Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

ASMA

Disusun oleh:

Salim 030.11.266
Rizvialdi 030.15.002
Lula Gestiana Taufan 030.15.103
Savira Zalita Damayanti 030.15.176
Siti Lidyana Samsidar 030.15.185

Pembimbing:

dr. Sukaenah Shebubakar, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
PERIODE 10 Juni – 17 Agustus 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kemudahan dan
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Daerah Budhi Asih dengan judul
“Asma”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Sukaenah S, Sp.P. selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis menyusun
referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam bagian Pulmonologi.

Semoga referat ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan dan masih
perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Jakarta, Juli 2019

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

Referat:

ASMA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih

Periode 10 Juni – 17 Agustus 2019

Disusun oleh:

Salim 030.11.266
Rizvialdi 030.15.002
Lula Gestiana Taufan 030.15.103
Savira Zalita Damayanti 030.15.176
Siti Lidyana Samsidar 030.15.185

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Sukaenah Shebubakar, Sp.P selaku pembimbing

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih

Jakarta, JULI 2019

dr. Sukaenah Shebubakar, Sp.P

3
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 6
1. Definisi Asma ................................................................................................................. 6
2. Epidemiologi Asma ........................................................................................................ 6
3. Etiologi Asma ................................................................................................................. 7
4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi ......................................................................... 8
5. Fisiologi Sistem Respirasi............................................................................................. 10
6. Patofisiologi Asma ........................................................................................................ 13
7. Faktor risiko asma ......................................................................................................... 19
8. Klasifikasi asma ............................................................................................................ 20
9. Diagnosis....................................................................................................................... 21
10. Diagnosis banding ......................................................................................................... 25
11. Penatalaksanaan ............................................................................................................ 26
12. Prognosis ....................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 34

4
BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran napas yang ditandai dengan
adanya mengi episodik, batuk, dan sesak akibat penyumbatan saluran napas. Penyakit ini
termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik.1 Asma dapat bersifat ringan
yaitu yang tidak mengganggu aktivitas dan bersifat sedang sampai berat yang dapat
mengganggu aktivitas berat maupun aktivitas harian, dapat menurunkan produktivitas serta
kualitas hidup penyandangnya bahkan sampai mematikan.2

Diperkirakan sekitar 358 juta orang di seluruh dunia menderita asma pada tahun 2015,
yang di dalamnya termasuk sekitar 14% anak-anak di dunia. Prevalensi asma secara global
diyakini sebagai penyebab utama ke-4 terjadinya Years Lived with Disability (YLD) untuk
anak-anak berusia 5–14 tahun, dan penyebab utama ke-16 YLD untuk semua umur.3 Menurut
Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2011, diperkirakan bahwa pada tahun 2025 jumlah
pasien Asma dapat mencapai 400 juta jiwa. Jumlah ini bisa saja lebih besar mengingat Asma
merupakan penyakit yang underdiagnosed. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit Asma berkisar antara 1-18%. Berdasarkan laporan dari Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi penyakit Asma di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun 2007-2013, yaitu dari 3,5% menjadi 4,7%.4

Hal tersebut dapat diakibatkan karena pola hidup masyarakat dan buruknya kualitas
udara. Beberapa studi eksperimental, epidemiologis dan klinis telah menunjukkan selama
beberapa dekade bahwa paparan polusi udara adalah kunci dari faktor risiko untuk eksaserbasi
asma dan mungkin juga berkontribusi asma onset baru.3,4 Identifikasi dini dari penyakit ini
sangatlah penting, didasarkan pada pola karakteristik gejala pernapasan seperti mengi, sesak
napas, sesak dada atau batuk.5 Pasien dengan asma eksaserbasi akan memerlukan biaya yang
cukup besar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh langsungnya misal seperti
rawat inap, kunjungan gawat darurat, kontrol ke dokter, tes diagnostik, dan pengobatan.
sedangkan biaya tidak langsung misalnya sekolah dan hari kerja hilang.

