Anda di halaman 1dari 53

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DAN KELUARGA DENGAN

GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI: HIV, AIDS, DHF, SLE

Dosen Pembimbing: Dr. dr. Aila Karius, M. Kes.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

NAMA MAHASISWA NPM

1. ALLAN ARISYANDI 215140141P


2. DEWI NAGITA A 21424332
3. EKA YULIANA 215140073P
4. MUTIARA YUDA 215140061P
5. NATALIA SIMATUPANG 215140072P
6. PUTERI AULIA REFRIYANI 215140083P
7. PRAN SINATRA 215140079P
8. TAHSYA RIA SHAFIRA A 21424334

PROGRAM STUDI KEERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MITRA INDONESIA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tanpa suatu
halangan apapun. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi kami selaku penulis dan umumnya bagi para pembaca agar dapat
mengetahui tentang “Asuhan Keperawatan pada Anak dan Keluarga dengan
Gangguan Sistem Imunologi: HIV, AIDS, DHF, SLE ”.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami harapkan kritik
dan saran dari pembaca sehingga dalam pembuatan makalah lainnya menjadi
lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Amin Ya
Rabbal Alamin.

Bandar Lampung, 19 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan Laporan ......................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ............................................ 5
2.1.1 Tinjauan Teori ................................................................... 5
2.1.2 Asuhan Keperawatan ....................................................... 9
2.2 Sistemik Lupus Eritematous (SLE) ............................................ 20
2.2.1 Tinjauan Teori ................................................................... 20
2.2.2 Asuhan Keperawatan ....................................................... 24
2.3 HIV/AIDS.................................................................................... 33
2.3.1 Tinjauan Teori ................................................................... 33
2.3.2 Asuhan Keperawatan ....................................................... 37

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .............................................................................. 48

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 49

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak merupakan sebagian individu yang unik dan mempunyai
kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya, kebutuhan tersebut
dapat meliputi kebutuhan fisiologis seperti nutirisi dan cairan, aktifitas dan
eliminasi, istirahat tidur dan lain-lain, anak juga individu yang membutuhkan
kebutuhan psikologis sosial dan spiritual. Anak merupakan individu yang
berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari
bayi hingga remaja (Jing & Ming 2019).
Anak pada masa usia prasekolah disebut sebagai masa yang sangat
aktif seiring dengan masa perkembangan otot yang sedang tumbuh dan
peningkatan aktivitas bermainnya. Para ahli menggolongkan usia balita
pada usia pra-sekolah sebagai tahapan perkembangan anak yang cukup
rentan terhadap berbagai serangan penyakit dan penyakit yang sering
dijumpai adalah penyakit infeksi (Wowor et al. 2017).
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui
nyamuk terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di
daerah tropis dan subtropis di antaranya kepulauan di Indonesia hingga
bagian utara Australia. Menurut data (WHO 2016) Penyakit demam
berdarah dengue pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun
1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar keberbagai negara. Sebelum
tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DHF, namun
sekarang DHF menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara,
diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat. Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka
tertinggi kasus DHF. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat telah melewati 1,2 juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta
kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta

1
kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DHF berat
(Kementerian Kesehatan RI 2016).
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat
sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang
didapat penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang
berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang
oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering
dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih
berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan
trombositopenia.
Infeksi HIV/AIDS (Human immuno Deficiency Virus / Acquired
Immune Deficiency Syndrom) pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual, sedangkan pada
anak tahun 1983. enam tahun kemudian (1989), AIDS sudah termasuk
penyakit yang mengancam anak di amerika. Di seluruh dunia, AIDS
menyebabkan kematian pada lebih dari 8000 orang setiap hari saat ini,
yang berarti 1 orang setiap 10 detik, karena itu infeksi HIV dianggap
sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan
Amman pada tahun 1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS
pada anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan
Desember di Amerika dilaporkan 1995 maupun pada anak yang
berumur kurang dari 13 tahun menderita HIV dan pada bulan Maret 1993
terdapat 4480 kasus. Jumlah ini merupakan 1,5 % dan seluruh jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988
terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada
orang dewasa maupun pada anak –anak tertinggi didunia adalah di Afrika.
Sejak dimulainya epidemi HIV/ AIDS, telah mematikan lebih dan 25 juta
orang, lebih dan 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang

2
tuanya karena AIDS. Setiap tahun juga diperkirakan 3 juta orang
meninggal karena AIDS, 500 000 diantaranya adalah anak usia dibawah 15
tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di
negara terbelakang atau berkembang, dengan angka transmisi sebesar ini
maka dari 37,8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005,
terdapat 2,1 juta anak-anak dibawah 15 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa definisi dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
2) Apa etiologi dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
3) Bagaimana manifestasi klinis dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
4) Bagaimana patofisiologi dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
5) Bagaimana penatalaksanaan dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
6) Bagaimana asuhan Keperawatan dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
7) Bagaimana pengkajian dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
8) Bagaimana diagnosa keperawatan dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
9) Bagaimana intervensi keperawatan dari DHF, SLE, HIV/AIDS?

1.3 Tujuan Penulisan Laporan


1.3.1 Tujuan Umum
Anggota kelompok mampu memahami “Asuhan Keperawatan pada
Anak dan Keluarga dengan Gangguan Sistem Imunologi: HIV, AIDS,
DHF, SLE".

1.3.2 Tujuan Khusus


1) Diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi Apa definisi dari
DHF, SLE, HIV/AIDS?
2) Diharapkan mahasiswa mampu memahami etiologi dari DHF, SLE,
HIV/AIDS?
3) Diharapkan mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis dari
DHF, SLE, HIV/AIDS?

3
4) Diharapkan mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari DHF,
SLE, HIV/AIDS?
5) Diharapkan mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari
DHF, SLE, HIV/AIDS?
6) Diharapkan mahasiswa mampu memahami asuhan Keperawatan
dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
7) Diharapkan mahasiswa mampu memahami pengkajian dari DHF,
SLE, HIV/AIDS?
8) Diharapkan mahasiswa mampu memahami diagnosa keperawatan
dari DHF, SLE, HIV/AIDS?
9) Diharapkan mahasiswa mampu memahami intervensi keperawatan
dari DHF, SLE, HIV/AIDS?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


2.1.1 Tinjauan Teori
2.1.1.1 Pengertian
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang
menyerang anak dan orang dewasa yang disebabkan oleh virus
dengan manifestasi berupa demam akut, perdarahan, nyeri otot dan
sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod Born Virus)
yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti atau oleh Aedes
Aebopictus (Wijayaningsih 2017).
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) menular melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. DHF merupakan penyakit berbasis vektor yang menjadi
penyebab kematian utama di banyak negara tropis. Penyakit DHF 10
11 bersifat endemis, sering menyerang masyarakat dalam bentuk
wabah dan disertai dengan angka kematian yang cukup tinggi,
khususnya pada mereka yang berusia dibawah 15 tahun (Harmawan
2018).

