Anda di halaman 1dari 10

Rizvialdi 030.15.

002
Ammar Amran
030.15.017
AIRWAY MANAGEMENT

1. Anatomi
a. Saluran nafas  faring, hidung, mulut, laring,
trakea, dan bronkus utama.
b. Dua lubang jalan napas manusia hidung,
yang mengarah ke nasofaring, dan mulut, yang
mengarah ke orofaring.
c. Bagian-bagian ini dipisahkan di bagian anterior
oleh palatum, bergabung di bagian posterior
tepatnya melalui faring.
d. Faring = struktur fibromuskuler berbentuk U
yang memanjang dari dasar tengkorak ke
kartilago krikoid.
e. Epiglottis = memisahkan orofaring dari
laringofaring & mencegah aspirasi
dengan menutupi glotis selama menelan.
f. Laring = kerangka tulang rawan yang
disatukan oleh ligamen dan otot. Ttd 9
kartilago (tiroid, krikoid, epiglotis, dan
(berpasangan) aritenoid, corniculate, dan
cuneiform).
g. Kartilago tiroid melindungi conus
elasticus, yang membentuk pita suara.
h. Trakea dimulai di bawah kartilago
krikoid dan meluas ke carina, titik di
mana ada percabangan menjadi bronkus
kanan dan kiri
i. Dari sisi anterior, trakea terdiri dari cincin tulang
rawan; sedangkan dari sisi posterior, terdapat
membran trakea.

2. Routine Airway Management


a. Manajemen jalan napas yang terkait dengan anestesi
umum terdiri dari:
i. Preanesthethic airway assessment  Anamnesis, PF(keadaan gigi, buka
mulut, ukuran lidah, leher pendek atau kaku), PP, ASA :
1. Pasien sehat organic, fisiologi, psikiatri, biokimia
2. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang (mis: DM
yg terkontrol, hipertensi ringan)
3. Pasien dengan penyakit sitemik berat tetapi belum mengancam
jiwa tetapi aktivitas rutin terbatas (mis: DM yg tidak terkontrol,
Asma bronkial, Hipertensi tidak terkontrol) berat yang
mengancam jiwa, tak dapat melakukan aktivitas rutin,
(mis:Asma bronkial yang berat, koma diabetikum)
4. Pasien sekarat/ kondisi sangat jelek, yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
5. Preoksigenasi berapa lama? 2-3 men
6. Pasien dengan penyakit sistemik it dengan sungkup muka dan
pemasangan goudel
ii. Persiapan dan pemeriksaan peralatan
iii. Posisi pasien
iv. Preoksigenasi  pemberian O2 100% menggunakan resuscitator
manual 15 l/ menit, jika tidak dilakukan pasien dapat terjadi hipoksemia
berat selama dilakukan intubasi. Dosis O2 Nasal kanul 1-5 liter, sungkup
muka sederhana 6-10 ml, NRM 9-15 ml. Preoksigenasi selama 5 menit O2
100%
v. Sungkup muka dan ambu bag untuk ventilasi
vi. Intubasi atau pemasangan laryngeal mask airway
vii. Confirmation of proper tube or airway placement
viii. Ekstubasi

3. Airway Assessment
Penilaian meliputi:
• Pembukaan mulut: jarak gigi seri 3 cm atau lebih
pada orang dewasa.
• Klasifikasi Mallampati: tes yang sering dilakukan
yang memeriksa ukuran lidah berhubungan
dengan rongga mulut. Semakin lidah
menghalangi pandangan struktur faring, intubasi
mungkin sulit untuk dilakukan.
Kelas I: Seluruh lengkungan palatum, termasuk
bilateral faucial pillars, terlihat hingga ke dasar
pilar.
Kelas II: Bagian atas faucial pillars dan sebagian besar
uvula terlihat.
Kelas III: Hanya palatum molle dan durum yang terlihat.
Kelas IV: Hanya palatum durum yang terlihat.
• Jarak tiromental: jarak antara mentum (dagu) dan
superior thyroid notch. Diperlukan jarak yang lebih besar
dari 3 jari.
• Lingkar leher lebih dari 17 inci dikaitkan dengan
kesulitan dalam visualisasi pembukaan glotis.

