Anda di halaman 1dari 30

Praktik K3 individu selama proses pembelajaran seperti upaya

memutus rantai infeksi, pencegahan bahaya fisik, radiasi, kimia, ergonomik,

dan psikososial

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Kesehatan Kerja Dalam Keperarawatan

Dosen Pengampu : Desak Nyoman Sithi, Skp,MARS.

Disusun oleh :

Mella Mahardika (052) Devira Gite Pratiwi (070)

Gabriell Regina Solagracia M (064) Rensi Hepi Farenta (076)

Della Yunita (066) Srimpi Pamulatsih (082)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan izin-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”praktik K3 individu selama proses
pembelajaran seperti upaya memutus rantai infeksi, pencegahan bahaya fisik, radiasi, kimia,
ergonomik, dan psikososial” dengan baik. Dalam kesempatan ini kami juga mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Desak Nyoman Sithi, Skp,MARS selaku dosen
mata kuliah Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Keperawatan yang sudah memberikan
kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Harapan kami adanya makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Kami juga menyadari
masih banyak kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, maka dari itu kami sangat
membutuhkan saran untuk mengembangkan makalah kami ini agar menjadi lebih baik
Kepada semua pihak yang telah bekerja keras sesuai dengan kapasitasnya masing-masing
disertai dedikasi tinggi dan hati yang ikhlas untuk menyelesaikan makalah ini, kami
sampaikan terima kasih.

Jakarta, 6 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) yaitu segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya
manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan
rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di
rumah sakit.

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas,
jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun
para pengunjung yang ada di lingkungan RS.

Pengendalian bahaya berguna agar terjadinya incident, accident, penyakit akibat


kerja ataupun penyakit akibat hubungan kerja di tempat kerja berkurang atau tidak
terjadi kembali. Menurut Budiono, dkk (2003) hirarki pengendalian bahaya yang
pertama adalah eliminasi, selanjutnya substitusi, lalu engineering control, kemudian
administrative control dan yang terakhir penggunaan alat pelindung diri. Penggunaan
alat pelindung diri sebagai pengendalian bahaya terakhir apabila pengendalian bahaya
dengan eliminasi, substitusi, engineering control dan administrative control sudah
dilaksanakan tetapi belum bisa mengendalikan bahaya yang ada.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23


dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus
diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling
sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa
Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku
langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS.
Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.
Pemerintah juga mengeluarkan undang-undang Keselamatan Kerja No. 1 tahun 1970.
Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja yang
bekerja agar tempat dan peralatan produksi senantiasa berada dalam keadaan selamat
dan aman bagi pekerja.

Adanya undang-undang tersebut bukan berarti tidak ada kecelakan kerja lagi. Hal
ini dikarena faktor manusia juga menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan kerja
atau kecenderungan pekerja untuk celaka (accident proneness). Accident proneness
adalah kenyataan, bahwa untuk pekerja-pekerja tertentu terdapat tanda- tanda
kecenderungan untuk mengalami kecelakaan. Hal ini jelas betapa pentingnya faktor
manusia dalam terjadinya kecelakaan akibat kerja. Beberapa penelitian juga
mengatakan bahwa 80%-85% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia (unsafe
action). Unsafe action tersebut salah satunya dikarenakan oleh tidak menggunakan
alat pelindung diri (Anizar, 2009).

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari K3 kesehatan ?
2. Apakah pengertian Hazard ?
3. Apa saja upaya untuk memutus rantai infeksi
4. Bagaimana upaya pencegahan bahaya fisik, radiasi, kimia, ergonomic, dan
psikososial ?
5. bagaimana cara pengendalian risiko bahaya ?

1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan
mahasiswa serta membuat pembaca paham tentang pentingnya upaya pencegahan
bahaya fisik, radiasi, kimia, ergonomic, dan psikososial.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian K3

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah ilmu terapan yang bersifat multi
disiplin, bidang yang terkait dengan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang
bekerja di sebuah institusi maupun lokasi proyek. Menurut America Society of safety and
Engineering (ASSE) K3 diartikan sebagai bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah
semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan lingkungan dan situasi kerja.

