Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

B DENGAN SISTEMIK LUPUS


ERITEMATOSUS (SLE) DI RUANGAN KELAS III
RSUD PROF. MA. HANAFIAH SM BATUSANGKAR

OLEH :

1. SURYA NINGSIH 2220243138

2. NETRI NOFNITA 2220243136

3. LOLA GUS ENDANG 2220243135

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. RINAWATI KASRIN, M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KESEHATAN UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Ny. B dengan Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) di
Ruangan Kelas III RSUD Prof. MA. Hanafiah SM Batusangkar” dengan sebaik-
baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mengalami berbagai hal baik suka
maupun duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya maklah ini, maka dengan tulus
kami sampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
baik padaa teknik penulisan penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.

Batusangkar, 5 Januari 2023

Penulis.
DAFTAR ISI

Kata Penganta....................................................................................................................
Daftar Isi............................................................................................................................

BAB I LAPORAN PENDAHULUAN


A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB 11 PEMBAHASAN
A. Definisi...........................................................................................................
B. Etiologi...........................................................................................................
C. Patofisiologi....................................................................................................
D. Manifestasi Klinis..........................................................................................
E. Klasifikasi.......................................................................................................
F. Penatalaksanaan Medis...................................................................................
G. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................
H. Komplikasi.....................................................................................................

BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian......................................................................................................
B. Diognosa Keperawatan...................................................................................
C. Implementasi..................................................................................................
D. Evaluasi..........................................................................................................

BAB III TINJAUAN KASUS


A. Pengkajian......................................................................................................
B. Riwayat Kesehatan.........................................................................................
C. Pemeriksaan Fisik...........................................................................................
D. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................
E. Pengobatan......................................................................................................
F. Analisis Data...................................................................................................
G. Diognosa Keperawatan..................................................................................
H. Implementasi..................................................................................................
I. Evaluasi............................................................................................................

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
2.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang
menyebabkan peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor
dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibody yang berlebihan.Lupus hingga saat ini
menyerang paling sedikit sekitar 5 juta orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini
tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit lupus (Lupus Foundation of America,
2015). Penderita lupus di Indonesia pada tahun 1998 tercatat 586 kasus, ternyata
setelah tahun 2005 telah mencapai 6.578 penderita. Penderita yang meninggal
mencapai sekitar 100 orang. Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43
orang meninggal. Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita
lupus dan 15 meninggal (Djoerban 2007, dalam Judha, dkk, 2015).Peningkatan kasus
lupus kini signifikan. Mulai Januari 2015, pasien lupus yang datang berobat ke RSUD
dr. Moewardi mencapai 15-20 orang per hari. Peningkatan tajam dibanding tahun-
tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien. Meningkat signifikan, terutama mulai
Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post, 2015).
Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus yakni
jenis kelamin, wanita usia produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus paling
umum terdiagnosis pada mereka yang berusia diantara 15-40 tahun. Ras Afrika,
Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga menjadi
faktor risiko lupus. Jenis kelamin, usia, ras, paparan sinar matahari, konsumsi obat
tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok juga menjadi
faktor risiko penyakit lupus.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah apakah faktor
risiko merokok yang dominan dengan kejadian lupus di Solo Raya?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor risiko merokok dengan kejadian lupus.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis hubungan merokok dengan kejadian lupus.
b. Menganalisis hubungan paparan rokok di lingkungan keluarga dengan
kejadian lupus.
c. Menganalisis hubungan paparan rokok di lingkungan kerja dengan
kejadian lupus.
d. Menganalisis hubungan paparan rokok di lingkungan pergaulan
dengan kejadian lupus.
e. Menganalisis hubungan paparan rokok di transportasi umum dengan
kejadian lupus.

BAB I1
PEMBAHASAN
A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala
memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat
yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya
sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan
nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-
kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan
mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan
kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg +
pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa
permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya. Peradangan
kronis ini mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita [penyakit SLE adalah
prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti siklofosfamida.
Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi yang aman digunakan baik
pada kehamilan maupun menyusui.
B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok
jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang
menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan antara
lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan
C2 serta gen-gen yang mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat
diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA
DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen
(alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari
sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu
infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia
produktif,peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih
tinggi padaa wanita pascamenoupause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE,namun studi yang
dilakukan oleh petri dkk menunjukan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita
SLE yang penyakitnya stabil.