4. Peralatan
Peralatan untuk airway management:
• An oxygen source
• Ventilasi dengan sungkup muka dan ambu bag
• Laringoskop (direct and video)
• Beberapa ETT dengan ukuran berbeda dengan stilet dan bougies
• Airway devices lainnya seperti oral, nasal, dan supraglottic airways
• Suction
• Pulse oximetry
• Stetoskop
• Tape
• Monitor tekanan darah dan elektrokardiografi (EKG)
• Akses intravena

5. Oral and Nasal Airways


a. Kehilangan tonus otot saluran
napas bagian atas seperti pada
kelemahan otot genioglossus
pada pasien yang dianestesi
memungkinkan lidah dan
epiglotis jatuh ke dinding A: Oral airway terpasang. Jalan napas mengikuti lengkungan
posterior faring. lidah, menariknya dan epiglotis menjauh dari dinding faring
b. Mengubah posisi kepala atau posterior dan menyediakan saluran untuk saluran udara.
jaw thrust  teknik yang sering B: Nasal airway di tempat. Jalan napas melewati hidung dan
dilakukan untuk membuka jalan memanjang hingga tepat di atas epiglotis.
napas
c. Untuk mempertahankan pembukaan, artificial airway dapat dimasukkan
melalui mulut atau hidung untuk mempertahankan jalur udara antara lidah dan
dinding faring posterior.
d. Pasien yang sadar atau dalam ringan dengan refleks laring yang utuh dapat
batuk atau bahkan mengalami laringospasme (Laringospasme adalah
kontraksi otot yang tidak terkendali atau involunter (spasme) dari pita
suara.) selama pemasangan jalan nafas.
e. Penempatan jalan napas oral kadang-kadang difasilitasi dengan menekan
refleks jalan napas, dan, di samping itu, kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel tongue.
f. Panjang jalan napas hidung dapat diperkirakan sebagai jarak dari nares ke
meatus telinga dan harus sekitar 2 sampai 4 cm lebih panjang dari saluran udara
oral.

6. Desain dan Teknik Sungkup Muka


a. Penggunaan sungkup muka dapat memfasilitasi penghantaran oksigen atau gas
anestesi ke sistem pernapasan pasien dengan membuat kedap udara dengan
wajah pasien.
b. Masker transparan memungkinkan pengamatan gas yang dihembuskan dan
identifikasi terhadap kejadian muntah.
c. Lingkaran sungkup dibuat hampir sesuai dengan berbagai fitur wajah.
d. Beberapa desain sungkup tersedia kait penahan di sekitar lubang dapat dipasang
ke tali kepala sehingga sungkup tidak harus terus ditahan di tempatnya.
7. Posisi dan Preoksigenasi
a. Saat mengelola jalan napas,
posisi pasien yang benar
sangat membantu.
b. Penjajaran dari sumbu oral
dan faring dicapai dengan
membuat pasien dalam
posisi "sniffing" (B) .
c. Pasien dengan obesitas 
diposisikan dengan sudut 30° ke
arah atas  karena kapasitas
residual fungsional (FRC) pada
pasien obesitas memburuk dalam
posisi terlentang, yang
menyebabkan deoksigenasi yang
lebih cepat jika ventilasi
terganggu.
d. Flexi cervical spine dan extensi
antlato occipital joint
e. Tujuan: Mendekatkan ke 3 garis spy bs melihat sbg 1 garis
f. Preoksigenasi
i. Oksigen dapat diberikan dengan menggunakan sungkup muka selama
beberapa menit sebelum induksi anestesi.
ii. Dengan cara ini, kapasitas residu fungsional (FRC) (= cadangan oksigen
pasien) dibersihkan dari nitrogen.
iii. Hingga 90% dari FRC (FRC normal = 2 L) setelah preoksigenasi diisi
dengan oksigen.
iv. Mengingat kebutuhan oksigen normal pada pasien adalah 200 - 250 mL
/ menit, pasien setelah diberikan preoksigenasinya memungkinkan
memiliki cadangan oksigen 5 hingga 8 menit.
v. FRC akan menurun pada keadaan:
1. berbaring terlentang,
2. obesitas,
3. kehamilan,
4. anesthesia tanpa dipengaruhi oleh usia.

