Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEGANASAN


PADA SYSTEM SENSORI (RETINOBLASTOMA)

OLEH :
KELOMPOK 12
SUPIANA 133 STYC 20
Muhammad Azmi 120 STYC 20
Tilan Prayadi 140 STYC 20

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya sehingga makalah “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Keganasan pada System Sensori (Retinoblastoma)” ini dapat terselesaikan
dengan baik. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Sistem Informasi
Keperawatan.
Dalam penyusunan makalah ini tentu saja banyak hal yang belum
sempurna, untuk itu dimohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dalam penyusunan makalah berikutnya. Terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.

Mataram, 28 Oktober 2020

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.Latar Belakang 1
B.Tujuan Umum 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
A.Definisi 3
B.Etiologi 4
C.Anatomi Fisiologi 5
D.Tanda dan Gejala 7
E.Patofisiologi 9
F. Penatalaksanaan 13
G. Komplikasi 16
H. Pencegahan 17
I. Pemeriksaan Fisik 18
J. Pemeriksaan Penunjang 19
K. Proses Asuhan Keperawatan 20
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 26
A.Simpulan 26
B.Saran 26
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kanker dari
1,4 per 1.000 penduduk (tahun 2013) menjadi 1,8 per 1.000 penduduk (tahun
2018). Data Kementerian Kesehatan RI Tahun 2018 menunjukkan prevalensi
penderita kanker pada anak usia 0-14 tahun adalah sekitar 2% dari semua
kejadian kanker.
Retinoblastoma merupakan salah satu bentuk tumor padat yang
berupa tumor ganas intraokular dan merupakan tumor yang paling umum
terjadi pada masa kanak-kanak. Sekitar 90% kasus didiagnosis sebelum usia 3
tahun. Tanda awal yang paling umum adalah adanya leukokoria, yaitu refleks
pupil berwarna putih saat terpapar cahaya (Cantor, Rapuano, dan Cioffi,
2015).
Angka kejadian retinoblastoma secara global adalah sekitar 1: 16.000-
18.000 kelahiran hidup. Di seluruh dunia, sekitar 8.000 anak ditemukan
mengalami retinoblastoma setiap tahun. Dari jumlah tersebut, lebih dari 80%
berasal dari negara berpenghasilan rendah hingga menengah di Asia dan
Afrika (Fabian, Rosser, dan Sagoo, 2018). Di Indonesia, data mengenai angka
kejadian retinoblastoma masih belum lengkap, sehingga Direktorat Jendral
Penyakit Tidak Menular (2016) merumuskan angka kejadian kanker mata dan
adneksa di Indonesia, namun data ini tentunya masih tidak dapat mewakilkan
jumlah pasien retinoblastoma di Indonesia.
Retinoblastoma disebabkan oleh adanya mutasi genetik pada
kromosom 13, yang disebut gen Rb1. Gen ini adalah salah satu gen penekan
tumor (tumor suppressor). Protein yang dikodekan oleh gen ini bertindak
sebagai pengatur negatif siklus sel. Mutasi pada gen ini merupakan penyebab
terjadinya retinoblastoma (Yun dkk., 2011).
Diagnosis dini adalah kunci dalam keberhasilan terapi retinoblastoma.
banyak kasus retinoblastoma di Indonesia yang terdeteksi justru di stadium

1
lanjut sehingga angka harapan hidup di Indonesia bagi penyintas
retinoblastoma masih lebih rendah dibandingkan negara luar yang sudah
maju. Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) menemukan bahwa terjadi
peningkatan prevalensi kanker anak sekitar 7% setiap tahunnya dan lebih dari
50% kasus kanker pada anak yang datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam
keadaan stadium lanjut. Oleh karena itu, deteksi secara dini diperlukan agar
kanker anak dapat disembuhkan dengan pengobatan dan terapi yang baik.
Kurangnya kesadaran publik dan edukasi pada penyedia layanan
kesehatan primer merupakan hambatan utama untuk diagnosis dini dan
mengakibatkan tingginya insiden metastasis dan tingkat kematian akibat
retinoblastoma di negara berpenghasilan rendah. Pada negara berpenghasilan
tinggi, anak-anak dengan retinoblastoma biasanya didiagnosis dengan
penyakit yang masih di intraokular (Union for International Cancer Control,
2014)

B. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui konsep teori
dari penyakit Retinoblastoma dan memahami lebih jauh tentang asuhan
keperawatan pada anak dengan keganasan pada sistem sensori
(Retinoblastoma).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Retinoblastoma adalah suatu keganasan intraokular primer yang
paling sering pada bayi dan anak dan merupakan tumor neuroblastik yang
secara biologi mirip dengan neuroblastoma dan meduloblastoma (Skuta et al.
2011). Retinoblastoma merupakan tumor ganas intraokular yang ditemukan
pada anak-anak, terutama pada usia di bawah lima tahun. Tumor berasal dari
jaringan retino embrional (Mansjoer, 2005). Retinoblastoma adalah tumor
ganas dalam bola mata pada anak dan bayi sampai 5 tahun (Ilyas, 2013).
Retinoblastoma merupakan salah satu bentuk tumor padat yang
berupa tumor ganas intraokular dan merupakan tumor yang paling umum
terjadi pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma adalah tumor neuroblastik,
sehingga secara biologis tumor ini memiliki kemiripan dengan neuroblastoma
dan meduloblastoma. Retinoblastoma biasanya didiagnosis pada tahun
pertama kehidupan. Sekitar 90% kasus didiagnosis sebelum usia 3 tahun.
Tanda awal yang paling umum adalah adanya leukokoria (pupil putih), yang
biasanya pertama kali diperhatikan oleh keluarga dan digambarkan sebagai
cahaya, kilau, atau penampilan mata kucing (Cantor, Rapuano, dan Cioffi,
2015).
Menurut Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KPKN) (2015),
rerinoblastoma dapat terjadi karena diturunkan atau disebut sebagai
retinoblastoma herediter (40%) maupun non-herediter (60%). Rerinoblastoma
herediter cenderung bermanifestasi pada kedua mata (bilateral) dengan onset
usia lebih dini, sedangkan retinoblastoma non-herediter cenderung
bermanifestasi hanya pada salah satu mata (unilateral).
Di Inggris, kasus retinoblastoma bilateral biasanya terlihat pada tahun
pertama kehidupan dengan usia rata-rata saat diagnosis adalah 9 bulan,
sedangkan kasus unilateral biasanya didiagnosis pada usia 24 hingga 30 bulan
(Yun dkk, 2011).

