Anda di halaman 1dari 59

REFERAT MARET 2023

RETINOBLASTOMA

Disusun Oleh:

Nama : Jihan G. Ismail

NIM : N 111 21 088

Pembimbing : dr. Neni K Parimo, Sp.M.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Penyakit Mata

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa

Nama : Jihan G. Ismail


Stambuk : N 111 21 088

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Penyakit Mata

Judul referat : Retinoblastoma

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Maret 2023

Mengetahui,

Pembimbing Klinik

dr. Neni K Parimo, Sp.M.


DAFTAR
ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4

2.1. Definisi.........................................................................................................4

2.2. Epidemiologi................................................................................................5

2.3. Embriologi...................................................................................................5

2.4. Anatomi dan Fisiologi................................................................................11

2.4.1. Anatomi Orbita......................................................................................11

2.4.2. Fisiologi retina.......................................................................................17

2.5. Etiologi.......................................................................................................18

2.6. Histopatologi..............................................................................................20

2.7. Manifestasi Klinis......................................................................................22

2.7.1. Tanda Awal...........................................................................................23

2.7.2. Pola Pertumbuhan..................................................................................24

2.7.3. Manifestasi klinis tingkat lanjut............................................................28

2.7.4. Variasi Klinis Lainnya...........................................................................30

2.7.5. Penentuan klasifikasi dan stadium........................................................33

2.8. Gambaran Radiologis.................................................................................35

2.8.1. Ultrasonografi dan ultra biomikroskopi................................................35

2.8.2. CT-Scan.................................................................................................36

2.8.3. MRI........................................................................................................37

2.9. Diagnosis Banding.....................................................................................39


ii
2.9.1. Koloboma..............................................................................................39

2.9.2. Coats disease.........................................................................................41

2.9.3. Persistent Hyperplastic Primary Vitreus (PHPV)..................................43

2.10.Penatalaksanaan dan Prognosis..................................................................44

BAB III KESIMPULAN........................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................50
BAB I

PENDAHULUAN

Malignansi pada anak-anak sangat berbeda dari malignansi pada orang dewasa

baik prognosis maupun distribusi oleh histologi dan lokasi tumor. Kanker

limfohematopoietik (yaitu leukemia limfoblastik akut, leukemia myeloid,

Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin) mencapai sekitar 40%, kanker sistem saraf

pusat sekitar 30%, dan tumor embrio dan sarkoma selama kurang lebih 10% di

antara kategori luas kanker anak-anak. Sebaliknya, tumor yang berasal dari sel

epitel seperti paru- paru, usus besar, payudara, dan prostat, yang biasanya terlihat

di kalangan orang dewasa, adalah malignansi yang jarang pada anak-anak. Selama

tahun pertama kehidupan, tumor embrio seperti neuroblastoma, nephroblastoma

(tumor Wilms), retinoblastoma, rhabdomyosarcoma, hepatoblastoma, dan

medulloblastoma paling umum ditemukan. Tumor ini jauh lebih jarang terjadi

pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua setelah proses diferensiasi sel

telah melambat. 1

Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma yang berasal dari neural

embrional retina dan dapat terjadi di setiap lokasi nuklear retina. Retinoblastoma

adalah tumor ganas intraokular primer yang paling umum ditemukan pada usia

kanak-kanak. Ini terjadi pada sekitar 1/15.000 kelahiran hidup; 250-300 kasus

baru didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pola transmisi herediter dan

non herediter terjadi; tidak ada predileksi jenis kelamin atau ras. Bentuk herediter

terjadi lebih awal dan biasanya bersifat bilateral dan multifokal, sedangkan

bentuk non herediter


2

umumnya unilateral dan unifokal. Lima belas persen kasus unilateral herediter.

Kasus bilateral sering terjadi lebih awal daripada kasus unifokal. Tumor unilateral

seringkali berukuran besar pada saat ditemukan. Usia rata-rata saat diagnosis

retinoblastoma di Amerika Serikat adalah 15 bulan untuk kasus bilateral dan 27

bulan untuk kasus unilateral. Pada retinoblastoma bilateral perlu diwaspadai

adanya massa di intrakranial yang disebut dengan retinoblastoma trilateral dan

quadrilateral.1–3

Di Amerika Serikat dan negara maju lainnya, deteksi dini dilakukan saat tumor

masih berada di mata. Di negara berkembang retinoblastoma sering terdeteksi

setelah adanya invasi ke orbita atau otak. Hal ini yang menyebabkan perbedaan

tingginya angka survival rate pada anak penderita retinoblastoma di negara maju

dibandingkan dengan negara berkembang.3–5

Biopsi dapat menyebabkan penyebaran sel-sel tumor sehingga sebaiknya tidak

dilakukan. Pemeriksaan patologi anatomi dapat dilakukan dengan sampel dari

enukleasi bola mata. Oleh karena itu imejing sangat berperan dalam menentukan

diagnosis dini retinoblastoma. Saat ini telah dipakai secara luas pemeriksaan

imejing untuk dapat mendiagnosis massa pada orbita dan perluasan

intrakranialnya. Pemeriksaan Computed tomografi scanning (CT scan) dan

Magnetic resonance imejing (MRI) dilakukan untuk menilai adanya massa

intraokuli dan infiltrasi massa ke intrakranial.

Deteksi dini sangat menentukan prognosis dan keberhasilan pengobatan.

Seiring dengan kemajuan teknologi maka semakin beragam pula pilihan terapi

yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang ahli radiologi

untuk dapat
3

mengenali gambaran radiologis retinoblastoma sehingga didapatkan diagnosis

yang akurat serta bekerja sama dengan ahli radiolgi intervensi dalam pelaksanaan

kemoterapi selektif intra-arterial. Pengobatan dengan kemoterapi selektif intra-

arterial mengurangi efek samping sistemik dan meningkatkan angka 5 year-

survival rate pada penderita retinoblastoma yang belum ada metastasis

intrakranial. Bahkan pada banyak kasus retinoblastoma tahap awal dapat

dipertahankan bola matanya. 6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang berkembang dari sel-sel

retinoblast yang berada pada retina mata, yaitu bagian belakang bola mata yang

paling peka terhadap cahaya. Retinoblastoma terjadi baik familial (40%) atau

sporadik (60%). Retinoblastoma dapat terjadi pada satu mata (unilateral), dua

mata (bilateral), atau dua mata disertai perkembangan tumor sel retinosit primitif

di glandula pineal (trilateral). Kasus familial biasanya multipel atau bilateral,

walaupun dapat juga unifokal atau unilateral. Kasus sporadik biasanya unilateral

atau unifokal Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma. Neoplasma ini berasal

dari sel-sel kerucut, batang, atau sel glia di retina mata. 7

Penyakit ini pertama kali di kemukakan oleh Petras Pawius pada tahun 1657

dan sejak itu dikenal dengan beberapa nama. Virchow menyebutnya sebagai

glioma retina karena dianggap sebagai tumor yang berasal dari sel glia retina.

Flexner dan Wintersteiner kemudian menyebut tumor ini sebagai

neuroepithelioma karena dianggap berasal dari sel yang akan menjadi sel

neuroepithelial. Nama retinoblastoma diusulkan oleh Verhoeff karena dia

menganggap tumor ini berasal dari bakal sel retina (retinoblast). Nama ini

kemudian secara resmi dipakai oleh The American Opthalmology Society sejak

tahun 1926.3
5

2.2.Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), 2-4% penduduk di dunia

menderita retinoblastoma. Insidensi retinoblastoma telah meningkat selama lebih

dari 60 tahun terakhir ini dan diperkirakan ada 1 kasus dari 14.000-20.000

kelahiran hidup. Di Amerika Serikat terdapat 250-350 kasus baru retinoblastoma

dan lebih dari 90% berusia kurang dari lima tahun, dengan usia rata-rata diagnosis