C. Patofisiologi

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR


Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan
faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan
kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun
sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk kompleks
imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit
yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah
alfa-alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pathway SLE

D. Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan,perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari
ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan
multisystem dari manifestasi kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great
imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan
gejala kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba.
Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan
remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif
SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien
dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek
samping pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan,
khusus pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.
Penyebab pasti gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping
pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam
timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala
ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga
ditemukan pada pasien. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise
merupakan salah satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini
turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang
telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated
sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau
sumber cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada
semua kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya
dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di
area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih
dikenal sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25%
pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-
minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa
dengan adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit
kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh
pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di
kulit yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V
dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk
livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau
bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.
Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada
puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali jika terdapat lesi discoid kepala.
Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakab dari infers virus
maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh
inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih
dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping
pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori,
pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan
pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar
rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan
pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat
rambut.

3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas
jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti
secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot
biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis
dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala
yang tumpah tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat
merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat
disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi
pada kaput femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia
merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek
samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor
psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari
pada kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai
dengan manifetasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive
dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus
kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif
jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang
terjadi, namun harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak
khas, perubahan ECG minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis
dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri.
Endokarditid trombotik nonifeksi (Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup
aorta atau embilisasi. Arterisklerosis premature dengan angina pektrois dan infark
miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling
serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,menopause
premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan arterosklerosis.
Fenomena Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan
pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki sering tumpang tindih
dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi paru dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali fatal.
Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibody
antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat
menyebabkan thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh
darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor
V Leiden dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun
defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena
dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau
alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau
tanpa pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi.
Pneumonitas lupus kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis
paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit
paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang,
miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan neuropati
nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus
disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif
yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis,
termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan
proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal
eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif
dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan
ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis
karena ditemukan proteinuria 25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat
didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
peningkatan kadar protein, pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT
scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau
bahkan pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis
lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan
serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan diagnosis banding dari
penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan.
Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering
ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan
menyerupai migren yang hanya responsive terhadap glikokortikoid merupakan kasus
yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan
vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek lupus serbri
karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi
yaitu NSAID dan atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat
menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan
kegawatan bedah akut. Terkadang pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau
merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang dihubungkan dengan
hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun
melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh
penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan penggunaan jangka panjang
glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati dengan peningkatan
transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung
mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien
nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask
cukupan asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun
jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan
peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat
sdisebabkan oleh glukokortikoid. Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat
disebabkan oleh an tibody antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang
dari 50000/πL), disebabkan oleh antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis
SLE dan awalnya mungkindidiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik.
Pada kasus ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi sesuai dengan
gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala
anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren.
Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi
arteri atau vena retina.

E. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism
association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria
untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis
SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis,
Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological
disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

F. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit
akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah
komplikasi dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

G. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya
beberapa autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA,
terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE.
Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA),
pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit
dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-
eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat
komplemen membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP,
analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah
biopsy.

H. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap)
pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis
atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi
pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa,
sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf
yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor
pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut
timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan
tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan
bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

BAB II1
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan :
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak
pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama
atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic
click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup pericardium
yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura
yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral
tangan.
a. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi
pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-kejang.
b. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
c. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor
kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa.

B. DIOGNOSA KEPERWATAN
1. (D.0130) Hipertermia b.d proses penyakit (mis.infeksi,kanker), d.d suhu tubuh diatas
nilai normal,kulit terasa hangat,takipnue.
2. (D.0078) Nyeri kronis b.d kondisi muskuloskletal kronis, d.d klien tampak
meringis,gelisah,tidak mampu menuntaskan aktivitas.

