupun
destruksi tulang
- Terpasang tube tracheostomy

Kesan:
Tidak tampak kelainan radiologik
pada foto thorax
Rontgen Femur
19 Januari 2017

22
- Tampak fraktur komplit pada os femur sinistra,
dengan over-riding antara kedua segmen patahan

31 Januari 2017
- Fraktur 1/3 proximal corpus femoris
sinistra , dengan fragmen fraktur
distal displaced ke
kraniomedioposterior.
- Growth zone intak
- Hip joint dan acetabulumnya intak,
sendi genu intak

10 Februari 2017
(Post Pemasangan Gips)

23
- Tampak fraktur os femur kiri 1/3
proksimal dengan displacement
fragmen distal ke posterior
- Trabekulasi tulang di luar lesi
tampak baik
- Celah dan permukaan sendi yang
tervisualisasi tampak baik
- Tak tampak soft tissue mass/
Swelling

6 Maret 2017
- Tampak malunion fractur 1/3
proximal os femur kiri , callus (+)
disertai soft tissue swelling
di sekitarnya
- Trabekulasi tulang di luar lesi
tampak baik
- Celah dan permukaan sendi yang
tervisualisasi di luar lesi tampak
baik

24
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pendahuluan
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun
di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa
pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab
kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang
yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain
luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2
atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah
satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif,
psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al.,
2011).
Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan
mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua
atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma
adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat
mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan
pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity
Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih
besar (Nerida E, et al, 2013).
Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah satunya
tingkat ekonomi merupakan faktor penentu utama. Laporan WHO 2004 mengutip
angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan (ISS) dari
9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan secara lebih rinci dalam bagian
berikutnya. Keseluruhan angka kematian, termasuk pra-rumah sakit dan di rumah
sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan tinggi, namun meningkat menjadi
55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah.
Pasien dengan cedera yang lebih serius (ISS 15-24) mencapai rumah sakit
menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas pada pasien
berpenghasilan ekonomi rendah.

25
Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik dibagi menjadi 3,
yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan
untuk mengatasi mortalitas :
1. Immediate deaths ( kematian yang segera )
Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit.
Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien
ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini
pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.
2. Early deaths
Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian
disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera
sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani.
Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan
perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi
yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan
operasi selama 24 jam.
3. Late deaths
Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma. Sepuluh
sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi
pada periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas disebabkan oleh karena
infeksi dan kegagalan multipel organ. Trauma kepala paling banyak dicatat pada
pasien multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi,
kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain (David et al, 2008).

3.2 Manajemen trauma


Manajemen trauma diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam
nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pada korban dengan obstruksi
jalan nafas dalam beberapa menit, mengamankan jalan nafas pasien selalu menjadi
prioritas. Setelah jalan nafas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang
ventilasi jika nafas tidak memadai (ATLS, 2004).
Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan
servikal dan tulang belakang thoracolumbal mungkin terjadi. Stabilitas tulang

26
belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera
(Hodgetts, 2006).

3.2.1 Airway
Jalan nafas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan chin lift dan jaw thrust,
kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau
muntah ada dalam nafas, suction harus digunakan. Jika teknik tanpa alat di atas
tidak memadai, dapat digunakan NPA (Nasopharyngeal Airway) atau OPA
(Oropharyngeal Airway) dengan catatan harus hati-hati ditempatkan untuk mencegah
aspek posterior lidah menghalangi faring. Jika manuver ini tidak berhasil, dapat
digunakan Laringeal Mask Airway (LMA) (Hodgetts, 2002).
Definitive airway securement dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat
sulit dalam kondisi tanpa persiapan. Tanpa penggunaan obat bius dan otot relaksan,
korban hanya dapat diintubasi.