24 bulan pada anak-anak dengan penyakit unilateral dan 9-12 bulan pada anak-

anak dengan penyakit bilateral. Usia kemudian saat diagnosis umumnya

dilaporkan di daerah- daerah di mana ada penurunan akses terhadap perawatan

medis, namun diagnosis pada anak-anak berusia di atas 5 tahun jarang terjadi. Di

Indonesia, prevalensi retinoblastoma 2,4 per 100.000. 2,3,8,9

2.3.Embriologi

Bola mata yang belum sempurna berkembang sebagai divertikulum ektodermal

dari aspek lateral otak depan (Gambar 1.A-D). Divertikulum tumbuh secara lateral

ke arah kepala, dan ujungnya menjadi sedikit melebar membentuk optic vesicle,

sementara bagian proksimal menjadi terbatas untuk membentuk optic stalk

(Gambar 1 A-D). Pada saat yang sama, area kecil ektoderm permukaan yang

menutupi optic vesicle mengental untuk membentuk lens placode. Lens placode

invaginasi dan tenggelam di bawah permukaan ektoderm untuk menjadi lens

vesicle. Sementara itu, optic vesicle menjadi invaginasi untuk membentuk double-

layered optic cup. Tepi inferior dari optic cup berkurang, dan takik ini berlanjut

dengan alur pada aspek inferior optic stalk yang disebut optic atau choroidal

fissure (Gambar 1 A-D). Mesenkim vaskular sekarang tumbuh menjadi fisura

optik dan
6

membawanya bersamaan dengan arteri hyaloid. Kemudian, fissure ini menjadi

menyempit oleh pertumbuhan margin di sekitar arteri, dan pada minggu ketujuh

perkembangan embrio, fissure menutup, membentuk tabung sempit, kanal optik,

di dalam optic stalk (Gambar 2 A-E). Kegagalan fisura untuk menutup

sepenuhnya menghasilkan pembentukan coloboma, yang mungkin termasuk

pupil, badan siliaris, dan choroid atau saraf optik. Pada minggu kelima, lensa

vesikel kehilangan kontak dengan ectoderm permukaan dan terletak di dalam

mulut optic cup, yang ujungnya kemudian membentuk pupil (Gambar 1-3).10

Gambar 1. (A) pandangan dorsal, menunjukkan pembentukan optic vesicle, yang


tumbuh sebagai divertikulum dari aspek lateral forebrain.10

Gambar 1. (B) Potongan koronal diencephalon, menunjukkan penebalan


ektoderm permukaan di atas vesikel optik untuk membentuk lens
placode.
(C) Potongan koronal diencephalon, menunjukkan invaginasi lens
placode dan tenggelam di bawah permukaan ektoderm. Perhatikan
bahwa optic vesicle juga menjadi invaginasi.10
7

Gambar 1. (D) Pembentukan lens vesicle, optic cup, dan fisura choroidal.10

Gambar 2. (A-E) Serangkaian diagram yang menggambarkan pembentukan


optic cup dari optic vesicle. Perhatikan bahwa tepi inferior optic cup
berkurang, dan takik ini berlanjut dengan fisura choroidal. Pinggiran
dari fissure choroidal menyatu mengelilingi arteri dan vena hyaloid.10
8

Gambar 3. Mata pada tahap perkembangan yang berbeda. (A) Pembentukan


lensa dari lens vesicle dan nutrisi oleh arteri hyaloid. Perhatikan
perkembangan lebih lanjut lapisan dalam dan luar dari optic cup dan
berlanjutnya pembentukan rongga optic vesicle. (B) Perkembangan
kornea, ruang anterior, dan membran pupil. Rongga lensa vesikel masih
ada. Kelopak mata telah menyatu dan tetap demikian sampai bulan
ketujuh sebelum kelahiran.10
9

Gambar 4. (A, B) Mata pada stadium lanjut perkembangan. Perhatikan


degenerasi pembuluh darah hyaloid dan persistensi kanal hyaloid di
vitreous body. Sisa-sisa pembuluh darah hyaloid menjadi pusat arteri dan
vena retina. Kelenjar lakrimal telah berkembang sebagai pertumbuhan
keluar dari kantung konjungtiva. 10

Retina berkembang dari optic cup. Untuk tujuan deskripsi, retina dapat dibagi

menjadi dua lapisan perkembangan, lapisan pigmen dan lapisan saraf. Lapisan

pigmen terbentuk dari lapisan tipis luar dari optic cup (Gambar 3). Ini adalah satu
10

lapisan sel yang menjadi bentuk kolumnar dan mengembangkan butiran pigmen

(melanosom) di dalam sitoplasma mereka.10

Lapisan saraf terbentuk dari lapisan dalam optic cup. Namun, di regio optic cup

yang tumpang tindih dengan lensa, lapisan dalam yang tidak dapat dibedakan,

berkembang menjadi jaringan saraf. Lapisan seperlima anterior lapisan dalam ini

menetap sebagai lapisan sel kolumnar, yang bersama dengan epitel berpigmen

dari lapisan luar, meluas ke depan menuju permukaan posterior ciliary body dan

iris yang sedang berkembang. (Gambar 4).10

Bagian ke empat lapisan dalam dari optic cup mengalami proliferasi seluler,

membentuk nuclear zone di luar dan marginal zone di dalam, tanpa inti sel

(Gambar 3). Kemudian, sel- sel nuclear zone menyerbu zona marjinal sehingga

bagian saraf retina terdiri dari lapisan neuroblastik dalam dan luar. Lapisan

neuroblastik bagian dalam membentuk sel ganglion, sel amrrin, dan tubuh serat

sustensif dari Mi’iller. Lapisan neuroblastik luar memunculkan sel saraf bipolar

horizontal dan batang dan kerucut dan sel batang dan kerucut. Pada bulan

kedelapan kehidupan janin semua lapisan retina dapat dikenali. Perlu dicatat

bahwa sel-sel fotoreseptor retina terus terbentuk setelah lahir sehingga retina

mengembangkan kemampuan untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas.10

Dengan demikian, lapisan dalam dari optic cup dapat dibagi menjadi bagian kecil

yang bukan saraf di dekat tepi optic cup dan bagian fotosensitif besar, keduanya

dipisahkan oleh garis bergelombang, ora serrata (Gambar 4).10

Menarik untuk diingat bahwa rongga optic vesicle terus berlanjut melalui kanal

optik dengan rongga diencephalon (yaitu bagian yang akan membentuk ventrikel

ketiga). Pada awal perkembangan, lapisan terluar sel nuclear zone memiliki silia,

yang berkelanjutan dengan sel ependimosa yang bersilia dari ventrikel ketiga.
11

Kemudian, selama minggu ketujuh kehamilan, silia sel nuclear zone hilang dan

diyakini digantikan oleh segmen luar batang dan kerucut selama bulan keempat

kehamilan.10

2.4.Anatomi dan Fisiologi

2.4.1. Anatomi Orbita

2.4.1.1. Bola Mata

Orbita terdiri atas tiga lapis yaitu tunika fibrosa, lamina vaskulosa dan tunika

sensoria atau retina. Tunika fibrosa terdiri atas sklera yang merupakan bagian

posterior orbita yang opak dan kornea sebagai bagian anterior orbita yang

transparan. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa yang berwarna putih.

Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata akibat

peningkatan tekanan liquor serebrospinal di dalam tonjolan tubular spatium

subarachnoid yang terdapat di sekeliling nervus optikus. Jika tekanan intraokular

meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan diskus

menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop. Sklera juga ditembus oleh

nervus siliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu vena vortikosa. Sklera

langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus.10,11

Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang

masuk ke mata. Dari luar ke dalam tersusun atas epitel kornea (epithelium

anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva, substansia propria yang

merupakan jaringan ikat transparan, lamina limitans posterior dan endotel yang

berhubungan dengan aqueous humour (epithelium posterius).10


12

Gambar 5. Anatomi orbita.10

Lamina vaskulosa dari belakang ke depan tersusun dari koroid, korpus siliaris

dan iris. Koroid terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat

vaskular. Korpus siliaris bersambung dengan koroid ke posterior dan terletak di

belakang tepi perifer iris ke anterior. Korpus siliaris terdiri atas korona siliaris,

prosessus siliaris dan muskulus siliaris.10

Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di

pusatnya yaitu pupil. Iris membagi ruang antara lensa dan kornea menjadi kamera

anterior dan posterior, serat-serat otot iris bersifat involuntar yang terdiri atas

serat- serat sirkuler dan radier.10

Tunika sensoria atau retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di

dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada koroid dan permukaan dalamnya

berkontak dengan korpus vitreus. Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang

semitransparan yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata.