2.1.1.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat
4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibody terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotype
lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia (Nurarif & Kusuma 2015)

5
2.1.1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada penderita DHF antara lain demam akut selama
2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai
berikut:
1) Nyeri kepala
2) Nyeri retro-orbital 18
3) Myalgia atau arthralgia
4) Ruam kulit
5) Manifestasi perdarahan seperti petekie atau uji bending positif
6) Leukopenia
7) Pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan DD/DBD yang
sudah di konfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama (Nurarif &
Kusuma 2015)

2.1.1.4 Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan
menimbulkan viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh
pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga menyebabkan
(pelepasan zat bradikinin, serotinin, trombin, histamin) terjadinya:
peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada
dinding pembuluh darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan
plasma dari intravascular ke intersisiel yang menyebabkan hipovolemia.
Trombositopenia dapat terjadi 16 akibat dari penurunan produksi
trombosit sebagai reaksi dari antibodi melawan virus (Murwani 2018).
Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik
kulit seperti petekia atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini
mengakibatkan adanya kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan
mekanisme hemostatis secara normal. Hal tersebut dapat menimbulkan
perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan menimbulkan syok.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus akan
masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

6
Pertama tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan
penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot pegal pegal
di seluruh tubuh, ruam atau bintik bintik merah pada kulit, hiperemia
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi pembesaran kelenjar
getah bening, pembesaran hati atau hepatomegali (Murwani 2018).
Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks
virus antibodi. Dalam sirkulasi dan akan mengativasi sistem
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan di lepas C3a dan C5a dua
peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya pembesaran
plasma ke ruang ekstraseluler. Pembesaran plasma ke ruang eksta
seluler mengakibatkan kekurangan volume plasma, terjadi hipotensi,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan atau
syok. Hemokonsentrasi atau 17 peningkatan hematokrit >20%
menunjukan atau menggambarkan adanya kebocoran atau
perembesan sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena (Murwani 2018). Adanya kebocoran plasma
ke daerah ekstra vaskuler di buktikan dengan ditemukan cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan
melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian
cairan intravena harus di kurangi kecepatan dan jumlahnya untuk
mencegah terjadi edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak
mendapat cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan
cairan yang akan mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa
mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama
akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila
tidak segera diatasi dengan baik (Murwani 2018).

7
2.1.1.5 Penatalaksanaan
Dasar pelaksanaan penderita DHF adalah pengganti cairan yang hilang
sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan
peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan kebocoran plasma.
Selain itu, perlu juga diberikan obat penurun panas (Rampengan 2017).
1) Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Tanpa Syok
Penatalaksanaan disesuaikan dengan gambaran klinis maupun fase,
dan untuk diagnosis DHF pada derajat I dan II menunjukkan bahwa
anak mengalami DHF tanpa syok sedangkan pada derajat III dan
derajat IV maka anak mengalami DHF disertai dengan syok.
Tatalaksana untuk anak yang dirawat di rumah sakit meliputi:
a) Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air sirup,
susu untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran
plasma, demam, muntah, dan diare.
b) Berikan parasetamol bila demam, jangan berikan asetosal atau
ibuprofen karena dapat merangsang terjadinya perdarahan.
c) Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
1) Berikan hanya larutan isotonik seperti ringer laktat atau asetat.
2) Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa
laboratorium (hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin)
tiap 6 jam.
3) Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik,
turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan
stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu
24-48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah
pemberian cairan.
4) Apabila terjadi perburukan klinis maka berikan tatalaksana
sesuai dengan tatalaksana syok terkompensasi.

8
2) Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic Fever Dengan Syok
Penatalaksanaan DHF menurut WHO (2016), meliputi:
a) Perlakukan sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit
secara nasal.
b) Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetan
secepatnya.
c) Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian
kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau
pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/kg BB/jam maksimal 30
ml/kgBB/24 jam.
d) Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin
menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi:
berikan transfusi darah atau komponen.
e) Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer
mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi
hingga 10 ml/kgBB dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan
tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis laboratorium.
f) Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah
36- 48 jam. Perlu diingat banyak kematian terjadi karena
pemberian cairan yang terlalu banyak dari pada pemberian yang
terlalu sedikit.

2.1.2 Asuhan Keperawatan


2.1.2.1 Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar
utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali
masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit
(Widyorini et al. 2017).
1) Identitas Pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak
dengan usia kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat,

9
pendidikan, nama orang tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan
orang tua.
2) Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang
kerumah sakit adalah panas tinggi dan anak lemah
3) Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai
menggigil dan saat demam kesadaran composmetis. Turunnya
panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7 dan anak semakin lemah.
Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual,
muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot,
dan persendian, nyeri ulu hati, dan pergerakan bola mata terasa
pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade
III. IV), melena atau hematemesis.
4) Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF anak biasanya
mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe virus lain.
5) Riwayat Imunisasi Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik,
maka kemungkinan akan timbulnya koplikasi dapat dihindarkan.
6) Riwayat Gizi Status gizi anak DHF dapat bervariasi.
Semua anak dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko,
apabila terdapat factor predisposisinya. Anak yang menderita DHF
sering mengalami keluhan mual, muntah dan tidak nafsu makan.
Apabila kondisi berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan
nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan
berat badan sehingga status gizinya berkurang.
7) Kondisi Lingkungan Sering terjadi di daerah yang padat
penduduknya dan lingkungan yang kurang bersih (seperti air yang
menggenang atau gantungan baju dikamar)

10
8) Pola Kebiasaan
a) Nutrisi dan metabolisme: frekuensi, jenis, nafsu makan
berkurang dan menurun.
b) Eliminasi (buang air besar): kadang-kadang anak yang
mengalami diare atau konstipasi. Sementara DHF pada grade
IV sering terjadi hematuria.
c) Tidur dan istirahat: anak sering mengalami kurang tidur karena
mengalami sakit atau nyeri otot dan persendian sehingga
kuantitas dan kualitas tidur maupun istirahatnya berkurang.
d) Kebersihan: upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan cenderung kurang terutama untuk membersihkan
tempat sarang nyamuk Aedes aegypty.
e) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta
upaya untuk menjaga kesehatan.

9) Pemeriksaan fisik, meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi


dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan DHF,
keadaan anak adalah sebagai berikut :
a) Grade I yaitu kesadaran composmentis, keadaan umum lemah,
tanda-tanda vital dan nadi lemah.
b) Grade II yaitu kesadaran composmetis, keadaan umum lemah,
ada perdarahan spontan petechie, perdarahan gusi dan telinga,
serta nadi lemah, kecil, dan tidak teratur.
c) Grade III yaitu kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum
lemah, nadi lemah, kecil dan tidak teratur, serta takanan darah
menurun.
d) Grade IV yaitu kesadaran coma, tanda-tanda vital : nadi tidak
teraba, tekanan darah tidak teratur, pernafasan tidak teratur,
ekstremitas dingin, berkeringat, dan kulit tampak biru.

