Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

OLEH:

NAMA : Beniard Elvin Mendrofa


NIM : 01503180034

Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas Profesi NERS di dalam mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah (KMB)

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obrtruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit radang paru-
paru progresif yang ditandai dengan bronkitis kronis, penebalan jalan napas,
dan emfisema (Brashier& Kodgul, 2012). Orang dengan COPD harus bekerja
lebih keras untuk bernafas, sehingga menyebabkan sesak napas dan mudah
merasa lelah saat melakukan aktifitas. Ketika penyakit ini berkembang, akan
sulit untuk melakukan inhalasi (menarik nafas) dan ekshalasi (mengembuskan
nafas). Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi 251 juta kasus
COPD secara global pada tahun 2016.Secara global, diperkirakan 3,17 juta
kematian disebabkan oleh penyakit ini pada 2015 (yaitu, 5% dari semua
kematian secara global pada tahun itu). Lebih dari 90% kematian COPD terjadi
di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2017). Bahkan,
COPD sudah menjadi penyebab utama kematian ketiga di dunia saat ini. Dalam
15 tahun, COPD diharapkan menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia
(Quaderi & Hurst, 2018).
Dari hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, didapatkan
prevalensi penderita PPOK di Indonesia dengan umur ≥30 tahun adalah 3,7
persen dengan provinsi terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur (10 persen) dan
Sulawesi Tengah (8.0). Dilihat dari jenis kelamin, laki-laki menderita PPOK
lebih banyak dari perempuan (laki-laki 4,2 persen dan perempuan 3,3 persen)
(Depkes RI, 2013)
Faktor risiko utama untuk PPOK adalah merokok. Hingga 75 persen
orang yang memiliki COPD merokok atau terbiasa merokok. Orang-orang yang
memiliki riwayat keluarga PPOK lebih mungkin untuk mengembangkan
penyakit jika mereka merokok. Paparan jangka panjang terhadap iritan paru-
paru lainnya juga merupakan faktor risiko PPOK. Contoh iritan paru-paru
lainnya termasuk polusi udara, asap kimia dan debu dari lingkungan atau tempat
kerja, dan asap rokok, yang merupakan asap di udara dari orang lain yang
merokok. Selain itu faktor gen juga dapat menyebabkan pengembangan
penyakit PPOK ini (NIH, 2018).
Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan
jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India. Peningkatan
konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok
dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Tahun 2030 diperkirakan
angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa. Dan 70 persen
diantaranya berasal dari negara berkembang. Dari hasil analisis Riskesdas 2007
hingga 2013 menunjukkan bahwa terjadi sedikit peningkatan proporsi
masyarakat yang merokok tiap hari dari tahun 2007 ke tahun 2013 (23,7% -
24,3 %). Terjadinya peningkatan jumlah perokok di dunia khususnya di
Indonesia akan berdampaknya terhadap kualitas kesehatan masyarakat di
Indonesia, tentu saja penyakit cardiovaskular dan penyakit respirasi seperti
penyakit PPOK akan semakin meningkat.
Melihat prevalensi manusia yang menderita PPOK terus meningkat,
penulis merasa bahwa penting untuk meninjau lebih dalam mengenai penyakit
ini. Oleh karena itu penulis membuat laporan mengenai asuhan keperawatan
pada pasien dengan PPOK.
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui konsep dasar
dan menerapkan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan
PPOK.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan laporan ini adalah sebagai berikut
1) Untuk mengetahui defenisi, anatomi dan fisiologi, etiologi,
manifestasi klinis, patofisiologi, penatalaksanaan medis,
komplikasi serta prognosis dari PPOK
2) Untuk menerapkan asuhan keperawatan sesuai dengan teori
keperawatan yang terkini.
1.3 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penulisan, tujuan
penulisan, dan manfaat penulisan laporan kasus asuhan keperawatan pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

BAB II KONSEP DASAR


Bab ini menjelaskan mengenai konsep dasar Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) meliputi definisi, klasifikasi, etiologi, anatomi dan
fisiologi, patofisiologi, manifestasi klinis berdasarkan pola gordon,
penatalaksanaan medis, komplikasi, prognosis, dan pemeriksaan penunjuang.
Serta konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien meliputi diagnosa
keperawatan yang berdasarkan pada NANDA 2015-2017 dan rencana asuhan
keperawatan yang berdasarkan NOC dan NIC.