Retina
13

membentang ke anterior hampir sama jauhnya dengan korpus silier dan berakhir

di tepi ora serrata.10

Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis

Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm dibelakang garis Schwalbe pada sisi

nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel pigmen

retina, membrana bruch, koroid dan sklera. Retina dan epithelium pigmen retina

mudah terpisah hingga membentuk ruang subretina tetapi pada diskus optikus dan

ora serrata, retina dan epithelium pigmen retina melekat sangat kuat.10

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub

posterior. Makula terdapat di tengah-tengah retina posterior (besar makula lutea

1sampai 2 mm). Fovea sentralis terdapat di tengah makula sekitar 3,5 mm sebelah

lateral diskus optikus.10

Lapisan dalam retina mendapatkan suplai darah dari arteri sentralis retina.

Arteri ini berasal dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan

nervus optikus dan bercabang pada permukaan dalam retina. Arteri sentralis

merupakan arteri utuh dengan diameter kurang lebih 0,1 mm, yang merupakan

suatu arteri terminalis tanpa anastomose dan membagi menjadi empat cabang

utama yaitu aa.temporalis superior dan inferior dan aa.nasalis superior dan

inferior. Lapisan luar retina tidak mempunyai vaskularisasi, bagian ini

mendapatkan nutrisinya melalui proses difusi dari lapisan koroid.3

Retina terdiri dari 10 lapisan mulai dari sisi dalam adalah membrana limitans

interna, lapisan serat saraf, lapisan sel ganglion, lapisan fleksiformis dalam,

lapisan inti dalam dan lapisan fleksiformis luar, lapisan inti luar, membrana

limitan
14

eksterna, lapisan fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan epithelium pigmen

retina.10,12

Gambar 6. Lapisan-lapisan koroid and retina (detail). Pewarnaan: hematoksilin


and eosin. Pembesaran tinggi.7

Nervus optikus meninggalkan retina lebih kurang 3 mm medial dari makula

lutea melalui diskus nervus optikus. Diskus nervus optikus agak berlekuk di

tempat yang ditembus oleh arteri sentralis retina. Pada diskus ini sama sekali tidak

ditemui sel batang dan kerucut, sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut

sebagai bintik buta. Pada pengamatan dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak

berwarna merah muda pucat dan jauh lebih pucat dari retina di sekitarnya. 10
15

Gambar 7. Diagram bola mata, menunjukkan kutub (anterior pole dan posterior pole),
ekuator dan bidang meridional.10

2.4.1.2. Vaskularisasi orbita

2.4.1.2.1. Arteri intra orbita

Pembuluh darah utama yang menyuplai struktur orbital adalah arteri oftalmik ,

yang merupakan cabang dari arteri carotis interna, dan arteri infra-orbital, yang

merupakan cabang dari arteri karotis ekterna, juga menyumbangkan darah ke

struktur yang berada di daerah lantai orbital. Cabang terminalnya arteri oftalmika

beranastomosis pada wajah dan kulit kepala dengan arteri temporal wajah, rahang

atas dan superfisial, sehingga terbentuk koneksi antara arteri karotis eksternal dan

internal.13,14
16

Gambar 8. Skema distribusi cabang arteri oftalmik yang dilihat dari atas. 13

2.4.1.2.2.Vena intra orbita

Vena yang mengalir dari orbita adalah vena oftalmik superior dan inferior, yang

melewati fisura orbital superior dan masuk ke sinus kavernosus, serta vena

infraorbital. Vena sentral retina biasanya masuk sinus kavernosus secara

langsung, tapi bisa bergabung dengan salah satu vena oftalmik. Vena vortex atau

vena vorticose, dari lapisan vaskular bola mata mengalir ke vena oftalmik inferior.

Sinus vena skleral adalah struktur vaskular yang mengelilingi ruang anterior bola

mata yang melaluinya aqueous humor dikembalikan ke sirkulasi darah. 13,14


17

Gambar 9. Vena orbita kiri: aspek Gambar 10. Vena oftalmik superior
lateral.13 bermuara ke sinus
kavernosus, dan vena
oftalmik inferior bermuara
ke pleksus vena pterygoid. 14

2.4.2. Fisiologi retina

Struktur mata manusia berfungsi untuk memfokuskan cahaya ke retina. Kornea

dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina.

Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor retina akan mengubah

rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serta

saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke konteks penglihatan.15

Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan

untuk penglihatan warna dengan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Makula

terutama digunakan untuk ketajaman penglihatan sentral dan warna (fotopik)

sedangkan bagian retina lainnya yang besar terdiri dari fotoreseptor batang

digunakan untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).15

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada

retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang

mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung

rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk


18

sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton

cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi

menjadi bentuk ali-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang berada

di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.

Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut dan

penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.15

Gambar 11. A. Anatomi daerah makula. B. Oftalmoskopi normal.15

2.5. Etiologi

Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan

panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB yang

berfungsi sebagai supresor pembentukan tumor. Protein pRB adalah

nukleoprotein yang terikat pada DNA (Deoksiribo nukleid acid) dan mengontrol

siklus sel pada transisi dari fase G1 sampai fase S sehingga mengakibatkan

perubahan keganasan dari sel retina primitif sebelum deferiensiasi berakhir.2,3,9

Retinoblastoma merupakan tumor yang berasal dari transformasi keganasan sel

retina primitif. Protein retinoblast normal adalah suatu supresor tumor atau anti

onkogen. Sel-sel retinoblast ini akan hilang dalam beberapa tahun pertama
19

kehidupan. Retinoblastoma dapat terjadi secara herediter (30%) dan non herediter

atau somatik (70% kasus).3,6,9

Pada kasus familial atau herediter, individu memiliki satu alel yang terganggu

disetiap sel tubuhnya. Apabila alel pasangan sel retina yang sedang tumbuh

mengalami mutasi spontan maka terbentuklah tumor, hipotesis "dua hit" yang

diajukan oleh Alfred Knudson pada tahun 1971. Pada kasus sporadik atau non

herediter, kedua alel gen retinoblastoma di sel retina yang sedang tumbuh

diinaktifkan oleh mutasi spontan.4,16

Gambar 12. Sebuah skema peran protein Retinoblastoma selama perkembangan


otak manusia. Pada sel normal, RB mengatur masuk ke fase S pada
proses proliferasi sel. Namun, kehilangan RB mempromosikan akumulasi
sel dalam fase S dan peningkatan kematian sel. Kekurangan RB juga
menyebabkan migrasi neuron yang menyimpang.17
20

2.6.Histopatologi

Secara makroskopik retinoblastoma terbagi menjadi dua kelompok.

Retinoblastoma endofitik dan eksofitik. Retinoblastoma dengan pola pertumbuhan

endofitik timbul dari lapisan nukleus dalam, pada pemeriksaan oftalmoskop

tampak gambaran massa putih sampai coklat muda yang menembus membran

limitan interna. Retinoblastoma endofitik kadang berhubungan dengan vitreus

atau menyebar ke dalam bilik mata depan yang dapat berkumpul di iris

membentuk nodul atau dapat menetap di dalam bagian inferior sudut bilik viterus

mungkin juga memasuki bilik mata depan atau menempati bagian inferior

membentuk hipopion.2,3

Tumor eksofitik retinoblastoma timbul dari lapisan nukleus luar retina, pada

pemeiksaan oftalmoskop tampak massa kuning keputihan dan terjadi pada ruang

subretina yang mengenai pembuluh darah retina dan sering kali terjadi

peningkatan diameter pembuluh darah dengan warna lebih pekat. Pertumbuhan

retinoblastoma eksofitik sering dihubungkan dengan akumulasi cairan subretina

yang dapat mengaburkan tumor dan sangat mirip dengan ablasio retina eksudatif

yang memberikan kesan coats disease. Fokus kalsifikasi pada retinoblastoma

memberi gambaran khas chalky white appearance.2,3,9

Gambar 13. Gross Pathology pada mata dengan retinoblastoma.9


21

A B

Gambar 14.Oftalmoskopi (A) Retinoblastoma endofitik. (B) Retinoblastoma


eksofitik.3

Secara mikroskopik retinoblastoma tampak sebagai satu atau lebih massa

basofil yang timbul dari retina. Nekrosis yang luas tampak sebagai area eosinofil

yang terang, sedangkan kalsifikasi terlihat sebagai fokus-fokus basofil yang padat

di dalam area nekrosis. Kebanyakan retinoblastoma tidak dapat dibedakan, tetapi

macam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma ditandai oleh pembentukan

rossetes, yang terdiri dari tiga tipe yaitu Roset Fexner-Wintersteiner, Roset Homer

Wright dan Fleurette.2,3,9

A. B.
22

C.