3
Secara patogenesis Retinoblastoma merupakan neoplasma yang
berasal dari sel retina embrionik yang berhubungan dengan mutasi gen RB1.
Gen RB1 terletak pada kromosom 13q14. Gen ini berperan dalam mengkode
protein retinoblastoma yang berfungsi sebagai supresor tumor yang akan
mengontrol siklus sel. Retinoblastoma dapat bersifat herediter atau sporadik.
Istilah herediter atau germinal digunakan pada pasien mutasi gen RB 1 pada
sel diluar mata. Kasus herediter terdiagnosis pada anak dengan usia yang
lebih muda dan retinoblastoma bilateral. Istilah sporadik digunakan pada
pasien tanpa riwayat keluarga retinoblastoma sehingga mutasi sel germinal
yang terjadi merupakan kasus baru, dan tidak ada mutasi gen RB1 pada sel di
luar mata. Kasus sporadik terdiagnosis pada anak dengan usia lebih tua dan
retinoblastoma unilateral. Mutasi gen RB1 pada retinoblastoma sporadik
dapat diwariskan (Cantor, Rapuano, and McCannel, 2019-2020 dalam Hayyi,
2020).

B. Etiologi
Retinoblastoma adalah tumor pada retina yang disebabkan oleh
adanya mutasi genetik pada kromosom 13, yang disebut gen Rb1. Gen ini
adalah salah satu gen penekan tumor (tumor suppressor). Protein yang
dikodekan oleh gen ini bertindak sebagai pengatur negatif siklus sel. Mutasi
pada gen ini merupakan penyebab terjadinya retinoblastoma pada anak-anak,
kanker kandung kemih, dan sarkoma osteogenik. Mutasi pada kedua alel gen
Rb1 merupakan prasyarat bagi tumor ini untuk berkembang. Pada sebagian
besar pasien dengan retinoblastoma unilateral, kedua mutasi gen Rb1 terjadi
dalam sel somatik dan tidak diturunkan (retinoblastoma non-herediter).
Hampir semua pasien dengan retinoblastoma bilateral dan hampir semua
pasien dengan riwayat keluarga retinoblastoma mengalami mutasi gen Rb1
heterozigot yang merupakan predisposisi terjadinya retinoblastoma
(retinoblastoma herediter) (Yun dkk, 2011).
Retinoblastoma dimulai ketika gen Rb1 pada sel retina mengalami
proliferasi yang masih terbatas untuk membentuk retinoma (tidak ganas).
Tumor intraretinal ini kemudian berkembang setelah terjadi perubahan
genetik atau epigenetic yang menyebabkan proliferasi yang tidak terkontrol.

4
Tumor ini biasanya terdeteksi pertama kali ketika terdapat bercak putih yang
terlihat pada pupil (leukocoria) atau ketika tumor sudah mulai menghalangi
penglihatan. Jika hal ini dapat dideteksi sedari awal, penatalaksanaan yang
dilakukan segera dapat menyembuhkan kanker dan menyelamatkan mata.
Namun, diagnosis yang tertunda dapat menyebabkan invasi pada saraf optik
dan otak yang tidak dapat disembuhkan, atau metastasis di tempat lain dalam
tubuh yang kadang-kadang disembuhkan dengan intervensi ekstensif
(Dimaras dkk, 2017).
Retinoblastoma terjadi secara familiar atau sporadic. Namum dapat
juga diklasifikasikan menjadi dua subkelompok yang berbeda, yaitu bilateral
atau unilateral dan diturunkan. Kasus yang tidak diturunkan selalu unilateral,
sedangkan 90% kasus yang duturunkan adalah bilateral dan unilateral
sebanyak 10 %. Gen retinoblastoma (RBI) diisolasi dari kromosom 13q14,
yang berperan sebagai pengatur pertumbuhan sel pada sel normal.
Penyebabnya adalah tidak terdapatnya gen penekan tumor, yang sifatnya
cenderung diturunkan. Kanker bisa menyerang salah satu mata yang bersifat
somatic maupun kedua mata yang merupakan kelainan yang di turunkan
secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung mata dan ke
otak (melalui saraf penglihatan/nervus optikus) (Suriadi, 2010).

C. Anatomi Fisiologi
Mata adalah struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan khusus, yaitu sklera/kornea di bagian paling luar, kemudian ada
koroid/badan siliaris/iris, dan retina sebagai bagian yang terdalam. Sebagian
besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar,
sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan),
lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkas–berkas
cahaya ke interior mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang
sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk
memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina,
yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan sebuah
lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut,

5
fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf (Sherwood,
2012).
Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya
ke retina. Semua komponen–komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai
ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan
bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan
cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan
perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang
impuls–impuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak.
Cahaya masuk ke mata dari media ekstenal seperti, udara, air,
melewati kornea dan masuk ke dalam aqueous humor. Refraksi cahaya
kebanyakan terjadi di kornea dimana terdapat pembentukan bayangan yang
tepat. Aqueous humor tersebut merupakan massa yang jernih yang
menghubungkan kornea dengan lensa mata, membantu untuk
mempertahankan bentuk konveks dari kornea (penting untuk konvergensi
cahaya di lensa) dan menyediakan nutrisi untuk endothelium kornea. Iris yang
berada antara lensa dan aqueous humor, merupakan cincin berwarna dari
serabut otot. Cahaya pertama kali harus melewati pusat dari iris yaitu pupil.
Ukuran pupil itu secara aktif dikendalikan oleh otot radial dan sirkular untuk
mempertahankan level yang tetap secara relatif dari cahaya yang masuk ke
mata. Terlalu banyaknya cahaya yang masuk dapat merusak retina.
Namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan kesulitan dalam
melihat. Lensa yang berada di belakang iris berbentuk lempeng konveks yang
memfokuskan cahaya melewati humour kedua untuk menuju ke retina. Untuk
dapat melihat dengan jelas objek yang jauh, susunan otot siliare yang teratur
secara sirkular akan akan mendorong lensa dan membuatnya lebih pipih.
Tanpa otot tersebut, lensa akan tetap menjadi lebih tebal, dan berbentuk lebih
konveks. Manusia secara perlahan akan kehilangan fleksibilitas karena usia,
yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk memfokuskan objek yang dekat
yang disebut juga presbiopi. Ada beberapa gangguan refraksi lainnya yang
mempengaruhi bantuk kornea dan lensa atau bola mata, yaitu miopi,
hipermetropi dan astigmatisma. Selain lensa, terdapat humor kedua yaitu

6
vitreous humor yang semua bagiannya dikelilingi oleh lensa, badan siliar,
ligamentum suspensorium dan retina. Dia membiarkan cahaya lewat tanpa
refraksi dan membantu mempertahankan bentuk mata. Bola mata terbenam
dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh selubung fascia
bola mata (Sherwood, 2012).
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya.
Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya
berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan
organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora
serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina
bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan
epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus
ciliaris dan bagian belakang iris (Ilyas dan Yulianti, 2015).
Di pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan,
macula lutea, merupakan daerah retina untuk penglihatan paling jelas. Bagian
tengahnya berlekuk disebut fovea sentralis. Nervus opticus meninggalkan
retina lebih kurang 3 mm medial dari macula lutea melalui discus nervus
optici. Discus nervus optici agak berlekuk di pusatnya yaitu tempat dimana
ditembus oleh a. centralis retinae. Pada discus ini sama sekali tidak ditemui
coni dan bacili, sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai
bintik buta. Pada pengamatan dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak
berwarna merah muda pucat, jauh lebih pucat dari retina di sekitarnya (Ilyas
dan Yulianti, 2015).