8. Ventilasi Sungkup Muka dan Ambu Bag


a. Ventilasi sungkup yang efektif  kedap gas dan memiliki saluran udara yang
paten.
b. Teknik sungkup muka yang tidak tepat dapat  deflasi dari kantong reservoir
anestesi meskipun adjustable pressure-limiting valve ditutup, menunjukkan
kebocoran besar di sekitar sungkup muka.
c. Sebaliknya, pemberian tekanan sirkuit pernapasan tinggi dengan gerakan dada
dan suara napas minimal menandakan jalan napas terhambat.
d. Jika sungkup dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan dapat digunakan untuk
memberikan ventilasi tekanan positif dengan memompa ambu bag. Sungkup
dipegang pada wajah dengan tekanan ke bawah
pada topeng yang diberikan oleh ibu jari kiri
dan jari telunjuk. Jari tengah dan jari manis
memegang mandibula untuk ekstensi sendi
atlantooccipital.
e. Tekanan jari harus diletakkan pada angulus
mandibula dan bukan pada jaringan lunak.
f. Jari kelingking ditempatkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk mendorong
rahang ke depan, manuver paling penting
untuk membuka jalan napas.
g. Dalam situasi yang sulit, dua tangan mungkin
diperlukan untuk memberikan dorongan rahang yang
memadai dan untuk memasang sungkup. Oleh karena
itu, asisten mungkin diperlukan untuk memompa
ambu bag, atau ventilator mesin dapat digunakan.
h. Ventilasi tekanan positif menggunakan masker
biasanya dibatasi hingga 20 cm H2O untuk
menghindari inflasi lambung.
i. Karena tidak adanya tekanan jalan napas positif
selama ventilasi spontan, hanya kekuatan ke bawah
minimal pada sungkup muka diperlukan untuk
membuat segel yang memadai.
j. Mata harus ditutup secepat mungkin untuk meminimalkan risiko lecet kornea.
Jika jalan napas sudah dipatenkan, memompa ambu bag akan menyebabkan
terangkatnya dinding dada.
k. Jika ventilasi tidak efektif (tidak ada tanda-tanda dada terangkat, tidak ada end-
tidal CO2 terdeteksi, tidak ada kondensasi pada masker yang transparan),
pemasangan pembantu saluran napas oral atau hidung dapat dilakukan untuk
meringankan obstruksi jalan napas sekunder akibat lemahnya otot saluran napas
atas atau pada keadaan dengan struktur faring yang lebih besar.