Gambar 15. Histopatologi retinoblastoma dengan derajat differensiasi baik.


A. Roset Fexner-Wintersteiner. B. Roset Homer Wright. C. Fleurette.3

Roset Fexner-Wintersteiner terdiri dari lumen sentral yang dikelilingi oleh sel

kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen. Roset Homer Wright

merupakan roset yang tidak mempunyai lumen dan sel terbentuk mengelilingi

massa proses eosinophilik. Fleurette adalah fokus sel tumor yang menunjukkan

differensiasi fotoreseptor dan merupakan kelompok sel dengan proses

pembentukan sitoplasma serta menyerupai karangan bunga.3

2.7. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis retinoblastoma bervariasi sesuai dengan stadium tumor pada

saat di diagnosis. Manifestasi klinis yang tersering pada pasien retinoblastoma

adalah leukokoria (white pupillary reflex) atau pupil berwarna putih, umumnya

diketahui oleh orangtua atau keluarganya dan dideskripsikan mata seolah bersinar,

berkilau seperti mata kucing atau cat’s eye appearance. Pada pupil akan terlihat

reflek putih. Refleks ini merupakan hasil refleksi cahaya dari massa tumor di

belakang lensa.2,3,9,18
23

Gambar 16. Seorang anak perempuan berusia 2 tahun dengan leukokoria pada mata
kiri.9

2.7.1. Tanda Awal

1. Strabismus

Ketika retinoblastoma muncul di daerah foveal, hal itu dapat menyebabkan

hilangnya fiksasi sentral, yang dapat menyebabkan strabismus, baik eksotropia

atau esotropia. Meski kebanyakan anak dengan strabismus tidak memiliki

retinoblastoma, penting bagi setiap anak dengan strabismus dilakukan

pemeriksaan fundus komprehensif untuk mengecualikan kemungkinan

retinoblastoma atau penyebab organik lainnya.19

2. Leukokoria

Seiring retinoblastoma tumbuh, akhirnya menyebabkan leukokoria (refleks

pupil putih). Bila tumornya kecil, leukokoria mungkin terlihat hanya di lapang

pandang tertentu. Bila tumornya cukup besar untuk mengisi lebih dari sepertiga

orbita, maka refleks putih menjadi jelas di semua lapang pandang (Gambar 16).19
24

2.7.2. Pola Pertumbuhan

1. Lesi intraretinal

Retinoblastoma berawal sebagai lesi transparan di retina bagian sensorik.

Ketika tumor membesar, tumor menjadi putih buram (Gambar 16). Dengan

pembesaran tumor lebih lanjut, arteri-arteri dan vena-vena retina menjadi melebar

berkembang untuk memasok dan mengalirkan darah menuju dan keluar dari

tumor (Gambar 19). Beberapa retinoblastoma yang tidak cukup diobati

menunjukkan fokus kalsifikasi seperti kapur yang telah diasosiasikan dengan keju

cottage (Gambar 24). Secara lebih khas, retinoblastoma lebih besar pada saat

ditemukan dan mengasumsikan pola pertumbuhan endofitik atau eksofisis. Tumor

yang lebih besar hampir selalu menyebabkan leukokoria.19

2. Pola Pertumbuhan Endofitik

Beberapa retinoblastoma tipe ini dikaitkan dengan penyebaran sel tumor ke

bagian lainnya. Pola pertumbuhan endofitik semacam itu ditandai oleh massa

kabut putih dengan pembuluh darah retina dipermukannya (Gambar 22). Karena

sifatnya yang rapuh, tumor endofitik akhirnya bisa menyebar ke seluruh rongga

vitreous dan menimbulkan endophthalmitis. Retinoblastoma endofitik juga dapat

menyebar ke dalam anterior chamber dan menghasilkan banyak nodul pada

margin pupil. Seiring waktu, sel bisa masuk ke bagian inferior dari anterior

chamber angle dan menyerupai hipopion (Gambar 22).19


25

3. Pola Pertumbuhan Eksofitik

Retinoblastoma eksofitik adalah retinoblastoma yang tumbuh dari retina ke luar

ke dalam ruang subretinal. Berbeda dengan tumor endofitik, pembuluh retina

tampak jelas dengan ophthalmoscopy. Tumor semacam itu menghasilkan

terlepasnya lapisan retina yang progresif, dengan retina sering bergeser ke anterior

sehingga berada di balik lensa mata dan massa putih tepat di belakang retina yang

terlepas (Gambar 22). Retinoblastoma eksofitik secara klinis dapat menyerupai

penyakit Coats atau bentuk pelepasan lapisan retina eksudatif lainnya.19,20

4. Pola Pertumbuhan Infiltrasi yang Difus

Retinoblastoma infiltrasi difus adalah bentuk retinoblastoma yang kurang

umum, ditandai dengan infiltrasi retina yang relatif datar oleh sel tumor. Karena

massa yang ada tidak terlihat jelas, seringkali ada penundaan dalam diagnosis dan

terkadang operasi intraokular yang salah. Oleh karena itu, retinoblastoma difus

biasanya dikenali secara klinis pada usia yang lebih tua daripada kasus

retinoblastoma yang khas. Lesi ini sering menghasilkan penyebaran vitreous dan

anterior chamber, yang dapat menyebabkan kebingungan diagnostik dengan

peradangan intraokular (Gambar 25). Untungnya, hampir semua kasus

retinoblastoma infiltrasi difus adalah kasus sporadis unilateral dengan riwayat

keluarga negatif. Karena penyebaran intraokular yang ekstensif dalam banyak

kasus, enukleasi telah dianggap sebagai manajemen terbaik.19


26

Gambar 17. Skema pertumbuhan alami retinoblastoma intra-okular sehubungan


dengan invasi lima lokasi anatomis yang dapat dikenali secara klinis: (A)
retina; (B) ruang retro-hyaloid; (C) ruang subretinal; (D) rongga
vitreous;
(E) ruang posterior dan anterior.21

Gambar 18. Karakteristik penyebaran endofitik ke dalam rongga vitreous: (A dan


B) bentuk debu halus terlihat di sekitar tumor retina; (C) debu yang
berasal dari tumor bagian atas; (D dan E) beberapa bentuk bola yang
mengambang bebas dan tumbuh, (F) pembentukan bola pada pasien
yang sama 4 bulan setelah perawatan fokal tumor retina. Perhatikan
konsentrasi bola terlokalisir di kuadran atas dan migrasi mereka secara
inferior; (G dan H) penyebaran dan migrasi bola yang difus, menonjol ke
arah anterior ke ora serrata, (I) mengelilingi anterior ora serrata,
menutupi korpus ciliaris kecuali plicata pars dan pencitraan ultrasonik
biomikroskopi yang sesuai (J).21
27

Gbr 19. Foto funduscopy mata kanan Gbr 20. Retinoblastoma intraretinal
dengan tumor retina berukuran menengah
temporal berukuran kecil dengan cairan subretinal.22
hingga menengah.22

Gbr 21. Retinoblastoma eksofitik Gbr 22. Pseudohipopion karena


besar dengan cairan perluasan sel tumor ke
subretinal disekitarnya.22 anterior ke dalam anterior
chamber.23

Gbr 23. Perluasan tumor endofitik Gbr 24. Fotografi makroskopi mata
dari permukaan retina dengan retinoblastoma.
menuju vitreous sebagai Perhatikan warna putih
massa rapuh dengan tumor dengan bintik putih
terang kecil yang
pembuluh darah halus di
menggambarkan kalsifikasi
permukaannya.24 (panah).25
28

Gambar 25. Bagian mata yang enukleasi, menunjukkan retinoblastoma tipe difus
dengan massa yang menyebar dan tidak tampak jelas elevasi lapisan
retina serta tidak ada kalsifikasi.19

2.7.3. Manifestasi klinis tingkat lanjut

1. Neovascular Glaukoma

Iris neovaskularisasi (rubeosis iridis) terjadi pada 17% anak-anak dengan

retinoblastoma dan sekitar 50% mata dengan retinoblastoma lanjut yang

memerlukan enukleasi. Kami percaya bahwa iris neovaskularisasi biasanya

menyumbang heterokromia iridis yang didapat, yang mencirikan beberapa kasus

retinoblastoma (gambar 27). Setiap bayi dengan heterokromia yang tidak dapat

dijelaskan harus dievaluasi untuk kemungkinan retinoblastoma. Bentuk

pendarahan spontan pembuluh darah ini bisa menyebabkan hyphema.19

2. Selulitis Orbital

Beberapa retinoblastoma nekrotik menghasilkan peradangan periokular

sekunder berat, menghasilkan tampilan klinis selulitis preseptal atau

endophthalmitis. Computed tomography (CT) dalam kasus tersebut dapat


29

mengungkapkan massa intraokular kalsifikasi besar dengan kerapatan jaringan

lunak periokular yang menunjukkan perpanjangan ekstra okuler retinoblastoma.