D. Tanda dan Gejala


1. Leukokoria merupakan keluhan dan gejala yang paling sering ditemukan.
2. Tanda dini retinoblastoma adalah mata juling, mata merah atau
terdapatnya warna iris yang tidak normal.
3. Tumor dengan ukuran sedang akan memberikan gejala hipopion, di
dalam bilik mata depan, uveitis, endoftalmitis, ataupun suatu
panoftalmitis.
4. Bola mata menjadi besar, bila tumor sudah menyebar luas di dalam bola
mata.

7
5. Bila terjadi nekrosis tumor, akan terjadi gejala pandangan berat.
6. Tajam penglihatan sangat menurun.
7. Nyeri
Leukokoria (manik mata putih) merupakan tanda klinis tersering
retinoblastoma (80,6%), disusul oleh strabismus/juling (9,7%), mata merah
dan nyeri (4,3%). Selanjutnya Buphthalmos/pembesaran bola mata,
cellulitis/peradangan jaringan bola mata (3,6%) dan penglihatan buram
(1,8%).
Lesi tumor yang dini dapat tidak terdeteksi secara kasat mata, kecuali
melalui pemeriksaan dengan oftalmoskopi. Tumor tampak sebagai masa di
retina berwama putih, translucent. Bila ditemukan leukokoria yang
disebabkan oleh reflek cahaya mata putih pada fundus, maka biasanya sudah
terjadi lesi tumor yang cukup besar. Tumor yang lanjut akan berekstensi ke
jaringan orbita sehingga menunjukkan tanda klinis proptosis, bahkan dapat
bermetastasis ke organ lain. Metastasis sistemik terjadi pada sumsum tulang,
otak, tulang dan kelenjar limfe.
Leukokoria merupakan tanda umum yang dapat disebabkan kelainan
mata lain selain retinoblastoma, seperti katarak, Persistent Hyperplasia
Primary Vitreous (PHPV), Ablatio Retina karena berbagai sebab, atau
beberapa kelainan vitreoretina lainnya. Untuk membedakannya diperlukan
pemeriksaan lanjutan seperti USG mata yang dilakukan spesialis mata.
Retinoblastoma adalah kondisi yang paling penting dan berbahaya
untuk menyebabkan leukokoria, berbagai kondisi juga menunjukkan
penampilan yang tidak biasa, seperti katarak kongenital, serat saraf
termielinisasi, coloboma saraf optik, miopia tinggi, astigmatisme, dan saraf
optik normal ketika sudut kamera diarahkan ke saraf optik (Gallie, Sagoo, dan
Reddy, 2013).
Tanda retinoblastoma yang paling umum kedua adalah strabismus
(esotropia atau eksotropia). Tes refleks merah harus diterapkan pada setiap
anak dengan strabismus atau dicurigai strabismus, dengan rujukan segera dan
mendesak dari tingkat kesehatan primer ke dokter spesialis mata jika tes
refleks merah abnormal. Gejala lain yang muncul antara lain mata merah

8
yang menyakitkan (karena glaukoma), selulitis orbital sekunder akibat
nekrosis luas dari tumor intraocular, midriasis unilateral, heterokromia,
hyphema, hypopyon, uveitis, dan nystagmus (karena kebutaan akibat
keterlibatan makula bilateral). Di negara-negara dengan layanan medis
terbatas, banyak anak-anak dengan gejala klinis proptosis unilateral atau
bilateral luas dengan ekstensi orbital dan/atau penyakit metastasis karena
keterlambatan akses ke perawatan (Gallie, Sagoo, dan Reddy, 2013).

E. Patofisiologi
1. Gen Retinoblastoma
Penelitian mengenai dasar genetik retinoblastoma dipaparkan
menggunakan dua model inaktivasi gen tumor supressor. Pada tahun
1971, Knudson menemukan bahwa usia diagnosis retinoblastoma
konsisten dengan keterlibatan mata bilateral (retinoblastoma herediter),
yaitu pada usia rata-rata saat diagnosis 12 bulan), dan dengan unilateral
(retinoblastoma non-herediter) pada usia rata-rata saat diagnosis 24
bulan. Hal ini mendukung teori bahwa retinoblastoma herediter
dihasilkan dari mutasi germline (M1) dan mutasi somatik yang didapat
(M2), sedangkan retinoblastoma non-herediter muncul ketika dua mutasi
somatik hadir dalam transformasi gen tumor suppressor yang sama pada
sel yang rentan mengalami mutasi. Delesi kromosom pada beberapa
pasien terjadi pada lokus kromosom 13q14. Hilangnya heterozigositas
penanda pleomorfik kromosom 13q14 pada 70% tumor retinoblastoma
menyiratkan bahwa mutasi kedua melibatkan lokus yang sama.
Terobosan datang ketika satu retinoblastoma ditemukan tidak memiliki
klon DNA kromosom 13q, yang ditunjukkan sebagai sekuens ekson RB1
yang dikonservasi. Meskipun kehilangan RB1 secara konsisten memicu
kanker di retina, fungsi RB1 juga dapat hilang seiring dengan
perkembangan di hampir semua jenis kanker (Dimaras dkk, 2015).
RB1 adalah gen besar (190 kb) dengan 27 ekson, menyandikan
4,7 kb mRNA yang diterjemahkan menjadi sebuah protein asam amino,
pRB. Banyak modifikasi yang dapat merusak fungsi pRB, termasuk
mutasi titik, metilasi promotor, dan delesi besar maupun kecil. Bahkan

9
chromothripsis, suatu “penghancur” wilayah genomik yang
mengakibatkan penataan kembali yang meluas, telah terbukti mendasari
sebagian kecil kasus (Dimaras dkk, 2015).
Asam amino pRB dikenal sebagai regulator siklus sel yang
mengikat faktor transkripsi E2F untuk menekan gen terkait proliferasi
sel. Hiperfosforilasi pRB oleh cyclin-dependent kinases (CDKs) dalam
menanggapi sinyal mitogenik biasanya mengurangi represi dan
mempromosikan transisi fase G1 ke S. Kehilangan pRB mengurangi
represi ini dengan tidak adanya sinyal mitogenik untuk memungkinkan
masuknya siklus sel. Banyak dugaan bahwa pRB diperlukan untuk
menekan faktor transkripsi E2F, dan bahwa hilangnya fungsi ini adalah
penyebab utama terbentuknya retinoblastoma. Namun, beberapa mutasi
RB1 “penetrasi rendah” mengkode protein dengan kemampuan minimal
untuk mengikat E2F tetapi secara tak terduga mutasi ini merupakan
predisposisi tumor yang jauh lebih sedikit daripada alel RB1 null.
Dengan demikian, alel pengikat E2F yang rusak dapat berfungsi secara
substansial untuk menghambat perkembangan retinoblastoma melalui
satu atau lebih fungsi pRB independen E2F. Sebagai contoh, pRB juga
bergungsi sebagai up-regulator p27, dan efek ini telah terlibat dalam
diferensiasi sel, apoptosis, dan integritas genom. Namun, peningkatan
pRB dikaitkan dengan penurunan ekspresi p27, dan p27 tidak akan
memediasi penekan retinoblastoma dalam sel-sel ini. Kehilangan fungsi
pRB N-terminal juga penting tetapi tidak jelas terlibat dalam inisiasi
retinoblastoma. Dengan demikian, mekanisme pasti dimana pRB
biasanya menekan retinoblastoma masih perlu diidentifikasi (Dimaras
dkk, 2015).
Inaktivasi RB1 secara paralel diperlukan untuk menginisiasi
sebagian besar retinoblastoma, tetapi hal ini masih belum cukup, karena
lesi retina jinak, retinoma, telah kehilangan kedua alel RB1 -/-.
Perubahan genetik atau epigenetik lebih lanjut diperlukan untuk
transformasi retinoma menjadi keganasan. Perubahan epigenetik
mendorong pembentukan retinoblastoma dengan menginduksi trimetilasi

