Anda di halaman 1dari 50

Kompetensi Selama Kepaniteraan

Nama : Muhammad Fakhrul Faris Bin Hasserin


NIM : C014192150

1. Mampu mengenal adanya gangguan jalan napas pada kasus


kegawatdaruratan

Sumbatan jalan napas dapat terjadi dalam bentuk parsial dan total.
▪ Sumbatan jalan napas parsial ditandai dengan adanya suara napas
seperti stridor, retraksi otot napas di daerah supraklavikula,
suprasternal, sela iga dan epigastrium selama inspirasi.
▪ Sumbatan jalan napas total memiliki gejala yang lebih hebat dan
berat. Bunyi napas stridor juga hilang sekiranya terjadi sumbatan
napas total. Retraksi,napas paradoksal dan kerja otot bantu napas
meningkat. Sumbatan total yang tidak berbunyi bisa disebabkan
oleh terjadinya asfiksia.
▪ Tanda-tanda adanya sumbatan jalan napas antaranya adalah
Mendengkur (Snoring), Berkumur (Gurgling), Stridor (Crowing),
Sianosis, Agitasi dan Penurunan Kesadaran.

Tindakan yang bisa dilakukan dalam mengenal gangguan jalan napas:


• Look
Lihat gerakan napas atau pengembangan dada, adanya retrkasi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat pengembangan dada apakah
simetris atau asimetris. Cedera dinding dada dapat mengakibatkan gerakan
paradoksal dinding dada.
• Listen
Mendengarkan aliran udara pernapasan. Perubahan atau hilangnya suara
merupakan tanda adanya gangguan jalan napas. Stridor dapat terjadi akibat
sumbatan sebagian jalan napas setinggi laring atau setinggi trakea. Snoring
biasanya akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring.
• Feel
Merasakan adanya aliran udara pernapasan sama ada dari hidung atau
mulut.
2. Mampu membebaskan jalan napas tanpa alat
Tindakan yang dapat dilakukan untuk membuka jalan napas antaranya
adalah Triple Way Maneuver
• Head Tilt (Dorong kepala ke belakang)
Cara:
Letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga
kepala menjadi tengadah dan penyangga lidah terangkat ke depan.
• Chin Lift
Cara:
Mneggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu
pasien, kemudian mengangkat dan mendorong tulang dagu ke depan.
• Jaw Thrust
Cara:
Mendorong sudut mandibular ke depan sehingga barisan gigi bawah
berada di depan barisan gigi atas. Selain itu bisa menggunakan ibu jari ke
dalam mulut dan bersama jari-jari yang lain menarik dagu ke depan.

*Pada pasien yang curiga adanya cedera leher atau Trauma Kepala,
Manuever Jaw Thrust dapat dilakukan dengan hati-hati dan mencegah
gerakan pada daerah leher.

3. Mampu membebaskan jalan napas dengan alat (OPA, NPA, LMA,


ETT)
• Oropharyngeal Airway (OPA)
Berbentuk C yang berguna untuk menahan lidah yang menutup dinding
posterior faring sehingga udara dapat mengalir dan pengisapan dapat
dilakukan lewat mulut. OPA digunakan dengan ukuran yang sesuai, cara
mengukur dengan meletakkan salah satu ujungnya di sulut mulut dan ujung
lainnya harus mencapai sudut mandibular.
Cara pemasangan :
i. Pakai sarung tangan
ii. Buka mulut boneka/pasien dengan cara chin lift atau gunakan ibu
jari dan telunjuk
iii. Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya
iv. Bersihkan dan basahi pipa orofaring agar licin dan mudah
dimasukkan
v. Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatal)
vi. Masukkan separuh, putar lengkungan mengarah ke bawah lidah.
vii. Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat.
viii. Yakinkan lidah sudah tertopang dengan pipa orofaring dengan
melihat pola napas, rasakan dan dengarkan suara napas pasca
pemasangan.

• Nasopharyngeal Airway (NPA)


Pipa karet elastik yang dapat dimasukkan melalui lubang hidung masuk ke
dalam faring. Digunakan pada pasien kesadaran menurun yang tidak dapat
menggunakan OPA. Efektif pada keadaaan trauma, trismus atau
penghalang lain yang menyulitkan masuknya OPA. NPA sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan gangguan perdarahan dan patah tulang basis
cranii. NPA yang sesuai dengan pasien harus diukur mulai dari ujung
hidung hingga telinga.
Cara Pemasangan:
i. Pakai sarung tangan
ii. Nilai besarnya lubang hidung dengan besarnya pipa
nasofaring yang akan dimasukkan.
iii. Nilai adakah kelainan di cavum nasi
iv. Pipa nasofaring diolesi dengan jeli, demikian juga lubang
hidung yang akan dimasukkan.
v. Pegang pipa nasofaring sedemikian rupa sehingga ujungnya
menghadap ke telinga.
vi. Dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, sambil menilai
adakah liran udara di dalam pipa.
vii. Fikasasi dengan plester.
• Laryngeal Mask Airway (LMA)
Alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan
ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Alat ini dibuat dengan tujuan supaya dapat
dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat diguanakan jika intubasi
trakea diramalkan mendapatkan kesulitan.

Cara pemasangan:
i. Operator berdiri di bagian kepala tempat tidur dan tempat tidur pada
posisi datar
ii. Memegang LMA pada tangan kanan
iii. Memposisikan kepala pasien pada posisi ekstensi
iv. Meminta asisten untuk membuka mulut pasien
v. Masukkan LMA
vi. Pastikan posisi LMA:
vii. Pasang bag-valve-mask
viii. Inspeksi dan auskultasi dada untuk mendengarkan suara napas yang
simetris
ix. Perhatikan pengembunan yang terjadi pada pipa endotrakea saat
ekshalasi napas
x. Fiksasi posisi LMA plester di bagian tengah bibir.
• Endotracheal tube (ETT)
Indikasi dilakukannya intubasi endotrakeal, atau dikenal sebagai
endotracheal tube (ETT) intubation, antara lain adalah:
✓ Untuk mencegah terjadinya aspirasi
✓ Perburukan dengan ancaman gagal napas: perdarahan intrakranial, syok
sepsis, trauma kepala, cedera servikal
✓ Gangguan ventilasi
✓ Gangguan oksigenasi: emboli paru, edema paru difus, sindroma distress
pernapasan akut, keracunan karbon monoksida, keracunan sianida
✓ Gangguan patensi jalan napas: angioedema, anafilaksis, perdarahan
orofaring
✓ Pasien operasi pronasi atau rotasi kepala, bagian kepala dan leher
✓ Pasien yang membutuhkan anestesi umum dan durasi panjang
Pipa trakea mengantarkan gas anestetik langsung kedalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter
lubang pipa trakea dalam millimeter.
Penampang melintang trakea bayi dan anak <5 tahun hamper bulat,
sedangkan orang dewasa seperti huruf D, maka pada bayi anak digunakan
tanpa kaf dan untuk anak besar-dewasa dengan kaf.
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
- Diameter dalam pipa trakea (mm) : 4 + ¼ umur (th)
- Panjang pipa orotrakeal (cm) : 12 + ½ umur (th)
Cara pemasangan:
1) Persiapan alat:
STATICS
- Skop (laringoskop dan stetoskop)
- Tube (pipa endotrakeal)
- Airway (oropharyngeal airway)
- Tape (plester)
- Introducer (stylet/mandrin)
- Connector (oksigen)
- Suction
2) Menilai sulit intubasi:
LEMON
- Look external (trauma maxcillofacial,deformitas pada wajah, leher
pendek).
- Evaluasi 332 (3 jari antara insisivus superior dan inferior, 3 jari dibawah
mandibular, 2 jari antara musculus hyoideus dengan dasar pangkal lidah)
- Mallampati skor

- Obstruksi (Epiglotitis, corpus alienum, obesitas, head & neck cancer)