Namun, kasus lanjutan ini biasanya tidak memiliki bukti perpanjangan

ekstraokuler setelah enukleasi pada mata yang terkena. Peradangan periokuler

yang terlihat sekunder akibat nekrosis di dalam tumor dan bukan akibat

perpanjangan tumor ekstraokular.19

3. Ekstensi ekstraokuler atau metastasis

Meskipun beberapa retinoblastoma dapat menunjukkan pernyebaran ke saraf

optik, biasanya pengamatan mikroskopik ditemukan pada studi histopatologis

mata setelah enukleasi. Namun, jika pasien terabaikan, atau ketika orang tua atau

wali menolak perawatan, tumor akhirnya bisa keluar dari mata dan menunjukkan

ekstensi orbital dan ekstorbital yang masive (Gambar 26). Retinoblastoma tahap

lanjut ini jarang terdapat di negara-negara dengan perawatan medis lebih canggih,

namun umum terjadi di negara-negara dunia ketiga.19

Gbr 26. Retinoblastoma tingkat Gbr 27. Neovascularisasi iris:


lanjut dengan ekstensi rubeosis iridis. Protrusi
ekstraokuler lapisan berpigmen (panah)
massive.24 menunjukkan bahwa iridis
rubeosis telah ada
setidaknya selama beberapa
minggu.24
30

2.7.4. Variasi Klinis Lainnya

2.7.4.1.Retinoblastoma trilateral dan quadrilateral

Retinoblastoma trilateral dan kuadratal sangat jarang terjadi: terjadi pada 1,5-

5% pasien dengan retinoblastoma unilateral atau bilateral dan 2-11% pada pasien

dengan retinoblastoma bilateral. Trilateral retinoblastoma (TRb) merupakan

penyakit langka yang diasosiasikan antara retinoblastoma intraokular dengan

tumor neuroektodermal primitif intrakranial. Trilateral retinoblastoma jarang

terdeteksi saat awal diagnosis retinoblastoma dilakukan. Usia rata-rata pasien saat

diagnosis retinoblastoma bilateral adalah 23-48 bulan, dengan selang waktu

sekitar 21 bulan antara diagnosis retinoblastoma bilateral dan tumor intrakranial.

Prognosis untuk pasien retinoblastoma trilateral tetap buruk. Kematian akibat

penyakit neuroaxis diseminata adalah umum. Rata-rata kelangsungan hidup

setelah diagnosis tumor intrakranial untuk pasien yang tidak diobati adalah 1,3

bulan dan untuk pasien yang dirawat, 9,7-11,2 bulan. Pasien dengan tumor

intrakranial midline yang asimtomatik, memiliki ketahanan hidup yang lebih lama

dan hasil yang lebih baik secara keseluruhan daripada pasien bergejala. Kivela

dkk menyarankan bahwa ukuran tumor dapat memainkan peran prognostik pada

retinoblastoma trilateral, dengan 15 mm mewakili batas atas risiko penyebaran

leptomeningeal dan kemungkinan penyembuhan yang buruk. Sedikit penderita

yang selamat dari retinoblastoma trilateral. Mereka merupakan penderita yang

didiagnosis dini dengan skrining pencitraan dan diobati dengan kemoterapi

intensif dengan atau tanpa radiasi kraniospinal.7,19


31

2.7.4.1.1.Retinoblastoma trilateral

Pasien dengan germline mutasi RB1 telah dilaporkan memiliki kemungkinan 5-

10% untuk berkembang menjadi retinoblastoma trilateral. Sekitar 74% angka

kejadian tumor primer intrakranial dari retinoblastoma berada di kelenjar pineal.

Tumor pineal memiliki banyak kemiripan dengan retinoblastoma dari sudut

pandang embriologis, patologis, dan imunologis. Tumor pineal paling baik

dideteksi dengan CT atau magnetic resonance imaging (MRI) berkualitas tinggi.

Sebagian besar anak-anak yang meninggal akibat retinoblastoma memiliki

beberapa tingkat keterlibatan intrakranial, biasanya sekunder akibat penyebaran

langsung melalui saraf optik atau ruang subarachnoid. Angka 5 year survival rate

trilateral retinoblastoma yang simtomatik adalah 44% dan asimptomatik 69%.

Angka 5 year survival rate trilateral retinoblastoma tersebut mengalami kenaikan

seiring kemajuan teknologi. Kemungkinan besar bahwa beberapa kasus dugaan

metastasis otak yang diduga sebelumnya mungkin mewakili pinealoblastoma atau

neoplasma parasellar lainnya ('retinoblastoma trilateral' ') yang salah didiagnosis

sebagai retinoblastoma metastasis sebelum entitas retinoblastoma trilateral

dikenali. Oleh karena deteksi dini sangat berpengaruh pada prognosis maka

skrining CT scan atau dengan kontras sudah menjadi SOP bagi retinoblastoma

bilateral dan atau dengan riwayat keluarga kelainan genetik retinoblastoma.19,26

2.7.4.1.2.Retinoblastoma quadrilateral

Asosiasi retinoblastoma bilateral dengan tumor di kelenjar pineal dan lokasi

primer keempat di suprasellar dikenal sebagai retinoblastoma quadrilateral,

dengan angka kejadian 20-25% intrakranial retinoblastoma.19


32

2.7.4.2. Retinocytoma

Retinoma sebagai manifestasi nonmalignant mutasi RB1, berkembang ketika

mutasi kedua terjadi pada sel retina yang hampir berkembang dengan potensi

berkurang untuk mendapatkan mutasi, menghasilkan pertumbuhan jinak retina

yang tidak teratur. Bukti terbaru telah terkumpul untuk mendukung adanya varian

jinak retinoblastoma yang disebut retinoma atau retinositoma. Ada anggapan

bahwa istilah retinoma terlalu umum, karena bisa ditafsirkan berarti tumor retina.

Meskipun tidak ada terminologi yang sempurna, ada argumen yang lebih kuat

untuk menggunakan istilah retinocytoma atau retinoblastoma yang ditangkap

secara spontan untuk menentukan kondisi ini. Retinositoma membawa implikasi

genetik yang sama dengan retinoblastoma aktif.19,27

2.7.4.3.Retinoblastoma Regresi secara spontan

Nekrosis spontan lengkap yang menyebabkan regresi dan '' penyembuhan '' adalah

fenomena terkenal yang konon lebih sering terjadi pada neuroblastoma dan

retinoblastoma dibandingkan dengan neoplasma ganas lainnya. Hal ini ditandai

dengan adanya reaksi inflamasi yang parah di mata, terkadang menjadi phthisis

bulbi. Dalam kasus regresi spontan retinoblastoma yang lebih kecil, mata dapat

mempertahankan fungsi penglihatan. Tidak dapat dipastikan apakah regresi tumor

semacam itu terjadi sekunder akibat iskemia vaskular pada tumor atau apakah

mekanisme imunopatologis yang lebih kompleks berperan. Pada anak mana pun

dengan phthisis bulbi yang tidak pasti penyebabnya, diagnosis retinoblastoma

yang dipulihkan secara spontan harus dipertimbangkan. Retinoblastoma yang

mengalami regresi secara spontan membawa implikasi genetik yang

sama dengan
33

retinoblastoma aktif.19

2.7.5. Penentuan klasifikasi dan stadium

Klasifikasi Reese Ellsworth digunakan untuk menggolongkan retinoblastoma

intraokular. Sangat penting untuk perencanaan terapi dan menentukan prognosis.

Klasifikasi Reese Ellsworth diperkenalkan pada tahun 1963, didasarkan pada

stadium tumor intraokular dan prediksi penyelamatan globe setelah radiasi sinar

eksternal. Grup I dengan prediksi bagus dan grup V dengan prediksi enukleasi.

Klasifikasi ini tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan retinoblastoma

ekstraokular. 28,29

Klasifikasi dari The International Classification of Retinoblastoma juga dapat

digunakan untuk menggolongkan retinoblastoma. Klasifikasi ini diperkenalkan

pada tahun 2003 dan merupakan modifikasi dari Murphree, Shields CL dan

Shields JA.28,29

Tabel 1. Klasifikasi Reese Ellsworth28–30


34

Tabel 2. The International Classification of Retinoblastoma (ICRB)28,29

Tabel 3. International staging system for extraocular retinoblastoma6


35

2.8. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan CT scan dan MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk

mendeteksi adanya tumor-tumor intrakranial, dengan pemeriksaan tersebut dapat

diketahui lokasi tumor dan hubungannya dengan jaringan sekitar. Follow up

terapi dengan radiologi merupakan salah satu tolak ukur dalam menentukan

respon terapi yang telah diberikan.

2.8.1. Ultrasonografi dan ultra biomikroskopi

Ultrasonografi ophthalmik yang terbatas dapat dilakukan dengan menggunakan

transduser 10 MHz untuk memvisualisasikan adanya massa, kalsifikasi, ablasi

retina, atau kelainan pada kutub posterior. Kalsifikasi intraokular dapat terlihat

pada ultrasound mode B scan. Terdapatnya massa intra okular dengan kalsifikasi

didalamnya merupakan tanda khas dari retinoblastoma. Kalsifikasi terdapat pada

kira-kira 95% tumor. USG mendeteksi kalsifikasi pada 92-95% kasus. USG

biomikroskopi: memberikan resolusi yang memadai untuk pemeriksaan

retinoblastoma daerah anterior chamber ke ora serrata di daerah siliaris.

Kegagalan mendeteksi tumor daerah anterior chamber pada stadium awal bisa

membahayakan peluang menyelamatkan mata dan meningkatkan risikonya

perluasan retinoblastoma ekstraokular.24,30,31

Gambar 28.
Pemeriksaan ultrasound pada retinoblastoma
tipe eksofitik. Tampak massa solid dengan
kalsifikasi didalamnya.24
36

Gambar 29. Kalsifikasi di dalam retinoblastoma. Ultrasonografi mata


dengan retinoblastoma pada mode B scan menunjukkan
massa hiperekoik dan acoustic shadowing (a). CT scan
pasien dengan retinoblastoma menunjukkan kalsifikasi
intraokular yang terlihat di dalam tumor di mata kanan
(b)30

2.8.2. CT-Scan

Pemeriksaan CT scan dapat memberikan gambaran kalsifikasi yang merupakan

ciri khas dari retinoblastoma, keterlibatan ekstraokular dan penyebaran

intrakranial. Deteksi kalsifikasi pada CT scan pasien retinoblastoma memiliki

sensitivitas 81- 96%. Pemeriksaan CT scan sangat membantu mengetahui

perubahan ukuran tumor sehingga dapat dilakukan rutin untuk mengevaluasi

perkembangan massa tumor ini. Evaluasi perkembangan massa harus dilakukan

dengan memperhatikan dosis radiasi yang diterima oleh tubuh pasien dan

melakukan proteksi radiasi terhadap bagian tubuh lainnya.9,31

Pada CT scan dapat ditemukan suatu massa homogen sedikit hiperdens dari

vitreus disertai kalsifikasi. Massa biasanya berlokasi di perifer yang

mengindikasikan sebagai suatu massa yang berasal dari retina. Nekrosis dari

massa menyebabkan adanya kalsifikasi pada massa retinoblastoma. Pada

pemeriksaan post kontras massa tersebut terlihat menyangat. 15


37

Gambar 30. CT scan potongan axial tampak massa intraokuli dengan kalsifikasi di
dalamnya dan nervus optikus kanan yang masih normal. 17

2.8.3. MRI

Dalam mendiagnosis retinoblastoma, MRI memang kurang spesifik di

bandingkan dengan CT scan, hal ini disebabkan karena MRI kurang sensitif dalam

menilai kalsifikasi yang sering tedapat pada retinoblastoma. Tetapi MRI dapat

memberikan resolusi jaringan lunak yang lebih baik, sehingga MRI lebih sensitif

dari CT scan dalam menggambarkan anatomi dari apeks orbita, fissura orbitalis

superior dan kanalis optikus serta mendeteksi invasi massa ke nervus optikus dan

otak. CT scan dan MRI sangat baik untuk mengevaluasi pasien dengan trilateral

dan qudrilateral retinoblastoma, recurrent retinoblastoma dan metastase

retinoblastoma.31,32

Gambaran retinoblastoma pada MRI ditemukan massa intraokuli isointens

sampai hiperintens pada T1W1 dan hipointens pada T2W1. Koleksi cairan atau

perdarahan subretina yang biasanya menyertai ablasio retina pada tumor ini dapat

lebih jelas terlihat pada MRI dibandingkan dengan CT scan, yang terlihat pada

post kontras scanning dimana massa terlihat lebih menyangat dan koleksi cairan

tidak memberikan penyangatan.32


38

Tabel 4. Protokol MRI pada retinoblastoma31

Kebutuhan
Alat MRI dan coils
Kekuatan magnet MRI diatas 1 T
1.5-T sistem dikombinasikan dengan satu atau dua small surface coils
(diameter < 5 cm)
3.0-T sistem dikombinasikan dengan multichannel head coil
Sekuens MRI (persyaratan minimum)
Orbita
Transaxial T2-W (slice thickness ≤ 2 mm)
Opsional: Transaxial CISS (Siemens) / FIESTA (GE) / DRIVE (Philips)
Mata dan saraf optik
In-plane pixel size < 0.5 × 0.5 mm; slice thickness ≤ 2 mm
Unilateral disease (or bilateral disease with only one eye strongly
affected)
Prekontras T1-W; setidaknya satu bidang: transaksial atau sagital oblik
T2-W; setidaknya satu bidang: transaxial atau sagital oblik
Post kontras T1-W, no FS; transaksial atau sagital oblik
Retinoblastoma bilateral (kedua mata terdapat retinoblastoma)
Prekontras T1-W (transaksial)
T2-W (transaksial)
Post kontras T1-W, bukan FS; sagital oblik dari kedua mata dan transaksial
Parenkim otak
Transaksial T2-W (ketebalan potongan ≤ 4 mm)
Post kontras T1-W (2D SE dengan ketebalan potongan ≤ 3 mm or 3D GRE ≤
1 mm)
*FS fat-saturation, SE spin-echo, GRE gradient-echo
*Konsensus diantara anggota the European Retinoblastoma Imaging
Collaboration (ERIC)

Gambar 31. MRI resolusi tinggi pada pasien


retinoblastoma. Anak tersebut di
bawah anestesi umum. Sebuah coil
kecil (panah) diposisikan secara
akurat dekat dengan mata yang
terdapat retinoblastoma.31
39

Gambar 32. (A). Pada T1W1 MRI, massa terlihat hiperintens di dalam vitreus.
(B).T1W1 menunjukkan moderate enhancement pada intensitas tumor
serta enhancement kuat pada uvea dengan signal void pada central massa
yang disebabkan kalsifikasi. (C). T2W1 massa tampak hipointens dari
viterus. Hiperintens liquor serebrospinal didalam subarachnoid space
memperlihatkan nervus optikus. Massa dekat diskus optikus dicurigai
sebagai infiltrasi massa ke nervus optikus.16

2.9. Diagnosis Banding

Ada 3 diagnosa banding yang sering menyerupai retinoblastoma yaitu

Koloboma, Coats disease dan Persistent Hyperplastic Primary Vitreus.32

2.9.1.Koloboma

Koloboma merupakan fusi tidak komplit dari embrionik fissura atau primitif

fissura koroidea. Normalnya fissura ini menutup selama perkembangan embrionik

minggu ke-7. Bila primitif fissura koroidea tidak menutup menyebabkan


40

terdapatnya celah atau diverticulum pada bola mata. Celah biasanya terletak di iris

dan dikenal koloboma iris atau uvea, tetapi celah dapat terjadi di corpus siliaris,

retina, koroid dan nervus optikus.1,28,33

Malformasi fissura koroidea sering terjadi dan biasanya disertai kelainan lain

yang dikenal dengan Charge syndrome. Charge syndrome terdiri dari coloboma,

heart anomali, atresia koana, retadasi mental, genital dan ear anomali. Koloboma

dapat terjadi bilateral dan dapat dengan micropthalmus. Koloboma merupakan

11,5% penyebab pasien dengan leukokoria.28,33

Gambar 33. Koloboma. Leukokoria pada pemeriksaan eksternal (a). Penampakan


putih pada fundoskopi adalah karena kehilangan jaringan (depresi)
daripada elevasi seperti retinoblastoma (b)30

Gambar 34. CT scan orbita potongan


axial tampak adanya
diverticulum pada
daerah nervus optikus.32

Pada CT scan diskus optik coloboma menunjukkan adanya defek pada

posterior orbita (retrobulbar cyst) yang isodens dengan vitreus. 32


41

2.9.2. Coats disease

Coats disease juga dikenal sebagai eksudatif retinitis atau retina telangiektasis,

yang biasa terjadi pada anak dan dewasa muda. Coats disease merupakan kasus

yang jarang terjadi (4% dari keseluruhan leukokoria) dengan akumulasi dari

lipoprotein eksudat di retina dan subretina. Pasien biasanya asimtomatis sampai

terjadinya ablasio retina. Gejala klinis antara lain memperlihatkan adanya

leukokoria, strabismus, penurunan visus, dan glaucoma. 17-18

Gambar 35. Penyakit Coats (A) Leukokoria, (B) Telangiektasia retina dan perubahan
aneurisma arteriolar.3

Gambar 36. CT scan orbita pada pasien coats disease, tampak korpus vitreus pada
bulbus oculi kanan terisi dengan lesi hiperdens.18
42

Gambar 37. MRI pada coat disease mengambarkan intensitas signal corpus vitreus
yang meningkat pada T2W1 orbita kanan.15

Pada CT scan menunjukkan peningkatan densitas vitreus tanpa adanya massa

intraokuli dan tanpa adanya kalsifikasi. Pada MRI tampak hiperintens pada

T1W1 dan T2W1.17-18

Leukocoria yang disebabkan oleh penyakit Coats tahap lanjut seringkali pada

opthalmoskopi tampak lebih kekuningan daripada retinoblastoma karena adanya

eksudasi lipid subretinal. Eksudatif terlepasnya retina dengan pembuluh retina

yang telangiektasia dan berkelok-kelok (paling menonjol di pinggiran) adalah

temuan khas diagnostik.7

Bentuk retinoblastoma difus yang jarang dan invasif, yang biasanya tidak

kalsifikasi, sangat sulit untuk didiagnosis karena ciri atipikal dan radiologisnya,

meniru bentuk lanjutan penyakit Coats dan infeksi mata Toxocara Canis. Penyakit

Coats biasanya merupakan penyakit retina unilateral dengan telangiectasia dan

eksudat subretinal, lebih sering pada anak laki-laki. 7


43

2.9.3. Persistent Hyperplastic Primary Vitreus (PHPV)

Kegagalan dari regresi sistem vaskular hyaloid menyebabkan mekanisme

suplai nutrisi lensa, vitreus, dan nervus optikus terganggu. Normalnya vaskular ini

regresi pada umur 8 bulan kehamilan. PHPV merupakan kasus ke dua terbanyak

(19%) penyebab leukokoria dan dapat menyebabkan kebutaan. PHPV dapat

terjadi bilateral maupun unilateral.15,20

Gambar 38. CT scan menunjukkan adanya bulbus oculi bilateral yang kecil dengan
densitas bagian posterior orbita yang lebih hiperdens.3

CT scan PHPV tampak adanya massa intravitreus enhancement irregular tanpa

kalsifikasi disertai micropthalmus, lensa yang kecil dan nervus optikus yang

normal sampai mengecil. Pada MRI tampak intensitas signal yang meningkat

pada T1W1 dan T2W1. Gambaran yang membedakan dengan retinoblastoma

adalah micropthalmus, bagian anterior orbita yang mengecil, tidak ada kalsifikasi,

massa intravitreus dengan peningkatan intensitas signal vitreus pada MRI.20


44

A.

B.

Gambar 39. A. Tampak bilateral micropthalmia dan bilateral ablasio retina disertai
perdarahan pada T1W1. B. Bilateral ablasio retina dengan perdarahan
pada T2W1.20

2.10. Penatalaksanaan dan Prognosis

Saat retinoblastoma pertama kali diterapi yang paling penting dipahami adalah

bahwa retinoblastoma sebagai suatu keganasan dengan angka harapan hidup

melebihi 90% dinegara barat. Walaupun dengan penyebaran ekstraokular, angka

harapan hidup menurun sampai kurang dari 50%. Selanjutnya dalam memutuskan

strategi terapi, sasaran utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan hidup,

kemudian menyelamatkan mata dan akhirnya menyelamatkan visus. Managemen

tatalaksana modern retinoblastoma intraokular saat ini dengan menggabungkan

kemampuan
45

terapi yang berbeda mencakup enukleasi, eksenterasi, kemoterapi, fotokoagulasi,

krioterapi, external beam radiation dan plaque radiotherapy.9-10

Laser fotokoagulasi dilakukan pada tumor berukuran kecil dengan diameter 4

mm dan ketebalan 2 mm dengan tujuan membatasi tumor dan mengkoagulasi

pembuluh darah. Enukleasi dilakukan pada tumor yang masih terbatas pada

intraokuler ialah dengan mengangkat seluruh bola mata dan memotong saraf optik

sepanjang mungkin. Eksentrasi Orbita dilakukan pada tumor yang sudah ekstensi

ke jaringan orbita dengan mengangkat seluruh isi orbita dengan jaringan

periostnya. Setelah operasi dilakukan radioterapi untuk membunuh sisa-sisa sel

tumor.5-10

Penatalaksanaan retinoblastoma telah berubah secara dramatis pada dekade

akhir ini. Pemberian radioterapi sudah jarang digunakan sebagai terapi primer

pada retinoblastoma primer karena sehubungan dengan deformitas kraniofasial

dan tumor sekunder pada daerah yang terpapar radiasi. Enukleasi pada mata

dengan retinoblastoma stadium lanjut masih direkomendasikan untuk

menghindari efek samping dari kemoterapi sistemik jika sudah tidak ada

kemungkinan fungsi penglihatan pada mata dengan retinoblastoma. Kemoterapi

sistemik primer diikuti dengan terapi lokal menjadi kombinasi terapi yang sangat

sering digunakan sebagai tehnik menyelamatkan penglihatan yang masih tersisa.

Kemoterapi jarang berhasil bila digunakan sendiri.5-9

Seiring dengan kemajuan teknologi, sekarang pasien dapat dilakukan

kemoterapi intra arteri. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk kemoterapi intra

arteri; diantaranya adalah selective oftalmik artery chemotherapy, Oftalmik Artery

Chemosurgery, transarterial chemo-infusion (TACI), SOAI (Selective Opthalmic


46

Arterial Infusion) dan IAC (Intra Artery Chemotherapy) atau kemoterapi

intraarteri. Semuanya mempunyai arti yang sama yaitu memasukkan obat

kemoterapi ke dalam arteri yang spesifik memberikan nutrisi pada daerah tumor.

Pada tahun 1955, Reese dkk. merupakan tokoh yang pertama untuk

menggambarkan kemoterapi intra-arterial untuk retinoblastoma dengan

"instillation under direct observation into the internal carotid artery on the side of

the involved eye ".


BAB III

KESIMPULAN

Retinoblastoma adalah keganasan intraokular tersering pada anak. Insidensi

retinoblastoma adalah 1 dalam 14.000 sampai 20.000 kelahiran hidup.

Retinoblastoma merupakan tumor yang berasal dari transformasi keganasan sel

retina primitif. Karena sel-sel ini akan hilang dalam beberapa tahun pertama

kehidupan, maka tumor ini jarang terlihat setelah usia 4 tahun, tetapi

retinoblastoma primer dapat pula timbul pada usia dewasa. Retinoblastoma dapat

terjadi secara herediter atau non herediter.