10
H3K4 dan tanda asetilasi H3K9 dan H3K14 dan ekspresi onkogen SKK
(Dimaras dkk, 2015).
Studi hibridisasi genomik komparatif dalam mengidentifikasi
peningkatan jumlah salinan DNA yang mencakup kandidat
retinoblastoma onkogen mitotik kinesin KIF14 dan regulator p53 MDM4
(kromosom 1q32), faktor transkripsi E2F3 dan DEK (kromosom 6p22),
dan kluster onko-miR miR-106b~25b (kromosom 7q22.1) dan miR-
17~92 (kromosom 13q31, serta kerugian yang mencakup cadherin-11
(CDH11) (kromosom 16q22) dan anggota keluarga pRB RBL2
(kromosom 16q12.2) gen tumor supressor. Sekuen seluruh genome
mengidentifikasi mutasi inaktivasi yang tidak aktif pada BCOR
transkripsional yang mengkode corepressor BCL-6. Menariknya,
beberapa tumor tidak memiliki perubahan yang terdeteksi, konsisten
dengan perolehan perubahan tersebut selama perkembangan tumor
(Dimaras dkk, 2015).
Banyak gen dan mikroRNA lain juga menunjukkan ekspresi yang
berubah pada retinoblastoma dibandingkan dengan retina normal. Profil
ekspresi gen pada awalnya diusulkan untuk mengungkapkan hanya satu
kelas retinoblastoma yang relatif homogen dan kemudian diusulkan
untuk memisahkan RB1-/- retinoblastoma menjadi dua subtype. Namun,
analisis kohort yang lebih besar baru-baru ini mengungkapkan spektrum
fenotip yang mencerminkan perkembangan keadaan dengan diferensiasi
fotoreseptor tinggi dan beberapa perubahan sitogenetik menjadi keadaan
dengan diferensiasi yang lebih rendah, peningkatan mRNA dan ribosom,
biogenesis ribosom dan tanda-tanda ekspresi gen mitosis, dan
peningkatan penyimpangan sitogenetik. Dengan demikian, RB1-/-
retinoblastoma tampaknya berkembang dari retinoma self-limiting
menjadi retinoblastoma terdiferensiasi kemudian menjadi keganasan
yang kurang terdiferensiasi (Dimaras dkk, 2015).
Namun, kedua alel RB1 bermutasi di hampir semua
retinoblastoma, sebagian dari tumor unilateral (1,4%) tidak menunjukkan
bukti mutasi RB1 tetapi memiliki amplifikasi tingkat tinggi dari onkogen

11
MYCN (amplifikasi MYCN, MYCNA). Tumor RB1+/+MYCNA ini
selalu unilateral, didiagnosis pada anak yang jauh lebih muda daripada
tumor RB1-/- unilateral, dan memiliki morfologi yang berbeda, yang
mencerminkan subtipe unik. Meskipun mereka juga termasuk dalam
diferensiasi fotoreseptor dan spektrum biogenesis mitosis/RNA dari
tumor Rb-/-, tumor MYBNA RB1+/+ adalah pengecualian yang berbeda
dalam tingkat ekspresi banyak gen, konsisten dengan gagasan bahwa
mereka berasal dari prekursor retina sebelumnya. Sebanyak 1,5%
retinoblastoma non-herediter unilateral lainnya unilateral tidak dijelaskan
dan memiliki gen RB1 dan MYCN yang tampaknya normal (Dimaras
dkk, 2015).
2. Asal Sel Retinoblastoma
Karena Rb diekspresikan dalam sebagian besar sel, sensitivitas
unik retina terhadap kehilangan Rb masih membingungkan. Sementara
kunci sensitivitas unik ini kemungkinan berkaitan dengan fitur sel asal,
identitas sel ini masih sulit dipahami. Studi yang membahas sel asal
melalui analisis tumor memberikan petunjuk yang membingungkan,
karena tumor menunjukkan beragam jenis penanda sel retina. Bersama
dengan bukti lain, ekspresi penanda sel yang beragam menyarankan baik
sel asal pluripoten, ko-ekspresi gen penanda yang menyimpang karena
transformasi onkogenik, atau adanya sel retina RB1+/+ merupakan hal
normal di dalam tumor yang sebagian besar berbentuk kerucut. Model
tikus masih belum mengklarifikasi sel asal, karena model tersebut
memerlukan mutasi tambahan Rbl1, Rbl2, atau Cdkn1b selain hilangnya
RB1, dan tumor yang dihasilkan mengekspresikan spektrum penanda
retina yang berbeda (Dimaras dkk, 2015).
Sebuah petunjuk terhadap sel asal berasal dari temuan bahwa
distribusi topografi dari retinoblastomas yang muncul meniru
karakteristik garis visual horizontal sel kerucut merah dan hijau, yang
memberikan bukti bahwa tumor dapat berasal dari sel dalam garis
keturunan sel fotoreseptor kerucut. Konsisten dengan pandangan ini,
RB1-/- retinoblastoma mengekspresikan penanda fotoreseptor kerucut

12
tetapi tidak mengekspresikan protein spesifik sel retina tipe lainnya.
Selain itu, prekursor kerucut matur post-mitotik normal memiliki
ekspresi pRB yang sangat tinggi serta onkoprotein (MDM2 dan MYCN)
yang dapat berkolaborasi dengan kehilangan RB1 untuk memungkinkan
proliferasi prekursor kerucut (Dimaras dkk, 2015).