Pengertian K3 menurut undang-undang No.1 tahun 1970 (1) adalah upaya dan
pemikiran dalam menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani dan rohani manusia pada
umumnya dan pekerja pada khususnya serta hasil karya budaya 12 dalam rangka menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila

Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I pasal 2,


Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja
memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani, maupun sosial,
dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum. Selain pendapat
diatas, ada beberapa ahli yang mendefinisikan tentang kesehatan yaitu Parkins (1938)
mendefinisikan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk
dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Hal yang sama
diutarakan oleh sedangkan Pepkin’s (1978)menguraikan bahwa sehat adalah suatu keadaan
keseimbangan yang dinamis antara bentuk tubuh dan fungsi yang dapat mengadakan
penyesuaian, sehingga dapat mengatasi gangguan dari luar. Sedangkan menurut White (1977)
menjelaskan bahwa sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak
mempunyai keluhan apapun atau tidak ada tanda – tanda suatu penyakit dan kelainan.Kondisi
kesehatan pekerja haruslah menjadi perhatain karena pekerja adalah penggerak atau aset
perusahaan konstruksi. Jadi kondisi fisik harus maksimal dan sehat agar tidak mengganggu
proses kerja seperti pernyataan ILO/WHO (1995) bahwa kesehatan kerja adalah suatu upaya
untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kesejahtaraan fisik, mental dan sosial yang
setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan
diantara pekerja yang disebabkan oleh 11kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan
pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang diadaptasikan dengan kapabilitas
fisiologi dan psikologi; dan diringkaskan sebagai adaptasi pekerjaan kepada manusia dan
setiap manusia kepada jabatannya.Suma’mur (1976) memberikan definisi kesehatan kerja
sebagai : “Spesialisasidalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan
agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi- tingginya, baik fisik
atau mental maupun sosial dengan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum”.Kesehatan kerja adalah suatu
kondisi kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja maupun penyakit umum. Kesehatan dalam ruang lingkup kesehatan,
keselamatan, dan keamanan kerja tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari
penyakit. Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, Bab I pasal 2,
keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan keadaan jasmani, rohani, dan kemasyarakatan
(Slamet, 2012). Mia (2011) menyatakan bahwa kesehatan kerja disamping mempelajari
faktorfaktor pada pekerjaan yang dapat mengakibatkan manusia menderita penyakit akibat
kerja (occupational disease) maupun penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya
(work-related disease) juga berupaya untuk mengembangkan berbagai cara atau pendekatan
untuk pencegahannya, bahkan berupaya juga dalam meningkatkan kesehatan (health
promotion) pada manusia pekerja tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah
suatu kondisi kerja yang terbebas dari ancaman bahaya yang mengganggu proses aktivitas
dan mengakibatkan terjadinya cedera, penyakit, kerusakan harta benda, serta gangguan
lingkungan. OHSAS 18001:2007 mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai
kondisi dan faktor yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan
pekerja (termasuk pekerja kontrak dan kontraktor), tamu atau orang lain di tempat kerja. Dari
definisi keselamatan dan kesehatan kerja di atas serta definisi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan OHSAS dapat disimpulkan bahwa
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu program yang menjamin keselamatan dan
kesehatan pegawai di tempat kerjaMangkunegara (2002) menyatakan bahwa keselamatan dan
kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan
dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan
manusiapada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan
sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi
baik jasa maupun industri .Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan satu upaya
pelindungan yang diajukan kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya. Hal
tersebut bertujuan agar tenaga kerja dan orang lain yang ada di tempat kerja selalu dalam
keadaan selamat dan sehat serta semua sumber produksi dapat digunakan secara aman dan
efisien (Suma’mur, 2006). Menurut Ridley (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000),
mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang
sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan
lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Sama halnya dengan Jackson (1999),
menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisikondisi
fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang
disediakan oleh perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya
akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh
perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja
(zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost)
perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang
memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang (Prasetyo,
2009).Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan
kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan

Secara umum keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai ilmu dan penerapannya yang
berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan pekerjaan guna menjamin
keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian
lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi penyediaan APD, perawatan mesin dan pengaturan
jam kerja yang manusiawi.

Dalam K3 juga dikenal istilah Kesehatan Kerja, yaitu : suatu ilmu yang penerapannya
untuk meningkatkan kulitas hidup tenaga kerja melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
Penyakit Akibat Kerja meliputi pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan pemberian makan
dan minum bergizi.