C. IMPLEMENTASI
Tindakan keperawatan adalah pelaksaan asuhan keperawatan yang merupakan
realisasi rencana tindakan yang telah ditentukan dalam tahap perencanaan dengan
maksud agar kebutuhan pasein terpenuhi secara optimal.

D. EVALUASI
Evaluasi merupakan langka akhir dari proses keperawatan yaitu prose
penilaian tujuan dalam rencana perawatan , tercapai atau tidak serta untuk
pengkajian ulang rencana keperawatan. Evaluasi dilakukan secara terus menerus
dengan melibatkan pasien, perawat dan petugas kesehatan yang lain. Dalam
menentukan tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan pada bayi dengan post
asfiksia sedang, disesuaikan dengan criteria evaluasi yang telah ditentukan. Tujuan
asuhan keperawatan dikatakan berhasil bila diagnosa keperawatan didapatkan hasil
sesuai dengan criteria evaluasi.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Kasus :
Ny.B,45 tahun dirawat diruang penyakit dalam dengan keluhan demam sejak 2 hari yang lalu
dan nyeri sendi 1 tahun yang lalu,lokasinya yaitu sendi bahu,siku,pergrlangan
tangan,pergelangan kaki,dan lutut.nyeri sendi dirsasakan setiap hari,terus menerus dan sifat
panas.memberat jika kelelahan.pemeriksaan fisik didapatkankeadaan umum lemah akral
hangat,terdapat sedikit malar rash dihidung,tekanan darah 110/80mmhg,nadi
60x/menit,pernapasan 2x/menit,suhu 38°cc.pasien kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium.

A. Pengkajian
Nama : Ny. B
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Penfui
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang

B. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami nyeri sendi pada bahu, siku, pergelangan tangan ,
pergelangan kaki dan lutut
a) Keluhan Utama Saat Masuk Rumah Sakit
Klien mengalami demam
b) Keluhan Utama Saat Dikaji
Klien mengatakan bahwa ia merasakan lemah, akral, hangat, terdapat sedikit
maralras dihidung,tekanan darah110/80mmhg, nadi 60x/menit, pernafasan
22x/menit, suhu 38°cc.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum Klien :
Penampilan   : Composmentis
Tanda Tanda Vital
TD              :   110/80 mmHg           
  Suhu   :  38˚cc
Respirasi      :    22x/menit                   
Nadi    : x/60menit
2. Kulit   : Sawo matang, turgor kulit kurang baik
3. Kepala dan Rambut                  
o    Kepala       
Bentuk   : Bulat, Simetris
o    Rambut    :
Distribusi       : Merata
Warna            : Hitam
Kebersihan    : Bersih
Rontok          : Tipis dan Rontok
4. Wajah dan Leher           
o    Wajah  :
Bentuk          : Simetris
Warna            : Pucat
Lesi                : Tidak ada
Bekas trauma : Tidak ada
o    Leher   : Simetris tidak ada benjolan
5. Mata
Bentuk kedua mata  : Menonjol
Kongjungtiva           : Anemis (Pucat)
Pupil                         : Baik
Sklera                       : Warna putih
Reflek cahay  : Baik, pupil refleks terhadap cahaya ada terbukti ketika di beri
cahaya pupil berkontraksi dan ketika cahaya di jauhkan pupil dilatasi
6. Telinga
Bentuk                         : Simetris
Kebersihan                  : Bersih
7. Hidung
Bentuk hidung            : Simetris
Lesi                             : Tidak ada
Sekret                          : Ada, lendir cair dan tidak ada kotoran
Mukosa Hidung          : Sedikit kemerahan
Kebersihan                  : Tidak terdapat kotoran
8. Mulut
Bentuk bibir          : Simetris
Keadaan bibir    : Kering, pecah-pecah
Gigi                         : Lengkap jumlah 32 Buah
Lidah                       : Bersih
9. Dada
Bentuk                  : Simetris
Bunyi nafas paru: Vesikuler (bernada rendah)
Perkusi paru           : Resonant (suara perkusi paru yang normal)
Pola nafas               : cepat
Ekspansi paru     : Seimbang
Irama Jantung     : Reguler (teratur)
10. Abdomen
Bentuk                 : Simetris
Nyeri tekan       : Tidak ada
Bising usus           : 14x/menit
Lesi                     : Tidak ada
11. Repreduksi
Keadaan genetalia       : Bersih
Lesi                             : Tidak ada
Kateter   : Tidak terpasang
Hemoroid                    : Tidak ada
12. Ekstremitas atas/bawah
Atas    :
Bentuk    : Simetris dan lengkap
 Keadaan kuku : Pendek, bersih
 