- Neck Deformity (Trauma cervical, terpasang neck collar, geriatric)
3) Prosedur intubasi endotrakeal umumnya dilakukan dengan teknik RSI.
Teknik ini dilakukan dengan:
- Preoksigenasi : Preoksigenasi merupakan proses penting yang harus
dilakukan. Berikan pasien 100% oksigen via masker nonrebreather
selama 3-5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan nitrogen
(denitrogenisasi) dan memberikan cadangan oksigen, sehingga dapat
memperpanjang durasi apnea aman / safe apnea.
- Premedikasi : Medikasi untuk intubasi terbagi menjadi 3,
premedikasi, induksi, dan agen paralitik. Premedikasi tidak umum
dilakukan. Jika diperlukan, obat premedikasi yang dapat diberikan adalah
lidocaine (1.5 mg/kgBB/IV), atau atropine. Jika diberikan premedikasi,
induksi dilakukan setelah pemberian obat-obat premedikasi. Obat yang
umum diberikan adalah fentanyl, ketamine, propofol, etomidate,
midazolam, dan thiopental. Agen paralitik terbagi menjadi agen
depolarisasi dan nondepolarisasi. Agen depolarisasi satu-satunya adalah
succinylcholine.
- Proteksi dan posisi : Pasien diposisikan dalam posisi sniffing
dengan cara elevasi kepala sekitar 10-15o
- Intubasi
- Konfirmasi : Konfirmasi posisi intubasi dilakukan dengan empat metode:
visualisasi, kapnografi/end-tidal carbon dioxide (EtCO2), auskultasi, atau
rontgen toraks. Auskultasi dilakukan pada toraks dan epigastrium
4) Pemasangan
- Penolong berdiri diatas kepala pasien, memastikan jalan napas terbuka,
oksigenasi dan ventilasi adekuat, serta terpasang monitor standar (BP, HR,
RR, SpO2 dan EKG)
- Memberikan sedikit xylocain spray kedalam mulut pasien.
- Melakukan head tilt-chin lift agar sedikit ekstensi
- Ambil dan pegang laryngoscope dengan tangan kiri, buka mulut dengan
teknik cross finger dan masukan laryngoskop dari sudut bibir kanan
kemudian geser lidah kearah sebelah kiri.
- Dorong dan masukan laryngoskop secara perlahan sampai epiglottis
terlihat beserta plica vocalis.
- Ambil dan masukan ETT secara perlahan sampai melewati batas garis
hitam atau kurang lebih 20 cm untuk panjang keselurua]han.
- Kembangkan cuff/balon ett secukupnya dengan udara.
- Keluarkan laringoskop sambil menahan ETT di sudut kanan, sambungkan
bag dengan ETT dan lihat pengembangan dada.
- Minta bantuan untuk auskultasi kesimetrisan suara napas kedua dinding
dada.
- Fiksasi ETT di sudut bibir kanan dengan plester.
4. Mampu membersihkan jalan napas dengan alat penghisap dan tanpa
alat
I. Tanpa alat (Finger Sweep)
Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
Cara melakukan:
a) Pasang sarung tangan
b) Buka mulut pasien dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah
c) Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah yang bersih atau
dibungkus dengan sarung tangan /kassa untuk membersihkan dan
mengorek semua benda asing dalam mulut.Mampu membersihkan
jalan napas dengan alat penghisap dan tanpa alat
II. Dengan Alat
Tindakan suctioning bertujuan untuk menjaga kepatenan jalan napas dan
membuang sekret seperti air liur, cairan paru, darah, cairan muntah, atau
benda asing yang terletak pada jalan napas. Tindakan suctioning sangat
membantu pasien yang mengalami gangguan jalan napas yang tidak
mampu untuk batuk atau mengeluarkan sekret.

Cara Penggunaan:

Pegang Alat/Selang suction dengan tangan kiri dan masukkan serta


dorong secara perlahan kedalam mulut/hidung dengan tangan kanan.
Tekan lubang pengisap pada suction sambil menarik selang suction
keluar.

5. Mampu mengatasi sumbatan jalan napas yang parsial maupun total

I. Obstruksi parsial jalan napas: Bisa disebabkan oleh misal lidah


jatuh kebelakang ditandai dengan bunyi napas snoring bisa
dilakukan pembebasan jalan napas tanpa alat (head tilt-chin lift
manuever) atau dengan alat (oropharyngeal airway) atau
disebabkan adanya cairan ditandai dengan bunyi napas gargling
yang bisa ditangani dengan suction atau finger swab.

II. Obstruksi total jalan napas: Bila dada tidak mengembang maka
kemungkinan ada sumbatan pada jalan napas dan dilakukan
beberapa maneuver untuk mengatasi obstruksi saluran napas.
Pertolongan pertama ini meliputi back blow, chest thrust,
abdominal thrust (Heimlich maneuver), finger sweep, dan tongue-
jaw lift. Manuver-manuver yang dilakukan bergantung pada usia
dan keadaan tertentu (hamil atau obesitas). Pada keadaan tersedak
yang mengancam nyawa dan obstruksi menutup total glottis,
supraglotis, maupun trakea, maka perlu dilakukan prosedur
krikotiroidektomi atau trakeostomi dengan tujuan untuk
mengamankan jalan napas dan memastikan oksigenasi.

Penanganan Tersedak atau obstruksi jalan napas oleh benda asing


(Foreign Body Airway Obstruction/FBAO) merupakan kegawatdaruratan
medis yang perlu ditangani segera karena dapat mengancam jiwa.
Tersedak terjadi karena adanya obstruksi parsial atau komplit pada jalan
napas atas sehingga trakea yang disebabkan oleh benda asing (makanan,
mainan, koin). Obstruksi dapat terjadi di saluran napas atas (jalan napas
sebelum plica vocalis) dan saluran napas bawah (trakea, bronkus cabang
kanan dan kiri).

i. Back Blow/Back Slaps: Korban dewasa sadar


➢ Bila korban masih sempoyongan. Rangkul dari belakang
➢ Lengan menahan tubuh, lengan yang lain melalukan Back-Blow/
Back Slaps. Pertahankan korban jangan sampai tersungkur
➢ Berikan pukulan/hentakan keras 5 kali, dengan kepalan
(genggaman tangan). Pada titik silang garis imaginasi tulang
belakang dan garis antar belikat.
➢ Bila belum berhasil secara pelan segera baringkan korban pada
posisi terlentang. Lakukan abdominal thrust

ii. Back Blow: Pada Bayi

➢ Posisikan bayi dalam keadaan kepala menghadap ke bawah,


tengkurap agar dengan gaya gravitasi membantu mengeluarkan
benda asing
➢ Penyelamat yang duduk atau berlutut harus dapat menopang bayi
dengan aman di pangkuannya
➢ Sangga kepala bayi dengan meletakkan ibu jari di sudut rahang
bawah, dan satu atau dua jari dari tangan yang sama di sudut
rahang bawah yang lainnya
➢ Jangan menekan jaringan lunak di bawah rahang bayi karena akan
memperburuk obstruksi jalan napas
➢ Lakukan hingga 5 back blow yang keras dengan pangkal satu
tangan di tengah punggung di antara tulang belikat
➢ Tujuannya adalah untuk menghilangkan obstruksi dengan setiap
back blow daripada memberikan kelima back blow.

iii. Abdominal Thrust: Korban Berdiri/ Korban Dewasa Sadar


➢ Rangkul korban yang sedang sempoyongan dengan kedua lengan
dari belakang
➢ Lakukan hentakan tarikan, 5 kali dengan menarik kedua lengan
penolong bertumpuk pada kepalan kedua tangannya tepat di titik
hentak yang terletak pada pertengahan pusar dan titik ulu hati
korban.
➢ Bila belum berhasil secara pelan segera baringkan korban pada
posisi terlentang. Lakukan abdominal thrust.

iv. Abdominal Thrust: Korban Terbaring/ Korban Dewasa Tidak


Sadar
➢ Bila korban jatuh tidak sadar, segera baringkan terlentang
➢ Penolong mengambil posisi seperti naik kuda diatas tubuh korban
atau disamping korban sebatas pinggul korban.
➢ Lakukan hentakan mendorong 5 kali dengan menggunakan kedua
lengan penolong bertumpu tepat diatas titik hentakan (daerah
epigastrium).

v. Abdominal Thrust: Korban Anak > 1 Tahun:


➢ Berdiri atau berlutut di belakang anak. Hasil terbaik
dihasilkan ketika penyelamat melakukannya sambil berlutut.
Letakkan tangan penyelamat di bawah lengan anak dan
kelilingi tubuhnya.
➢ Kepalkan tangan dan letakkan di antara umbilikus dan
processus xiphoideus.
➢ Pegang tangan yang satu dengan tangan yang lainnya dan
tarik ke dalam dan ke atas dengan kuat.
➢ Ulangi hingga 4 kali lagi.
➢ Pastikan agar abdominal thrust dilakukan tidak pada
processus xiphoideus atau tulang rusuk bawah karena dapat
menyebabkan trauma abdomen.
➢ Hal ini bertujuan untuk melepaskan benda asing dengan
setiap abdominal thrust daripada melakukannya kelimanya
sekaligus.

vi. Chest Thrust: Korban Bayi

➢ Posisikan bayi dengan kepala menghadap ke bawah dan


telentang (supine). Agar bayi aman, sangga punggung bayi
dengan lengan bebas dan bagian oksipital dengan tangan
Anda
➢ Topang bayi menggunakan lengan dan letakkan di paha
Anda agar stabil
➢ Identifikasi tanda untuk kompresi dada (di tulang sternum
bagian bawah dan kira-kira selebar jari di atas processus
xiphoideus)
➢ Berikan hingga 5 kali chest thrust (mirip dengan kompresi
dada, tetapi lebih kuat dan lebih lambat
➢ Hal ini bertujuan untuk melepaskan benda asing dengan
setiap chest thrust daripada melakukannya kelimanya
sekaligus

