Tentang
Manajemen konflik
Oleh :
Surya ningsih (2220243138)
Dosen Pembimbing :
Ns. Dia Resti DND, M.Kep
1
BAB I PENDAHULUAN
2
masing-masing tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin
dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota (concern for others) atau
berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu seorang pemimpin
perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya kepemimpinan
terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa
mampu memahami tentang penerapan manajemen konflik di seluruh
tatanan.
3
2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi
Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini
menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu
memberikan kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin.
Teori ini menekankan bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri
umum dan karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel, 2011).
c. Contingency Theories
4
d. Situasional Theories
5
and punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemen
perusahaan atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa
bonus/insentif dan cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh
atasan dan diberi punishment berupa teguran, penggantian jam
kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di bawah ekspektasi
(Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories
6
(1) perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis
kelamin, ras, pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman,
tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan, dll
(2) Perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia
karena perbed
(3) aan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
7
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,
merupakan sumber konflik yang potensial.
8
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan
kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja
untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa
layanan), keterbatasan prasarana.
9
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian
pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri.
10
Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada
persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika
cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat.
Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani masalah yang
menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik
11
ini kurang tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting,
dan adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara
dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi
adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak
dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
12
Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik
FEEDBACK
13
membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis
terhadap datadata yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk
menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan
berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan
dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan
compromising).
14
dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai
suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau
suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya
(Hendel, 2005). Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi
terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sekaligus hal ini sebagai
feedback proses diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun
konflik yang baru.
15
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam
suatu konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial
terjadinya konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko
and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif
pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi.
Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu
konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang
mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization)
(Runde and Flanagan, 2007).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya
proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-
sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk
meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu
memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat
terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi
penyelesaian masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan
demokratis cenderung memilih strategi integrating (problem solving), obliging,
dan compromising yang lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya
kepemimpinan autokratis cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan
gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim,
2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal
The International Journal of Conflict Management, gender juga memegang
peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih
strategi avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut
16
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging.
Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh
suasana saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang
bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila
suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan
(Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa
dilihat dalam model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan
menerapkan CAPI (Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam
manajemen kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan,
otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang
tepat.
17
strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model
“CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan
oleh Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah
direktur keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami
sumber-
sumber konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa
dijadikan sebagai ekplorasi ide-ide yang kreatif, sehingga bisa
meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa
yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama
menyelesaikan konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai
dipakai oleh direktur keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas
adalah democratic style dimana pemimpin mendorong partisipasi bawahan
untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Direktur
keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer
keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang
pemimpin dalam menyelesaikan konflikatas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai
manajer ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam
menyelesaikan konflik. Selain itu direktur keperawatan harus menjadi
fasilitator antara kedua manager keperawatan dalam menyelesaikan
konflik tersebut.
18
b. Peran informasional
19
Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J dan Perawat
R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang menjalin
komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok
bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masingmasing, dalam
kasus ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok perawat yang
bekerja di unit perawatan neuroscience dan perawat yang bekerja di
unit perawatan bedah ortopedi yang sama-sama menuntut adanya
renovasi di unit perawatan masing-masing.
B Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam
kasus di atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu
melibatkan pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur
keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara mempertemukan kedua
pihak yang berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah,
misalnya dalam suatu rapat. Mediasi dimana pihak ketiga membantu
menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang
berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya dari mediasi,
dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang
kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan
yang adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi
yang baik sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih.
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya
operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience,
kemudian 50% untuk unit bedah ortopedi, kemudian di tahun
selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
20
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan
biaya 75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan
sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya
dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk
renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi: 1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri
dari:
- Bagaimana proses berjalan?
21
sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan
individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang
bersifat negatif, dan menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi
(Runde and Flanagan, 2007).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilainilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang
pemimpin memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif
dalam pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya
kepemimpinan seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan
konflik (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah
satu model penyelesaian konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),
yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan
diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi
batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan identifikasi
strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat
bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan
gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin
dan mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan
proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan
konflik saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat
22
memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses
terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses
diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.
4.3 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan
bagi profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk
dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi
penyelesaian konflik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4),
345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict
Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility
“implications for today’s perspectives on transformational and authentic
leadership”. Management Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.
24