Bawah  :
Bentuk        : Simetris dan lengkap
Keadaan kuku  : Pendek bersih

f. Data Psikologis
1) Status Emosi           :
Emosi klien tidak stabil, terbukti klien tidak tenang
2) Kecemasan        : Klien tampak cemas
3) Pola Koping        :
Klien mengatakan menyerahkan sepenuhnya kepada tim medis   tentang
kondisi penyakitnya. Dalam mengatasi masalah klien sering meminta
bantuan orang lain
4) Gaya Komunikasi   : Klien berbicara dengan cepat dan tanpa henti
5) Konsep Diri
a) Gambaran Diri : Klien tampak gelisah
b) Harga Diri : Klien ingin cepat pulang agar dapat berkumpul
kembali dengan  keluarga dan temannya
c) Peran   : Klien berperan sebagai anak ke 1 dari 2 bersaudara
d) Identitas Diri : Klien berjenis kelamin perempuan, klien merasa tidak
berdaya
e) Ideal Diri  : Klien dapat berinteraksi dengan perawat mahasiswa
g). Data Sosial          : Klien mengatakan ingin cepat sembuh agar
bisa beraktifitas seperti biasanya
h). Data Spiritual
Pelaksanaan ibadah     : Selama di rawat klien melakukan ibadah ditempat
tidur
             Kepercayaan/Keagaamaan : Yakin (Klien banyak berdoa)

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi
Normal
01-01- Hb 17,3 gr% 13-16 gr%
2019 WBC 15.000/mm 5.000-
10.000/mm

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen tidak ada kelainan

E. Pengobatan
No Nama obat Dosis Indikasi Kontraindikasi
1. Paracetamol
trip
2.

F. Analisa Data

NO Data Interpretasi (Penyebab) Masalah


1 DS: Genetic, lingkungan, Hipertermia
Klien mengeluhkan hormone, obat tertentu
demam ↓
Produkasi autoimun
DO: berlebih
Suhu tubuh di atas ↓
nilai normal Autoimun menyerang
Kulit terasa hangat orang tubuh
Takipnue ↓
TD:110/80mmHg Terjadi reaksi inflamasi
N:60x/menit ↓
R:22x/menit Peningkatan suhu tubuh
Suhu klien: 38˚C (hipertermia)

DS: Genetic, lingkungan, Nyeri kronis


Klien mengatakan hormonal, obat tertentu
nyeri pada sendi yaitu ↓
bagian Produksi autoimun
bahu,siku,pergelangan berlebihan
kaki dan lutut. ↓
Merasa depresi Autoimun menyerang
DO: organ tubuh
Klien tampak ↓
meringis SLE
Gelisah ↓
Tidak mampu Kerusakan jaringan
menuntaskan aktivitas ↓
TD:110/80mmHg Nyeri kronis
N:60x/menit
R:22x/menit
Suhu klien: 38˚C