Kemajuan ilmu dan teknologi di dunia tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan
penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan
peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena
asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan
diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi perlu disadari bahwa masih
banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik dari faktor penderita maupun
tenaga medis.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Asma
Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi saluran
napas kronis. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk
yang episodik, bersama-sama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.5 Gejala ini
dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti aktivitas, alergen/iritan, perubahan musim,
ataupun infeksi virus saluran pernapasan.1,5 Gejala Asma seringkali di samakan dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Perlu diketahuibahwa Kelompok Kerja
Internasional Global Initiative for COPD (GOLD) Menekankan Bahwa definisi PPOK
sebagai reaksi radang kronik saluran pernapasan akibatterpajan zat kimia, biasanya
berupa gas, sehingga menimbulkan gangguan pernapasan yang bersifat tidak
sepenuhnya reversible.4,5

2. Epidemiologi Asma
Asma adalah masalah kesehatan masyarakat terutama di kalangan anak-anak.
Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 235 juta orang saat ini
menderita asma, dan karena asma under-diagnosed dan under-treated, prevalensi di
seluruh dunia kemungkinan akan lebih tinggi setiap tahunnya.6 Dan menurut data
laporan Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun 2017 dinyatakan bahwa angka
kejadian asma dari berbagai negara adalah 1-18% dan diperkirakan terdapat 300 juta
penduduk di dunia menderita asma.5,6

Di Amerika Serikat menurut National Center Health Statistic (NCHS) tahun


2016 prevalensi asma berdasarkan umur, jenis kelamin, dan ras berturut-turut adalah
7,4% pada dewasa, 8,6% pada anak-anak, 6,3% laki-laki, 9,0% perempuan, 7,6% ras
kulit putih, dan 9,9% ras kulit hitam. Angka kejadian asma di Indonesia berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencapai 4,5%. Pada tahun 2007
terdapat peningkatan prevalensi Asma seiring bertambahnya usia, dimana umur <1
tahun prevalensinya 1,1% dan umur >75 tahun prevalensinya sebesar 12,4%. Akan
tetapi peningkatan prevalensi Asma pada mur >75 tahun ini bias saja terjadi bukan
6
murni penyakit Asma, unutk mengidentifikasi/mendiagnosa Asma pada orang tua bias
menjadi sulit, sebab gejala Asma hamper sama dengan gejala penyempitan saluran
napas pada PPOK, yaitu berupa batuk dan sesak napas. Sementara pada tahun 2013
prvalensi tertinggi penyakit Asma berada pada rentang umur 24-34 tahun yaitu sebesar
5,7% dan umur <1 tahun memiliki prevalensi terendah yaitu sebesar 1,5%.4

Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2005 mencatat 225.000 orang


meninggal karena asma, dan menurut Kementrian Kesehatan RI tahun 2011 Penyakit
asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia
dengan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit asma diperkirakan akan
meningkat sebesar 20% pada 10 tahun mendatang, jika tidak terkontrol dengan baik.7

3. Etiologi Asma
Data terbaru dari Internasional Studi Asma dan Alergi pada Anak (ISAAC)
menunjukkan perbedaan geografis dalam prevalensi asma, menunjukkan bahwa
lingkungan dan epigenetik memainkan peran kunci pada pasien dengan penyakit ini.
Faktor genetik, lingkungan, dan imunologi TH2 yang juga mempunyai peranan penting
dalam etiologi penyakit Asma. Sensitisasi alergi adalah faktor risiko penting untuk
Asma pada masa kanak-kanak, hal ini memberikan peningkatan risiko 4 sampai 20 kali
lipat. Baik indoor (tungau debu rumah, kecoak, tikus, dan hewan peliharaan) maupun
outdoor (serbuk sari dari pohon, rumput, dan allergen) adalah pemicu lingkungan
penting bagi Asma. Paparan terhadap tungau, debu rumah, bulu kucing, dan anjing di
awal kehidupan dan berlanjut sepanjang masa kecil menentukan jalannya
hiperresponsif saluran napas kronis dan gangguan fungsi paru. Polutan udara juga
diketahui dapat memperburuk gejala asma dan mungkin juga berperan dalam inisiasi
penyakit ini. Di sebagian besar daerah perkotaan, dan semakin di daerah pinggiran kota,
komponen emisi yang terkait dengan lalu lintas adalah sumber utama polusi udara.
Namun, pencemaran udara merupakan paparan yang kompleks komponen anorganik
dan organik.8