F. Penatalaksanaan
Tujuan paling penting dalam tatalaksana pasien dengan
retinoblastoma adalah kelangsungan hidup pasien, dan tujuan terpenting
kedua adalah menjaga agar mata tetap utuh. Fokus pada ketajaman visual
tidak menjadi prioritas pada tatalaksana retinoblastoma. Terapi disesuaikan
untuk setiap kasus individu dan berdasarkan situasi keseluruhan, termasuk
ancaman metastasis, risiko kanker sekunder, status sistemik, lateralitas
penyakit, ukuran dan lokasi tumor, dan perkiraan prognosis visual. Ada
beberapa pilihan untuk pengobatan retinoblastoma. Metode pengobatan yang
tersedia saat ini untuk retinoblastoma antara lain kemoreduksi intravena
(kadang dikombinasikan dengan kemoreduksi subkonjungtiva), termoterapi,
cryotherapy, laser fotokoagulasi, radioterapi plak, radioterapi sinar eksternal,
enukleasi, eksentasi orbital, dan kemoterapi sistemik untuk penyakit yang
telah mengalami metastasis. Dalam beberapa tahun terakhir, mata dengan
retinoblastoma unilateral umumnya direapi dengan enukleasi. Untuk
retinoblastoma bilateral, kemoreduksi digunakan dalam banyak kasus kecuali
jika ada keterlibatan asimetris yang ekstrim, dengan satu mata memiliki
tahapan penyakit lanjut yang memerlukan enukleasi sedangkan mata lainnya
memiliki penyakit minimal. Sebagian besar anak dengan retinoblastoma
bilateral dirawat dengan kemoreduksi (Shields dan Shields, 2014)
Keberhasilan tatalaksana retinoblastoma tergantung pada kemampuan
untuk mendeteksi penyakit saat tumor masih berada di intraokular. Tingkat
keparahan penyakit berkorelasi dengan keterlambatan diagnosis. Meskipun
retinoblastoma dapat disembuhkan jika didiagnosis sedari dini dan diobati
dengan tepat, prognosisnya dapat menjadi buruk jika terlambat didiagnonsis
dan diterapi dengan tidak tepat. Pada negara-negara berpenghasilan tinggi,
retinoblastoma biasanya dapat didiagnosis saat masih terlokalisir di

13
intraokular, sedangkan pada negara dengan penghasilan rendah, 60-90%
anak-anak datang dengan penyakit yang sudah meluas ke ekstraokular.
Kurangnya pendidikan, akses terbatas ke pelayanan kesehatan, dan sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan keterlambatan diagnosis retinoblastoma
pada negara dengan penghasilan rendah. Namun, besarnya masalah ini sulit
dipastikan mengingat kurangnya studi berbasis populasi mengenai besarnya
angka kejadian retinoblastoma (Union for International Cancer Control, 2014)
Diagnosis dini adalah kunci dalam keberhasilan terapi retinoblastoma.
Kurangnya kesadaran publik dan edukasi pada penyedia layanan kesehatan
primer merupakan hambatan utama untuk diagnosis dini dan mengakibatkan
tingginya insiden metastasis dan tingkat kematian akibat retinoblastoma di
negara berpenghasilan rendah. Pada negara berpenghasilan tinggi, anak-anak
dengan retinoblastoma biasanya didiagnosis dengan penyakit yang masih di
intraocular. Hal ini membuat penyelamatan mata menjadi lebih
memungkinkan dan mengurangi beban pengobatan serta meningkatkan
tingkat harapan hidup (Union for International Cancer Control, 2014).
Faktor terpenting yang menentukan pemilihan terapi meliputi apakah
tumor pada satu mata atau kedua mata, bagaimana penglihatannya, dan
apakah tumor telah meluas keluar bola mata. Hasil terapi akan lebih baik bila
tumor masih terbatas dalam mata dan akan memburuk bila tumor telah
menyebar. Berdasarkan stadium tumor, terapi yang dapat digunakan yaitu:
1. Kemoterapi
Kemoterapi atau kemoreduksi telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari manajemen retinoblastoma. Apabila penyakitnya sudah
menyebar ke bagian ekstraokuler, kemoterapi merupakan terapi yang
sangat dianjurkan. Obat kemoterapi yang digunakan yaitu carboplatin,
cisplatin, etoposid, teniposid, siklofosfamid, ifosfamid, vinkristin,
adriamisin, dan akhir-akhir ini dikombinasikan dengan idarubisin. Dosis
Vincristine 1,5 mg/m22 (0,05 mg/kg pada anak <36 bulan dan dosis
maksimum <2mg), Etoposide 150 mg/m (5 mg/kg untuk anak <36
bulan), carboplatin 560 mg/m2 (18,6 mg/kg untuk anak <36 bulan)
(Pandey, 2013).

14
2. Pembedahan
Enukleasi adalah terapi yang paling sederhana dan aman untuk
retinoblastoma. Pemasangan bola mata biasanya dilakukan beberapa
minggu setelah prosedur enukleasi untuk meminimalkan efek kosmetik.
Enukleasi dianjurkan apabila terjadi glaukoma, invasi ke rongga naterior,
atau terjadi rubeosis iridis, dan apabila terapi lokal tidak dapat di evaluasi
karena katarak atau gagal untuk mengikuti pasien secara lengkap atau
teratur. Enukleasi dapat ditunda atau ditangguhkan pada saat diagnosis
tumor sudah menyebar ke ekstraokular. Pembedahan intraokular seperti
vitrektomi, adalah kontraindikasi pada pasien retinoblastoma karena akan
menaikkan relaps orbita.
3. External Beam Radiation Therapy (EBRT)
External Beam Radiation Therapy (EBRT), yang dahulu menjadi
terapi pilihan pada retinoblastoma, kini diindikasikan apabila kemoterapi
primer dan terapi lokal gagal atau terjadi kontraindikasi (Pandey, 2013).
EBRT menggunakan eksalator linjar dengan dosis 40-45 Gy dengan
pemecahan konvensional yang meliputi seluruh retina. Pada bayi
prosedur ini harus dibawah anastesi dan imobilisasi dan harus ada kerja
sama antara dokter ahli mata, dan dokter radioterapi untuk membuat
perencanaan. Keberhasilan EBRT tidak hanya berdasarkan ukuran tumor
tetapi tergantung teknik dan lokasi. Efek samping jangka panjang dari
radioterapi harus diperhatikan seperti hambatan pertumbuhan tulang
orbita yang akhirnya akan menyebabkan gangguan kosmetik.
4. Plaque Radiotherapy (Brachytherapy)
Radioactive plaque terapi dapat digunakan pada terapi
penyelamatan mata dimana terapi penyelamatan bola mata gagal untuk
menghancurkan semua tumor aktif dan sebagai terapi utama terhadap
beberapa anak dengan ukuran tumor relatif kecil sampai sedang.
5. Kryo dan fotokoagulasi
Teknik digunakan untuk mengobati tumor kecil (kurang dari 5
mm). Cara ini sudah banyak digunakan dan dapat dilakukan beberapa
kali sampai kontrol lokal tercapai. Kryoterapy biasanya menggunakan

15
probe yang sangat dingin untuk membekukan dan mematikan tumor.
Sementara fotokoagulasi menggunakan laser argon atau xenom untuk
mematikan tumor (Permono et al., 2006).