G. Diagnosa keperawatan
1. (D.0130) Hipertermia b.d proses penyakit (mis.infeksi,kanker), d.d suhu tubuh diatas
nilai normal,kulit terasa hangat,takipnue.
2. (D.0078) Nyeri kronis b.d kondisi muskuloskletal kronis, d.d klien tampak
meringis,gelisah,tidak mampu menuntaskan aktivitas.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Kode Diagnosa Kode Tujuan Kod Intervensi (SIKI)
(SDKI) (SLKI) e
(D.01 Hipertermia (L.14 Setelah I.155 Tindakan :
30) b.d proses 134) dilakukan 06 Observasi :
penyakit tindakan - Identifikasi penyebab
(mis.infeksi,k keperawatan hipertermia(mis.
anker), d.d selama 1x24 Dehidrasi,terpapar
suhu tubuh jam lingkungan
diatas nilai hipertermia panas,penggunaan
normal membaik incubator)
dengan kriteria - Monitor suhu tubuh
hasil: - Monitor kadar elektrolit
1. Suhu tubuh - Monitor pengeluaran urine
(3)sedang - Monitor komplikasi akibat
2. Tekanan hipertermia
darah (5) Terapeutik :
membaik - Sediakan lingkungan yang
dingin
- Longgarkan atau lepaskan
pakaian
- Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu
(D.00 Nyeri kronis L.080 Setelah Tindakan :
78) b.d kondisi 66 dilakukan Observasi :
muskulosklet tindakan - Identifikasi
al kronis, d.d keperawatan lokasi,karakteristik,durasi,fr
klien selama 1x 24 ekuensi,kualitas,intensitas
mengeluh jam nyeri nyeri
nyeri kronis - Identifikasi skala nyeri
menurun - Identikasi respon nyeri
dengan kriteria nonverbal
hasil: - Identifikasi faktor yang
1. Keluhan memperberat dan
nyeri(3) memperingan nyeri
sedang - Monitor efek samping
2. Meringis (3) penggunaan analgetik
sedang Terapeutik:
3. Gelisah (3) - Berikan teknik
sedang nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
- fasilitasi istirahat dan tidur
- pertimbangan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi:
- jelaskan penyebab ,
periode,dan pemicu nyeri
- jekaskan strategi meredakan
nyeri
- anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
- kolaborasi pemberian
analgetik

H. IMPLEMENTASI
No HARI/TGL DIAGNOS JAM IMPLEMENTASI
A
1 Senin, 2 Hipertermia 08:00 - Memonitoring suhu
Januari 08:20 - Memonitoring intake
2023 output
- Memonitoring hasil
laboratorium
08:30 - Memberi kompres pada
lipatan paha dan axila
- Memberikan cairan
intravena dan
paracetamol drip

2 Senin, 2 Nyeri kronis 09:40 1. Melakukan pengkajian


Januari nyeri komprehensif yang
2023 meliputi lokasi,
karakteristik, lokasi atau
durasi, frekwensi,
kualitas, intensitas dan
10:00 faktor pencetus.
2. Memberikan informasi
mengenai nyeri seperti
penyebab, berapa lama
nyeri dan antisifasi dari
ketidak nyamanan nyeri.
3. Mendorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat.
4. Memastikan pemberian
analgesik dan atau
strategi nonfarmakologi
(teknik relaksasi nafas
dalam).
1 Selasa, 3 Hipertermia 08:00 - Memonitoring suhu
Januari
2023 08:20 - Memonitoring intake
output
- Memonitoring hasil
laboratorium
08:30 - Beri kompres pada lipatan
paha dan axila
- Memberikan cairan
intravena dan
paracetamol drip

2 Selasa, 3 Nyeri kronis 09:40 5. Melakukan pengkajian


Januari nyeri komprehensif yang
2023 meliputi lokasi,
karakteristik, lokasi atau
durasi, frekwensi,
kualitas, intensitas dan
10:00 faktor pencetus.
6. Memberikan informasi
mengenai nyeri seperti
penyebab, berapa lama
nyeri dan antisifasi dari
ketidak nyamanan nyeri.

7. Mendorong pasien untuk


memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat.
8. Memastikan pemberian
analgesik dan atau
strategi nonfarmakologi
(teknik relaksasi nafas
dalam).

1 Rabu, 4 Hipertermia 08:00 - Memonitoring suhu


Januari
2023 08:20 - Memonitoring intake
output
- Memonitoring hasil
laboratorium

08:30 - Beri kompres pada lipatan


paha dan axila
- Memberikan cairan
intravena dan
paracetamol drip

2 Rabu, 4 Nyeri kronis 09:40 9. Melakukan pengkajian


Januari nyeri komprehensif yang
2023 meliputi lokasi,
karakteristik, lokasi atau
durasi, frekwensi,
kualitas, intensitas dan
10:00 faktor pencetus.
10. Memberikan informasi
mengenai nyeri seperti
penyebab, berapa lama
nyeri dan antisifasi dari
ketidak nyamanan nyeri.
11. Mendorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat.
12. Memastikan pemberian
analgesik dan atau
strategi nonfarmakologi
(teknik relaksasi nafas
dalam).

