I. Pendahuluan
Retinoblastoma adalah tumor ganas intraokular tersering pada anak. Insidensi
retinoblastoma bervariasi dari 1 dalam 14.000 hingga 1 dalam 20.000 kelahiran
hidup. Jumlah kasus baru di Amerika Serikat diperkirakan 250 hingga 300 kasus
per tahun. Jumlah pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung
pada Januari 2009 hingga Desember 2017 adalah 215 pasien. 1-3
Tingkat kelangsungan hidup pasien retinoblastoma bergantung kepada
diagnosis dini dan tatalaksana adekuat. Pasien retinoblastoma pada negara
berkembang memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan negara maju karena
terlambat terdiagnosis. Penelitian di RS Sanglah Denpasar menyatakan sebanyak
68% pasien retinoblastoma meninggal, 27% bertahan hidup dan 5% hilang dari
pengamatan. Tujuan tatalaksana retinoblastoma pada negara maju telah bergeser
dari mempertahankan bola mata kepada mempertahankan penglihatan, sementara
pada negara berkembang tujuan tatalaksana adalah mempertahankan kehidupan
karena sebagian besar pasien datang dalam keadaan penyakit yang lebih berat. 4-6
Sari kepustakaan ini bertujuan untuk membahas tatalaksana terbaru pada pasien
retinoblastoma.
II. Patogenesis
Retinoblastoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel retina embrionik
yang berhubungan dengan mutasi gen RB1. Gen RB1 terletak pada kromosom
13q14. Gen ini berperan dalam mengkode protein retinoblastoma yang berfungsi
sebagai supresor tumor yang akan mengontrol siklus sel. Retinoblastoma dapat
bersifat herediter atau sporadik. Istilah herediter atau germinal digunakan pada
pasien mutasi gen RB 1 pada sel diluar mata. Kasus herediter terdiagnosis pada
anak dengan usia yang lebih muda dan retinoblastoma bilateral. Istilah sporadik
digunakan pada pasien tanpa riwayat keluarga retinoblastoma sehingga mutasi sel
germinal yang terjadi merupakan kasus baru, dan tidak ada mutasi gen RB1 pada
sel diluar mata. Kasus sporadik terdiagnosis pada anak dengan usia lebih tua dan
retinoblastoma unilateral. Mutasi gen RB1 pada retinoblastoma sporadik dapat
diwariskan.2,7-9
1
2
Stage 0 Tanpa enukleasi (satu atau kedua mata memiliki tumor intraokular)
Stage I Enukleasi, tumor telah terangkat sepenuhnya
Stage II Enukleasi dengan sisa tumor mikroskopik
Ekstensi regional
Stage III A. Tumor orbita terbuka
B. Kelenjar getah bening preaurikular atau cervical
Metastasis
A. Metastasis hematogen
1. Lesi single
2. Lesi multipel
Stage IV B. Keterlibatan sistem saraf pusat
1. Lesi prekiasma
2. Massa di sistem saraf pusat
3. Penyakit leptomeningeal
Dikutip dari : Chantada13
V. Tatalaksana
Tujuan utama dalam tatalaksana retinoblastoma adalah untuk menyelamatkan
kehidupan. Mempertahankan organ dan fungsi penglihatan merupakan tujuan
sekunder dan tersier. Penatalaksanaan retinoblastoma bergantung pada stadium
penyakit. Terdapat beberapa metode dalam tatalaksana retinoblastoma intraokular,
yaitu terapi fokal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.1,10,14
5.1.1 Krioterapi
Krioterapi merupakan modalitas terapi lokal retinoblastoma yang bekerja
merusak membran sel tumor secara mekanik dengan kristal es melalui siklus beku
cair (freeze-thaw cycle). Krioterapi digunakan untuk tumor yang berada di
anterior, media refraksi jernih dan tumor tanpa vitreous seeding. Tumor yang
berada di posterior ekuator dapat dilakukan krioterapi dengan membuat insisi
kecil pada konjungtiva forniks diantara otot rektus untuk memasukkan probe
(cutdown cryotherapy).2,9,10
Tabel 4. Tatalaksana Retinoblastoma
Krioterapi dimulai dengan memposiskan prob tepat pada sklera dibawa tumor,
posisinya dievaluasi menggunakan oftalmoskop indirek. Prob krioterapi
digunanakan untuk melokalisir dan elevasi tumor dengan melakukan indentasi
sklera. Ketika probe sudah berada dibawah tumor, pembekuan dimulai dan bola es
dipertahankan hingga menutupi seluruh masa tumor. Setelah es menutupi apeks
tumor setinggi 2 mm, bola es kemudian dicairkan dan siklus beku cair diulang 2
hingga 3 kali. Penting untuk menjaga probe tetap pada tempatnya hingga es benar
benar mencair untuk mencegah cedera pada bola mata. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah perdarahan vitreous, terbentuk cairan subretina, robekan retina,
lubang pada retina, ablasio retina, dan atropi sklera.1,9,15
5.1.3 Termoterapi
Prinsip kerja termoterapi adalah menghasilkan panas dari sinar infra merah
sehingga memicu apoptosis sel tumor. Termoterapi menggunakan panas dengan
suhu 400C hingga 600. Termoterapi diaplikasikan melewati pupil, menggunakan
radiasi infra merah yang dipancarkan dari diode laser pada oftalmoskop indirek.