Bagi bayi <1 tahun, untuk manuver back blow dilakukan dengan kepala
menghadap ke bawah dan posisi tengkurap; chest thrust dilakukan dengan
kepala menghadap ke bawah dan telentang (supine). Prosedur abdominal
thrust tidak dianjurkan untuk dilakukan pada anak di bawah usia 1 tahun
dikarenakan tindakan tersebut dapat mencederai organ dalam/viscera.
Bagi anak-anak >1 tahun, untuk manuver back blow lebih efektif jika
dilakukan dengan kepala menghadap ke bawah; abdominal
thrust dilakukan secara berdiri
Pada pasien obese dan ibu hamil dengan usia kehamilan tua disarankan
untuk dilakukan chest thrust daripada abdominal thrust.
6. Mampu melakukan napas bantu/napas kendali dengan
menggunakan Bag Valve Mask/Jackson Rees pada penderita
gangguan pernapasan

Pasien dengan penurunan kesadaran dan ventilasi spontan yang tidak


adekuat perlu dilakukan ventilasi buatan. Bag mask devices atau BVM
merupakan masker yang dioperasikan menggunakan tangan untuk
resusitasi ketika pasien tidak dapat bernapas dengan usahanya sendiri,
dapat dihubungkan dengan sumber oksigen untuk meningkatkan aliran
oksigen. Ventilasi yang efektif memerlukan jalan yang bebas dan sungkup
muka yang rapat dan tidak bocor.
Cara melakukan:
a) Persiapan alat:
- Manual bag-valve
- Face mask yang sesuai ukuran, harus melingkupi mulut dan hidung,
tetapi tidak terlalu besar, sehingga banyak udara yang bocor
- Sumber oksigen, selang, regulator
b) Berdiri di atas kepala pasien
c) Tempatkan pasien pada posisi sniffing (hidung mengarah ke langit-
langit)
d) Tempatkan face mask dengan teknik satu tangan:
- Menggunakan tangan kiri
- Tempatkan jari kelingking, jari manis dan jari tengah di bawah sisi kiri
mandibula pasien
- Tempatkan jari telunjuk dan ibu jari pada face mask di bagian atas dan
bawah
- Tangan kanan digunakan untuk melakukan entilasi dengan bag
e) Tempatkan face mask dengan teknik dua tangan:
f) Mulai memberikan tekanan positif melalui bagvalve mask secara
lembut
g) Jika ventilasi sulit dilakukan, lakukan chin lift dan jaw thrust manuever
h) Jika ventilasi masih sulit, bisa dipasangkan pipa orofaring atau
nasofaring

7. Menguasai teknik pemberian oksigen

Dasar dari penggunaan terapi oksigen adalah pencegahan atau


koreksi hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan. Kedua kondisi tersebut
dapat ditemukan dalam banyak masalah medis. Terapi oksigen
diindikasikan pada orang dewasa dan anak dengan PaO2<60 mmHg atau
saturasi oksigen <90% pada kondisi istirahat. Pada neonatus, terapi
oksigen diindikasikan bila PaO2<50 mmHg atau saturasi O2<88%
Segera berikan oksigen ke pasien dengan ISPA (dewasa dan anak) yang
mempunyai tanda-tanda penyakit yang berat:
➢ Gangguan pernapasan berat (RR > 30 x/mnt)
➢ Hipoperfusi/syok (TD < 90 mmHg)
➢ Hipoksemia (SpO2 < 90%)
Nasal Kanul
Nasal kanul merupakan tabung tipis yang digunakan untuk
pemberian oksigen dosis rendah dan sedang. Nasal kanul merupakan
metode yang paling sering dan paling mudah untuk suplementasi
oksigen, baik di fasilitas kesehatan maupun penggunaan rumahan.
Laju aliran berkisar antara 2-6 liter per menit (lpm)
Masker Sederhana (Simple mask)
Pada penggunaan masker sederhana, oksigen yang disuplai ke
pasien bervariasi bergantung pada aliran O2 dan pola napas pasien.
Masker ini memberi oksigen dengan konsentrasi antara 35-60%.
Konsentrasi O2 dapat berubah dengan cara meningkatkan atau
menurunkan aliran O2 antara 6-10 L/menit. Aliran masker di bawah
5 L/menit meningkatkan resistensi napas, sehingga CO2 dapat
terkumpul di dalam masker dan rebreathing dapat terjadi.
Non-rebreathing Mask (NRM)
Non-rebreathing Mask (NRM) memiliki kantung yang terhubung
dengan masker atau kantung reservoir. NRM dapat mencapai
oksigen 100% dan memungkinkan aliran yang lebih tinggi.
Reservoir memungkinakn konsentrasi oksigen dan meningkatkan
persentase administrasi. Dengan mengumpulkan 100% oksigen pada
kantong reservoir, pasien dapat menerima konsentrasi oksigen yang
lebih tinggi
Masker Venturi
Masker venturi dapat memberikan konsentrasi oksigen yang akurat
terlepas dari laju aliran oksigen yang diberikan. Alat ini bekerja
berdasarkan prinsip venturi, yakni aliran gas ke masker didilusi
dengan udara di adaptor venturi. Semakin tinggi aliran, semakin
banyak udara yang dimasukkan. Karena proporsinya sama, maka
masker ini akan memberi konsentrasi oksigen yang sama seiring
dengan peningkatan laju aliran oksigen. Masker venturi tersedia
dalam konsentrasi 24%, 28%, 35%, 40%, dan 60%, sehingga cocok
untuk pasien dengan kebutuhan konsentrasi oksigen yang diketahui.
Konsentrasi 24% dan 28% cocok untuk pasien dengan risiko retensi
karbon dioksida,
Dewasa : Mulai dengan oksigen 5 liter/menit (l/mnt) melalui nasal
kanul. Untuk pasien dengan penyakit kritis, jika memungkinkan,
pertimbangkan memulai dengan laju aliran yang lebih tinggi (10-15
l/mnt) menggunakan sungkup muka dengan kantong reservoir.
Anak : Mulai dengan nasal kanul 1-2 l/mnt atau 0,5 l/mnt pada young
infants. Pada pasien dengan penyakit kritis, dapat diberikan melalui
kateter nasofaring 1-2 l/mnt atau sungkup muka dengan reservoir
(10-15 l/mnt). Terapi oksigen aman diberikan pada bayi yang baru
lahir dan neonatus yang hipoksik
Kenali pasien yang gagal respon terhadap eskalasi terapi oksigen, adanya
tanda-tanda gangguan napas berat dan hipoksemia yang berlanjut
walaupun telah diterapi dengan oksigen aliran tinggi. Pertimbangkan
penggunaan alat terapi oksigen lanjutan.
8. Mampu mendiagnosa dan mengelola syok dan dehidrasi

Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi


tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Secara umum dapat
dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume
plasma intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh
baik arteri, vena, arteriol, venule ataupun kapiler, serta sumbatan potensi
aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal dan sistemik. Berdasarkan
bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme terjadinya, syok dapat
dikelompokkan beberapa macam yaitu:
1) Syok hipovolemik, diinduksi oleh penurunan volume darah, yang
terjadi secara langsung karena perdarahan hebat atau tidak langsung
karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma (misalnya diare berat,
pengeluaran urin berlebihan atau keringat
berlebihan).
2) Syok kardiogenik, disebabkan oleh kegagalan jantung yang melemah
untuk memompa darah secara adekuat.
3) Syok distibutif, disebabkan oleh vasodilatasi luas yang dicetuskan oleh
adanya zat-zat vasodilator. Terdapat tiga jenis syok vasogenik: Syok
septik dan Syok Anafilaktik yang dapat menyertai infeksi luas,
ditimbulkan oleh zat-zat vasodilator yang dikeluarkan oleh penyebab
infeksi. Demikian juga pengeluaran histhistamin berlebihan pada reaksi
alergi hebat dapat menyebabkan vasodilatasi luas (syok anafilaktik) dan
syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus
simpatis.
4) Syok obstruktif, syok yang diakibatkan adanya gangguan pada
distribusi volume sirkulasi baik pada perubahan resistensi pembuluh
darah ataupun akibat permeabilitasnya.
Indikator klinis tanda syok adalah tanda-tanda vital yang
abnormal, seperti: hipotensi, takikardia, nadi melemah, menurunnya
capillary refill time (CRT), penurunan output urine, dan perubahan status
mental.
a) Survei Primer berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Pada syok hemoragik dengan etiologi trauma, pemeriksaan fisik
sebagai survei primer harus dilakukan sesuai dengan anjuran Advanced
Trauma Life Support (ATLS) dengan urutan:
- Airway maintenance dengan pembatasan gerakan tulang servikal:
Melakukan pemeriksaan patensi jalan napas dengan inspeksi adanya
benda asing dan fraktur fasial, mandibular, trakea atau laring.
Pemeriksaan dilakukan dengan tetap memasang cervical
spine. Chin-lift atau jaw-thrust merupakan manuver yang dapat
digunakan
- Breathing and ventilation: Pemeriksaan fisik dilakukan dengan
melihat posisi trakea, adanya distensi vena jugular serta inspeksi dan
palpasi untuk deteksi cedera pada dinding dada.
- Circulation dengan kontrol perdarahan: Pemeriksaan fisik dengan
menilai kesadaran, tanda-tanda vital, tanda-tanda kehilangan darah
seperti kulit tampak pucat, identifikasi sumber perdarahan baik
secara eksternal dan internal serta perkiraan jumlah perdarahan, dan
menghentikan perdarahan. Kemungkinan kehilangan darah akut
pada perdarahan internal dapat terjadi akibat trauma pada toraks,
abdomen, retroperitoneum, pelvis dan tulang panjang.
- Disability (evaluasi status neurologis): Melakukan pemeriksaan
neurologi secara cepat mencakup kesadaran (GCS), ukuran dan
reaksi langsung/tidak langsung pupil, tanda lateralisasi, dan trauma
medulla spinalis
- Exposure/Environmental control: Pada pemeriksaan exposure,
lepaskan pakaian pasien lalu lakukan pemeriksaan keseluruhan
untuk menilai adanya trauma di tempat lain. Berikan selimut hangat
untuk mencegah terjadinya hipotermia yang dapat memperberat
syok hemoragik.
b) Syok kardiogenik merupakan kegawatdaruratan yang mengancam
nyawa, sehingga penatalaksanaan awalnya adalah stabilisasi
hemodinamik dan terapi etiologinya, seperti sindrom koroner akut
(SKA). Pasien sebaiknya dirujuk ke Rumah Sakit tersier untuk tindakan
spesialistik, seperti kateterisasi untuk reperfusi, perawatan intensif, dan
bantuan sirkulasi mekanik.
- Hipovolemia dapat terjadi karena penggunaan diuretik atau muntah,
maka boleh diberikan cairan isotonik, Apabila ditemukan adanya
tanda overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa hipotensi,
maka pasien dapat diberikan diuretik, seperti furosemide; morfin;
suplementasi oksigen; dan vasodilator.
- Terapi medikamentosa pada syok kardiogenik intinya adalah
mempertahankan fungsi jantung dan vaskularisasinya, misalnya
dengan pemberian fibrinolitik, mempertahankan euvolemia,
vasopresor atau vasodilator, dan inotropik.
o Agen inotropik, seperti dobutamin, dopamin, dan
milrinone, meningkatkan kontraktilitas jantung, sehingga
diperlukan untuk pasien dengan curah jantung rendah,
hipotensi, dan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Inotropik ini
digunakan untuk syok kardiogenik pada tekanan darah kurang
dari 80 mmHg. Inotropik diindikasikan pada pasien dengan
tanda hipoperfusi jaringan walaupun sudah dilakukan
resusitasi cairan
o Agen vasopressor yang disarankan digunakan pada syok
kardiogenik antara lain norepinefrin dan epinefrin.
Vasopressor meningkatkan influks kalsium intrasel pada
miosit pembuluh darah, sehingga menyebabkan
vasokonstriksi. Vasokonstriksi meningkatkan resistensi
vaskular dan mean arterial pressure (MAP)

c) Syok sepsis diakibatkan oleh kondisi dilatasi arteri dan vena akibat
mediator inflamatori, diikuti penurunan venous return. Kebocoran
cairan intravaskular ke interstitial juga terjadi karena gangguan fungsi
barrier endotel.
Syok sepsis dapat ditegakkan jika pasien sepsis membutuhkan
terapi vasopressor untuk mempertahankan mean arterial pressure
≥65 mmHg, dan kadar laktat serum >2 mmol/L atau 18 mg/dl
menetap walaupun pasien sudah mendapat resusitasi cairan
adekuat.
Penatalaksanaan syok sepsis perlu mencakup resusitasi untuk
memperbaiki perfusi, pengendalian sumber infeksi, dan modulasi
respon imun pejamu. Penanganan syok pada syok sepsis dilakukan
dengan:
- Mengembalikan mean arterial pressure (MAP) di atas 65 mmHg
- Resusitasi cairan dengan kristaloid berupa cairan kristaloid (Ringer
Laktat) atau albumin, serta pemberian koloid hingga 30cc/kgBB
dalam 3 jam pertama
- Ventilasi mekanik untuk mengurangi kebutuhan metabolic
- Pemberian obat vasoaktif jika resusitasi cairan tidak menghasilkan
respon adekuat
- Pengendalian sumber infeksi dilakukan dengan: Pemberian
antibiotik spektrum luas dalam 1 jam pertama. Terapi empirik harus
memiliki aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin
menyebabkan infeksi pada kasus masing-masing pasien. Angkat
seluruh jaringan yang terinfeksi atau nekrotik jika dicurigai menjadi
sumber infeksi, misalnya pada pasien dengan selulitis, abses, alat
medis yang terinfeksi, atau memiliki luka yang purulent
- Tambahkan vasopressin pada pasien vasoactive-refractory
a) Syok Anafilaktik, Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon
imunologi yang berlebihan terhadap suatu bahan dimana seorang
individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut. Gambaran yang
paling sering adalah berasal dari kardiovaskuler yaitu Hipotensi dan
kolaps kardiovaskuler. Takikardi, aritmia, EKG mungkin
memperlihatkan perubahan iskemik dan Henti jantung. Sistem
Pernapasan. Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat
menyebabkan stridor atau obstruksi saluran napas. Bronkospasme –
pada yang berat.
Penatalaksanaan:
- Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta pertolongan
- Lakukan resusitasi ABC
A – Saluran Napas dan Adrenalin
✓ Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
✓ Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1:
10.0000, 0.5 – 1 ml, dapat diulang jika perlu.
✓ Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg (0,5 – 1 ml dalam
larutan 1:1000) secara IM diulang setiap 10 menit jika
dibutuhkan.

B - Pernapasan
✓ Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi
mungkin diperlukan
✓ Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran
napas atas.
✓ Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau
aminofilin IV mungkin dibutuhkan jika bronkospasme
refrakter (dosis muat 5 mg/kg diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).
C - Sirkulasi
✓ Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
✓ Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk
hipotensi berat.
- Adrenalin sangat bermanfaat dalam mengobati anafilaksis,
juga efektif pada
bronkospasme dan kolaps kardiovaskuler.
b) Syok neurogenik, umumnya terjadi setelah cedera pada sistem saraf
pusat, misalnya cedera medula spinalis atau cedera otak traumatik.
Diagnosis syok neurogenik hanya ditegakkan setelah kemungkinan
syok perdarahan telah dipastikan tidak ada, sehingga syok
neurogenik jarang ditegakkan pada awal penanganan pasien trauma.
Penatalaksanaan syok neurogenik meliputi tiga aspek:
- Stabilisasi hemodinamik dengan target mean arterial pressure
(MAP) dan cerebral perfusion pressure sebesar >85-90 mmHg dan
>70 mmHg dalam 7 hari
- Pencegahan kerusakan medula spinalis yang lebih lanjut
- Penanganan bradikardia (Atropin) atau aritmia lainnya
c) Syok distributif, terjadi karena terdapat hambatan aliran darah yang
menuju jantung (venous return) akibat tension pneumothorax
ataupun cardiac tamponade.
Terapi Syok Obstruktif:
- Sesuai dengan tatalaksana penyebabnya
- Pada tension pneumothorax lakukan needle thoracosintesis
- Pada tamponade jantung lakukan perikardiosintesis
- Pada emboli paru berikan trombolitik

Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi kekurangan


jumlah cairan tubuh dari jumlah normal akibat kehilangan, aasupan yang
tidak memadai atau kombinasi keduanya. Menurut derajat beratnya
dehidrasi yang didasarkan pada tanda interstitial dan tanda intravaskuler
yaitu;
a) Dehidrasi ringan (defisit 4% dari BB)
b) Dehidrasi sedang (defisit 8% dari BB)
c) Dehidrasi berat (defisit 12% dari BB)
d) Syok (defisit dari 12% dari BB)
Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut:
✓ Turgor kulit yang jelek
✓ Mata cekung
✓ Ubun-ubun cekung
✓ Mukosa bibir dan kornea kering
Defisist cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut:
✓ Hipotensi, takikardi
✓ Vena-vena kolaps
✓ Capillary refill time memanjang
✓ Oliguri
✓ Syok (renjatan)

Kebutuhan Air dan Elektrolit


✓ Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini:
- Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari
- Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari

✓ Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu:


- Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari
- Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari
- Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari
Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan +
penggantian defisit) untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya
dalam 8 jam pertama dan selebihnya dalam 16 jam berikutnya.
Melakukan resusitasi cairan:
1) Dehidrasi Ringan : Ganti cairan defisit dengan pemberian oral
2) Dehidrasi Sedang : Ganti cairan defisit dengan pemberian oral
dibantu dengan pemberian cairan infus dengan kristaloid sesuai
dengan defisit ditambah dengan cairan pemeliharaan
3) Dehidrasi berat : Lakukan resusitasi cairan dengan cara
menetukan defisit kehilangan cairan dan cairan pemeliharaan selama
24 jam.
- 50% defisit diberikan pada 8 jam ditambah dengan cairan
pemeliharaan selama 8 jam
- 50% defisit selanjutnya diberikan pada 16 jam selanjutnya
ditambah dengan cairan pemeliharaan selama 16 jam
- Dilakukan resusitasi cepat 10-20cc/kg selama 10-15 menit
dalam 1 jam pada 8 jam pertama sampai hemodinamik
stabil, dapat diulang beberapa kali sampai kondisi syok
teratasi. Sisa dari defisit 50% ditambahkan dengan cairan
pemeliharaan pada 8 jam pertama dikurangi dengan jumlah
cairan yang digunakan pada resusitasi cepat dijadikan
cairan pemeliharaan dalam 7 jam selanjutnya.
9. Menguasai teknik pemasangan infus.

Kanulasi vena merupakan suatu cara untuk mencapai pembuluh darah


pada seorang pasien dengan maksud dan tujuan tertentu. Biasanya tujuan
dari kanulasi vena, terutama pada kondisi gawat darurat pada kasus
trauma adalah untuk memasukkan sejumlah cairan sebagai pengganti
cairan yang hilang akibat perdarahan, serta untuk jalur memasukkan obat,
dan juga untuk tujuan lain.

Cara Pemasangan:
➢ Memeriksa semua kelengkapan alat : Periksa apakah
infus/transfuse set sudah dihubungkan dengan cairan. Pastikan
bahwa dalam slang tersebut tidak terdapat udara. Siapkan 3 nomor
kateter IV yang diperkirakan mampu dipasang.
➢ Identifikasi dan melakukan penilain terhadap vena yang akan
dipilih
➢ Cuci tangan dengan sabun antimikroba, memakai sarung tangan
➢ Memasang torniket
➢ Membersihkan tempat insersi dengan desinfektan (alcohol) dan
biarkan sampai kering
➢ Tangan kiri menggenggam area di bawah tempat penusukan,
gunakan ibujari untuk menstabilisasi vena dan jaringan lunak
➢ Memposisikan bevel kateter IV menghadap ke atas, pegang
diantara ibu jari dan jari telunjuk
➢ Memegang kateter dengan membentuk sudut 45° diatas permukaan
kulit dan jaringan dibawahnya menuju vena tapi tidak menembus
vena
➢ Posisikan kateter lebih rendah hingga hampir sejajar dengan
permukaan kulit dan gerakkan ujung jarum melewati vena secara
langsung
➢ Dorong kateter memasuki vena dengan pelan, pastikan adanya
aliran balik vena.
➢ Dorong kateter beserta mandrinnya kira-kira sejauh 3-5 mm lagi
untuk memastikan kateter telah memasuki lumen vena
➢ Tarik mandrin keluar, dorong kateter sampai pangkalnya
menyentuh kulit
➢ Buang mandrin bekas pakai ke dalam pembungkus kateter tadi
➢ Lepaskan torniket
➢ Hubungkan kateter dengan infuse/transfuse set
➢ Rekatkan 1 plester ukuran 15x1,5 cm untuk memfiksasi
infuse/transfuse set secara menyilang berbentuk huruf V
➢ Rekatkan 1 plester lebar 5x5 cm secara menyilang sedemikian rupa
sehingga berbentuk huruf V di bawah pangkal kateter hingga
menutupi tempat insersi kateter tersebut
➢ Lakukan tindakan asepsis
10. Mengetahui penggunaan cairan pada kasus dehidrasi dan
hipovolemik
Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk:
- Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL,
dan feses
- Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan
didasarkan pada:
- Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam)
1) Holiday segar
<10 kg : 100 ml/kgBB/hari
11-20 kg : 1000 ml + 50 ml/kgBB tiap kg diatas 10 kg
>20 kg : 1500 + 20ml/kgBB untuk tiap kg diatas 20 kg
2) Rumus 421
4 ml/kgBB/jam untuk 10kg BB pertama
2 ml/kgBB/jam untuk 10kg BB pertama
1 ml/kgBB/jam untuk sisanya
3) Kebutuhan air 30-50 ml. ml/kgBB/hari
L = 40 ml/kgBB/24jam
P = 35 ml/kgBB/24 jam
- Cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi)
1) Ganti kehilangan cairan
Resusitasi = Defisit + Maintanance
50% deficit diberikan pada 8 jam + Mantenance selama 8 jam
50% deficit diberikan pada 16 jam selanjutnya + Mantenance selama
16 jam
2) Resusitasi cairan pada perdarahan
✓ Tentukan derajat perdarahan dan estimasi/total blood volume
Derajat Perdarahan Total Blood Volume
Kelas 1 10-15% L= 70cc X BB
Kelas 2 15-30% P= 65-70cc X BB
Kelas 3 30-40%
Kelas 4 >40%
✓ Tentukan Estimated Blood Lose dari Total Blood Volume
EBL = %blood loss (derajat perdarahan) x TBV
✓ Ganti kehilangan darah
Berikan terapi cairan sesuai derajat perdarahan, kristaloid dengan
perbandingan 3:1 dan koloid 1:1
- Pemilihan Cairan
1) Kristaloid, merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan
inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik,
hipotonik, maupun hipertonik

2) Koloid, Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma


atau biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler.
Pilihan cairan pengganti untuk suatu kehilangan cairan:

11. Mengetahui farmakologi dan penggunaan obat-obatan


kegawatdaruratan
Obat-obatan Emergensi atau gawat darurat adalah obat-obat yang
digunakan untuk mengatasi situasi gawat darurat atau digunakan untuk
bantuan resusitasi dan pengobatan intensive pasien yang gawat baik dalam
maupun di luar rumah sakit.
a) Epinefrin
Epinefrin adalah katekolamin simpatomimetik yang memberikan efek
farmakologisnya pada reseptor alfa dan beta-adrenergik. Epinefrin
memiliki afinitas yang lebih besar untuk reseptor beta dalam dosis kecil.
Namun, dosis besar menghasilkan tindakan selektif pada reseptor alfa.
Melalui aksinya pada reseptor alfa-1, epinefrin menginduksi peningkatan
kontraksi otot polos pembuluh darah, kontraksi otot dilator pupil, dan
kontraksi otot sfingter usus. Efek signifikan lainnya termasuk peningkatan
denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan pelepasan renin melalui
reseptor beta-1. Efek beta-2 menghasilkan bronkodilatasi.
Epinefrin merupakan obat lini pertama dalam pengelolaan anafilaksis.
Pada dosis terapeutik, ia bertindak cepat untuk membalikkan hampir semua
gejala anafilaksis, dan menstabilkan sel mast. Pedoman tatalaksana
anafilaksis merekomendasikan pemberian epinefrin dengan dosis 0.01
mg/kg secara intramuskular pada anak-anak dengan berat kurang dari 30
kg dan dengan single dose maksimum 0.3 sampai 0.5 mg pada pasien
dengan berat 30 kg atau lebih. Beberapa pedoman juga merekomendasikan
pemberian epinefrin pada anafilaksis dapat diulang setiap 5 sampai 15
menit
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care tahun 2019
merekomendasikan pemberian epinefrin pada pasien henti jantung dengan
dosis 1 mg setiap 3 sampai 5 menit
b) Norepinefrin
Secara struktural, norepinefrin identik dengan epinefrin tetapi berbeda
karena tidak adanya kelompok metil pada atom nitrogennya. Terdapat
perbedaan terutama agonistik pada reseptor alfa-1 dan beta-1 dengan
sedikit aktivitas pada reseptor alfa-2, dan beta-2. Pada dosis rendah (kurang
dari 2 mcg/menit), efek beta1 mungkin lebih terlihat dan meningkatkan
curah jantung. Namun dalam dosis yang lebih tinggi dari 3 mcg/menit, efek
alfa-1 mungkin mendominasi. Peningkatan aktivasi reseptor alfa-1 akan
menghasilkan vasokonstriksi dan peningkatan resistensi vaskular sistemik
yang bergantung pada dosis
Manajemen sepsis dan syok sepsis merupakan hal yang penting untuk
prognosis dari pasien. Dalam hal ini, menurut pedoman SSC 2016 dan
pedoman SSC Bundle 2018 merekomendasikan pemberian dini dari
vasopressor pada pasien hipotensi septik. Norepinefrin merupakan obat lini
pertama agen vasoaktif pada tatalaksana syok septik karena efek
vasokonstriksi yang didapatkan melalui stimulasi reseptor alpha-1
adrenergik dan sedikit pengaruh pada denyut jantung.
c) Atropin Sulfat
Atropin adalah antimuskarinik yang bekerja melalui penghambatan
reseptor asetilkolin postganglionik dan aktivitas vagolitik langsung, yang
mengarah pada penghambatan parasimpatis reseptor asetilkolin di otot
polos. Efek akhir dari peningkatan penghambatan parasimpatis
memungkinkan stimulasi simpatis yang sudah ada sebelumnya
mendominasi sehingga terjadi peningkatan curah jantung dan efek samping
antimuskarinik terkait lainnya.
Berdasarkan Rekomendasi American Heart Association tahun 2018
tentang evaluasi dan manajemen pasien dengan bradikardia dan gangguan
konduksi jantung pada pasien dengan sinus bradikardi, atropin dengan
dosis 0.5 sampai 2 mg biasanya meningkatkan automatisasi.