I .EVALUASI

NO Hari/Tgl Waktu Diagnosis Evaluasi


keperawatan
1. Senin, 2 08.00 Hipertermia S : Pasien mengatakan masih
Januari sedikit pusing dan demam
2023 O: KU lemah Kesadaran
Composmentis Suhu 37,8˚C,
akral teraba hangat, terpasang
infus RL 20 tpm dengan triway
paracetamol drip
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan

2 Senin,2 09.40 Nyeri kronis S : Pasien mengatakan nyeri pada


Januari sendi berkurang
2023 O : Skala nyeri berkurang dari
1 menjadi 3
 Pasien tampak riles ditandai
dengan hemodinamik stabil
Pasien dapat melakukan teknik
relaksasi nafas dalam
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
1 Selasa, 3 08.00 Hipertermia S : Pasien mengatakan masih
Januari sedikit pusing dan demam
2023 O: KU lemah Kesadaran
Composmentis Suhu 37˚C, akral
teraba hangat, terpasang infus RL
20 tpm dengan triway
paracetamol drip
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan

2 Selasa, 3 09.40 Nyeri kronis S : Pasien mengatakan masih


Januari merasa sedikit nyeri sendi
2023 O : Skala nyeri berkurang dari
3 menjadi 4
Pasien tampak riles
ditandai dengan hemodinamik
stabil
Pasien dapatmelakukan
teknik relaksasi nafas dalam
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
1 Rabu, 4 08.00 Hipertermia S : Pasien mengatakan tidak
Januari merasa demam lagi
2023 O: Composmentis Suhu 36,8˚C,
akral teraba hangat, terpasang
infus RL 20 tpm
A : masalah teratasi
P:-
2 Rabu, 4 09.40 Nyeri konis S : Pasien mengatakan tidak
Januari merasa demam lagi
2023 O: Composmentis Suhu 36,8˚C,
akral teraba hangat, terpasang
infus RL 20 tpm
A : masalah teratasi
P:-

111.PENDIDIKAN KESEHATAN

a. Pencegahan primer pada masalah gangguan imunologi sle pencegahan primer adalah
upaya untuk melakukan kesehatan yang buruk kelebh baik, adalah dengan faktor
lingkungan dan prilaku yang dapat diuba,memotivasi dan mendorong kelebih
baik,seperti kebutuhan nutrisi,latihan fisik,kebutuhan istirahat,dan mengurangi
sress,dan melakukan perawatan pad masalah kesehtan,meyediakan aktu untuk
mengungkpakan perasaan pasien,menguatkan harga diri pasien,memberikan
kesempatan walaupun hal kecil dalam menangani masalah sle.
b. Pencegahan sekunder yang mana terdiri dari diaqnosis dini,dan pembatasan
kecacatan,yang mana seperti ruam pada wajah,bisul atau borok dibagian
mulut,astritis,serotisis.
c. Pencegahan tersier melaksankan program rehabilitasi untuk mengurangi
ketidakmampuan dan meningkatkan efisiensi hidup klien dengan sle.dengan mengkaji
tingkat kelelahan,kecemasan,dan depresi.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala
memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang
besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit
vaskuler kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan
antibody terhadap organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru
seta jantung (Glade,1999). SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema
jaringan yang bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar
terhadap IgG dan imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat
mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal.
Sama dengan rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang
terjadi dan terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya
dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg +
pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Peyakit ini disebabkan oleh faktor genetic, faktor imunologi ,faktor hormonal dan
faktor lingkungan. Manifestasi klinik dari penyakit ini dapat berupa konstitusional,
integument, musculoskeletal, paru-paru, kardivaskuler, ginjal, gastrointestinal, hemopoetik
dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan diagnostic dari penyakit ini adalah pemeriksaan
laboratorium pemeriksaan laboratorium lainnya dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit
yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut
terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions
Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley
& Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia


Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern


strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic


Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2.
Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai