Anda di halaman 1dari 22

“KEGAWATDARURATAN AIRWAY DAN BREATHING”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu
Anestesi

Diajukan kepada:
Pembimbing
dr. Nira Muniroh Al Munawar, Sp. An

Disusun oleh:
Monicha Yuwan Adviana H3A020039
Denny Maulana Arwani H3A020006
Alma Fauziyyah H3A020021
Mutiara Aura Kusuma H3A020028

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2020
KEGAWATAN AIRWAY
LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan kesadaran, atau
sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Kaji
adanya deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris jalan nafas seperti darah,
muntahan, dan gigi yang tanggal.
● Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas,
namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi kesan adanya
hiperkarbia
● Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
● Nafas cuping hidung
● Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi
dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut
● Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang merupakan bukti
adanya gangguan airway.
LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
● Snoring, akibat lidah jatuh ke kebelakang
● Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
● Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi
larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
FEEL:
 Hembusan Nafas
1.Pembebasan jalan nafas tanpa alat
Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini lidah jatuh
ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring. Letakkan pasien pada posisi
terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus
otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring.
Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar.
Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis
terbuka, sniffing position, posisi hitup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada
rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.

Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat untuk
melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel trauma.

Gambar teknik head tilt chin lift gambar teknik Jaw thrust

2. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak sadar atau dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan
melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan
dinding faring bagian posterior.

a. Oropharyngeal Airway (OPA)


Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90
mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar bila angkat
kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas terbuka. Alat ini tidak
boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar karena dapat menyebabkan
batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih ada refleks batuk atau muntah tidak
diindikasikan untuk pemasangan OPA.

Gambar . Pemasangan OPA

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar


kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan
napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah
atau muntahan.

Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :


o Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan menyebabkan
trauma pada struktur laring.
o Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan
dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
o Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan
lunak pada bibir dan lidah.

b. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi
antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada
pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung
(nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.

Gambar : Pemasangan Nasofaringeal Airway

c. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan
nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Walaupun LMA tidak sebagai
penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada
pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi)
disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-
99%).
Gambar . Pemasangan LMA
Indikasi penggunaan LMA:
 Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara
tepat
 Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi
endotracheal
 Dapat dipergunakan sebagai “second-last-ditch airway“ apabila pilihan
terakhir untuk secure airway adalah dengan pembedahan
Kontraindikasi pemasangan LMA:
 Usia kehamilan lebih dari 14-16 minggu
 Pasien dengan trauma masif atau multipel
 Cedera dada masif
 Trauma maksilofasial yang masif
 Pasien dengan risiko aspirasi lebih besar dibandingkan keuntungan
pemasangan LMA
d. Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)
Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas.
Sehingga Intubasi endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi
endotrakhea adalah proses memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea, bila
dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakhea, bila melalui hidung
disebut intubasi nasotrakhea. Intubasi endotrakhea hanya boleh dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang terlatih dan berpengalaman.

Peralatan Intubasi
 Pipa oro/nasofaring.
 Suction/alat pengisap.
 Sumber Oksigen
 Kanula dan masker oksigen.
 BVM/Ambu bag, atau jackson reese.
 Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.
 Pelumas (jelly)
 Forcep magill.
 Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)
 Obat-obatan sedatif i.v.
 Sarung tangan.
 Plester dan gunting.
 Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
Teknik Intubasi
 Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan
jalan napas terbuka (hati-hati pada cedera leher).
 Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri
jelly.
 Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.
 Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri.
 Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).
 Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,
bibir).
 Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.
 Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara.
 Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati.
 Kembangkan balon (cuff) ETT.
 Pasang pipa orofaring.
 Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi suara pernapasan
atau udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen.
 Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.

1.1 Membersihkan Jalan Napas


Untuk memeriksa jalan napas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan
teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang
disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan napas tersumbat karena
adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan
sapuan jari(finger sweep). Kegagalan membuka napas dengan cara ini perlu dipikirkan
hal lain yaitu adanya sumbatan jalan napas di daerah faring atau adanya henti napas
(apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan total
pada jalan napas dan dilakukan pijat jantung.
1. Membersihkan Jalan Napas karena Cairan
a. Membersihkan Jalan Napas Secara Manual (Finger Sweep)
Membersihkan jalan napas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari
(finger sweep). Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda
asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah,
muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan napas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya :
 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher)
kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila
otot rahang lemas (maneuver emaresi)
 Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau
dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas
karena mudah hancur dan malah akan memperburuk sumbatan jalan
napas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.

b. Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas menggunakan alat


pengisap (suction)
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair yang ditandai dengan
terdengar suara tambahan berupa “gargling”, maka harus dilakukan
pengisapan (suctioning). Digunakan alat pengisap yang lebih populer dengan
nama “suction” (pengisap/ manual portable, pengisap dengan sumber listrik).
Masukkan kanula pengisap tidak boleh lebih dari lima sampai sepuluh detik.
Teknik Suctioning
 Pengisap dihubungkan dengan pipa kecil/ suction catheter (dapat
digunakan Naso Gastric Tube - NGT atau pipa lainnya) yang bersih.
 Gunakan sarung tangan bila memungkinkan.
 Buka mulut pasien kalau perlu tengadahkan kepala agar jalan napas
terbuka.
 Lakukan pengisapan (tidak boleh lebih dari 5 detik)
 Cuci pipa pengisap dengan memasukkannya pada air bersih/ cairan infus
untuk membilas selang suction, ulangi lagi bila diperlukan.
2. Mengatasi Sumbatan Jalan Napas Karena Benda Padat (Sumbatan Total)
Dapat digunakan tehnik manual thrust:
a. Abdominal thrust.
b. Chest thrust.
c. Back blow.

Back Blow dan Abdominal Thrust/Heimlich Maneuver pada Pasien Dewasa


Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan napas parsial/total karena benda
padat boleh dilakukan tindakan Back Blow dan abdominal thrust (pada pasien
dewasa). Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke depan dengan
merangkul dari belakang.
 Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar belikat dan
garis punggung tulang belakang (Back Blows).

Gambar : Back Blows pada dewasa


 Rangkul korban dari belakang dengan ke dua lengan dengan mempergunakan
kepalan ke dua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati, di tengah-tengah
antara Peocessus Xiphoid dengan pusar (abdominal thrust). Setiap hentakan
harus terpisah dan gerakan yang jelas.
 Ulangi secara bergantian antara Back Blow dan Abdominal Thrust masing-
masing 5 kali hingga jalan napas bebas atau hentikan bila korban jatuh tidak
sadar dan ganti dengan tindakan RJPO, pijat jantung napas buatan.
 Segera panggil bantuan.

Gambar : Abdomnal Thrust


Back Blows anak <1 tahun
Bayi masih sadar :
 Bila penderita dapat batuk keras, observasi ketat.
 Bila napas tidak efektif/ berhenti
Lakukan Back blow 5 kali (hentakan keras mendadak pada punggung korban di
titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/ vertebra).

Gambar : Back blows pada anak <1 tahun

Chest Thrust
Usaha untuk membebaskan jalan napas dari sumbatan parsial/total oleh karena
benda padat. Untuk bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil.

Gambar : Chest Thrust


Penderita sadar :
Penderita anak lebih dari satu tahun :
Lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari kedua dan ketiga kira-
kira satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu).
Penderita tak sadar :
 Tidurkan terlentang.
 Lakukan chest thrust.
 Tarik lidah dan lihat adakah benda asing.
 Berikan pernapasan buatan.
 Bila jalan napas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan
krikotiroidotomy jarum.
Membersihkan Benda Asing Padat Dengan Alat
Bila pasien tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah
hipofaring yang tak mungkin dilakukan dengan sapuan jari, maka digunakan
alatbantu berupa :
1. laringoskop
2. alat pengisap (suction)
3. alat penjepit (forcep)
Teknik
1. Buka jalan napas lurus/ lebar dengan memperbaiki posisi kepala
2. Gunakan laringoskop dengan tangan kiri.
3. Masukkan blade-laryngoscope pada sudut mulut kanan dan menyusur tepi
lidah sampai pangkal lidah, geser ujung blade perlahan ke tengah dan
angkat tangkai laringoskop ke atas depan (sesuai sumbu handle
laringoskop) sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis.
4. Gunakan pengisap untuk benda cair dan liur.
Gunakan forcep bila terdapat benda padat