7
4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

A. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai
dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya
terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk
ke dalam lubang hidung. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa
respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar
serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang
terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam
lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan.9
B. Faring
Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan
laringofaring. Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofaring) pada bagian depan dan
saluran pencernaan (orofaring) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring
(posterior) terdapat laring tempat terletaknya pita suara (plica vocalis). Masuknya udara

8
melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara.
Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar masuk dan
juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang
dengung (resonansi) untuk suara percakapan. 9
C. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk
oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang diliputi oleh selaput
lendir dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-
benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. 9
D. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Bronkus kanan lebih pendek
dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri 9-12 cincin
mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut
bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat alveoli.9
E. Paru-paru

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi
oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut
pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura
dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan
dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh
bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak
mempunyai tulang rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya
mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus terminalis bercabang-
cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi, kemudian menjadi duktus alveolaris.Pada
dinding duktus alveolaris mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus. 9

9
5. Fisiologi Sistem Respirasi

Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru.
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).
Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke sel dan pengangkutan CO2 dari
sel kembali ke atmosfer. Proses ini terdiri dari 4 tahap yaitu 10 :

a) Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh, karena masih
adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun
dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume
ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk mengaerasikan darah.

b) Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.

c) Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-
sel.

d) Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Ventilasi merupakan proses pergerakan udara keluar-masuk paru secara berkala,


dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 diantara darah kapiler paru dengan udara atmosfer
segar. Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling
arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi
dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama
diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung akan menimbulkan inflasi dan
deflasi periodik paru dengan cara berkala mengembang kempiskan rongga thorak, dan
paru secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi aktif dari m. diafragma dan m.
intercostalis externus meningkatkan volume rongga thorak, sehingga menyebabkan
tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat mulainya inspirasi, menurun sekitar -6
mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan
menjadi sedikit negatif dan pada akhirnya udara mengalir ke dalam paru.12 Pada saat
inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus berkontraksi sebagai otot
pernapasan tambahan, membantu mengangkat rongga dada, menyebabkan tekanan
intrapleura berkurang sampai -30 mmHg, dan menyebabkan derajat inflasi paru yang
lebih besar. 12

10
Paru dapat diisi sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau dikosongkan
sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru bervariasi dari sekitar 2
sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata sebesar 500 ml keluar masuk paru
tiap kali seseorang bernapas. 12

Volume dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan.
Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui besarnya
kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru. 11

a. Volume tidal

Merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali inspirasi atau ekspirasi
pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada orang sehat kondisi istirahat adalah 500
ml.

b. Volume cadangan inspirasi

Merupakan volume udara tambahan pada inspirasi maksimal melebihi volume tidal,
digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh adanya
kontraksi maksimal diafragma, musculus intercostalis eksternus dan otot inspirasi
tambahan. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 3.000 ml.

c. Volume cadangan ekspirasi

Merupakan volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dari dalam paru
melalui kontraksi otot ekspirasi secara maksimal setelah ekspirasi biasa. Nilai rata-rata
pada orang sehat sekitar 1.000 ml.

d. Volume residual

Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi
maksimum. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200 ml.

e. Kapasitas vital

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas
setelah inspirasi maksimal, bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Subyek
mula-mula melakukan inspirasi maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum.
Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 4.500 ml.

11
f. Kapasitas inspirasi

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi biasa. Nilai
rata-rata pada orang yang sehat adalah sekitar 3.500 ml.

g. Kapasitas residual fungsional

Merupakan volume udara dalam paru pada akhir ekspirasi pasif normal. Nilai rata-rata
pada orang sehat sekitar 2.200 ml.

h. Kapasitas total paru

Merupakan volume udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal. Kapasitas total paru
merupakan penjumlahan dari keempat volume paru atau penjumlahan dari kapasitas vital
dengan volume residual Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 5.700 ml.