3.2.2 Breathing
Setelah jalan nafas dibuka dan aman, dilakukan penilaian terhadap pernafasan
korban. Jika bernafas baik, oksigen diberikan dengan kecepatan 5 L/menit. Jika ada
keraguan bahwa pernafasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan
bag-valve-mask (BVM) yang memiliki reservoir yang melekat, dengan kecepatan
aliran oksigen 15 L/menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai dengan penilaian
klinis seperti warna bibir untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse
oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat dinilai dengan penilaian klinis ekspansi dada
dan suara nafas, atau penggunaan monitor elektronik end tidal karbon dioksida
(EtCO2) (Clasper, 2004).
Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks.
Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya karena merupakan cedera yang
mengancam jiwa, dan harus segera didekompresi. Open atau Sucking pneumothoraks
harus ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah
tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan untuk
mempercepat konversi tension pneumothoraks menjadi pneumothorax sederhana.

27
3.2.3 Circulation
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan
dressing, dan anggota tubuh dielevasi jika memungkinkan. Metode lain yang
digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat
digunakan pada setiap tahap (Hodgetts, 2002).
Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena secara
signifikan menimbulkan risiko komplikasi serius. Penggunaan torniket tidak tepat
dalam perdarahan karena tubuh bagian distal dari torniket menjadi iskemia, dan
menyebabkan kerusakan akibat tekanan langsung pada kulit, otot dan saraf (Hodgetts,
2006).
Syok cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali baik
eksternal atau internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang).
Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau
tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma
tembus dada pada garis putting anterior atau scapula posterior.
Syok berat menyebabkan Pulseless Electrical Activity (PEA) atau henti
jantung asystolic, yang merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau
pembukaan clam-shell dada.
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian
oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung
dan organ-organ vital lainnya (Hazinski MF, Samson R, Schexnayder S. 2010).
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, dosis awal pemberian cairan kristaloid
adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat.
Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:
1. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2. Respon sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah

28
3. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade
jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya (ATLS, 2008)

3.2.4 Disability
Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan penilaian ukuran
kedua pupil serta refleks cahaya kedua pupil.

3.3 Primary survey and resucitation


Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk
menilai kerusakan atau perbaikan.
A - Airway dan kontrol servikal.
Ada dua teknik untuk ini :
1. Manual, in-line imobilisasi.
2. Cervical collar.
B Breathing
Segera setelah patensi jalan nafas terjamin, dada harus dibuka dan diperiksa
dengan look, listen and feel. Trakea seharusnya teraba di tengah dalam kedudukan
supra sternal untuk mendeteksi deviasi yang disebabkan oleh tension pneumothorax.
C - Circulation
Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan
melihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada
jantung, dilakukan auskultasi untuk mendeteksi tamponade jantung, dan penurunan
perfusi dinilai dengan meraba akral kulit dan waktu pengisian kapiler. Nadi perifer
dan sentral nadi diraba untuk mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal
dikendalikan dengan melakukan penekanan, dan dua kanula 14-gauge digunakan
untuk pemberian cairan dan darah.
D- Disability
Hal ini jauh lebih tepat daripada penilaian AVPU (Solomon, 2010). GCS
dianggap sekunder untuk cedera otak sampai terbukti sebaliknya.

29
3.4 Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini dilakukan
setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan
perawatan definitif (JRCALC, 2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka
ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan
morbiditas jangka panjang jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Komponen dari survei sekunder adalah:
1. Riwayat cedera

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Tes diagnostik lebih lanjut

5. Evaluasi ulang

3.5 Trauma servikal dan tulang belakang


Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi
potensi untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan
penanganannya sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah lokasi dimana terjadi
dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi
servikal. Seperti halnya dengan torakolumbal, klasifikasi dari cedera servical subaxial
masih merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi memfokuskan pada
mekanisme cedera, dan tidak memperhatikan stabilitas ligament-ligament dan defisit
neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah dikembangkan, sama
halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial
injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit
neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk
penanganan pada cedera servikal (Sastrodiningrat, 2012).
Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi,
distraksi, dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai
dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang
sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal
ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior
longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum,