BAB III TINJAUAN KASUS


Bab ini menjelaskan mengenai asuhan keperawatan pasien dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) meliputi pengkajian, penegakan
diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi berdasarkan kasus di
lapangan praktik profesi keperawatan.

BAB IV PEMBAHASAN KASUS


Bab ini menjelaskan mengenai teori Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK) dan hubungannya dengan kasus di lapangan praktik keperawatan
yang meliputi definisi dari diagnosa yang ditegakkan, alasan penegakan
diagnosa, penentuan prioritas diagnosa, implementasi yang dilakukan, dan
evaluasi. Serta membahas kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dan akibat
dari kesenjangan tersebut.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan yang didapatkan terkait
asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK yang diberikan dan saran
dalam praktik keperawatan kedepannya.
BAB II
KONSEP DASAR
2.1 Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1. Defenisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit progresif yang
membuatnya sulit bernapas biasanya terdiri atas emfisema dan bronkitis kronis.
Progresif berarti penyakitnya semakin buruk dari waktu ke waktu (NIH, 2018).
Menurut Gold (2018), Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit yang
umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten
dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh saluran napas dan / atau
kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap
partikel atau gas beracun. Menurut COPD Foundation (2019), Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru-paru progresif termasuk emfisema, bronkitis kronis,
dan asma refrakter (tidak dapat dibalikkan), ditandai dengan adanya sesak napas.
Dari defenisi diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PPOK adalah penyakit
progresif yang terdiri atas emfisema dan bronkitis kronis dengan gejala sesak nafas,
disebabkan oleh partikel atau gas beracun.

2.1.2. Etiologi
Sebagian besar kasus PPOK disebabkan oleh menghirup polutan; termasuk
merokok tembakau (rokok, pipa, cerutu, dll.), dan perokok pasif. Asap, bahan
kimia, dan debu yang ditemukan di banyak lingkungan kerja merupakan faktor
yang berkontribusi bagi banyak orang yang menderita PPOK. Jarang terjadi,
Genetika juga dapat berperan dalam pengembangan PPOK, bahkan jika orang
tersebut tidak pernah merokok atau pernah terpapar iritasi paru-paru yang kuat di
tempat kerja (COPD Foundation, 2019).
2.1.3. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi paru
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak
disamping mediastinum. Oleh karena itu,masing-masing paru-paru satu sama
lain dipisahkan oleh jantung dan pembuluh pembuluh besar serta struktur lain
dalam mediastinum. Masing-masing paru berbentuk konus dan diliputi oleh
pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri,
hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru
mempunyai apeks yang tumpul, yang menjorok ke atas, masuk ke leher sekitar
2,5 cm di atas klavikula, fasies kostalis yang konveks, yang berhubungan
dengan dinding dada, dan fasies mediastinalis yang konkaf,yang membentuk
cetakan pada perikardium dan struktur-struktur mediastinum lain. Sekitar
pertengahan permukaan kiri, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan dimana
bronkus, pembuluh darah dan saraf masuk ke paru-paru untuk membentuk
radiks pulmonalis Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibanding paru-paru kiri
dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, lobus
superior, medius dan inferior. Paru-paru kiri dibagi fisura obliqua menjadi 2
lobus, lobus superior dan lobus inferior (Mukti, 2017)
b. Fisiologi Paru
Ketika kapasitas dada meningkat, udara masuk melalui trakea
(inspirasi) karena tekanan yang lebih rendah di dalam dan melukai paru-paru.
Ketika dinding dada dan diafragma kembali ke posisi semula (kedaluwarsa),
paru-paru mundur dan memaksa udara keluar melalui bronkus dan trakea.
Inspirasi terjadi selama sepertiga pertama siklus pernapasan, berakhir pada dua
pertiga kemudian. Fase respirasi inspirasi biasanya membutuhkan energi; fase
ekspirasi biasanya pasif, membutuhkan sedikit energi.
Konsentrasi oksigen dalam darah di dalam kapiler paru-paru lebih
rendah daripada di kantong udara paru-paru (alveoli). Karena gradien
konsentrasi ini, oksigen berdifusi dari alveoli ke darah. Karbon dioksida, yang
memiliki konsentrasi lebih tinggi dalam darah daripada di alveoli, berdifusi
dari darah ke dalam alveoli. Pergerakan udara masuk dan keluar dari saluran
udara (ventilasi) terus menerus mengisi kembali oksigen dan menghilangkan
karbon dioksida dari saluran udara dan paru-paru. Seluruh proses pertukaran
gas antara udara atmosfer dan darah dan antara darah dan sel-sel tubuh disebut
respirasi (Brunner & Suddarth’s, 2010)

