Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH MANAJEMEN KEPEMIMPINAN

Tentang
Manajemen konflik

Oleh :
Surya ningsih (2220243138)

Dosen Pembimbing :
Ns. Dia Resti DND, M.Kep

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA(UPERTIS)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
2022/2023

1
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa
keperawatan dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini
adalah klien. Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim
kesehatan, baik itu dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang
terlibat dalam pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat
akan saling berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini
memandang suatu masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka
dapat terjadi sebuah konflik (CNO, 2009). Perawat seringkali mengambil
tindakan menghindar dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik yang
terjadi dengan tujuan mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan
dalam kelompok (Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut memberikan
dampak destruktif terhadap perkembangan individu dan organisasi.
Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan
penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya. Seorang
pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong
respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani
konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and Flanagan,
2007).

Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan


meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Menurut
Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez faire) sangat
mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik
(integrating (problem solving), obliging, compromising, dominating (forcing),
avoiding), dimana setiap strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan

2
masing-masing tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin
dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota (concern for others) atau
berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu seorang pemimpin
perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya kepemimpinan
terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa
mampu memahami tentang penerapan manajemen konflik di seluruh
tatanan.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar kepemimpinan dan manajemen
konflik.
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
c. Membuat kasus konflik dan melakukan analisa terkait gaya
kepemimpinan dan strategi penyelesaian konflik yang tepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi

Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang


untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston,
2012).

2.1.2 Teori Kepemimpinan

Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu: a.


The Great Man Theory
The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati sudah
mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang pemimpin
harus memiliki karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Russel,
2011).
b. Trait Theories

Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini
menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu
memberikan kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin.
Teori ini menekankan bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri
umum dan karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel, 2011).
c. Contingency Theories

Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin


menjadi besar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti
situasi, kualitas para pengikut atau sejumlah variabel lainnya. Dalam
teori ini tidak ada satu cara yang tepat untuk memimpin karena faktor
internal dan eksternal dari lingkungan memerlukan pemimpin untuk
beradaptasi dengan situasi tertentu (Fiedler, 1967 cit Waworuntu,
2003).

4
d. Situasional Theories

Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori ini


menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya
kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh
pemimpin, kelompok yang dipimpin dan kinerja yang baik (Russel,
2011) .
e. Behavioral Theories

Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory, Behavioral


Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar
karena dibuat, tidak dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan atau
ciri-ciri prilaku para pemimpin. Pemimpin dapat menjadi seorang
pemimpin yang efektif melalui pengamatan, pengalaman dan
pembelajaran (Waworuntu, 2003).
f. Participative Theories

Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik


mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis
kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap
bawahan dengan maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif
aktif dalam organisasi. Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat
dalam suatu pekerjaan, maka akan meningkatkan pengetahuan mereka
tentang cara kerja dalam organisasi dan membantu mereka untuk
memahami bagaimana proses pengambilan keputusan oleh
pemimpin.
Jenis kepemimpinan ini dapat mengakibatkan konsekuensi negatif jika
pemimpin sering meminta pendapat kepada bawahan kemudian
mengabaikan masukan dari bawahan (Russel, 2011) .
g. Management Theories

Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan


bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward

5
and punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemen
perusahaan atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa
bonus/insentif dan cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh
atasan dan diberi punishment berupa teguran, penggantian jam
kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di bawah ekspektasi
(Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories

Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa


pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga
dapat meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008).
Pemimpin harus memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan
membantu mereka untuk memahami pentingnya tugas atau tujuan
yang akan dicapai. Pemimpin dalam model teoritis ini biasanya
memiliki standar etika dan moral yang tinggi dan berusaha untuk
memastikan organisasi, kelompok dan keberhasilan individu (Buckley
& Brown, 2005)

2.2 Konflik dalam keeprawatan


2.2.1 Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari
perbedaan ide, nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih
(Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel dkk, 2005).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan
yang terjadi ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap
individu atau kelompok.

2.2.2 Sumber Konflik


Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan
karena:

6
(1) perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis
kelamin, ras, pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman,
tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan, dll
(2) Perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia
karena perbed
(3) aan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.

Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang


melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan
semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan
menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja),
kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan
derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.

7
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,
merupakan sumber konflik yang potensial.

2.2.3 Jenis-jenis Konflik


Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik
antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri.
Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai
dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering
dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya
seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan
loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan,
dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena
seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga
ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer
sering mengalami konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan
bawahannya.

8
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan
kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja
untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa
layanan), keterbatasan prasarana.

2.2.4 Manajemen Konflik

a. Definisi Manajemen Konflik

Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para


pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke
arah penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik

Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan


penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya
konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik
mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini
ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang
lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi
pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini

9
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)

Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah


(problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini
pihakpihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi,
kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan
isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan
masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk
mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi,
dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan
individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan
komunikasi asertif dengan mamaparkan isu dan fakta dengan
jelas, membedakan sudut pandang, meyakinkan bahwa tiap
individu dapat menyampaikan idenya masing-masing, membuat
kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi
pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga
dicapai “win-win solution”.

2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian
pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri.

10
Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada
persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.

3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika
cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat.
Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani masalah yang
menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.