30
ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan
pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya,
ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi
pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal.
Total skor 3 ditangani non operatif, sedangkan skor 5 memerlukan intervensi
bedah (Sastrodiningrat, 2012).
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi
serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada
beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti
berikut (Sastrodiningrat, 2012):
A. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation)
Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau
kerusakan neurologis yang menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent)
B. Fraktur atlas (C1)
Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal. Mekanisme terjadinya
cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda
berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.
C. Rotary subluxation dari C1.
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak, terjadi spontan setelah terjadinya
cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas atas, atau penderita dengan rheumatoid
artritis.
D. Fraktur Axis (C2)
Merupakan 18% dari seluruh fraktur tulang servikal. Merupakan tulang vertebra
terbesar sehingga mudah mengalami berbagai jenis fraktur, tergantung arah dan
kekuatan trauma.
E. Fraktur dislokasi ( C3-C7 )
Pada orang dewasa level C5 merupakan level tersering tulang servikal mengalami
fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level tersering mengalami dislokasi.
F. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 )
Terbagi 4 :
1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior, terjadi akibat axial loading disertai
dengan fleksi.

2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial

31
3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada korpus vertebra, disebabkan
oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis dan sering dijumpai
setelah kecelakaan dimana penderita hanya menggunakan lap belt saja tanpa
shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan cedera retroperitoneal dan cedera
organ abdomen.

4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal.

G. Fraktur thorako lumbal (T11-L1)


Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari hiperfleksi akut dan rotasi, dan sebagai
konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil. Sering terjadi pada penderita yang
jatuh dari ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi
dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan disfungsi dari
kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada daerah
ekstremitas bawah.
H. Fraktur lumbal
Kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit jarang dijumpai pada cedera
ini.

3.6 Cedera kepala (Traumatic Brain injury)


Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala,
dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara
atau menetap. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan,
setiap tahun di Amerika Serikat paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI. Dari
jumlah ini kira-kira 1,1 juta orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat
Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia.
Klasifikasi mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan
menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status
neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma
Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari
berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS
sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan
untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan
berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan
TBI berat, GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).

32
TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga
menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response
yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat
cedera otak primer (primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari
responses ini ada yang bersifat neuroprotective (Sastrodiningrat, 2012).

3.6.1. Perdarahan Subarachnoid

Cedera kepala merupakan penyebab utama yang paling sering


mengakibatkan kematian dan kecacatan permanen setelah kecelakaan. Perdarahan
subaraknoid merupakan salah satu akibat kerusakan primer otak yang diakibatkan
oleh cedera kepala.
Perdarahan subaraknoid (PSA) merupakan gangguan mekanikal sistem
vaskuler pada intrakranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang
subaraknoid.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer yang merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera
sekunder yang terjadi akibat proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan
dari kerusakan otak.

33
3.7 Trauma thoraks
Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :
a) Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa

1. Tension pneumothoraks
Terjadi karena adanya one way valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara
yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk kedalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi,
paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke kontralateral dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung, dan akan menekan paru
kontralateral.
2. Pericardial tamponade
Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat
menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard.
3. Open Pneumothoraks (Pneumothoraks Terbuka)
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumothoraks
terbuka. Tekanan intrapleura akan sama dengan tekanan atmosfer. Jika defek pada
dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
4. Hemothoraks masif
Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga
pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
5. Flail chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada dua
atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur (Oakley, 1998)
b) Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa

1. Ruptur aorta
Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan
frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya

34
dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat
diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).
2. Cedera tracheobronkial
Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Sering
ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension pneumothoraks dengan
pergeseran mediastinum. Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang
banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera
trakeo bronkial.
3. Cedera tumpul jantung
Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun
kebocoran katup.
4. Cedera diafragma
Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada sisi kiri karena obliterasi
hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi
kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan
5. Kontusio paru

Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada golongan


potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian. Kontusio
paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema, perdarahan alveolar dan
interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang berpotensi mematikan.
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi
pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.

Kontusio paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam


jaringan paru. berpotensi menyebabkan edema paru. Akumulasi cairan
mengganggu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan
protein dan robek karena edema dan perdarahan.

Konsolidasi terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan
udara digantikan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Makrofag,
neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa memasuki

35
jaringan paru-paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan (pneumonia), meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan.

3.8 Trauma abdomen


Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinallis Emergency Medicine, 2004):
1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian duodenum,
dan sebagian usus besar

2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.

3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada
wanita
Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu :
1.Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma )
2.Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )

3.9 Trauma muskuloskeletal


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010). Setelah patah tulang
terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan.
Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang
menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan
fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh
dengan cara pembentukan kalus. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang
menjalani proses klinis dalam lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan callus,
konsolidasi, remodelling.
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha
tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan
dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor
lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur, c) Reposisi anatomis
dan immobilasi yang stabil, d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi.
f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit
sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f) rokok.
Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Patah tulang
femur dapat menyebabkan kehilangan darah 3-4 unit darah, dan bermanifertasi

36
sebagai syok hipovolemik. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan
perdarahan secara nyata

3.9.1 Klasifikasi fraktur


Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis. Berdasarkan
hubungan tulang dengan jaringan disekitar fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.

2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang


dengan dunia luar.

3.9.2 Prinsip penanganan fraktur


Penatalaksanaan sebagai alat triase.
Secara Umum Menurut Long (1996), penanganan pada fraktur dibagi menjadi
beberapa hal antara lain:
1. Penanganan langsung

a. Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan
dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi

b. Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema

c. Kirim pasien untuk pertolongan emergency

d. Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini
mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu.

2. Imobilisasi

a. X-Ray

b. Fiksasi eksternal bidai dan gips

c. Traksi

d. Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat

e. Bone Scans, termogram atau MRI Scans

f. Arteriogram, dilakukan bila ada kerusakan vaskuler

g. CCT kalau banyak kerusakan otot

37
3. Penanganan pada tulang terbuka

a. Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing

b. Pemakaian toksoid tetanus

c. Kultur jaringan dan luka

d. Kompres terbuka

e. Pengobatan dengan antibiotik

f. Penutupan luka bila ada benda infeksi

g. Imobilisasi fraktur menurut Handerson (1997) imobilisasi fraktur yaitu


mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah dalam bentuk
semula (anatomis) imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak.

Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi:


1. Reposisi atau reduksi

a. Manipulasi atau Close reduction adalah tindakan non bedah untuk


mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan
lokal anestesi ataupun umum.

b. Open reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan.


Sering dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screws, pins,
plate, intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan
infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anestesia.

2. Traksi, alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang.
Ada dua macam yaitu:
a. Skin traction (traksi kulit) adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plaster langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek (48 72 jam).

b. Skeletal traction adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan
pins atau kawat ke dalam tulang.

38
3. Imobilisasi setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan
pada posisi baik hendaknya diimobilisasi dan gerakan anggota badan yang
mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.

3.10 Revised Trauma Score dan Injury Severity Score


Revised Trauma Score (RTS) adalah sebuah skor fisiologis keparahan cedera.
Data yang diperoleh terdiri dari (Feliciano, 2008)
1. Glasgow Coma Scale (GCS)

2. Tekanan Darah Sistolik (SBP)

3. Laju Pernafasan (RR)

GCS, SBP dan RR diberi kode, RTS kemudian dihitung dengan


menjumlahkan nilai-nilai kode.

Di lapangan, skor unweighted berkisar antara 0-12, skor kurang dari 11


merupakan indikasi untuk transfer ke pusat trauma khusus. Sebuah bentuk kode dari
RTS digunakan untuk penilaian kualitas dan hasil prediksi.

Nilai untuk kode RTS berkisar antara 0-7,8408. (0 = mati 7,8408 = normal)
RTS sangat bergantung pada Glasgow Coma Scale untuk mengkompensasi cedera
kepala berat tanpa cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama. Sebuah
ambang RTS <4 telah diusulkan untuk mengidentifikasi pasien yang harus dirawat di
pusat trauma, meskipun nilai ini mungkin agak rendah.
Keterbatasan RTS:
1. Menghitung bentuk kode di lapangan tidak praktis

39
2. Masalah dengan GCS pada pasien yang diintubasi

3. Pengaruh alkohol dan obat-obatan


4. Mengubah parameter fisiologis dengan resusitasi dari kekacauan fisiologis tidak
diperhitungkan.
Skor Keparahan Cedera (ISS) adalah sebuah sistem penilaian anatomis yang
memberikan skor keseluruhan untuk pasien dengan beberapa luka. Setiap cedera
diberikan sebuah AIS dan dialokasikan ke salah satu dari enam daerah tubuh (Kepala,
Wajah, Dada, Abdomen, Ekstremitas (termasuk Pelvis), eksternal). Hanya skor AIS
tertinggi di masing-masing daerah tubuh yang digunakan. 3 daerah tubuh yang paling
terluka parah diberi nilai kuadrat dan ditambahkan bersama-sama untuk
menghasilkan skor ISS.
Contoh perhitungan ISS ditunjukkan di bawah ini:

Skor ISS memiliki rentang nilai 0-75. Jika suatu cedera diberikan nilai AIS 6
(cedera unsurvivable), skor ISS secara otomatis ditetapkan 75. Skor ISS hampir satu-
satunya sistem penilaian anatomi yang berkorelasi linear dengan mortalitas,
morbiditas, dan angka rawat inap. Kelemahan adalah bahwa setiap kesalahan dalam
skoring AIS meningkatkan kesalahan ISS. Banyak pola cedera yang berbeda dapat
menghasilkan skor ISS yang sama.

40
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.KS, usia 10


tahun datang ke IGD dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Diagnosis
masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Multiple Trauma. Diagnosa ini
ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

TEORI KASUS
Multiple Trauma adalah cedera Pasien mengalami cedera pada
pada minimal dua sistem organ kepala, pelvic, femur, abdomen, dan
yang menyebabkan kondisi paru dengan diagnosis CKS
yang mengancam jiwa E1VopaM4 + SAH + Edema Oksipital
+ Close Fracture Depressed
Occipital Sinistra, Close Fracture
Pelvis (Sacro-Iliac joint disruption),
Close Fracture Femur Sinistra 1/3
proximal, Vulnus Laceratum regio
frontalis et regio elbow sinistra,
Abdominal Blunt Trauma, Contusio
pulmonum
Patah tulang panjang dapat Pada pasien terdapat closed
menimbulkan perdarahan yang fraktur pada femur. Pasien
berat. Patah tulang femur dapat sempat jatuh ke dalam
menyebabkan kehilangan darah keadaan syok, dan
3-4 unit darah, dan mengalami perbaikan setelah
bermanifertasi sebagai syok resusitasi cairan.
hipovolemik.
Kontusio paru dapat Pada gambaran radiologis,

41
berkembang menjadi suatu kontusio paru yang dialami
pneumonia akibat akumulasi pasien kemudian mengalami
materi-materi inflamasi konsolidasi dan memberikan
gambaran pneumonia
Cedera kepala sedang merupakan GCS pasien saat pertama kali
cedera dengan skor GCS tiba di rumah sakit (RS
GCS 9-12 Parikesit) sebelum
pemasangan OPA adalah
E2V2M5, dengan skor total
GCS 9 sehingga masuk
dalam kriteria Cedera Kepala
Sedang

42
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
- Multiple trauma merupakan edera pada minimal dua sistem organ yang
menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa
- Multiple trauma mempunyai konsekuensi yang serius terhadap pasien dan
apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup
serius dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di
rumah, tempat pekerjaan, dan masyarakat

43
44

Anda mungkin juga menyukai