d) Efedrin
Efedrin merupakan simpatomimetik amina yang secara langsung berikatan
dengan reseptor alfa dan beta. Kerja utama dari efedrin adalah dengan
menginhibisi pengambilan norepinefrin. Efek kardiovaskular dari efedrin
hampir serupa dengan epinefrin: peningkatan tekanan darah, denyut
jantung, dan kontraktilitas serta curah jantung. Efedrin juga dapat
digunakan sebagai bronkodilator. Perbedaan penting yaitu efedrin
memiliki durasi kerja yang lebih lama, kurang kuat, dan merangsang sisten
saraf pusat. Sifat agonis tidak langsung dari efedrin didapatkan karena
adanya pelepasan norepinefrin pascasinaptik perifer atau penghambatan
reuptake norepinefrin.
Hipotensi intaoperatif biasanya didefinisikan sebagai mean arterial
pressure kurang dari 25% dari nilai normal. Hipotensi intraoperatif dapat
menyebabkan iskemia organ vital. Cara efektif dalam mengobati hipotensi
intraoperatif adalah pemberian vasopresor (agen penekan) intravaskular
melalui bolus atau infus kontinu. Efedrin merupakan vasopresor yang
umum digunakan selama anestesi. Efedrin diberikan sementara sampai
penyebab dari hipotensi ditemukan dan diperbaiki.
e) Lidokain
Seperti anestesi lokal lainnya, tempat kerja lidokain adalah pada saluran
ion natrium pada permukaan internal membran sel saraf. Bentuk tidak
bermuatan akan berdifusi melalui selubung saraf ke dalam aksoplasma
sebelum terionisasi dengan menggabungkan dengan ion hidrogen. Kation
yang dihasilkan mengikat secara reversibel ke saluran natrium dari dalam,
menguncinya dalam keadaan terbuka dan mencegah terjadinya
depolarisasi saraf. Pada miosit jantung, lidocaine memblok kanal natrium
sehingga mempersingkat waktu aksi potensial.
Berdasarkan Rekomendasi American Heart Association tahun 2018
tentang penggunaan obat anti aritmia selama resusitasi untuk pasien
dewasa dengan VF/pVT Cardiac Arrest amiodaron dan lidocain dapat
dipertimbangkan pada pasien VF/pVT yang tidak berespon dengan
defibrilasi. Dosis lidocain yang direkomendasikan adalah 1.0 sampai 1.5
mg/kg IV/IO untuk dosis awal dan 0.5 sampai 0.75 mg/kg IV/IO untuk
dosis lanjutan
12. Mengetahui farmakologi dan penggunaan anestesi lokal

Secara umum, seluruh obat anestesi lokal bekerja dengan berikatan secara
reversibel pada reseptor spesifik di kanal natrium pada sel saraf sehingga
menghambat perpindahan ion melalui kanal tersebut. Anestesi lokal yang
diaplikasikan dapat bekerja di semua sistem saraf baik sensorik maupun
motorik. Obat ini akan menghambat potensial aksi secara reversibel
sehingga konduksi saraf tidak terjadi. Ketika konsentrasi habis maka fungsi
saraf akan kembali sepenuhnya tanpa adanya bukti kerusakan sel. Obat
anestesi lokal yang paling sering digunakan adalah lidocaine, bupivacaine
dan tetracaine.
a) Lidokain
- Farmakologi lidocaine adalah dengan memblokade kanal natrium,
sehingga mencegah konduksi impuls. Lidocaine memiliki bagian
lipofilik (cincin aromatik) yang dihubungkan dengan bagian
hidrofilik melalui rantai amide. Bagian lipofilik ini meningkatkan
potensi dan durasi, serta mempengaruhi mekanisme kerja lidocaine.
Lidocaine biasanya tersedia dalam bentuk garam, yaitu lidocaine
HCl. Selain itu, lidocaine kerap kali dikombinasikan dengan
epinefrin untuk memperpanjang durasi anestesi local.
- Absorpsi lidocaine sangat baik. Apabila diberikan secara
intravena, onset kerja adalah 45-90 detik, dengan durasi 10-20
menit. Apabila digunakan secara infiltrasi pada jaringan, onset
kerja 1-5 menit.
- Lidocaine adalah anestesi lokal yang umum digunakan misalnya
pada penjahitan luka, debridemen luka, dan tindakan bedah minor
lainnya seperti sirkumsisi.
- Dosis
✓ Untuk sediaan lidocaine tanpa epinefrin dosis yang
digunakan adalah:
▪ Perkutan
Dewasa: 1–60 ml lidocaine 0,5–1% (5–300 mg)
Anak-anak: maksimal 4–4,5 mg/kgBB
▪ Regional
Dewasa: 10–60 ml lidocaine 0,5 (50–300 mg) dengan
dosis maksimal 4 mg/kgBB
Anak-anak: 3 mg/kgBB
✓ Lidocaine + Epinefrin
▪ Sediaan lidocaine dengan epinefrin dapat digunakan
untuk anestesi lokal, regional, blok saraf perifer, serta
anestesi epidural dan kaudal. Setiap ml sediaan injeksi
mengandung 20 mg lidocaine HCl dengan 5 mcg
epinefrin.
▪ Dosis pemberian bergantung pada rute, tipe tindakan,
durasi yang diinginkan, dan kondisi pasien. Dosis
maksimal dewasa adalah 7 mg/kgBB dan tidak
melebihi 500 mg. Dosis maksimal anak adalah 3
mg/kgBB, dimana berat badan yang digunakan adalah
berat badan ideal.
b) Bupivakain
- Efek anestesi bupivacaine terjadi dengan menghambat konduksi saraf
dengan menurunkan permeabilitas membran saraf terhadap natrium.
Penurunan depolarisasi membran ini akan meningkatkan ambang batas
eksitabilitas elektrik, sehingga mencegah terjadinya inisiasi dan
transmisi impuls saraf dan fungsi-fungsi sel saraf akan menurun. Efek
anestesi yang timbul ini dipengaruhi oleh diameter sel saraf,
mielinisasi, dan kecepatan konduksi serabut saraf. Untuk memastikan
agar obat dapat menghasilkan efek anestesi yang optimal, obat dapat
diberikan secara subkutan, intradermal, atau submukosa di area ganglia
atau akar saraf. Sistem saraf yang terpengaruhi adalah saraf otonom,
sensorik, dan motorik. Sementara itu, fungsi-fungi saraf yang menurun
adalah fungsi saraf terhadap nyeri, suhu, sentuhan, proprioseptif, dan
tonus otot. Penurunan tonus otot ini dipengaruhi oleh konsentrasi
bupivacaine yang diberikan
- Onset kerja bupivacaine adalah 1-10 menit dan dapat bertahan 3-
9 jam. Konsentrasi puncak akan dicapai dalam 30-45 menit.
- Indikasi bupivacaine adalah sebagai obat anestesi lokal yang digunakan
untuk melakukan anestesi secara regional, epidural, spinal, atau
infiltrasi lokal.
- Dosis
✓ Infiltrasi Lokal, Untuk infiltrasi lokal, bupivacaine 0,25%
dapat digunakan sampai 175 mg dalam satu kali dosis.
Anestesi dapat diberikan berulang setiap 3 jam dan tidak
melebihi 400 mg dalam 24 jam.
✓ Dosis maksimal untuk dewasa dalam satu kali injeksi adalah
175 mg, sedangkan dosis maksimal untuk 24 jam adalah 400
mg. Injeksi dapat diulang sampai maksimal 3 kali pemberian.
✓ Pada ibu hamil, dosis bupivacaine 0,5% dapat ditingkatkan 3–
4 mL setiap intervalnya, namun dosis maksimal yang
diberikan adalah 50–100 mg.
13. Mampu melakukan resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR)
merupakan pertolongan pertama yang sangat penting dalam penanganan
henti jantung mendadak. RJP adalah serangkaian tindakan penyelamatan
nyawa, untuk meningkatkan kemungkinan seseorang hidup setelah
mengalami henti jantung. RJP terdiri dari komponen kompresi dada
dan ventilasi.
BLS berdasarkan guideline American Heart Association (AHA) tahun
2020, terdiri atas 3 komponen, yaitu kompresi dada (circulation), jalan
napas (airway), dan pernapasan (breathing) atau disingkat menjadi C-A-
B.
1) Pemeriksaan Kesadaran
Pemeriksaan kesadaran dapat menggunakan metode AVPU (alert, voice
responsive, pain responsive, unresponsive). Pasien dikatakan alert
apabila sadar penuh, jika tidak ada respon, berikan respon suara (voice),
lalu beri rangsang nyeri (pain). Jika tidak ada respon sama sekali pasien
dikategorikan sebagai unresponsive.
2) Pemeriksaan Nadi
Pemeriksaan nadi dengan cepat dilakukan dengan meraba denyut arteri
karotis atau arteri radialis. Penolong tidak boleh memeriksa denyut nadi
>10 detik. Jika nadi tidak terasa dalam waktu tersebut, penyelamat harus
memulai kompresi dada.
3) Pemeriksaan Pernapasan
Pemeriksaan frekuensi dan pola pernapasan dilakukan dengan metode
look-listen-feel. Metode ini dilakukan dengan melihat gerakan dada pasien,
sambil mendekatkan telinga penolong ke hidung dan mulut pasien untuk
mendengar dan merasakan hembusan udara dari sistem pernapasan.
4) Aktifkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Saat menemukan orang dengan tanda henti jantung, yaitu tidak berespon,
tidak teraba denyut nadi, dan tidak bernapas atau pola pernapasan
abnormal, maka penolong harus segera memanggil bantuan untuk
mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT)