KEGAWATAN BREATHING

Pernapasan dikatakan tidak baik atau tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini:
1. Frekuensi pernafasan : takipnea, bradipnea
2. Bunyi nafas abnormal
3. Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan
4. Gangguan Difusi O2 sampai ke perifer (Sianosis, Hipotermi, CRT, penurunan
Saturasi O2)
5. Gangguan / penurunan tingkat kesadaran
1. Pernapasan bantuan
Bantuan ini harus diberikan pada semua korban yang tidak bernapas atau
pernapasannya tidak memadai. Beberapa cara memberikan batuan pernapasan
buatan adalah :
1. Perapasan buatan mulut-ke-mulut
Napas buatan mulut ke mulut adalah cara yang paling sederhana, cepat
meskipun menggunakan udara sisa pernapasan penolong dengan kadar oksigen
sekitar 16% saja.
Caranya :
- Pertahankan head tilt-chin lift (kepala mendongak)
- Jepit hidung dengan ibu jari dan telunjuk serta tangan yang lain
mempertahankan posisi kepala mendongak
- Buka sedikit mulut korban
- Pada saat akan membuang napas, tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut pasien, kemudian tiupkan lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan
pastian sampai dada terangkat.
- Tetap pertahankan posisi kepala, lepaskan mulut penolong dari mulut
korban, lihat apakah dada korban turun waktu akshalasi
2. Pernapasan bantuan mulut-ke-hidung
Napas bantuan ini dilakukan bila pernapasan mulut-ke-mulut sulit misalnya
karena kejang rahang, caranya adalah mengkatupkan mulut korban disertai
mengangkat dagu kemudian tiupkan udara seperti pernapasan mulut-ke-mulut.
Buka mulut pasien waktu ekshalasi.
3. Pernapasan buatan mulut-ke-sungkup
Penolong meniupkan udara melalui sungkup yang diletakkan diatas dan
melingkupi mulut dan hidung pasien. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan
sehingga muntahan dan warna bibir pasien dapat terlihat.
Caranya :
- Letakkan korban pada posisi terlentang
- Leyakkan sungkup pada muka korban dan dipegang dengan kedua ibu jari
- Lakukan Head tilt-chin lift, tekan sungkup ke muka korban agar rapat
kemudian tiup kembali melalui lubang sungkup sampai dada terangkat
- Hentikan tiupan dan amati turunnya dada.
4. Pernapasan dengan menggunakan Bag Valve Mask
Bantuan pernafasan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau AMBU adalah membantu
pernafasan dengan menggunakan reservoir udara (air mask bag unit, AMBU )
Gambar 2. Bag Valve Mask
Indikasi:
a. Apnea karena berbagai mekanisme
b. Usaha bernafas tidak mencukuoi

Kontraindikasi:

Pasien sadar intoleran

Cara Penggunaan:

1) Cek identitas pasien


2) Berikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
3) Lakukan cuci tangan
4) Mengangkat rahang bawah pasien untuk mempertahankan jalan nafas terbuka
5) Pasang sungkup sesuai ukuran pasien dengan menggunakan konektor yang
sesuai
6) Cek kebocoran dan keefektifan alat
7) Atur posisi pasien telentang
8) Pasang sungkup pada mulut menutupi seluruh mulut dan hidung
9) Memompa udara dengan cara tangan satu memegang bag sambil memompa
udara dan yang satunya memegang dan memfiksasi masker, ibu jari dan ibu
telunjuk membentuk huruf C sedangkan jari-jari lainnya memegang rahang
bawah sekaligus membuka jalan nafas dengan membentuk huruf E.
10) Perhatian gerakan dada, berikan udara inspirasi dengan perkiraan volume tidal
6-8 cc/kgBB, lepaskan untuk periode ekspirasi.
11) Lakukan sebanyak 10-12 kali/menit sampai dada nampak terangkat
12) Evaluasi pernafasan
13) Rapikan pasien dan peralatan
14) Lakukan cuci tangan

5. Nassal Kanul
Nasal kanul adalah alat sederhana yang sering digunakan untuk
menghantarkan oksigen. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien
yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal,
misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16– 20 kali
permenit dengan kecepatan aliran 1–6 liter/menit serta konsentrasi 22–44%, dengan
cara memasukkan selang yang terbuat dari plastik ke dalam hidung hanya berkisar
0,6–1,3 cm dan mengaitkannya di belakang telinga

Gambar 1. Nasal Kanul

Indikasi:
a. Pasien hipoksia.
b. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal.
c. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal.
d. Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal.
e. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
f. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah.