11
10) Sistem Integumen
a) Adanya ptechiae pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul
keringat dingin, dan lembab
b) Kuku sianosis atau tidak
c) Kepala dan leher : kepala terasa nyeri, muka tampak
kemerahan karena demam, mata anemis, hidung kadang
mengalami perdarahan atau epitaksis pada grade II,III,IV. Pada
mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering , terjadi
perdarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokan
mengalami hyperemia pharing dan terjadi perdarahan ditelinga
(pada grade II,III,IV).
d) Dada : bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada
poto thorak terdapat cairan yang tertimbun pada paru sebelah
kanan (efusi pleura), rales +, ronchi +, yang biasanya terdapat
pada grade III dan IV.
e) Abdomen mengalami nyeri tekan, pembesaran hati atau
hepatomegaly dan asites
f) Ekstremitas : dingin serta terjadi nyeri otot sendi dan tulang.

11) Pemeriksaan laboratorium


a) HB dan PVC meningkat (≥20%) 2) Trombositopenia (≤ 100.000/
ml) 3) Leukopenia ( mungkin normal atau lekositosis) 4) Ig. D
dengue positif
b) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hipokloremia, dan hiponatremia
c) Ureum dan pH darah mungkin meningkat
d) Asidosis metabolic : pCO2

12
2.1.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus DHF pada anak
yaitu: (Erdin 2018) (SDKI DPP PPNI 2017) :
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan
suhu tubuh diatas nilai normal
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai
dengan pasien mengeluh nyeri
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan
untuk makan)
5) Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler ditandai dengan kebocoran plasma darah
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi
8) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
9) Risiko perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia)
10) Risiko syok ditandai dengan kekurangan volume cairan

2.1.2.3 Intervensi Keperawatan


Intervens keperawatan berdasarkan SIKI DPP PPNI 2018) (SLKI DPP
PPNI 2019):
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas
Tujuan : Mempertahankan pola pernafasan normal/efektif
Kriteria Hasi : 1) Kapasitas vital meningkat
2) Dispneu menurun
3) Frekuensi napas membaik

13
Intervensi :
Observasi
• Monitor pola napas (frekuensi, usaha napas)
• Monitor bunyi napas tambahan (mis, gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi basah)
• Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
• Posisikan semi fowler atau fowler
• Berikan minum hangat
• Berikan oksigen, jika perlu Edukasi
• Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu

2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit


Tujuan : Suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal
Kriteria Hasil : 1) Menggigil menurun
2) Kulit merah menurun
3) Suhu tubuh membaik
4) Tekanan darah membaik
Intervensi :
Observasi
• Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan incubator)
• Monitor suhu tubuh
• Monitor kadar elektrolit
• Monitor haluaran urine
Terapeutik
• Sediakan lingkungan yang dingin
• Longgarkan atau lepaskan pakaian

14
• Basahi dan kipasi permukaan tubuh
• Berikan cairan oral
• Lakukan pendinginan eksternal (mis, kompres dingin pada dahi,
leher, dada, abdomen, aksila)
• Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
• Berikan oksigen, jika perlu Edukasi l) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai


dengan pasien mengeluh nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi maka diharapkan nyeri
dapat menurun
Kriteria hasil : a) Keluhan nyeri menurun
b) Meringis menurun
c) Sikap protektif menurun
d) Gelisah menurun
e) Kesulitan tidur menurun
Intervensi:
Observasi
• Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan
intensitas nyeri
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respons nyeri non verbal
Terapeutik
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Edukasi
• Ajarkan teknik non farmakologis (mis. Teknik nafas dalam)
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik (jika perlu)

15
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan
untuk
makan)
Tujuan : Anoreksia dan kebutuhan nutrisi dapat teratasi.
Kriteria Hasil : 1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
2) Frekuensi makan membaik
3) Nafsu makan membaik
Intervensi :
Observasi
• Identifikasi status nutrisi
• Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
• Identifikasi makanan yang disukai
• Monitor asupan makan
• Monitor berat badan
• Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
• Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
• Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
• Berikan suplemen makanan, jika perlu
Edukasi
• Anjurkan posisi duduk, jika mampu
• Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis, Pereda nyeri,
antimietik), jika perlu
• Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

16
5) Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler
Tujuan : Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi
Kriteria Hasil : 1) Turgor kulit meningkat
2) Output urine meningkat
3) Tekanan darah dan nadi membaik
4) Kadar Hb membaik
Intervensi :
Observasi
• Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis, frekuensi nadi
meningkat, nadi terasa lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering,
volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus lemah)
• Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
• Berikan asupan cairan oral
Edukasi
• Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis, NaCl, RL)
• Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis, glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
• Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis, albumin, plasmanate)
• Kolaborasi pemberian produk darah

6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


Tujuan : Peningkatan terhadap aktifitas dapat diukur tidak
adanya kelemahan berlebihan dalam 3 x 24 jam
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, klien dapat
Beraktifitas sesuai dengan kemampuannya

17
Intervensi :
• Observasi tanda-tanda vital
• Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase
akut
• Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
• Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat
• Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan

7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi


Tujuan : Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit
meningkat
Kriteria hasil : Klien mengerti tentang proses penyakit DHF
Intervensi :
• Kaji tingkat pendidikan klien.
• Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF
• Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF
melalui Penkes.
• beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum
dimengerti atau diketahuinya.
• Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada
klien

8) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional


Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka
diharapkan ansietas menurun
Kriteria hasil : a) Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi
menurun
b) Perilaku gelisah menurun
c) Pola tidur membaik

18
Intervensi :
Observasi
• Monitor tanda – tanda ansietas. Terapeutik
• Bangun kepercayaan, keamanan dan hak untuk mendapatkan
akses dengan hati - hati.
• Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
Edukasi
• Sediakan informasi faktual (nyata dan benar) kepada pasien dan
keluarga menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
• Lakukan tindakan pengalihan untuk menurunkan tingkat
kecemasan (misalnya : terapi bermain).
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

9) Risiko perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia)


Tujuan :Perdarahan tidak terjadi
Kriteria hasil : Trombosit dalam batas normal
Intervensi
• Kaji adanya perdarahan
• Observasi tanda-tanda vital
• Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.
• Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien
• Monitor hasil darah, Trombosit
• Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian
cairan intra vena.

10) Risiko syok ditandai dengan kekurangan volume cairan


Tujuan : Shock hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil : Volume cairan tubuh tetap normal, kesadaran
composmentis.

19
Intervensi
• Observasi tingkat kesadaran klien
• Observasi tanda-tanda vital
• Observasi out put dan input cairan (balance cairan)
• Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
• kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

2.2 Sistemik Lupus Eritematous (SLE)


2.2.1 Tinjauan Teori
2.2.1.1 Pengertian
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun
multisystem dimana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan
yang dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun.
Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit
maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE kompleks dan
sejalan dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi
tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awalyang
memicunya masih belumdiketahui.Sesuai dengan teori, pada kasus ini
juga terdapat penglibatan multisystem yaitu system mukokutan (malar
rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology
(serebri) dan ginjal (nefritis).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan imun
radang kronis yang mempengaruhi kulit dan orga tubuh lain. Antibodi
pada Deoxyribose-Nucleid Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA)
menyebabkan respon peradangan autoimun,mengakibatkan bengkak
dan sakit. Ini paling banyak terjadi pada wanita muda, dan mempunyai
faktor genetik kuat (Digivlio dkk, 2014).