9. Supraglotic Airway Device


1. Laryngeal Mask Airway
• Ujung LMA yang terbuat dari karet
• berada pada posterior laring dan menutupi pangkal
esophagus.
• Lubangnya dibagian anterior akan berada tepat di
depan rima glottis.
• karena LMA tidak dimasukkan melewati pita suara
kurang iritatif dan kurang traumatik terhadap saluran
napas.
• esofagusnya terhalang  tidak dapat dilakukan
pemeriksaan trans esophageal echocardiography
(TEE) atau pemasangan NGT.
• Teknik pemasangan LMA
• A: Sebelum LMA dipasang, balon
harus dikempiskan terlebih dahulu
dengan spuit
• B: Memasukkan LMA, bagian ujung
LMA didekatkan ke arah atas langit-
langit mulut. Jari tengah digunakan
untuk mendorong rahang bawah ke
arah bawah. LMA didorong ke faring
untuk memastikan bahwa ujungnya
tetap rata dan menghindari lidah.
• C: Mendorong LMA sepenuhnya ke
posisinya dalam satu gerakan.
Perhatikan bahwa leher tetap flexi
dan kepala extensi.
• D: LMA digenggam dengan tangan
lain dan jari telunjuk tangan pertama
ditarik. Tangan yang memegang
tabung menekan dengan lembut ke
bawah sampai hambatan muncul.
• Kontraindikasi relatif untuk LMA termasuk
pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), obstruksi faring, risiko aspirasi
(misalnya, kehamilan, hernia hiatal), atau
kepatuhan / komplians paru-paru yang
rendah (misalnya, penyakit pernapasan
restriktif) H2O.
• LMA dapat dikaitkan dengan bronkospasme
yang lebih jarang daripada ETT. Meskipun
jelas bukan pengganti untuk intubasi endotrakeal, LMA telah terbukti sangat
membantu sebagai tindakan yang menyelamatkan nyawa, sementara waktu pada
pasien dengan saluran udara yang sulit (mereka yang tidak dapat diberi ventilasi
atau intubasi) karena kemudahan penyisipan dan tingkat keberhasilan yang relatif
tinggi ( 95–99%).
• Sakit tenggorokan adalah efek samping yang umum terjadi setelah penggunaan
SAD. Cedera pada lingual, hypoglossal, dan saraf laring berulang yang telah
dilaporkan.
• Ukuran alat yang benar, menghindari hiperinflasi cuff, pelumasan yang memadai,
dan gerakan rahang yang lembut selama penempatan dapat mengurangi
kemungkinan cedera tersebut.
• Indikasi LMA:
• Ventilasi sungkup muka atau ventilasi dengan LMA biasanya untuk
prosedur minor dan singkat seperti sistoskopi, hernia inguinalis, operasi
ekstremitas, dan sebagainya. Namun demikian, indikasi untuk penggunaan
alat jalan napas supraglottic selama anestesi terus berkembang.
10. Intubasi Endotrakeal
a. Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa endotrakeal
(ETT), atau dengan LMA. Pemberian ventilasi mekanik dengan cara memompa
gas melalui sungkup muka (bag and mask ventilation) tidak dapat dilakukan
untuk jangka waktu yang lama.
b. Selain itu, jalan napas pasien sama sekali tidak terlindungi. Ventilasi dengan
cara tersebut biasanya hanya untuk persiapan sebelum manajemen definitif
jalan napas dengan ETT atau LMA.
c. ETT paling sering dibuat dari polivinil klorida.
d. Bentuk dan kekakuan ETT dapat diubah dengan memasukkan stilet.
e. Ujung tabung pasien miring / beveled untuk membantu visualisasi dan
pemasangan melalui pita suara.
f. Penempatan ETT yang telalu dalam disalah satu bronkus akan menyebabkan
hipoksia karena atelectasis satu paru. ETT juga terkadang salah arah, masuk ke
esophagus, hal ini dapat menyebabkan keadaan fatal bagi pasien.
g. Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi esophagus adalah dengan menggunakan
kapnograf. Jika ETT masuk ke esophagus, tidak akan terdeteksi kadar ETCO2
(end-tidal CO2) melalui kapnograf, hal ini karena CO2 hanya di ekskresikan
oleh paru-paru.
h. ETT paling sering dibuat dari polivinil klorida.
i. Bentuk dan kekakuan ETT dapat diubah dengan memasukkan stilet.
j. Ujung tabung pasien miring / beveled untuk membantu visualisasi dan
pemasangan melalui pita suara.
k. ETT memiliki lubang (mata Murphy) untuk mengurangi risiko oklusi, jikalau
pembukaan tabung distal berbatasan dengan carina atau trakea (Gambar 19-17).
l. Resistensi terhadap aliran udara tergantung terutama pada diameter
tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang dan kelengkungan tabung.
m. Ukuran ETT biasanya ditetapkan dalam milimeter diameter internal. Pilihan
diameter tabung selalu merupakan kompromi antara memaksimalkan
aliran dengan ukuran yang lebih besar dan meminimalkan trauma saluran
napas dengan ukuran yang lebih kecil (Tabel 19-5).
n. Dengan membuat segel trakea, balon ETT memungkinkan ventilasi tekanan
positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi.

11. Indikasi Intubasi


Intubasi diindikasikan pada pasien yang berisiko aspirasi dan pada mereka
yang menjalani prosedur bedah yang melibatkan rongga tubuh, kepala dan
leher, dan mereka yang akan dioperasi pada posisi tertentu sehingga
memungkinkan kesulitan untuk manajemen jalan napas seperti pada pasien
yang akan menjalani operasi dalam posisi tengkurap.

