PENDIDIKAN INTERPROFESSIONAL DI BIDANG ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
Disusun oleh :
Amalia Rahmadinie
Bayu Mahardi Saputra
Bimo Kusumo Bhirowo
Harri Kurnia Chandra
Kinanti Narulita Dewi
Kerjasama tim dalam pelayanan kesehatan tidak dapat dibahas tanpa menyebutkan peran penting pendidikan interprofessional (IPE) dalam pendidikan sarjana kesehatan. Inti dari IPE adalah persiapan praktisi masa depan untuk praktik berbasis tim yang efektif, dengan melibatkan pelajar dari berbagai disiplin ilmu bersama-sama selama pendidikan sarjana mereka untuk belajar dari dan dengan satu sama lain. Hal ini membantu pelajar belajar untuk menghargai dan menghormati peran yang berbeda dari tenaga medis sebelum mereka bergabung dengan kelompok tenaga medis tertentu. Meskipun ada argumen yang kuat bahwa sarjana IPE harus meningkatkan kerja sama tim berikutnya, penelitian untuk mendukung argumen ini belum konklusif. Universitas telah mengambil pendekatan yang berbeda untuk memperkenalkan IPE ke dalam kurikulum mereka tergantung pada sumber daya yang tersedia, program sarjana yang tersedia dan tingkat dukungan untuk konsep di tingkat senior. Institute of Medicine (IOM, 2001) menyatakan, kerja sama yang efektif dalam tim dan perbaikan sistem organisasi memegang peranan yang utama dalam pemberian pelayanan berpusat pada pasien, lebih aman, efektif dan efisien. Kolaborasi akan berjalan dengan baik jika setiap anggota tim saling memahami peran dan tanggung jawab masing-masing profesi, memiliki tujuan yang sama, mengakui keahlian masing-masing profesi, saling bertukar informasi dengan terbuka, memiliki kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan tugas baik secara individu maupun bersama kelompok dalam tim (Pethybridge, 2004; Hanson, 2000). Kesimpulan dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan Siegler & Whitney (2000) sejalan dengan Pethybridge (2004) dan Hanson (2000), yaitu tim akan berjalan dengan baik ketika setiap anggota tim berkontribusi sesuai dengan peran, keahlian, kompetensi dan wewenang mereka masing-masing. Kolaborasi interprofesi akan meningkatkan kualitas perawatan kepada pasien, masa pengobatan yang lebih pendek, biaya perawatan yang lebih murah, mengurangi beban dan stres kerja pada tim profesi kesehatan, menurunkan angka mortalitas, meningkatkan kepuasan kerja, dan mengurangi biaya perawatan. The World Health Organization (WHO, 2010) juga menekankan pentingnya kolaborasi interprofesi. Kolaborasi interprofesi akan menurunkan angka komplikasi, lama rawat di rumah sakit, ketegangan dan konflik diantara tim kesehatan, tingkat kematian, serta mengurangi biaya perawatan dan durasi pengobatan, meningkatkan kepuasan pasien dan tim kesehatan. Kerja sama interprofesi terjadi ketika berbagai profesi tenaga kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda bekerja sama dengan pasien, keluarga, pengasuh, dan masyarakat untuk memberikan kualitas pelayanan yang terbaik (WHO, 2010). Melalui kolaborasi dalam tim, pengetahuan dan skill atau keahlian dari dokter dan perawat akan saling melengkapi. Pasien akan mendapat keuntungan dari koordinasi yang lebih baik melalui kolaborasi interprofesi. Kerja sama tim dalam kolaborasi adalah proses yang dinamis yang melibatkan dua atau lebih profesi kesehatan yang masing-masing memiliki pengetahuan dan keahlian yang berbeda, membuat penilaian dan perencanaan bersama, serta mengevaluasi bersama perawatan yang diberikan kepada pasien. Hal tersebut dapat dicapai melalui kolaborasi yang independen, komunikasi yang terbuka, dan berbagi dalam pengambilan keputusan. Kerja sama interprofesi dokter perawat yang efektif memerlukan adanya pemahaman yang benar tentang kolaborasi interprofesi dan penguasaan kompetensi inti praktik kolaborasi interprofesi (Core competencies for interprofessional collaborative practice) yang ditetapkan oleh International education collaborative expert panel pada tahun 2011. Kompetensi inti praktik kolaborasi interprofesi meliputi etika praktek interprofesi, peran dan tanggung jawab, komunikasi interprofesi, serta kerja sama tim. Terdapat tujuh elemen kunci untuk mencapai kolaborasi yang efektif antara lain : komunikasi, saling menghormati dan mempercayai, otonomi, kooperasi, akuntabilitas, koordinasi, dan asertifitas. Keberhasilan praktik kolaborasi ditentukan antara lain oleh beberapa faktor yaitu: faktor organisasi, lingkungan organisasi, dan faktor interaksi. Selain itu pendidikan interprofesi (Interprofessional education/IPE) juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik kolaborasi. WHO (2010) menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam meningkatkan hasil perawatan pasien. IPE mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan ilmu, ketrampilan, sikap dan perilaku profesional yang penting untuk praktik kolaborasi interprofesional. Kemampuan bekerjasama secara interprofesi (interprofessional teamwork) tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditemukan dan dilatih sejak dini mulai dari tahap perkuliahan agar mahasiswa mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman mengenai cara bekerjasama secara tim yang baik dengan profesi lain sebelum mereka terjun ke dunia kerja. Model pembelajaran pendidikan interprofesi atau interprofessional education yang selanjutnya disebut IPE dapat dijadikan suatu media pembelajaran bagi mahasiswa untuk belajar dan melatih kemampuan bekerjasama dengan profesi lain. IPE merupakan proses dimana sekelompok peserta didik atau tenaga kesehatan dengan latar belakang berbeda belajar bersama dalam jangka waktu tertentu pada masa pendidikan, dengan interaksi sebagai tujuan utamanya, untuk kolaborasi dalam menyediakan pelayanan preventif, promotif, rehabilitataif, dan pelayanan kesehatan lainnya (WHO, 2010). IPE memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang mempunyai latar belakang yang bervariasi (misal: dokter, perawat, bidan, gizi klinik, tenaga sosial) untuk bekerja bersama secara aktif dalam memecahkan permasalahan (problem solving). Pembelajaran ini berpotensi untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi praktik klinik, membantu meningkatkan hubungan profesional yang kuat dengan menghargai perannya masing-masing. Kompetensi dalam IPE salah satunya adalah kerjasama (teamwork) dimana kemampuan bekerja sama (teamwork skill) menjadi komponen yang penting dalam keefektifan pelaksanaan kolaborasi interprofesi dalam memberikan pelayanan. Pada ranah Anestesiologi dan Terapi Intensif, terdapat berbagai macam kolaborasi tim yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. Beberapa contoh kolaborasi tim yang dapat dibangun sejak awal melalui pendidikan interprofessional di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif terkait dengan ranah kerja / pelayanan di bidang tersebut antara lain : Area Kerja Bidang / Pekerjaan Lain Bentuk Kerjasama Tim yang dilibatkan Ruang Operasi (OK) Bedah Umum, Penentuan posisi pasien selama Orthopedi, Urologi, prosedur anestesi, penempatan alat – THT, Mata, Obstetri & alat untuk monitoring, dan Ginekologi, Gigi Mulut pemasangan alat invasif (intra venous line, dll) terkait dengan area pembedahan Komunikasi dalam penentuan sign in, time out, dan sign out Konsultasi tertulis melalui lembar konsultasi sebagai bentuk komunikasi mengenai kondisi pasien sebelum dilakukan prosedur anestesi dan tindakan pembedahan. Visit pre operatif dan panel diskusi antara ahli anestesi dan operator pada beberapa kasus yang membutuhkan perhatian khusus / pasien dengan risiko tinggi Operator, Penata Komunikasi efektif dalam pemberian Anestesi obat – obatan / terapi invasif lainnya dengan metode SBAR-TBAK Kebutuhan komunikasi lintas disiplin, contoh : penyediaan obat dan penyamaan persepsi dalam pemberian antibiotik profilaksis Penyediaan peralatan dan obat – obat anestesi terkait dengan jenis dan teknik anestesi yang akan dilakukan Ruang Pemulihan Penata Anestesi Komunikasi efektif dalam pemberian (Recovery Room) obat – obatan / terapi invasif lainnya dengan metode SBAR-TBAK selama di ruang pemulihan ICU Semua Disiplin Ilmu Komunikasi efektif dalam pemberian Kedokteran dan perawat obat – obatan / terapi invasif lainnya ICU dengan metode SBAR-TBAK Komunikasi efektif dalam tatalaksana farmakoterapi yang diberikan oleh intensivist dan DPJP pasien yang dirawat di ICU, tidak hanya sebagai upaya meningkatkan sinergisme terapi, akan tetapi juga dalam menghindari polifarmasi yang berdampak munculnya efek samping akibat interaksi obat – obatan. Petugas laborat dan Komunikasi efektif dalam penentuan perawat ICU pengambilan sampel pemeriksaan laborat supaya disesuaikan dengan kondisi medis klinis pasien dan pasca intervensi spesifik IGD (area Prioritas-1 Emergency Medicine Team work dalam penilaian dan dan Prioritas-2) pengelolaan kegawatan ABC serta pemantauan hemodinamik pasien dengan kriteria emergensi Stabilisasi ABC dan hemodinamik pasien di IGD yang memerlukan tindakan cito pembedahan sehingga dapat memperbaiki kondisi pre- operative pasien yang akan dilakukan prosedur anestesi sehingga berdampak terhadap peningkatan keselamatan dan pencegahan komplikasi lanjutan.