2.1.4. Manifestasi Klinis (sesuai Pola Gordon)

a) Persepsi terhadap kesehatan


Penderita penyakit PPOK akan merasa dirinya sakit atau tidak dalam
keadaan yang sehat, kurang berenergi dan cepat letih.
b) Pola aktivitas dan latihan
Keletihan dan kelemahan dalam melakukan aktivitas karena adanya
ketidakseimbangan jumlah oksigen yang diperlukan oleh tubuh.
c) Pola istirahat dan tidur
Gangguan yang terjadi pada pasien dengan Bronkhitis salah satunya adalah
gangguan pola tidur yang disebabkan oleh dispneu atau sesak nafas, batuk
d) Pola nutrisi-metabolik.
Adanya penurunan nafsu makan yang disertai adanya mual muntah pada
pasien dengan Bronkhitis, penurunan BB dan masa otot
e) Pola eliminasi.
Pada pola eliminasi perlu dikaji adanya perubahan ataupun gangguan pada
kebiasaan BAB dan BAK.
f) Pola hubungan dengan orang lain.
Akibat dari proses inflamasi tersebut secara langsung akan mempengaruhi
hubungan baik intrapersonal maupun interpersonal.
g) Pola persepsi dan konsep diri.
Akan terjadi perubahan jika pasien tidak memahami cara yang efektif untuk
mengatasi masalah kesehatannya dan konsep diri yang meliputi (Body
Image, identitas diri, Peran diri, ideal diri, dan harga diri).
h) Pola reproduksi dan seksual.
Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah akan
mengalami perubahan bisa berupa penurunan libido.
i) Pola mekanisme koping.
Masalah timbul jika pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
kesehatannya, termasuk dalam memutuskan untuk menjalani pengobatan
yang intensif.
j) Pola nilai dan kepercayaan.
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan masalah yang
baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian dan akan
mengganggu kebiasaan ibadahnya.

2.1.5. Pemeriksaan Diagnostik

Terdapat pemeriksaan rutin menurut Mukti (2017) antara lain:

1. Faal Paru

a. Spirometri (VEP 1 , VEP 1 prediksi, KVP, VEP 1 /KVP)

 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 prediksi (%) dan atau VEP 1 /KVP
(%)
 Obstruksi : % VEP 1 (VEP 1 /VEP 1 pred) < 80% VEP 1 % (VEP 1 /KVP)
< 75% - VEP 1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
 -Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

b. Uji bronkodilator

 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE


meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 atau APE, perubahan VEP 1 atau
APE <20% nilai awal dan <200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Laboratorium darah
Hb, Ht, Tr, Lekosit, Analisis Gas Darah

3. Radiologi

Pada emfisema terlihat gambaran :

 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

2.1.6 Penatalaksanaan Medis

Terdapat 3 penatalaksanaan dalam PPOK (Mukti, 2017), antara lain:

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
penyakit

2. Berhenti merokok

Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam


mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit.

3. Obat-obatan

 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang.Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).
 Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP 1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
mg
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi. Antibiotik yang digunakan
 Antioksidan
 Mukolitik kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
 Antitusif
 Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor,
roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan
glukokortikosteroid.

2.1.7. Komplikasi

a) Infeksi pernapasan. Penderita PPOK lebih cenderung terserang flu, flu, dan
pneumonia. Infeksi pernapasan apa pun dapat membuat pernapasan menjadi
lebih sulit dan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada jaringan
paru-paru. Vaksinasi flu tahunan dan vaksinasi rutin terhadap pneumonia
pneumokokus dapat mencegah beberapa infeksi.
b) Masalah jantung. Untuk alasan yang tidak sepenuhnya dipahami, PPOK
dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, termasuk serangan jantung.
Berhenti merokok dapat mengurangi risiko ini.
c) Kanker paru-paru. Orang dengan PPOK memiliki risiko lebih tinggi terkena
kanker paru-paru. Berhenti merokok dapat mengurangi risiko ini.
d) Tekanan darah tinggi di arteri paru-paru. PPOK dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi di arteri-arteri yang membawa darah ke paru-paru
Anda (pulmonary hypertension).
e) Depresi. Kesulitan bernafas dapat membuat Anda tidak melakukan kegiatan
yang Anda sukai. Menangani penyakit serius dapat berkontribusi pada
perkembangan depresi (Mayoclinic, 2017)