20
2.2.1.2 Etiologi
Penyakit lupus terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan auto antibody yang berlebihan. Gangguan
imunorgulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik,hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini penyebab Lupus belum
diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan
pada patofisiologi Lupus. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan tubuh berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada Lupus dan penyakit
autoimun lainya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik menyerang
tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri
(Judha & Setiawan, 2015).

2.2.1.3 Manifestasi Klinis


Penderita menyatakan bahwa ketika terjadi lupus terdapat tanda:
1) Bintik-bintik diwajah, gambaran bintik-bintik tersebut menyerupai
kupu-kupu
2) Adanya bengkak-bengkak seluruh tubuh
3) Nyeri sendi
4) Adanya gangguan pada ginjal dan paru
5) Adanya kelemahan dan rasa cepat lelah setelah menderita lupus,
sehingga menganggu kegiatan sehari-hari (Judha & Setiawan,
2015).

2.2.1.4 Patofisiologi
Pada SLE juga terdapat kelainan pada unsur-unsur sistem imun. Dalam
keadaan normal, makrofag yang berupa Antigen Presenting Cell (APC)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Tetapi pada penderita

21
lupus, beberapa reseptor yang terdapat pada permukaan sel T
mengalami perubahan baik pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T. Faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya
lupus antara lain paparan sinar ultraviolet, agen infeksius seperti virus
dan bakteri, serta obat-obatan yang diminum dalam jangka waktu
tertentu diantaranya prokainamid, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, dan
penisilamin. Peningkatan hormon dalam tubuh juga dapat memicu
terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara
peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Jadi,
estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak
adekuat pada laki-laki maupun perempuan mungkin bertanggung jawab
terhadap perubahan respon imun (Alexis et al., 2013; Setiati et al.,
2014).

2.2.1.5 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi
adalahb mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi
peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien
dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang
lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan
kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan
lain yang menekan sistem imunitas. Pasien dengan SLE lebih
membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan
bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam
menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat
pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur.
Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot
dan luas gerakan dari persendian.

22
2.2.1.6 Dampak SLE untuk anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga
dan dukungan sangat diperlukan. Pendidikan sering meru pakan
langkah pertama dalam membantu keluarga merasa bahwa mereka
memiliki kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak terlalu
membebani keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah
diagnosis. Perawat dapat memainkan peran kunci dalam membantu
mereka dengan belajar tentang penyakit dengan sering telepon tindak
lanjut dan kunjungan. Informasi tertulis dan review dari penyakit dan
efek samping pengobatan yang sering diperlukan (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga
atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis.
Saat ini, meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan
hanya sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan yang
lebih lanjut diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak
dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun dan kemudian
memiliki flare dari penyakit mereka, sangat menegangkan. Hal ini
kembali memperkuat kronisitas SLE dan keluarga mungkin memiliki
waktu yang lebih sulit menghadapi flare penyakit daripada di diagnosis
asli.
Anak-anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim
kesehatan profesional untuk membantu mereka melalui sampai
dewasa. Sebagai anak-anak bertambah tua adalah penting bahwa tim
kesehatan mendorong keluarga untuk memberikan peningkatan kontrol
manajemen penyakit pada anak. Ini transisi dari manajemen penyakit
dari orang tua kepada anak dapat dibantu dengan memiliki transisi
yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh anak dewasa dan
dokter. Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti bahwa
pemantauan ketat akan selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak

23
beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak membiarkan Penyakit
mereka mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal ini
dapat sangat diperlukan penghargaan untuk mmembantu tumbuh
menjadi orang-orang dewasa yangsehat sukses (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007)

2.2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi suatu kesehatan pasien (
Lyer et.al, 1999 dalam Nursalam 2009).
1) Tipe Data: Data subjektif dan data objektif
2) Sumber Data: Sumber data yang dikumpulkan dapat diperoleh tidak
hanya dari pasien tetapi dari orang terdekat (keluarga), catatan,
riwayat penyakit terdahulu, konsultasi dengan terapis, hasil
pemeriksaan diagnostik, catatan medis, dan sumber kepustakaan.
3) Riwayat Penyakit: Pemeriksaan fisik dan cacatan perkembangan
merupakan riwayat penyakit yang diperoleh dari terapis. Informasi
yang diperoleh adalah hal-hal yang difokuskan pada identifikasi
patologis dan untuk menentukan rencana intervensi medis
(Nursalam,2009).
4) Konsultasi: Kadang-kadang terapis memerlukan konsultasi dengan
anggota tim kesehatan spesialis, khususnya dalam menentukan
diagnosis medis atau dalam merencanakan dan melakukan
tindakan medis. Informasi tersebut dapat diambil guna membantu
menegakkan diagnosis medis (Nursalam,2009).
5) Hasil Pemeriksaan Diagnostik: Hasil pemeriksaan laboraturium dan
tes diagnostic dapat digunakan perawat sebagai data objektif yang
disesuaikan dengan msalah kesehatan klien. Hasil pemeriksaan
diagnostik dapat membantu terapis untuk menetapkan diagnosis

24
medis dan membantu perawat untuk mengevaluasi keberhasilan
asuhan keperawatan (Nursalam, 2009).
6) Catatan Medis dan Anggota Tim Kesehatan Lainya
Anggota tim kesehatan lain juga merupakan personel yang
berhubungan dengan klien. Mereka memberikan intervensi,
mengevaluasi, dan mendokumentasikan hasil pada status klien
sesuai dengan spesialisnya masing-masing. Catatan kesehatan
yang terdahulu dapat dipergunakan sebagai sumber data yang
mendukung rencana asuhan keperawatan (Nursalam,2009).
7) Perawat lain
Jika pasien adalah rujukan dari pelayanan kesehatan lain, maka
perawat harus meminta informasi kepada yang telah merawat
pasien sebelumnya, hal ini dimasudkan untuk kesinambungan dari
tindakan keperawatan yang telah diberikan (Nursalam,2009).
8) Kepustakaan
Untuk melaporkan data dasar klien yang komperhensif, perawat
dapat membaca literature yang berhubungan dengan masalah
klien. Memperoleh literature sangat membantu perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang benar dan tepat
(Nursalam,2009).

Menurut Hidayat (2012) dalam Endarsari (2015), data yang ditemukan


pada pasien Lupus adalah :
(a) Sistim musculoskeletal : artalgia, artritis, pembengkakan sendi, nyeri
tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
(b) Sistim integumen : lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal serta pipi.
(c) Sistim kardiak : pericarditis merupakan manifestasi kardiak.
(d) Sistim pernafasan : pleuritis atau efusi pleura.

25
(e) Sistim vaskuler : iflamasi pada arteriole, dan purpura di ujung jari
kaki, tangan, siku, serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjur nekrosis.
(f) Sistim perkemihan : biasanya yang terkena glomerulus renal.
(g) Sistim saraf : spektum gangguan sistim saraf pusat sangat luas dan
mencakup seluruh bentuk penyakit neurologic, sering terjadi depresi
dan psikosis. Pola nutrisi-metabolik : status gizi masukan nutrisi,
belance cairan dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet,
fluktuasi berat badan dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan,
mual dan muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah penyembuhan
kulit, makanan kesukaan.