G. Komplikasi
Jika tidak segera ditangani, retinoblasma dapat menyebabkan
komplikasi berupa: penyebaran kanker ke jaringan dan organ lain
(metastasis), Ablasi retina, Perdarahan pada bola mata, Glaukoma,
Peradangan jaringan bola mata dan sekitarnya (selulitis orbita), Phthisis bulbi,
dan Buta.
Metastase melalui beberapa jalan antara lain:
1. Lamina kribosa, saraf optik kemudian mengadakan infiltrasi ke arah
vaginal sheat subarachnoid untuk menuju ke intracranial
2. Jaringan choroid, dengan melalui pembuluh darah tumor menyebar ke
seluruh tubuh.
3. Pembuluh emisari, tumor menyebabr ke bagian posterior orbita
Komplikasi retinoblastoma adalah metastasis, trilateral
retinoblastoma, dan kanker sekunder di bagian tubuh lainnya. Pasien
retinoblastoma herediter memiliki peningkatan risiko untuk mengalami
kanker sekunder dan tumor neuroektodermal di otak (trilateral
retinoblastoma) (Correa & Berry, 2016).
Kanker sekunder yang dapat terjadi pada pasien retinoblastoma adalah
osteosarkoma, sarkoma jaringan lunak, melanoma malignan, leukemia,
berbagai jenis karsinoma, dan berbagai jenis tumor otak. Radioterapi
retinoblastoma dapat menimbulkan komplikasi katarak, perdarahan retina,
dan hipoplasia jaringan lunak dan tulang. Oleh karena itu, penggunaan
radioterapi sekarang ini dibatasi hanya untuk retinoblastoma rekuren atau
tidak responsif dengan terapi lain (Isidro, 2019).
Terapi retinoblastoma yang bersifat mempertahankan bola mata
memiliki risiko rekurensi dan metastasis. Rekurensi tumor mencapai 35-45%
setelah kemoterapi sistemik tanpa terapi fokal, sedangkan bila dikombinasi
dengan terapi fokal angka rekurensi menurun menjadi 17-18% (Berry, et al.,
2019).

16
H. Pencegahan
Untuk mendeteksi retinoblastoma sedini mungkin, skrining
penglihatan dan pemeriksaan mata telah dikembangkan. Skrining penglihatan
anak dengan pelatihan yang efektif untuk mendeteksi tanda-tanda
retinoblastoma dapat mengidentifikasi anak dengan retinoblastoma.
Pemeriksaan refleks mata merah direkomendasikan dan diamanatkan untuk
setiap kunjungan dokter bayi dan balita di banyak bagian dunia, namun
pemeriksaan ini tidak sering dapat mengidentifikasi anak-anak dengan
retinoblastoma. Tes skrining mata anak yang negatif tidak berarti anak ini
akan tetap bebas tumor karena tumor mungkin muncul kemudian, atau
mungkin telah berada di pinggiran dan tidak terlihat (false negative).
Cara yang efektif untuk mencapai diagnosis dini adalah agar semua
penyedia layanan kesehatan sadar akan retinoblastoma dan kata-kata umum
yang digunakan orang tua secara universal untuk menggambarkan pupil putih
yang telah mereka amati, dan tahu bahwa ini mungkin berarti kondisi yang
mengancam jiwa pada anak yang membutuhkan perhatian mendesak. Terlalu
sering petugas kesehatan gagal menanggapi keluhan orang tua dengan serius,
karena kurangnya kesadaran. Photoleukocoria (penampilan leukocoria pada
foto flash) dapat membawa retinoblastoma menjadi perhatian orang tua.Aalat
koreksi mata merah untuk membuat potret lebih cantik menghilangkan
fotoleukocoria dari foto, yang mungkin menunda diagnosis. Kampanye
mengenai retinoblastoma menjadi perhatian, tetapi kehilangan efektivitas
seiring waktu. Sebuah penelitian inovatif bernama PhotoRed di India melatih
para profesional kesehatan untuk menggunakan fotografi flash untuk
mengidentifikasi penyakit mata masa kanak-kanak, termasuk retinoblastoma.
Upaya perintis lain menargetkan perangkat lunak untuk memungkinkan
kamera mendeteksi fotoleukocoria. Industri pencitraan global dapat berperan
dalam diagnosis awal retinoblastoma (Dimaras dkk., 2015)
Kurangnya pengetahuan dan kewapadaan mengenai retinoblastoma
mengakibatkan pasien terlambat didiagnosis. Hal ini merupakan hambatan
terbesar dalam meningkatkan angka kesembuhan pasien retinoblastoma.
Anak dengan riwayat keluarga retinoblastoma memiliki risiko lebih tinggi

17
mengalami retinoblastoma dan membutuhkan pengawasan yang lebih ketat.
Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menemukan tumor lebih awal, sehingga
terapi juga dapat dilakukan lebih awal. Risiko terjadinya retinoblastoma dapat
diperkirakan dengan melihat hubungan pasien dengan anggota keluarga yang
mengidap retinoblastoma (Skalet, 2018).
Anak yang memiliki risiko retinoblastoma membutuhkan pemeriksaan
fundus pupil lebar serial oleh oftalmologis yang berpengalaman dalam
menangani retinoblastoma. EUA dibutuhkan pada pasien yang tidak
kooperatif pada pemeriksaan di poliklinik. Bayi membutuhkan skrining yang
lebih sering dan periode skrining dapat diatur secara berkala seiring dengan
peningkatan usianya. Skrining retinoblastoma dilakukan pada anak hingga
usia 7 tahun, setelah usia 7 tahun anak tanpa gejala tidak membutuhkan
skrining lanjutan kecuali mereka terbukti memiliki mutasi gen RB1. Anak
dengan mutasi gen RB1 membutuhkan skrining berkala setiap 1 hingga 2
tahun sekali setelah usia 7 tahun. Skrining genetic prenatal juga dapat
dilakukan melalui amniocentesis pada pasien dengan riwayat keluarga
retinoblastoma (Skalet, 2018).

I. Pemeriksaan Fisik
1. Umum
Pemeriksaan fisik umum diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya keadaan umum yang kemungkinan merupakan
penyebab penyakit mata yang sedang diderita.
2. Khusus (Mata)
a. Pemeriksaan tajam penglihatan
Pada retinoblastoma, tumor dapat menyebar luas di dalam bola mata
sehingga dapat merusak semua organ di mata yang menyebabkan
tajam penglihatan sangat menurun.
b. Pemeriksaan gerakan bola mata
Pembesaran tumor dalam rongga mata akan menekan saraf dan
bahkan dapat merusak saraf tersebut dan apabila mengenai saraf III,
IV, dan VI maka akan menyebabkan mata juling.

18
c. Pemeriksaan susunan mata luar dan lakrimal
Pemeriksaan dimulai dari kelopak mata, sistem lakrimal,
konjungtiva, kornea, bilik mata depan, iris, lensa dan pupil.
d. Pemeriksaan pupil
Leukokoria (refleks pupil yang berwarna putih) merupakan keluhan
dan gejala yang paling sering ditemukan pada penderita dengan
retinoblastoma.
e. Pemeriksaan funduskopi
Menggunakan oftalmoskopi untuk pemeriksaan media, papil saraf
optik, dan retina. Refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan
yang banyak dalam badan kaca.
f. Pemeriksaan tekanan bola mata
Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata menyebabkan tekanan bola
mata meningkat.

J. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti retinoblastoma intaokuler dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan patologi anatomi. Karena tindakkan biopsi merupakan
kontraindikasi, maka untuk menegakkan diagnosis digunakan beberapa
pemeriksaan sebagai sarana penunjang:
1. Fundus Okuli : Ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina
disertai pembuluh darah pada permukaan ataupun didalam massa tumor
tersebut dan berbatas kabur
2. X-Ray : Hampir 60-70% penderita retinoblastoma menunjukkan
kalsifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke saraf optik foramen:
Optikum melebar.
3. USG : Adanya massa intraokuler
USG orbita : USG orbita biasanya digunakan untuk menentukan ukuran
tumor. USG orbita dapat juga mendeteksi kalsifikasi diantara tumor dan
berguna untuk menyingkirkan diagnose Coat’s disease.
Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien
dengan metastasis ke luar, misalnya dengan gejala proptosis bola mata.

19
4. LDH : Dengan membandingkan LDH aqous humor dan serum darah, bila
ratsio lebih besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma
intaokuler (Normal rasio kurang dari 1)
5. Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien
dengan metastasis ke luar, misalnya dengan gejala proptosis bola mata.
6. CT-scan dan MRI : CT-scan dan MRI orbita dan kepala, sangat berguna
untuk mengevaluasi seluruh komponen mata, dan keterlibatan SSP. CT-
scan dapat mendeteksi klasifikasi sedangkan MRI tidak bisa. MRI lebih
berguna dalam evaluasi nervus. optikus, deteksi Rb trilateral dan Rb
ekstraokular.
7. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : Aspirasi dan biopsi serta lumbal
fungsi sangat disarankan untuk pemeriksaan sitologi apabila ada
penyebaran ekstraokuler.

K. Proses Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
1) Identitas klien meliputi nama, umur (Retinoblastoma umumnya
ditemukan pada anak-anak di bawah 5 tahun), alamat, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan
diagnosa medis.
2) Identitas orang tua yang terdiri dari : Nama Ayah dan Ibu, usia,
pendidikan, pekerjaan/sumber penghasilan, agama, dan alamat.
3) Identitas saudara kandung meliputi nama, usia, jenis kelamin,
hubungan dengan klien, dan status kesehatan.
b. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan saat ini juga, alasan kenapa masuk rumah
sakit. Apakah ada keluhan lain yang menyertai? Keluhan sakit
kepala merupakan keluhan paling sering diberikan oleh penderita.
Adanya keluhan pada organ lain juga bisa diakibatkan oleh tumor
yang bermetastase.

20
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa berupa bintik putih
pada mata tepatnya pada retina, terjadi pembesaran, mata merah
dan besar.
Pengkajian yang penting untuk retinoblastoma : Sejak kapan
sakit mata dirasakan. Penting untuk mengetahui perkembangan
penyakitnya, dan sejauhmana perhatian klien dan keluarganya
terhadap masalah yang dialami. Retinoblastoma mempunyai
prognosis baik bila ditemukan dini.
Penyakit lain yang sedang diderita : Bila sedang menderita
penyakit lain dengan keadaan yang buruk, dapat pula
memperburuk keadaan klien.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan kemungkinan
memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi
ditempat lain misal: pernapasan.
Trauma dapat memberikan kerusakan pada seluruh lapis kelopak
ataupun bola mata. Trauma sebelumnya dapat juga memberikan
kelainan pada mata tersebut sebelum meminta pertolongan.
Penyakit mata sebelumnya : Kadang-kadang dengan mengetahui
riwayat penyakit mata sebelumnya akan dapat menerangkan
tambahan gejala-gejala penyakit yang dikeluhkan penderita.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan dalam keluarga,
misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama. Retinoblastoma bersifat herediter yang diwariskan
melalui kromosom, protein yang selamat memiliki kemungkinan
50% menurunkan anak dengan retinoblastoma.

21
d. Pemberian Sistem
1) Aktivitas
Gejala : Kelelahan, malaise, kelemahan, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas biasanya.
Tanda : Kelelahan otot.
Peningkatan kebutuhan tidur, somnolen.
2) Sirkulasi
Gejala : Palpitasi.
Tanda : Takikardi, mur-mur jantung.
Kulit, membran mukosa pucat.
Defisit saraf kranial dan/atau tanda perdarahan
cerebral.
3) Eliminasi
Gejala : Diare; nyeri tekan perianal, nyeri.
Darah merah terang pada tisu, feses hitam.
Darah pada urine, penurunan haluaran urine.
4) Integritas ego
Gejala : Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda : Depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
5) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, anoreksia, muntah.
Perubahan rasa/penyimpangan rasa.
Penurunan berat badan.
6) Neurosensori
Gejala : Kurang/penurunan koordinasi.
Perubahan alam perasaan, kacau, disorientasi, ukuran
konsisten.
Pusing, kebas, kesemutan parastesi.
Tanda : Otot mudah terangsang, aktivitas kejang.

22
7) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri orbital, sakit kepala, nyeri tulang/sendi, nyeri
tekan sternal, kram otot.
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, fokus, pada
diri sendiri.
8) Pernapasan
Gejala : Napas pendek dengan kerja minimal.
Tanda : Dispnea, takipnea, batuk.
Gemericik, ronki.
Penurunan bayi napas.
9) Keamanan
Gejala : Riwayat infeksi saat ini/dahulu, jatuh..
Gangguan penglihatan/kerusakan.
Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma
minimal.
Tanda : Demam, infeksi.
Kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan
gusi, atau epistaksis.
Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati
(sehubungan dengan invasi jaringan)
Papil edema dan eksoftalmus.
10) Seksualitas
Gejala : Perubahan libido.
Perubahan aliran menstruasi, menoragia.
Lipopren.
11) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat terpajan pada kimiawi, mis; benzene,
fenilbutazon, dan kloramfenikol (kadar ionisasi
radiasi berlebihan, pengobatan kemoterapi
sebelumnya, khususnya agen pengkilat.
Gangguan kromosom, contoh sindrom down atau
anemia franconi aplastik

23
e. Pengelompokkan data
1) Data Subjektif
- Mengeluh nyeri pada mata
- Sulit melihat dengan jelas
- Mengeluh sakit kepala
- Merasa takut
2) Data Objektif
- Mata juling (strabismus)
- Mata merah
- Bola mata besar
- Aktivitas kurang
- Tekanan bola mata meningkat
- Gelisah
- Refleks pupil berwarna putih (leukokoria)
- Tajam penglihatan menurun
- Sering menangis
- Keluarga sering bertanya
- Ekspresi meringis
- Tak akurat mengikuti instruksi
- Keluarga nampak murung
- Keluarga nampak gelisah
- Pertanyaan/pernyataan keluarga salah konsepsi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan proses
penyakitnya (kompresi/dekstruksi jaringan saraf, inflamasi)
b. Gangguan persepsi sensorik penglihatan berhubungan dengan
gangguan penerimaan sensori dari organ penerima
c. Gangguan rasa aman cemas, berhubungan dengan perubahan status
kesehatan
d. Resiko tinggi cedera, sehubungan dengan keterbatasan lapang
pandang