Untuk mendiagnosis massa pada orbita, pemeriksaan penunjang radiologi CT

scan kepala dan MRI sangat diperlukan untuk mendiagnosis, menentukan stadium

dan follow up terapi. Pemeriksaan CT scan dapat menggambarkan kalsifikasi

yang khas pada terdapat pada retinoblastoma. Pemeriksaan MRI memberikan

resolusi jaringan lunak yang lebih baik untuk mengetahui invasi massa ke nervus

optikus dan otak.

Semakin dini penemuan dan terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita

mencegah perluasan melalui saraf optikus dan jaringan orbita. Deteksi dini pada

keganasan ini dapat memberikan kesembuhan diatas 90%. Enukleasi dilakukan

untuk retinoblastoma ukuran besar. Mata dengan tumor yang berukuran lebih

kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi plaque atau

external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kemoterapi dilakukan untuk

penanganan
49

kasus rekuren terutama untuk menyelamatkan mata pada kasus bilateral apabila

mata pertama telah di enukleasi dan retinoblastoma yang telah metastasis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM, Bonita, Stanton, Geme J St., Schor NF. 2016. Nelson

Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 3643,4644-4645.

2. American Academy of Ophthalmology. 2014. Ophthalmic Pathology and

Intraocular Tumors. In: Rosa RH, Buggage R, Harocopos GJ, Kramer TR,

Milman T, Syed N, et al., editors. Basic and Clinical Science Course.

American Academy of Ophthalmology; p. 186.

3. Kanski JJ. 2016. Clinical ophthalmology. A systematic approach. 8th ed.

Elsevier Health Sciences. Elsevier; 497-504 p.

4. Cassoux N, Lumbroso L, Levy-Gabriel C, Aerts I, Doz F, Desjardins L.

2017. Retinoblastoma: Update on Current Management. Asia-Pacific J

Ophthalmol [Internet]. 6(3):290–5. Available from:

https://apjo.org/Apjo/pdf/id/508.html

5. Rishi P, Sharma T, Koundanya V, Bansal N, Saravanan M, Ravikumar R,

et al. 2015. Intra-arterial chemotherapy for retinoblastoma: First Indian

report. Indian J Ophthalmol [Internet]. [cited 2023 March 23];63(4):331–4.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26044473

6. Francis JH, Abramson DH. 2015. Recent Advances in Retinoblastoma

Treatment [Internet]. www.springer; 134 p. Available from:

https://link.springer.com/10.1007/978-3-319-19467-7

7. Aerts I, Lumbroso-Le Rouic L, Gauthier-Villars M, Brisse H, Doz F,

Desjardins L. 2006. Review : Retinoblastoma. Orphanet J Rare Dis


[Internet]. 1:1–11. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16934146%5C

8. PDPERSI. Setiap Tahun Diperkirakan Ada 4:100 Anak Terkena Kanker

[Internet]. [cited 2017 Sep 7]. Available from:

https://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=23&mid=5&nid=677

9. Murphree AL, Christensen LE. 2003. Retinoblastoma and Other Malignant

Intraocular Tumors. In: Pediatrics Ophthalmology and Strabismus. New

York: Springer; p. 246–83.

10. Snell RS, Lemp MA. 1998. Clinical Anatomy of The Eye Second Edition.

2nd ed. Blackwell Science, Inc.; 413 p.

11. Wijana N. 1993. Ilmu Penyakit Mata. 6th Ed. Jakarta: Abadi Tegal;

12. P. Eroschenko V. 2008. diFIORE’s Atlas of Histology with functional

correlations [Internet]. 11th ed. Vasa. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 509 p. Available from:

https://medcontent.metapress.com/index/A65RM03P4874243N.pdf

13. Standring S. 2005. Gray’s Anatomy. The Anatomical Basis of Clinical

Practice, 39th ed. [Internet]. Elsevier Churchill Livingstone; Available

from: https://www.us.elsevierhealth.com/anatomy/gray-anatomy-expert-

consult/9780443066849/

14. McGurk S. 2014. Moore: Clinically Oriented Anatomy - 7th international

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

15. Ilyas S. 2002. Anatomi Dan Fisiologi Mata. 2nd Ed. Jakarta: Balai Pustaka
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

16. Shields CL, Manjandavida FP, Lally SE, Pieretti G, Arepalli SA, Caywood

EH, et al. 2014. Intra-arterial chemotherapy for retinoblastoma in 70 eyes:

outcomes based on the international classification of retinoblastoma.

Ophthalmology [Internet]. [cited 2023 March 23];121(7):1453–60.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24656794

17. Matsui T, Nieto-Estévez V, Kyrychenko S, Schneider JW, Hsieh J. 2017.

Retinoblastoma protein controls growth, survival and neuronal migration in

human cerebral organoids. Development [Internet]. 144(6):1025–34.

Available from: https://dev.biologists.org/lookup/doi/10.1242/dev.143636

18. Bagley LJ, Hurst RW, Zimmerman RA, Shields JA, Shields CL, De Potter

P. 1996. Imaging in the trilateral retinoblastoma syndrome. Neuroradiology.

38(2):166–70.

19. Albert DM, Polans A. 2003. Ocular Oncology. New York: Marcel Dekker;

20. Sehu KW, Lee WR. 2005. Ophthalmic pathology an illustrated guide for

clinicians. 1st ed. Malden, MA: Blackwell Publishing Pty Ltd; 259 p.

21. Munier FL. 2014. Classification and Management of Seeds in

RetinoblastomaEllsworth Lecture Ghent August 24th 2013. Ophthalmic

Genet [Internet]. [cited 2017 Sep 4];35(4):193–207. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25321846

22. Krieglstein GK, Weinreb RN. 2007. Pediatric Ophthalmology, Neuro-

Ophthalmology, Genetics. 1st ed. Lorenz B, T.Moore A, editors. Essentials

in Ophthalmology. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 232 p.


23. Char DH. 2001. Atlas of Clinical Oncology: Tumors of the Eye and Ocular

Adnexa. Gansler TS, Jr GDS, Phillips TL, Chabner BA, editors. Vol. 13.

London: American Cancer Society; 699-700 p.

24. Kumaramanickavel G. 2012. Retinoblastoma: An Update on Clinical,

Genetic Counseling, Epidemiology and Molecular Tumor Biology. Croatia:

InTech; 180 p.

25. Rodriguez-Galindo, C. Wilson MW. 2010. Pediatric Oncology :

Retinoblastoma. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 162 p.

26. de Jong MC, Kors WA, de Graaf P, Castelijns JA, Kivelä T, Moll AC. 2014.

Trilateral retinoblastoma: A systematic review and meta-analysis. Lancet

Oncol. 15(10):1157–67.

27. Baert AL, Müller-Forell WS, Sartor K. 2007. Imaging of Orbital and

Visual Pathway Pathology. Vol. 27, Journal of Neuro-Ophthalmology. 150

p.

28. Shields CL, Shields JA. 2015. Ocular Tumors of Childhood. In: Nelson LB,

Olitsky SE, editors. Harley ’s Pediatric ophtalmology. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; p. 377–403.

29. Kiss S, Leiderman YI, Mukai S. 2008. Diagnosis, Classification, and

Treatment of Retinoblastoma. Int Ophthalmol Clin [Internet]. 48(2).

Available from:

https://journals.lww.com/internat-ophthalmology/Fulltext/2008/04820/

Diagnosis,_Classification,_and_Treat ment_of.14.aspx

30. Singh AD, Murphree AL, Damato BE. 2015. Clinical ophthalmic

oncology : Retinoblastoma. Heidelberg: Springer; 225 p.


31. De Graaf P, Göricke S, Rodjan F, Galluzzi P, Maeder P, Castelijns JA, et al.

2012. Guidelines for imaging retinoblastoma: Imaging principles and MRI

standardization. Pediatr Radiol. 42(1):2–14.

32. Hamid AEA, Habib AAA. 2009. Retinoblastoma: CT and MRI Imaging: A

Comparative Study. Alexandria J Med [Internet]. [cited 2023 March

23];45(2):1159–85. Available from:

https://www.med.alexu.edu.eg/journal/index.php/bulletin/article/view/519

33. Chung EM, Specht CS, Schroeder JW. 2007. Pediatric Orbit Tumors and

Tumorlike Lesions: Neuroepithelial Lesions of the Ocular Globe and Optic

Nerve. RadioGraphics [Internet]. 27(4):1159–86. Available from:

https://doi.org/10.1148/rg.274075014

Anda mungkin juga menyukai