Termoterapi juga dapat diaplikasikan transsklera menggunakan mikroskop
operasi. Tumor dipanaskan hingga berubah warna menjadi abu-abu. Regresi
tumor sebesar 85% didapatkan setelah 3 hingga 4 sesi termoterapi. Komplikasi
yang sering terjadi adalah atrofi iris, kekeruhan lensa paraksial, traksi retina,
ablasio retina serosa.7,10
5.2 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
retinoblastoma. Radioterapi terdiri dari plaque brachytherapy dan external beam
radiotherapy (EBRT). Radioterapi digunakan pada tumor yang telah regresi oleh
kemoterapi sistemik atau muncul kembali setelah kemoterapi.7,9
5.3 Enukleasi
Enukleasi merupakan metode yang paling sering digunakan untuk tatalaksana
retinoblastoma tahap lanjut. Pasien yang dipertimbangkan untuk enukleasi adalah
pasien dengan retinoblastoma grup D unilateral, grup E unilateral atau bilateral,
dan pasien dengan tumor aktif pada mata dengan fungsi penglihatan buruk yang
telah menyelesaikan terapi primer. Enukleasi juga dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan kecurigaan tumor aktif dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan
funduskopi karena media keruh.1,2,15
5.4 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi standar utama pada retinoblastoma. Kemoterapi
kemudian dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek
samping yang ditimbulkan. Kemoterapi terdiri dari kemoterapi intravena,
intraarteri, dan periokular. Kemoterapi digunakan sebagai terapi pada tumor yang
terlalu besar atau luas untuk dilakukan terapi fokal.1,7,8
6.3 Radioterapi
EBRT banyak digunakan pada masa sebelum era kemoterapi. EBRT kemudian
mulai ditinggalkan karena banyaknya komplikasi yang ditimbulkan seperti
keganasan sekunder dan komplikasi yang diakibatkan radiasi. Saat ini terdapat
kebaruan dalam radioterapi yaitu teknik radiasi yang lebih baik sehingga
mengurangi tingkat kerusakan pada jaringan normal disekitar. Stereotactic
conformal radiotherapy (SCR) menggunakan pemancar lebih kecil dengan posisi
yang lebih akurat. Proton beam therapy menghasilkan dosis yang seragam pada
setiap target.9,14
X. Kesimpulan
Penatalaksanaan retinoblastoma bergantung pada stadium penyakit.
Pendekatan terapi retinoblastoma intraokular semakin berkembang dari hari ke
hari karena keinginan untuk menyelamatkan lebih banyak mata dan mengurangi
komplikasi. Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menemukan tumor lebih awal,
memulai terapi lebih awal, dan menhasilkan luaran terapi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
2 Judul
Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice Guideline
From the American Pain Society, the American Society of Regional
Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of
Anesthesiologists’ Committee on Regional Anesthesia, Executive
Committee, and Administrative Council
Penulis Roger Chou, Debra B. Gordon,y Oscar A. de Leon-Casasola,z Jack M.
Rosenberg, Stephen Bickler, Tim Brennan,k Todd Carter, Carla L.