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2010), pengkajian pada


pasien Lupus dengan Risiko Infeksi meliputi :
(a) Hemoglobin
(b) leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
(c) Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
(d) Tes imunologik awal tes ANA dan pengukuran suhu tubuh.

2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan dibuktikan dengan membran mukosa pucat, berat badan
menurun, nafsu makan menurun
2) Gangguan eleminasi urine berhubungan dengan iritasi kandung
kemih ditandai dengan enuresis berkemih tidak tuntas.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dibuktikan
dengan mengeluh lelah, dispnea saat/setelah beraktivitas.
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis dibuktikan
dengan pasien tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat,
bersikap protektif, diaforesis, TD dan RR meningkat.

26
5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor hormonal
(penyakit SLE) dibuktikan dengan kerusakan aringaan dan/atau
lapisan kulit, nyeri, kemerahan, hematoma, edema, ruam.
6) Risiko Cedera berhubungan dengan disfungsi autoimun
7) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakmampuan pertahanan
tubuh sekunder.

2.2.2.3 Intervensi Keperawatan


1) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan dibuktikan dengan membran mukosa pucat, berat badan
menurun, nafsu makan menurun
Tujuan : Status nutrisi membaik
Kriteria hasil : 1) Berat badan (IMT) membaik
2) Frekuensi makan membaik
3) Nafsu makan membaik
4) Membran mukosa membaik
5) Porsi makan yang dihabiskan meningkat
6) Bising usus membaik.
Intervensi :
Observasi
• Ideniikasi status nutrisi
• Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
• Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
• Identifikasi perlunya pemasangan NGT
• Monitor asupan makanan.
• Monitor berat badan
• Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
• Lakukan oral hygiene sebeum makan jika perlu
• Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
• Berikan makanan tinggi kalori dan protein

27
• Berikan sulemen makanan jika perlu
• Hentikan pemberian makanan melalui NGT jika asupan oral
adekuat.
Edukasi
• Anjurkan posisi duduk jika mampu
• Ajarkan program diet yang diajarkan.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan.

2) Gangguan eleminasi urine berhubungan dengan iritasi kandung


kemih ditandai dengan enuresis berkemih tidak tuntas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, gangguan
eliminasi urin teratasi

Kriteria hasil : a) Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4


jam.
b) Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia
urine.
c) Klien berkemih dalam keadaan rileks
Intervensi
Observasi
• Identifkasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urine
• Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia
urine
• Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi, konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik
• Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
• Batasi asupan cairan, jika perlu
• Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur

28
Edukasi
• Ajarkan pada keluarga tanda dan gejala infeksi saluran kemih
• Ajarkan pada keluarga mengukur asupan cairan dan haluaran
urine
• Anjurkan pada keluarga mengambil specimen urine midstream
• Ajarkan pada keluarga mengenali tanda berkemih dan waktu yang
tepat untuk berkemih
• Ajarkan pada keluarga terapi modalitas penguatan otot-otot
pinggul/berkemihan
• Anjurkan pada keluarga minum yang cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
• Anjurkan pada keluarga mengurangi minum menjelang tidur

Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian obat suposituria uretra jika perlu

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dibuktikan


dengan mengeluh lelah, dispnea saat/setelah beraktivitas.
Tujuan : Peningkatan terhadap aktifitas dapat diukur tidak
adanya kelemahan berlebihan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, klien dapat
beraktifitas sesuai dengan kemampuannya
Intervensi :
• Observasi tanda-tanda vital
• Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama
fase akut
• Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
• Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat
• Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan

29
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis dibuktikan
dengan pasien tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat,
bersikap protektif, diaforesis, TD dan RR meningkat.
Tujuan : Kontrol nyeri meningkat
Kriteria hasil : 1) Melaporkan nyeri terkontrol meningkat
2) Kemampuan menggunakan teknik
nonfarmakologi
3) Keluhan nyeri menurun
4) Penggunaan analgetik menurun.
Intervensi:
Observasi
• Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respon nyeri nonverbal
• Identifikasi faktor yag memperberat dan memperingan nyeri
• Identiikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
• Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
• Berikan teknik nonfarmakologi untuk mngurangi rasa nyeri
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
• Faasilitasi istirahat dan tidur.
• Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
• Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
• Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mngurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu.

30
5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor hormonal
(penyakit SLE) dibuktikan dengan kerusakan aringaan dan/atau
lapisan kulit, nyeri, kemerahan, hematoma, edema, ruam.
Tujuan : Integritas kulit dan jaringan meningkat
Kriteria hasil : 1) Elastisitas meningkat
2) Hidrasi meningkat
3) Perfusi jaringan meningkat
4) Kerusakan jaringan menurun
5) Kerusakan lapisan kulit menurun
6) Kemerahan pada kulit menurun.
Intervensi:
Observasi
• Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit terapeutik
• Ubah posis pasien tiap 2 jam jika tirah baring
• Lakukan pemijatan pada penonjolan tulang jika memungkinkan.
• Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit
kering.
• Gunakan produk berbahan ringan atau alami dan hipoalergik pada
kulit sensitif.
• Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering.
Edukasi
• Anjurkan menggunakan pelembab
• Anjurkan minum yang cukup
• Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

6) Risiko Cedera berhubungan dengan disfungsi autoimun


Tujuan : Tidak terjadi cidera
Kriteria hasil : a) Klien terbebas dari cidera
b) Klien/keluarga mampu menjelaskan cara/metode
untuk menjegah injury/cidera

31
c) Klien/keluarga mampu mejelaskan factor resiko dari
lingkungan/ prilaku personal
d) Keluarga mampu memodifikasi gaya hidup untuk
mencegah injury
e) Keluarga mampu mengenali perubahan status
kesahatan
Intervensi
• Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
• Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi
fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat terdahulu pasien
• Menghindari lingkungan yang berbahaya
• Mengontrol lingkungan dari kebisingan
• Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung
adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

7) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakmampuan pertahanan


tubuh sekunder.
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Kriteria hasil : a ) Mengindikasikan status gastrointestinal,
pernafasan, dalam batas normal
b) Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
c) Klien dan Keluarga berpartisipasi dalam
perawatan kesehatan
d) Mampu mengidentifikasi faktor resiko

Intervensi
• Pantau suhu dengan teliti
• Tempatkan anak dalam ruangan khusus
• Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk
menggunakan teknik mencuci tangan dengan baik
• Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur
invasive

32
• Evaluasi keadaan anak terhadap tempat tempat munculnya infeksi
seperti tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah
gigi
• Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
• Berikan periode istirahat tanpa gangguan
• Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
• Berikan antibiotik sesuai ketentuan

2.3 HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian
Acquired immunodeficiency syndrom(AIDS)suatu gejala penyakit
yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh
atau gejala penyakit infeksi tertentu / keganasan tertentu yang
timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh
(kekebalan)oleh virus yang disebut dengan HIV. Sedang Human
Imuno Deficiency Virus merupakan virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia yang kemudian mengakibatkan AIDS. HIV
sistem kerjanya menyerang sel darah putih yang menangkal infeksi.
Sel darah putih tersebut termasuk dalam limfosit yang disebut dengan T4
atau sel T penolong. (T helper), atau juga sel CD 4. HIV tergolong dalam
kelompok retrovirus sub kelompok lentivirus. Juga dapat
dikatakanmempunyai kemampuan mengopi cetak materi genetika
sendiri didalam materi genetik sel -sel yang ditumpanginya dan melalui
proses ini HIV dapat mematikan sel -sel T4. (DEPKES: 1997)
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular,
yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat
bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok resiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau
biseksual, penyalahgunaan obat intra vena, penderita hemofilia, dan
penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dan individu yang
terinfeksi virus tersebut. (DORLAN 2002)

33
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai
dan kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala
yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan
berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan
kelainan malignitas yang jarang terjadi. (Centre for Disease Control and
Prevention).