12. Prosedur Laringoskopi


a. Ketinggian kepala sedang (5-10 cm di atas meja bedah) dan ekstensi tempat
sendi atlantooksipital, pasien dalam posisi “sniffing” yang diinginkan (Gambar
19-26).
b. Bagian bawah tulang belakang leher ditekuk
dengan meletakkan kepala di atas bantal atau
penyangga lunak lainnya.
c. Paparan glotis yang adekuat selama
laringoskopi sering tergantung pada posisi
pasien yang benar.
d. Seperti dibahas sebelumnya, persiapan untuk
induksi dan intubasi juga melibatkan
preoksigenasi. Preoksigenasi dapat
ditiadakan pada pasien yang keberatan
dengan sungkup wajah; Namun, gagal
preoksigenasi meningkatkan risiko desaturasi
cepat setelah apnea.
e. Karena anestesi umum menghambat refleks
pelindung kornea, perawatan harus
dilakukan selama periode ini untuk tidak
melukai mata pasien dengan secara tidak
sengaja mengaburkan kornea. Dengan
demikian, mata ditutup secara rutin sesegera
mungkin, seringkali setelah menggunakan
salep oftalmik sebelum manipulasi jalan
napas.

13. Intubasi Nasotrakeal


a. NTT yang dilumasi dengan jeli dimasukkan di sepanjang dasar hidung. Bevel
(slope) tube harus diarahkan ke medial.
b. Tabung secara bertahap dimajukan, sampai ujungnya dapat divisualisasikan di
orofaring.
c. Jika kesulitan terjadi, ujung tabung dapat diarahkan melalui pita suara dengan
forceps Magill.
d. Intubasi hidung mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT dimajukan
melalui hidung dan nasofaring ke dalam orofaring sebelum laringoskopi.
e. Fenilefrin (0,5% atau 0,25%) atau tolazoline tetes hidung menyebabkan
pembuluh darah mengerut dan mengecilkan selaput lendir.
f. forceps Magill, berhati-hati untuk tidak merusakkan cuff. Bagian nasal dari
NTT, saluran udara, atau kateter nasogastrik membawa risiko lebih besar pada
pasien dengan trauma midfasial parah karena risiko masuk ke intracranial.
14. Komplikasi Intubasi dan Laringoskopi

15. Teknik Ekstubasi


a. Ekstubasi ETT seringnya dilakukan ketika pasien masih pada tahapan anestesi
yang dalam atau sudah sadar.
b. Ekstubasi selama tahapan anestesi ringan (yaitu antara tahapan anestesi dalam
dan sadar) dihindari karena peningkatan risiko laringospasme.
c. Perbedaan antara tahapan anestesi dalam dan ringan biasanya jelas selama
suction faring: setiap reaksi terhadap pengisapan (misalnya, menahan napas,
batuk) menandakan tahapan anestesi ringan, sedangkan tidak ada reaksi tertentu
yang menjadi karakteristik dari tahapan anestesi dalam.
d. Demikian pula, pembukaan mata atau gerakan yang disengaja menandakan
bahwa pasien cukup sadar untuk dilakukan ekstubasi.
e. Ekstubasi ETT pasien yang sadar ditandai dengan pasien batuk. Reaksi ini akan
meningkatkan denyut jantung, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri,
tekanan intrakranial, tekanan intraabdominal, dan tekanan intraokular.
f. Hal Ini juga dapat menyebabkan wound dehiscence dan peningkatan
perdarahan. Kehadiran ETT pada pasien asma yang sadar dapat memicu
bronkospasme.
g. Selain itu, faring pasien harus di suction secara menyeluruh sebelum ekstubasi
untuk mengurangi potensi aspirasi darah dan sekresi. Pasien harus diventilasi
dengan oksigen 100% jika menjadi sulit untuk mempertahankan jalan napas
setelah ETT dikeluarkan.
h. Kehadiran ETT pada pasien asma yang sadar dapat memicu
bronkospasme. Beberapa praktisi berusaha mengurangi kemungkinan efek ini
dengan memberikan 1,5 mg / kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum
pengisapan dan ekstubasi;
i. Setelah semua nya Pengiriman oksigen dengan sungkup muka
dipertahankan selama periode transportasi ke area perawatan
postanesthesia.
j. Tepat sebelum ekstubasi, fiksasi ETT dilepas dan balon dikempiskan. Pipa ETT
ditarik dalam satu gerakan, dan sunkup muka diberikan untuk menghantarkan
oksigen. Pengiriman oksigen dengan sungkup muka dipertahankan selama
periode transportasi ke area perawatan postanesthesia.

Anda mungkin juga menyukai