Cassidy, Eva Hall Chittenden,zz Ernest Degenhardt, Scott Griffith,
Renee Manworren, Bill McCarberg, Robert Montgomery, Jamie
Murphy, Melissa F. Perkal, Santhanam Suresh, Kathleen Sluka, Scott
Strassels, Richard Thirlby, Eugene Viscusi, Gary A. Walco, Lisa
Warner, Steven J. Weisman, and Christopher L. Wuzz
Tahun 2016
Jurnal Journal of Pain
Tujuan Ekpert panel untuk pedoman klinis berdasarkan evidence based,
kefektifan dan pemulihan post operasi pada anak dan dewasa.
Metode The American Pain Society (APS) menghadirkan panel dari 23
member meliputi expert dari anastesi, ahli berdah, perawat, ahli
kandungan, ahli perawatan anak, farmasi rumah sakit, dan psikologi
untuk meriview penelitian merumuskan panduan managemen nyeri.
Metode yang digunakan dalam membuat pedoman ini berdasarkan
systematical review yang dilihat dari beberapa aspek yang
berhubungan dengan intervensi dan managemen sebagai strategi dalam
menangani nyeri. Setelah melakukan review kemudian expert panel
membuat rekomendasi terhadap berbagai aspek managemen nyeri post
operasi meliputi: edukasi pre operasi, perencanaan peri operasi
managemen nyeri menggunakan farmakologi dan non farmakologi,
peraturan organisasi, dan peningkatan pelayanan.
Hasil Panel mennunjukkan penggunaan menggabungkan farmakologi dan
non farmakologi . dari 32 rekomendasi terdapat 4 sebagai penelitian
dengan kualitas tinggi. Dan 11 penelitian meliputi: area edukasi,
perencanaan perioperative, pemeriksaan pasien, struktur organisasi dan
kebijakan dan hasil perawatan pasien.
Kesimpulan Panduan ini berbasis systematical review dari penelitian pada nyeri
post operasi, menghasilkan rekomendasi dari multidiciplin expert
panel.
III. PEMBAHASAN
a. Komponen pra operasi dari ERAS proto- col melibatkan evaluasi dan optimalisasi
nutrisi pasien.
Komponen kunci dari optimisasi ini termasuk meminimalkan puasa pra
operasi dan pasien dan pendidikan keluarga tentang protokol. Pemberian
karbohidrat dikaitkan dengan kembalinya fungsi usus yang sedikit lebih awal dan
penurunan status katabolik. Pasien harus mengkonsumsi karbohidrat, pada malam
sebelum operasi dan 2 hingga 3 jam sebelum anestesi dengan nutrisi tambahan
karbohidrat kompleks. Tinjauan sistematis mengidentifikasi bahwa
memungkinkan pasien untuk minum cairan 2 sampai 3 jam sebelum operasi tidak
meningkatkan risiko regurgitasi atau aspirasi dibandingkan dengan praktik
tradisional dari tidak mengkonsumsi apa-apa melalui mulut setelah tengah
malam. Waktu puasa menurun juga muncul untuk mencegah komplikasi,
penurunan kemungkinan infeksi pasca operasi, dan meningkatkan pemulihan.
Pendidikan pasien dan keluarga sangat penting untuk mengoptimalkan gizi
dan mendukung kepatuhan terhadap protokol ERAS. Tanpa penjelasan yang jelas
tentang mengapa hal itu dapat dilakukan sebelum operasi mungkin akan ada
kebingungan antara pengetahuan saat ini dan sebelumnya. Pendidikan pra operasi
termasuk penjelasan mengapa mengkonsumsi karbohidrat, cairan hingga 2 jam
sebelum operasi adalah kunci untuk menjaga keseimbangan hidrasi pasien.
Seluruh tim perlu memberikan pesan yang konsisten tentang jenis cairan apa yang
dapat dicerna dan waktu dari cairan yang ditentukan. Latihan untuk beberapa
minggu sebelum operasi adalah penting untuk mempersiapkan mereka untuk
memperbaiki pemulihan pasca operasi mereka. Merokok dan konsumsi alkohol
harus dihentikan 4 minggu sebelum operasi untuk meningkatkan hasil. Hasil yang
diharapkan pasien yang sehat, terhidrasi dengan baik, dan dengan informasi yang
baik adalah tujuannya.
b. Manajemen Intraoperatif
Komponen intraoperatif dari protokol ERAS berfokus pada manajemen
perioperatif anestesi, analgesia, terapi cairan, dan teknik invasif yang minimal.
Agen anestesi intrakoperasi terdiri dari inhalasi pendek dan cairan intravena (IV)
untuk meminimalkan waktu pemulihan pasca operasi. Sebuah blok neuromuskular
dilakukan di daerah perut dengan tujuan mengontrol rasa sakit pasca operasi.
Keputusan dibuat oleh Kepala Anestesiologi untuk menambahkan ke ERAS
proto-col dengan mengairi luka bedah dengan bupiva-caine liposome pada akhir
kasus untuk memberikan anestesi lokal selama 24-96 jam pereda nyeri.
Secara tradisional, cairan IV telah digunakan tanpa parameter klinis khusus
untuk menentukan jumlah yang tepat dari cairan yang dibutuhkan, yang
menghasilkan variasi yang luas dalam pemberian cairan. Protokol ERAS
menstandardisasi administrasi dengan bolus tujuan-diarahkan larutan IV untuk
mempertahankan keseimbangan cairan hampir. Cairan diberikan menggunakan
perubahan volume untuk mengoptimalkan pasien pada kurva Frank-Starling Salah
satu metode untuk menentukan jumlah cairan yang dibutuhkan untuk secara
optimal mengelola perawatan intraoperatif adalah monitor cairan noninvasif.
Monitor cairan non-invasif memberikan parameter hemodinamik untuk membuat
keputusan tentang administrasi volume. Hal ini memungkinkan pemberian cairan
lebih sedikit selama prosedur sambil mempertahankan keadaan euvole-mic. Data
klinis obyektif (misalnya, volume stroke, variasi volume stroke, curah jantung,
resistensi pembuluh darah sistemik, dan tekanan darah berkelanjutan) disediakan
monitor cairan non-invasif
c. Manajemen Pascaoperasi
Elemen pasca operasi dari protokol ERAS dibangun di atas perawatan pra
operasi dan intraoperatif yang dioptimalkan. Keberhasilan penerapan unsur-unsur
pra-operatif dan intraoperatif dari protokol ERAS memungkinkan pasien untuk
memobilisasi dan makan pada hari operasi, dapat meningkatkan pemulihan.
Komponen kunci dari protokol ERAS pasca operasi adalah evaluasi pra operasi
untuk mencegah PONV dan ileus, mendorong nutrisi awal, dan ambulasi dini. Di
institusi kami, anestesi melengkapi penilaian risiko PONV untuk menentukan
profilaksis. LOS pasca operasi juga menurun dengan kepatuhan dari protokol.
Pascaoperasi, cairan diberikan melalui terapi yang diarahkan pada tujuan, dengan
pemantauan ketat terhadap status hidrasi pasien untuk mencapai keseimbangan
cairan yang optimal. Secara umum, pasien pasca operasi hanya memerlukan
cairan IV diberikan pada 40 mL / jam sampai mentoleransi 600 mL melalui mulut.
Pemberian analgesia nonopioid pasca operasi memberikan kontrol nyeri yang
lebih baik tanpa efek merugikan dari obat opioid. Selain itu, intervensi
nonfarmakologis didorong untuk kenyamanan pasien. Intervensi yang mengurangi
rasa sakit termasuk selimut hangat di perut, duduk di samping tempat tidur
sebelum ambulasi, musik dengan nada rendah, dan tanpa gangguan. Asuhan
keperawatan yang berpusat pada pasien yang sangat baik di PACU sangat penting
untuk mendukung efektivitas intervensi nonfarmakologis. Metode anestesi, tap
block, juga mengurangi rasa sakit pasca operasi. Blok keran biasanya memiliki
efek anestesi lokal yang bertahan sekitar 96 jam. Obat analgesia lain yang terfokus
untuk protokol ERAS adalah ga- bapentin, tramadol, acetaminophen, dan
ketorolac tromethamine yang diberikan sepanjang waktu selama 24 jam pertama
pasca operasi bersamaan dengan onsetsetron untuk pencegahan PONV.
Pendekatan ini memberikan langkah-langkah kenyamanan yang komprehensif
untuk meningkatkan pemulihan. Analgesik opioid (misalnya, oxycodone
hydrochloride dan hydromorphone) juga tersedia untuk skor nyeri lebih dari 7
pada skala numerik 0 hingga 10, namun tidak diberikan sampai ukuran
kenyamanan yang lain tidak berhasil.
Implementasi melalui : PENDIDIKAN STAKEHOLDER. Langkah pertama
untuk implementasi yang sukses adalah mengidentifikasi dan mendidik para
pemangku kepentingan tentang pentingnya protokol ERAS. Para pemangku
kepentingan kunci yang diidentifikasi untuk keberhasilan proyek termasuk staf
keperawatan dari unit operasi rawat jalan (ASU), OR, PACU, dan unit rawat inap
bedah, personel asisten yang tidak berlisensi, terapi fisik, hospitalists, anestesi,
keperawatan kepemimpinan, farmasi, perawat pendidik, dan tim informatika. Satu
ahli bedah kolorektal adalah juara untuk menerapkan protokol ERAS dan terbukti
penting dalam mendidik dan berkomunikasi dengan yang lain ahli bedah dan
penyedia anestesi, yang keterlibatannya sangat penting untuk sukses. Keperawatan
kepemimpinan (misalnya, Manajer Unit) mendukung tidak hanya untuk
pendidikan tetapi juga untuk merencanakan proses implementasi memfasilitasi
pelatihan staf dan kepatuhan terhadap protokol. Pendidikan pemangku
kepentingan menggunakan STC dengan pembekalan dan perbaikan secara real-
time. STC memungkinkan evaluasi setiap langkah implementasi untuk efisiensi
dan efektivitas maksimum, dan melibatkan umpan balik pemangku kepentingan.
Ini memfasilitasi pengembangan dan keberhasilan implementasi protokol ERAS.
Penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., (2016) mengungkapkan bahwa The
American Pain Society (APS) menghadirkan panel dari 23 member meliputi expert
dari anastesi, ahli berdah, perawat, ahli kandungan, ahli perawatan anak, farmasi
rumah sakit, dan psikologi untuk meriview penelitian merumuskan panduan
managemen nyeri. Dalam artikel ini mngungkapkan beberapa intervensi:
Edukasi pre operasi dan perencanaan managemen nyeri perioperative.
1) Panel merekomendasikan tenaga klinis menghadirkan pasien center care dan
keluarga center care, edukasi secara individual meliputi informasi: opsi treatment
untuk managemen nyeri post operatif, document perencanaan, dan pencapaian
post operasi.
2) Panel merekomendasikan pasien dewasa dan orang tua dari anak yang akan
mendapatkan tindakan operasi mendapatkan konseling anastesi.
3) Panel merekomendasikan pemeriksaan skala nyeri pre operasi
4) Panel merekomendasikan tenaga klinis membuat perencanaan managemen nyeri
dari dasar
5) Panel merekomendasikan menggunakan format pemeriksaan yang telah divalidasi
untuk merekam respon nyeri dari awal.
6) Panel merekomendasikan menggunakan multimodal analgesic dan kombinasi
intervensi farmakologi dan non farmakologi.
Penggunaan modalitas fisik
7) Dan 8)
8) Melakukan treatment : transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),
acupuncture, massage, or cold therapy as adjuncts to other postoperative pain
treatments
Terapi modalitas lingkungan
9) Terapi modalitas lingkungan sebagai pencapaian multimodal
Penggunaan dari terapi farmakological sistemik:
10) Terapi intravena (i.v.) administration of opioids for postoperative anal- gesik
11) Menghindari penggunaan rute intramuscular dalam memberikan analgesic.
12) i.v. patient-controlled analgesia (PCA) be used for postoperative systemic
analgesia when the parenteral route is needed .
Dari artikel di atas semuanya bisa dijadikan sumber evidence perawat dalam
meningkatkan kualitas hidup dan memberikan semangat dalam menjalani sakit yang
DAFTAR PUSTAKA
Chou, R., Gordon, D. B., De Leon-Casasola, O. A., Rosenberg, J. M., Bickler, S., Brennan,
guideline from the American pain society, the American society of regional anesthesia
and pain medicine, and the American society of anesthesiologists’ committee on
https://doi.org/10.1016/j.jpain.2015.12.008
Persico, M., Miller, D., Way, C., Williamson, M., O’Keefe, K., Strnatko, D., & Wright, F.
https://doi.org/10.1016/j.jopan.2018.02.005