12
6. Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses


yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari
bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan. Asma merupakan inflamasi kronik
saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T,
makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi
terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. Terdapat inflamasi akut dan
kronik. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma
tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.13,14

Pada reaksi asma tipe cepat, alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel
mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi
mukus dan vasodilatasi. Sedangkan pada fase lambat, reaksi ini timbul antara 6-9 jam
setelah provokasi . 5,6

Gambar 1. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses
remodeling 13

13
Penarikan sel Sel-sel inflamasi Aktivasi fibroblas
inflamasi yang menetap & makrofag

Edema & Aktivasi sel Penurunan


permeabiliti inflamasi apoptosis
vaskular

Penglepasan Penglepasan Proliferasi otot


mediator sitokin & faktor polos & kelenjar
inflamasi pertumbuhan mukus

Sekresi mukus & Aktivasi dan


bronkokonstriksi kerusakan sel
epitel

Peningkatan Perbaikan
hipereaktiviti jaringan dan
bronkus remodeling

Gambar 2. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan


proses remodeling 13

Airway
akut kronik remodeling

Gejala Exacerbations Obstruksi


non-spesific persisten
hyperreactivity aliran udara

Gambar 3. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling
dengan gejala klinis 13

14
6.1.Penyempitan Saluran Napas

Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala


dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 13,14

Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses
penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian
sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan
jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur
yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling. 13,14

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan


yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya
proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan
proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari
remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik
di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau
hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia. 13,14

15
Gambar 4. Mekanisme remodeling otot polos bronchial pada asma

6.2. Airway Remodeling

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang
baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang
rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma,
kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat
kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme
tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi,
maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti
oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. 13,14

16
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi yaitu hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas,
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal,
pembuluh darah meningkat matriks ekstraselular fungsinya meningkat, perubahan
struktur parenkim, peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis. Airway
remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat
inflamasi yang terus menerus. 13,14

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma
seperti hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan
obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam
manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 13,14

6.3. Hiperreaktivitas saluran napas

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang


secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah
peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot
polos. 13,14

17
Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

pemicu

Hiperreaktivitas

Banyak Sel : Melepas MEDIATOR :


 Sel Mast  Histamin
 Eosinofil  Prostaglandin (PG)
 Netrofil  Leukotrien (L)
 Limfosit  Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

BATUK, MENGI, SESAK

18
7. Faktor risiko asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi
untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis
kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan
atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu
alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet,
status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan
lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan : pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko
asma pada individu dengan genetik asma, baik lingkungan maupun genetik masing-masing
meningkatkan risiko penyakit asma.15

Tabel 1. Faktor risiko asma

19
8. Klasifikasi asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai.15

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis
bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga
harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.15

Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran
klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah
asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan
asma persisten berat dan asma intemiten. Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma
persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi
penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian
pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai
dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.15

Tabel 2. Klasifikasi asma

20
Tabel 2. Klasifikasi asma

9. Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Selain penegakan
diagnosis asma, tanyakan mengenai frekuensi serangan asma untuk menentukan klasifikasi
asma. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisis dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.16

Riwayat penyakit / gejala :

 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan


 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

21
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

 Riwayat keluarga (atopi)


 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya
kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang
paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan
mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar
(silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.17

Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut, sesuai dengan derajat serangan :

 Inspeksi :
- Pasien terlihat gelisah
- Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
- Sianosis
 Palpasi :
- Biasanya tidak ditemukan kelainan
- Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
 Perkusi :
- Biasanya tidak ditemukan kelainan
 Auskultasi :
- Ekspirasi memanjang
- Mengi
- Suara lendir

22
Pemeriksaan penunjang

Faal Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya ,
demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga
dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter
dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan
untuk menilai:

 obstruksi jalan napas


 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE).15

Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan
itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari
nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.15

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma

23
Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah,
mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.15

Manfaat APE dalam diagnosis asma :

 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit
(lihat klasifikasi).

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu
APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran
nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi
normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.15

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai
tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :

 Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi
hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya
sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.

24
 Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum
bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai
terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).15

Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan
gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.15

Pengukuran status alergi

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status
alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu.
Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit,
dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/
atopi.15

10. Diagnosis banding


Dewasa :

 Penyakit Paru Obstruksi Kronik


 Bronkitis kronik
 Gagal Jantung Kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi larings

25
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
 Emboli Paru

Anak :

 Benda asing di saluran napas


 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfe
 Tumor
 Stenosis trakea
 Bronkiolitis

11. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana saat serangan
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 – 8 minggu.18

26
Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut. Reseptor β2
agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung,
pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Suherman SK.
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis selektif.
Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek
samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya
hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.
 β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20
menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai
dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai
dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

27
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering
terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 –
0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick. Suherman SK. Ascobat P
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine
dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal,
atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat
yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

28
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam.

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6
tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa
tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan : (Suherman SK. Ascobat P ;
2008)
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai
adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan
2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam. 18

29
Obat – obat Pengontrol
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi
penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini
mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan
jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah


terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation
receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan
pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan
steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot
polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.

30
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10
mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma
dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi
hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore,
penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS
dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol
(Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort
dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan
memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid.
Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping
muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/ha.19

31
Gambar 5. Algoritma tatalaksana asma di rumah sakit17
32
Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk
a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

12. Prognosis
Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan tatalaksana Asma di


Indonesia. Jakarta; PDPI: 2018.
2. Depkes RI. Pedoman pengendalian penyakit Asma. 2008
3. Anenberg, SC, et al. Estimates of the Global Burden of Ambient PM2:5, Ozone,
and NO2 on Asthma Incidence and Emergency Room Visits. Environmental Health
Perspectives 2018. 126(10); 1-14.
4. Infodatin: Pusat Data dan Informasi Kementrian RI. You can control your Asthma.
2013
5. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for Asthma management and
prevention. 2018. Available from www.ginasthma.org
6. Anderson, HM, et al. Assessment of wheezing frequency and viral etiology on
childhood and adolescent Asthm risk. J Allergy Clin Immunol 2017. 139(2):692-4.
7. Tana, L. Determinan Penyakit Asma pada Pekerja Usia Produktif di Indonesia,
Riset Kesehatan Dasar 2013. Buletin Penelitian Kesehatan, 2018.46(1): 11-22.
8. Yang IV, Lozupone CA, Schwartz DA. The environment, epigenome, and asthma.
J Allergy Clin Immunol 2017. 140(1): 14-23.
9. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533. 2015
10. Guyton, A. C., Hall, J. E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC,
1022. 2014
11. Sherwood, LZ. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC, 595-
677. 2014
12. Wagner PD, Powell FL, West JB. Ventilation, blood flow, and gas exchange. In:
Murray and Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 6th edition. Mason RJ et all,
eds. Philadelphia: Saunders. 2016
13. Asma PDPI. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2016
14. Sundaru, H. Sukamto. Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2014
15. Mangunnegoro, Hadiarato. Asma Pedoman Diagnostik & Penatalaksaan Asma Di
Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004 ; p.16-25

34
16. FitzGerald M. Bateman ED. Boulet LP, Cruzz AA, Haahtela T, Levy ML, dkk.
Global Initiative for Asthma. Dalam : FitzGerald. Global Stragety for Asthma
Management and Prevention Updated 2012.
17. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Menteri Kesehatan Indonesia.2008.
18. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2015. h. 496-500.
19. Self, Timothy; Chrisman, Cary; Finch, Christopher (2017). "22. Asthma". Dalam
Mary Anne Koda-Kimble, Brian K Alldredge; et al. Applied therapeutics: the
clinical use of drugs (edisi ke-9th). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

35

Anda mungkin juga menyukai