2.1.2 Etiologi
Resiko HIV utama pada anak-anak yaitu:
1) Air susu ibu yang merupakan sarana transmisi
2) Pemakaian obat oleh ibunya
3) Pasangan sexual dari ibunya yang memakai obat intravena
4) Daerah asal ibunya yang tingkat infeksi HIV nya tinggi

2.1.3 Manifestasi Klinis


Gejala mayor :
1) Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
2) Diare kronis lebih dan 1 bulan berulang maupun terus menerus
3) Penurunan berat badan lebih dan 10% dalam 3 bulan (2 dan 3 gejala
utama).
Gejala minor:
1) Batuk kronis selama 1 bulan
2) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida albican
3) Pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh yang menetap
4) Munculnya herpes zosters berulang
5) Bercak –bercak dan gatal-gatal diseluruh tubuh

2.1.4 Patofisiologi
Virus AIDS menyerang sel darah putih (limfosit T4) yang merupakan
sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi.
Dengan memasuki sel T4 , virus memaksa limfosit T4 untuk

34
memperbanyak dirinya sehingga akhirnya menurun, sehingga
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi dari luar (baik virus
lain, bakteri, jamur atau parasit). Hal ini menyebabkan kematian pada
orang yang terjangkit HIV / AIDS. Selain menyerang limfosit T4, virus
AIDS juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena
adalah otak dan susunan saraf lainnya. AIDS diliputi oleh selaput
pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel
otak dan susunan saraf pusat dan tepi lainnya yang dapat
menyebabkan kematian sel otak. Masa inkubasi dan virus ini
berkisar antara 6 bulan sampai dengan 5 tahun, ada yang mencapai
11 tahun, tetapi yang terbanyak kurang dari 11 tahun. (DEPKES 1997)

Pembagian Stadium Pada HIV/AIDS


Secara umum kronologis perjalanan infeksi HIV dan AIDS terbagi menjadi
4 stadium :
1) Stadium HIV
Dimulai dengan masuknya HIV yang diikuti terjadinya perubahan
serologik ketika antibodi terhadap virus tersebut dan negatif
menjadi positif. Waktu masuknya HIV kedalam tubuh hingga HIV
positif selama 1-3 bulan atau bisa sampai 6 bulan ( window
period )
2) Stadium Asimptomatis (tanpa gejala)
Menunjukkan didalam organ tubuh terdapat HIV tetapi belum
menunjukan gejala dan adaptasi berlangsung 5 -10 tahun.
3) Stadium Pembesaran Kelenjar Limfe
Menunjukan adanya pembesaran kelenjar limfe secara menetap
dan merata (persistent generalized lymphadenophaty) dan
berlangsungkurang lebih 1 bulan
4) Stadium AIDS
Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai
bermacam -macam penyakit infeksi sekunder

35
Cara Penularan
1) Hubungan seksual dengan penderita AIDS
2) Penularan dapat terjadi melalui hubungan tanpa alat pelindung
dengan penderita HIV. Air mani, cairan vagina dan darah dapat
mengenai selaput lendir sehinggga HIV yang ada dalam cairan
tersebut masuk kedalam cairan darah. Selain itu juga melalui lesi
mikro pada di dinding alat tersebut yang terjadi saat hubungan
seksual.
3) Darah dan produk darah yang tercemar HIV / AIDS
4) Sangat cepat menularkan HIV karena langsung masuk kedalam
pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh
5) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril.Alat pemeriksa
kandungan dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan
vagina atau mani yang terinveksi HIV yang digunakan ke orang lain
tanpa disterilkan dulu.
6) Alat-alat untuk menoreh kulitJarum, silet, alat tato, pemotong rambut.
7) Menggunakan jarum suntik yang bergantianJarum suntik pada
fasilitas kesehatan, pengguna narkoba sangat berpotensi
terjangkit HIV.

2.1.5 Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah
pencegahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi apabila
terinfeksi HIV maka terapinya yaitu :
1) Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
oportuniti, nosokomial, atau sepsis, tindakan ini harus
dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan yang kritis.
2) Terapi AZT (Azitomidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat
enzim pembalik transcriptase.

36
3) Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas sistem immun dengan menghambat
replikasi virus atau memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obatan ini adalah: didanosina, ribavirin,
diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
4) Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah
interveron
Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.
5) Rehabilitasi bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis,
membantu megubah perilaku resiko tinggi menjadi perilaku kurang
berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan
mempertahankan kondisi hidup sehat.
6) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan
makanan yang sehat, hindari sters, gizi yang kurang, obat-obatan
yang mengganggu fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk
mendidik keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika
anak mengidap AIDS dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.

2.1.6 Asuhan Keperawatan


2.1.6.1 Pengkajian
Pada pengkajian anak HIV positif atau AIDS pada anak rata-rata
dimasa perinatal sekitar usia 9 –17 tahun. Keluhan utama dapat
berupa:
• Demam dan diare yang berkepanjangan
• Tachipnae
• Batuk
• Sesak nafas
• Hipoksia
Kemudian diikuti dengan adanya perubahan :
• Berat badan dan tinggi badan yang tidak naik

37
• Diare lebih dan satu bulan
• Demam lebih dan satu bulan
• Mulut dan faring dijumpai bercak putih
• Limfadenopati yang menyeluruh
• Infeksi yang berulang (otitis media, faringitis)
• Batuk yang menetap (> 1 bulan)
• Dermatitis yang mnyeluruh : pada riwayat penyakit dahulu adanya
riwayat transfusi darah (dari orang yang terinfeksi HIV / AIDS). Pada
ibu atau hubungan seksual. Kemudian pada riwayat penyakit
keluarga dapat dimungkinkan :
• Adanya orang tua yang terinfeksi HIV / AIDS atau penyalahgunaan
obat
• Adanya riwayat ibu selama hamil terinfeksi HIV (50 % TERTULAR)
• Adanya penularan terjadi pada minggu ke 9 hingga minggu ke 20
dari kehamilan Adanya penularan pada proses melahirkan
• Terjadinya kontak darah dan bayi.
• Adanya penularan setelah lahir dapat terjadi melalui ASI
• Adanya kejanggalan pertumbuhan (failure to thrife )

Pada pengkajian faktor resiko anak dan bayi tertular HIV diantaranya :
• Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
• Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
• Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
• Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah
yang berulang
• Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas
yang tidak steril
• Anak remaja yang berhubungan seksual yang berganti-ganti
pasangan

38
Gambaran klinis pada anak nonspesifik seperti :
• Gagal tumbuh
• Berat badan menurun
• Anemia
• Panas berulang
• Limpadenopati
• Hepatosplenomegali
• Adanya infeksi oportunitis yang merupakan infeksi oleh kuman,
parasit, jamur atau protozoa yang menurunkan fungsi immun pada
immunitas selular seperti adanya kandidiasis pada mulut yang
dapat menyebar ke esofagus, adanya keradangan paru, encelofati
dll

Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Mata
• Adanya cotton wool spot ( bercak katun wol ) pada retina
• Retinitis sitomegalovirus
• Khoroiditis toksoplasma
• Perivaskulitis pada retina
• Infeksi pada tepi kelopak mata.
• Mata merah, perih, gatal, berair, banyak sekret, serta berkera
• Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan,
tunggal / multiple

2. Pemeriksaan Mulut
• Adanya stomatitis gangrenosa
• Peridontitis
• Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah datar
kemudian menjadi biru dan sering pada platum (Bates Barbara
1998)

39
3. Pemeriksaan Telinga
• Adanya otitis media
• Adanya nyeri
• Kehilangan pendengaran

4. Sistem pernafasan
• Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
• Sesak nafas
• Tachipnea
• Hipoksia
• Nyeri dada
• Nafas pendek waktu istirahat
• Gagal nafas

5. Pemeriksaan Sistem Pencernaan


• Berat badan menurun
• Anoreksia
• Nyeri pada saat menelan
• Kesulitan menelan
• Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
• Faringitis
• Kandidiasis esofagus
• Kandidiasis mulut
• Selaput lendir kering
• Hepatomegali
• Mual dan muntah
• Kolitis akibat dan diare kronis
• Pembesaran limfa

40
6. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular
• Suhu tubuh meningkat
• Nadi cepat, tekanan darah meningkat
• Gejala gagal jantung kongestiv sekuder akibat kardiomiopatikarena
HIV

7. Pemeriksaan Sistem Integumen


• Adanya varicela (lesi yang sangat luas vesikel yang besar)
• Haemorargie
• Herpes zoster
• Nyeri panas serta malaise
• Aczematoid gingrenosum
• Skabies

8. Pemeriksaan sistem perkemihan


• Didapatkan air seni yang berkurang
• Annuria
• Proteinuria
• Adanya pembesaran kelenjar parotis
• Limfadenopati

9. Pemeriksaan Sistem Neurologi


• Adanya sakit kepala
• Somnolen
• Sukar berkonsentrasiv
• Perubahan perilaku
• Nyeri otot
• Kejang-kejang
• Encelopati
• Gangguan psikomotor
• Penururnan kesadaran

41
• Delirium
• Meningitis
• Keterlambatan perkembangan

10. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal


• Nyeri persendian
• Letih, gangguan gerak
• Nyeri otot (Bates Barbara 1998)

Pemeriksaan Laboratorium
Kemudian pada pemeriksaan diagnostik atau laboratorium didapatkan
adanya anemia, leukositopenia, trombositopenia, jumlah sel T4 menurun
bila T4 dibawah 200, fase AIDS normal 1000-2000 permikrositer., tes
anti body anti-HIV ( tes Ellisa ) menunjukan terinfeksi HIV atau tidak,
atau dengan menguji antibodi anti HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, Lateks,
Agglutination,dan western blot. Penilaian elisa dan latex menunjukan
orang terinfeksi HIV atau tidak, apabila dikatakan positif harus dibuktikan
dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan menguji antigen HIV
yaitu tes antigen P24 ( dengan polymerase chain reaction - PCR ). Kulit
dideteksi dengan tes antibody ( biasanya digunakan pada bayi lahir
dengan ibu terjangkit HIV ).

2.1.6.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan
HIV / AIDS antara lain :
1) Resiko infeksi
2) Kurang nutrisi
3) Kurangnya volume cairan
4) Gangguan intregitas kulit
5) Perubahan atau gangguan membran mukosa
6) Ketidakefektifan koping keluarga
7) Kurangnya pengetahuan keluarga

42
2.1.6.3 Intervensi Keperawatan
1. Resiko infeksi
Resiko terjadinya infeksi pada anak dengan HIV /AIDS berhubungan
dengan adanya penurunan daya tahan tubuh sekunder AIDS.
• Tujuan :
Meminimalkan resiko terhadap infeksi pada anak
• Rencana tindakan keperawatan
1) Kaji perubahan tanda-tanda infeksi (demam, peningkatan nadi,
peningkatan kecepatan nafas, kelemahan tubuh atau letargi)
2) Kaji faktor yang memperburuk terjadinya infeksi seperti usia,
status nutrisi, penyakit kronis lain
3) Monitor tanda-tanda vital setiap 4 jam sekali, tanda vital
merupakan indikator terjadinya infeksi
4) Monitor sel darah putih dan hitung jenis setiap hari untuk
monitor terjadinya neutropenia
5) Ajarkan dan jelaskan pada keluarga dan pengunjung tentang
pencegahan secara umum ( universal ), untuk menyiapkan
keluarga dan pengunjung memutus rantai penularan
6) Instruksikan ke semua pengunjung dan keluarga untuk cuci
tangan setiap sebelum dan sesudah memasuki ruangan
pasien
7) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian antibiotik,
anyiviral, antijamur,
8) Lindungi individu dan resiko infeksi dengan universal
precaution

43
2. Kurang Nutrisi ( kurang dari kebutuhan )
Nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
diare, nyeri
• Tujuan :
Kebutuhan nutrisi dan pasien terpenuhi
• Rencana tindakan keperawatan :
1) Kaji status perubahan nutrisi dengan menimbang berat badan
setiap hari
2) Monitor asupan dan keluaran setiap 8 jam sekali dan turgor
kulit
3) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
4) Rencanakan makanan enternal dan parenteral

3. Kurangnya Volume Cairan


Kurangnya volume cairan tubuh pada anak berhubungan dengan
adanya infeksi oportunitis saluran pencernaan (diare)
• Tujuan :
Volume cairan tubuh dapat terpenuhi
• Kriteria hasil :
a. Asupan dan keluaran seimbang
b. Kadar elektrolit tubuh dalam batas normal
c. Nadi perifer teraba Penekanan darah perifer kembali dalam
waktu kurang dan 3 detik
d. Keluaran urin minimal 1-3 cc/kg BB per jam
• Rencana tindakan keperawatan
1) Berikan cairan sesuai indikasi dan toleransi
2) Ukur masukan dan keluaran termasuk urin dan tinja
3) Monitor kadar elektrolit dalam tubuh
4) Kaji tanda vital turgor kulit, mukosa membran dan ubun-ubun
tiap 4 jam
5) Monitor urin tiap 6-8 jam sesuai dengan kebutuhan
6) Kolaborasi pemberian cairan intravena sesuai kebutuhan