Istilah lainnya adalah Ergonomy yang merupakan keilmuan dan aplikasinya dalam hal
sistem dan desain kerja, keserasian manusia dan pekerjaannya, pencegahan kelelahan guna
tercapainya pelakasanaan pekerjaan secara baik.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah sarana utama untuk mencegah kecelakaan
kerja, baik kecelakaan yang mengakibatkan kerugian yang bersifat langsung ataupun tidak
langsung. Adapun kecelakaan yang bersifat langsung dapat berupa luka ringan (memar, lecet,
pendarahan ringan dan lain-lain) ataupun luka berat (luka tebuka, putus jari, pendarahan berat
dan lain-lain) dan kematian sedangkan kerugian yang bersifat tidak langsung dapat berupa
kerusakan mesin, proses produksi terhenti, kerusakan pada lingkungan dan biaya yang cukup
besar yang harus dikeluarkan perusahaan akibat dari kecelakaan kerja.

2.2 Pengertian Hazard

Bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang menpunyai kemungkinan
mengakibatkan kerugian baik pada harta benda, lingkungan, maupun manusia (Budiono,
2003).

Menurut Suardi (2005), bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menjadi penyebab
kerusakan. Ini dapat mencakup substansi, proses kerja dan atau aspek lainnya dari lingkungan
kerja.

Bahaya (hazard) adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan cidera (injury) atau
kerusakan (damage) baik manusia, properti dan Setiap kegiatan yang dilakukan tidak ada
satupun yang bebas dari resiko yang ditimbulkan dari bahaya, demikian pula kegiatan yang
dilakukan di industri yang dalam proses produksinya menggunakan proses kimia. Proses
kimia pada industri memberikan potensi bahaya yang besar, potensi bahaya yang ditimbulkan
disebabkan antara lain: penggunaan bahan baku, tingkat reaktivitas dan toksitas tinggi, reaksi
kimia, temperatur tinggi, tekanan tinggi, dan jumlah dari bahan yang digunakan. Potensi
bahaya yang ditimbulkan diperlukan upaya untuk meminimalkan terhadap risiko yang
diterima apabila terjadi kecelakaan (Baktiyar, 2009). Mengingat potensi bahaya yang besar
pada industri yang menggunakan proses kimia, maka diperlukan upaya pengendalian,
sehingga resiko yang ditimbulkan pada batas-batas yang dapat diterima melalui Risk
Assessment. lingkungan (Baktiyar, 2009)

2.3 Upaya Memutus Rantai Infeksi

Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering


terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau
disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian
pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus
membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.

HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak
berasal dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien
masuk rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari
setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari
rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.

Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari
1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi  ini menunjukkan penurunan
mutu pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul
tuntutan hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan
kesehatan harus menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok


yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada
petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari
petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas,
mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk


melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi
karena dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi,
Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi
& Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi.

Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik
bagi  mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang
pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua
mahasiswa/siswa dan peserta magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar
dalam penularan infeksi dan akan beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi
mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses
terjadinya infeksi, mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta bagaimana
pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila sampai terjadi infeksi
nosokomial akan cukup sulit mengatasinya, pada umumnya kuman sudah resisten terhadap
banyak antibiotika. Sehingga semua mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang akan
mengadakan praktik di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga
karyawan baru yang akan bertugas harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI)
tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

a. Rantai Penularan Infeksi

Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata
rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang
diperlukan sehingga terjadi penularan adalah:

1. Agen infeksi  (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan


infeksi.  Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit.
Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load)
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak
dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada
manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina
3. Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran
kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan
tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi 
dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :

A. Kontak (contact transmission):

1)      Direct/Langsung:   kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada
saat pemeriksaan fisik, memandikan pasen

2)      Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat) perantara:
melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci

B. Droplet :

partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tidak bertahan lama
di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut
contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib),  Virus
Influenza, mumps, rubella               

C. Airborne :

partikel kecil ukuran <  5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh, dapat
terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis,                      virus campak, Varisela
(cacar air), spora jamur

D. Melalui Vehikulum : 

Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan kuman penyebab sampai
masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma,
tinja, makanan

E. Melalui Vektor : 
Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat menularkan kuman penyebab 
cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau
makanan. Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat

5. Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu
(yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui:  saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah  orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh
yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor
yang mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar
yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan  imunosupresan. Sedangkan faktor
lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

b. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen
infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko pada
penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya
infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat  pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi
hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan
secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan  metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan
Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan
Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan)

4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap


petugas kesehatan. Berkaitan  pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah
atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai
atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B,
Hepatitis C, dan HIV.

c. Kewaspadaan Isolasi

Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada pasien
lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan  benar dapat menurunkan risiko
transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan
transmisi mikroba infeksius diantara  petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus
diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium
keluar.

Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

 Standard Precautions /Kewaspadaan Standar

gabungan dari:

 Universal Precautions/Kewaspadaan Universal


 Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh

berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit
pelayanan kesehatan
Sejarah Kewaspadaan Isolasi

 Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung
terinfeksi/kolonisasi. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang
sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:

1. Kebersihan tangan/Handhygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindungwajah), gaun
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hyangiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi


Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien 
gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang dapat
ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak  kulit atau permukaan terkontaminasi.

3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:

–   kewaspadaan transmisi kontak

–   kewaspadaan transmisi droplet

–   kewaspadaan transmisi airborne


Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah
ataupun kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan transmisi Kontak

a)      Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah
HAIs)
 Kohorting (management MDRo )

b)      APD petugas:

 Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak  bahan infeksius, lepaskan sarung
tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik
 Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan

c)      Transport pasien

 Batasi kontak saat transportasi pasien

2. Kewaspadaan transmisi droplet

a)      Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m


 Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka

b)      APD petugas:

 Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien

c)      Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi


 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne

a)      Penempatan pasien :

 Di ruangan  tekanan negatif


 Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol
 Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA
 Pintu harus selalu tertutup rapat.
 kohorting
 Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting  jarak >1 m
 Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah
penyebaran
 Ventilasi  airlock  à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
 Terpisah  jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang

b)      APD petugas:

 Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur


 Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
 Gaun
 Goggle
 Sarung tangan
(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

c)      Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi  patogen yang sama di ruang
yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi

Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien
rawat inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari
seluruh pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu  lainnya
3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius
5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak  darah dan cairan tubuh serta
barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan.
Ganti sarung tangan antara pasien.
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang
pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal
dan obtainer/container pasien lainnya.
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan
dan didisinfeksi  benar.

d. Kebersihan Tangan

Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS. Menjaga kebersihan


tangan dengan baik dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan
frekuensi infeksi nosokomial. Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar
pengendalian infeksi. Teknik yang digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah. Dapat
memakai antiseptik, dan air mengalir atau handrub berbasis alkohol.

Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi


penyebab infeksi (orang ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa
cuci tangan menunjang penurunan insiden MRSA, VRE di ICU.
Kapan Mencuci Tangan?

 Segera setelah tiba di rumah sakit


 Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien
 Sebelum dan sesudah kontak  pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh
pasien
 Diantara kontak pasien satu dengan yang lain
 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien
 Sesudah ke kamar kecil
 Sesudah kontak  darah atau cairan tubuh lainnya
 Bila tangan kotor
 Sebelum meninggalkan rumah sakit
 Segera setelah melepaskan sarung tangan
 Segera setelah membersihkan sekresi hidung
 Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

Alternatif Kebersihan Tangan

 Handrub berbasis alkohol 70%:

–        Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas

–        Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau

–        Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml  100 ml alkohol 70 %)

Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan  air bersih mengalir dan sabun harus dilakukan
 Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika
tangan kotor harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir
 Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir
 Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya  mencuci tangan 
sabun antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997.
 Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit

Enam langkah kebersihan tangan :

Langkah 1    :         Gosokkan kedua telapak tangan

Langkah 2    :         Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan
sebaliknya

Langkah 3    :         Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang

Langkah 4    :         Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan
sebaliknya

Langkah 5    :         Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar,
dan lakukan sebaliknya

Langkah 6    :         Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan
kiri, dan lakukan sebaliknya.

2.4 Upaya Pencegahan Bahaya Fisik, Radiasi, Kimia, Ergonomik, dan Psikososial.

RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT.


Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat
mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro organisme patogen
tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan tetapi dampak dari resiko
bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan, maka dapat berdampak serius baik
terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta masyarakat
disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok
sebagai berikut;
a.       Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:

1. Resiko bahaya mekanik


Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

a)   Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores,
dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan
kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini
sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang
menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat
tertular penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk
jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.

b)  Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah sakit banyak
digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang
dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta
dorong, dan lain-lain.

c)  Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput
kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan
anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang
memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.

d)  Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain. Resiko ini
terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan
halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil
atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.

e)  Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu
diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang
cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja
tersebut menggunakan abuk keselamatan.
Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada
sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat
bermain.