2.1.8. Prognosis

Dokter menggunakan sistem GOLD untuk menilai orang dengan COPD dalam
"tingkat" penyakit. Grading adalah cara untuk mengukur tingkat keparahan kondisi.
Ini menggunakan volume ekspirasi paksa (FEV1), tes yang menentukan jumlah
udara yang bisa dikeluarkan seseorang dari paru-paru mereka dalam satu detik,
untuk mengkategorikan tingkat keparahan COPD. Pedoman terbaru menjadikan
FEV1 bagian dari penilaian. Berdasarkan skor FEV1, pasien menerima nilai atau
tahap GOLD sebagai berikut:

GOLD 1: FEV1 diprediksi 80 persen atau lebih

GOLD 2: FEV1 diprediksi 50 hingga 79 persen

GOLD 3: FEV1 diprediksi 30 hingga 49 persen

GOLD 4: FEV1 diprediksi kurang dari 30 persen

2.1.9. Patofisiologi

Terlampir pada konsep map


2.2 Tinjauan Teoritis Keperawatan

2.2.1. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas


2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan

2.2.2. Rencana Asuhan Keperawatan

No Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


dx hasil
1 Dalam 3 x 24 jam 1. Kaji faktor penyebab, 1. Menentukan status nyeri dan
diharapkan Nyeri kualitas, lokasi dan memudahkan memberi
berkurang atau skala nyeri intervensi selanjutnya
dapat menghilang 2. Monitor tanda-tanda 2. Dapat mengidentifikasi rasa
dengan kriteria vital pasien setiap 4 jam sakit dan ketidaknyamanan
hasil: 3. Ajarkan teknik 3. membantu pasien untuk
1. Pasien distraksi dan relaksasi rileks, serta mampu
menunjukkan 4. Berikan posisi yang mengalihkan perhatian dari
penurunan skala nyaman bagi pasien nyeri
nyeri 5. kolaborasi pemberian 4. mengurangi rasa sakit,
2. Pasien obat analgesik dengan meningkatkan sirkulasi,
menggambarkan dokter 5. Menekan susunan saraf pusat
rasa nyaman dan pada thalamus dan korteks
rileks serebri sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri
2 Setelah dilakukan 1. Kaji dan monitor 1. Untuk mengetahui status
tindakan status pernafasan, pernafasan dan menentukkan
keperawatan kemampuan batuk intervensi ke depan
selama 3 x 24 jam,
diharapkan dan mengeluarkan
bersihan jalan nafas sekret 2. Bunyi nafas tambahan
menjadi efektif 2. Auskultasi bunyi mengindikasikan adanya
dengan kriteria nafas dan cata bunyi masalah pada paru yang harus
hasil: tambahan ditangani
1. RR: 12-20 3. Pertahankan elevasi
x/menit kepala tempat tidur 3. Posisi kepala elevasi 30-45o
2. Batuk efektif 30-45o membuat pernafasan menjadi
3. Suara paru 4. Ajarkan teknik lebih terbuka
vesikuler batuk efektif
4. Teknik batuk efektif
5. Kolaborasi
meningkatkan keefektifan
pemberian O2 nasal
pengeluaran sputum
kanul 3 lpm
5. Oksigen membantu
6. Kolaborasi
memenuhi kebutuhan pasien
pemberian obat-obat
6. Bronkodilator dapat
bronkodilator dan
membantu membuka jalan nafas
mukolitik :ventolin
dan mukolitik dapat
dan bisolvon
mengencerkan dahak
3 Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Menentukan aktifitas yang
tindakan aktifitas pasien dapat ditoleransi oleh pasien
keperawatan 2. Anjurkan pasien 2. Melatih pasien untuk
selama 3 x 24 jam, untuk melakukan mengerjakan aktifitas yang bisa
diharapkan pasien peningkatan aktifitas dikerjakan sesuai kemampuan
akan secara bertahap secara
mendemonstrasikan toleransi 3. membantu memenuhi ADL
adanya peningkatan 3. Beri semangat pada pasien untuk perawatan diri
dalam beraktifitas pasien untuk melakukan
dengan kriteria aktifitas perawatan diri,
hasil: bantu secara kebutuhan
1. Pasien
mengatakan
tidak ada
perasaan lelah
2. Pasien
mengatakan
istrahatnya
cukup
3. Pasien dapat
melakukan
aktifitasnya
sehari-hari
secara bertahap
4. Nadi 60-100
x/menit
BAB III
TINJAUAN KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Ny.A masuk ke IGD dengan keluhan sesak disertai batuk pada


tanggal 7 Januari 2018. Keluhan sesak ini dirasakan sejak dua bulan terakhir dan
keluhan memberat mulai pada tanggal 5 Januari 2018. Sebelum ini, 2 tahun yang
lalu Ny.A pernah dirawat dengan kasus yang sama pada satu tahun yang lalu dengan
keluhan yang sama di Rumah Sakit X. Ny.A mengatakan bahwa Alm.Tn.Y
suaminya dahulu adalah perokok aktif yang sering merokok di dalam rumah. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa asap rokok merupakan faktor resiko
terbesar penyebab terjadinya PPOK. Dari sekian banyak kasus PPOK, 85%
disebabkan karena rokok (50% nya adalah perokok aktif) dan 15% dikategorikan
diluar asap rokok (Brashier & Kodgule, 2012). Selain itu dari data COPD
Foundation (2019), disebutkan bahwa PPOK paling sering terjadi pada orang
berusia 40 tahun ke atas dan memiliki riwayat merokok, berupa individu yang
perokok aktif atau mantan perokok. Meskipun tidak semua orang yang merokok
terkena COPD, sebagian besar individu yang menderita COPD (sekitar 90% dari
mereka) merokok. Hal ini mengingat bahwa Ny.A berusia 60 tahun dan dahulu
sering terpanjan dengan asap rokok almarhum suaminya.
Dari keadaan klinis Ny.A, dapat dilihat bahwa PPOK mengalami
eksaserbasi akut atau perburukan dari gejala PPOK sehingga harus diberikan
kortikosteroid untuk menekan inflamasi pada paru. Adapaun derajat eksaserbasi
Ny.A yaitu moderate yaitu eksaserbasi yang ditangani dengan kortikosteroid
parenteral dengan atau tanpa antibiotik. Tidak dijumpai gagal nafas atau jika
tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien, dapat
diasumsikan tanpa gagal nafas. Ny.A telah diperiksa analisa gas darah dan
hasilnya adalah masih di dalam rentang normal. Adapun obat kortikosteroid
yang diberikan adalah methylprednisolon 12,5 mg secara intravena.
Dari data pengkajian keperawatan yang telah disajikan di BAB 3, dapat
ditarik tiga diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut, bersihan jalan nafas tidak
efektif, serta intoleransi aktifitas. Praktikkan memberikan diagnosa nyeri akut
dan bukan nyeri kronis karena nyeri baru dirasakan 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit walaupun merasakan sesak nafas sudah dari dua tahun terakhir.
Intervensi yang diberikan berupa teknik distraksi dan relaksasi, pemberian
posisi yang nyaman, serta kolaborasi pemberian obat nyeri. Bersihan jalan nafas
tidak efektif disebabkan karena adanya hipersekresi dari mukus pada alveolus
atau pada saluran pernafasan sehingga mengganggu pasien di dalam melakukan
respirasi. Batuk efektif perlu diajarkan pada pasien agar membantu
mengeluarkan sekret tersebut tanpa menghabiskan energi dengan batuk terus-
menerus. Selain itu kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator juga
membantu untuk memecahkan dan mengeluarkan sekret dari paru. Intoleransi
aktifitas pada pasien disebabkan karena kurangnya pasokan oksigen yang
diterima oleh tubuh disaat terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen oleh tubuh
disaat melakukan aktifitas. Intervensi keperawatan yang diberikan pada
diagnosa ini adalah membantu pasien untuk melakukan aktifitas secara bertahap
sesuai dengan aktifitas yang toleran. Pasien secara bertahap melakukan aktifitas
seperti makan, berpakaian, berpindah posisi secara mandiri serta mandi dan
BAB dan BAK di toilet harus dengan bantuan dari keluarga. Sebenarnya jika
mengacu pada patofisiologi PPOK, terdapat masalah keperawatan lain yaitu
pola nafas tidak efektif, tetapi praktikkan tidak mengangkat diagnosa tersebut
berhubung karena pola nafas tidak efektif merupakan kompensasi tubuh karena
kekurangan oksigen di dalam tubuh sehingga menyebabkan sesak nafas. Hal ini
disebabkan karena adanya hipersekresi dari mukus di alveolus dan
penyempitaan jalan nafas yang disebabkan oleh peradangan pada parenkim
paru. Sehingga jika masalah bersihan jalan nafas diselesaikan terlebih dahulu,
maka pola nafas efektif juga akan teratasi.
Dari tiga hari perawatan di Rumah Sakit, pasien mengalami perbaikan
kondisi klinis dimana sesak berkurang dengan respiratory rate 24x/menit pre
intervensi menjadi 21 x/menit post-intervensi. Selain itu batuk juga berkurang
dan dapat mengeluarkan sputum kental berwarna bening. Pasien juga
mengatakan bahwa mulai bisa mandi dikamar mandi dengan sesak dan
kelelahan yang berkurang. Nyeri di dada saat bernafas juga berkurang dari 7/5
hingga menjadi 5/4 walaupun nyeri tidak hilang sepenuhnya, sehingga
intervensi untuk nyeri akut harus terus dilanjutkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
PPOK adalah penyakit progresif yang terdiri atas emfisema dan bronkitis
kronis dengan gejala sesak nafas dan biasanya disebabkan oleh partikel atau gas
beracun. Asap rokok merupakan faktor resiko terbesar penyebab terjadinya PPOK.
Dari sekian banyak kasus PPOK, 85% disebabkan karena rokok (50% nya adalah
perokok aktif) dan 15% dikategorikan diluar asap rokok (Brashier & Kodgule,
2012). Pemeriksaan penunjang antara lain : Faal Paru berupa Spirometri (VEP 1 ,
VEP 1 prediksi, KVP, VEP 1 /KVP) dan Uji bronkodilator, Laboratorium darah
berupa Hb, Ht, Tr, Lekosit, Analisis Gas Darah, serta Radiologi. Penanganan dari
PPOK antara lain Edukasi dalam menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru, menghindari pencetus dan
memperbaiki derajat penyakit. Berhenti merokok merupakan satu-satunya
intervensi yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresivitas penyakit. Obat-obatan yang dipakai antara lain:
bronkodilator, mukolitik, kortikosteroid, antikoksidan, dan Phosphodiesterase-4
inhibitor.