Prosedur Kompresi Dada


- Segera minta pertolongan (call for help) dan instruksikan mengambil
ASD/DC shock.
- Periksa denyut arteri karotis
- Bila denyut karotis tidak teraba, lakukan pijatan jantung luar 30 kali
pada titik tumpu yaitu 2 jari diaatas processus xyphoideus, kemudian
dilanjutkan dengan napas buatan sebanyak 2 kali tiupan.
- Letakkan satu lengan pada titik tekan, tangan kiri diatas punggung
tangan pertama
- Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum, kedua lutut
penolong merapat, lutut menempel bahu korban.
- Tekan kebawah kurang lebih 5 cm pada orang dewasa dengan cara
menjatuhkan berat badan pada sternum korban.
- Kompresi secara ritmik dan teratur 100 - 200X/menit dengan
perbandingan kompresi ventilasi sebanyak 30:2 dan memberikan
kesempatan dinding dada untuk recail sempurna.
- Saat melakukan ventilasi 2 kali, pastikan jelas napas paten
- Lakukan evaluasi setiap 2 menit terhadap napas denyut nadi,
kesadaran dan reaksi pupil kurang dari 10 detik
- Bila denyut nadi belum teraba, lanjutkan kompresi 30:2 hingga
sirkulasi spontan kembali atau telah dating tim bantuan yang lebih ahli
- Jika terdapat AED, maka pasang AED segera sambil tetap melakukan
kompresi dan ventilasi
- Lakukan penilaian apakah perlu dilakukan shock atau tidak
- Jika napas sudah kembali spontan dan denyut nadi teraba maka
posisikan dengan posisi pemulihan (recorvery position)
- Fleksikan salah satu siku dengan telapak tangan menopang pipi pada
sisi yang berlawanan
- Fleksikan lutut pada sisi yang sama dengan siku yang di fleksikan
sebelumnya
- Balikkan pasien kearah sisi berlawanan.
Syarat kompresi dada yang baik adalah:
- Kompresi diulang sebanyak 30 kali, dengan kecepatan 100‒120
kali/menit
- Kompresi dilakukan dengan cepat dan kuat, dengan kedalaman
minimal 5 cm dan maksimal 6 cm
- Pastikan dada recoilsempurna, yaitu kembali ke posisi awal sebelum
ditekan kembali
- Rasio kompresi : ventilasi dengan 1 orang penolong adalah 30:2,
sedangkan dengan 2 penolong adalah 15:2
- Satu kali rasio kompresi : ventilasi disebut 1 siklus RJP. Untuk
mencegah penurunan kualitas kompresi dada akibat kelelahan,
penolong diganti setiap 5 kali siklus
- Kompresi diizinkan untuk berhenti sementara (<10 detik), yaitu saat
pemberian 2 kali ventilasi
Adapun beberapa penyebab yang dapat dipulihkan (5H + 5T)
- Hipovolemia
- Hipoksia
- Hipotemia
- Hipo/Hiperkalemia
- Hidrogen ion (asidosis)
- Tension pneumothorax
- Temponade jantung
- Toksin
- Trombosis pulmoner

RJP pada neonatus dan RJP pada bayi dan anak memiliki
prosedur yang berbeda dengan pasien dewasa.
✓ Kompresi Dada Pada Neonatus
Kompresi dada diindikasikan pada neonatus yang memiliki
denyut jantung dibawah 60 kali/menit, meskipun sudah
diberikan VTP yang adekuat melalui intubasi. Terdapat dua
teknik kompresi yang dapat dilakukan, yaitu teknik 2-ibu jari
dan teknik 2-jari.
Kompresi dilakukan pada sepertiga bawah tulang sternum
dengan kedalaman sekitar sepertiga diameter anteroposterior
dada. Kompresi dilakukan dengan rasio kompresi banding
ventilasi 3:1, dengan kecepatan 90 kompresi dan 30 napas
dalam 1 menit. Evaluasi denyut jantung dilakukan setelah 60
detik dengan rekomendasi penilaian menggunakan EKG.
Kompresi dihentikan apabila denyut jantung ≥60 kali/menit
✓ Kompresi Dada Pada Bayi dan Anak
Pada anak usia ≤8 tahun dapat menggunakan teknik 1 tangan,
dan pada anak usia >8 tahun dapat menggunakan teknik 2
tangan. Petugas kesehatan yang melakukan kompresi dada
harus berada dalam posisi yang cukup tinggi untuk mencapai
regangan lengan yang cukup sehingga dapat menggunakan
berat badannya secara adekuat untuk mengkompresi dada. Pada
bayi, digunakan kekuatan jari tangan untuk mengkompresi
dada secara adekuat

Pediatric Basic Life Support menurut AHA 2018


o Bila pasien tidak sadar/tidak berespon, panggil bantuan,
lalu buka jalan nafas
o Bila anak tidak bernafas dengan normal, lakukan 5
bantuan nafas
o Bila tidak ada tanda kehidupan, lakukan 15x kompresi
dada, kemudian lakukan 2 bantuan nafas diikuti 15x
kompresi dada
o Panggil tim henti jantung (cardiac arrest team) atau
Pediatric advance life support team setelah 1 menit
melakukan RJP
14. Mampu meakukan pemeriksaan dan pengelolaan nyeri akut dan
kanker dengan analgetik

Mengukur nyeri bisa menggunakan VAS (visual analog scale) atau NRS
(numeric pain rating scale)
• Tidak nyeri = 0
• Mild (ringan) = 1 – 3 -> asmef/acetaminophen
• Moderate (sedang) = 4 – 6 ->NSAID+opioid lemah (codein)
• Severe (berat) = 7-10 -> NSAID+opioid kuat (morfin)

Prinsip pengobatan nyeri (3 step ladder WHO)


• STEP I
Penderita nyeri ringan harus diobati dengan analgesik non-
opioid yang harus dikombinasikan dengan obat-obatan tambahan
jika ada indikasi -> NSAID + adjuvant
• STEP II
Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang
atau gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan
opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opioid
lemah) yang termasuk dalam golongan ini adalah kodein,
hidrokodon, dihidrokodein, oksikodon, profoksien. Obat- obat
ini umumnya dikombinasikan dengan non-opioid dan bisa
diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvant
• STEP III
Penderita yang menderita nyeri berat atau gagal mendapatkan
perbaikan adekuat setelah pemberian obat pada STEP II, harus
menerima opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat
(opioid kuat) yang termasuk obat-obat ini: morfin, metadon,
hidromorfin, fentanyl. Obat-obat ini bisa dengan petunjuk dosis
yang sesuai, pengobatan ini memberikan kesembuhan 70-90%
penderita -> opioid berat+sedang+adjuvant
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi 3
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis.
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi)
atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3
bulan.
c. Nyeri Kanker
Terjadi akibat pertumbuhan massa kanker yang semakin membesar
sehingga menekan tulang, jaringan maupun organ lain di sekitarnya.
Munculnya rasa nyeri pada penderita kanker sering kali juga
disebabkan pemeriksaan diagnostik maupun tindakan medis seperti
pemberian obat-obatan, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
RESUME UJIAN SPV

Nama : Muhammad Fakhrul Faris bin Hasserin

NIM : C014192150

1. Pasien dewasa laki-laki, 50 tahun, berat badan 70kg.

a. Resusitasi cairan dehidrasi


Rumus 40cc x 70kg= 2800cc

Ringan : deficit 4%BB=


4%(70)= 2800L
8 jam pertama : 1400cc+2800cc = 4200cc
Per jam= 4200/8=525cc
=175 tpm

16 jam seterusnya : 1400Lcc+2800 cc =4200cc


Per jam= 4200/16=262.5cc
= 87.5 tpm

Sedang : deficit 8%BB=


8% (70)=5600L
8 jam pertama : 2800cc+2800cc= 5600cc
Per jam= 5600/8=700cc
= 233 tpm

16 jam seterusnya : 2800cc+2800 cc=5600 cc


Per jam= 5600/16=350cc
= 116 tpm

Berat : deficit 12%BB


12% (70)=8400
8 jam pertama : 4200cc+2800cc= 7000cc
Per jam= 7000/8=875cc
= 292 tpm

16 jam seterusnya : 4200cc+2800 cc=7000 cc


Per jam= 5160/16=437.5cc
= 145 tpm
b. Resusitasi cairan syok hemoragik
EBV dewasa laki-laki: 70x70kg=4900cc

5% 245 Kristaloid : 245x3= 735


Kelas I 10% 490 Kristaloid : 490x3= 1470
15% 735 Kristaloid : 735x3= 2205
Kristaloid : 500x3= 1500
20% 980
Koloid : 480x1= 480
Kristaloid : 1000x3= 3000
Kelas II 25% 1225
Koloid : 225x1= 225
Kristaloid : 1200x3= 3600
30% 1470
Koloid : 270x1= 270
Kristaloid : 1000 x 3= 3000
35% 1715 Koloid : 500 x 1= 500
Darah : 215 x1 =215
Kelas III
Kristaloid : 960 x 3= 2880
40% 1960 Koloid : 500 x 1= 500
Darah : 500 x1 =400
Kristaloid : 955 x 3= 2865
Kelas IV 45% 2205 Koloid : 1000 x 1= 1000
Darah : 250 x2 =500

c. Cairan perioperative puasa 8 jam

Maintenance : 2ccx70kg=140cc/jam

Pengganti puasa : 140ccx8=1120cc untuk 8 jam

Stress op (SO) (dewasa)

Operasi ringan (4cc/kgBB) 4x70=280


Operasi sedang (6cc/kgBB) 6x70= 420
Operasi berat (8cc/kgBB) 8x70=560

Kebutuhan cairan jam I= ½ pp+ M + SO

= ½ (1120)+140+280 = 980cc

Kebutuhan cairan jam II/III= ¼ pp+ M + SO

= ¼ (1120)+140+280= 700cc

Kebutuhan cairan jam IV,dst = M+SO

=140+280=420cc
RUMUS TRANSFUSI DARAH BERDASARKAN NILAI HB
2. Penjelasan terkait qSofa dan SIRS

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) Score


- Suhu tidak normal ( <36 derajat celcius atau >38.5 derajat celcius)
- Laju nadi (heart rate) abnormal
- Laju napas (respiratory rate) meningkat
- Jumlah sel darah putih abnormal (sesuai usia) atau >10% leukosit
imatur

SIRS merupakan respons pertahanan tubuh yang berlebihan terhadap


stresor berbahaya (infeksi,trauma,pembedahan,peradanagn akut,
iskemia atau reperfusi atayu keganasan) untuk melokalisasi dan
kemudian menghilangkan sumber penghinaan endogen atau eksogen.

qSOFA (quick sofa) Score

Skor qSOFA digunakan untuk mengindentifikasi pasien dewasa yang


dicurigai infeksi yang berisiko tinggi akan outcome yang buruk di luar
ICU. Parameter ini berguna bagi klinisi untuk mengidentifikasi disfungsi
organ dengan cepat.
3. Apakah perbedaan antara cardiac attack dan cardiac arrest?

Cardiac Arrest Cardiac attack merupakan


merupakan suatu suatu kondisi yang terjadi
kondisi jantung gagal secara perlahan dimana
memompa yang penurunan cardiac output
terjadi secara tiba- akibat dari iskemia otot-otot
tiba akibat dari jantung hal ini disebabkan
gangguan listrik oleh adanya sumbatan dari
jantung. pembuluh darah koroner.

Gejala: Gejala:
Henti Napas Nyeri Dada
Penurunan Kesadaran Sulit Bernapas
Hilang Nadi

Waktu: Gejala terjadi bisa Waktu: Muncul sesaat


dalam waktu jam hingga sebelum kehilangan
hari kesadaran
4. Jelaskan Tipe-tipe Hypoxia
• Hypoxic Hypoxia
• Ini terutama terjadi karena penurunan tekanan oksigen di
pembuluh darah, yang membawa darah beroksigen. Kelainan
biasanya terletak pada tingkat paru-paru.
• Anemic Hypoxia
Pada hipoksia jenis ini, paru-paru bekerja dengan baik, tetapi daya
dukung oksigen darah berkurang karena hemoglobin yang lebih
rendah dalam tubuh seperti pada kasus anemia.
• Histoxic Hypoxia
Jenis hipoksia ini bermanifestasi karena penurunan kemampuan
jaringan untuk memanfaatkan oksigen karena telah diracuni. Jadi,
sebenarnya, ini bukan hipoksia sejati dan hanya bermanifestasi
dalam kasus keracunan.
• Stagnant Hypoxia
Ini terjadi karena berkurangnya aliran darah ke jaringan, yang
terjadi meskipun tekanan parsial oksigen dan hemoglobin normal,
jumlah oksigen yang cukup tidak dikirim ke jaringan. Ini juga
disebut sebagai hipoksia iskemik.

5. Apakah perbedaaan antara respiratory distress dan respiratory failure?


Respiratory distress merupakan suatu kondisi kritis dimana kurangnya
kadar oksigen di dalam darah akibat terjadi gangguan proses difusi dan
tubuh berusaha melakukan kompensasi karena adanya ancaman gagal
pernafasan. Sedangkan respiratory failure merupakan suatu kondisi
kurangnya kadar oksigen di dalam darah namun tubuh sudah tidak
mampu lagi melakukan kompensasi. Pada kondisi akut, maka akan
terjadi catecolamine release sehingga aktivitas saraf simpatis meningkat
dan dimana jika hal ini berlangsung kronik maka akan terjadi kondisi
fatigue sehingga tubuh tidak lagi mampu melakukan kompensasi.

Respiratory Distress Respiratory Failure


Respiratory Rate Cepat dan Dangkal Dalam dan Lama
Heart Rate Takikardi Bradikardi
Aliran Oksigen Hipoksemia (Pucat) Hipoksia (Sianosis)
Kesadaran Agitasi Hilang Kesadaran

6. Saturasi Oksigen Kritis

Saturasi oksigen kritis didefinisikan apabila nilai saturasi oksigen


menggunakan oksimeter dibawah 92%.

7. Penjelasan Gagal Napas?

Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan
jaringan untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Tipe Gagal Napas:


1. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri
ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah.
2. Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan
peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46
mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan
PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak
berubah.
3. Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi
ditandai dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan
peningkatan PaCO2.

Kriteria gagal napas menurut Pontoppidan:


Kriteria gagal napas berdasarkan “ Mechanic of breathing” oksigenisasi dann
ventilasi.

Acceptable Gawat Napas Gagal Napas


range
Mechanic of -RR (X/Menit) 12-15 25-35 >35
breathing -Kapasitas 70-30 30-15 <15
vital (ml/kg) 100-50 50-25 <25
-Inspiratory
force (cm
H2O)
Oksigenisasi -AaDO2 50-200 200-350 >350
(mmHg) 100-75 200-70 <70
- (room air) (on mask 02) (on mask o2)
PaO2(mmHg)
Ventilasi -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
-PaCO2 35-45 45-60 >60
-Fisioterapi -Intubation
dada -
-Oksigenisasi Tracheostomy
-Close ventilation
Monitoring
8. Penilaian nyeri pada anak-anak
• Penilaian nyeri berdasarkan Metode Wong Baker
-Penilaian berdasarkan ekspresi wajah.
-Pemeriksa memilih ekspresi wajah yang paling menggambarkan
perasaannya dan kondisinya saat diberi tes.

Penggunaan skala penilaian ini direkomendasikan untuk anak-


anak berusia 3 tahun ke atas.

• Metode FLACC

Skala ini mencakup lima indikator, yaitu wajah, kaki, aktivitas,


tangisan, dan konsabilitas.Indikatot tersebut diukur dalam tiga
peringkat, yaitu dari angka 0 hingga angka 2.
Untuk memperoleh tingkat keparahan sakit secara keseluruhan,
maka hasil dari tiap indikator tersebut dijumlahkan. Hasil yang
didapatkan berkisar 0 - 10, sesuai kondisi yang dialami anak.

• Numeric Rating Scale


Numeric Rating Scale (NRS) merupakan skala numerik yang paling
sederhana dan paling umum digunakan.

Anak-anak menilai rasa sakit dari angka 0, yang berarti tidak ada
rasa sakit, hingga angka 10 rasa sakit terparah. Metode penilaian
rasa sakit ini dapat digunakan pada anak-anak dengan usia 7 - 8
tahun. Pada usia tersebut, anak-anak memang telah memahami
bahasa.Namun mereka masih sulit dalam menyampaikan hal yang
dirasakan.

Anda mungkin juga menyukai