2)      Resiko bahaya radiasi


Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:

a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu
menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah sakit: di unit
radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.

b)   Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup
untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta didik,
pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang
resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat
paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal
yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai
personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga
dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk
pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy radiasi
terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada
petugas”.

3)  Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja
yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler, generator
listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya
tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun
2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien
harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan yang tidak
memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta
dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.

4)   Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang
atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah sakit juga telah dipantau dan
dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika
terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan
lampu sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area
tersebut.

5)  Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif maintenance seluruh
peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian
peralatan yang telah out off date.
Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan
keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat orientasi dan
untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya
pasien rawat inap.

6)  Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika
suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan
kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika
ditemukan kondisi tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS,
PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.

7)   Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit
tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan
motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).
b.      Resiko Bahaya Biologi

1)   Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah
dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi
dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi
pelayanan langsung kepada pasien.

2)   Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh
ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan
penghuni rumah sakit.

c.       Resiko Bahaya Kimia


Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan
peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan
peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan
kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4. Reagen yaitu  zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang
pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide,
dan lain-lain.

Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh
satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan,
pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku
di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material
Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan
pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau
didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD
sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur
penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten
untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan
pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta
kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan
B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan
masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke
Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan ke
pihak pengolah limbah B3.

d.       Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan
angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja.
Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.

e.       Resiko Bahaya Psikologi


Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan hubungan
antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun
pekerja dengan pimpinan.

3.       HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy sebagai
berikut;

Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya
adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu
sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang
paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko,
namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan
ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di eliminasi
ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.

Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan
dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan
bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh
aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi
mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang
berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat
yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.

Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk
mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem
mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada ruang
perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan shield /sekat Pb pada
pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.

Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan pekerjaan.
Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan
dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis pengendalian ini
antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasional Prosedur (SOP), pelatihan,
pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen
perubahan, jadwal istirahat, dan lain-lain.
Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang paling
tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan
berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan memperhatikan jarak dan waktu kontak
dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan resiko bahaya maka resiko yang didapat
semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat
juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja seperti kurang
leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD
tertentu, dan lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang faham terhadap dampak resiko bahaya
dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan dalam penggunaan APD juga menjadi
rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas
perlindungan dari APD tersebut tetap optimal.
Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

               Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.

2.5. PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.


Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh resiko
bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian resiko bahaya
yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai berikut:

1.       Resiko bahaya fisik


a) Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan  terpeleset atau
menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain:
penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas,
pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan rambu
“awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih
kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
b) Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran
nuklir, ruang cath lab  dan beberapa kamar operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray.
Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan rambu peringatan bahaya
radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat
paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi
dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.
c) Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik  dan ruang chiller.
Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru
dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan pelindung telinga dan
pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah
Sakit (ISLRS).
d) Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan
teliti  seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan
adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan
dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat
pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e) Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan listrik
harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian
IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito secara
berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai
akan diberikan label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak
pakai akan diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS.
Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja
tentang perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.
f) Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban
ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari
standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI no
1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Masalah yang
sering muncul adalah temperatur  melebihi standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang
produksi gizi, karena belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang
dilakukan dengan pemberian minum yang cukup. Masalah kelembaban yang tinggi
beresiko terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik
bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi
pada musim tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk
menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU dan kamar
operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan pemantauan angka kuman
secara berkala.
g) Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah
yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di bagian taman akibat
dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat
getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.

2.       Resiko bahaya biologi : resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman
patogen dari pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet dan udara.
Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease dikendalikan
dengan rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko
penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar
pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne
dissease dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single use beserta persturan administratif
dan APD. Selain itu untuk mencegah pe nularan penyakit blood borne dissease khususnya
Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar
titer anti HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien. Selain
itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis
B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas
pasien atau terkena percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena
pada luka, maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan
setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar dilakukan telaah
dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk mengurangi resiko tertular.
3.       Resiko bahaya kimia: resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan
beracun (B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3,
pelabelan standar, penyimpanan standar, penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan safety
shower serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan
penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.

4.       Resiko bahaya ergonomi: resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik
pasien maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar selalu
dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit juga harus
mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain
yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan.

5.       Resiko bahaya psikologi: resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada
meskipun kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan
mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan pimpinan dan pada acara-acara
bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar terjalun komunikasi
yang baik sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya
psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.

Anda mungkin juga menyukai