24
e. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya
informasi mengenai penyakit
3. Intervensi
a. Kaji tingkat nyeri, penyebab dan hal-hal yang dapat meredakan nyeri
b. Berikan balutan mata untuk mengurangi pergerakan mata dan
mengurangi nyeri yang diakibatkannya.
c. Berikan analgetik dan antibiotik sesuai terapi yang diperintahkan
d. Bantu aktivitas klien selama sakit
e. Jelaskan semua prosedur tindakan yang akan diberikan pada klien
f. Jelaskan tentang retinoblastoma, penyebab, komplikasi dan hal-hal
yang memperburuk kondisi mata
g. Bantu pasien untuk belajar melakukan koping dan menyesuaikan diri
terhadap situasi
h. Dorong pasien untuk bersosialisasi dengan sekitarnya
4. Implementasi
Tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah
dilakukan sebelumnya.
5. Evaluasi
a. Nyeri berkurang ditandai dengan klien mengurangi aktivitas mata
dengan menggunakan balutan mata yang memadai dan
mengistirahatkan matanya.
b. Klien dapat menjelaskan penyebab retinoblastoma dan
pencegahannya
c. Berpartisipasi dalam aktivitas diversional dan sosial

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina
(sel kerucut sel batang) atau sel gila yang bersifat ganas. Merupakan tumor
ganas intraokuler yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia di
bawah lima tahun. Tumor berasal dari jaringan retina embrional. Dapat terjadi
unilateral (70%) dan bilateral (30%). Sebagian besar kasus bilateral bersifat
herediter yang diwariskan melalui kromosom.
Penatalaksanaan retinoblastoma bergantung pada stadium penyakit.
Pendekatan terapi retinoblastoma intraokular semakin berkembang dari hari
ke hari karena keinginan untuk menyelamatkan lebih banyak mata dan
mengurangi komplikasi. Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menemukan
tumor lebih awal, memulai terapi lebih awal, dan menhasilkan luaran terapi
yang lebih baik.
Gejala retinoblastoma dapat menyerupai penyakit mata lainnya.
Dalam proses pengkajiannya dilakukan secara anamnesis dengan menanyai
langsung si pasien atau pun keluarga meliputi data, riwayat dulu dan sekarang
serta keluhan pasien. Pengkajian dengan pemeriksaan fisik umum dan khusus
untuk mata serta pemeriksaan penunjangnya. Berdasarkan hasil pengkajian
tersebut kita dapat menyimpulkan diagnosa keperawatannya mulai dari
gangguan rasa nyaman nyeri, gangguan persepsi sensorik penglihatan,
gangguan rasa aman cemas, resiko tinggi cedera, kurangnya pengetahuan
keluarga. Setelah itu perawat dapat memberikan rencana asuhan keperawatan
pada pasien. Kemudian perawat harus mengevaluasi dari hasil intervensi dan
implementasinya.

B. Saran
Pada orangtua yang mengalami retinoblastoma hendaknya melakukan
pemeriksaan mata terhadap anaknya, karena retinoblastoma dapat diturunkan
ke anak mereka. Sebaiknya orangtua mengetahui tanda dan gejala adanya
retinoblastoma secara dini, ini bertujuan umtuk menghindari prognosis yang

26
sangat buruk. Retinoblastoma ini dapat ditemukan pada usia 3 tahun bahkan
dapat juga ditemukan pad usia 10 bulan, maka dari itu orangtua seharusnya
lebih aktif sehingga orangtua tidak menyadarinya setelah di stadium lanjut.
Pasien dengan retinoblastoma harus diberikan perawatan secara intensif dan
perlunya pengetahuan dari pihak keluarga agar penyakit tersebut tidak
mengalami komplikasi. Sebagai perawat harus mampu memberikan edukasi
tentang gejala dini retinoblastoma agar dapat segera diobati.

27
DAFTAR PUSTAKA

Berry JL, Kogachi K, Murphree AL, Jubran R, Kim JW. 2019. A review of
recurrent retinoblastoma: Children's Hospital Los Angeles classification
and treatment guidelines. Int Ophthalmol Clin. 59(2):65-75.

Cantor, L.B., Rapuano, C.J., dan Cioffi, G.A. 2015. Pediatric Ophtalmology and
Strabismus: Basic and Clinical Science Course. American Academy of
Ophtalmology, San Fransisco, United States, hal 386-394.

Cantor LB, Rapuano CJ, McCannel CA. 2019-2020. Ophthlamic Pathology and
Intraocular Tumors. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology.

Correa ZM, Berry JL. 2016. Review of retinoblastoma.


https://www.aao.org/disease-review/review-of-retinoblastoma.

Dimaras, H., Corson, T.W., Cobrinik, D., dkk. 2015. Retinoblastoma. Nat Rev Dis
Primers;1(15021), hal 1-20.

Direktorat Jendral Penyakit Tidak Menular. 2016. Profil Penyakit Tidak Menular
Tahun 2016. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal 59-
61.

Fabian, I.D., Rosser, E., dan Sagoo, S. 2018. Epidemiological and genetic
considerations in retinoblastoma. Comm Eye Health. Vol. 31(101), hal
29-30.

Gallie, B.L., Sagoo, M. S., dan Reddy, M.A. 2013. Retinoblastoma. Dalam Hoyt,
C.S. dan Taylor, D. Pediatric Ophtalmology and Strabismus. Hal 413-431.
Elsevier. New York. United States.

Hayyi, I. N. 2020. Tatalaksana Retinoblastoma (Update). Bandung: Departemen


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Ilyas, S. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Cetakan ke 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, S. dan Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ke-5. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Isidro MA. 2019. Retinoblastoma. https://emedicine.medscape.com/article/


1222849-overview#a4

Mansjoer, Arief. 2005. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta: Media


Aesculapius FKUI.

Pandey AN. 2013. Retinoblastoma: An overview. Saudi J Ophthalmol. 28 (4) :


310-5.
Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. 2006. Buku
Ajar Hemato-Onkologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan penerbit IDAI.

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 6th edition. Jakarta:
EGC.

Shield, C.L. dan Shields, J. A. 2014. Diagnosis and Management of


Retinoblastoma. Cancer Control. Vol. 11(5), hal 317-325.

Skalet AH, et al. 2018. Screening Children at Risk for Retinoblastoma. American
Academy of Ophthlamology. 125(3):453-8.

Skuta, et al., 2011. American Academy of Ophthalmology. 2010-2011. Glaucoma.


Basic and Clinical Sciences Course Section 10 : 3-10: 49-52: 83-88: 157-
174.

Suriadi. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. 4th edition. Jakarta: Sagung
Seto.

Union for International Cancer Control. 2014. Retinoblastoma. Review of Cancer


Medicines on the WHO List of Essential Medicines. hal 1-8.

Yun, J., Li, Y., Xu, C.T., dan Pan, B.R. 2011. Epidemiology and RB1 gene of
retinoblastoma. Int J Ophthalmol; 4(1), hal 103–109.

Anda mungkin juga menyukai