44
4. Gangguan intregitas kulit
Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan diare yang
berkelanjutan (kontak yang berulang dengan feces yang bersifat
asam)
• Tujuan :
Tidak terjadi gangguan intregitas kulit
• Kriteria hasil :
Tidak ada tanda – tanda kulit terganggu serta kulit utuh, bersih
• Rencana tindakan keperawatan :
1) Ganti popok dan celana anak apabila basah
2) Bersihkan pantat dan keringkan setiap kali buang air besar
3) Gunakan salep atau lotion

5. Perubahan atau Gangguan Mukosa Membran Mulut


Gangguan mukosa membran mulut berhubungan dengan lesi
mukosa membran dampak dari jamur dan infeksi herpes
• Tujuan :
Tidak terjadi gangguan mukosa mulut
• Kriteria hasil:
a. mukosa mulut lembab
b. tidak ada lesi
c. kebersihan mulut cukup
d. anak dan orang tua mampu mendemonstrasikan tekhnik
kebersihan mulut
• Rencana Tindakan Keperawatan
1) Kaji membran mukosa
2) Berikan pengobatan sesuai dengan saran dan dokter
3) Lakukan perawatan mulut tiap 2 jam
4) Gunakan sikat gigi yang lembut
5) Oleskan garam fisiologis tiap 4 jam dan sesudah
membersihkan mulut

45
6) Kolaborasi pemberian obat profilaksis (ketokonazol,
flukonazol) selama pengobatan
7) Gunakan antiseptik oral
8) Check up gigi secara teratur

6. Ketidak efektifan Koping Keluarga


Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan penyakit
menahun dan progresif
• Tujuan :
Koping keluarga efektif
• Kriteria hasil :
a. Orang tua mapu mengekspresikan secara verbal tentang rasa
takut
b. Orang tua mampu mengambil keputusan yang tepat
c. Orang tua tau cara memecahkan masalah serta menganalisis
kekuatan diri dan dukungan sosial
• Rencana tindakan keperawatan
1) Konseling keluarga
2) Observasi ekspresi orang tua tentang rasa takut, bersalah,
dan kehilangan
3) Diskusikan dengan orang tua tentang kekuatan diri dan
mekanisme koping dengan mengidentifikasi dukungan sosial
4) Libatkan orang tua dalam perawatan anak
5) Monitor interaksi orang tua dan anak
6) Monitor tingkah laku orang tua dan anak

7. Kurang pengetahuan
Kurangnya pengetahuan pada keluarga berhubungan dengan
perawatan anak yang kompleks dirumah
• Tujuan :
Keluarga dapat mengungkapkan atau menjelaskan proses
penyakit, penularan, pencegahan dan perawatan

46
• Kriteria hasil :
a. Orang tua mampu menjelaskan secara global tentang
diagnosism, proses penyakit dan kebutuhan home care
b. Orang tua memahami daftar pengobatan, efek samping, dan
dosis obat
c. Orang tua memahami tentang kebutuhan perawatan yang
khusus bagi anak dan mengetahui bagaimana HIV menular
• Rencana Tindakan keperawatan
1) Kaji pemahaman tentang diagnosis, proses penyakit dan
kebutuhan home care
2) Jelaskan daftar pengobatan, efek samping obat dan dosis
3) Jelaskan dan demonstrasikan cara perawatan khusus
4) Jelaskan cara penularan HIV dan bagaimana cara
pencegahannya
5) Anjurkan cara hidup normal pada anak

47
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem imunitas atau sering juga disebut kekebalan tubuh, merupakan
pertahanan tubuh menghadapi organisme dan kuman-kuman berbahaya.
Sistem imunitas merupakan hasil kerjasama dari rangkaian sel, jaringan,
protein, dan organ tubuh. Sistem imunitas ini akan terus berkembang
seiring dengan pertambahan usia. Itu sebabnya bayi dan anak-anak
tampak lebih sering terkena infeksi atau sakit, jika dibanding remaja atau
dewasa. Alasannya, sistem imunitas pada bayi dan anak masih belajar
mengenali dan melindungi tubuh dari kuman yang masuk. Sedangkan pada
anak remaja dan orang dewasa, sistem imunitas tubuhnya sudah langsung
mengenali jenis kuman dan segera menyerangnya begitu kuman masuk ke
dalam tubuh.
Pada anak yang mengalami DBD akan menyebabkan kacaunya sistem
imunitas yang terjadi pada orang yang digigit nyamuk perantara virus
dengue. Kekacauan yang dibuat oleh sistem imunitas tubuh cenderung
memfasilitasi dan memicu virus dengue sehingga beranak-pinak atau
berkembang biak di dalam sel pembuluh darah pasien. Sedangakan anak
yang mengalami SLE meruakan kelainan autoimun multisistem kronik yang
ditandai oleh autoantibodi dan kompleks imun yang berkaitan dengan
manifestasi klinis dan kerusakan jaringan yang beragam dan luas. Adapun
anak yang mengalami HIV/AIDS adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh human immunodeficiency virus. kondisi yang terdiri dari kumpulan
gejala terkait melemahnya sistem imun. ADIS terjadi ketika infeksi HIV
sudah berkembang parah dan tidak ditangani dengan baik.

48
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Nor Vikri. 2019. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


DENGAN DENGUE HAEMORHAGIC FEVER ( DHF ) DI RUMAH SAKIT.
Samarinda.
Amin Huda Nurarif & Kusuma, Hardhi. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.MediAction.
dlscrib.com-pdf-asuhan-keperawatan-anak-dengan-hiv
dl_214b11b6b265350d41a8fb0c8b777516.pdf (diakses tanggal 19 Oktober
2021)
Harmawan. 2018. Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta.
Hasdianah., Dewi, Prima., Peristiowati., & Imam, Sentot. (2014). Imunologi
Diagnosis dan Teknik Biologi Molekuler. Yogyakarta: Nuha Medika
Indonesia, Y.L., 2012. Info tentang Lupus. Available
Jing & Ming. 2019. “Dengue Epidemiology.” Global Health Journal 3(2): 37–45.
https://doi.org/10.1016/j.glohj.2019.06.002.
Kementrian Kesehatan RI. 2018. Profil Anak Indonesia. Jakarta:
Pemberdayaan,
Mendiri N. K. & Prayogi, A. S. 2016. Asuhan Keperawatan Anak & Bayi Resiko
Tinggi. Yogyakarta: PT Pustaka Baru.
Murwani. 2018. Patofisiologi Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta.
Pangaribuan, Anggy. 2017.
Ramadhani, Devi (2017) Gambaran Infeksi pada Penderita Sistemik Lupus
Eritematosus di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). Ekspresi CD3 dan CD26 pada
Limfosit T sebagai BiomarkerPotensial Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus. MKB
SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta.
WHO. 2016. Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever.

49
WHO. 2018. Dengue Haemorrhagic Fever. Jakarta.
Wijayaningsih, Kartika Sari. 2017. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: TIM.
Yuliastati Nining. 2016. Keperawatan Anak. Jakarta.

50

Anda mungkin juga menyukai