Pengkajian yang komprehensif dan tepat membantu menentukan


diagnosa keperawatan dan intervensi yang diperlukan oleh pasien. Diagnosa
keperawatan pada pasien Ny.A antara lain: nyeri akut, bersihan jalan nafas tidak
efektif, dan intoleransi aktifitas. Intervensi yang diberikan disesuaikan dengan
SDKI yang berlaku di Rumah Sakit tempat praktikkan melakukan asuhan
keperawatan.

5.2. Saran

Saran praktikan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan intervensi


keperawatan hingga pasien dinyatakan bisa pulang ke rumah sehingga hasil yang
ditemukan dari intervensi keperawatan bisa lebih optimal
DAFTAR PUSTAKA
NIH.(2018). COPD. Retrieved January, 10th from
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/copd
Mayoclinic. (2017). COPD. Retrieved january, 10th from
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/copd/symptoms-causes/syc-
20353679
COPD Foundation. (2019). What is COPD. Retrieved january, 10th from
https://www.copdfoundation.org/What-is-COPD/Understanding-COPD/What-
Causes-COPD.aspx
WHO. (2017). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Retrieved January
from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-
pulmonary-disease-(copd)
Brashier & Kodgule. (2012). Risk Factors and Pathophysiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD): volume 60. Retrieved from:
http://www.japi.org/february_2012_special_issue_copd/04_risk_factors_and.p
df
Mukti, M., A. (2017). PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK).
Retrieved January, 10th from http://spesialis1.radiologi.fk.uns.ac.id/wp-
content/uploads/2018/03/PENYAKIT-PARU-OBSTRUKTIF-KRONIK-
PPOK.pdf
Quaderi & Hurst. (2018). The unmet global burden of COPD. Retrieved January
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5921960/
Depkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013). Retrieved January. 10th from
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf
Siloam Health Care Group. (2019). NUR 1703.02/3

Anda mungkin juga menyukai