Kontraindikasi:

Kontraindikasi utama terapi oksigen dengan nasal kanul adalah jalan napas
yang tersumbat, baik akibat trauma hidung, penggunaan tampon hidung, atau akibat
infeksi/inflamasi.
Cara Penggunaan:

Langkah-langkah :

a. Tahap pra interaksi :


1) Identifikasi kebutuhan/indikasi pasien.
2) Cuci tangan.
3) Siapkan alat.
b. Tahap orientasi :
1) Beri salam, panggil klien dengan namanya.
2) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
3) Beri kesempatan pada klien untuk bertanya.
c. Tahap kerja :
1) Bantu klien pada posisi semi fowler jika memungkinkan, untuk
memberikan kemudahan ekspansi dada dan pernafasan lebih mudah.
2) Pasang peralatan oksigen dan humidifier.
3) Nyalakan oksigen dengan aliran sesuai advis.
4) Periksa aliran oksigen pada selang.
5) Sambung nasal kanul dengan selang oksigen.
6) Pasang nasal kanul pada hidung.
7) Letakkan ujung kanul ke dalam lubang hidung dan selang serta kaitkan
dibelakang telinga atau mengelilingi kepala. Yakinkan kanul masuk
lubang hidung dan tidak ke jaringan hidung.
8) Plester kanul pada sisi wajah, selipkan kasa di bawah selang pada
tulang pipi untuk mencegah iritasi.
9) Kaji respon klien terhadap oksigen dalam 15-30 menit, seperti warna,
pernafasan, gerakan dada, ketidaknyamanan dan sebagainya.
10) Periksa aliran dan air dalam humidifier dalam 30 menit.
11) Kaji klien secara berkala untuk mengetahui tanda klinik hypoxia,
takhikardi, cemas, gelisah, dyspnoe dan sianosis.
12) Kaji iritasi hidung klien. Beri air / cairan pelumas sesuai kebutuhan
untuk melemaskan mukosa membran.
13) Catat permulaan terapi dan pengkajian data.
d. Tahap terminasi :
1) Evaluasi hasil / respon klien.
2) Dokumentasikan hasilnya.
3) Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
4) Akhiri kegiatan, membereskan alat-alat.
5) Cuci tangan.
1. TRAUMA THORAKS
1. Tension Pneumothoraks

Tension pneumothoraks terjadi akibat kebocoran udara “one-way valve” dari paru
atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk kedalam rongga toraks tanpa ada
celah untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum terdorong ke sisi
berlawanan. Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan penekanan pada paru di sisi
yang berlawanan.
Penyebab utama tension pneumothoraks adalah ventilasi mekanik dengan ventilasi
tekanan positif pada pasien dengan trauma pleural visceral. Tension pneumothoraks juga
dapat terjadi sebagai komplikasi dari simple pneumothoraks pasca trauma tumpul atau
tembus toraks dimana parenkim paru gagal untuk mengembang atau pascca
penyimpangan pemasangan kateter vena subklavia atau jugularis interna. Defek traumatik
pada toraks juga dapat memicu tension pneumotoraks jika tidak ditutup dengan benar dan
jika defek tersebut memicu tejadinya mekanisme flap-valve. Tension pneumothoraks juga
dapat terjadi akibat penyimpangan letak pasca fraktur tulang belakang torakal.

Gambar : Tension Pnemothorax


Tension pneumothoraks merupakan diagnosis klinis yang mencermikan kondisi
udara dibawah tekanan dalam ruang pleura. Tatalaksana tidak boleh ditunda karena
menunggu konfirmasi radiologi selesai. Tension pneumothoraks ditandai dengan
beberapa tanda dan gejala berikut ini : nyeri dada, air hunger, distress napas, hipotensi,
takikardia, deviasi trakhea, hilangnya suara napas pada salah satu sisi atau unilateral,
distensi vena leher dan sianosis sebagai manifestasi lanjut. Tanda tension pneumothoraks
ini dapat dikacaukan oleh tamponade jantung akibat adanya kemiripan. Kedua kasus ini
dapaat dibedakan dengan adanya hipersonansi pada perkusi atau suara napas yang
menghilang pada hemithoraks yang sakit.
Tension pneumothoraks memerlukan dekompresi segera dan ditatalaksana awal
dengan cepat melalui penusukan jarum kaliber besar pada ruang interkostal kedua pada
garis midklavikular dari hemithoraks yang sakit.
1. Open Pneumothoraks
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks
atau sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera
tercapai. Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter trakea,
udara mengalir melalaui defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara
cenderung mengalir kelokasi yang tekanan nya lebih rendah. Ventilasi efektif akan
terganggu sehingga memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia. Penatalaksanaan awal
dari open pneumotoraks dapat tercapai dengan menutup defek tersebut dengan occlusive
dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi seluruh luka dan
kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk memberikan feel “flutter type valve”.

Gambar : Dressing untuk tatalaksana open pneumothorax

2. Flail Chest dan Kontusio Paru


Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas
tulang sehingga terjadi defek pada thoracic cage. Kondisi ini biasanya terjadi akibat
trauma terkait fraktur costae multipel- yaitu dua atau lebih tulang iga mengalami fraktur
pada dua tempat atau lebih. Adanya segment flail chest menyebabkan gangguan
pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma yang mengenai paru cukup bermakna
maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama flail chest diakibatkan oleh trauma pada
paru (kontusio paru).

Gambar : Flail Chest

Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan paradoksal dinding dada


pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan hipoksia.
Ketrebatasan pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari
merupakan penyebab penting hipoksia. Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada
awalnya karena adanya “splinting” pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung
lemah dan pergerakan toraks tampak asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari
gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang iga atau fraktur kartilago dapat
menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan rontgen toraks akan ditemui fraktur costae
multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai pemisahan costochondral. Analis gas darah arteri
yang menunjukkan ada hipoksia juga akan membantu menegakkkan diagnosis flail chest.
Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian
cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Pemberian analgesia
dapat dilakukan dengan pemberian narkotikaintravena atau berbagai metode anestesi
lokal yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan seperti pada pemberian narkotika
sistemik. Pemilihan anestesi lokal yang meliputi blok saraf intermitten pada intercostal,
intrapleural, ekstrapleural, dan anetesi epidural. Bila digunakan dengan tepat agen
anestesi lokal dapat memberikan analgesia yang sempurna dan menekan perlunya
dilakukan intubasi. Pencegahan hipoksia juga merupakan bagian penting dalam
penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada periode waktu yang singkat
diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan lengkap. Penilaian yang teliti
akan kecepatan pernapasan, tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan menjadi
indikasi waktu pemasangan intubasi dan ventilasi.
3. Hemotoraks Masif
Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah atau
satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat
luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga
dapat terjadi akibat trauma tumpul. Akumulasi darah dan cairan dalam hemitoraks dapat
mengganggu upaya pernapasan dengan menekan paru dan mencegah ventilasi yang
adekuat. Akumulasi akut darah secara dramatis dapat bermanifestasi sebagai hipotensi
dan syok.
2. NON TRAUMA
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Acute respiratory distress syndroem (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru yang
tiba-tiba dan bentuk kegagalan napas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya
sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah
1) Sistemik:
a. Syok karena beberapa penyebab
b. Sepsis gram negative
c. Hipotermia
d. Hipertermia
e. Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )
f. Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
g. Eklampsia
h. Luka bakar
2) Pulmonal :
a. Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii )
b. Trauma ( emboli lemak, kontusio paru )
c. Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
d. Pneumositis
3) Non-Pulmonal :
a. Cedera kepala
b. Peningkatan TIK
c. Pascakardioversi
d. Pankreatitis
e. Uremia
Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kerusakan sistemik menyebabkan penurunan perfusi jaringan sehingga terjadi
Hipoksia seluler dan terjadi Pelepasan faktor-faktor biokimia( enzim lisosom, vasoaktif,
system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) yang menyebabkan Peningkatan
permiabilitas kapiler paru yang berakibat terhadap Penurunan aktivitas surfaktan sehingga
terjadi Edema interstisial alveolar paru dan menyebabkan Kolaps alveolar yang progresif
sehingga compliance paru menurun (Stiff lung) dan meningkatkan shunting sehingga terjadi
Hipoksia arterial.
4) Penatalaksanaan :
a. Pasang jalan napas yang adekuat
b. Pencegahan infeksi
c. Ventilasi mekanik
d. Dukungan nutrisi
e. TEAP
f. Monitor system terhadap respon
g. Pemantauan Oksigenasi Arteri
h. Perawatan kondisi dasar
i. Cairan
j. Farmakologi (O2,diuretik,antibiotik)
k. Pemeliharaan jalan napas
Daftar Pustaka

American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult
Airway-An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on
Management of the Difficult Airway. Jurnal American Society of Anesthesiologists vol.118
no.2.
Ninth Edition.2014. Advance Trauma Life Support (ATLS). . American College of Surgeons.
Committe on Trauma

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas.
Jakarta: FK UI.
Pusbankes 118. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD), Basic Trauma and
Cardiac Support (BTCLS). Yogyakarta: Persi DI; 2013.
Purwadianto, Agus, dkk, 2000. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.

Anda mungkin juga menyukai