4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik

11
ini kurang tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting,
dan adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara
dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi
adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak
dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

12
Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik

c. Proses Manajemen Konflik keperawatan


Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,
dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari
keberhasilan suatu intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen
konflik menurut
Learning&
Diagnosis Intervention Conflict effectiveness

- Measurement - Leadership - Amount of - Individual


- Analysis - Culture conflict - Group
- Design - Conflict - Organization
styles

FEEDBACK

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah


pengumpulan data-data antara lain identifikasi batasan konflik,
besarnya konflik, sumber konflik, kemudian mengkaji sumber daya
yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat dioptimalkan untuk

13
membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis
terhadap datadata yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk
menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan
berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan
dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan
compromising).

Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-


macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan
berdasarkan dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang dimaksud
adalah intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki
keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu
memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga
penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami
mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman
individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat
merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam
menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu
akan memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain
itu, intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi,
seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki,
prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk
menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang individu
yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari


adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah

14
dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai
suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau
suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya
(Hendel, 2005). Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi
terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sekaligus hal ini sebagai
feedback proses diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun
konflik yang baru.

d. Outcome Resolusi Konflik

Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses


manajemen konflik antara lain:
1) Win-lose

Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain


terabaikan. Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan
kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit mengalami
kekalahan.
2) Lose-lose

Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian.


Teknik penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak
ketiga untuk mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi
ini.
3) Win-win

Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan


mendapatkan manfaat dari penyelesaian konflik

2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a


conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika

15
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam
suatu konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial
terjadinya konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko
and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif
pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi.
Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu
konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang
mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization)
(Runde and Flanagan, 2007).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya
proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-
sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk
meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu
memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat
terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi
penyelesaian masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan
demokratis cenderung memilih strategi integrating (problem solving), obliging,
dan compromising yang lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya
kepemimpinan autokratis cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan
gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim,
2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal
The International Journal of Conflict Management, gender juga memegang
peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih
strategi avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut

16
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging.
Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh
suasana saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang
bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila
suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan
(Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa
dilihat dalam model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan
menerapkan CAPI (Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam
manajemen kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan,
otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang
tepat.

Konfpik yang terjadi di rumah sakit


Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau
lebih dalam suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang
akan mengancam kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi
dapat ditemukan pada kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan
organisasi, ketersediaan sarana, perilaku kompetisi dan personaliti serta
peran yang membingungkan.
Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai
modal utama pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh
kesan, rasa hormat, kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan
harapan. Dengan kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah
kepercayaan, nilai-nilai, pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa
kemampuan ini seorang pemimpin tidak dapat menyelesaikan konflik
dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin juga harus mampu
menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan

17
strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model
“CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan
oleh Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah
direktur keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami
sumber-
sumber konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa
dijadikan sebagai ekplorasi ide-ide yang kreatif, sehingga bisa
meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa
yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama
menyelesaikan konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai
dipakai oleh direktur keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas
adalah democratic style dimana pemimpin mendorong partisipasi bawahan
untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Direktur
keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer
keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang
pemimpin dalam menyelesaikan konflikatas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai
manajer ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam
menyelesaikan konflik. Selain itu direktur keperawatan harus menjadi
fasilitator antara kedua manager keperawatan dalam menyelesaikan
konflik tersebut.

18
b. Peran informasional

Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan


langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang
lebih prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan

Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat


keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana
yang akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalam
mendistribusikan sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus
mampu melakukan negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku
manager keperawatan terkait sumber dana yang ada, sehingga
dihasilkan keputusan yang win-win solution antara kedua belah pihak.

Analisa Strategi Penyelesaian Konflik


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik
(a conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami
dinamika terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon
konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani
konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007). Menurut Rahim (2002) proses manajemen konflik
meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi (feedback).
Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan
sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar
kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis konflik yang
terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik antar kelompok.

19
Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J dan Perawat
R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang menjalin
komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok
bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masingmasing, dalam
kasus ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok perawat yang
bekerja di unit perawatan neuroscience dan perawat yang bekerja di
unit perawatan bedah ortopedi yang sama-sama menuntut adanya
renovasi di unit perawatan masing-masing.

B Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam
kasus di atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu
melibatkan pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur
keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara mempertemukan kedua
pihak yang berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah,
misalnya dalam suatu rapat. Mediasi dimana pihak ketiga membantu
menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang
berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya dari mediasi,
dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang
kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan
yang adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi
yang baik sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih.
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya
operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience,
kemudian 50% untuk unit bedah ortopedi, kemudian di tahun
selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.

20
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan
biaya 75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan
sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya
dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk
renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi: 1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri
dari:
- Bagaimana proses berjalan?

- Terdapat progress atau tidak?

- Berapa orang yang terlibat?

- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang


berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik
(negatif/positif, verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian
masalah atau memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang
telah direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah
apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang
konstruktif atau destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa
diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian
masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap

21
sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan
individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang
bersifat negatif, dan menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi
(Runde and Flanagan, 2007).

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilainilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang
pemimpin memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif
dalam pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya
kepemimpinan seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan
konflik (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah
satu model penyelesaian konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),
yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan
diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi
batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan identifikasi
strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat
bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan
gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin
dan mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan
proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan
konflik saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat

22
memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses
terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses
diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.

4.3 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan
bagi profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk
dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi
penyelesaian konflik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4),
345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict
Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility
“implications for today’s perspectives on transformational and authentic
leadership”. Management Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.

24

Anda mungkin juga menyukai